Você está na página 1de 32

SAATNYA RAKYAT BERSIKAP

HENRI SALOMO SIAGIAN, VERA ERWATY ISMAINY





Iwan akan mengumpulkan 4 juta orang dalam silaturahim Nyanyian Raya, Oktober
mendatang.
ASIAN HEROES. Itulah judul sampul majalah Time edisi 29 April 2002 bergambar Iwan
Fals yang terpampang full dengan gitar di sisinya. Bagi majalah ternama di dunia itu, Iwan
merupakan salah satu pahlawan Asia.
Time jelas tidak serampangan menobatkan Iwan dengan predikat begitu terhormat. Iwan
menjadi pahlawan karena pengaruh dan perjuangannya yang konsisten dalam menyuarakan
suara hati rakyat kecil dan keadilan untuk semua lewat jalur musik. Iwan Fals sings a timeless
message of justice for all, begitulah Time menggambarkan sosok Iwan. Tak banyak orang
Indonesia yang bisa mejeng di kover Time. Sebelum Iwan, cuma mantan Presiden Soekarno
yang menghiasi sampul Time pada 1946 dan 1958 serta Pak Harto pada 1966.
Amat sedikit musikus dan penyanyi di negeri ini yang punya karisma sebesar pemilik nama
asli Virgiawan Listanto, kelahiran Jakarta, 3 September 1961, itu. Tak mengherankan pula
jika setiap jelang pemilihan umum, Iwan ibarat magnet bagi partai-partai politik.
Mereka berlomba mendekati dan memikatnya untuk dijadikan pendulang suara. Namun, Iwan
tetaplah Iwan. Ia kadung setia di jalur perjuangannya, tak pernah tergiur untuk terjun ke
politik praktis meski bukan berarti apatis terhadap politik.
Jelang pemilu legislatif 9 April dan pemilu presiden/wakil presiden, 9 Juli 2014, Iwan pun
mengajak rakyat untuk tidak menyia-nyiakan hak pilih. Ia mengingatkan, di tengah seabrek
persoalan yang terus membelit bangsa, selalu ada harapan.
Pemilu ini saatnya. Kalau tidak suka, jangan dipilih. Jangan sampai golput. Juga jangan
sampai gara-gara Rp50 ribu, Rp100 ribu, suara kita terbeli. Kita harus berani bersikap, ujar
Iwan kepada Media Indonesia dan Metrotvnews.com di kediamannya di Leuwinanggung,
Depok, Jawa Barat, Kamis (6/2).
Lewat musik pula, sang pahlawan berencana menyatukan rakyat Indonesia dalam silaturahim
Nyanyian Raya, Oktober mendatang. Targetnya tak tanggung-tanggung, 4 juta orang bisa
berkumpul untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
`'Kami juga akan mengundang presiden dan wapres terpilih untuk nyanyi bareng Indonesia
Raya, Bento, Bongkar, Kemesraan, atau lagu apa saja. Ayo tunjukkan kepada dunia kalau
orang Indonesia ini baik-baik, tandas Iwan. (X-8)
vera@mediaindonesia.com
henri@metrotvnews.com












Gerilya untuk Kritik Politik

JAM menunjukkan pukul 02.05 WIB. Udara dingin Kota Bandung, Jawa Barat, terasa
menggigit, tapi tidak menyurutkan niat sekelompok pria ini.
Sambil membawa cetakan tulisan, mereka menuju Jalan Dipati Ukur. Setelah tiba di depan
tembok besar, sroot! Cetakan tulisan ditempel dan cat disemprotkan. Aksi yang sama diulangi
di Jalan Perintis Kemerdekaan.
Dilarang menempel poster atau stiker caleg di tembok ini. Denda Rp1.000.000. Jika bunyi
tulisan itu terdengar tidak lazim, wajar saja karena aturan itu memang tidak ada dalam
peraturan Pemkot Bandung. Para pria tersebut ialah seniman jalanan (street artist) atau
disebut juga bomber.
Ini untuk mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak pada foto-foto caleg saja, juga
mengkritisi para caleg yang memajang foto diri secara semrawut di jalanan, tutur Iwan
Ismail, salah satu bomber dari kelompok Kampret Syndicate Indonesia, Kamis (6/2) itu.
Nominal denda yang mereka tuliskan sekaligus menjadi kritik bagi peraturan denda yang
diberlakukan bagi pedagang kali lima (PKL) di Kota Kembang.
Seni lukis jalanan juga bergelora di Jakarta, Depok, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, dan kota
besar lainnya. Di Yogyakarta, bomber Digiesigit belum lama ini membuat grafiti bergambar
anak perempuan berdiri sambil membentangkan tulisan Negeriku tidak dijual.
Di tahun politik, politikus berebut simpati rakyat. Namun setelah terpilih, mereka lupa dan
malah menjual aset-aset negara, jelas Digiesigit, tentang karyanya itu.
Para bomber biasa beraksi dengan cepat dan penuh kewaspadaan. Jika tertangkap petugas,
mereka bisa masuk jeruji.
Meski karya hanya bertahan beberapa hari karena dihapus petugas, para seniman itu tidak
kapok. Di malam lainnya, mereka akan kembali bergerilya demi niat tulus untuk masyarakat.
Namun belakangan, ada pula mural dan grati yang merupakan pesanan dari partai politik
atau caleg. (Iwa/ FU/M-4)


AROMA konspirasi menguar dalam impor 16.900 ton beras dari Vietnam.
Patut diduga pejabat di Kemendag pada 2013 telah memberikan surat persetujuan impor
(SPI) kepada 10 importir umum yang tidak mengantongi izin usaha mengimpor beras (lihat
grak).
Hal itu terungkap dalam dokumen impor beras Vietnam yang dimiliki Media Indonesia.
Ulah pejabat di Kemendag itu menerobos Permendag No 27 tentang Angka Pengenal
Importir (API) yang diteken Menteri Perdagangan Gita Wirjawan 1 Mei 2012.
Aturan itu mengharamkan importir umum mengimpor barang yang tidak ada dalam kode pos
tarif seperti tertera dalam API.
Saat menanggapi dugaan kelancungan pejabat di Kemendag, Wamendag Bayu Krisnamurthi
mengaku tidak memahami detail teknis importasi beras.
Nanti saya cek ke teman-teman di Kemendag, jawab Bayu melalui pesan singkat, kemarin.
Selain meloloskan 10 importir nonberas, pejabat Kemendag itu juga menerbitkan SPI dengan
kode pos tarif 1006.30.40.00 dengan uraian beras wangi varietas KDML 105 dan RD15.
Padahal, kode pos tarif itu untuk beras jenis thai hom mali. Adapun beras selain thai hom
mali varietas KDML 105 dan RD15 termasuk kode pos tarif 1006.30.99.00.
Perbedaan itu berimbas pula pada biaya. Ongkos angkut plus asuransi beras impor thai hom
mali mencapai US$512-US$620 per ton, sedangkan beras bukan thai hom mali sekitar
US$945-US$1.055 per ton. (Mhk/*/X-3)




