Você está na página 1de 17

1

I. PENDAHULUAN
Akuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan yang
digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang bertujuan
untuk memberikan petunjuk dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalokasikan
sumber daya yang langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Namun, pemilihan dan
penetapan suatu keputusan bisnis juga melibatkan aspek-aspek keperilakuan dari para
pengambil keputusan. Dengan demikian, akuntansi tidak dapat dilepaskan dari aspek perilaku
manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi
(Ikhsan. 2005: 1)
Salah satu permasalah dalam akuntansi keperilakuan yang berkaitan dengan
pemrosesan informasi akuntansi, yaitu adanya perilaku manajemen laba (earning
management), yang merupakan perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan
keinginannya. Menurut Wijana (2010), perilaku manajemen laba selalu diasosiasikan dengan
perilaku yang negatif karena manajemen laba menyebabkan tampilan informasi keuangan
tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Scott (2009) dalam Aryati dan Walansedouw
(2013) menyatakan bahwa manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh manajer
dalam menentukan kebijakan akuntansi dalam proses pembuatan laporan keuangan untuk
mencapai beberapa tujuan tertentu. Di sisi lain, manajemen laba merupakan perilaku realistic
jika dikaitkan dengan konsep going concern, yaitu keberlangsungan hidup perusahaan, di
mana manajemen, shareholder & stakeholder sangat berkepentingan terhadap
keberlangsungan perusahaan kalau boleh juga diartikan manajemen, shareholder &
stakeholder juga menikmati manajemen laba tersebut atau bahkan mungkin memerlukannya
(Wijana, 2010).
Banyak pihak bahkan hampir semua pihak mengecam perilaku manajer yang
melakukan manajemen laba. Menurut Gideon (2005) dalam Wijana (2010), tindakan
earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang
secara luas diketahui, antara lain Enron Corporation yang merupakan salah satu contoh kasus
pelaksanaan manajemen laba terbesar yang pernah terjadi, Merck, World Com, dan mayoritas
perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett, Marcuss, Saunders dan Tehranian, 2006).
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma Tbk
yang melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi
adanya manipulasi, kasus Bank Century yang tiada ujung pangkalnya, serta banyak
perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia melakukan manajemn laba, tetapi sulit untuk
mendeteksinya. Bukti banyaknya perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Indonesia
2
yang terdeteksi melakukan manajemn laba, yaitu seperti ditunjukkan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Dwiadnyan,dkk (2014) yang berjudul Reaksi Pasar atas Manajemen Laba
pada Pengumuman Informasi Laba. Dalam penelitian tersebut yang perhitungannya
menggunakan model Jones yang dimodifikasi jumlah perusahaan yang melakukan
manajemen laba ada sebanyak 108 perusahaan dari 111 perusahaan manufaktur yang dapat
dianalisis menggunakan model Jones yang dimodifikasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh
tersebut tersebut dapat dijelaskan bahwa sebagaian besar perusahaan manufaktur di Bursa
Efek Indonesia melakukan praktik manajemen laba pada periode 2011 yang mengindikasikan
bahwa praktik manajemen laba lumrah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang sudah
listing di Bursa Efek Indonesia.
Perilaku manajemen laba yang dilakukan manajemen ternyata mengandung
pemahaman yang kontroversial. Di satu sisi selalu dipandang sebelah mata, bahkan dianggap
tidak bermoral karena cenderung menyesatkan. Sebaliknya, di sisi seberangnya justru tidak
direspons negatif, bahkan dapat dikatakan disetujui karena dapat mengurangi risiko/efisiensi
operasi perusahaan dan cenderung menunjang keberlangsungan jalannya perusahaan (Wijana,
2010). Hal tersebut cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam, apakah perilaku manajemen
laba tersebut dilakukan hanya demi kepentingan manajemen semata atau demi kepentingan
keberlangsungan perusahaan maupun stakeholder.
Menurut Sri Sulistyanto dalam bukunya Manajemen Laba (Teori dan Model Empiris,
2002), berbagai kasus manajemen laba terbukti telah mengakibatkan hancurnya tatanan
ekonomi, etika, dan moral, di mana masih ada perbedaan pandangan dan pemahaman
terhadap rekayasa manajerial. Sampai saat ini masih ada kontroversi dalam memandang dan
memahami manajemen laba. Secara umum kontroversi ini terjadi antara praktisi dan
akademisi yang pada dasarnya mempertanyakan apakah manajemen laba dapat dikategorikan
sebagai kecurangan (fraud) atau tidak.
Para praktisi menilai manajemen laba sebagai kecurangan, sementara akademisi
menilai manajemen laba tidak bisa dikategorikan sebagai kecurangan. Secara umum para
praktisi yaitu pelaku ekonomi, pemerintah, asosiasi profesi dan regulator lainnya, berargumen
bahwa pada dasarnya manajemen laba merupakan perilaku oportunis seorang manajer untuk
mempermainkan angka-angka dalam laporan keuangan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Perbuatan ini dikategorikan sebagai kecurangan karena secara sadar dilakukan
manajer perusahaan agar stakeholder yang ingin mengetahui kondisi ekonomi perusahaan
tertipu karena memperoleh informasi palsu.
3
Sementara para akademisi, termasuk peneliti berargumen bahwa pada dasarnya
manajemen laba merupakan dampak dari kebebasan seorang manajer untuk memilih dan
menggunakan metode akuntansi tertentu ketika mencatat dan menyusun informasi dalam
laporan keuangan. Hal ini disebabkan ada keberagaman metode dan prosedur akuntansi yang
diakui dan diterima dalam prinsip akuntansi berterima umum (Sulistyanto, 2002 : 3-4).
Dari berbagai kasus dan perbedaan pandangan tentang manajemen laba tersebut,
maka perlu dilakukan pengkajian mengenai factor-faktor yang memengaruhi dilakukannya
manajemen laba oleh manajer. Secara umum banyak penelitian yang mengaitkan perilaku
earning management ini dengan teori keagenan seperti yang dikemukakan oleh Salno dan
Baridwan (2000) dalam Restuwulan (2013) bahwa penjelasan tentang konsep manajemen
laba tidak terlepas dari teori keagenan (agency theory). Teori keagenan menyatakan bahwa
praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan
pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Adanya perbedaan kepentingan
antara manajemen dan pemilik tersebut dapat memengaruhi kebijakan yang diputuskan oleh
manajemen yang salah satunya yaitu melakukan manajemen laba.

