Você está na página 1de 100

MODUL: 4

PERENCANAAN PERKERASAN LENTUR


American Association of State Highway and
Transportation Officials
(AASHTO 1993)

Oleh:
Ir. Suherman, M.Eng, Ph.D
a. mahasiswa dapat mengidentifikasi (identify) struktur
perkerasan lentur;
b. mahasiswa dapat menjelaskan (explain) parameter-
parameter untuk perencanaan tebal lapis perkerasan lentur
dan pelapisan ulang;
c. mahasiswa dapat merencanakan (design) tebal lapis
perkerasan lentur dan pelapisan ulang..
LEARNING OUTCOME

STRUKTUR PERKERASAN LENTUR

STRUKTUR PERKERASAN LENTUR

STRUKTUR PERKERASAN LENTUR
1. Metoda empiris
Metoda yang pada dasarnya dikembangkan
berdasarkan pengalaman dan penelitian dari
jalan-jalan yang dibuat khusus untuk
penelitian atau dari jalan yang sudah ada,
contoh AASHTO 1993, NAASRA, Road Note
29/ 31

METODA PERENCANAAN
2. Metoda mekanis
Didasarkan kepada teori elastis (elastic
layered theory), dimana metoda ini
membutuhkan data nilai modulus
elastisitas dan poisson ratio dari setiap
lapisan perkerasan yang digunakan.

METODA PERENCANAAN
3. Metoda mekanis empiris
Merupakan metoda yang
menggabungkan kedua metoda
sebelumnya, metoda empiris dan
metoda mekanis, contoh AASHTO 2002.

METODA PERENCANAAN
AASHTO dan The Asphalt Institute
(Amerika),
Road Note (Inggris),
NAASRA (Australia) dan
Bina Marga (Indonesia).

METODA PERENCANAAN
Metode empiris AASHTO (AASHTO, 1993),
berdasarkan AASHO Test pada akhir tahun
1950, adalah metode perencanaan perkerasan
yang paling banyak digunakan saat ini.
Persamaan desain AASTHO adalah hubungan
regresi antara jumlah siklus beban, kapasitas
struktural perkerasan, dan kinerja, diukur dari
sisi tingkat serviceability/ pelayanan.
METODA AASHTO 1993
Konsep serviceability diperkenalkan
dalam metode AASHTO sebagai ukuran
tidak langsung dari kualitas pelayanan
perkerasan.
Indeks serviceability didasarkan pada
kerusakan (distreeses) permukaan yang
umumnya ditemukan pada perkerasan

METODA AASHTO 1993
AASHTO DESIGN GUIDE EVOLUTION


AASHO Road Test
AASHTO Design Guide
1 set material
1,1 juta beban repetisi Struktur seksi terbatas
1 iklim / 2 tahun
50+ juta beban repetisi
Semua iklim selama 20 40 tahun
Bermacam-macan struktur/disain rehab
Baru dan bermacam-macam material
AASHTO DESIGN GUIDE EVOLUTION
AASHO ROAD TEST

Construction: August 1956 - September 1958
Test Traffic: October 1958 - November 1960
Special Studies: Spring and early summer 1961
TEST LOOPS

FLEXIBLE MATERIALS

HMA
Dense-graded
85-100 pen asphalt
Base Course
Crushed limestone
10% passing No. 200
Average CBR = 107.7
Subbase Course
Sand/gravel mixture
6.5% passing No. 200
CBR = 28 51
Subgrade
A-6 soil (silt/clay)
82% passing No.
200
Average CBR = 2.9
Optimum wc = 13%

FLEXIBLE SECTIONS

HMA
1 to 6 inches thick

Base Course
0 to 9 inches thick

Subbase Course
0 to 16 inches thick
Thickest section
6 inches HMA
9 inches base
16 inches subbase
Used for heavy loads
2.6 to 3.6 PSI at test end
Thinnest section
1 inch HMA
Used for light loads
8 to 25 ESALs to failure

FLEXIBLE PERFORMANCE
Majority failed
Even thickest sections sustained appreciable
damage
Most failed during spring thaw
Frost action was a major contributor
Thicker base & subbase helped to mitigate frost
action

METODA AASHTO 2002
1. Metode AASHTO 2002 termasuk metode
empirik mekanistik merupakan perpaduan
dari metode empirik dan mekanistik.
2. Dengan metode ini faktor faktor empiris
masih diperhitungkan tetapi juga
disesuaikan dengan persamaan dasar
metode mekanistik.

