Você está na página 1de 28

KEBIJAKAN DEFISIT

ABBY PANGERAN AZIZ (1)


NIA WULAN SARI (17)
P. ALHADI SEMBIRING (21)
RUTH JELITA SILABAN (24)


























PROGRAM DIPLOMA IV AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2014

A. PENDAHULUAN

Pengertian
Menurut Rahardja dan Manurung (2004) defisit anggaran adalah anggaran yang memang
direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari
penerimaan pemerintah (G>T). Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin
menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam
kondisi resesi.
Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus (2001) adalah suatu anggaran
dimana terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Sedangkan menurut Dornbusch, Fischer dan
Startz defisit anggaran adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan
penerimaan dari pajak.
Pengertian tentang defisit anggaran dalam teori ekonomi makro, dapat dipahami dari
perekonomian tertutup. Dimana dalam perekonomian tertutup dengan adanya tindakan fiskal
pemerintah, pendapatan nasional terdiri dari:
Y = C + I + G (a)
Dimana :
Y : Pendapatan Nasional
C : Pengeluaran konsumsi
I : Pengeluaran investasi
G : Pengeluaran konsumsi pemerintah
Dari pendapatan ini, oleh penerima pendapatan sebagian dipergunakan untuk membayar pajak
kepada pemerintah. Akan tetapi sebaliknya kepada orang-orang atau badan-badan tertentu
pemerintah memberikan uang tanpa mengharapkan adanya balas jasa yang langsung. Transaksi yang
disebutkan disebut goverment transfer atau transfer pemerintah. Pendapatan setelah
diperhitungkannya penerimaan transfer dari pemerintah dan pajak yang harus diserahkan kepada
pemerintah inilah yang disebut disposible income, yaitu pendapatan yang sudah siap dipakai untuk
konsumsi dan untuk saving.
YD = Y + Tr Tx (b)
Dimana:
YD : Pendapatan disposibel
Tr : transfer pemerintah
Tx : pajak
Dari persamaan (b) dapat diturunkan persamaan:
Y = YD Tr + Tx (c)
Mengingat bahwa disposibel income tersebut digunakan untuk konsumsi dan sisanya merupakan
saving, maka dapat ditulis:
YD = C + S (d)
Dimana:
C : konsumsi
S : saving
Kemudian persamaan (a) disubtitusikan ke persamaan (c), sehingga diperoleh:
C + I + G = YD Tr + Tx (e)
Dengan memperhatikan persamaan (d), dapat ditemukan:
C + I + G = C + S Tr + Tx (f)
Ini berarti:
I + G + Tr = S + Tx (g)
Dalam perekonomian dengan adanya tindakan fiskal, untuk ekuilibriumnya pendapatan nasional,
syarat terpenuhinya kesamaan S = I, tidak berlaku. Meskipun S tidak sama dengan I asalkan S + Tx = I
+ G + Tr, maka pendapatan nasional akan ada dalam keadaan ekuilibrium. Seperti halnya dengan
tidak perlunya saving sama dengan investasi untuk ekuilibriumnya pendapatan nasional, anggaran
belanja negara pun tidak perlu seimbang. Pendapatan nasional mungkin ada dalam keadaan
ekuilibrium, meskipun anggaran belanja dalam keadaan defisit (yaitu dimana Tx < G + Tr) ataupun
dalam keadaan surplus (yaitu dimana Tx > G + Tr). Sebab syarat ekuilibriumnya pendapatan nasional
bukanlah samanya penerimaan negara dengan pengeluaran negara, melainkan samanya saving plus
pajak dengan jumlah investasi plus konsumsi pemerintah plus transfer pemerintah (Soediyono,
1982)
Selain itu, ada beberapa pengertian yang berbeda mengenai apa yang dimaksud APBN defisit,
surplus, atau seimbang. Masing-masing pengertian mempunyai arti ekonomis (dan implikasi makro)
yang berbeda satu sama lain. Pengertian pertama adalah Defisit Konvensional Defisit yang dihitung
berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Pengertian kedua
adalah Defisit Moneter. Defisit Moneter merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar
pembayaran pokok hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang). Pengertian ketiga
adalah Defisit Operasional. Defisit Operasional merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai
riil dan bukan nilai nominal. Sedangkan pengertian keempat adalah Defisit Primer, merupakan
selisih antara belanja (di luar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan.