Menag Siap Jelaskan Dana Haji ke KPK



MENTERI Agama Suryadharma Ali menunggu undangan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk memberikan klarifikasi atas dugaan penyimpangan dana jemaah haji.
Klarifikasi diperlukan agar dapat diketahui dengan jelas ada atau tidaknya penyimpangan.
Hal itu dikemukakan Suryadharma kepada Media Indonesia di sela Musyawarah Kerja
Nasional Ke-2 PPP, di Bandung, Jabar, kemarin.
Selama ini saya hanya mendengar dari koran dan televisi. Pandangan itu tidak bisa dari
media saja. Itu tidak utuh. Kalau saya diundang untuk dengarkan gagasan (dugaan
penyimpangan) itu, saya sangat berterima kasih karena untuk meningkatkan kualitas ibadah
haji, tuturnya.
Menurut dia, selama ini pihaknya tetap menerima masukan-masukan untuk memperbaiki
kualitas penyelenggaraan haji.
Sebelumnya, KPK mengusulkan agar Kementerian Agama menghentikan sementara
pendaftaran haji. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan jika pendaftaran haji
terus di buka, jumlahnya akan terus menggelembung.
Bila dana tersebut dikelola secara tidak transparan dan tidak akuntabel, akan berpotensi
dikorupsi. Celah korupsi antara lain memainkan nomor antrean ibadah haji.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf
mengungkapkan dana penyelenggaraan haji yang terkumpul dari ongkos haji setiap tahunnya
mencapai Rp80 triliun. PPATK mencatat bunga atau imbal hasil yang diperoleh dari situ
sebesar Rp2,3 triliun per tahun.
Penyimpangan yang diduga dilakukan penyelenggara haji antara lain penukaran valuta asing
dalam jumlah besar oleh Kementerian Agama.
Pada kesempatan terpisah, Sekjen DPP Muhammadiyah Abdul Mukti mengingatkan dalam
ibadah haji yang paling penting ialah kepastian waktu keberangkatan. Bila pemerintah
mampu memberi kepastian meski tanpa mewajibkan calon jemaah haji menyetorkan biaya di
muka, itu tidak masalah diberlakukan.
Bila hanya menabung di bank, saya takutkan masyarakat di bank yang sistemnya tidak
canggih, terutama di desa, bisa tergeser oleh masyarakat perkotaan dengan sistem bank lebih
canggih meskipun uang haji sudah terkumpul, tutur Mukti saat dihubungi, kemarin.
Lebih lanjut, Mukti juga meminta pemerintah transparan atas pengelolaan dana uang muka
haji tersebut, termasuk imbal hasilnya.
Harus diperjelas larinya ke mana. Jadi sebagai masyarakat, kita juga lebih tenang
mengetahui pemerintah tidak memanfaatkan yang bukan haknya, tandasnya. (*/ YA/E1)































































Barter Diduga Bebaskan Corby


PEMBEBASAN bersyarat yang diberikan kepada ratu mariyuana asal Australia Schapelle
Leigh Corby diduga sebagai hasil perjanjian tukar-menukar tahanan dengan pemerintah
Australia. Namun, hal itu membuat Indonesia membayar lebih mahal karena bakal
memancing sindikat narkoba internasional.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Mudzakir
mengemukakan itu saat dihubungi, kemarin.
Pemerintah kita mungkin ada kepentingan menukar tahanan korupsi yang melarikan diri ke
Australia. Namun, cara menukarnya tidak tepat. Jika ada perjanjian tukar-menukar tahanan,
harus yang sesuai. Bukan ditukar dengan narapidana kejahatan narkotika seperti Corby,
cetusnya.
Mudzakir mengatakan sindikat narkoba internasional akan melihat Indonesia sebagai sasaran
empuk karena pemerintahnya tidak tegas dalam menindak kejahatan narkotika.
Pembebasan bersyarat itu merupakan konsekuensi dari langkah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang memberikan grasi berupa pengurangan hukuman 5 tahun. Terpidana yang
dihukum karena menyelundupkan 4,2 kilogram mariyuana ke Indonesia itu juga terus
mendapatkan remisi.
Seharusnya sejak dulu pemerintah konsisten tidak mengistimewakan Corby, ungkap
Mudzakir.
Senada dengan Mudzakir, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP Helmy Fauzy mencurigai
adanya barter narapidana. Indikasi itu terlihat dari pemerintah Australia yang secara keras
terus-menerus melobi pemerintah Indonesia untuk membebaskan Corby. Jika memang itu
yang terjadi, pemerintah Indonesia dinilai lemah dalam melobi kepentingan asing di negeri
ini.
Dari Denpasar, Bali, kemarin, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Hukum dan
HAM Provinsi Bali Sunar Agus mengaku pihaknya belum menerima surat keputusan (SK)
soal terkabulnya pembebasan bersyarat (PB) yang diajukan Corby sekalipun keputusan
tersebut sudah diteken pihak Kemenkum dan HAM.
Jadi kami juga belum bersikap dan bertindak apa-apa terhadap Corby. Saya pun tahunya dari
siaran media. Namun. hingga saat ini belum ada koordinasi apa-apa dari pusat. Sudah
hampir sepekan ini halaman Lembaga Pemsyarakatan (LP) Kelas II Kerobokan, Denpasar,
dipenuhi puluhan wartawan, terutama wartawan asing asal Australia. Mereka bersiaga
menunggu pembebasan Corby. (AI/ OL/E-1)
PPP Tolak Ketua Umum Jadi Capres Tunggal

YAHYA FARID NASUTION


PPP mengambil posisi aman dengan tidak mencalonkan ketua umumnya sebagai
capres tunggal pada Pemilu 2014. Pendeklarasian capres dari PPP dinilai akan
menyulitkan PPP saat memutuskan untuk berkoalisi jika tidak memperoleh suara
sampai 20%.
DI luar perkiraan, salah satu agenda Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Ke-2 PPP yang
digelar di Bandung, Jawa Barat, 7-9 Februari, yang rencananya juga sebagai ajang untuk
mendeklarasikan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) sebagai calon presiden
tunggal, tidak mencapai kata sepakat. Jadwal pendeklarasian SDA sebagai capres yang
diagendakan hari ini, tadi malam, ditolak peserta.
Setelah melalui lobi-lobi yang cukup alot, 20 DPW yang sebelumnya mendukung untuk
mengusung Suryadharma Ali sebagai capres PPP terbelah. Pada Mukernas Ke-2 PPP hari
kedua hingga tengah malam muncul kesepakatan bahwa partai berlambang Kabah tersebut
ingin memunculkan calon-calon lain sebagai capres.
Salah satu anggota DPW Jakarta PPP membeberkan konstelasi yang menggagalkan
pencapresan Suryadharma Ali sebagai satu-satunya capres PPP. DPP PPP yang terdiri dari
Ketua Mahkamah Partai Chozin Chumaidi, Ketua Majelis Pakar Barlianta Harahap, dan
Ketua Majelis Pertimbangan KH Zarkasih Noer menolak deklarasi Suryadharma sebagai
capres tunggal PPP. Hanya Ketua Majelis Syariah KH Maimoen Zubair yang mendukung
Suryadharma. Menurutnya, KH Maimoen memiliki kedekatan personal, yakni besanan
dengan Suryadharma.
Selain itu, sebanyak 26 DPW menandatangani kesepakatan menolak pendeklarasian calon
presiden dalam forum Mukernas Ke-2 PPP tersebut. Ketua DPW PPP Sulawesi Selatan Amir
Uskara menyampaikan 26 perwakilan DPW bersepakat menolak agenda deklarasi capres
PPP.
Hanya DPW Bengkulu, DPW Aceh, DPW Sumsel, DPW Sultra, DPW Kalsel, DPW Bali,
dan DPW Sumatra Barat yang mendukung deklarasi pencapresan Suryadharma pada
mukernas PPP, kata Amir.
Amir menyatakan kesepakatan itu didapat setelah hasil rapat internal sejumlah DPW pada
Sabtu dini hari.
Kami sepakat untuk tidak ada deklarasi dan fokus pada bagaimana pemenangan pileg, ujar
Amir.
Alasannya, pendeklarasian capres PPP sekarang dinilai akan menyulitkan PPP saat
memutuskan untuk berkoalisi jika tidak memperoleh 20% suara. Kalau nanti terpaksa
koalisi, dan hasil bargaining tidak sesuai dengan apa yang dideklarasikan, berarti
mementahkan mukernas. Ini tidak baik, jelasnya.
Selain itu, 26 DPW menginginkan nama lain muncul sebagai capres PPP. Hingga tadi malam,
sudah ada sembilan nama yang akan dijadikan capres. Antara lain, Suryadharma Ali, mantan
Wapres (2004-2009) Jusuf Kalla, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Panglima TNI
Jenderal Moeldoko, Bupati Kutai Timur Isran Noor, Yenny Wahid, Ketua DPP
Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, dan Khofah Indar
Parawansa.
Evaluasi PKB

