2 HUKUM BISNIS Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat pada hakekatnya merupakan rangkaian berbagai perbuatan hukum yang luar biasa banyak baik jenis, ragam, kualitas dan variasinya yang dilakukan oleh antar pribadi, antar negara dan antar kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi setiap saat di berbagai tempat. Bagi sebagian orang munculnya fenomena ini telah mengubah perilakunya dalam berinteraksi dengan manusia lainnya, yang terus menjalar kebahagiaan bagian lain dari sisi kehidupan manusia, sehingga memunculkan adanya norma- norma baru, nilai-nilai baru dan sebagainya. Pengamatan dan penghayatan terhadap kehidupan manusia menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terdapat naluri self preservasi yaitu naluri untuk mempertahankan eksistensinya atas kehadirannya di duniabaik sebagaimanusia individual maupun sebagai makhluk hidup. Naluri self preservasi dalam kenyataan kehidupan sehari-hari selalu berhadapan dengan atau dihadapkan pada berbagai bahaya yang mengancam eksistensi manusia. 1
Untuk mengatasi dan mencegah hal-hal yang tidak diharapkan dalam hubungan-hubungan tersebut maka diperlukan kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan organisasi dalam masyarakat. Kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga benturan-benturan ini dapat ditekan sekecil-kecilnya. Pengintegrasian kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain. 2
Dalam masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu dilakukan dengan memanfaatkan hukum karena: 1. Hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dan mengatur hidupnya. 2. Hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat.
1 Johanes Ibrahim, Lindawaty Sewu. Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern. Refika Aditama Bandung. 2004. Hal.2. 2 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum Bandung, 1993. Hal.16 3 3. Fungsi mengatur telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum, yang melampaui fungsi mengatur yaitu berfungsi juga sebagai pemberi kepastian, pengaman, pelindung dan pengembang yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel tetapi juga prediktif dan antisipatif. 4. Dalam isu pembangunan global, hukum dipercaya sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan. 3
Potensi hukum terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Preventif adalah fungsi pencegahan yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang hakekatnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat represif adalah fungsi penanggulangan yang dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang diakibatkan oleh resiko tindakan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Menurut E.A. Goebel terdapat empat fungsi dasar dari hukum di dalam masyarakat yaitu: 1. Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan cara menunjukkan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. 2. Menentukan alokasi wewenang merinci siapa yang boleh melakukan paksaan, siapa yang harus mentaati, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif. 3. Menyelesaikan sengketa 4. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat. 4
3 Lili Rasjidi, IB, Wijaja, Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung, 1993 hal.16 4 Ronny Hanitijo Soemitro, Permasalahan Hukum dalam Masyarakat, Eresco. Bandung. 1980, hal.2 4 Hukum Bisnis sebagai Pedoman Berperilaku pada Dunia Bisnis Dalam pandangan akademi hukum 5 ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang kuat dan tepat (a powerful tool) untuk menganalisis permasalahan- permasalahan hukum yang terjadi di sekitar kita. Namun pendekatan analisis ekonomi ini terhadap hukum di Indonesia belum berkembang, kecuali pemikiran- pemikiran atau dasar-dasar ilmu ekonomi dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum bisnis. 6
Pembangunan ekonomi dengan hukum mempunyai hubungan timbal balik dan erat. Sunaryati Hartono menyatakan 7 : pembaharuan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan, maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga kan memperlancar terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki, tetapi sebaliknya penegakan asas-asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur ekonomi yang dicita-citakan. Sementara itu, banyak kritik dan gugatan dari pelaku-pelaku ekonomi, baik asing maupun nasional terhadap kelengkapan serta lembaga hukum ekonomi dan bisnis di Indonesia, hukum ekonomi dianggap tidak mampu mengimbangi gerak laju dunia bisnis yang semakin maju dan kompleks, sedangkan pranata hukum selalu tertinggal oleh kepesatan langkah ekonomi. 8
Dalam hal ini hukum merupakan salah satu bidang yang perlu dibangun untuk memperkokoh bangsa Indonesia di dalam menghadapi kemajuan serta perkembangan ilmu teknologi dan seni yang sangat pesat masalah hukum bukanlah masalah yang berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan erat dengan masalah- masalah kemasyarakatan lainnya. Ismail Saleh menyatakan: 9
5 Richards A. Posner, Economic Analysis of Law, Third Edition, Little Brown and Company 1986. 6 Norman Pakpahan. Introduction to the New Company Law of Indonesia. LPHEI, 1996. 7 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bina Cipta, Bandung. 1982. Hal.6.7 8 Sonaryaty Hartono, Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni Bandung. 1991. Hal.30 9 Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1990. Hal.xxvii. 5 Memang benar ekonomi merupakan tulang punggung kesejahteraan masyarakat dan memang benar bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tiang-tiang penopang kemajuan suatu bangsa, namun tidak dapat disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang pada akhirnya menentukan bagaimana kesejahteraan yang dicapai tersebut dapat dinikmati secara merata, bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan dalam kehidupan masyarakat dan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi rakyat banyak. Pembangunan perekonomian yang dibina serta dikembangkan harus disertai dengan pembentukan pranata hukum dan peraturan perundang-undangan atau peraturan lainnya yang mengandung nilai-nilai keadilan dalam rangka mencapai kemakmuran dan kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Adapun untuk menjembatani dan mengakomodasikan berbagai kepentingan, perbenturan kepentingan yang ada sehingga dapat menyerap menjadi suatu kepentingan bersama, dapat ditarik titik-titik simpul yaitu: - Asas keseimbangan - Asas pengawasan publik - Asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi 10
1. Asas keseimbangan dapat diproyeksikan sebagai berikut: - Keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan privat - Keseimbangan kepentingan produsen dan konsumen - Keseimbangan antara kepentingan pengusaha dengan kepentingan tenaga kerja - Keseimbangan antara kepentingan para pihak di dalam perjanjian 2. Asas pengawasan publik Kegiatan ekonomi yang terjadi dan dilakukan oleh pelaku ekonomi di dalam masyarakat adalah wajar apabila mendapat pengawasan dari masyarakat itu sendiri. Disamping itu keberadaan perusahaan pada hakekatnya adalah di dalam masyarakat sehingga wajar pula apabila masyarakat mempunyai
10 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi. Mandar Maju Bandung. 2000, hal.13 6 kepentingan. Demi kepentinganlah, maka sudah saatnya masyarakat secara aktif mengawasinya. Atas pengawasan publik merupakan salah satu mekanisme campur tangan kekuatan masyarakat secara umum melakukan kontrol/pengawasan terhadap kegiatan individu, kelompok atau badan usaha dan kelompok badan usaha yang melakukan kegiatan ekonomi. Pengawasan oleh publik antara lain dapat dilakukan melalui laporan keuangan yang dipublikasikan. Berdasarkan laporan keuangan/neraca yang sudah dianut oleh akuntan publik dan dipublikasikan di dalam harian umum masyarakat dapat mempelajarinya dan menilai apakah laporan tersebut wajar atau tidak. Apabila dirasakan tidak masyarakat dapat menilainya kewajiban publikasi. Laporan keuangan diatur oleh undangan-undangan terhadap badan-badan usaha dengan kualifikasi tertentu, misalnya ditentukan oleh jumlah tenaga kerja yang dipergunakan di bidang usaha yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, perusahaan-perusahaan terbuka, perusahaan dengan jumlah tertentu dan sebagainya. 3. Asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat sangat membutuhkan campur tangan negara, mengingat tujuan dasar kegiatan ekonomi itu sendiri adalah untuk mencapai keuntungan sasaran tersebut mendorong terjadinya berbagai penyimpangan bahkan kecurangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu bahkan pada semua pihak. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Secara umum dalam rangka hubungan hukum yang terjadi tetap dalam batas-batas keseimbangan kepentingan semua pihak. Campur tangan negara dalam hal ini adalah dalam rangka: - Menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak di dalam masyarakat - Melindungi kepentingan produsen dan konsumen - Melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum terhadap kepentingan perusahaan atau pribadi
7 Peranan Etika Bisnis dalam Hukum Bisnis Dunia bisnis adalah dunia yang penuh dengan kreatifitas dan inovasi yang sangat efektif karena tujuannya yang mapan dan jelas yaitu keuntungan ekonomi. 11 Di dalam menjalankan kegiatan bisnis terdapat beberapa argumen yang menyatakan bahwa pada dasarnya kegiatan bisnis diperlukan etika yaitu: 12
a. Bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi, kalau tidak akan mengorbankan hidup banyak orang, sehingga masyarakatpun berkepentingan agar bisnis dilaksanakan secara etis. b. Bisnis dilakukan diantara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, sehingga membutuhkan etika sebagai pedoman dan orientasi bagi keputusan, kegiatan dan tindak-tanduk manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan lainnya. c. Bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat, jadi orang bisnis yang bersaing dengan tetap memperhatikan norma-norma etis pada iklim bisnis yang semakin profesional justru akan menang. d. Legalitas dan moralitas berkaitan akan tetapi berbeda satu sama lain, karena suatu kegiatan yang diterima secara legal belum tentu dapat diterima secara etis. e. Etika bisnis dibedakan dari ilmu empiris yang mendasarkan pada suatu gejala atau fakta yang berulang terus-menerus dan terjadi dimana-mana akan melahirkan suatu hukum ilmiah yang berlaku universal. f. Situasi khusus yang menyebabkan pengecualian terhadap etika tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa bisnis tidak mengenal etika. g. Aksi protes yang terjadi dimana-mana menunjukkan bahwa masih banyak orang serta kelompok masyarakat yang menghendaki agar bisnis dijalankan secara baik dan mengindahkan norma etika. Pembangunan kultur bisnis yang sehat idealnya dimulai dari perumusan kembali, etika dasar (yang disetujui oleh semua pihak). Etika dipandang sebagai
11 Sri Redjeki Hartono, Peresmian Jabatan Guru Besar di dalam Hukum Dagang pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 18 Desember 1995. 12 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur. Kanisius Yogya, 1993. Hal.33-37 8 science of conduct, ia mencakup aturan-aturan dasa yang kita anut dalam hidup dan kehidupan. Etika yang dipandang sebagai state of the art hukum, yakni pedoman pelaku hari ini ditafsirkan ke dalam hukum, peraturan dan pedoman di kemudian hari. 13
Bila suatu kegiatan usaha mengikatkan diri dengan manajemen kualitas perusahaan menyetujui tanggung jawab moral tertentu pada arus terendah, perusahaan itu berjanji pada diri sendiri untuk tiga tanggung jawab perusahaan berikut ini: 14
1. Perhatikan pada konsumen, dinyatakan dengan memuaskan kebutuhan akan kemudahan penggunaan dan keselamatan produk yang diproduksi. 2. Perhatian terhadap lingkungan 3. Perhatian terhadap kondisi-kondisi minimum Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang kompleks yang bergantung pada situasi bisnis, aturan bisnis tidak dapat menangani hal ini, setiap perusahaan/kegiatan usaha tanpa harus melihat ukurannya harus memutuskan bagaimana memenuhi tanggung jawabnya. Dengan ketaatan terhadap etika bisnis tertib sosial dapat terpelihara dan keseimbangan antara hak dan kewajiban seseorang dapat diwujudkan. Melanggar berbagai ketentuan yang sifatnya normatif bukan hanya merugikan orang yang bersangkutan, akan tetapi juga merupakan jalan pintas untuk ketidakberhasilan. 15
Peranan etika bisnis didalam hukum bisnis bergantung dari titik tolak pandangan mengenai apa saja yang termasuk ke dalam nilai-nilai, di dalam hukum bisnis nilai-nilai tersebut berkembang menjadi hubungan antara hukum dan moral. Hukum adalah merupakan sebuah konsep 16 dan menurut Soetandyo Wignyo Soebroto, tidak ada yang tunggal mengenai apa yang disebut hukum itu. Menurut
13 Hardja Pamekas, Erry Riana, Etika Bisnis. Materi Kursus Manajemen Perkebunan LPP Kampus Yogyakarta, 2000. Hal.2 14 Peter Pratey, The Essence of Business Ethics, diterjemahkan oleh Prasetyo Gunawan. Andi Yogyakarta. 1997, hal.112. 15 Sondang P. Siagian. Etika Bisnis. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. 1996. Hal.156. 16 Abdurachman, Tebaran Pemikiran tentang Studi Hukum dan Masyarakat. PT. Media Sarana Jakarta, 1987. 9 pendapatnya sekurang-kurangnya tiga konsep hukum yang pernah dikemukakan ialah: a. Hukum sebagai asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian intern sistem hukum alam b. Hukum sebagai kaidah-kaidah dan positif yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, dan terbit sebagai eksplisit suatu sumber kekuasaan politik yang berlegitimasi. c. Hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik di dalam proses-proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru. 17
Hukum bisnis pada implementasinya di lapangan kegiatan perekonomian menggunakan metode sesuai dengan alur perjalanan arah perkembangan di berbagai sektor usaha dan industri. Dari berbagai regulasi dan penataan komponen pengaturan kebijakan politik ekonomi baik yang terjadi di wilayah dunia maupun di wilayah regional dan sektoral akan membawa dampak pada kebijakan dan arah tujuan mengenai perspektif hukum bisnis tersebut. Karena ketentuan hukum bisnis sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek hukum lainnya juga dipengaruhi oleh aspek-aspek pengaturan dibidang perekonomian dan regulasi di bidang perekonomian. Akibat dari situasi dan keadaan kegiatan ekonomi di suatu wilayah maka dengan demikian hukum bisnis akan berkembang dengan berbagai segi aspek- aspeknya, karena setiap aspek akan berkaitan dengan berbagai asas-asas hukum yang ada, keadaan tersebut sangatlah berpengaruh pada penentuan dan arah dari strategi hukum bisnis. Dalam kehidupannya manusia selalu melakukan hubungan baik hubungan antar pribadi ataupun antar kelompok, maka peranan yang terjadi selalu memiliki obyek-obyek dari peranan tersebut dapat berupa benda-benda konkrit ataupun yang bersifat imateriil. 18