Sebab-sebab Terjadinya Anggaran Defisit Pemerintah
Menurut Barro (1989) ada beberapa sebab terjadinya defisit anggaran, yaitu:
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi
Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula.
Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan
meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu
ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang di bebani tanggung jawab yang besar dalam
meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.
2. Pemerataan pendapatan masyarakat
Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah,
sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk pemerataan pendapatan tersebut.
Misalnya pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar
masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan
wilayah yang lebih maju.
3. Melemahnya nilai tukar
Bila suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, maka negara tersebut akan mengalami
masalah bila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai
pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga
pinjaman dihitung dengan mata uang negara peminjam tersebut. Misalnya apabila nilai tukar
rupiah depresiasi terhadap mata uang dollar AS, maka pembayaran cicilan pokok dan bunga
pinjaman yang akan dibayarkan juga membengkak. Sehingga pembayaran cicilan pokok dan
bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.
4. Pengeluaran akibat krisis ekonomi
Krisis ekonomi akan menyebabkan meningkatnya pengangguran, sedangkan penerimaan pajak
akan menurun akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal
negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin.
Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan
dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu.
5. Realisasi yang menyimpang dari rencana
Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau
dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang
direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan proyek atau program harus dipotong.
Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja
pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain.
Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat
tercapai sesuai dengan rencana semula.
6. Pengeluran karena inflasi
Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah
ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin
ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat
meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-
harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggaran tetap
sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga
anggaran negara perlu direvisi. Akibatnya, negara terpaksa mengeluarkan dana dalam rangka
menambah standar harga itu.

B. KONTROVERSI DEFISIT ANGGARAN PEMERINTAH
Defisit APBN bukanlah hal tabu dan kini tidak bisa dihindari lagi kenaikannya. Dalam situasi yang
memerlukan sustainability fiscal, pelonggaran angka defisit wajar terjadi dan memang mau tidak
mau harus dilakukan. Persoalannya sekarang, pada kisaran angka defisit berapakah yang bisa
dijadikan acuan anggaran dan pastinya juga masih dalam kendali.
Persoalan defisit anggaran pada dasarnya selalu berkutat pada sumber dana apa yang bisa
digunakan untuk menutupi. Dari sisi pengeluaran, pemerintah bisa melakukan efisiensi dengan jalan
melakukan penghematan di luar belanja rutin. Sementara itu, dari sisi penerimaan, ada dua opsi
yang bisa diambil, yaitu apakah menggenjot penerimaan dari pajak ataukah menambah utang baru.
1

Efisiensi & optimalisasi APBN
2

Pada hakikatnya, efisiensi dalam APBN adalah optimalisasi APBN menyangkut nilai uangnya.
Optimalisasi ini tidak hanya meliputi nilai efisiensi tapi juga harus memenuhi kriteria seberapa
ekonomis dan efektifnya penggunaan uang yang dikeluarkan. Efektif berarti anggaran yang
dikeluarkan dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan. Nilai efektivitas ini merupakan refleksi
dari kemampuan suatu anggaran untuk mencapai tepat sasaran atau tepat guna.
Efisien merepresentasikan aspek waktu yang digunakan. Anggaran yang dikeluarkan bisa
disebut efisien jika manfaat atau hasil yang diperoleh tepat sasaran dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
Sementara itu, ekonomis adalah suatu cara penghematan yang dilakukan dengan bijaksana.
Nilai ekonomis ini akan menentukan pengeluaran di sektor apa saja yang harus mendapat skala
prioritas lebih dalam kerangka mendapatkan hasil yang optimal secara keseluruhan.


1
http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=340
2
Ibid.
Satu hal yang harus diperhatikan dalam efisiensi anggaran adalah usaha-usaha penghematan
yang dilakukan tidak boleh mengganggu alokasi anggaran program pengentasan kemiskinan dan
pembangunan infrastruktur.
Terkait dengan kaitan defisit untuk pembiayaan infrastruktur, pos APBN untuk pengeluaran
pembangunan infrastruktur memang tidak dapat diganggu gugat dengan beberapa alasan. Pertama,
stimulus bagi pemintaan lokal, regional, dan nasional serta sebagai stimulus lapangan kerja
(Keynesian). Kedua, memberikan efek infrastruktur pada ongkos transportasi dan distribusi serta
pengaruhnya terhadap harga dan keunggulan komparatif (Ricardian). Ketiga, memberikan
peningkatan produktivitas melalui pertumbuhan efisiensi ekonomi yang mendorong pertumbuhan
kemakmuran (Neoklasik).