Terpisah, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dalam rapat
koordinasi pemenangan pemilu partai di Manado, Sulawesi Utara, kemarin, mengatakan
rakor PKB kali ini akan mengevaluasi tuntas langkah-langkah politik yang telah dilaksanakan
dalam menghadapi pemilu yang kurang dua bulan lagi ini.
PKB akan melihat lebih jauh bagaimana sesungguhnya pola dan strategi yang bisa meraup
suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu nanti, ujarnya.
Muhaimin menargetkan PKB bisa meraih minimal 100 kursi di DPR. Adapun DPW PKB
Sulawesi Selatan Azhar Arsyad mengatakan PKB semakin yakin mampu meraih hasil terbaik
pada Pemilu 2014 dengan berada di posisi keempat.
Azhar menyebutkan salah satu upaya PKB untuk meraih target yaitu mengintruksikan kepada
seluruh kader dan caleg agar senantiasa turun ke tengah-tengah masyarakat. (*/P-2)
yahya@mediaindonesia.com









KPK Segera Periksa Sri Utami sebagai Saksi



KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memeriksa Kepala Bidang
Pemindahtanganan, Penghapusan, dan Pemanfaatan Barang Milik Negara (PPBMN) Sri
Utami pascapenggeledahan yang dilakukan penyidik di kantornya, Cikini, Jakarta Pusat,
Jumat (7/2).
Belum dijadwalkan (pemeriksaan), tapi dia akan diperiksa sebagai saksi, jelas juru bicara
KPK Johan Budi, kemarin.
Sri Utami akan menjadi saksi dalam kasus korupsi di Kementerian ESDM dengan tersangka
mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno.
Johan pun belum memastikan apakah Sri Utami akan menjadi tersangka baru dalam kasus
yang menjebloskan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini itu.
Pada penggeledahan yang dilakukan tiga hari lalu, penyidik KPK menemukan dan menyita
uang sekitar Rp2 miliar yang disimpan dalam sejumlah amplop di beberapa ruangan, mulai
ruang rapat sampai mobil Sri Utami. Penyidik juga menyita dokumen, hard disk, dan ash
disk miliknya.
Johan menambahkan, sampai sekarang pihaknya masih menghitung jumlah uang yang disita.
Kami belum tahu jumlahnya, makanya akan di-cross check. Jika memang uang itu miliknya,
akan dikembalikan, imbuhnya.
Ia pun tidak bisa memastikan apakah penyelidikan KPK akan mengarah pada Menteri ESDM
Jero Wacik yang juga politikus Partai Demokrat.
Belum menuju ke sana, apalagi penetapan tersangka. Belum ada, tegas Johan Budi.
Pada bagian lain, pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, meminta
para anggota Komisi VII DPR RI yang disebut-sebut menerima uang terkait SKK Migas
untuk bicara apabila tidak ada keterlibatan dalam kasus tersebut.
Mereka harusnya bicara jika tidak menerima uang tersebut. Sikap diam tidak akan
membantu upaya menaikkan citra mereka. Dengan diam itu justru publik akan berasumsi
keterlibatan mereka, ujar Ray.
Diakui Ray, sudah bukan rahasia lagi anggota dewan meminta uang kepada lembaga atau
perusahaan untuk tujuan tertentu. Bahkan sudah menjadi tradisi di kalangan anggota
dewan, kritiknya. (SU/N-3)
Kita bukan Macan Kertas



Bukan perkara mudah untuk menemui I wan Fals. namun pada Kamis (6/2), di rumahnya
di Leuwinanggung, Depok, musikus legendaris itu bersedia berbincang dengan wartawan
Media I ndonesia Vera Erwaty I smainy dan Metrotvnews.com Henri Salomo Siagian.
I wan sangat santai dengan menggunakan kaus dan jaket yang dipadu dengan celana
pendek serta sandal jepit. "Maaf ya sudah lama menunggu. Tadi itu tanggung mau
diakhiri. Biasanya memang latihan selesai pukul 17.00 WI B, tapi keterusan sampai lewat
magrib," ucapnya, hangat. Di ruangan terbuka antara studio latihan dan musala,
perbincangan pun mengalir. Ditemani camilan timus dan kopi, banyak hal mulai
persoalan sosial, politik, pemilu, hingga rencana besar menggelar konser raksasa
dituturkan I wan. Berikut petikannya:
***
Terkait dengan realitas sosial yang terjadi di sekitar kita, apakah Anda memandang
pemilu sudah membuat perubahan untuk bangsa?

Pemilu itu gimana ya? Seperti di Jawa Timur, katanya yang menang sebenarnya Khofifah
(Indar Parawansa) ya, gimana itu? Gubernurnya sekarang Pak Karwo (Soekarwo) dan
wakilnya, Saifullah Yusuf, gimana itu prosesnya? Lalu ada Prof Yusril yang menggugat
undang-undang (UU Pemilu dan Pemilihan Presiden). Namun kalau tidak ada hukum,
bagaimana? Keadaan bisa semakin liar. Ya sudah kalau mau pemilu, yang serius. Apalah
suara saya, saya ini cuma penyanyi. Pemilu harus diseriusin, partai juga. Kerjanya harus
daulat rakyat, jangan daulat partai. Jangan kerja buat partai.

Demokrasi harus daulat rakyat, jangan daulat partai. Susah, saya kalau ngomongin politik
jadi abstrak. Tapi alhamdulillah, apotek, pasar, pom bensin masih buka. Keadaan kita tidak
sampai seperti Suriah atau negara Timur Tengah lainnya yang perang.

Pendapat Anda mengenai tokoh-tokoh politik yang ada?

Ada Anies Baswedan, Jokowi, Dahlan Iskan, ada juga Farhat Abbas calon presiden muda,
hahaha. Tapi kasihan juga dia lagi ada masalah keluarga. Lagi stres, gimana mau mikirin
negara. Ada juga Megawati, tapi PDIP belum menentukan, kan? Yang sudah siapa, ya?
Wiranto, Prabowo, dan Aburizal Bakrie. Nah kalau Aburizal (terkait) kasus Lapindo,
Prabowo kesandung HAM mungkin, ya. Sementara Pak Wiranto kasus Timor Leste. Saya
tidak tahu gimana jawabannya.
Itu cerita nyata yang ada di masyarakat. Kalau Demokrat korupsi, semua ditangkap, seperti
Anas (Urbaningrum) dan lain-lain. Tapi terlepas dari semua persoalan, masak iya tidak ada
jalan keluar? Saya bayangin ada tentara yang baik hati yang jagoan yang mau merebut. `Udah
minggir semua lo, tapi benar-benar buat rakyat. Kalau gak beres gue sikat, gitu'. Benar-benar
belain kita. Sudah susah cari beras, cari daging susah.