17 Soetandyo Wignyo Soebroto, dari Hukum Kolonial dan Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta. 1980, hal.2. 18 Lysen, Individu dan Masyarakat. Sumur Bandung, Bandung. 1984. Hal.96. 10 Dari segi obyek yang dituju hukum bisnis dapat diartikan sebagai suatu metode atau cara yang digunakan untuk mewujudkan suatu kepentingan sebagai suatu tuntutan atau hasrat yang ingin dipuaskan manusia, baik secara individu maupun kelompok atau asosiasi. 19
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) Sebelum istilah hak kekayaan intelektual (HKI) resmi dipergunakan maka lebih umum dikenal istilah Hak kekayaan atas intelektual (HAKI). Namun istilah Haki sudah tidak dipakai lagi karena berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No.M.03.PR.07.10 tahun 2000, telah ditetapkan secara resmi penggunaan istilah hak kekayaan intelektual (tanpa kata atas) atau disingkat HKI istilah HKI telah dipergunakan secara resmi dalam undang-undang No.14 tentang Paten, Undang-undang No.15 tentang merek dan undang-undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Adapun alasan perubahan istilah tersebut antara lain untuk lebih menyesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia yang tidak menulis kata depan seperti atas atau dari terutama untuk istilah. 20
Konsepsi mengenai HKI didasarkan pada pemikiran bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan menggunakan kemampuan intelektual berupa gagasan yang diwujudkan secara konkret, kemudian diperbanyak secara luas sehingga mempunyai nilai secara ekonomi karena terlibat dalam aktivitas komersial. Terciptanya invensi-invensi baru di bidang teknologi. Pada akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat karena invensi yang telah dihasilkan memiliki manfaat secara ekonomi. 21
Apabila ditelusuri lebih mendalam konsep HKI meliputi: 1. Hak milik hasil pemikiran (intelektual) yang melekat pada pemiliknya bersifat tetap dan eksklusif, dan 2. Hak yang diperoleh pihak lain atas izin dari pemilik bersifat sementara
19 Thoga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam Pemahaman Filsafat Pancasila dan UU Dasar 1945. Disertasi Universitas Pajajaran Bandung. Hal.182. 20 Zen Umar Purba, Pokok-pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HKI Nasional. Jurnal Hukum Bisnis, Vol.13 April 2001. Hal.8 21 Muhammad Djuhana dan R.D.Jubaedilah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktek di Indonesia) Citra Aditya Bakti Bandung. 1997, hal.23. 11 Hak yang diperoleh pihak lain atas izin pemiliknya, misalnya hak untuk mengumumkan, hak untuk memperbanyak, hak untuk menggunakan suatu produk tertentu. HKI merupakan benda tidak berwujud hasil kegiatan intelektual (daya cipta) manusia yang diungkapkan ke dalam suatu bentuk ciptaan atau penemuan tertentu. Kegiatan intelektual (daya cipta) terdapat dalam bidang ilmu pengetahuan seni dan teknologi. Hasil kemampuan berpikir (intelektual) manusia merupakan ide yang kemudian yang dijelmakan dalam bentuk ciptaan atau penemuan. Pada ide itu melekat predikat intelektual yang bersifat abstrak. Konsekuensinya, HKI menjadi terpisah dengan material bentuk jelmaannya sebagai contoh: 1. Hak cipta adalah ide di bidang ilmu pengetahuan yang disebut HKI, benda material bentuk jelmaannya adalah buku. 2. Hak cipta adalah ide di bidang seni yang disebut HKI, benda material bentuk jelmaannya adalah lagu, tarian, lukisan. 3. Hak merek adalah ide di bidang ilmu pengetahuan yang disebut HKI benda material bentuk jelmaannya adalah merek yang dilekatkan pada jasa atau barang dagangan. 4. Paten adalah ide di bidang teknologi yang disebut HKI, benda material bentuk jelmaannya antara lain televisi, proses pembuatan obat. Apabila orang lain ingin menikmati manfaat ekonomi dari hak milik orang lain, ia wajib memperoleh ijin dari orang yang berhak. Penggunaan/menyerupai hak milik intelektual orang lain tanpa ijin merupakan pelanggaran hukum. Jika terjadi pelanggaran maka pelanggar tersebut harus diproses secara hukum dan apabila terbukti melakukan pelanggaran, maka ia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang yang telah dilanggar tersebut. Undang-undang bidang HKI mengatur jenis pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara administratif, secara perdata maupun secara pidana. Sejak tahun 2000, Indonesia telah menambah seperangkat perundang- undangan di bidang HKI yaitu: 1. UU No.29 tahun 2000 tentang perlindungan varietas baru tanaman 2. UU No.30 tahun 2000 tentang rahasia dagang 12 3. UU No.31 tahun 2000 tentang desain industri 4. UU No.32 tahun 2000 tentang desain tata letak sirkuit terpadu Disamping itu sejak tahun 2001 Indonesia juga telah merevisi seperangkat perundang-undangan di bidang HKI yang sebelumnya sudah ada yaitu antara lain: 1. UU No.14 tahun 2001 yang merevisi UU No.13 tahun 1997 jo. UU No.6 tahun 1989 tentang paten 2. UU No.15 tahun 2001 yang merevisi UU No.14 tahun 1997 jo. UU No.19 tahun 1992 jo. UU No.21 tahun 1961 tentang merek. 3. UU No.19 tahun 2002 yang merevisi UU No.12 tahun 1997 jo. UU No.7 tahun 1987 jo. UU No.6 tahun 1982 tentang hak cipta. Penambahan dan revisi dari seperangkat perundang-undangan tak lain karena Indonesia sebagai negara peseta yang terikat dengan persetujuan putaran Uruguay telah melakukan ratifikasi terhadap persetujuan tersebut yang dituangkan dalam bentuk undang0undang yaitu undang0undang No.7 tahun 1994 tentang pengesahan The Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO). WTO adalah organisasi internasional yang menangani peraturan-peraturan perdagangan antar negara. Yang menjadi intinya adalah apa yang disebut perjanjian WTO (WTO agreement). Dalam perjanjian ini segala sesuatu yang dirundingkan dan ditandatangani oleh pemerintah anggota WTO, ditetapkan aturan-aturan bagi perdagangan internasional. Perjanjian WTO mencakup barang- barang (the general agreement on tariffs and trade GATT), jasa (the General Agreement on Trade in Service (GATS), dan milik intelektual (The Agreement on Trade Related Aspects of Intelektual Property Rights (Trips). Akibat dari ratifikasi tersebut Indonesia harus berusaha menegakkan prinsip-prinsip GATT- GATS yang juga menyangkut Trips, including trade in counterfeit goods (artinya aspek-aspek dagang yang berkenaan dengan hak kekayaan intelektual (Haki) termasuk juga perdagangan barang palsu).
Sistem Perlindungan Hukum Perlindungan HKI merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur- unsur sistem berikut ini. 13 1. Subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud pihak pemilik atau pemegang hak, aparat penegak hukum, pejabat, pendaftaran dan pelanggar hukum. 2. Obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis HKI yang diatur oleh UU, seperti hak cipta merek, paten, rahasia dagang, desain industri dll. 3. Pendaftaran perlindungan. HKI yang dilindungi hanyalah yang sudah terdaftar dan dibuktikan dengan sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain seperti hak cipta boleh tidak didaftarkan menurut UU No.19 tahun 2002. 4. Jangka waktu perlindungan, jangka waktu yang dimaksud adalah lamanya HKI itu dilindungi oleh undang-undang: Hak cipta selama hidup ditambah 50 tahun sesudah meninggal, merek 10 tahun, paten 20 tahun. Desain industri 10 tahun, rahasia dagang tanpa batas, sirkuit terpadu 10 tahun, perlindungan varietas baru tanaman 20-22 tahun. Dari semua jangka waktu di atas ada yang dapat diperpanjang dan tidak dapat diperpanjang. 5. Tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran HKI, maka pelanggar harus dihukum, baik secara pidana dan secara perdata.
Jenis-jenis Pelanggaran 1. Bidang Hak Cipta a. Diperbolehkan memfotokopi bab tertentu tanpa ijin. Pencipta untuk kepentingan pendidikan, tetapi fotokopi itu dijualbelikan (dikomersialkan). b. mengutip ciptaan orang lain dimasukkan dalam ciptaan sendiri tanpa menyebutkan sumbernya (plagiat). c. Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk, isi, pencipta, penerbit/ perekam. d. Melampaui jumlah eksemplar penerbitan yang disepakati dalam perjanjian.
14 Klasifikasi pelaku kejahatan pelanggaran hak cipta yaitu: a. Pelaku utama, baik perorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta, termasuk pelaku utama adalah pembajak ciptaan atau rekaman. b. Pelaku pembantu yaitu pihak yang menyiarkan memamerkan atau menjual kepada umum ciptaan atau rekaman yang diketahuinya melanggar hak cipta termasuk pelaku pembantu adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual, pengedar, pihak yang menyewakan ciptaan atau rekaman hasil pembajakan. 2. Bidang Merek Ada 3 jenis pelanggaran merek yaitu: a. Penggunaan merek yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain b. Penggunaan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan mereka terdaftar milik orang lain c. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui/patut diketahui berasal dari kejahatan pelanggaran merek, misalnya pemalsuan, peniruan. Pelaku pelanggaran merek huruf (a) dan (b) disebut pelaku utama sedangkan pelaku pelanggaran huruf (c) disebut pelaku pembantu 3. Bidang Paten Ada 2 klasifikasi tindak pidana pelanggaran paten yaitu: a. Dalam hal paten produk: membuat, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan hasil produksi yang diberi paten. b. Dalam hal paten proses: menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya seperti yang dimaksud dengan huruf (a)
Upaya Perlindungan Hukum a. Pendaftaran HKI Pendaftaran adalah bentuk perlindungan hukum yang menimbulkan kepastian hukum dalam UU, HKI. Kita mengenal 2 sistem pendaftaran yaitu sistem 15 konstitutif (first to file system) menurut sistem ini hak seseorang hanya dapat diakui dan dilindungi oleh undang-undang apabila telah didaftarkan, jadi wajib didaftarkan. Sistem ini dianut oleh UU merek dan UU paten. Sedangkan sistem deklaratif (first to use system) yaitu perlindungan hukum kepada pemegang/pemakai pertama HKI. Apabila ada pihak lain yang mengakui sebagai pihak yang berhak atas suatu kekayaan intelektual, maka ia harus membuktikan bahwa ialah sebagai pemegang/pemakai pertama yang berhak atas kekayaan intelektual itu. Sistem ini tidak mengharuskan pendaftaran HKI, sistem ini dianut oleh UU hak cipta. b. Penentuan masa perlindungan masa perlindungan setiap HKI telah diatur dalam tiap-tiap undang-undang di bidang HKI dan tiap peraturan perundang-undangan tersebut jangka waktu perlindungan tidak sama. Dengan demikian dalam masa perlindungan tersebut. Pihak lain tidak boleh menggunakan HKI tanpa ijin pemegang/pemilik hak. c. Penindakan dan pemulihan setiap pelanggaran HKI akan merugikan pemilik/pemegang HKI. Pelaku pelanggaran tersebut harus ditindak dan harus memulihkan kerugian yang diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara. Penindakan dan pemulihan tersebut diatur oleh undang-undang bidang HKI. Ada 3 kemungkinan penindakan dan pemulihan yaitu: a. Secara perdata berupa gugatan 1. Ganti kerugian terhadap pelanggar 2. Penghentian perbuatan pelanggar 3. Penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan b. Secara pidana berupa penuntutan 1. Hukuman pidana maksimum 7 (tujuh) tahun penjara; dan/atau 2. Hukuman denda maksimum Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) 3. Perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan
16 c. Secara administrative berupa tindakan: 1. Pembekuan/pencabutan SIUP 2. Pembayaran pajak/bea masuk yang tidak dilunasi 3. Re-ekspor barang hasil pelanggaran
HUKUM LEMBAGA PEMBIAYAAN Pendahuluan Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala apapun selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta perkembangannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan perencanaannya kebutuhan dana, ada kalanya dapat dipenuhi sendiri sesuai dengan kemampuan tetapi adakalanya tidak dapat. Untuk itu dibutuhkan bantuan pihak lain yang bersedia membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan. Secara umum, kebutuhan dana dapat dipenuhi oleh bank sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang keuangan meskipun demikian tidak selalu bank pasti mampu memenuhi setiap permintaan kebutuhan. Kebutuhan dana yang relatif makin bertambah sejalan dengan lajunya pertumbuhan dunia usaha, maka perlu dicari alternatif lain sumber dana selain dari usaha perbankan. Lembaga pembiayaan (financing institution) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Kegiatan lembaga pembiayaan dapat dilakukan oleh perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan di luar lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. Di Indonesia, walaupun sebelumnya sudah ada pranata penyaluran dana non bank, tetapi secara institusional diberlakukan setelah pemerintah mengeluarkan Kepres No.61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan yang kemudian ditindaklanjuti oleh keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah dengan keputusan menteri 17 keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diperincikan bahwa kegiatan lembaga pembiayaan meliputi: a. Sewa guna usaha b. Modal ventura c. Perdagangan surat berharga d. Anjak piutang e. Usaha kartu kredit, dan f. Pembiayaan konsumen Akan tetapi dengan keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Lembaga pembiayaan yang dapat dijalankan oleh suatu perusahaan pembiayaan hanyalah sebagai berikut: a. Sewa guna usaha b. Anjak piutang c. Usaha kartu kredit d. Pembiayaan konsumen Sebab, kegiatan modal ventura dan perdagangan surat berharga mempunyai karakteristik yang sangat berbeda dengan keempat lembaga pembiayaan tersebut di atas. Di samping itu ditentukan pula bahwa suatu perusahaan pembiayaan tidak diperkenankan menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk: a. Giro b. Deposito c. Tabungan, dan d. Surat sanggup bayar (promissory notes), kecuali jika surat sanggup bayar tersebut hanya dipakai sebagai jaminan hutang kepada bank yang menjadi kreditnya. Masing-masing kegiatan perusahaan pembiayaan sungguhpun berbeda-beda dan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri tetapi masih banyak terdapat persamaannya karena semuanya memang bertujuan untuk memberi kemudahan finansial bagi perusahaan lain.