Pajak atau utang
3

Menambal defisit APBN, tentu saja pemerintah berharap dari tambahan penerimaan misalnya
dari ekspor pertambangan atau sektor komoditas serta penerimaan dividen dari BUMN. Kendati
selayaknya dividen digunakan bagi investasi BUMN tersebut agar menjadi lebih besar dan bukan
hanya untuk menutup APBN. Alternatif lain adalah opsi menggenjot penerimaan pajak dan
menambah utang baru.
Dalam kondisi perlambatan ekonomi, menggenjot penerimaan pajak menjadi hal yang susah
direalisasikan. Dengan adanya stimulus fiskal, pajak ekspor dipastikan akan turun. Selain itu,
kenaikan pajak bisa jadi akan dibebankan pada konsumen yang akan bermuara juga pada kenaikan
laju inflasi. Opsi terakhir adalah menambah utang baru. Pemerintah dapat menaikkan utang baru
dari dalam negeri dengan menerbitkan obligasi negara.
Mengacu pada pendekatan akuntansi (accounting approach), ada dua faktor yang perlu
dipertimbangkan untuk mencapai kebijakan fiskal yang sustainable. Pertama, primary balance harus
surplus. Primary balance adalah selisih antara anggaran penerimaan dan pengeluaran di luar bunga
dan cicilan utang. Kedua, rasio utang terhadap PDB yang konstan.
Faktor-faktor yang perlu dipenuhi dalam pencapaian sustainable fiscal, sebagaimana yang
disyaratkan Accounting Approach dalam praktiknya memiliki kelemahan karena profil jatuh tempo
utang pemerintah diabaikan. Jika jatuh tempo utang terkonsentrasi pada satu periode yang
berdekatan dan primary balance surplus tidak mampu mengimbangi, tekanan fiskal dari lonjakan
pembayaran utang yang jatuh tempo tidak bisa dihindari.

3
Ibid.
Dari data yang ada, primary balance memang masih surplus tapi cenderung menurun. Pada
2002, rasio primary balance terhadap total pendapatan sebesar 16,7%, pada 2005 sampai 2007
berada pada kisaran 6%.

Tekanan fiscal
4

Sementara itu, pada APBN 2008 sebesar 2,3%. Dengan kondisi seperti itu, primary balance
belum bisa mengkompensasi beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang. Struktur jatuh
tempo utang pemerintah juga terkonsentrasi pada periode 2007-2014. Jadi meski primary balance
masih surplus, tekanan fiskal pada periode ini harus dikendalikan.
Untuk mengatasinya pemerintah harus melakukan refinancing. Jalan yang lebih aman dengan
menambah utang dalam negeri meski kemungkinan berdampak negatif pada perekonomian
nasional, misalnya tingkat bunga pasar akan lebih tinggi dan terjadi crowding-out effect terhadap
sektor swasta di pasar finansial.
Tekanan perlambatan ekonomi yang tak bisa dihindari, pelonggaran defisit anggaran mau tidak
mau mesti dilakukan. Dalam tujuh tahun terakhir, angka defisit tertinggi yang berhasil dikendalikan
adalah 3,6% pada 2001. Dengan mengacu pada angka itu, kisaran 2%-3% merupakan defisit yang
masih manageable.
Ada pemikiran yang cukup liar bahwa masih terdapat sumber lain yang masih mungkin
dilakukan adalah dengan mempercepat proses pengembalian uang negara, baik yang dari BLBI para
obligor kooperatif maupun non-kooperatif yang jika dijumlahkan bisa mencapai ratusan triliun
maupun dari kasus-kasus korupsi kakap lainnya. Namun tindakan ini memerlukan keberanian yang
cukup kuat dan juga tidak mudah direaliasikan mengingat korupsi sudah mendarah daging dalam
praktiknya.

Kontroversi Dampak Defisit Anggaran
Dampak defisit anggaran terhadap perekonomian secara teoritik dipenuhi oleh kontroversi. Ada
tiga kelompok yang berbeda pendapat dalam hal dampak defisit anggaran terhadap perekonomian.
Ketiga kelompok tersebut adalah kaum Ricardian, Neoklasik, dan Keynesian.
1. Teori Ricardian Equivalance (RE)
Kelompok pertama, yakni kaum Ricardian, dengan teorinya Ricardian Equivalence (RE)
berpendapat bahwa defisit anggaran tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa terhadap
perekonomiaan. Konsep Ricardian Equivalence Hypothesis (REH) menjadi bahan perdebatan
yang sangat menarik di dunia akademik. Teori ini berasal David Ricardos Funding System dan
dikemukakan kembali oleh Robbert Barro (1974) sehingga sering diberi nama Ricardo-Barro