Jadi, tentara yang bisa selesaikan masalah bangsa ini?
Tidak tahu juga. Habis kalau kondisinya masalah semua. Tentara yang saya maksud tentara
muda yang aktif yang baik hati. Kapten atau apa yang punya pasukan. Asal belain kita, belain
rakyat, rakyat yang macet-macetan, yang kena bencana. Susah sih kalau orang politik. Ini
lamunan saja, kayak di komik.
Pisang masih bisa dimakan kan, pepaya jatuh masih bisa dimakan. Orang meninggal atau
hajatan saja juga masih bisa dapat berkat. Ada yang kawinan masih bisa makan. Jadi liar nih
pikiran saya. Umpamanya gitu. Kiri kanan atas bawah ngeluh. Di koran semua ngomel-
ngomel. Mendingan rebut saja sekalian. Tapi, tentara ini harus hidupkan demokrasi, urus
rakyatnya, kasih kerjaan. Yang punya senjata kan tentara. Kita bisa apa, ditodong saja
bingung.
Atur saja yang nakal-nakal. Tapi, tentaranya jangan nakal. Jangan mau jadi bodyguard
karaoke atau judi di Mangga Besar. Kodratnya tentara kan membela Tanah Air. Kita cuma
melihat. Saya cuma nyanyi, teman-teman wartawan cuma nulis. Tapi kalau orang biasa kan
tidak. Susah ya hidup. Satrio piningit keluar, minggir lo semua, atur yang tidak baik.
Sebelum ada sosok satrio piningit, apakah Anda akan menyarankan jangan golput?
Ini saatnya, kalau tidak suka jangan pilih.
Jangan sampai golput. Juga jangan sampai gara-gara Rp50 ribu, Rp100 ribu, suara kita
terbeli. Jangan juga kayak almarhum Franky Sahilatua, ambil uangnya jangan coblos
partainya. Buat saya, era itu sudah lewat. Jangan ambil uangnya dan jangan coblos partainya.
Kita sudah harus punya sikap. Uang itu enggak bawa berkah. Itu zaman politisi busuk. Kapan
ya, 2004? Sudah 10 tahun.
Pers punya kepentingan untuk menyuarakan ini. Berikan pendidikan, hiburan juga, sebagai
anjing pengawas. Kalau fungsi berjalan, ya bagus. Tapi, percuma pers juga ikut politik,
hahaha.
Pemilu besok jangan ribut, jangan nyampah, jangan marah-marah. Gampang, kan? Kalau
tidak suka, tinggal tidak usah coblos. Luangkan waktu untuk mempelajari track record siapa
pun calon yang akan dipilih. Masyarakat benar-benar harus tahu. Repot kalau ada mafia
politik. Kalau masyarakat sudah serius, nanti dijegal di hukumnya.
Tapi harus ada penelitian, apakah benar kita serusak itu? Kalau iya, harus ada janggo yang
tegas, kalau dibilang tidak mau ikut, tembak kakinya saja.
Anda sudah tahu mau pilih siapa?
Belum. Ada kepikiran, tapi yang saya pilih tidak populer. Kalau media komunikasinya kuat,
bisa naik. Tapi istilahnya kan gorengan, bisa naik kalau komunikasinya bagus. Tapi tidak
tahu juga, rahasia kan?
Penilaian Anda tentang kiprah parpol?
Ini kesempatan parpol bantu rakyat yang kena musibah. Iya betul pamrih, ria, tapi ini
kesempatan. Banjir, Sinabung, banjir Manado. Harapannya bukan basa-basi. Daripada uang
terbuang ke yang hal yang tidak jelas, mendingan bantu mereka bikin rumah.
Soal jumlah partai? Idealnya lima saja. Multipartai kita pernah kan. Tiga partai juga pernah
zaman Pak Harto. Lima tidak terlalu sedikit, tidak terlalu banyak. Bayangan saya ada partai
ketuhanan, partai kemanusiaan, partai persatuan, dan seterusnya.
Kalau urusan Tuhan masuk ke situ. Urusan kemanusiaan, hukum, kerakyatan, ya masuk
sesuai ke partainya. Satu lagi yang tidak percaya Tuhan bikin partai ateis, hahaha. Tapi kalau
semua percaya Tuhan, ya lima saja. Semua kerja untuk Pancasila.
Apakah kondisi saat ini sudah memuakkan?
Tidak juga. Saya masih menghormati lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga yang ada
karena lembaga itu lahir dari pemikiran orang-orang pandai. Hanya, mungkin masih kurang
pandai sehingga masih ada ruang-ruang yang masih bisa bolong sehingga uang rakyat yang
dipakai buat dana partai.
Kemarin saya dengar ada usulan partai dibiayai negara, tidak tahu siapa yang ngomong, biar
anggarannya sama biar tidak ada politik uang. Jadi, semua sama. Sekarang masalahnya kan
yang menang yang punya uang saja. Orang kaya saja yang menang.
Katanya Rp3 triliun untuk jadi presiden, yang bisa jadi presiden hanya orang kaya, dong.
Padahal uang enggak menyelesaikan masalah. Kalau mau cari uang, tebangin saja pohon
banyak-banyak. Habis itu, kita mati karena tidak ada oksigen.
Tapi Anda akan memilih kan?
Insya Allah saya milih. Khawatir juga golput bisa 80%, orang dikecewain soalnya. Misalnya
penyediaan toilet. Berapa pemasukan Tol Jagorawi sehari? Kan banyak. Kenapa tidak
memikirkan yang mudah saja? Sediakan saja toilet, sederhana, tidak perlu bagus asal
memadai. Jadi orang tenang, ada yang dagang.
Tidak perlu mewah-mewah. Presiden ke depan masalahnya hanya seperti fasilitator, sediakan
garansi keamanan, pendidikan. Untuk rakyat siapkan pekerjaan. Kita mau tenang tinggalin
rumah. Di jalanan spion dicongkel, kan ngeri.
Sejauh ini sudah ada calon presiden yang seperti itu atau mendekati?
Banyak dan pada bisa menyelesaikan masalah kok semua. Gitu kan kampanyenya. Tinggal
pelaksanaan kata-kata. Rancangan tentang Jakarta sudah ada, tinggal eksekusi katanya kalau
di televisi. Peraturan kota sudah lama. Rupanya itu tidak dikerjakan.
Bagaimana dengan rangkaian konser Anda saat ini?
Konser saya bertajuk Suara untuk Negeri tapi menuju ke Nyanyian Raya. Nyanyian Raya itu
ceritanya gaya-gayaan untuk memecahkan rekor jumlah penonton. Tapi, misinya untuk
silaturahim, gimana orang sadar kebersihan, sadar kebersamaan, lingkungan, juga harapan
baru untuk presiden baru.
Nanti Oktober kalau sudah terpilih, presiden baru akan diundang ke Nyanyian Raya. Nyanyi
sama-sama. Siapa pun yang terpilih.
Kalau presidennya tidak bisa nyanyi?
Enggak apa-apa, bisa nyanyi sama-sama. Nonton aja juga enggak apa-apa. Targetnya 4 juta
orang. Penginnya begitu, soalnya di Copacabana, Brasil (saat konser Rod Stewart),
penontonnya 3,5 juta orang. Lalu Metallica di Rusia 1,6 juta orang.
Ada juga ide untuk memecahkan rekor menyanyikan lagu kebangsaan yang dipegang India
dengan 500 ribu orang. Kalau kita bisa datangkan 2 juta atau 4 juta kan (rekor) bisa langsung
pecah. Jumlah 4 juta itu pas Nyanyian Raya-nya, bukan di roadshow.
Tapi, kita masih bingung tempatnya. Tentatif di (bekas bandara) Kemayoran, tapi apakah
akan bisa menampung orang banyak, jutaan?
Ini akan jadi pesta rakyat banget. Ada harapan baru, ada silaturahim, ada kesadaran
lingkungan tidak buang sampah sembarangan, harapan baru sama presiden baru. Ini
persoalan kita bersama, bukan saya saja.
Saya pikir kita kumpul sajalah, silaturahim, tunjukkin sama dunia kita ini orang baik-baik.
Indonesia masih ada.
Masyarakat luar biasa hebat, kena apa saja tenang. Masyarakat sabar, harusnya ada perhatian.
Nah sekarang gimana masyarakat mau perhatian sama pemerintah, pemerintah saja tidak
perhatian? Makanya mari kita kumpul, nyanyi bareng, nyanyi Bento, nyanyi Bongkar,
Kemesraan, apa saja. Siapa tahu menjadi harapan baru untuk Indonesia.
Ide awalnya bagaimana?
Alhamdulillah tercetus ide ini pas konser Metallica (di Jakarta) tahun lalu. Saya jadi mikir,
untuk ini orang-orang pada datang, jauh-jauh, bayar mahal-mahal. Kok kita tidak bisa? Kalau
saya kumpulin penonton saya di seluruh Indonesia juga banyak. Saya jadi berpikir, ah,
gimana kalau kita berkumpul di satu tempat.
Kita ini kuat, bukan macan kertas. Cerita tentang Kalingga, Malahayati, Kalinyamat, itu
sebelum bangsa-bangsa Eropa. Kita punya SDM dan SDA yang potensial. Gini, lo, selama ini
kita kan malu jadi orang Indonesia. Siapa tahu dengan adanya silaturahim ini, kita bisa
bangkit dengan percaya diri. Indonesia masih ada dan bisa dibanggakan. Siapa tahu Nyanyian
Raya jadi kesadaran.
Kenapa diadakan dalam suasana pemilu?
Kebetulan saja sebenarnya. Tanpa pemilu, saya tetap jalan. Momennya pas. Pas ada (pemilu),
alhamdulillah. Jadi, nanti ada harapan baru, presiden baru.
Kalau bisa mengomando 4 juta orang menyanyikan lagu Indonesia Raya, berarti Anda
layak jadi capres. Mau jadi capres?
Hahaha, tidak terpikir. Pak Harto dan Bung Karno jadi presiden umur 40-an. Saya sudah 53
tahun, sudah tua. Saya pengin dapat presiden yang bagus, yang sayang rakyatnya, yang mau
kerja untuk rakyat dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote. Yang tidak
basa-basi. Gimana jadi presiden? Mikirin kor aja susah setengah mati. Tadi dengar kan kita
latihan satu lagu saja lama latihannya.
Saya tidak paham pemerintahan. Harus sekolah di STPDN kan. Seniman, pemusik, atau
pencipta lagu kayak saya ini cenderung sendirian. Sendirian di kamar. Berjemaah suka, tapi
bergaul seperti orang kantoran tidak bisa, palingan saat (salat) Jumatan. Sementara Presiden
tidak begitu, dia ada kabinet. Entar kalau jadi presiden, saya otoriter, hahaha. Kalau satu
mobil semua mau jadi setir, tidak ada yang mau jadi ban, gimana?
Anda produktif dari dulu sampai sekarang. Rahasianya apa?
Saya bersyukur kepada Allah dikasih kesempatan ini dan diterima. Dapat kesempatan
wawancara dan publikasi. Cara mensyukurinya dengan serius. Insya Allah saya tidak akan
mengkhianati pilihan ini. Akan setia di jalur ini. (X-8)


