II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori keagenan (agency theory)
Teori keagenan menyatakan bahwa perusahaan merupakan nexus of contract, yaitu
tempat bertemunya kontrak antar berbagai pihak yang berpotensi menimbulkan konflik
kepentingan. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen
tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan
(agency cost).
Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan
keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi
sesuai dengan kontrak. Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam
perusahaan, di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan
tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ali, 2002).
Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat
manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded
rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi
4
sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu
mengutamakan kepentingan pribadinya (Haris, 2004).
Manajemen laba yang dilakukan oleh manajer tersebut timbul karena adanya masalah
keagenan yaitu konflik kepentingan antara pemilik/pemegang saham (principal) dengan
pengelola/manajemen (agent) akibat tidak bertemunya utilitas maksimal di antara mereka
karena manajemen memiliki informasi tentang perusahaan lebih banyak daripada pemegang
saham sehingga terjadi asimetri informasi yang memungkinkan manajemen melakukan
praktik akuntansi dengan orientasi pada laba untuk mencapai suatu kinerja tertentu. Konflik
keagenan yang mengakibatkan adanya tindakan oportunistik manajemen sehingga laba yang
dilaporkan bersifat semu dan akan menyebabkan nilai perusahaan berkurang di masa yang
akan datang.
2.2 Teori akuntansi positif
Menurut teori akuntansi positif, pemilihan prosedur akuntansi yang digunakan
perusahaan tidak harus sama dengan perusahaan lainnya. Perusahaan diberi kebebasan
memilih salah satu dari alternatif prosedur yang ada untuk meminimumkan biaya kontrak dan
memaksimumkan nilai perusahaan. Adanya kebebasan untuk memilih prosedur yang tersedia,
maka manajer akan melakukan tindakan yang dinamakan oleh akuntansi positif sebagai
tindakan oportunis (opportunistic behavior). Teori akuntansi positif mengusulkan tiga
hipotesis manajemen laba (Belkaoui, 2007: 189, dalam Yasa, dkk. 2012) yaitu sebagai
berikut :
(1) Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih
mungkin menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income yang
dilaporkan pada periode berjalan. Alasannya adalah tindakan seperti itu akan meningkatkan
persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih.
(2) Hipotesis utang-ekuitas (debt to equity hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan semakin tinggi rasio utang/ekuitas perusahaan, yang
ekuivalen dengan semakin dekatnya (semakin ketatnya) perusahaan terhadap kendala-kendala
dalam perjanjian utang semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian dan terjadinya kos
kemacetan teknis, semakin mungkin manajer untuk menggunakan metode-metode akuntansi
yang meningkatkan income.
(3) Hipotesis kos politis (political cost hypothesis)
5
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan besar lebih mungkin untuk menggunakan
pilihan akuntansi yang mengurangi profit yang dilaporkan daripada perusahaan kecil.
2.3 Manajemen laba
Assih dan Gudono (2000) dalam Wijana (2010) mengartikan manajemen laba sebagai
suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted Accounting
Priciples (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan. Sedangkan, menurut
Scott (2009) dalam Aryati, dkk (2013), manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh
manajer dalam menentukan kebijakan akuntansi dalam proses pembuatan laporan keuangan
untuk mencapai beberapa tujuan tertentu.
Gunny (2005) mengelompokkan manajemen laba dalam tiga kategori, yaitu akuntansi
yang curang, manajemen laba akrual, dan manajemen laba riil (real earnings management).
Akuntansi yang curang meliputi pemilihan akuntansi yang melanggar prinsip-prinsip
akuntansi yang berlaku umum. Manajemen laba akrual meliputi pilihan akuntansi yang
diperbolehkan dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum yang mencoba untuk menutupi
atau mengaburkan kinerja perusahaan yang sebenarnya (Dechow dan Skinner, 2000).
Manajemen laba riil terjadi ketika manajer melakukan tindakan yang menyimpang dari
praktik operasi normal perusahaan untuk meningkatkan laba yang dilaporkan.