4
Ibid.
Preposition. Preposisi Ricardo Barro berlandaskan pada asumsi: intergenerational altruism atau
immortality, perfect capital markets, lump sum taxation, dan kondisi bahwa tingkat utang tidak
lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Inti dari preposisi ini menyatakan bahwa
pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan utang pemerintah berdampak netral terhadap
aktifitas ekonomi (Blancard, 2000). REH mengajukan hipotesis bahwa beberapa kebijakan
pemerintah tidak akan membawa dampak yang penting bagi perekonomiaan (neutrality
preposition). REH mengkombinasikan dua pendekatan fundamental, yaitu kendala anggaran
pemerintah dan Permanent Income Hypothesis (PIH). Kendala anggaran pemerintah
menyatakan apabila pengeluaran pemerintah tidak mengalami perubahan maka tingkat pajak
yang rendah sekarang akan diimbangi oleh kenaikan tingkat pajak di kemudian hari. Adapun IPH
menyatakan bahwa rumah tangga akan mendasarkan keputusan konsumsinya berdasarkan
permanent income yang besarnya sangat tergantung oleh nilai sekarang pendapatan setelah
pajak. Pembiayaan defisit anggaran dengan memotong pajak sekarang akan mempengaruhi
beban pajak di kemudian hari, tetapi tidak dalam nilai sekarang sehingga pemotongan pajak
tidak akan mengubah permanent income atau konsumsi (Joko Waluyo, 2004), Neutrality
preposition harus di tanggapi dengan sangat hati-hati, walaupun suku bunga tak berubah
karena penerbitan obligasi negara, tetapi suku bunga dapat mengalami perubahan karena
adanya tambahan pengeluaran pemerintah.
Barro (1974) mengemukakan argument bahwa setiap pembiayaan defisit anggaran dengan
penerbitan obligasi negara akan diimbangi oleh kenaikan pajak di masa mendatang. Kenaikan
tingkat pajak tidak perlu membuat masyarakat takut terhadap kemakmurannya (wealth) karena
kenaikan pajak pada periode mendatang akan diantisipasi dengan meningkatkan tabungan
sekarang dan mengurangi konsumsi sekarang. Implikasinya, individu tidak menggunakan semua
kekayaannya (pendapatannya) untuk meningkatkan konsumsinya karena penerbitan obligasi
negara. Individu akan menyimpan seluruhnya untuk mengantisipasi kenaikan beban pajak di
kemudian hari sehingga hal itu tidak akan menaikkan permintaan terhadap barang dan jasa.
Penjelasan REH digambarkan melalui grafik di bawah ini (untuk memudahkan analisis
diasumsikan hanya ada dua periode perencanaan). Sumbu horizontal menunjukkan periode
konsumsi dan pendapatan saat ini, sedangkan sumbu vertikal menggambarkan kondisi pada
masa mendatang. Pendapatan saat ini adalah Y1
d
, sedangkan Y2
d
adalah pendapatan di
kemudian hari. Titik A menunjukan titik awal (endowment point). Jika individu meminjam atau
meminjamkan pada tingkat suku bunga (i) maka tingkat kemungkinan konsumsinya
(consumption possibilities frointier) akan dibatasi oleh garis lurus yang melewati titik A dengan
kemiringan garis sebesar -(1+i). Tingkat maksimum individu dapat berkonsumsi pada saat ini
(tahun pertama) sebesar [Y1
d
+ Y2
d
/(1+i), 0] , sedangkan tingkat konsumsi maksimum pada
tahun kedua sebesar [0, Y1
d
(1+i) + Y2
d
]. Titik B menunjukkan kondisi saat individu meminjam
pendapatan di kemudian hari dengan mengijinkan konsumsi sekarang melebihi pendapatan
sekarang.
Grafik Ricardian Equivalence Hypothesis