Cinta Terhalang Jurang Sosial

YOSE HENDRA





Ibadah haji yang sejatinya penuh dengan kedalaman spiritualitas ternyata luruh dalam
kenaifan hati muda yang patah.
MEMBACA Di Bawah Lindungan Kabah (BLK), pembaca akan menemukan untaian nilai-
nilai kemanusiaan; sebuah hasrat cinta terbetik melintasi perbedaan kelas, tapi tidak lebih dari
sebuah ilusi.
Kisah `cinta tertahan' Hamid dan Zaenab dalam plot BLK pada akhirnya berujung tragis.
Mereka meninggal di tempat terpisah sebelum bisa mempertautkan kembali.
BLK yang dianggap sebagian kritikus sastra lolos sensor Balai Pustaka, menegaskan identitas
sang penulis Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam menelurkan karya sastra;
melawan adat dengan cara elegan, menelurkan dalam bentuk nasihat berpedoman agama
Islam ke dalam alinea-alinea.
Alurnya yang sentimental membuat pembaca penasaran sehingga menjadi daya dorong untuk
segera menamatkan hingga klimaks. Dan dengan itu, pembaca bisa memahami apa yang
diinginkan HAMKA.
Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas (Unand) Armini menilai BLK merupakan bagian
dari karya-karya HAMKA yang mempertontonkan diskriminasi sosial terjadi di
Minangkabau, mungkin juga daerah lain, pada masa itu.
Menurut Armini, kekuatan dari BLK antara lain gaya kepenulisannya berupa alur sentimental
dan bahasa yang sederhana dan mengalir sehingga gampang dipahami.
Selain itu, BLK adalah suara kemanusiaan yang sarat nilai edukatif dengan memberi
pelajaran secara Islam. Tapi HAMKA seorang melankolis. Dalam karyanya ini seakan-akan
dia selalu menangis dan bersedih sehingga pembaca akan dibuat menangis pula, ujar
pengajar sastra modern itu.
Dia menambahkan, andai diklasikasikan sebuah karya HAMKA dengan judul BLK,
letaknya di tengah, antara serius dan populer.
Meski demikian, Armini khawatir karya-karya HAMKA yang jumlahnya sekitar 94 akan
sangat susah diakses generasi muda atau penyuka karya sastra bilamana tidak ada keinginan
seseorang atau kelompok menerbitkan kembali atau mendistribusikan pada pustaka-pustaka
publik.
Yang sulit ditemui dari karya HAMKA saat ini adalah Terusir, Si Sabariah, Keadilan Illahi.
Karya seperti ini justru beredar luas di Malaysia, ungkapnya.
Sementara itu, sastrawan muda Sumatra Barat Ade Efdira melihat BLK mengandung kisah
asmara yang memiuh-miuh perasaan, seperti halnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
(TKVW). Tokoh utama cerita sama-sama didera penderitaan yang mengibakan.
Menurutnya, tokoh utama pria mendapat malang dalam hubungan percintaannya karena
status sosial yang tidak menguntungkan. Sementara itu, tokoh perempuan tak kuasa untuk
memperjuangkan cinta untuk sang lelaki pujaan.
Bila kisah cinta Zainuddin dan Hayati dalam TKVW tersandung masalah adat, kasih Hamid
dan Zainab dalam BLK sansai gara-gara kelas sosial yang amat senjang.
Apabila dikaitkan dengan judulnya, sebut Ade, BLK justru terjerembap pada melankolia.
Ibadah suci naik haji yang sejatinya penuh dengan kedalaman spiritualitas ternyata luruh
dalam kenaifan hati muda yang patah.
Ya, motivasi umat pergi naik haji memang beragam. Namun lewat tokoh Hamid yang
murung, perjalanan ibadah penyempurna itu justru kehilangan nilai religiositasnya. Kisah itu
terkesan memanfaatkan Kabah hanya sebagai latar, ujar pria dengan nama pena Ragdi F
Daye tersebut.
Menurutnya, kelebihan BLK tidak jauh berbeda dengan karya sastra klasik, begitu hebat
dalam gaya bahasa. Sepertinya, HAMKA dan sastrawan klasik Indonesia begitu mumpuni
dalam mengolah kata-kata, tidak saja lewat surat-surat dengan bahasa yang elok, tetapi juga
melalui narasi yang rapi dan deskripsi yang indah.
Karya sastra benar-benar hadir sebagai karya seni yang mengekspresikan estetika melalui
komposisi bahasa, tukas Ade. (M-2) miweekend@mediaindonesia.com

Judul Buku: Di Bawah Lindungan Ka'bah
Penulis: Buya HAMKA
Penerbit: Balai Pustaka
Cetakan: Keenam


























Buya HAMKA, Ulama yang Humanis



SULIT menemukan ulama seperti Buya HAMKA. Penguasaannya tentang Islam tidak
membuatnya jatuh dalam kefanatikan, melainkan menjadi peneduh umat lewat lantunan
ceramah rutin di TVRI, RRI, dan Mesjid Agung Al Azhar. Ia juga seorang pemaaf jika
dimasukkan dalam ranah politik.
Seorang anak HAMKA, Irfan HAMKA, mengingat kisah ayahnya yang memberi maaf seteru
politik dalam spektrum yang berbeda-beda dalam buku berjudul Ayah.
Soekarno, yang pernah memenjarakan dia di masa Demokrasi Terpimpin selama 28 bulan,
tidak meninggalkan rasa luka dan dendam setelah dibebaskan. Justru ia menyanggupi
keinginan besar Soekarno dengan menjadi imam salat jenazah Soekarno.
Buya HAMKA bernama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Dia lahir di Maninjau,
Sumatra Barat, 17 Februari 1908. HAMKA adalah anak seorang ulama berpengaruh di
Minangkabau awal abad ke-20, Abdul Karim Amrullah, yang biasa dipanggil Haji Rasul atau
Inyiak DR.
Sejarawan Universitas Negeri Padang (UNP) Mestika Zed mengatakan, untuk mengerti Buya
HAMKA, seseorang harus memahami suasana awal abad ke-20 di Minangkabau, yakni
perdebatan hebat antara kaum Islam reformis dan kaum tradisional.
Di Minangkabau awal abad ke-20, kepulangan trio ulama Minang: Haji Rasul, Abdullah
Ahmad, dan Syekh Muhammad Jamil Djambek, langsung menebar peperangan dengan kaum
adat. Mereka berlawanan arus dengan kaum tradisional yang dihiasi Syeikh Abbas Qadhi,
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syeikh Arifin Al-Arsyadi, dan lainnya. Inti yang diperdebatkan
ialah soal tarekat. HAMKA lahir dari modernis Indonesia yang berlangsung di
Minangkabau. Ia pewaris sah dari kelompok modernis. Ia membawa wacana agama untuk
perubahan sosial, ujar Mestika Zed.
HAMKA mulai membangun identitas sebagai ulama di awal 1950-an. Ia bersuara di wilayah
yang tak dipantau atau dikejar betul ketika kelompok agama dibungkam. Tafsir Al-Azhar
lahir saat ditahan karena dianggap cukup berbahaya bagi Demokrasi Terpimpin, tukas
doktor sejarah tamatan Vrije Universiteit itu.
Mestika menilai HAMKA adalah seorang yang berjiwa merdeka dan berwawasan terbuka.
Meski ditahan dalam penjara, ia terus mendalami pelajaran agama, yang sebelumnya bisa
dikatakan sudah punya dasar-dasar.
HAMKA bersentuhan dengan mentor-mentor aktivis semacam HOS Tjokroaminoto,
Mohammad Natsir, dan Suryopranoto. Pada 1927, ia memutuskan berangkat ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama.
Sementara itu, budayawan Sumbar Rusli Marzuki Saria mengatakan HAMKA memiliki ilmu
yang bulat, tidak bersendi, menguasai banyak bidang, dan berpendirian kuat.
Papa, panggilan akrab Rusli, mengatakan Tafsir Al Azhar belum ada bandingannya saat ini.
HAMKA juga ulama yang tidak masuk kotak-kotak. Dia orang Muhammadiyah. Namun
ketika salat di luar masjid bukan Muhammadiyah, dia bisa menyesuaikan. Toleransinya
Islam dalam Islam memang tinggi, tukas Rusli. (Yose Hendra/M-2)









