Scott (1997) dalam Wijana (2012), menyatakan terdapat beberapa faktor yang
mendorong manajer melakukan manajemen laba, antara lain; rencana bonus (bonus scheme),
kontrak hutang (debt covenant), motivasi politik (political motivation), motivasi pajak
(taxation motivation), perubahan Chief Executive Officer (CEO), dan penawaran saham
perdana (IPO).
Menurut Setiawati dalam Naim (1996), teknik manajemen laba dapat dilakukan
dengan tiga teknik yaitu sebagai berikut.
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Manajemen mempengaruhi laba melalui judgment (perkiraan) terhadap estimasi
akuntansi, antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi
aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi. Contoh:
mengubah metode akuntansi dari garis lurus menjadi jumlah angka tahun.
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan
6
Mengatur biaya yang terjadi dengan mempercepat/menunda biaya penelitian dan
pengembangan sampai periode berikutnya. Mengatur saat penjualan dengan
mempercepat/menunda pengiriman produk ke pelanggan.
Menurut Scott (1997), pola manajemen laba dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Taking a bath
Pola ini biasanya terjadi pada waktu terjadinya pengangkatan CEO yang baru dengan
melaporkan kerugian dalam jumlah yang besar. Tindakan manajemen ini diharapkan dapat
meningkatkan laba pada masa datang.
b. Income minimization
Hal ini dilakukan pada saat perusahaan mengalami profitabilitas yang cukup tinggi.
Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi apabila laba pada tahun yang akan datang menurun
secara drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
c. Income maximization
Hal ini dilakukan pada saat laba menurun. Income maximization bertujuan untuk
melaporkan nett income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan
oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang.
d. Income smoothing
Hal ini dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat
mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai
laba yang relatif stabil. (Wijana, 2010).
2.4. Metode manajemen laba
a. Manajemen laba akrual ( long term accrual model dan short term accrual model)
Short term dan long term accruals memiliki karakteristik yang berbeda. Short term
accruals terkait dengan cara melakukan manajemen laba yang berkaitan dengan aktiva dan
hutang lancar, biasanya waktu yang dilakukan adalah pada kuartal pertama atau satu tahun
buku. Sedangkan long - term accruals terkait dengan akun aktiva tetap dan hutang jangka
panjang (Kusuma, 2006). Manajer dapat mengambil keuntungan dari perbedaan karakteristik
tersebut. Manajer akan lebih mudah untuk memanipulasi data akuntansi melalui long - term
discretionary accruals, karena tindakan manajer tersebut tidak dapat dideteksi untuk
beberapa periode akuntansi berikutnya (Whelan dan McNamara. 2004 dalam Trisnawati, dkk,
2012). Sementara itu, pasar mungkin akan menganggap penggunaan long term discretionary
accruals adalah usaha manajer untuk membodohi pelaku pasar karena sifat dari akrual
tersebut yang memberikan kesempatan bagi manajer untuk melakukan manipulasi (Whelan
7
dan McNamara, 2004). Dengan demikian dampak yang ditimbulkan penggunaan long term
discretionary accruals akan lebih besar dibanding dengan short term discretionary accruals.
b. Manajemen Laba Riil
Manajemen laba riil adalah tindakan-tindakan manajemen yang menyimpang dari
praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mencapai target laba
(Roychowdhury, 2006; Cohen dan Zarowin, 2010). Manajemen laba riil dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) cara yaitu:
a. Manipulasi Penjualan
Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara temporer
dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau
memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat meningkatkan volume
penjualan dan laba periode saat ini, dengan mengasumsikan marginnya positif. Namun
pemberian diskon harga dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas
periode saat ini
b. Penurunan beban-beban diskresionari (dicretionary expenditures)
Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti beban penelitian dan
pengembangan, iklan, dan penjualan, adminstrasi, dan umum terutama dalam periode di
mana pengeluaran tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini
dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini, tetapi dengan resiko menurunkan arus