Selesai
Menghitung
D1,D2,D3
W18 Desain W18 Trafic
Persamaan AASHTO
W18 Desain
Mulai
Parameter Desain
INPUT DATA :
Data Lalu lintas,
Golongan Kendaraan
DD, DL, n, g,, ZR, Pt
Po, PSI , So, Keff, Cd,
Mr, ai, m
Asumsi SN (faktor
tebal perkerasan)
Faktor ESAL
W18 Trafic
Lalu lintas
Rencana (18)
HASIL PERANCANGAN
Gambar Tebal Perkerasan
Lentur
Tidak
Ya
PROSEDUR PERENCANAAN
a. Gambar 1 memperlihatkan nomogram untuk menentukan
Struktural number rencana yang diperlukan.
b. Nomogram tersebut dapat dipergunakan apabila dipenuhi
kondisi-kondisi berikut ini:
1. Perkiraan lalu-lintas masa datang (W
18
) adalah pada
akhir umur rencana,
2. Reliability (R).
3. Overall standard deviation (S
0
),
4. Modulus resilien efektif (effective resilient modulus)
material tanah dasar (MR),
5. Design serviceability loss (PSI = IP
0
IP
t
).
PROSEDUR PERENCANAAN
c. Perhitungan perencanaan tebal perkerasan dalam
pedoman ini didasarkan pada kekuatan relatif masing-
masing lapisan perkerasan, dengan rumus sebagai
berikut :
ITP = a
1
D
1
+ a
2
D
2
+ a
3
D
3
Dimana:
a
1
, a
2
, a
3
=Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan
D
1
, D
2
,D
3
=Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)


PROSEDUR PERENCANAAN
d. Jika kualitas drainase dipertimbangkan, maka
persamaan di atas dimodifikasi menjadi :
ITP = a
1
D
1
+ a
2
D
2
m
2
+ a
3
D
3
m
3
Dimana :
a
1
, a
2
, a
3
=Koefisien kekuatan relatif bahan
perkerasan (berdasarkan besaran mekanistik)
D
1
, D
2
, D
3
=Tebal masing-masing lapis perkerasan
m
2
, m
3
=Koefisien drainase


PROSEDUR PERENCANAAN
e. Angka 1, 2, dan 3, masing-masing untuk
lapis permukaan, lapis pondasi, dan
lapis pondasi bawah.
f. Selain menggunakan Gambar 1, ITP
juga dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut ini.
PROSEDUR PERENCANAAN





FORMULA

NOMOGRAM
1
2
3
4
5
Gambar 1: Nomogram
Data untuk perencanaan tebal perkerasan lentur
antara lain adalah sebagai berikut:
1. CBR tanah dasar
a. Data CBR tanah dasar didapatkan dari hasil uji
DCP (Dynamic Cone Penetrometer).
b. Data CBR dianalisa dengan metode grafis
untuk mendapatkan nilai CBR rencana.
c. Nilai CBR rencana adalah nilai persentase
kumulatif 90%.
DATA PERENCANAAN
d. Nilai CBR diurutkan dari nilai terendah ke
nilai tertinggi dan dihitung nilai CBR yang
sama atau lebih besar.
e. Setelah itu, dihitung nilai persentase CBR
kumulatif yang sama atau lebih besar.
f. Nilai CBR yang telah dianalisa tersebut
dapat dilihat pada Tabel 1.
DATA PERENCANAAN
Tabel 1. Nilai CBR kumulatif ruas Km. 35 Pulang Pisau
DATA PERENCANAAN
g. Tabel 1 dibuat grafik antara nilai % CBR
kumulatif dengan nilai CBR yang sudah
diurutkan dan dicari nilai CBR kumulatif 90%-
nya.
h. Nilai CBR tersebut digunakan sebagai nilai
CBR rencana untuk perencanaan perkerasan
lentur.
i. Grafik hubungan antara nilai CBR dan % CBR
kumulatif dapat dilihat pada Gambar 2.
DATA PERENCANAAN