BAU LAUT

RATIH KUMALA



KETIKA lelaki itu pulang dari melaut, ia menemuiku. Kupikir ia sudah mati ditelan laut.
Tubuhnya legam. Air asin dan matahari telah memanggang kulitnya. Rambutnya kemerahan.
Matanya menyipit dan cekung. Aku melihat ceruk ketakutan di situ, sekaligus sejuta
perlawanan.
Aku memang tidak mengerti laut, meski sepanjang umur aku hidup di tepi laut. Aku tidak
paham apa yang mesti ditakuti di laut yang tak ada apa-apa selain ikan, air, dan matahari.
Mungkin karena tidak ada apa-apanya itulah ia menjadi takut.
Namanya Mencar, anak nelayan yang menjadi dewasa di dalam kapal. Sejak dia kecil,
ayahnya telah membawanya ke laut. Dia bisa melihat ikan dari kejauhan, matanya tajam dan
awas. Hingga dewasa, dia terus bertugas memberi tahu awak kapal di mana mereka bisa
menemukan gerombolan ikan untuk ditangkap. Dia akan naik ke tiang kapal, bergelantungan
serupa layar, dan berteriak dengan semangat sambil menunjuk ke satu titik. Ikaaan!
Mencar dan aku tak pernah akur. Semasa kami bocah, ia anak yang menyebalkan. Menakut-
nakutiku dengan kepiting besar hingga aku lari menghindarinya. Aku menghindari Mencar
sampai aku remaja. Hingga suatu sore aku melihat ayah Mencar mengajak bocah itu melaut.
Di tepi pantai, ia memandangku. Ada yang salah pada tatapan matanya. Meski tubuhnya
masih anak-anak, sorot matanya telah menjadi mata lelaki dewasa. Aku bahkan lebih tinggi
darinya, tapi sorot mata itu membuatku jengah.
Beberapa hari kemudian Mencar kembali. Laut memang penyihir yang mahadahsyat, mampu
mengubah semua orang. Mencar, teman kecilku itu, berubah menjadi lelaki pada suatu hari
sepulang melaut. Tak ada lagi tanda-tanda bocah di tubuhnya. Badannya liat dan terbakar.
Tubuhnya menjadi lebih tinggi. Sorot matanya masih sama, seperti menelanjangiku.
Malamnya, itulah yang dilakukannya. Kami bercumbu dengan alas pasir dan atap bintang,
serta bau laut yang menerpa wajah kami. Bibirnya terasa asin.
Mencar menjadi kekasihku.
Pada suatu malam, Mencar bercerita, ia bermimpi dengan seorang perempuan yang muncul
dari laut. Apakah itu Nyai Ratu Kidul? tanyaku.
Bukan. Aku tahu itu bukan Nyai Ratu Kidul.
Siapa?
Penjelasan Mencar tak bisa dipercaya. Dia perempuan yang tak punya kaki, tapi ekor ikan
yang menjuntai dari pinggang ke bawah.
Aku tak pernah memercayai adanya Putri Duyung. Dia menyuruhku untuk minum air laut di
ujung geladak dan buritan sebelum aku melaut lagi besok.
Para nelayan terbiasa membaca tanda-tanda alam, seaneh apa pun itu. Sore keesokan harinya,
para perempuan melepas laki-laki mereka untuk melaut.
Mencar menuruti mimpinya. Dia mengambil segelas air dari ujung geladak dan buritan kapal
yang ditumpanginya.
Para awak kapal bertanya-tanya apa yang dilakukan Mencar. Meski awalnya menganggap itu
aneh, mereka mengikuti juga apa yang dilakukan Mencar. Ia turun sejenak dari kapal, berlari
dan memegang tanganku.
Sepulang dari melaut ini, aku akan meminangmu, ia memelukku demikian erat, hingga
dipanggil lagi oleh ayahnya untuk segera kembali ke kapal.
Keesokan malamnya, badai datang. Semua perempuan melongokkan kepala ke luar rumah
demi memastikan benarkah badai yang tengah bertandang. Setelah itu mereka masuk ke
rumah masing-masing dan bersembunyi sambil merapalkan doa. Selepas badai kami
mendengar kabar tentang kapal-kapal yang hancur.
Hatiku menjadi suwung. Ibu Mencar setiap hari membawakan sesaji untuk laut dan menangis
setiap sore, memohon pada samudra untuk mengembalikan suami dan anaknya.
Beberapa hari kemudian, sebuah keanehan terjadi. Satu per satu nelayan terdampar. Mereka
seolah dikembalikan oleh lidah ombak, termasuk ayah Mencar yang pulang dengan utuh.
Setelah semua nelayan yang terdampar terkumpul, kami memastikan mereka adalah awak
kapal tempat Mencar turut serta. Sementara awak kapal lain menyisakan janda-janda dan
anak-anak yatim yang kini harus bertahan sendiri tanpa kepala keluarga.
Semuanya kembali, kecuali Mencar! Lebih dari sebulan aku dan ibu Mencar setiap sore pergi
ke bibir laut dan menyuguhkan sesajen agar Mencar kembali. Saat aku berpikir sudah tak ada
lagi harapan, tiba-tiba lidah ombak menggulung seseorang dari tengah laut.
Kami menghampiri sosok yang tergeletak itu.
Mencar! Mencar anakku! teriak Ibu Mencar. Aku tak memercayai ini, Mencar kembali dan
masih utuh. Kupandangi Mencar yang belum mau bicara. Mulutnya diam seolah tak mengerti
bahasa manusia. Tapi matanya, mata itu nyalang dan menyimpan sejuta cerita yang tak
terkatakan.
Beberapa malam kemudian, aku tak menyangka. Mencar datang mengetuk jendela kamarku.
Seperti malam-malam sebelum dia pergi melaut, sebelum badai itu menghantam, inilah yang
biasa dia lakukan: mengajakku pergi ke bibir pantai dan bercumbu di bawah bintang.
Mencar, lelakiku, telah kembali.
Kupikir kau sudah mati ditelan laut. Mencar diam. Kupandangi ceruk matanya yang
sedalam samudra. Aku seolah berenang dalam sorot mata yang telah menjadi keabu-abuan.
Matanya kini menjelma liar.
Apa yang telah terjadi?
Maafkan aku, aku sudah kawin dengan Putri Duyung. Aku tak bisa menikahimu.
***
Mencar tak pernah lagi melaut. Berita bahwa ia sudah kawin dengan Putri Duyung telah
menyebar seperti jamur.
Dan tiba-tiba, setiap pagi rumahnya penuh oleh para nelayan. Mereka memberikan pundi-
pundi pada Mencar. Kini Mencar hanya perlu turun ke halaman rumahnya, lalu mencium bau
laut dalam-dalam, dan ia akan membisikkan kepada seorang nelayan ke arah mana mereka
harus melaut. Di situlah mereka akan menemukan gerombolan ikan. Hidungnya telah
demikian tajam sehingga ia tak perlu lagi melihat ke laut untuk mengetahui letak ikan.
Matanya telah melihat laut yang sesungguhnya, seolah dirinya sendiri adalah peta samudra.
Tak lama, keluarga Mencar hidup bagai keluarga raja. Mereka tak perlu lagi bekerja. Mencar
menjadi sumber penghasilan bagi orangtuanya. Ibunya melelang keahlian Mencar mencium
bau laut setiap pagi. Siapa yang memiliki pundi paling besar, dialah yang akan diberi tahu
letak gerombolan ikan di laut. Mencar tak pernah benar-benar keluar dari rumahnya. Ibunya
pun selalu berseloroh kepada orang-orang kampung, Anakku menikah dengan Putri Duyung.
Dia Pangeran Laut yang hidup di darat.
Aku tak tahu apakah benar atau tidak, tapi ada nelayan yang pernah melihat Mencar ke laut
tengah malam, dan yakin benar bahwa perempuan berekor ikan menemuinya di bibir pantai.
Aku hanya mendengarkan, sambil menelan olok-olok orang-orang yang menanyakan apakah
aku akan mencari pacar baru atau bersaing dengan Putri Duyung.
Itu semua membuatku merasa seperti ombak yang pecah di tepi karang, berpencar dan pasrah
pada samudra yang menarik kembali air asin yang telah menjadi keping. Seperti itulah sakit
hatiku. Retak. Rusak.
Hingga suatu malam, ketika aku yang rentan sedang meresapi kesedihan, seseorang
mengetuk jendela kamarku. Aku tahu itu pasti Mencar. Ketika kubuka jendelaku, tanganku
menghambur memeluk tubuh Mencar.
Kupikir kau takkan pernah mengetuk jendelaku lagi.
Menikahlah denganku, ucap Mencar.
Tapi Putri Duyung itu?
Aku mencintaimu meskipun Putri Duyung itu telah menyelamatkan nyawaku. Temui aku
dari pintu depan.
Aku menutup jendela. Tak lama, terdengar ketukan pintu depan. Ayahku yang sedang
membersihkan jala bertanya siapa gerangan mengetuk pintu demikian keras di malam buta.
Kubuka pintu, dan Mencar berdiri di situ.
Mau apa kamu? tanya ayahku, ketus.
Saya ingin menikahi putrimu, karena saya mencintainya.
Kamu sudah menikah dengan Putri Duyung, dan kamu sudah membuat saya kelaparan
karena kamu mampu mencium bau laut, sedangkan saya tak mampu membayar keahlianmu.
Kamu cuma memperkaya saudagar ikan dan membuat nelayan kecil macam saya makin
tercekik.
Akan kuberikan maskawin segerombolan ikan yang bisa menghidupimu seumur hidup. Kau
bisa memanennya besok ketika kembali melaut. Dan, kapanpun kau melaut, ikan-ikan akan
menghampirimu.
Setelah Mencar meyakinkan ayahku, kami pun dinikahkan. Adikku menjadi saksinya. Malam
itu juga Mencar membawaku ke bibir pantai, dan di bawah bintang kami bercumbu. Ia
mengembalikanku ke rumah di tengah malam buta, dan berkata pada ayahku; besok ia akan
ikut melaut, menghadiahiku dan keluargaku, ikan yang akan menghidupi kami seumur hidup.
Aku tak percaya pendengaranku, Mencar akan kembali melaut.
Aku melepas Mencar, suamiku, yang pergi melaut bersama ayahku. Aku menunggu dengan
waswas di bibir pantai, setiap pagi dan sore. Beberapa hari kemudian, ayahku kembali tanpa
Mencar. Ia membawa kapal penuh dengan tangkapan laut serta sejumput cerita yang
kemudian menjadi legenda di kampung kecil kami: Setelah Mencar menunjukkan di mana
ikan-ikan berada, dia berjanji bahwa ayahku akan menjadi saudagar besar, dan di manapun ia
berada, ikan akan selalu mendatanginya. Lalu, ayahku melihat sosok perempuan cantik
dengan ekor ikan yang menggeliat di sekitar kapalnya. Mencar segera terjun ke laut.
Ayahku berusaha mencegahnya, tapi sosok itu memegang tangan Mencar dan menariknya
jauh ke dalam laut.
---
Ratih Kumala, lahir di Jakarta, 1980. Menulis novel, cerpen, dan skenario. Novel terkininya
Gadis Kretek (2012).