kas periode mendatang.
c. Produksi yang berlebihan (overproduction)
Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada
yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan menyebabkan
biaya tetap per unit produk lebih rendah. Strategi ini dapat menurunkan kos barang terjual
(cost of goods sold) dan meningkatkan laba operasi.
Ketiga cara manipulasi aktivitas riil di atas biasanya dilakukan oleh perusahaan-
perusahan dengan kinerja yang buruk sehingga tidak banyak memiliki akrual untuk
dimanipulasi. Satu-satunya cara adalah dengan manipulasi aktivitas riil tersebut terutama
untuk mencapai laba sedikit di atas nol. Dengan ketiga cara di atas perusahaan-perusahaan
yang diduga (suspect) melakukan manipulasi aktivitas riil akan mempunyai abnormal cash
flow operations (CFO) dan abnormal production cost yang lebih besar dibandingkan
perusahaan-perusahaan lain serta abnormal discretionary expenses yang lebih kecil.
Hasil survey Graham, Harvey dan Rajgopal (2005) menemukan bukti kuat bahwa 78%
dari 401 manajer sebagai responden jauh lebih bersedia untuk terlibat dalam manajemen laba
8
riil (real earnings management) daripada manajemen akrual untuk mencapai target laba.
Beberapa penelitian manajemen laba terkini menyatakan pentingnya memahami bagaimana
perusahaan melakukan manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil selain manajemen
laba berbasis akrual (Roychowdhury, 2006; Gunny, 2005;; Cohen et al., 2008; Cohen dan
Zarowin, 2010 dalam Trisnawati, dkk, 2012).
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Graham et al. (2005), Roychowdhury (2006)
menunjukkan para eksekutif keuangan lebih memilih untuk memanipulasi laba melalui
aktivitas-aktivitas riil daripada aktivitas akrual. Hal ini disebabkan oleh:
1. Manipulasi akrual cenderung membuat para audior atau regulator melakukan pemeriksaan
dengan cepat daripada jika keputusan-keputusan tentang aktivitas real atau produksi yang
dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa baik auditor ataupun regulator kurang memberikan
perhatian terhadap aktivitas-aktivitas riil yang dimanipulasi oleh managemen, sehingga
managemen memiliki kesempatan untuk memanfaat peluang ini dalam mencapai target
laba.
2. Hanya bersandar pada manipulasi akrual saja akan membawa resiko karena pengelolaan
laba dengan mengandalkan akrual diskresioner hanya dapat dilakukan pada akhir tahun.
Akan tetapi, strategi ini menimbulkan resiko yaitu jika jumlah laba yang perlu
dimanipulasi lebih besar daripada akrual diskresioner yang dapat digunakan manager.
Sehingga kemampuan manager dalam memanipulasi laba terbatas, akibatnya target laba
tidak dapat dicapai jika hanya mengunakan akrual diskresioner pada akhir tahun. Manager
dapat mengurangi resiko ini dengan memanipulasi aktivitas-aktivitas riil selama tahun
berjalan (Wei Yu, 2008).
Berdasarkan (Roychowdhury, 2006) dalam Subekti, Kee dan Ahmad (2010): pengukuran
manajemen laba riil menggunakan:
a. Abnormal cash flow operations (CFO / Arus kas operasi abnormal)
CFO abnormal adalah manipulasi laba yang dilakukan perusahaan melalui aliran
operasi kas yang akan memiliki aliran kas lebih rendah daripada level normalnya. Etimasi
nilai residu dari CFO merupakan nilai abnormal CFO.
b. Abnormal production cost (PROD) / Biaya kegiatan produksi abnormal
Abnormal production cost adalah Manajemen laba riil yang dilakukan melalui
manipulasi biaya produksi, di mana perusahaan akan memiliki biaya produksi lebih tinggi
daripada level normalnya. Estimasi nilai residu dari biaya produksi merupakan nilai abnormal
PROD
c. Abnormal discretionary expenses (DISC) /Biaya diskresionari abnormal
9
Abnormal discretionary expenses adalah manipulasi laba yang dilakukan melalui
biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan, biaya penjualan, administrasi, dan umum.
Estimasi nilai residu dari biaya diskresioner merupakan nilai abnormal DISC.
Kegiatan riil operasi dianggap dapat menangkap pengaruh riil lebih baik daripada
hanya akrual operasi. Indikasi keterlibatan manajemen perusahaan pendapatan dengan
manipulasi aktivitas nyata dapat ditunjukkan oleh nilai abnormal kegiatan. Pengukuran nilai
abnormal dari aktivitas setiap deviasi antara nilai aktual dan nilai aktivitas-aktivitas yang
diharapkan. Roychowdhury (2006) memberikan bukti empiris bahwa perusahaan melakukan
manajemen laba riil untuk menghindari melaporkan kerugian (Trisnawati, dkk. 2012).

