Você está na página 1de 5

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE

disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sosiolinguistik


Dosen pengampu:
Prof. Dr. Fatkhur R., M.Hum
Akhmad Syaifudin, S.S.


Oleh:
Mei Anjar Kumalasari
NIM 2101410061

Rombel 3


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

A. ALIH KODE
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain
(Suwito 1991:80). Menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling
ketergantungan bahasa (language depedency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya,
di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan
satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa
yang lain. Di dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau lebih itu ditandai oleh : (a)
masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan
konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan
dengan perubahan konteks. Tanda-tanda yang demikian dikemukakan oleh Kachru (1965
dalam Suwito 1991:80) disebut ciri-ciri unit-unit kontekstual (contextual units). Dengan
adanya ciri-ciri itu menunjukkan bahwa di dalam alih kode masing-masing bahasa masih
mendukung fungsi-fungsi tersendiri secara eksklusif, dan peralihan kode terjadi apabila
penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian,
alih kode menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi
kontekstual dan situasi relevansional di dalam pemakakian dua bahasa atau lebih.
Adapun penyebab terjadinya alih kode menurut Fishman (1976:15 dalam Chaer
dan Agustina 1995:143), yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan,
dan dengan tujuan apa. Secara umum, penyebab alih kode adalah (1) pembicara atau
penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang
ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal, (5) perubahan topik pembicaraan.
Contoh:
1) Situasi: Doni ingin memberikan coklat ke Santi tetapi Angga menyela ingin
meminta coklatnya.
Doni : Santi, ini aku punya coklat buat kamu.
Angga : Wah..... asyik! Ndi kene! (Wah...... asyik! Mana sini!)
Doni : Ojo! iki ora ge kowe kok. Kowe tuku dewe wae kono! (Jangan! Ini bukan
buat kamu kok. Kamu beli sendiri saja sana!)
Angga : Halah..... dasar pelit

Tuturan di atas merupakan alih kode yang disebabkan oleh adanya
perubahan situasi dengan hadirnya Angga sebagai pihak ketiga. Doni berbicara
kepada Santi dengan menggunakan bahasa Indonesia, namun ketika Angga ikut
hadir dalam percakapan, Doni menggunakan bahasa Jawa. Hal itu dikarenakan
Angga dan Doni sama-sama orang Jawa.

2) Situasi: Seorang ayah dan anaknya sedang kerja bakti di halaman rumah.
Kemudian Bu Darmi lewat dan menyapa mereka
Ayah : Ayo ojo males! Sukete sing dhuwur-dhuwur kui mbok ndang
dibedhuli! (Ayo jangan malas! Rumputnya yang tinggi-tinggi itu lekas
dicabut!)
Anak : Nggih mangkeh riyin tho pak, sing sebelah mriki mawon dereng
rampung. (Ya nanti dulu pak, yang sebelah sini saja belum selesai)
Bu Darmi : Wah...... rajin sanget. Enjing-enjing sampun kerja bakti nggih pak?
(Wah..... rajin sekali. Pagi-pagi sudah kerja bakti ya pak?)
Ayah : Eh, inggih niki bu. Lha mumpung dinten Minggu. (Eh, iya bu.
Mumpung hari Minggu)

Peristiwa tutur di atas merupakan alih kode yang disebabkan oleh hadirnya
Bu Darmi sebagai pihak ketiga. Sang ayah berbicara kepada anaknya dengan
menggunakan bahasa jawa ngoko, namun ketika berbicara kepada Bu Darmi, sang
ayah menggunakan bahasa jawa krama.

3) (Suasana di pasar Bringharjo-Jogja)
Penjual : Mari mbak..... silakan dilihat-lihat dulu aksesorisnya
Pembeli : Niki gelang regine pinten bu? (Ini gelang harganya berapa bu?)
Penjual : Oh niku sedasa ewu mbak (Oh itu sepuluh ribu mbak)

Pada situasi tutur di atas, penjual melakukan alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa setelah mengetahui bahwa si pembeli dapat berbicara
bahasa Jawa. Sedangkan si penjual pada dasarnya orang Jawa karena ia tinggal di
Jogja.

B. CAMPUR KODE
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam
masyarakat multilingual adalalah terjadinya campur kode (code-mixing). Apabila di dalam
alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai
oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan
maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa
yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari
gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip
di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu
dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di
dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic
convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89) memberikan batasan campur kode
sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsusr-unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Selain
itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa
yang terlibat dalam peristiwa campur (co-occurance) itu terbatas pada tingkat klausa.
Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi
yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991:90-91)
ada dua yaitu campur kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya
campur kode yang bersifat ke luar antara lain : (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi
ragam dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya
saling bergantung dan tidak jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan
adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana
seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki
status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur
kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan
orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan
unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam
bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu,
campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur),
bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial
tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi
tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status
sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling
memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa
yang lain, dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam
bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri.
Contoh:
1) Jan-jane kamu tau nggak sih? (Sebenarnya kamu tau tidak sih?)
Tuturan di atas merupakan campur kode ke dalam yang disebabkan oleh penutur
menyisipkan unsur-unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia yang
digunakannya.
2) Owalah...... sampeyan ternyata orang Tegal tho? Pantes....
Tuturan di atas merupakan campur kode ke dalam yang disebabkan oleh penutur
menyisipkan unsur-unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia yang
digunakannya.
3) Ani : Serius?! Ah, tapi imposible banget!
Susi : Lha kenyataannya gitu
Dalam percakapan Ani dan Susi di atas, Ani melakukan campur kode dengan
menyisipkan kata dari bahasa Inggris (yang dicetak miring) ke dalam
percakapannya yang menggunakan bahasa Indonesia.

Você também pode gostar