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan
belum pernah diterbitkan di media massa lain.
Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com dan cerpenmi@yahoo.co.id
@Cerpen_Mi







































PIGURA

Tahu Diri

ONO SARWONO



SEJAK reformasi bergulir, anak bangsa ini yang berminat dan bernafsu menjadi presiden
menjamur subur. Demikian halnya yang terjadi pada hari-hari ini menjelang pemilu presiden.
Mereka yang sudah bergelagat ingin menjadi calon presiden (capres) sudah seabrek, di
antaranya ada dari kalangan pejabat, mantan pejabat, politisi, dan pensiunan tentara.
Hal itu baik karena rakyat punya banyak pilihan. Apalagi, jika yang menjadi capres resmi
nanti ialah orang-orang hebat luar-dalam. Dengan demikian, siapa pun yang terpilih, besar
harapan kita, ia akan menjadi presiden amanah yang mampu mengantarkan rakyat mencapai
tataran hidup makmur dan sejahtera serta menjayakan negara.
Tentu saja untuk menjadi capres, seseorang harus memenuhi sejumlah syarat yang telah
diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Namun, di luar yang sifatnya administratif
tersebut, akan lebih baik pula bila setiap capres memenuhi syarat kapribaden.
Sederhananya, sebelum nyapres, mengukur-ngukur diri dulu. Apakah pantas, layak, patut,
dan benar-benar akan mampu menjadi pemimpin negara besar ini.
Syarat tersebut sekadar lter pribadi yang berdasar atas kesadaran diri. Bila itu dilakukan,
paling tidak akan menghindarkan diri dari cap sebagai capres tidak tahu diri, karena faktanya
tidak layak tetapi memaksakan diri maju. Perilaku demikian itu yang disebut bondho nekat.
Negara ini memang penuh anomali zaman edan, tetapi harapannya jangan sampai negara ini
dipimpin pemimpin anomali.
Dalam kearifan lokal kita, ada ajaran luhur terkait dengan kapribaden tersebut, yakni aja
rumangsa bisa nanging bisa arumangsa. Artinya kurang lebih, jangan hanya merasa bisa,
tetapi bisalah mengukur diri.