III. PEMBAHASAN
Perilaku manajemen laba sering dikaitkan dengan perilaku oportunis dari manajemen
untuk memanipulasi informasi yang berkaitan dengan laba perusahaan demi keuntungan
pribadi. Namun, di satu sisi praktik manajemen laba merupakan tindakan efisiensi dari
manajer guna melindungi diri dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian tak
terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Sehingga perilaku
manajemen laba tersebut masih menjadi perdebatan, baik oleh para akademisi maupun para
praktisi. Perlu ditekankan di sini bahwa perilaku manajemen laba berbeda dengan perilaku
manipulasi laba. Letak perbedaannya, yaitu praktik manajemen laba tidak menyalahi aturan
dalam kebijakan akuntansi yang berterima umum, artinya praktik manajemen laba tersebut
dilakukan sesuai dengan kebijakan dan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum.
Sedangkan, manipulasi laba dilakukan dengan memanipulasi berbagai bukti transaksi serta
menyalahi aturan atau kebijakan serta prinsip akuntansi berterima umum.
Untuk memahami apakah perilaku manajemen laba tersebut termasuk perilaku yang
selalu merugikan atau bahkan menguntungkan, maka perlu dikaji faktor-faktor yang
mendorong manajer melakukan manajemen laba tersebut sehingga dapat dengan jelas
mengkategorikan perilaku manajemn laba tersebut adalah merupakan perilaku manajer
semata atau terdapat campur tangan pihak lain, khususnya shareholder yang nantinya
pertanggungjawaban atas dampak praktik manajemen laba tersebut tidak hanya dilimpahkan
pada manajer saja.
3.1. Faktor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba dengan dampak yang
positif
Setiap perilaku yang dilakukan seseorang pasti memiliki faktor pendorong sehingga
mereka melakukan berbagai tindakan baik tindakan positif maupun negative. Tidak semua
10
faktor pendorong yang positif dapat menghasilkan dampak yang positif, begitu pula tidak
semua faktor pendorong negatif menghasilkan dampak yang negatif.
Dalam kaitannya dengan praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer
pastinya juga memiliki faktor-faktor yang memotivasinya dalam melakukan tindakan
manajemen laba.
Adapun faktor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba dengan dampak yang
positif bagi perusahaan antara lain:
a. Faktor debt covenant (debt to equity) atau perjanjian kontrak utang.
Dalam hal perusahaan memiliki perjanjian kontrak utang yang bersyaratkan pada
pergerakan laba dan pada saat tersebut perusahaan memiliki rasio debt to equity yang tinggi
yang mengindikasikan bahwa utang perusahaan lebih besar dari pada modal yang dimiliki
perusahaan. Hal tersebut kemungkinan akan memengaruhi perjanjian kontrak utang yang
telah disepakati. Dampaknya bisa mengakibatkan pembatalan kontrak dan kreditur
kemungkinan akan menarik kembali dananya. Selain itu, perusahaan akan kesulitan dalam
meminjam dana kembali pada kreditor yang lain karena sudah terlanjur citranya tercoreng
akibat tidak mampu memenuhi perjanjian kontrak utang sebelumnya yang mengindikasikan
turunnya kepercayaan para kreditor maupun investor kepada perusahaan tersebut.
Hal ini tentunya akan memengaruhi harga saham perusahaan bahkan keberlangsungan
hidup (going concern) perusahaan tersebut, sehingga untuk mengatasi hal tersebut mau tidak
mau manajer tentunya akan melakukan manajemen laba agar laba yang dilaporkan tetap
stabil dan sesuai dengan perjanjian kontrak utang yang telah disepakati tersebut.
b. Factor motivasi politik
Berbicara masalah politik memang tidak akan ada habisnya, banyak bidang kehidupan
yang didalamnnya berkaitan dengan kepentingan politik. Begitu pula dalam hal praktik
manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat dimotivasi oleh aspek politik. Khususnya
bagi perusahaan-perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak atau perusahaan
yang bergerak dalam industry yang strategis, seperti perusahaan minyak bumi dan gas,
perusahaan listrik, perusahaan air, dan perusahaan telepon, cenderung mendapatkan perhatian
yang besar dari pemerintah dan masyarakat sehingga cenderung memperoleh banyak tekanan
dari berbagai regulasi yang dibuat pemerintah yang mana masyarakat cenderung akan
menuntut perusahaan untuk meminimalkan laba yang diambil, tetapi di sisi lain perusahaan
harus menanggung beban operasional yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sehingga
11
untuk mengatasi hal tersebut manajer cenderung akan melakukan manajemen laba, yaitu
meminimalkan laba bersih dengan menggunakan praktik dan prosedur akuntansi, khususnya
selama periode kemakmuran tinggi (high prosperity) yang nantinya pada saat perusahaan
mengalami kesulitan keuangan akan dapat diantisipasi dengan simpanan pendapatan tahun
sebelumnya. Hal ini dilakukan demi keberlangsungan perusahaan yang juga demi tetap bisa
memenuhi kebutuhan masyarakat.
c. Factor motivasi pajak (Tax motivation)
Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa manajer melakukan praktik manajemen laba dengan
motivasi pajak, yaitu memperkecil beban pajak. Hal ini dilakukan karena regulasi
pembebanan pajak oleh regulator terkadang dirasa memberatkan perusahaan. Selain itu,
perusahaan juga tidak selalu mampu mempertahankan labanya agar tetap tinggi dengan
kondisi persaingan yang semakin ketat dan konsdisi pasar serta ekonomi yang terus berubah