18 1. Sewa guna usaha (leasing) Pengertian Istilah leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti sewa menyewa, karena memang dasarnya leasing adalah sewa menyewa. Jadi leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa menyewa tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa menyewa dalam bentuk khusus yang disebut leasing itu atau kadang-kadang disebut lease saja dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan dan dikenal dengan nama sewa guna usaha. Untuk mengetahui konsep leasing sebagai sewa guna usaha yaitu bentuk khusus dari sewa menyewa, perlu dikaji ketentuan yang terdapat dalam peraturan perizinan usaha leasing. Menurut surat keputusan bersama menteri keuangan dan menteri perindustrian dan perdagangan No.Kep-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, No.30/Kpb/1/1974 tentang perizinan usaha leasing. Dalam surat keputusan bersama tersebut ditentukan bahwa yang dimaksud denganleasing adalah: Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang- barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) dari perusahaan tersebut untuk membeli barang- barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama. Selanjutnya menurut keputusan menteri keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa gua usaha (leasing), yang dimaksudkan dengan leasing adalah: Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
19 Dari definisi-definisi tersebut di atas dapat diuraikan bahwa yang menjadi elemen-elemen dari suatu leasing adalah sebagai berikut: a. Pembiayaan perusahaan, pembiayaan tidak dalam bentuk dana, melainkan dalam bentuk barang modal yang digunakan untuk kegiatan usaha. b. Penyediaan barang modal. Biasanya disediakan oleh supplier atas biaya lessor untuk digunakan oleh lessee bagi keperluan bisnis misalnya kapal, mesin pabrik traktor, kendaraan bermotor, komputer. c. Digunakan oleh suatu perusahaan. Barang modal tersebut merupakan bentuk pembiayaan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya. d. Pembayaran sewa secara berkala, kewajiban, lessee membayar angsuran harga barang modal kepada lessor yang sudah melunasinya kepada supplier. e. Jangka waktu tertentu. Berapa tahun sewa guna usaha dilakukan setelah jangka waktu berakhir ditentukan status kepemilikan barang modal. f. Hak opsi untuk membeli barang modal. Pada saat kontrak berakhir lessee diberi hak opsi untuk membeli barang modal tersebut sesuai dengan harga yang disepakati atau mengembalikannya pada lessor. g. Nilai sisa (residu) merupakan jumlah uang yang harus dibayar kembali kepada lessor oleh lessee di akhir masa berlakunya leasing atau pada saat lessee mempunyai hak opsi. Nilai sisa biasanya sudah terlebih dahulu ditentukan bersama dalam kontrak leasing. 2. Sejarah Perkembangan Leasing Leasing pertama kali berkembang di Amerika Serikat dan kemudian menyebar ke Eropa bahkan ke seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.di Amerika Serikat, leasing dalam arti modern ini pertama kali diperkenalkan yaitu leasing berobyekkan kereta api. Bahkan dalam tahun 1850 telah tercatat adanya perusahaan leasing yang pertama di Amerika Serikat yang biroprasi di bidang leasing kereta api. 22
Di negara tersebut perkembangan pranata hukum leasing ini cukup pesat. Selama dasawarsa 1980-an, volume leasing bertambah rata-rata 15% tiap tahunnya. Dan menjelang dasawarsa 1980-an tersebut kurang lebih sepertiga dari
22 Eddy P. Soekadi. Mekanisme Leasing. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1990 hal.19. 20 pengadaan peralatan bisnis baru disana dilakukan dalam bentuk leasing. Demikianlah di USA, maka bank-bank dan perusahaan leasing hidup subur sebagai lessor. Disamping itu, bahkan perusahaan pemegang trademark terkenal juga ikut menjadi lessor. Misalnya sejak dasawarsa 80-an, perusahaan GATX merupakan lessor terbesar untuk leasing railcars. Sementara IBM merupakan lessor terbesar untuk leasing komputer. Dan. XEROX merupakan lessor terbesar pula untuk leasing mesin fotocopy. 23
Perkembangan leasing dalam sejadah di Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase sebagai berikut: 1. Fase Pengenalan Fase pertama merupakan fase pengenalan dari bisnis leasing di Indonesia terjadi antara tahun 1974 sampai tahun 1983. Pada masa itu leasing belum begitu dikenal masyarakat dan konsekuensinya jumlah transaksinyapun masih relatif kecil. 2. Fase pengembangan Fase kedua terjadi kira-kira antara tahun 1984 sampai dengan 1990. Dalam fase kedua ini, bisnis leasing cukup pesat perkembangannya bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis di Indonesia. Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi leasing telah berubah misalnya dalam hal perhitungan penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini akibat dari berlakunya undang-undang pajak 1984. Sementara sistem pelaporan pajak dalam periode kedua ini masih memakai operating method seperti pada fase sebelumnya tetapi dengan beberapa distorsi. 3. Fase konsolidasi Pada fase ketiga 1991 sampai sekarang, ijin-ijin pendirian perusahaan leasing yang sebelumnya agak diperketat, dibuka kembali. Perusahaan multifinance juga banyak didirikan pada periode ini dan terjadi perubahan sistem perpajakan. Dari semula operating method berubah menjadi financial method. Hal ini berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam SK
23 Richard A. Brealey dan Stewart C. Myers. Principles of Corporate Finance. MCGraw- Hill. New York. 1991. Hal.653. 21 menteri Keuangan No.1169/KMK.1/1991. Meskipun usaha dalam bidang leasing sudah mulai meluas akan tetapi perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan hal ini disebabkan oleh: 24
a. Karena bisnis leasing masih terbilang relatif baru b. Kurang promosi dan lemahnya aturan hukum c. Masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer dan belum terhadap barang-barang lainnya d. Ada anggapan sementara pihak bahwa beban yang dipikul oleh para pihak lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan e. Untuk leasing barang-barang tertentu dibutuhkan jaminan sehingga orang cenderung memilih sistem perbankan.
Perbedaan leasing dengan perjanjian lainnya 1. Perbedaan loan (yang diberikan oleh bank) dan leasing (yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan). a. Loan bertujuan menyediakan dana sementara leasing bertujuan menyewakan barang modal karena itu, leasing dikategorikan juga sebagai assets based finance. b. Loan terfokus kepada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari barang yang didanai, sementara dalam leasing paling tidak yuridis, lessor merupakan pemilik fasilitas/barang modal. c. Pada loan, risikonya berupa financial risk, sementara pada leasing, risikonya berupa financial risk dan physical risk atas barang modal. d. Jaminan hutang pada loan adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang seringkali tidak ada hubungannya dengan tujuan penggunaan dana pinjaman. Sementara pada leasing jaminannya berupa barang modal yang dibeli dengan dana dari leasing tersebut. e. Pada loan, jika ada wanprestasi dari pihak debitur, maka barang jaminan dilelang dan kelebihan harganya dikembalikan kepada deibutur. Sementara jika wanprestasi lessee pada leasing pada prinsipnya lessor tinggal
24 Majalah Usahawan No.10, Oktober 1992 hal.50. 22 mengambil kembali barang modal tersebut tanpa harus memperhitungkan/ mengembalikan kelebihan harga. 2. Perbedaan sewa menyewa dengan leasing a. Dalam sewa menyewa masalah jangka waktu sewa atau umur pemakaian barang tidak menjadi fokus utama tetapi tidak demikian halnya dengan leasing. b. Pada prinsipnya leasing dianggap sebagai salah satu metode pembiayaan bisnis dan tidak demikian halnya dengan perjanjian sewa menyewa biasa c. Obyek dari perjanjian sewa menyewa berupa barang berwujud dan berbentuk apa saja, sementara obyek dari leasing umumnya adalah barang modal, alat produksi atau beberapa bentuk barang konsumsi. d. Jika leasing menjadi suatu kegiatan bisnis, maka lessornya haruslah berbentuk perusahaan pembiayaan, sedangkan lessor pada sewa menyewa biasa tidak ada pembatasan khusus. e. Pada leasing, lessor berkedudukan sebagai penyandang dana, baik tunggal atau bersama-sama dengan penyandang dana lainnya, sementara barang obyek leasing disediakan oleh pihak ketiga atau oleh lessee sendiri. Sebaliknya pada sewa menyewa biasa, barang obyek sewa adalah memang miliknya lessor. Jadi kedudukan lessor adalah sebagai pihak yang menyediakan barang obyek sewa. f. Jangka waktu dalam leasing adalah terbatas, sementara jangka waktu pada sewa menyewa bisa terbatas dan tidak bisa. g. Dokumen-dokumen dalam perjanjian leasing jauh lebih complicated dibandingkan dengan sewa menyewa biasa. h. Pada leasing biasanya masih dibutuhkan jaminan-jaminan tertentu sedangkan pada sewa menyewa umumnya tidak ada jaminan tersebut. Jaminan tersebut umumnya berupa personal guarantee, fisudia terhadap barang modal yang bersangkutan kuasa menjual barang modal dan sebagainya.
23 3. Perbedaan jual beli dengan leasing Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian bernama. Versi KUH perdata, yang pengaturannya terdapat dalam buku ketiga KUH Perdata tersebut. Tetapi karena leasing bukan jual beli, maka seperti juga tentang perjanjian pinjam meminjam atau sewa menyewa, maka ketentuan KUH Perdata tentang jual beli pun tidak berlaku untuk leasing. 4. Perbedaan sewa beli dengan leasing a. Dalam sewa beli, lessee otomatis (demi hukum) jadi pemilik barang di akhir masa sewa, sementara pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi apabila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. b. Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tetapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri, tetapi pada sewa beli pihak lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakan itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa beli sendiri. c. Leasing termasuk dalam salah satu metode pembiayaan yang diperkenankan dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Keuntungan menggunakan Leasing 1. Unsur fleksibilitas Fleksibilitas dalam hal dokumentasi, colateral, struktur kontraknya, besarnya dan jangka waktu pembayaran cicilan oleh lessee, nilai residu, hak opsi dan lain-lain. 2. Ongkos relatif murah Dalam prakteknya semua biaya tersebut diakumulasikan ke dalam satu paket termasuk dalam komponen biaya ini antara lain adalah konsultan free, pengadaan dan pemasangan barang, asuransi dan lain-lain. 3. Penghematan pajak Sistem perhitungan pajak untuk leasing menyebabkan pembayaran pajaknya lebih hemat. 24 4. Pengaturan tidak terlalu complicated Pengaturan terhadap leasing tidak terlalu complicated seperti halnya pengaturan terhadap kredit bank mengingat perusahaan pembiayaan tidak perlu harus melaksanakan banyak hal seperti diwajibkan untuk suatu bank. 5. Kriteria bagi lessee yang longgar Mengingat pemberian fasilitas leasing jauh lebih aman bagi lessor, karena setiap saat barang modal dapat dijual dengan perhitungan harga tidak lebih rendah dari sisa hutang lessee. 6. Pemutusan kontrak leasing oleh lessee Dalam kontrak leasing diberikan hak yang begitu mudah kepada lessee untuk memutuskan kontrak di tengah jalan dengan pertimbangan harga barang modal tersebut dapat menutupi bahkan seringkali melebihi sisa hutang lessee. 7. Pembukuan yang lebih mudah Dalam transaksi leasing ini dimasukkan sebagai pembiayaan secara off balance sheet, sehingga pembukuan perusahaan lessee akan kelihatan lebih baik. Kelemahan dan pembiayaan leasing: 1. Biaya bunga yang tinggi 2. Biaya marginal yang tinggi 3. Kurangnya perlindungan hukum 4. Proses eksekusi leasing macet yang sulit
Anjak Piutang (Factoring) a. Pengantar Bisnis factoring termasuk jenis bisnis canggih beresiko tinggi sebab berbeda dengan kredit bank misalnya dalam bisnis factoring hampir tidak tersedia jaminan sama sekali. Dalam bahasa Indonesia istilah factoring sering diterjemahkan dengan anjak piutang menurut Kepres No.61 tahun 1988, tentang Lembaga pembiayaan, factoring merupakan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan yang terbit dari suatu transaksi perdagangan dalam dan luar negeri. 25 Dalam penjelasan pasal 6 huruf 1 atas undang-undang perbankan undang- undang No.7 tahun 1992, seperti yang telah diubah dengan undang-undang No.10 tahun 1998 memberi arti kepada factoring sebagai kegiatan pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri yang dilakukan dengan cara pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut. Pada dasarnya pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan factoring ialah: 1) Pihak perusahaan faktor yaitu pihak pemberi jasa factoring. Dalam hal ini dia bertindak sebagai pihak pembeli piutang. Jika terhadap kegiatan factoring internasional, maka terdapat dua perusahaan faktor yaitu pihak perusahaan faktor domestik (export factor) dan pihak perusahaan faktor luar negeri (import factor) 2) Pihak klien merupakan pihak yang mempunyai piutang/tagihan yang akan dijual kepada pihak perusahaan faktor. 3) Pihak customer, yakni pihak debitur yang berhutang kepada pihak klien untuk selanjutnya dia akan membayar hutangnya kepada perusahaan faktor. Selanjutnya dalam keputusan Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan sebagaimana telah diubah menjadi keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan mengelaborasi kegiatan factoring berupa kegiatan dalam bidang. 1. Pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka pendek yang terbit dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri 2. Penatausahaan penjualan kredit serta penagihan piutang perusahaan klien b. Sejarah dan Perkembangan Factoring Di dalam suatu ketentuan yang dibuat tahun 1963 oleh Common Council dari kota London disebutkan sebagai berikut: 25
Para pembuat pakaian sendiri dan pembantunya telah menjual dagangannya (pakaian) kepada para pedagang atau pemakainya atas laba penuh yang diterimanya sendiri tetapi sekarang pihak lain telah ikut melibatkan diri
25 David, Hawkins, The Business of Factoring, McGraw Hill Book Company London, 1993, hal.7 26 dalam konteks penjualan tersebut sebagai factors dan brokers diantara pedagang, pemakai dan pembuat pakaian. Namun demikian kenyataannya menunjukkan bahwa para brokers piutang ini tetap diperlukan kala itu antara lain disebabkan karena: 1. Pihak produsen pakaian/pabrik tekstil memerlukan dana yang cepat yang tidak dapat dipenuhi oleh para pemakai atau para pedagang, dan 2. Pihak produsen pakaian/tekstil tidak mampu dan tidak mau untuk bepergian jauh ke pasar-pasar untuk memasarkan produk-produknya dan menagih bayarannya. Selanjutnya awal abad 17 terjadi gelombang hijrah orang-orang Inggris/Eropa ke Amerika karena itu tidak mengherankan jika di USA pun factoring berkembang cukup pesat dan dalam dekade 1930-an ini juga telah terbentuk yurisprudensi di USA yang menegaskan hubungan hukum antara perusahaan klien sebagai assignor dengan perusahaan faktor sebagai assigner. Perkembangan factoring juga akhirnya menjalar ke Asia bahkan ke sentero dunia, di Jepang kegiatan anjak piutang dalam arti modern pertama kali dikenal sekitar tahun 1972 yang sebagian besarnya dilakukan oleh bank-bank komersial umumnya oleh Citibank-citibank yang beroperasi di Jepang. Kemudian secara internasional terdapat juga beberapa sindikasi factoring internasional yang bersifat permanen dimana para anggotanya terdiri dari perusahaan-perusahaan faktor dari berbagai negara. Salah satunya adalah yang diberi nama factor chain internasional. Perkembangannya di Indonesia sejak keluarnya peraturan yang termasuk dalam paket kebijaksanaan Desember 1988 mulailah bermunculan perusahaan- perusahaan faktor. Umumnya melakukan kegiatan bersama-sama dengan kegiatan financial lainnya (multi finance). c. Beberapa pertimbangan dalam menjual piutang Disamping pertimbangan biaya ketika jasa perusahaan faktor hendak digunakan, maka klien harus mempertimbangkan beberapa hal antara lain: 1. Mempertahankan customer 27 Apakah hubungan antara klien dengan customer terutama customer tetap atau customer prospektif akan rusak dengan dialihkannya tagihan kepada perusahaan factor. 2. Perlindungan bad debt Apakah memang diperlukan suatu perlindungan terhadap bad debt-nya sehingga barangkali masih diperlukan asuransi kredit berapa besar biaya untuk itu. 3. Pertimbangan cash flow Apakah memang diperlukan penyesuaian atau sedang dalam kesulitan dalam masalah cash flow, sehingga diperlukan jasa factoring. 4. Perbandingan dengan biaya internal Bagaimanakah perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan jasa factoring tersebut dan kemungkinan keberhasilan penagihannya dibandingkan dengan seadanya tagihan tersebut dilaksanakan sendiri oleh bagian pengontrolan kredit dalam perusahaan klien yang bersangkutan. 5. Perbandingan dengan pembiayaan biasa Bagaimana perbandingan biaya menggunakan jasa factoring dibandingkan dengan biaya dalam rangka perolehan dana secara biasa, seperti lewat bank overdraft. d. Keunggulan anjak piutang 1. Mengatasi kesulitan modal kerja Melalui fasilitas anjak piutang penjualan kredit kepada nasabah dapat diubah menjadi penjualan tunai karena ditutupi oleh dana penjualan piutang yang berarti mengurangi risiko kredit. 2. Kesempatan pengembangan usaha Karena fasilitas anjak piutang, perusahaan klien memperoleh kesempatan untuk berkembang dengan menjual produk dan jasa lebih besar atas permintaan nasabah yang mempunyai reputasi baik tanpa pembiayaan anjak piutang, realisasi potensi pasar secara penuh sulit dapat diatasi.