Menolak jadi raja

Dalam dunia wayang, ada kisah pangeran yang atas kesadaran pribadi secara jujur
menimbang dan mengukur diri hingga sampai pada suatu keputusan final, yakni menolak
menjadi penguasa atau raja.
Padahal, secara konstitusi dan aturan turunannya, ia memenuhi syarat. Dukungan rakyat pun
sudah dalam genggaman. Namun, jalan mulus itu tidak bisa menggoyahkan pendiriannya
untuk mengatakan, `tidak'. Ia kukuh merasa tidak pantas karena pancaindranya tidak
sempurna.
Kesatria itu bernama Destarastra, putra sulung Raja Astina Prabu Kresnadwipayana alias
Abiyasa dari istrinya, Dewi Ambika. Sejak lahir, Destarastra tidak bisa melihat. Dari sanggit
para dalang, itu merupakan `hukuman' dewa akibat ibunya, Ambika, selalu memejamkan
mata ketika saresmi (bersanggama) dengan Kresnadwipayana. Destarastra memiliki dua adik
laki-laki lain ibu, yakni Pandu dan Yama Widura.
Ketika ia dan keduanya adiknya beranjak dewasa, tiba saatnya Kresnadwipayana lengser
keprabon madek pandhita ratu, melepaskan kekuasaan untuk menjadi guru bangsa. Di usia
tuanya ia ingin memulai babak hidup baru sebagai paranpara (penasihat) titah sekaligus
meniti perjalanan spiritual yang lebih dalam guna mengayuh memanise pati atau
husnulkhatimah.
Dalam proses pergantian kepemimpinan, Kresnadwipayana berpedoman teguh pada
konstitusi. Yakni, bilamana raja mundur, yang harus menggantikan ialah anak laki-laki yang
paling tua. Karena itu, Kresnadwipayana menunjuk Destarastra untuk menduduki dampar
kencana atau takhta.
Penunjukan itu disampaikan pada pertemuan resmi yang dihadiri seluruh nayaka praja
(pejabat tinggi negara) dan keluarga istana. Tidak ada seorang pun yang tidak setuju.
Memang, demikianlah semestinya. Destarastra berhak atas takhta tersebut. Semua
menyambut sukacita.
Akan tetapi, ketika suasana masih diliputi jenjem (ketenteraman) menyambut akan
dikukuhkannya raja baru, tiba-tiba Destarastra mendekat dan meminta izin kepada ayahanda
untuk menyampaikan sikapnya. Dengan menyebut asma penguasa jagat dan menyembah, ia
menyatakan tidak bisa melaksanakan mandat negara karena merasa dirinya tidak memenuhi
syarat.
Mendengar itu, Kresnadwipayana sempat kaget. Ia kemudian meyakinkan bahwa kekurangan
dalam hal fisik itu bukan halangan karena itu atas kehendak dewa. Dukungan semacam juga
disampaikan keluarga dan seluruh pejabat negara. Namun, Destarastra membatu. Baginya,
menjadi pemimpin harus sempurna lahir dan batin.
Itulah yang ia sadari tidak ada pada dirinya. Namun, ia tidak pernah ngundat ngundat atau
mengeluhkan akan kekurangannya itu. Ia mengusulkan agar adiknya, Pandu, yang menjadi
raja. Menurutnya, Pandu paling pantas mengemban tugas melestarikan kejayaan nan
keagungan Astina.
Karena begitu kuatnya sikap dan kedewasaan kebangsaan anak sulungnya tersebut,
Kresnadwipayana mengangkat Pandu untuk menggantikannya. Kepada Pandu, Destarastra
menyatakan legawa dan berjanji akan tetap mendukung pemerintahannya untuk Astina.
Nilai kejujuran
Bila dibaca dari paham pragmatisme-aliran yang kian memberhala di negeri ini-barangkali
keputusan Destarastra tersebut dinilai sebagai langkah keliru atau aneh. Karena, itu
berlawanan dengan arus umum yang kebanyakan justru bersikut dan berlomba menduduki
jabatan. Bahkan untuk itu, mereka berani mengambil jalan menghalalkan segala cara.
Misalnya, ketika jelas-jelas sudah tidak bisa memenuhi persyaratan baku, mereka kemudian
berusaha mengakal-akali. Dengan kecanggihan akal-ukil-nya, lantas mengutak-atik segala
aturan agar bisa mengakomodasi kekurangannya. Inilah keprihatinan kita.
Dari kisah Destarastra tersebut, kita bisa memetik nilainya, yaitu tentang kejujuran pada diri
sendiri. Destarastra jujur mengukur diri sehingga tahu diri. Kualitas kejujurannya itulah yang
mampu mengendalikan nafsu-nafsu duniawi yang sering menyesatkan.
Baginya, kekuasaan bukan segala-galanya. Martabat kemanusiaan bukan terletak pada
jabatan dan pangkat, melainkan pada kemuliaan dan keluhuran budi pekerti. (M-3)

















BIDASAN BAHASA

Empati yang Dinanti

Ni Nyoman Dwi Astarini, Tim Bahasa Media Indonesia



Somasi sana-sini karena alpa berempati dalam ucapan.
Wakil Gubernur Dki Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih ngetop disapa Ahok,
gemas dengan perilaku pengendara kendaraan roda dua yang gemar melawan arus.
Kegemasan itu pun jelas terungkap ketika ia mengomentari peristiwa kecelakaan yang terjadi
di jalan layang nontol Antasari. Ahok berkomentar, Kami sudah bilang kamu jangan masuk;
kamu masuk, mati.
Komentar itu hakikatnya sebuah komentar jujur yang sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Namun, ketika diucapkan kala suasana duka korban kecelakaan, komentar Ahok pun terkesan
kejam, tak berperasaan. Terlebih, pilihan kata `mati' yang lazimnya digunakan untuk
menyebut binatang. Seperti kata pepatah mulutmu harimaumu, kata-kata, atau tutur kata, bisa
menjadi hal yang menyakiti, bahkan membahayakan.
Tak hanya Ahok, tentu kita masih ingat betapa ibu negara Ani Yudhoyono membuat
rangakaian kehebohan dengan beberapa update di Instagram. Kehebohan pertama terjadi
ketika Ibu Ani dengan emosi menanggapi seseorang yang mengomentari pilihan busana ia
dan keluarga saat berkunjung ke Pantai Klayar. Kata `bodoh' yang ditulis Bu Ani menjadi
pangkal kehebohan.
Namun, kemudian, pihak jubir istana mengonfirmasikan bahwa kata `bodoh' yang dimaksud
ibu negara bukanlah ditujukan untuk merendahkan si komentator, melainkan hanya ungkapan
betapa konyol komentar yang diberikan.
Bagaimanapun, kata sudah terlontar, dan sudah menyakiti si komentator yang kadung
ngambek dikata-katai sebagai orang bodoh.
Ahok dan Ibu Ani tentunya tidak bermaksud menyakiti dengan komentar-komentar itu.
Namun, sebagai manusia biasa, mereka tetaplah punya emosi yang bisa meledak kapan saja.
Komentar `bodoh' dari Bu Ani jelas dikeluarkan dalam kondisi yang emosional. Di lain
pihak, secara psikologis, orang yang menerima cap `bodoh' akan merasa rendah diri dan
jengah karena diberi label tidak berpendidikan atau tidak pintar.
Memang pemilihan diksi, waktu pengucapan, dan konteks kalimat membawa efek psikologis
bagi lawan bicara. Oleh karena itu, ada baiknya penutur berpikir, memilah, dan menyaring
terlebih dahulu pilihan diksi. Karena bukan tidak mungkin, pilihan kata akan menyakiti
perasaan lawan bicara.
Contoh lain bisa dilihat kala aplikasi BBM meluncur untuk sistem operasi Android dan iOS.
Setelah mengunduh aplikasi Blackberry Messanger (BBM), pengguna ponsel pintar berbasis
Android dan iOS pun memublikasikan nomor PIN BBM di media sosial. `Invite PIN BBM-
ku ya', kira-kira demikianlah update status pengguna baru BBM. Komentar yang paling
populer ialah `selamat datang di dunia autis'. Ungkapan itu bertujuan menyentil para
pengguna BBM yang antisosial, dan sibuk dengan ponsel pintar mereka.
Namun, yang tidak disadari ialah menyebut mereka menderita autis sangatlah merendahkan
para penderita autisme. Anak dengan autisme bukanlah anak antisosial yang berperilaku
negatif. Mereka ialah anak berkebutuhan khusus yang punya bakat unik serta butuh
penanganan dan perhatian lebih. Lalu, menyebut semua orang yang antisosial dengan sebutan
autis tentunya generalisasi yang salah. Penderita autis pun pasti akan merasa direndahkan jika
dicap sebagai orang yang antisosial.
Walhasil, menggunakan empati dalam berbahasa hendaknya dibudayakan dalam ruang
publik. Tidak hanya bagi figur publik, tapi juga bagi media massa. Jangan sampai terjadi
somasi sana, somasi sini karena kealpaan berempati dalam ucapan.

Você também pode gostar