dan sulit diprediksi. Sehingga untuk mengurangi beban pajak yang dirasa dapat menekan
perusahaan, maka salah satu tindakan manajer yaitu melakukan manajemen laba.
d. Faktor motivasi Initial Public Offering (IPO)
Untuk perusahaan yang dalam penawaran saham perdananya tentunya belum
memiliki harga pasar di pasar saham sehingga agak sulit untuk menentukan harga penawaran
sahamnya sehingga para investor cenderung melihat posisi keuangan yang dirangkum dalam
prospektus yang diterbitka oleh perusahaan bersangkutan. Apabila perusahaan yang
melakukan penawaran saham perdana tersebut memiliki pergerakan laba yang fluktuatif
karena kondisi pasar yang fluktuatif dan tidak pasti, tentunya investor akan berpikir dua kali
untuk memeprtimbangkan akan membeli saham perusahaan tersebut atau tidak. Apalagi
untuk investor yang penghindar risiko tentunya akan tidak tertarik untuk berinvestasi pada
perusahaan tersebut.
Dampaknya bagi perusahaan adalah tidak lakunya saham yang ditawarkan tersebut
yang berpengaruh terhadap kondisi keuangan perusahaan karena dalam menerbitkan saham
tentunya ada proses yang menimbulkan biaya yang cukup besar, dan jika saham tersebut
tidak laku maka perusahaan akan merugi. Sehingga salah satu strategi yang dilakukan
manajer untuk mengantisipasi masalah tersebut adalah dengan melakukan manajemen laba,
di mana pada saat laba meningkat akan diturunkan dan digeser ke periode yang labanya
rendah atau dengan kata lain manajer cenderung menerapkan income smooting yang
12
menunjukkan laba yang stabil. Dengan menunjukkan laba yang stabil maka diharapkan
mampu menarik investor untuk membeli saham perdana perusahaan tersebut.
Selain keempat faktor pendorong tersebut, terdapat pula faktor lainnya seperti untuk
tetap menjaga kestabilan harga saham sekunder di pasar saham. Perusahaan yang memiliki
pergerakan laba yang kurang stabil atau berfluktuasi cenderung dinilai berisiko oleh investor
sehingga investor akan mempertimbangkan apakah akan menjual sahamnya atau justru akan
menambah dana investasinya pada perusahaan tersebut. Sehingga untuk mengatasi hal
tersebut, manajer cenderung akan melakukan manajemen laba karena tidak semua faktor
yang memengaruhi besarnya laba ditentukan dalam perusahaan, ada faktor-faktor luar yang
turut memengaruhi besarnya pendapatan yang tidak dapat dikendalikan oleh manajer. Jadi,
untuk mengantisipasi berbagai faktor di luar perusahaan yang tidak dapat dikendalikan oleh
manajer, maka manajemen cenderung akan melakukan strategi manajemen laba guna
menstabilkan laba perusahaan demi keberlangsungan perusahaan.
Melihat kenyataan tersebut tentunya perilaku manajemen laba dilakukan guna
kebaikan perusahaan, shareholder maupun stakeholder. Sehingga bila dilihat dari factor-
faktor pendorong serta dampak yang ditimbulkannya, perilaku manajemen laba yang
dilakukan oleh manajer bukanlah perilaku yang oportunistik dalam artian perilaku yang
hanya untuk keuantungan manajer semata.
3.2. Faktor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba dengan dampak yang
negatif
Selain factor-faktor motivasi yang berdampak positif, praktik manajemen laba juga
terkadang dilakukan untuk kepentingan manajemen semata.
Adapun factor-faktor yang memotivasi praktik manajemen laba yang berdampak
negative, antara lain:
a. Bonus Scheme
Dalam memotivasi kinerja manajer, perusahaan cenderung akan memberikan reward
berupa bonus yang besarannya ditentukan berdasarkan pendapatan atau laba yang dicapai
oleh manajer. Manajer yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan
sedangkan stakeholder memiliki keterbatasan informasi terhadap informasi perusahaan dan
mengetahuinya lewat laporan keuangan, sehingga hal tersebut dimanfaatkan oleh manajer
untuk memanipulasi informasi dengan menggunakan berbagai fleksibilitas dari penggunaan
kebijakan maupun prinsip dan metode akuntansi yang mampu meningkatkan laba perusahaan
pada periode tersebut yang tentunya akan berpengaruh pada besarnya bonus yang akan
13
diterima oleh manajer. Tindakan manajer tersebut tentunya berdampak buruk bagi
perusahaan maupun bagi stakeholder.
b. Pergantian CEO
Pada saat terjadinya pergantian CEO, cenderung akan terjadi praktik manajemen laba
baik oleh CEO yang lama maupun yang baru. Untuk CEO yang mendekati masa akhir
penugasan atau pensiun akan melakukan strategi manajemen laba, yaitu memaksimalkan laba
untuk meningkatkan bonusnya. Begitu pula untuk CEO yang akan dipecat akibat kurang
berhasil memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung melakukan manajemen laba dengan
memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. Sedangkan untuk
CEO yang baru menjabat, guna menunjukkan kinerjanya yang baik walaupun kinerja
sebenarnya buruk, untuk menutupi hal tersebut CEO cenderung melakukan manajemen laba
dengan menurunkan laba sebelum ia menjabat dan memaksimalkan laba ketika ia sudah
menjabat sehingga kesalahan tersebut dilimpahkan pada CEO sebelumnya.
Selain faktor pendorong di atas, kecenderungan manajemen untuk tetap
mempertahankan nama baiknya sendiri serta pemenuhan kepentingannya sendiri seperti
melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba ketika manajer ikut memiliki
saham perusahaan sehingga meningkatkan harga saham yang kemudian akan dijual kepada