Gambar 2. Grafik hubungan antara CBR tanah dasar dan
% CBR kumulatif
DATA PERENCANAAN
j. Berdasarkan Gambar 2 didapat nilai CBR pada
percentile 90% sekitar 3,25%.
k. Dengan demikian nilai CBR rencana ditetapkan
sebesar 3,25%.
DATA PERENCANAAN
2. Lalulintas
a. Kendaraan dibagi kedalam 8 kelompok dalam
perhitungan lalu lintas, mencakup kendaraan
bermotor dan kendaraan tidak bermotor yang
dapat dilihat pada Tabel 2.
DATA PERENCANAAN
Tabel 2. Kelompok jenis kendaraan dalam perhitungan lalulintas
DATA PERENCANAAN

DATA PERENCANAAN
b. Besarnya Gross Vehicle Weight (GVW) menggunakan
spesifikasi kendaraan yang beredar dipasaran.
c. Data lalu lintas dicatat pada tahun 2007 dalam 2 arah
(Km. 35 Pulang Pisau dan Pulang Pisau Km.35).
d. Faktor pertumbuhan lalulintas ditetapkan sebesar
6,5% untuk semua jenis kendaraan dan tidak berubah
selama umur perkerasan.
e. Jalan direncanakan untuk dibuka pada tahun 2011
maka proyeksi data lalu lintas diproyeksikan dengan
perhitungan sebagai berikut.
DATA PERENCANAAN

0
=(1+)

2011
=
2007
(1+)

2011
=826(1+6,5%)
4
=1.063
dengan:
LHR
0
= lalulintas harian rata rata pada awal umur rencana
LHR = lalulintas harian rata rata saat pengambilan data
i = faktor pertumbuhan lalulintas selama masa pelaksanaan (%)
n = jumlah tahun, sejak pengambilan data sampai dengan awal
pelakasanaan
DATA PERENCANAAN
f. Data lalulintas yang diperlukan perencanaan tebal
lapis perkerasan ditunjukan pada Tabel 3.
Tabel 3. Data lalulintas Km.35 Pulang Pisau tahun 2007.
DATA PERENCANAAN
1. Besarnya pertumbuhan lalulintas
telah ditetapkan sebesar 6,5 %
untuk semua jenis kendaraan
selama umur rencana.
2. Pertumbuhan lalulintas dihitung
dengan persamaan:
FAKTOR PERTUMBUHAN





dengan:
g = persentase pertumbuhan lalulintas (%)
n = umur rencana (tahun)
FAKTOR PERTUMBUHAN
1. Tingkat pelayanan dibagi menjadi dua yaitu tingkat
pelayanan awal (p
i
) dan tingkat pelayanan akhir
(p
t
).
2. Tingkat pelayanan awal berdasar AASHTO
diharuskan sama atau lebih dari 4,0.
3. Nilai tingkat pelayanan awal (p
i
) yang
direkomendasikan oleh AASHTO Road Test
adalah 4,2.
TINGKAT PELAYANAN
4. Angka PSI diperoleh dari pengukuran
kekasaran (roughness), dan pengukuran
kerusakan (distress) seperti retak retak,
amblas, alur, dan tipe kerusakan lain selama
masa pelayanan.
5. Angka PSI pada akhir umur rencana adalah
angka yang masih dapat diterima sebelum
dilakukannya pelapisan ulang (overlay).