28 3. Mengatasi beban risiko kredit Karena alasan risiko kredit, klien hanya melayani penjualan barang kepada nasabah lama dan menolak memperluas penjualan barang secara kredit kepada nasabah baru. 4. Memperbaiki sistem penagihan Perusahaan anjak piutang yang membeli piutang mengharapkan piutangnya dibayar pada saat jatuh tempo untuk itu, perusahaan anjak piutang selalu memantau tagihan-tagihannya dan memberitahukan kepada klien tagihan- tagihan yang telah jatuh tempo. 5. Bantuan administrasi piutang dan penagihan Perusahaan anjak piutang mempunyai sistem administrasi piutang dan penagihan yang lebih baik dengan sistem komputerisasi. Jasa administrasi tersebut sebagai bagian dari factoring agreement. Laporan yang akurat dan tepat waktu yang disampaikan oleh perusahaan anjak piutang sangat membantu klien untuk itu. Perusahaan anjak piutang memperoleh komisi (fee) dari perusahaan klien. e. Klasifikasi anjak piutang Dilihat dari segi tanggung jawab klien anjak piutang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: 1. Recourse factoring adalah anjak piutang dengan risiko kredit tetap menjadi tanggung jawab klien, setiap anjak piutang dianggap sebagai recourse factoring, kecuali jika ditentukan lain oleh para pihak. 2. Without recourse factoring adalah anjak piutang dengan risiko kredit bukan tanggung jawab klien melainkan seluruh beban tagihan dan risiko sepenuhnya tanggung jawab perusahaan anjak piutang, kecuali jika ada kesalahan pihak klien. Dilihat dari segi notifikasi kepada nasabah, anjak piutang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1. Disclosed factoring adalah anjak piutang yang pengalihan piutangnya kepada perusahaan anjak piutang diberitahukan kepada nasabah pengalihan tersebut dilakukan dengan cessie menurut pasal 613 ayat (1) KUH Perdata. 29 f. Pelayanan Anjak Piutang Dilihat dari segi pelayanan yang diberikan, anjak piutang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: 1. Maturity factoring, perusahaan anjak piutang hanya memberikan jasa pembukuan, proteksi dan pengontrolan kredit serta penagihan yang disebut service factoring, sifatnya hanya non financing. 2. financial factoring, adalah anjak piutang disamping memberikan jasa-jasa seperti maturity factoring juga memberikan jasa pembiayaan. g. Sarana Pengalihan Dari segi sarana pengalihan anjak piutang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: 1. Account receivable factoring adalah anjak piutang yang pengalihan piutang kepada perusahaan anjak piutang dilakukan melalui dokumen bukti hutang dalam bentuk buku tagihan. 2. Promissory notes factoring adalah anjak piutang dengan cara nasabah menerbitkan surat pengakuan hutang (promissory notes) atas hutang-hutangnya kepada klien kemudian klien mengendosemenkan surat pengakuan hutang itu kepada perusahaan anjak piutang sebagai salah satu cara pengalihan piutang. h. Tempat Kedudukan para Pihak Dari segi tempat kedudukan pihak-pihak, anjak piutang dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu: 1. Domestic factoring adalah anjak piutang dimana semua pihak berdomisili dalam satu negara. 2. International factoring adalah anjak piutang dimana pihak nasabah berdomisili di luar negeri atau di negara lain sedangkan klien berdomisili di dalam negeri, dalam hal ini di Indonesia. Anjak piutang ini disebut juga export factoring. i. Aspek Hukum Internasional Karena demikian berkembang pesatnya factoring internasional, sementara factoring jenis ini termasuk rentan terhadap timbulnya disputes, maka semakin hari, sengketa-sengketa pun semakin meningkat baik dari segi kualitasnya, maupun dari segi kuantitasnya oleh karena itu dibuatlah suatu ketentuan yang 30 bersifat internasional yaitu UNIDROIT, Convention on International Factoring dengan pusatnya di Roma Unidroit Convention menyediakan satu set ketentuan untuk transaksi factoring yang bersifat internasional tetapi peraturan ini masih belum begitu populer di kalangan bisnis. Disamping itu, secara internasional dibeberapa negara telah pula diusahakan berbagai kemudahan bagi klien untuk mencari tahu tentang perusahaan yang memfinance mereka. Di Inggris misalnya jalur informasi untuk klien mengenai data dari perusahaan faktor yang bergerak secara internasional dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut: 1. Sistem factel Sistem factel ini disediakan oleh international factors di Inggris yang memberikan free service kepada klien dari international factors lewat jaringan telepon dan televisi. 2. Sistem factflow Sistem jaringan ini tersedia bagi klien untuk mendapatkan data mengenai perkembangan factoring dengan perusahaan faktornya. Sistem ini disediakan oleh Lombart Natwest commercial services melalui jaringan internet dan telepon. 3. Sistem jaringan ini disediakan oleh century limited yang merupakan bagian factoring dari Bank Merchant close bros Plc. Sistem ini memberikan data kepada klien secara rinci dan terbaru karena selalu diperbaharui secara berkesinambungan seluruh biaya service. Semua sistem ini gratis kecuali biaya komunikasi lewat network telepon. Pada saat ini kegiatan bisnis factoring sudah semakin canggih dalam beroperasinya mengikuti perkembangan bisnis dan teknologi yang terus berkembang.
31 KARTU KREDIT
A. Pendahuluan Kartu kredit adalah merupakan alat pembayaran melalui jasa. Bank/perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang/jasa atau alat untuk menarik uang tunai dari bank/perusahaan pembiayaan. Alat pembayaran tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu kredit. Berdasarkan perjanjian tersebut, peminjam memperoleh pinjaman dana dari bank/perusahaan pembiayaan. Untuk menerima atau menarik dana tersebut bank/perusahaan pembiayaan menerbitkan dan menyerahkan kartu ukuran kecil dari bahan plastik yang disebut kartu kredit. Peminjam dana yang menerima kartu kredit disebut pemegang kartu (card holder) dan bank/perusahaan pembiayaan yang menyerahkan kartu kredit disebut penerbit (issuer).
B. Sejarah Kartu Kredit Karena uang sebagai alat pembayaran dalam perkembangannya dirasakan tidak cukup aman bagi pemegangnya. Hal ini dikarenakan baik karena tidak praktis, ataupun sering terjadi perampokan atau kehilangan tanpa tersedianya upaya pengamanan yang berarti. Maka kemudian berkembanglah bentuk-bentuk alat bayar lain misalnya penggunaan cek, tetapi bentuk alat bayar cek tersebut juga ternyata tidak cukup comfortable bagi pemegang mapun penermanya. Di USA, kartu kredit pertama kali dipergunakan dalam dekade 1920-an yang diberikan oleh department-department store besar kepada para pelangannya. Tujuannya, untuk mengidentifikasi pelanggannya yang ingin berbelanja tetapi dengan pembayaran bulanan. Karena itu, kartu kredit seperti ini berbentuk kartu pembayaran lunas (charge card) yang dibayar bulanan setelah ditagih dan tanpa kewajiban membayar bunga para pihaknya hanya dua pihak saja, yaitu pihak pertama toko sebagai penerbit, sedangkan pihak kedua adalah pelanggan sebagai pemegang kartu kredit. 26
26 Ronald, A. Baker. Problems of Credit Card Regulations USA Perspective dalam Newsletter No.6 Tahun 1994. Jakarta Pusat Pengkajian Hukum 1994 hal.1) 32 Selanjutnya, di akhir dasawarsa 1950-an, Bank of Amerika menjadi pionir dengan memperkenalkan kartu kredit antar bank, yang kemudian berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal dengan kartu kredit VISA. Demikian juga yang dilakukan oleh chase manhattan Bank dan dalam tahun 1951, The First National Bank Long Island juga telah mengeluarkan kartu kreditnya. Demikian juga disusul dengan bank-bank lainnya dan jaringan kartu kredit tersebut dilakukan dengan sistem franchise fungsi bank tersebut dapat berupa (1) penerbit kartu kredit (2) bank perantara bayar (collection bank) yakni yang bertugas untuk menerima slip penjualan dari penjual barang/jasa dan membayarnya kepada penjual tersebut dan meneruskan slip penjualan tersebut kepada bank. Penerbit untuk mendapatkan pembayaran kembali dan (3) dapat juga suatu bank bertindak sekaligus sebagai bank penerbit dan bank perantara bayar. Maka akhirnya berkembanglah berbagai macam kartu kredit dan menerobos tapal batas negara seiring dengan arus globalisasi. Perkembangan yang pesat terhadap pemakaian kartu kredit tersebut tidak terkecuali juga di Indonesia.
C. Dasar Hukum Kartu Kredit 1. Perjanjian antara para pihak sebagai dasar hukum Sistem hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (vide pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata) pasal 1338 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa setiap pernjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada pasal 1338 ayat (1) ini, asal saya dibuat secara tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, maka setiap perjanjian (lisan maupun tertulis) yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit akan berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak tersebut. 2. Perundang-undangan sebagai dasar hukum a. Keppres No.6 tahun 1988, tentang lembaga pembiayaan pasal 2 ayat (1) dari Keppres No.61 antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari lembaga pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan kartu 33 kredit adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka pembelian barang/jasa dengan menggunakan kartu kredit. Selanjutnya menurut pasal 3 dari Keppres No.61 ini yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut termasuk kegiatan kartu kredit adalah: 1) Bank 2) Lembaga keuangan bukan bank (sekarang sudah tidak ada lagi dalam sistem hukum keuangan kita) 3) Perusahaan pembiayaan b. Keputusan menteri keuangan No.1251/KMK.013/1998 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah terakhir dengan keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Pasal 2 dari keputusan Menkeu No.1251 ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan lembaga pembiayaan adalah usaha kartu kredit. Selanjutnya dalam pasal 7 nya ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang/jasa. c. Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan seperti yang telah diubah dengan undang-undang No.10 tahun 1998 dalam undang-undang tersebut pasal 6 huruf 1 nya adalah melakukan usaha kartu kredit.
D. Para pihak yang terlibat dalam Kartu Kredit 1. Pihak Penerbit (issuer) Pihak penerbit kartu kredit ini terdiri dari: a) Bank b) Lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang penerbitan kartu kredit c) Lembaga keuangan yang disamping bergerak di dalam penerbitan kartu kredit, bergerak juga di bidang kegiatan-kegiatan lembaga keuangan lainnya. Kepada pihak penerbit ini oleh hukum dibebankan kewajiban sebagai berikut: a) Memberikan kartu kredit kepada pemegangnya 34 b) Melakukan pelunasan pembayaran harga barang atau jasa atas bills yang disodarkan oleh penjual c) Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit terhadap setiap tagihannya dalam suatu periode tertentu d) Memberitahukan kepada pemegang kartu kredit berita-berita lainnya yang menyangkut dengan hak, kewajiban dan kemudahan bagi pemegang tersebut. Selanjutnya pihak penerbit kartu kredit oleh hukum diberikan hak-hak sebagai berikut: a) Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran kembali uang harga pembelian barang atau jasa b) Menagih dan menerima dari pemegang kartu kredit pembayaran lainnya seperti bunga, uang pangkal, uang tahunan, denda dan sebagainya c) Menerima komisi dari pembayaran tagihan kepada perantara penagihan atau kepada penjual. 2. Pihak pemegang kartu kredit (card holder) Secara hukum, pihak pemegang kartu kredit mempunyai kewajiban sebagai berikut: a) Tidak melakukan pembelian dengan kartu kredit yang melebihi batas maksimum b) Menandatangani slip pembelian yang disodorkan oleh pihak penjual barang/jasa c) Melakukan pembayaran kembali harga pembelian sesuai dengan tagihan oleh pihak penerbit kartu kredit d) Melakukan pembayaran-pembayaran lainnya, seperti uang pangkal, uang tahunan, denda dan sebagainya. Selanjutnya, pihak pemegang kartu kredit mempunyai hak-hak sebagai berikut: a) Hak untuk membeli barang/jasa dengan memakai kartu kredit dengan atau tanpa batas maksimum. 35 b) Kebanyakan kartu kredit juga memberi hak kepada pemegangnya untuk mengambil uang cash baik pada mesin teller tertentu dengan memakai nomor kode tertentu ataupun via bank-bank lain atau bank penerbit. Biasanya jumlah pengambilan uang cash dibatasi sampai batas plafond tertentu. c) Hak untuk mendapatkan informasi dari penerbit tentang perkembangan kreditnya dan tentang kemudahan-kemudahan sekiranya ada yang diperuntukkan kepadanya. 3. Pihak Penjual Barang/Jasa Secara hukum mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut: a) Menginformasikan kepada pemegang/pembeli barang/jasa tentang charge tambahan selain harga jika ada. Misalnya charge tambahan berapa persen dari harga penjualan terhadap pembelian dengan memakai kartu kredit terhadap beberapa jenis produk tertentu. b) Memberikan slip pembelian untuk ditandatangani oleh pihak pembeli/ pemegang kartu kredit. c) Membayar komisi ketika melakukan penagihan kepada perantara (jika dipakai perantara) atau kepada penerbit (jika dilakukan langsung kepada penerbit). Sedangkan yang menjadi hak dari penjual barang/jasa adalah sebagai berikut: a) Meminta pelunasan harga barang/jasa yang dibeli oleh pembelinya dengan memakai kartu kredit b) Menolak untuk menjual barang/jasa jika tidak terdapat otorisasi dan penerbit kartu kredit 4. Pihak Perantara Perantara adalah pihak pengelola kartu kredit dalam hal penagihan antara penjual dan penerbit dan pembayaran antara pemegang kartu dan penerbit. Perantara penagihan antara penjual dan penerbit disebut acquirer, yaitu pihak yang melakukan penagihan kepada penerbit berdasarkan catatan yang disampaikan kepadanya oleh penjual. Hasil penagihan tersebut dibayarkan kepada penjual dengan memperoleh komisi.
36 F. Klasifikasi Kartu Kredit a) Kartu kredit berdasarkan fungsinya ditinjau dari kriteria fungsinya, maka kartu kredit dibedakan menjadi 5 (lima) macam yaitu credit card, charge card, debit card, cash card, check guanrantee card. b) Kartu kredit berdasarkan wilayah berlakunya 1) Kartu kredit nasional Ini adalah jenis kartu kredit yang hanya berlaku dan digunakan sebagai alat pembayaran di suatu wilayah negara tertentu saja misalnya wilayah Indonesia. 2) Kartu kredit internasional Kartu kredit jenis ini dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional atau mancanegara. Kartu kredit internasional yang paling terkenal adalah visa card dan master card.