investor lain. Setelah menjual sahamnya, manajer akan meminimalkan laba, sehingga harga
saham menurun dan pada saat itu, ia akan membeli saham perusahaan dengan harga yang
lebih rendah daripada harga jual saham sebelumnya. Dari hal tersebut ia akan memperoleh
capital gain dari penjualan saham tersebut. Perilaku manajer yang melakukan manajemen
laba guna mendapatkan capital gain menunjukkan bahwa praktik manajemen laba dilakukan
untuk kepentingan dan keuntungan manajer semata.
Dampak negatif akibat manajemen laba dengan motivasi di atas tersebut seperti,
menghasilkan informasi yang bias, artinya informasi yang dilaporkan oleh manajer tidak
sesuai dengan fakta atau keadaan perusahaan sesungguhnya yang tentu saja akan
memengaruhi keputusan stakeholder yang cenderung akan mengambil keputusan yang salah
atau keliru sehingga pengalokasian sumber daya akan tidak tepat guna. Selain itu, praktik
manajemen laba juga akan memengaruhi perilaku masyarakat utamanya para investor dan
kreditor dalam hal tingkat kepercayaan terhadap laporan keuangan yang dilaporkan oleh
perusahaan lambat laun akan terkikis hingga mereka sama sekali tidak mempercayai
informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut sehingga akan berdampak pada
penurunan fungsi dan kualitas dari laporan keuangan tersebut.
14
3.3. Titik tengah pro dan kontra terhadap perilaku manajemen laba (Manajemen
sebagai pelaku sekaligus korban)
Permasalahan praktik manajemen laba masih saja menjadi kotroversi. Setiap
pandangan seseorang pastinya memiliki alasan yang kuat untuk menyatakan tindakan tersebut
baik atau buruk. Namun dalam hal praktik manajemen laba kita tidak dapat menyatakan
secara gamblang bahwa tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer tersebut adalah
selalu buruk. Seperti diuraikan sebelumnya pada faktor-faktor yang mendorong perilaku
manajemen laba, tidak setiap praktik manajemen laba menghasilkan dampak yang buruk.
Namun, perlu dikaji dan dianalisis factor-faktor pendorong manajer melakukan manajemen
laba serta bagaimana dampaknya bagi perusahaan maupun para stakeholder.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perilaku manajemen laba tidak hanya didorong oleh
keinginan manajer untuk memperoleh keuntungan pribadi tetapi terkadang harus dilakukan
demi keberlangsunan perusahaan dan juga meningkatkan kesejahteraan shareholder.
Sehingga dapat dikatakan bahwa manajer dalam melakukan manajemen laba merupakan
pelaku sekaligus korban dari tindakan manajemen laba tersebut. Mengapa demikian? Karena
manajemenlah yang akan selalu ditimpakan tanggung jawab terhadap setiap permasalahan
dalam perusahaan. Di sisi lain, manajer sebagai pelaku manajemen laba karena ia
melakukannya demi kepentingannya sendiri, di sisi lainnya, manajer sebagai korban
dipersalahkan serta bertanggung jawab atas tindakannya dalam melakukan manajemen laba
yang sebenarnnya dilakukan untuk keberlangsungan perusahaan dan untuk kepuasan para
stakeholder.
3.4. Solusi untuk mengatasi perilaku manajemen laba
Hal mendasar yang mengakibatkan munculnya praktik manajemn laba adalah karena
adanya konflik kepentingan antara agent dan principal, sehingga salah satu cara untuk
mengatasi praktik manajemn laba adalah dengan menyelaraskan tujuan serta kepentingan
antara agent dan principal. Salah satu caranya yaitu dengan menerapkan corporate
governance seperti yang dikemukanan dalam Simposium Nasional Akuntansi tahun 2007,
dalam pelaksanaan corporate governance terdapat empat mekanisme, yaitu peran komisaris
independen yang berfungsi dalam melakukan pengawasan, sehingga mengurangi terjadinya
konflik keagenan yang terjadi dalam perusahaan yang tentunya dapat meminimalkan praktik
manajemen laba, adanya kepemilikan manajerial dan institusional yang mampu
menyelaraskan kepentingan manajer dengan pemegang saham yang tentunya dapat
meminimalisir perilaku manajemn laba, serta kualitas dari auditor juga mampu
meminimalkan praktik manajemen laba karena dengan adanya audit yang ketat tentunya
15
setiap perilaku manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat terdeteksi, utamanya
auditor perlu memberikan perhatian terhadap kemungkinan terjadinya manajemen laba riil
yang memang cukup sulit untuk dideteksi.
Solusi lain untuk mengatasi praktik manajemen laba adalah dengan membatasi
diskresi pada standar akuntansi keuangan sehingga praktik manajemn laba yang
memanfaatkan hal tersebut dapat diminimalkan. Selain itu, dengan meningkatkan prasyarat
pengungkapan yang lebih ketat guna peningkatan transparansi sehingga tidak terjadi asimetri
informasi yang dapat memperkecil kesempatan manajer untuk melakukan manajemn laba,
serta regulasi dan sangsi yang lebih ketat, sehingga manajer akan berpikir lebih panjang
untuk melakukan praktik manajemen laba.
Selain solusi tersebut, pendidikan karakter dari seorang manajer juga penting guna
mengatasi praktik manajemn laba karena karakter seseorang dapat memengaruhi perilaku dan
cara berpikir yang tentunya juga kan memengaruhi setiap keputusan yang kan diambilnya.
Jadi, perlu juga adanya pendidikan karakter untuk para manajer yang dilakukan sejak dini
serta berkelanjutan guna menanamkan karakter yang berintegritas tinggi sehingga pemikiran
untuk melakukan kecurangan seperti praktik manajemen laba ini dapat diminimalkan.