TINGKAT PELAYANAN
6. Angka antara 2,5 atau 3,0 adalah yang
disarankan untuk digunakan pada jalan kelas
tinggi, sedangkan angka 2,0 untuk jalan
kelas rendah.
7. Tetapi apabila pertimbangan ekonomi
menjadi faktor yang berpengaruh, maka nilai
p
t

= 1,5 dapat digunakan.
TINGKAT PELAYANAN
8. Salah satu kriteria untuk menentukan
tingkat pelayanan terendah pada akhir
umur rencana (p
t
) dapat didasarkan dari
volume lalulintas.
9. Nilai p
t

berdasar volume lalu lintas
ditunjukan Tabel 1.
TINGKAT PELAYANAN
Tabel 1. Indeks pelayanan akhir berdasar volume lalu lintas

TINGKAT PELAYANAN
10. Nilai indeks pelayanan akhir (p
t
) ditetapkan berdasar
volume lalulintas ADT = 2012 sebesar 2,0 (Tabel 16).
11. Selanjutnya PSI dapat dihitung dengan perhitungan
sebagai berikut: =


=4,22,0=2,2
dengan:
p
i
= Indeks pelayanan pada awal umur rencana
p
t
= Indeks pelayanan pada akhir umur rencana

TINGKAT PELAYANAN
1. Standar deviasi keseluruhan (S
0
) adalah gabungan
simpangan standar dari perkiraan lalulintas dan
pelayanan perkerasan.
2. Besarnya nilai standar deviasi keseluruhan pada
AASHTO ini tergantung jenis perkerasan dan variasi
lalulintas.
3. Kisaran standar deviasi (S
0
) yang disarankan untuk
perkerasan lentur adalah 0,35 0,45.
4. Untuk perkerasan lentur dengan mempertimbangkan
variasi lalulintas digunakan standar deviasi
keseluruhan (S
0
) sebesar 0,45.

STANDAR DEVIASI
1. AASHTO menghitung angka ekivalen (E
x
)
sebagai perbandingan umur perkerasan
akibat beban lalu lintas standar (18 kips)
terhadap umur perkerasan akibat beban lalu
lintas non standar (x kips), dan besarnya
tergantung dari jenis sumbu, indeks
pelayanan akhir (p
t
), serta besarnya angka
structural number.
FAKTOR ESAL
2. Sebelum menghitung faktor ESAL, beban
sumbu kendaraan diubah dari satuan ton ke
dalam kips terlebih dahulu.
3. Fungsi logaritma dari perbandingan antara
kehilangan tingkat pelayanan dari p
0

sampai
p
t
dengan kehilangan tingkat pelayanan p
0

=
4,2 dan p
t

= 1,5 dinyatakan sebagai nilai G.
FAKTOR ESAL
4. Untuk menentukan Faktor ESA, nilai G dihitung
dengan nilai p
t

yang telah ditentukan sebelumnya
yaitu sebesar 2.
5. Nilai G dapat dilihat pada perhitungan berikut:




FAKTOR ESAL
dengan:
G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan
p
t

= indeks pelayanan (serviceability index) akhir (p
t
)

6. Fungsi desain dan variasi beban sumbu kendaraan
yang menyatakan jumlah perkiraan banyaknya sumbu
kendaraan yang akan diperlukan sehingga permukaan
perkerasan mencapai tingkat pelayanan = 1,5
dinyatakan sebagai .
FAKTOR ESAL
7. Nilai SN yang telah disesuaikan dengan hasil
perhitungan adalah 3,65181.
8. Nilai SN digunakan untuk menghitung
x

dan

18
.
Contoh perhitungan
x
dengan SN 3,65181
untuk kendaraan golongan 2 & 3 yang
memiliki berat sumbu depan 2,2046 kips:
FAKTOR ESAL





dengan:
= faktor desain dan variasi beban sumbu
SN = structural number
L
x
= beban sumbu yang akan dievaluasi (kips)
L
18
= beban sumbu standar (18 kips)
L
2

= notasi konfigurasi sumbu
1 = sumbu tunggal, 2 = sumbu ganda dan 3 = sumbu tripel
FAKTOR ESAL
Hasil perhitungan nilai
18

dengan SN 3,65181 adalah sebagai berikut:







Nilai W
x
/ W
18
dapat dihitung setelah nilai G,
18
, dan
x

diketahui.
FAKTOR ESAL
Sebagai contoh perhitungan W
x
/W
18
untuk kendaraan
golongan 2 & 3 adalah sebagai berikut:
FAKTOR ESAL
dengan:
W = ekivalen beban sumbu standar (W= 18.000 lbs (80
kN))
G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan
L
x
= beban sumbu yang akan dievaluasi (kips)
L
18
= beban sumbu standar (18 kips)
L
2

= notasi konfigurasi sumbu
1 = sumbu tunggal, 2 = sumbu ganda dan 3 = sumbu
tripel
FAKTOR ESAL
9. Nilai faktor ESAL (LEF) dapat dihitung setelah
W
x
/W
18
diketahui.
Sebagai contoh, LEF untuk kendaraan golongan 2
& 3 adalah sebagai berikut:


dengan:LEF = Faktor ESAL
FAKTOR ESAL

TUGAS 1:
Hitung LEF sumbu depan untuk
golongan jenis kendaraan lainnya
FAKTOR ESAL
10. Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF)
untuk sumbu depan dapat dilihat pada
Tabel 2.
11. Dan untuk sumbu belakang dapat
dilihat pada Tabel 3.
FAKTOR ESAL
Tabel 2 Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) sumbu depan
FAKTOR ESAL

TUGAS 2:
Hitung LEF sumbu belakang untuk
seluruh golongan jenis kendaraan
FAKTOR ESAL
Tabel 3. Hasil perhitungan faktor ESAL (LEF) sumbu belakang
FAKTOR ESAL
12. Nilai faktor ESAL yang telah didapat sebelemnya
kemudian dijumlah untuk mendapat faktor ESAL
total dari setiap jenis kendaraan.
Contoh perhitungan faktor ESAL (LEF) sebagai
berikut:
=

+

=0,000254+0,000254=0,000507
Hasil dari perhitungan total faktor ESAL (LEF) setiap
jenis kendaraan dilihat pada Tabel 4.
FAKTOR ESAL
Tabel 4. Hasil perhitungan total faktor ESAL (LEF)
FAKTOR ESAL
1. LHR pada awal jalan dibuka yaitu LHR tahun 2011.
2. Lalulintas rencana dikali dengan faktor ESAL total
untuk mendapatkan lalulintas rencana dalam ESAL.
Contoh perhitungan:

=365
=1.06313,5365=5233903
=
=52339030,000507=2655,881
LALU LINTAS RENCANA ESAL
3. Hasil dari perhitungan total lalulintas rencana
ESAL dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil perhitungan lalulintas rencana ESAL

LALU LINTAS RENCANA ESAL
4. Jumlah nilai lalulintas rencana ESAL selanjutnya dikali
dengan faktor distribusi arah dan lajur.
5. Nilai D
D

biasanya ditentukan sebesar 0,5 (50%) pada
kebanyakan jalan.
6. Pembuktian telah menunjukan bahwa D
D

dapat
bervariasi dari 0,3 sampai 0,7 tergantung pada arah
yang terisi beban dan yang tidak terisi beban.
7. Sedangkan D
L
ditentukan berdasarkan jumlah lajur
seperti ditunjukan pada Tabel 6.
LALU LINTAS RENCANA ESAL
Tabel 6. Distribusi kendaraan berdasarkan jumlah lajur

LALU LINTAS RENCANA ESAL
8. Faktor distribusi arah ditetapkan sebesar 0,5 dan
faktor distribusi lajur sebesar 1 untuk mendapatkan
lalulintas rencana kumulatif (w
18
).
9. Perhitungannya adalah sebagai berikut:


dengan:
D
D
= faktor distribusi berdasarkan arah
D
L
= faktor distribusi berdasarkan jumlah lajur
= nilai kumulatif prediksi ESAL
LALU LINTAS RENCANA ESAL
1. Reliabilitas adalah nilai probabilitas dari kemungkinan
tingkat pelayanan yang dipandang dari sudut pemakai
jalan.
2. Dapat juga diartikan sebagai cara menggabungkan
beberapa tingkat kepastian pada proses perencanaan
untuk memastikan bahwa berbagai alternatif rencana
akan bertahan pada periode analisa.
3. Tingkat reliabilitas yang disarankan untuk berbagai
klasifikasi jalan sesuai dengan fungsinya ditunjukan
pada Tabel 7.
RELIABILITAS
Tabel 7. Tingkat reliabilitas berdasarkan fungsi jalan
RELIABILITAS
4. Tingkat reliabilitas berdasar pada nilai rencana
ESAL dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Tingkat reliabilitas berdasarkan nilai rencana ESAL
RELIABILITAS
5. Korelasi antara nilai deviasi standar normal (Z
R
)
dan reliabilitas (R) ditunjukan pada Tabel 9.
Tabel 9. Deviasi standar normal (Z
R
) yang mewakili tingkat reliabilitas (R)
RELIABILITAS
6. Berdasarkan Tabel 7 untuk jalan kolektor pada
daerah rural, maka nilai reliabilitas berkisar antara
75 95 %.
7. Dengan pendekatan nilai rencana ESAL antara
898.726,2 sesuai Tabel 8 nilai reliabilitas dapat
ditetapkan sebesar 85 %.
8. Untuk nilai reliabilitas 85% sesuai pada Tabel 9
maka nilai Z
R

sebesar -1,037.

RELIABILITAS
1. Karakteristik mutu tanah dasar pada perencanaan
perkerasan lentur ditentukan oleh nilai resilient
modulus (M
R
).
2. Resilient Modulus adalah nilai hubungan dinamis
antara tegangan dan regangan yang mempunyai
karakteristik nonlinear.
3. Dari hasil perhitungan kumulatif 90 % sebelumnya,
didapat nilai CBR rencana sebesar 3,25%.
MODULUS RESILIENT TANAH DASAR
4. Heukelom and Klomp (1962) korelasi antara nilai
CBR Corps of Engineer dan nilai resilient modulus
(M
R
) dihitung seperti berikut:

()=1500

()=15003,25 = 4875
dengan:
M
R
= resilient modulus
CBR = california bearing ratio
MODULUS RESILIENT TANAH DASAR
1. SN yang sebelumnya digunakan untuk
menentukan faktor ESAL (LEF) dimasukan
pada persamaan dasar AASHTO untuk
menentukan SN rencana.
2. Apabila tidak memenuhi, maka nilai SN
ditentukan ulang dari SN yang digunakan
untuk menentukan faktor ESAL (LEF).
STRUCTURAL NUMBER RENCANA
3. Pembuktian nilai SN memenuhi persamaan dasar
AASHTO dengan memasukan nilai dan asumsi
yang telah ditentukan sebelumnya adalah sebagai
berikut:
STRUCTURAL NUMBER RENCANA
dengan:
w
18
= perkiraan nilai kumulatif ekivalen beban kendaraan dari aplikasi
ESAL (Equivalent Single Axle Load)
Z
R
= deviasi normal yang mewakili nilai relialibilitas (R)
S
0
= gabungan kesalahan baku dari perkiraan beban lalulintas dan
kinerja suatu perkerasan jalan
SN = Structural number, Nilai korelasi total suatu tebal perkerasan
yang dibutuhkan
PSI = selisih antara indeks pelayanan awal dan akhir
M
R

= resilient modulus (psi)
Nilai SN 3,65181 memenuhi persamaan dasar AASHTO , maka
nilai tersebut dapat digunakan sebagai nilai SN rencana.
STRUCTURAL NUMBER RENCANA
1. Menurut AASHTO 1993 nilai tebal minimum setiap
lapis perkerasan ditunjukan Tabel 10.
Tabel 10. Tebal minimum lapis perkerasan
TEBAL LAPIS PERKERASAN
2. Material yang digunakan oleh setiap lapisan antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Lapis permukaan menggunakan aspal beton (AC) 2000
MPa dengan tebal minimum 3 sesuai Tabel 10 (Volume
lalulintas ESAL 898726,2) dan koefisien kekuatan relatif 0,4
menurut Siegfried & Rosyidi (2007).
b. Fondasi atas menggunakan bahan butiran (granular)
dengan CBR 70% (modulus sekitar 27500 psi) dengan tebal
minimum 6 sesuai Tabel 10 (Volume lalulintas ESAL
898726,2) dan ditetapkan memiliki nilai koefisien drainasi
(m
2
) 1,0 serta koefisien kekuatan relatif (a
2
) sebesar 0,13
seperti ditunjukan pada plot nomogram pada Gambar 2.