PEMBIAYAAN KONSUMEN A. Pendahuluan Pranata hukum pembiayaan konsumen dipakai sebagai terjemahan dari istilah consumer finance. Pembiayaan konsumen ini tidak lain dari sejenis kredit konsumsi (consumer credit). Hanya saja, pembiayaan konsumen dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara kredit konsumsi diberikan oleh bank. Menurut ketentuan pasal 1 angka (6) Keppres Nomor 61 tahun 1988 tentang lembaga pembiayaan: Pembiayaan konsumen adalah pembiayaan pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala. Keputusan menteri keuangan RI No.448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan memberikan pengertian kepada pembiayaan konsumen sebagai suatu kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen.
37 B. Sejarah Pembiayaan Konsumen Lahirnya pemberian kredit dengan sistem pembiayaan. Konsumen ini sebenarnya sebagai jawaban atas kenyataan-kenyataan sebagai berikut: 1) Bank-bank kurang tertarik/tidak cukup banyak dalam menyediakan kredit kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran kecil 2) Sumber dana yang formal lainnya berupa keterbatasan atau sistemnya yang kurang fleksibel atau tidak sesuai kebutuhan misalnya apa yang dilakukan oleh perum pegadaian, yang disamping daya jangkauannya terbatas tetapi juga mengharuskan penyerahan sesuai sebagai jaminan ini sangat memberatkan bagi masyarakat. 3) Sistem pembayaran informal yang dilakukan oleh para lintah darat atau tengkulak dirasakan sangat mencekam masyarakat dan sangat usury oriented. Sehingga dianggap sebagai riba dan banyak negara maupun agama melarangnya. 4) Sistem pembiayaan formal lewat koperasi, seperti koperasi unit desa ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan mengingat faktor-faktor tersebut diatas, mulailah dikembangkan sistem yang disebut pembiayaan konsumen dan pada akhirnya pembiayaan konsumen dikenal sebagai salah satu jenis sistem di luar perbankan dan mendapatkan pengaturannya oleh masing-masing negara, seperti juga di Indonesia.
C. Para Pihak dalam Pembiayaan Konsumen 1) Perusahaan Pembiayaan Konsumen Perusahaan pembiayaan konsumen adalah badan usaha berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran berkala oleh konsumen. Perusahaan tersebut menyediakan jasa kepada konsumen dalam bentuk pembayaran harga barang secara tunai kepada pemasok (supplier). Antara perusahaan dan konsumen harus ada lebih dulu kontrak pembiayaan konsumen yang sifatnya pemberian kredit. 38 2) Konsumen Konsumen adalah pihak pembeli barang dari pemasok atas pembayaran oleh pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen tersebut dapat berstatus perseorangan (individual) dapat pula perusahaan bukan badan hukum. Dalam hal ini ada 2 (dua) hubungan kontraktual yaitu: a. Perjanjian pembiayaan yang bersifat pemberian kredit antara perusahaan dan konsumen b. Perjanjian jual beli antara pemasok dan konsumen yang bersifat tunai 3) Pemasok adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Hubungan kontraktual antara pemasok dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Antara pemasok dan konsumen terdapat hubungan kontraktual, dimana pemasok wajib menyerahkan barang kepada konsumen dan konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran kepada perusahaan yang telah melunasi harga barang secara tunai.
D. Segi Hukum Pembiayaan Konsumen 1) Segi hukum perdata ada 2 (dua) sumber hukum perdata yang mendasari pembiayaan konsumen yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang- undangan bidang hukum perdata. 2) Perjanjian pinjam pakai habis Diatur dalam pasal 1754-1773 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal 1754 KUHPdt. Pinjam pakai habis adalah perjanjian, dengan mana pemberi pinjaman menyerahkan sejumlah barang pakai habis kepada peminjam dengan syarat bahwa peminjam akan mengembalikan barang tersebut kepada pemberi pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama. Maka menurut pasal 1765 KUH Perdata pihak-pihak (perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen) boleh memperjanjikan pengembalian uang pokok ditambah bunga. 39 3) Perjanjian jual beli bersyarat Diatur dalam pasal 1457-1518 KUH Perdata tetapi pelaksanaan pembayaran digantungkan pada syarat yang disepakati dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian pembiayaan konsumen. Dalam pasal 1513 KUH Perdata ditentukan. Pembeli wajib membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat yang ditetapkan menurut perjanjian. Syarat waktu dan tempat pembayaran ditetapkan dalam perjanjian pokok, yaitu pembayaran secara tunai oleh perusahaan pembiayaan konsumen ketika penjual menyerahkan nota pembelian yang ditandatangani oleh pembeli. 4) Segi perdata di luar KUH Perdata Selain dari ketentuan dalam buku III KUH Perdata yang relevan dengan pembiayaan konsumen terdapat juga ketentuan yang mengatur aspek perdata pembiayaan konsumen. i) UU No.9 tahun 1969 tentang BUMN apabila perusahaan pembiayaan tersebut berbentuk perseroan. ii) UU No. tahun 1995 tentang PT apabila perusahaan pembiayaan tersebut berbentuk PT. iii) UU No.5 tahun 1960 tentang ketentuan pokok agraria apabila perusahaan pembiayaan mengadakan perjanjian mengenai hak-hak atas tanah. iv) UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen apabila perusahaan pembiayaan konsumen melanggar kewajiban dan larangan undang- undang yang secara perdata merugikan konsumen.
40 HUKUM ASURANSI
Di dalam kehidupan dan kegiatan manusia pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifat hakiki yang dimaksud disini adalah suatu sifat tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Keadaan yang tidak kekal yang merupakan sifat alamiah tersebut mengakibatkan adanya suatu keadaan yang tidak dapat diramalkan lebih dahulu secara tepat. Upaya untuk mengatasi sifat alamiah yang berwujud sebagai suatu keadaan yang tidak pasti tadi antara lain dilakukan oleh manusia dengan cara menghindari atau melimpahkannya kepada pihak-pihak lain di luar dirinya sendiri. Usaha dan upaya manusia untuk menghindari dan melimpahkan risikonya kepada pihak lain beserta proses pelimpahan sebagai suatu kegiatan itulah yang merupakan embrio atau cikal bakal perasuransian yang dikelola sebagai suatu kegiatan ekonomi yang rumit sampai saat ini. Upaya untuk menanggulangi, mengelakkan, mengurangi atau memperkecil resiko tersebut adalah dengan jalan mengalihkan pada pihak lain berdasarkan perjanjian-perjanjian yang dimaksud disini ialah perjanjian asuransi atau perjanjian pertanggungan. Dalam praktek hal ini secara tegas diakui bahwa sesungguhnya hubungan antara asuransi dan risiko itu erat satu sama lain seperti pernyataan sebagai berikut Asuransi atau pertanggungan (verzekering) didalamnya tersirat pengertian adanya suatu risiko yang terjadi sebelum dapat dipastikan dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul beban risiko dari pihak yang mempunyai risiko tersebut kepada pihak lain yang sanggup mengambilalih tanggung jawab sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab ini yang diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima tanggung jawab. 27
Pada hakikatnya, lembaga asuransi atau pertanggungan selain sebagai lembaga peralihan resiko. Ia juga sebagai lembaga penyerap dana dari masyarakat
27 Dewan Asuransi Indonesia, Perjanjian Asuransi dalam Praktek dan Penyelesaian Sengketa Hasil Simposium tentang Hukum Asuransi. Padang, BPHN, 1978, hal.107 41 melalui pembayaran premi yang diberikan oleh masyarakat tertanggung kepada para penanggung (penanggung adalah perusahaan asuransi). Kitab Undang- undang Hukum Dagang pada pasal 246 memberikan batasan tentang asuransi atau pertanggungan sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karenanya suatu peristiwa yang tidak tertentu (evenemen). 28
Rumusan pasal KUHD ini lebih menekankan pada asuransi kerugian, tidak termasuk asuransi jiwa dan asuransi sosial. Dalam pasal 1 angka (1) undang- undang Nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan didefinisikan sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Rumusan pasal 1 angka (1) undang-undang Nomor 2 tahun 1992 ini ternyata lebih luas lingkupnya, yaitu meliputi: a) Asuransi kerugian (loss insurance) yaitu perlindungan terhadap harta kekayaan seseorang atau badan hukum, yang meliputi benda, asuransi, risiko yang ditanggung premi asuransi ganti kerugian. b) Asuransi jiwa (life insurance) yaitu perlindungan terhadap keselamatan seseorang yang meliputi jiwa seseorang resiko yang ditanggung, premi asuransi dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen, atau pengembalian (refund) bila asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen.
28 Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan. Pradnya Paramita Jakarta, 1982, hal.74. 42 c) Asuransi sosial (social security insurance) yaitu perlindungan terhadap keselamatan seseorang yang meliputi jiwa dan raga seseorang, resiko yang ditanggung, iuran asuransi dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen.
1. Resiko dan Asuransi Resiko dalam pengertian asuransi dikaitkan dengan ketidakpastian timbulnya kerugian akibat terjadinya bahaya atau peristiwa yang mengancam obyek asuransi. Tidak seorangpun yang mengetahui bahkan tidak diharapkan bahaya atau peristiwa yang mengancam itu akan terjadi dan jika terjadi akan menimbulkan kerugian. Apabila bahaya atau peristiwa yang mengancam itu dapat diprediksi akan terjadi atau sudah diketahui akan terjadi, sehingga sifat ketidakpastian itu tidak ada, maka hal ini tidak termasuk risiko dalam pengertian asuransi. Jika risiko ini diasuransikan, maka asuransi tersebut akan batal dengan sendirinya. Pada umumnya tindakan-tindakan yang lazim dilakukan oleh manusia untuk mengatasi segala kemungkinan yang timbul antara lain dengan cara: a. Menghindarkan (avoidance) maksudnya, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu agar tidak mendapat kerugian b. Mencegah (prevention) maksudnya mengadakan tindakan tertentu dengan tujuan paling tidak mengurangi kerugian c. Mengalihkan (transfer) maksudnya, kemungkinan buruk yang dapat menimpa dirinya dialihkan pihak lain d. Menerima (assumption or retention) Mengapa orang selalu menghindari atau mengalihkan risiko yang ada pada dirinya? Tentu berdasarkan atas alasan-alasan tertentu yang secara umum disebutkan oleh Robert Riegel et.al, karena risiko itu: 1. Akan merupakan suatu kerugian yang tidak dapat diduga lebih dahulu 2. Merupakan ketidakpastian yang dihadapi seseorang mengenai masa datang 29
29 Robert Riegel, et.al., Insurance Principles Practices Property and Liability Englewood Cliffs, New Jersey Prentice Hall, Inc. 1976, hal.2 43 Oleh karena itu pengertian risiko diberi batasan sebagai: kemungkinan terjadinya suatu kerugian atau batalnya seluruh atau sebagian dari suatu keuntungan yang semula diharapkan karena suatu kejadian diluar kuasa manusia, kesalahan sendiri atau perbuatan manusia lain. Dari batasan tersebut mengandung dua unsur yaitu: 1. Ketidakpastian 2. Bersifat negatif Risiko itu sendiri dapat dibedakan karena sifatnya yaitu: 1. Langsung 2. Tidak langsung 3. Tanggung jawab 4. Risiko yang timbul karena tindakan orang lain Jadi setiap resiko pada hakikatnya adalah suatu yang sama sekali tidak dikehendaki oleh siapapun, oleh karena itu manusia mencari jalan keluar bagaimana apabila terjadi suatu resiko ada pihak lain yang dapat membantu dan menanganinya. Dari sisi manajemen resiko, asuransi dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu resiko. 30
2. Perjanjian Asuransi sebagai Perjanjian yang bertujuan memberikan proteksi Secara umum dapat dikatakan bahwa perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama untuk memberi ganti rugi, sehingga perjanjian asuransi dapat diartikan sebagai perjanjian ganti rugi atau perjanjian identitas. Batasan perjanjian asuransi yang terdapat dalam pasal 246 KUH Dagang dapat memberikan indikator bahwa perjanjian asuransi itu pada dasarnya adalah perjanjian yang mempunyai tujuan memberi ganti kerugian ialah sesuai dengan asas identitas. Dari pasal 246 KUH dagang dapat diuraikan unsur-unsurnya yaitu: 1. Pihak pertama ialah penanggung yang pada umumnya adalah perusahaan asuransi
30 Cathur Williams Yr dan Richard M. Heins, Risk Management and Insurance Mc. Graw Hill Book Company Singapore 1985 hal.5 Risk is a key tool of risk management. 44 2. Pihak kedua adalah tertanggung yang dapat menduduki posisi tersebut dalam perorangan, kelompok orang atau lembaga, Badan Hukum termasuk perusahaan atau siapapun yang dapat menderita kerugian. Jadi dalam hal ini, siapapun yang mempunyai peluang atau kemungkinan menderita kerugian dapat mengalihkannya kepada perusahaan asuransi sebagai penanggung.\ Asuransi juga merupakan suatu mekanisme kerja diantara para pihak yang mengadakan perjanjian, karena perusakan asuransi sebagai penanggung berjanji dan menawarkan suatu pembayaran kepada pihak tertanggung/pemegang polis, suatu jumlah tertentu. Pembayaran tersebut baru dilakukan apabila tertanggung/pemegang polis menderita kerugian karena suatu peristiwa yang belum pasti sebagai imbalannya karena perusahaan asuransi sebagai penanggung harus menerima beban untuk membayar kerugian, maka penanggung mengajukan suatu harga yang disebut sebagai premi. Perbedaan pokok antara perjanjian asuransi dengan perjanjian yang lain, ialah pada pemenuhan prestasi. Prestasi para pihak pada perjanjian lain pada umumnya, dapat saling dipenuhi secara seketika dan serentak baik kreditur maupun debitur secara bersama-sama dalam waktu yang bersamaan dapat saling memenuhi prestasi masing-masing. Dengan demikian segera dapatdiketahui siapa yang sudah melakukan prestasinya dan siapa yang belum, sehingga dapat pula diketahui posisi para pihak. Misalnya pada perjanjian jual beli, sewa menyewa, pengangkutan dan sebagainya. Lain halnya dengan perjanjian asuransi, mengingat sifatnya yang mempunyai tujuan/sasaran utama sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi dan ganti kerugian, maka mekanisme perjanjian tidak sesederhana perjanjian-perjanjian lain. Syarat-syarat agar penanggung bersedia memenuhi tanggung jawabnya dengan melaksanakan prestasinya adalah sebagai berikut: 1. Adanya peristiwa yang tidak tertentu 2. Hubungan sebab akibat 3. Apakah ada yang memberatkan risiko 4. Apakah ada cacat atau kebusukan atau sifat kodrat dari barang 5. Kesalahan tertanggung 45 6. Nilai yang diasuransikan
3. Polis sebagai Dokumen Perjanjian Asuransi Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saya, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan. Dalam pasal 255 KUH Dagang disebutkan: suatu tanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Dalam pasal 256 KUH Dagang menentukan bahwa, setiap polis kecuali yang mengenai suatu pertanggungan jiwa, harus menyatakan: 1. Hari ditutupnya pertanggungan 2. Nama orang yang menutup pertanggungan atas tanggungan sendiri atau atas tanggungan orang ketiga 3. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai barang yang dipertanggungkan 4. Jumlah uang untuk berapa diadakan pertanggungan 5. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si penanggung 6. Pada saat mana bahaya mulai berlaku untuk tanggungan si penanggung dan saat berakhirnya itu 7. Premi pertanggungan tersebut dan 8. Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si penanggung untuk diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak. Polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.