IV. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa praktik manajemen laba
yang dilakukan oleh manajer tidak selalu dilakukan demi kepentingan pribadi manajer, tetapi
dalam situasi tertentu, seperti untuk memenuhi perjanjian kontrak utang, guna tetap menjaga
citra perusahaan, memperkecil beban pajak guna keberlangsungan perusahaan, penerbitan
saham perdana, dan strategi bisnis lainnya yang berkaitan dengan keberlangsungan operasi
perusahaan, tentunya praktik manajemen laba tersebut tidak dapat dipandang sebagai perilaku
oportunis manajer.
Untuk menilai perilaku manajemen laba tersebut baik atau buruk perlu dikaitkan
dengan factor yang memotivasi perilaku manajemn laba tersebut serta dampak yang
ditimbulkan karena manajer tidak selalu menjadi pelaku manajemen laba, tetapi dalam situasi
tertentu dapat pula menjadi korban dari perilaku manajemen laba tersebut.
Dan untuk mengatasi serta meminimalkan praktik manajemen laba dapat dilakukan
dengan menerapkan konsep corporate governace, penetapan regulasi dan pengungkapan
yang ketat, serta perlunya dilakukan pendidikan karakter bagi para manajer.


16
DAFTAR PUSTAKA

Aryati, dkk. 2013. Analisi Pengaruh Diversifikasi Perusahaan terhadap Manajemen Laba.
Jurnal Akuntansi & Auditing Volume 9/No. 2/MEI 2013 : 244 - 260

Dwiadnyana, dkk. 2014. Reaksi Pasar atas Manajemen Laba pada Pengumuman Informasi
Laba. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana 7.1 (2014):165-176

Ikhsan, Arfan,dkk. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta: Salemba Empat.
Nasution, Marihot, dkk. 2007. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba
Di Industri Perbankan Indonesia. Simposium akuntansi nasional X Unhas Makasar 26-28 juli

Priantinah, Denies. 2008. Eksistensi Earnings Manajemen dalam Hubungan Agen
Prinsipal. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia. Vol. VI. No. 2 Tahun 2008 Hal. 23 36

Putra, Wijana Asmara. 2010. Manajemen Laba: Perilaku Manajemen Opportunistic atau
Realistic ?. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana

Sulistyanto, Sri. 2002. Manajemen Laba (Teori dan Model Empiris). Jakarta: Salemba Empat
Trisnawati, dkk. 2012. Pengukuran Manajemen Laba: Pendekatan Terintegrasi (Studi
Komparasi Perusahaan Manufaktur yang Tergabung Pada Indeks Jii dan LQ 45 Bursa Efek
Indonesia Periode 2004-2010). Jurnal akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta























17
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
AKUNTANSI KEPERILAKUAN
EARNING MANAGEMENT,
MANAJER SEBAGAI PELAKU SEKALIGUS KORBAN








NI NYOMAN YUDARI
NIM. 1214081027
IVB






JURUSAN AKUNTANSI PROGRAM S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2014

Você também pode gostar