TEBAL LAPIS PERKERASAN







Gambar 2. Hasil plot nomogram kekuatan relatif bahan
butiran untuk fondasi atas (a
2
)
TEBAL LAPIS PERKERASAN
c. Fondasi bawah menggunakan bahan
butiran (granular) dengan CBR 70%
(modulus sekitar 18500 psi) dan
ditetapkan memiliki nilai koefisien drainasi
(m
3
) 1,0 serta koefisien kekuatan relatif
(a
3
) sebesar 0,13 seperti ditunjukan pada
plot nomogram pada Gambar 3.

TEBAL LAPIS PERKERASAN







Gambar 3. Hasil plot nomogram kekuatan relatif dengan
bahan butiran untuk fondasi bawah (a
3
)
TEBAL LAPIS PERKERASAN
3. Tebal lapis perkerasan ditetapkan sebesar
4,330709 (11 cm), fondasi atas 7,874016 (20 cm)
dan fondasi bawah dihitung seperti berikut:
=
1
+
2
+
3

=
1

1
+
2

2
+
3

3

3,65181=(0,44,330709)+(0,137,8740161)+(0,13
3
1)
TEBAL LAPIS PERKERASAN
dengan:
SN = Structural number, Nilai korelasi total suatu tebal
perkerasan yang dibutuhkan
a
i
= koefisien kekuatan relatif lapis ke-i
D
i
= tebal lapis ke-i (inch)
m
i
= koefisien drainasi lapis ke-i
Besarnya nilai D
3

minimum adalah 6,891573 atau 17,5046 cm,
maka digunakan D
3

sebesar 18 cm atau 7,086614
kemudian SN perkerasan dihitung kembali seperti berikut:
TEBAL LAPIS PERKERASAN
=
1

1
+
2

2
+
3

3

SN=(0,44,330709)+(0,137,8740161)+(0,137,0866141)
=1,732283+1,023622+0,92126=3,677165

Tebal masing masing lapis perkerasan dapat
diterima karena SN perkerasan lebih besar dari SN
rencana.
Tebal masing masing lapisan perkerasan yaitu:
TEBAL LAPIS PERKERASAN
a. Lapis permukaan menggunakan bahan aspal
beton (AC) 2000 MPa dengan tebal 11 cm
(4,330709) dan koefisien kekuatan relatif 0,4.
b. Fondasi atas menggunakan bahan butiran
(granular) dengan CBR 70 % (modulus sekitar
27500 psi) dengan tebal 20 cm (7,874016) dan
memiliki nilai koefisien drainase (m
2
) 1,0 serta
koefisien kekuatan relatif (a
2
) sebesar 0,13.

TEBAL LAPIS PERKERASAN
c. Fondasi bawah menggunakan bahan butiran
(granular) dengan CBR 70% (modulus sekitar
18500 psi) dengan tebal 18 cm (7,086614) dan
memiliki nilai koefisien drainase (m
2
) 1,0 serta
koefisien kekuatan relatif (a
2
) sebesar 0,13.

Gambar susunan tebal masing masing lapisan
perkerasan dengan menggunakan metode AASHTO
dapat dilihat pada Gambar 4.
TEBAL LAPIS PERKERASAN






Gambar 4 Susunan tebal lapis perkerasan dengan
metode AASHTO
TEBAL LAPIS PERKERASAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

FAKTOR EKIVALEN BEBAN

SOAL

Você também pode gostar