4. Perjanjian Reasuransi Peran utama reasuransi ialah untuk memberikan perlindungan bagi penanggung atau perusahaan asuransi, berkenaan dengan tanggung jawabnya kepada tertanggung nasabahnya perlindungan tersebut merupakan suatu tindak lanjut peralihan risiko yang pertama dari tertanggung kepada penanggung atau 46 perusahaan asuransi dan selanjutnya adalah peralihan yang kedua yaitu dari penanggung ke perusahaan reasuransi. Karena pada hakikatnya, tujuan reasuransi atau pertanggungan ulang itu sama dengan tujuan asuransi atau pertanggungan yaitu untuk mengalihkan resiko- resiko sendiri kepada pihak lain dari resiko tertanggung menjadi risiko penanggung. Pihak penanggung dengan menerima resiko dari tertanggung bebannya menjadi lebih berat, untuk itu kemudian mengalihkannya kembali kepada penanggung ulang sebagai pertanggungan ulang atau reasuransi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sesungguhnya, reasuransi itu merupakan suatu kebutuhan mutlak bagi setiap perusahaan asuransi (ceding company) apabila menginginkan perusahaannya dapat selalu berjalan secara aman karena alasan- alasan sebagai berikut: a) Perusahaan asuransi itu sesungguhnya adalah menjual kepastian dalam bentuk proteksi (perlindungan kepada tertanggung) nasabahnya b) Setiap perusahaan asuransi itu selalu berada dalam berbagai keterbatasan sendiri, antara lain keterbatasan (limit) dalam modal kemampuan, pasar dan sebagainya c) Perusahaan asuransi harus tetap dalam keadaan siap, agar selalu dalam keadaan praktek kerja yang pasti serta kemampuan membayar yang wajar, karena pada dasarnya perusahaan asuransi itu menjual janji dari ketidakpastian menjadi kepastian. Dilema yang dihadapi perusahaan asuransi adalah antara kemampuan menerima penawaran dari tertanggung dan kemampuan untuk membayar klaim yang timbul salah satu pilihan yang dapat dilaksanakan ialah tetap menerima penawaran dari nasabah, tetapi mengalihkannya kembali kepada pihak lain. Kegiatan ini tidak lain dengan cara reasuransi. Reasuransi merupakan pilihan yang tepat, karena beberapa alasan seperti dibawah ini: 31
a. Reasuransi memungkinkan penanggung pertama menerima pelimpahan resiko yang besar dengan aman tanpa ancaman dan ketidakseimbangan solvensi
31 John Buther dan Robert M. Merkinllan. Reinsurance. Kluwer Publishing, 1987 hal.1 47 artinya meskipun penanggung pertama mengadakan perjanjian asuransi dengan nilai yang relatif besar karena yang ditahan hanya sebagian, maka hal ini tidak akan membahayakan kemampuan membayar (tertanggung pada permintaan masyarakat) b. Reasuransi memungkinkan penanggung pertama untuk tetap menjaga suatu stabilitas usaha tanpa rasa khawatir terhadap adanya tuntutan klaim yang bersamaan, klaim besar yang tidak diantisipasikan yang dapat membahayakan perusahaan c. Reasuransi modern yang gerak operasionalnya melampaui wilayah negara dapat membagi dampak ekonomi yang disebabkan oleh terjadinya peristiwa besar. Pada beberapa negara (misalnya karena bencana gempa bumi) atau bencana alam yang lain.
5. Konstruksi Perjanjian Reasuransi Asas-asas utama yang harus dikandung oleh setiap perjanjian reasuransi adalah sebagai berikut: 1) Asas ganti kerugian a. Semua perjanjian reasuransi merupakan perjanjian ganti kerugian. Penanggung ulang mengadakan perjanjian untuk memberi ganti kerugian kepada penanggung pertama secara langsung berdasarkan syarat-syarat yang disepakati b. Sesuai dengan asas ganti kerugian, penanggung pertama harus membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah suatu kerugian yang termasuk dalam ketentuan perjanjian reasuransi c. Kemungkinan lain mengenai pelaksanaan ganti kerugian yang dapat timbul, yaitu dengan menggunakan klausula khusus. 2) Asas kepentingan yang diasuransikan a) Setiap perjanjian reasuransi harus didukung oleh kepentingan yang dapat diasuransikan yang dengan jelas dapat dilihat dari polis yang bersangkutan, yang dikeluarkan oleh penanggung pertama kepada pihak tertanggung. 48 Berdasarkan polis mana penanggung pertama dapat mereasuransikan resiko yang ada padanya b) Batas kepentingan yang dapat direasuransikan adalah terbatas sampai pada tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh penanggung pertama sesuai dengan polis, yaitu sampai jumlah yang diasuransikan atau sampai batas ganti rugi dari resiko yang bersangkutan. 3) Asas itikad baik yang sempurna a) Asas itikad baik yang setinggi-tingginya merupakan asas utama yang sama pentingnya baik dalam perjanjian asuransi maupun perjanjian reasuransi. Dalam perjanjian reasuransi penerapan asas ini harus dilaksanakan dengan ketat, mengingat para pihak adalah ahli dalam bidangnya masing-masing. Pelaksanaan asas ini sangat nyata pada reasuransi fakultatif karena masing- masing resiko diserahkan sendiri-sendiri kepada penanggung ulang dengan slip yang memberikan keterangan atas resiko yang bersangkutan dan retensi dari penanggung pertama. b) Guna menegakkan asas itikad baik yang setinggi-tingginya (terutama untuk metode reasuransi, perjanjian/treaty) dimana penanggung ulang tidak mempunyai peluang untuk mengetahui dengan baik atas semua risiko yang ditanggungnya. Penanggung pertama dapat mengadakan konsultasi dengan penanggung ulang terutama apabila terdapat tuntutan klaim yang luar biasa. c) Apabila terdapat pelanggaran atas asas itikad baik yang setinggi-tingginya oleh penanggung pertama, khusus untuk suatu risiko yang khusus, penanggung ulang mempunyai hak untuk menolak melaksanakan kewajibannya. 4) Subrogasi pada reasuransi Pada perjanjian reasuransi berlaku juga asas subrogasi. Apabila terdapat subrogasi pada perjanjian asuransi yang bersangkutan maka penanggung ulang akan memperhitungkannya sedemikian rupa. Hal ini berarti, bahwa ganti rugi yang seharusnya diterima oleh penanggung pertama, dikurangi dengan subrogasi yang berasal dari perjanjian asuransi semula. Dengan demikian 49 penanggung pertama tidak akan menerima ganti kerugian, lebih besar dari nilai finansial sesuai dengan tanggung jawabnya. 5) Permasalahan dalam hukum asuransi Hal lain yang termasuk dalam ruang lingkup hukum asuransi biasanya termasuk beberapa atau semua dari hal-hal berikut ini: 32
a) Pengecualian karena kebijaksanaan umum, peristiwa dimana kontrak asuransi tidak dapat ditandatangani karena semalam pelanggaran hukum atau ketidaktepatan. Misalnya di beberapa negara tidak dimungkinkan memperoleh asuransi terhadap kerugian atas alat-alat judi atau terhadap kerugian atas inventaris suatu badan usaha yang beroperasi tanpa ijin yang sah. b) Pengecualian karena tindakan kesengajaan, doktrin bahwa peliputan asuransi tidak diberikan terhadap kerugian yang secara sengaja disebabkan oleh orang yang terasuransi. Contoh menyangkut kebakaran, bila orang yang diasuransikan menyulut kebakaran atas bangunannya, dia tidak dapat menuntut ganti rugi berdasar polis asuransinya. c) Asuransi ganti rugi, dalam hal ini asuransi melindungi terasuransi terhadap kewajiban hukum terhadap pihak ketiga, misalnya suatu badan usaha dapat memperoleh asuransi ganti rugi untuk menjaga kemungkinan kerugian besar dari gugatan hukum yang diajukan oleh seorang konsumen atas luka badan/kerugian dari tempat atau produk badan usaha tersebut. d) Prosedur mengajukan tuntutan pembayaran, kontrak asuransi biasanya menegaskan secara rinci kewajiban dari yang terasuransi untuk memberitahukan kerugian kepada perusahaan asuransi itu dengan segera, membuktikan secara rinci jenis dan bear kerugian, menyerahkan tuntutannya dalam kurun waktu yang sudah ditentukan. Setelah kerugian terjadi dan memberikan kerjasama kepada perusahaan asuransi dalam penyelidikan dan pembelaan terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
32 John W. Head. Pengantar Umum Hukum Ekonomi Proyek. Elips dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997, hal.52 50 e) Pembelaan pihak asuransi, keadaan dimana perusahaan dapat secara hukum menolak membayar ganti rugi yang dituntut oleh pihak yang diasuransikan. Penolakan demikian ini dimungkinkan, misalnya bila pihak yang diasuransikan menutup-nutupi atau memberi beberapa materi fakta yang menyesatkan yang berhubungan dengan hak milik yang diasuransikan.
HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)
Kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang mengingat satu atau lebih subyek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir karena undang-undang mencakup misalnya kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan istrinya. Syarat syahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Syarat pertama dan kedua di atas dinamakan syarat-syarat subyektif, apabila satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat-syarat obyektif yaitu jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum. Jika syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi, maka berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang. Ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH perdata menegaskan bahwa: 51 Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan ketentuan di atas maka ketentuan-ketentuan dalam buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam menentukan isi, bentuk serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selalu tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Ketentuan yang terdapat didalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum mengatur artinya kaidah-kaidah hukum yang dalam kenyataannya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Michael Trebilcock, dalam bukunya The Limits of Freedom of Contract dan The Value and Limits of Law and Economics in Richardson and Hadfield (ed), the Second Wave of Law and Economics, mengidentifikasi empat fungsi hukum kontrak dalam meningkatkan efisiensi ekonomi. 33
a. Kemanfaatan substansi dan bukan pertukaran bersama hukum kontrak berisi kemanfaatan yang akan diperoleh dari masing-masing pihak. Pihak-pihak melakukan prestasi yang disepakati bersama. Prestasi suatu pihak dikehendaki oleh pihak lainnya, sebagai suatu kemanfaatan substansi kontrak harus dibuat sedemikian rupa sehingga pihak- pihak memiliki itikad untuk melaksanakannya jika satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, maka akan ada kompensasi bagi pihak lainnya sesuai dengan persyaratan khusus yang tercantum dalam kontrak. Pakar hukum dan ekonomi menekankan bahwa persyaratan ini menyediakan perlindungan bagi keuntungan pihak yang dirugikan dengan memberikan kemanfaatan. Hal lain yang memiliki nilai bagi penegakan kontrak berupa reputasi baik yang secara nyata menjadikan pihak-pihak untuk tunduk dan mentaati kontrak.
33 Peter Heffey, Principles Contract Law. Thomson Legal and Regulatory Limited, Sidney, 2002 hlm.16 52 b. Mengurangi biaya-biaya transaksi Fungsi hukum kontrak berikutnya adalah mengurangi biaya-biaya transaksi. Hukum kontrak mengurangi biaya-biaya transaksi dengan mempersiapkan sejumlah persyaratan untuk menghindari kesalahan dalam suatu kontrak atau default. Persyaratan tentang kelalaian adalah persyaratan yang secara umum diberlakukan hampir dalam seluruh kontrak. Kecuali jika pihak-pihak telah menyusun persyaratan tertentu untuk melakukan penghentian (termination) atas suatu kontrak. Aturan kelalaian untuk melindungi pihak-pihak itu dirumuskan dalam sebuah rancangan untuk menghadapi kondisi yang tidak menentu dalam sebuah kontrak. Dari sudut pendekatan ekonomi, memenuhi unsur kelalaian terhadap persyaratan dari hukum kontrak memudahkan untuk melakukan penegakan atas perilaku demikian. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, pihak-pihak melakukan permufakatan atau jika tidak memungkinkan, persyaratan lalai harus ditegakkan agar dapat bertindak secara efisien. c. Kesenjangan dalam kontrak yang tidak sempurna Fungsi ketiga dari hukum kontrak berhubungan erat dengan klausula-klausula dalam mengisi berbagai kesenjangan di dalam kontrak yang belum sempurna. Suatu kontrak dapat dibuktikan tidak sempurna dimana pihak-pihak gagal untuk memprediksi hal-hal yang mempengaruhi tercapainya kontrak mereka. Doktrin ini membebaskan pihak-pihak dari kewajibannya. Jika tujuan yang hendak dicapai merupakan hal yang mustahil dapat dilakukan atau berbeda dari apa yang mereka harapkan. d. Alternatif bagi pembebasan kewajiban dalam situasi tertentu Fungsi keempat adalah didalam menyediakan alternatif untuk suatu pembebasan terhadap pelaksanaan kewajiban terutama bila dikaitkan dengan kegagalan pasar. Hukum kontrak dirasakan begitu menakut-nakuti pertukaran yang tidak efisien dikarenakan kegagalan pasar seperti banyak terjadi pihak- pihak yang terlibat dalam suatu kontrak dalam melakukan pemenuhan kewajiban tidak berdasarkan kehendak melainkan terdapat suatu tekanan tertentu. 53 Asas-asas Hukum dalam Perjanjian (Kontrak) Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal, akan tetapi tidak jarang pula asas hukum dituangkan dalam peraturan konkrit. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaidah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu. Hukum perjanjian tidak terlepas dari paham individualisme seperti yang dijumpai dalam BW (lama) tahun 1838 BW (baru) tahun 1992, maupun didalam kitab undang-undang Hukum Perdata, sebagai ciri-ciri khas hukum perjanjian atau kontrak. 34
Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum kontrak. Dari sejumlah prinsip hukum tersebut perhatian dicurahkan pada tiga prinsip utama atau asas utama, prinsip-prinsip tersebut memberikan sebuah gambaran mengenai latar belakang cara berpikir yang menjadi dasar hukum kontrak. Satu dan lain karena sifat fundamental hal-hal tersebut maka prinsip-prinsip utama itu dikatakan pula sebagai prinsip-prinsip dasar 35 sebagai prinsip-prinsip hukum kontrak, Niewenhuis menyebutkan: asas otonomi asas kepercayaan dan asal kausa (Drie begin seleh van het contracten vecht). Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah: prinsip atau asas konsensualitas dimana persetujuan-persetujuan dapat terjadi karena persesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Pada umumnya persetujuan-persetujuan itu dapat dibuat secara bebas bentuk dan dibuat tidak secara formal melainkan konsensual 36 (prinsip ini ditentukan dalam hukum kanonik yaitu dekrit-dekrit Paus Gregorius IX berbunyi pacta nuda servanda sunt (semua persetujuan betapapun ini tidak berwujud harus dipenuhi). Prinsip atau asas kekuatan mengikat persetujuan menegaskan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain
34 J.H.M Vanerp. Contracts als Rechts betrekking, Een Rechtvergelijkende Studie, Diss KUB, Zwolle, 1990 hlm.2 35 Herlien Budiono, Het Evenwicht beginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht, Diss Leiden, 2001, hlm.64 36 R. Freestra dan Ahsman, Contract Aspecten van Begrippen Contract en Contracturiy heid in Historisch Perpectief, Tweededruk, Deventer 1988, hlm.40. 54 dalam persetujuan yang mereka adakan dan yang terakhir adalah prinsip kebebasan berkontrak, dimana para pihak diperkenankan membuat suatu persetujuan sesuai dengan pilihan bebas masing-masing dan setiap orang mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapa saja yang dikehendakinya. Selain itu para pihak dapat menentukan sendiri isi maupun persyaratan-persyaratan suatu persetujuan dengan pembatasan bahwa persetujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan sebuah ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan. 37
Adapun konsensualitas menyangkut terjadinya sebuah persetujuan. Prinsip mengikat menyangkut akibat persetujuan, sedangkan prinsip kebebasan berkontrak terutama berurusan dengan isi persetujuan. Kendatipun diantara ketiga prinsip yang disebut di atas dapat dan harus dibedakan dengan tegas satu dengan yang lain maka untuk memperoleh pengertian yang benar prinsip itu justru harus dibahas secara bersama-sama satu dan lain karena ketiga-tiganya berhubungan erat satu dengan yang lain.
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pendahuluan Gidelines for Consumer Protection of 1985 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan bahwa konsumen dimanapun mereka berada dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk mendapatkan ganti rugi, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut dinegaranya masing-masing. Pembahasan mengenai hukum perlindungan konsumen (consumer protection) berarti kita berbicara tentang salah satu sisi dari korelasi antara
37 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. Hlm.74 55 lapangan perekonomian dan lapangan etika. Dalam hal ini sektor yuridis akan memainkan peranan yang penting yakni merupakan faktor penjamin agar arus transformasi etika ke dalam batang tubuh perekonomian tetap dapat terpelihara. Dengan lahirnya undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, maka diharapkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia yang selama ini dianggap kurang diperhatikan, bisa lebih diperhatikan. Secara umum dan mendasar hubungan antara produsen dan konsumen (perusahaan penghasil barang atau jasa) dengan konsumen (pemakai akhir dari barang dan atau jasa untuk diri sendiri atau keluarganya) merupakan hubungan yang terus menerus dan kesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain. 38
Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat masal tersebut hubungan antara pihak secara individual/personal dapat menciptakan hubungan- hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain: 1. Kondisi harga dari suatu jenis komoditi tertentu 2. Penawaran dan syarat perjanjian 3. Fasilitas yang ada sebelum dan purna jual 4. Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu Keadaan-keadaan seperti tersebut di atas dapat menimbulkan dan mempengaruhi suatu perjanjian antara produsen dengan konsumen di dalam prakteknya seringkali terjadi perjanjian tersebut melemahkan posisi konsumen karena secara sepihak para produsen/distributor sudah menyiapkan suatu kondisi dengan adanya perjanjian baku yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan oleh produsen atau jaringan distributornya. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saya, melainkan oleh suatu sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan
38 Sri Redjeki Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi Mandar Maju. Bandung. 2000, hal.80 56 komprehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur baik secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen. Apabila memperhatikan sudut pandang konsumen ada beberapa hal yang diinginkan ole konsumen pada saat hendak membeli suatu produk diantaranya. 1) Diperolehnya informasi yang jelas mengenai produk yang akan dibeli 2) Keyakinan bahwa produk yang dibeli tidak berbahaya baik bagi kesehatan maupun keamanan jiwanya 3) Produk yang dibeli cocok sesuai dengan keinginannya, baik dari segi kualitas, ukuran, harga dan sebagainya 4) Konsumen mengetahui cara penggunaannya 5) Jaminan bahwa produk yang dibelinya dapat berguna dan berfungsi dengan baik 6) Jaminan bahwa apabila barang yang dibeli tidak sesuai atau tidak dapat digunakan maka konsumen memperoleh penggantian baik berupa produk maupun uang Kenyataan yang terjadi adalah seringkali konsumen tidak memperoleh apa yang diharapkan secara maksimal akibatnya konsumen dirugikan. Untuk itu telah banyak ketentuan yang dibuat baik yang sifatnya nasional maupun internasional yang dapat dipakai sebagai pedoman guna memberikan perlindungan bagi kepentingan konsumen. Dalam UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dalam pasal 4 telah mengatur hak-hak konsumen yang meliputi: 1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa 2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan 3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan 57 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut 6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen 7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif 8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya Ketentuan ini dipahami sebagai penegasan bahwa undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum undang-undang perlindungan konsumen (UUPK). Sesuai asas Lexspecialis derogate legi generali artinya ketentuan-ketentuan diluar undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) dan/atau tidak bertentangan dengan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK). Undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) mengelompokkan norma- norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu: 1) Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (bab IV undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) 2) Ketentuan pencatuman klausula baku (bab V UUPK) Secara umum pengelompokan ini belum menggambarkan mata rantai hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen, dari mulai kegiatan proses produksi barang dan jasa sampai ke tangan konsumen, baik melalui transaksi atau peralihan lainnya yang dibenarkan hukum. Namun bila pasal undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) itu ditelusuri deskripsi mata rantai itu sudah ditampilkan. Norma-norma itu disebut sebagai kegiatan-kegiatan pelaku usaha dan secara keseluruhan sebaiknya dikelompokkan sebagai berikut: 1) Kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa (pasal 8 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) 58 2) Kegiatan penawaran, promosi dan periklanan barang dan/atau jasa (pasal 9 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3), pasal 10, pasal 12, pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), pasal 15, pasal 16 serta pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) 3) Kegiatan transaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 11, pasal 14 serta pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) 4) Kegiatan pascatransaksi penjualan barang dan/atau jasa (pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) Diperoleh pemahaman yang utuh tentang norma-norma perlindungan konsumen melalui pengelompokan ini. Disamping itu, juga memudahkan inventarisasi kemungkinan pertentangan diametral dengan undang-undang lainnya yang lebih dulu lahir atau bersamaan dengan undang-undang perlindungan konsumen. Perumusan norma-norma yang bersifat formal pun (hukum acara) menimbulkan birokrasi baru bagi konsumen yang gagal menuntut keadilan lewat badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK). Akibat pelaku usaha tidak secara sukarela melaksanakan putusan BPSK, padahal tenggang waktu untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada pengadilan negeri telah dilampaui atau pelaku usaha tidak mengajukan keberatan (pasal 56 UUPK). Dalam keadaan ini BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada (pejabat penyidik polri dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah menurut pasal 56 ayat (5) UUPK ini, putusan itu merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
B. Instrumen Hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (pasal 52 Undang-undang Perlindungan konsumen jo.SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001tanggal 10 Desember 2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Penyelesaian sengketa konsumen yaitu: 59 1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase. 2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen 3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku 4. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran undang-undang perlindungan konsumen (UUPKI) 5. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen 7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 8. Memanggil dan menghadirkan saksi, ahli dan/atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) 9. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli atau setiap orang yang pada butir 7 dan 8 tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK 10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan 11. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen 12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen 13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang perlindungan konsumen (UUPK) Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan 3 (tiga) cara yaitu: 1. Konsiliasi = ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sedangkan majelis BPSK bersikap pasif majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara pihak yang bersengketa 2. Mediasi = bedanya dengan konsiliasi pada mediasi majelis BPSK bersikap aktif sebagai pemerantara dan penasehat, pada dasarnya mediasi adalah suatu proses dimana pihak ketiga (a third party), suatu pihak luar yang netral (a 60 neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang disepakati. 3. Arbitrase = pada pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa dalam masalah-masalah perdata (civil matters) yang dapat disetujui oleh kedua elah pihak yang dapat mengikat (binding) dan dapat dilaksanakan/ditegaskan para pihak diwajibkan untuk pergi ke arbitrase atas suatu masalah tertentu sebagai bagian dari suatu perjanjian tentang prosedur penyelesaian sengketa (dispute resolution procedures) yang telah disepakati para pihak terdahulu, sebelum para pihak terlibat dalam proses, hasil keputusan arbitrase (the status of the outcome of arbitration) harus disetujui para pihak tersebut.
Pengertian Hukum Hukum dalam bahasa Belanda dinamakan Recht dari bahasa latin Rectum yang memiliki arti kebaikan, kebajikan, tidak tercela, bimbingan. Selanjutnya kata latin lainnya tentang hukum adalah ius yang berarti hukum, berasal dari kata lubere artinya mengatur, memerintah kata ius ini bertalian erat dengan iustitia atau keadilan. Beberapa pakar memberikan definisi tentang Hukum sebagai berikut: 1. Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam Delegibus mengatakan: Hukum adalah akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. 2. Rudolf Von Jhering (Jerman) dalam Der Zweck im Recht 1877 1882 mengatakan: Hukum adalah keseluruhan peraturan yang memaksa (compulsory rules) yang berlaku dalam suatu negara). 3. Van Apeldoorn dalam Inleiding tot de studie van het nederlandse recht memberikan pengertian bahwa memberikan definisi hukum sebenarnya hanya 61 bersifat menyamaratakan saja, tergantung dari siapa yang memberikannya. Menurut Van A Peldoorn, hukum terdiri dari: pertama, peraturan-peraturan, kedua, obyek dari peraturan-peraturan adalah perhubungan hidup yang menampakkan diri di dalam perbuatan atau kelakuan manusia, dan bukan soal- soal pribadi atau soal batin dari obyeknya. Ketiga, peraturan hidup tersebut tidak berlaku untuk hewan atau tumbuh-tumbuhan dengan demikian hukum mengatur perhubungan antar manusia. 4. Paul Schotten dalam Algemeen Dell menjelaskan bahwa untuk mengerti tentang hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham tentang kedudukan manusia di dalam masyarakat dengan memperhitungkan keduanya secara bersama-sama. Selanjutnya untuk memberi batasan tentang hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: Unsur perintah yang dimaksud dengan perintah adalah peraturan yang berasal dari negara kepada individu dan masyarakat. Umumnya berlaku di bidang publik dimana setiap pelanggaran memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tindakan Unsur ijin yang dimaksud adalah ijin yang diberikan oleh negara kepada setiap individu, agar setiap individu dapat melaksanakan tugas dengan semestinya Unsur suatu janji yang dimaksud dengan janji yang diucapkan oleh suatu pihak terhadap pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku atau merupakan hukum atau undang-undang bagi pihak-pihak yang berjanji. Hal ini dikenal dengan asas pacta sunt servanda artinya setiap janji harus ditepati. Unsur hukum yang disediakan yang dimaksud adalah peraturan undang- undang yang telah dibuat oleh negara untuk dipergunakan kepada setiap warganegara. Seandainya diantara perjanjian yang dibuat oleh para pihak belum lengkap syarat-syaratnya. 5. Mochtar Kusumaatmaja dalam hukum, masyarakat dan pembinaan hukum nasional mengatakan: 62 Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Bidang-bidang Hukum Agar dapat memperoleh suatu pengertian yang lebih baik serta lebih mudah menemukan dan menerapkan hukum maka perlu mencari sistem klasifikasi atau bidangnya. Hukum dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan atau kategori berdasarkan beberapa ukuran antara lain sebagai berikut: a. Berdasarkan sumbernya hukum dapat dibagi 5: hukum undang-undang, hukum adat/kebiasaan, hukum traktat, hukum yurisprudensi dan hukum ilmu (sesuai dengan sumber hukum formil) b. Berdasarkan bentuknya ada 2 yakni hukum tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis atas hukum kebiasaan ialah hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti peraturan perundang-undangan. c. Berdasarkan waktu berlakunya dibedakan menjadi 2 yakni yus constitutum (hukum positif) adalah hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat tertentu dan suatu daerah tertentu dan yus constituendum adalah hukum yang dicita- citakan atau hukum yang berlaku pada masa yang akan datang. d. Berdasarkan cara mempertahankannya ada hukum materiil yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan dan hubungan- hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan dan ada hukum formil (hukum acara) e. Berdasarkan tempat berlakunya maka ada hukum nasional (berlaku dalam satu negara saja), hukum internasional dan hukum asing yakni hukum yang berlaku dalam negara lain f. Berdasarkan kekuasaan sanksinya ada hukum pemaksa dan hukum pelengkap 63 g. Berdasarkan penciptaan, maka ada hukum ciptaan Tuhan (seperti hukum agama, hukum alam) dan hukum ciptaan manusia, misalnya: kitab undang- undang hukum Pidana (KUHP), Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) dll h. Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi dalam hukum publik dan hukum private. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat atau perlengkapan negara atau hubungan antara negara dengan warga negara Hukum private (hukum sipil/civil law) Yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan atau pribadi.
Fungsi Hukum Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan organisasi dalam masyarakat. Kepentingan- kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain oleh hukum diintegrasikan. Sedemikian rupa sehingga benturan-benturan ini dapat ditekan sekecil-kecilnya, pengintegrasian kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain (Satjipto Rahardjo, 1993:46). Dalam masyarakat hukum, fungsi perencanaan dan penanggulangan itu dilakukan dengan memanfaatkan hukum karena: 1) Hukum merupakan hasil penjelajahan ide dan pengalaman manusia dalam mengatur hidupnya 2) Hakekat pengadaan dan keberadaan hukum dalam suatu masyarakat terutama untuk mengatur kehidupan masyarakat 3) Fungsi mengatur telah didukung oleh potensi dasar yang terkandung dalam hukum, yang melampaui fungsi mengatur yaitu berfungsi juga sebagai pemberi kepastian, pengamanan pelindung dan penyeimbang yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel tetapi juga prediktif dan antisipatif. 64 4) Dalam isu pembangunan global, hukum dipercaya sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan. (Lili Rasjidi, 1993:16) Potensi hukum terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. Preventif adalah fungsi pencegahan yang dituangkan dalam bentuk pengaturan pencegahan (prevention regulation) yang hakekatnya merupakan desain dari setiap tindakan yang hendak dilakukan masyarakat. Represif adalah fungsi penanggulangan yang dituangkan dalam bentuk penyelesaian sengketa atau pemulihan terhadap kerusakan keadaan yang diakibatkan oleh resiko tindakan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Menurut E.A. Goebel, terdapat empat fungsi dasar dari hukum di dalam masyarakat yaitu: 1) Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan cara menunjukkan jenis-jenis tingkah laku mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang 2) Menentukan alokasi wewenang merinci siapa yng boleh melakukan paksaan, siapa yang harus mentaati, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif 3) Menyelesaikan sengketa 4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat (Ronny Hanitiyo Soemitro, 1980:2) Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, fungsi hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan kontrol sosial (hukum sebagai proses untuk mempengaruhi orang-orang bertingkah laku sesuai harapan masyarakat) dan sebagai sarana pembangunan sosial (penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan yang diinginkan (Satjipto Rahardjo, 1983:19).
Penegakan Hukum Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum menurut Soerjono Soekamto adalah terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang 65 terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Komariah, 1989:140). Hukum pada prinsipnya memerlukan pengetahuan dan didukung masyarakat yang pada gilirannya menimbulkan partisipasi masyarakat, terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya yaitu: 1) Pengetahuan hukum 2) Pemahaman hukum 3) Sikap hukum 4) Pola perilaku hukum (Soerjono Soekanto, 1987:228) Ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sistem nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat psikologis antara lain pola-pola berpikir yang menentukan sikap mental manusia, sikap yang pada hakekatnya merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku maupun kaidah-kaidah (Otje Salman, 1989:38). Selanjutnya pola perilaku yang terbentuk akan mempengaruhi penegakan hukum, karena masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya yaitu: 1) Hukumnya sendiri terutama undang-undang dalam arti materiil 2) Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum 3) Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum 4) Masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku/ditetapkan 5) Kebudayaan sebagai hasil karya, cipta da rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
66 PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM KEPAILITAN
A. Hukum Kepailitan: Sang Pendekar Turun Gunung Sungguhpun peraturan kepailitan sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda, yaitu S. 1905-217 juncto S. 1906-348, tetapi dalam praktek peraturan tersebut hampir-hampir tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan tersebut. Dan, kalaupun peraturan tersebut diterapkan, hanya terdapat kasus-kasus kecil saja. Kasus gugatan pailit terhadap garantor dari PT. Bentoel dan kasus PT.Arafat tentu merupakan kekecualiannya. Namun, dengan keluarnya Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian disahkan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998, yang memperbaharui peraturan kepailitan yang lama, maka serta merta dunia hukum diramaikan oleh diskusi dan kasus-kasus kepailitan di pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga. Apalagi salah satu keunggulan undang-undang tahun 1998 ini adalah prosedurnya yang serba cepat. Bandingkan dengan prosedur dalam peraturan 1905 yang cukup lama, seperti perkara pailit PT.Arafat yang putusannya baru jatuh setelah lebih kurang 5 (lima) bulan kali ganti hakim pengawas. Memang cukup melelahkan. Hal seperti itu tidak akan terjadi lagi terhadap kepailitan berdasarkan Undang- undang 1998 tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tersebut diperbaiki dan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sekarang banyak debitur (baik yang nakal ataupun yang jujur) yang mulai was-was untuk dipailitkan. Dan sekarang sudah banyak kasus digelar di pengadilan. Bahkan, banyak kreditur memakai kebangkrutan ini sebagai gertak sambal terhadap debiturnya, dalam arti jika hutang tidak dibayar, debitur tersebut segera dipailitkan. Lalu, biasanya debitur pun takut setengah mati. Jadi, ternyata bahwa mission dari hukum kebangkrutan dari salah satu upaya hukum yang biasa sebagai sarana penagihan hutang, ternyata telah berubah menjadi monster yang seolah-olah siap mengisap darah debitur (yang nakal atau yang jujur). Bahkan, banyak yang mengatakan bahwa ancaman membangkrutkan seorang debitur jauh lebih ampuh dari debt collector sekalipun. 67 Demikianlah maka hukum kepailitan yang semula sangat jarang dipakai dan sudah seperti disimpan dalam museum, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 kemudian menjadi sangat banyak dipakai dan merupakan pemandangan sehari-hari di pengadilan niaga. Layaknya sang pendekar yang sudah lama bertapa dan kemudian turun gunung untuk berjuang mengalahkan ketidakadilan. Akan tetapi, tentunya hukum kepailitan yang berlaku sekarang haruslah memenuhi syarat-syarat hukum yang efektif, adil, efisien, cepat, pasti, modern dan terekam dengan baik. Jika tidak demikian, hukum kepailitan ini benar-benar menjadi drakula pengisap darah atau pembantai debitur di Indonesia ini. Beberapa pertanyaan mendasar yang mesti diajukan untuk mengetes apakah kita sudah mempunyai suatu hukum kebangkrutan (kepailitan) yang baik adalah sebagai berikut: (Baird, Douglas G., 1985:30) 1. Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan debitur 2. Seberapa jauh hukum pailit telah melindungi kepentingan debitur 3. Seberapa jauh hukum pailit telah memperhatikan kepentingan masyarakat yang lebih luas daripada hanya kepentingan debitur atau kreditur semata-mata 4. Seberapa jauh constraint dapat dieliminir dengan menerapkannya aturan-aturan yang bersifat prosedural dan substantif 5. Seberapa jauh aturan kebangkrutan yang ada dapat mencapai tujuan-tujuannya
B. Sejarah Ringkas Hukum Kepailitan Dewasa ini hampir tidak ada negara yang tidak mengenal kepailitan dalam hukumnya. Di Indonesia, secara formal, hukum kepailitan sudah ada bahkan sudah ada undang-undang khusus sejak tahun 1905 dengan diberlakukannya S.1905-217 juncto S.1906-348. Malahan, dalam pergaulan sehari-hari, kata-kata bangkrut sudah lama dikenal. S. 1905-127 dan S.1906-348 tersebut kemudian diubah dengan Perpu Nomor 1 tahun 1998, yang kemudian diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat sehingga menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Perpu Nomor 1 tahun 68 1998 tersebut adalah tentang Perubahan atas Undang-undang (Peraturan) tentang Kepailitan, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Jika kita menelusuri sejarah hukum tentang kepailitan ini, hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi (Baird, Douglas G., 1985:21). Jika kita menelusuri lebih lanjut, sebenarnya kata bangkrut, dalam bahasa Inggris disebut dengan bankrupt berasal dari undang-undang di Itali yang disebut dengan banca rupta. Sementara itu, pada abad pertengahan di Eropa pada praktek kebangkrutan dimana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari pada bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditur. Atau seperti keadaan di Venetia (Italy) waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar- benar telah patah atau hancur (Abdurrachman, A. 1991:89). Bagi negara-negara dengan tradisi hukum Common Law, dimana hukumnya berasal dari Inggris Raya, maka tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena dalam tahun 1952 tersebut, hukum pailit dari tradisi hukum Romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen di masa kekaisaran Raja Henry VIII sebuah undang-undang yang disebut dengan Act Against Such Persons As Do Make Bankrupt. Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitur nakal yang ngemplang untuk membayar hutang sambil menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditur yang tidak dimiliki oleh kreditur secara individual. Peraturan pada masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak yang mengatur tentang larangan pengalihan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau apa yang sekarang populer dengan action pauliana. Di samping itu, dalam undang-undang lama di Inggris tersebut juga diatur, antara lain tentang hal-hal sebagai berikut: 1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to parts unknown) 69 2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas mans home is his castle 3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat- tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern. 4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasanya untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut. Sementara itu, sejarah hukum pailit di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan. Hal ini sudah diperdebatkan sejak diadakannya Constituional Convention di Philadelphia dalam tahun 1787. Dalam The Federalist Papers, seorang founding father dari negara Amerika Serikat, yaitu James Madison mendiskusikan tentang apa yang disebut dengan Bankruptcy Clause sebagai berikut: Kewenangan untuk menciptakan sebuah aturan yang uniform mengenai kebangkrutan adalah sangat erat hubungannya dengan aturan mengenai perekonomian (commerce), dan akan mampu mencegah terjadinya begitu banyak penipuan, dimana para pihak atau harta kekayaannya dapat dibohongi atau dipindahkan ke negara bagian yang lain secara tidak patut. (Baird, Douglas G., 1985:24) Kemudian, Kongres di Amerika Serikat mengundangkan Undang-undang Pertama tentang Kebangkrutan dalam tahun 1800, yang isinya mirip-mirip dengan Undang-undang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi, selama abad ke-18, di beberapa negara bagian di USA telah ada undang-undang negara bagian yang 70 bertujuan untuk melindungi debitur (dari hukuman penjara karena tidak bayar hutang) yang disebut dengan Insolvensy Law. Selanjutnya, Undang-undang Federal Amerika Serikat Tahun 1800 tersebut diubah atau diganti, antara lain dalam Tahun 1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (the Chandler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984. Antara tahun 1841 sampai dengan tahun 1867, tidak terdapat sama sekali undang-undang federal mengenai kebangkrutan. Hal ini disebabkan undang-undang lama telah dicabut sementara undang-undang pengganti baru terbentuk dalam tahun 1867 tersebut (Friedman, Lawrence M, 1985:549). Dalam undang-undang Kebangkrutan (Bankruptcy Code) di Amerika Serikat yang ada sekarang, salah satu bagian yang terpenting dan sangat populer adalah apa yang disebut dengan chapter 11, yang berjudul Reorganization, sementara chapter 7 adalah tentang liquidation.
C. Pembaharuan Hukum Kepailitan Pada tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia telah dikeluarkan sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 ini mulai berlaku setelah 120 (seratus dua puluh) hari sejak tanggal 22 April 1998 tersebut. Perpu Kepailitan tersebut kemudian telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998. Perpu Kepailitan ini tidak menggantikan peraturan kepailitan yang lama, yaitu Failissement Verordening yang tertuang dalam S.1905-217 juncto S.1906- 348. Akan tetapi, Perpu Kepailitan tersebut hanya mengubah dan menambah Failissement Verordening yang bersangkutan. Karena secara yuridis formal, peraturan kepailitan yang lama tersebut masih tetap berlaku. Hanya saja, karena pasal-pasal diubah (termasuk diganti) dan ditambah tersebut sedemikian banyaknya, maka sungguhpun secara formal Perpu Kepailitan hanya mengubah peraturan yang lama, tetapi secara materiil, Perpu Kepailitan tersebut telah mengganti peraturan yang lama tersebut. 71 Setiap debitur, baik badan hukum atau perorangan dapat dipailitkan asalkan memenuhi syarat-syarat dalam Peraturan Perundangan tentang kepailitan tersebut. Sementara prosedur perkara permohonan kepailitan tersebut diatur secara khusus dalam Undang-undang Kepailitan yang sangat berbeda dengan prosedur perkara biasa. Akan tetapi, pada prinsipnya prosedur hukum acara perdata biasa (HIR atau RBG) tetap berlaku untuk perkara permohonan sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang Kepailitan tersebut. Salah satu hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang kepailitan tersebut adalah diperkenalkannya asas hukum yang disebut dengan Verplichte Procureur Stelling. Yakni adanya kewajiban bahwa setiap permohonan kepailitan harus diajukan oleh penasehat hukum, dalam hal ini penasehat hukum yang mempunyai ijin praktek (pasal 5 undang-undang kepailitan). Sementara untuk permohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang harus ditandatangani oleh penasehat hukum (yang juga mempunyai ijin praktek) bersama-sama dengan debitur (pasal 213 Undang- undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan). Sedangkan pasal 279 menyebutkan bahwa permohonan-permohonan tertentu dalam proses penundaan kewajiban pembayaran hutang harus ditandatangani oleh penasehat hukum yang mempunyai ijin praktek. Ketentuan tentang keharusan menggunakan jasa advokat juga dipertahankan oleh undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Pokok-pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh Perpu Kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-undang Kepailitan bagian umum adalah sebagai berikut: 1. Syarat-syarat dan prosedur permintaan (permohonan) pernyataan pailit, termasuk mengenai time frame yang lebih pasti 2. Tambahan pengaturan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusan kepailitan 3. Peneguhan fungsi kurator dan dibukanya kemungkinan adanya kurator swasta 4. Pengesahan bahwa upaya hukum yang mungkin adalah kasasi (tanpa banding) serta tata caranya yang lebih jelas 72 5. Adanya mekanisme stay yang merupakan penangguhan pelaksanaan hak kreditur preferens dan pengaturan status hukum tentang perikatan yang telah dibuat sebelum putusan pernyataan pailit 6. Penyempurnaan ketentuan mengenai tundaan pembayaran 7. Pembentukan pengadilan khusus yang disebut dengan pengadilan niaga
D. Pengertian dan Syarat-syarat Kepailitan Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kepailitan itu? Arti yang orisinal dari bangkrut atau pailit adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabuhi pihak keduanya. (Black, Henry Campbell, 1968:186). Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit atau bangkrut, antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya. (Abdurrachman, A. 1991:89). Namun demikian, umumnya orang sering menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dan para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditur. Dari ketentuan dalam pasal 2 undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 (selanjutnya disebut undang-undang kepailitan) dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut: 1. Adanya hutang 2. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo 3. Minimal satu dari hutang dapat ditagih 4. Adanya debitur 5. Adanya kreditur 6. Kreditur lebih dari satu 73 7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga 8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu: a. Pihak debitur b. Satu atau lebih kreditur c. Jaksa untuk kepentingan umum d. Bank Indonesia jika debiturnya bank e. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian f. Menteri keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN yang bergerak dibidang kepentingan publik 9. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-undang Kepailitan 10. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim menyatakan pailit, bukan dapat menyatakan pailit. Sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan judgement yang harus seperti pada kasus-kasus lainnya, sungguhpun limited defence masih dibenarkan, mengingat yang berlaku pada prosedur pembuktian yang sumir (vide pasal 8 ayat (4) Undang- undang Kepailitan. Catatan: Lain halnya dengan keputusan Pengadilan Niaga mengenai penundaan pembayaran hutang yang harus secara otomatis (tanpa defence) dikabulkan oleh hakim (Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) undang-undang kepailitan). Tentunya jika seluruh persyaratan administrasi pengajuan permohonan sudah semua dipenuhi. Contoh hipotesis tentang kewenangan jaksa yang mempailitkan seorang debitur untuk kepentingan umum misalnya ada penipuan di bidang bisnis dan seseorang yang telah banyak jatuh korban secara finansial, maka dalam hal ini jaksa dapat bertindak mempailitkan si penipu tersebut untuk kemudian mengembalikan uang hasil tipuannya kepada kreditur-krediturnya dalam hal ini orang-orang yang telah ditipunya. 74 E. Dasar Hukum Kepailitan Yang merupakan dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan 2. KUH Perdata misalnya pasal 1139, pasal 1149, pasal 1134 dan lain-lain 3. KUH Pidana, misalnya pasal 296, pasal 397, pasal 398, pasal 399, pasal 400, pasal 520 dan lain-lain 4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, misalnya pasal 79 ayat (3), pasal 96, pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), pasal 3 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, pasal 90 ayat (2) dan ayat (3), pasal 98 ayat (1) dan lain-lain 5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 6. Undang-undang nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia 7. Perundang-undangan di bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN dan lain-lain