Jika pemerintah meningkatkan pajak hari ini untuk membayar utang obligasi negara maka
individu akan memandang kebijakan ini sama dengan menggantikan pajak saat ini untuk pajak
yang akan datang (pada present value yang sama). Kebijakan ini akan menggeser titik
endowment dari titik A ke titik C, tetapi nilai aliran pendapatan sekarang secara keseluruhan
tidak mengalami perubahan. Individu akan memilih berkonsumsi pada titik B dan akan lebih
banyak meminjam sekarang sampai terjadi kenaikan dalam present value pajak.
REH berpendapat bahwa perubahan dalam pajak dan pembiayaan defisit anggaran mempunyai
dampak yang sama bagi variabel makro (terutama konsumsi swasta). REH dibangun dari premis
bahwa penerbitan obligasi negara pada saat ini selalu disertai dengan rencana kenaikan pajak di
masa mendatang. Pembiayaan utang pemerintah diasumsikan hanya mengalami perubahan
sesuai dengan perubahan perpajakan sehingga konsumsi agregat akan tetap. Dalam kerangka
pemikiran REH individu mengasumsikan pajak yang akan datang sama dengan besarnya beban
utang pemerintah (Barro, 1989).
Teori RE mendapat banyak kritikan, karena dalam kenyataannya defisit anggaran
mempengaruhi perekonomian baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Barro
(1989) sebagai pendukung teori RE mencoba memberikan penjelasan teori RE yang tidak
sepenuhnya terbukti dengan mengemukakan lima argumen. Kelima argumen yang
menyebabkan teori RE tidak berlaku sepenuhnya, yaitu:
a. umur pelaku ekonomi tidak tak terbatas,
b. pasar uang dan pasar modal tidak sempurna,
c. pajak dan pendapatan di masa yang akan datang tidak bisa dipastikan sepenuhnya,
d. pajak tidak lump-sum,
e. kesempatan kerja tidak selalu penuh (full employment) seperti disyaratkan oleh teori RE.
Kelima kondisi itu menyebabkan transfer beban pajak, dan kekayaan dari masa sekarang ke
masa yang akan datang tidak sempurna.

2. Kelompok Neoklasik
Kelompok kedua adalah kelompok neoklasik. Kelompok Neoklasik lebih menekankan
pembahasan pada efek dari defisit yang permanen. Bernheim (1989) menyebutkan bahwa
model Neoklasik yang standar mendasarkan diri pada tiga karakter pokok, yaitu:
a. Pelaku ekonomi mempunyai masa hidup yang terbatas (finite horizon)
b. Tingkat konsumsi optimal ditentukan oleh solusi optimasi antar waktu (intertemporal
optimization)
c. Setiap periode waktu terjadi keseimbangan pasar.
Model Neoklasik serupa dengan model Ricardian. Dalam model Ricardian, satu pelaku ekonomi
hidup sepanjang masa, sedangkan dalam model Neoklasik ada dua pelaku ekonomi yang hidup
dalam periode yang berbeda. Kedua model mempunyai hubungan intertemporal. Hubungan
intertemporal dalam model Ricardian menunjukkan hubungan antara kepentingan pelaku
ekonomi di masa muda dan di masa tua, sedangkan dalam model Neoklasik menunjukkan
hubungan antara kepentingan generasi muda dan generasi tua. Implikasi perbedaan kedua
model tersebut cukup berarti. Dalam model Ricardian hanya ada satu pelaku ekonomi yang
hidup sepanjang masa. Fungsi utilitas mewakili utilitas individual.
Kerugian di masa sekarang diupayakan terkompensasi sepenuhnya oleh keuntungan di masa
yang akan datang. Utilitas marginal pada masa sekarang akan berhubungan langsung dengan
utilitas marginal yang akan datang. Kenaikan pajak di masa yang akan datang akan
dikompensasi secara penuh dengan pengurangan tingkat konsumsi dan peningkatan tabungan
di masa sekarang (lihat Hayashi, 1987 dan Kotlikoff, 1988). Dalam model Neoklasik, terdapat
dua pelaku ekonomi atau lebih yang hidup dalam periode waktu yang berbeda. Hubungan
intertemporal tidak seerat jika hanya ada satu pelaku ekonomi. Sangat mungkin pelaku
ekonomi di masa sekarang tetap peduli terhadap pelaku ekonomi dari generasi penerus, tetapi
tidak sepenuhnya. Jika pelaku ekonomi yang hidup pada masa sekarang sangat altruis, maka
seperti hasil penelitian Barro (1974) kedua model akan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Hayashi (1987) dan Kotlikoff (1988) berpendapat bahwa secara umum pelaku ekonomi tidak
akan peduli terhadap peningkatan pajak setelah pelaku ekonomi tersebut meninggal, sehingga
pelaku ekonomi yang hidup di masa sekarang akan meninggalkan warisan, namun tidak dalam
rangka untuk mengkompensasi kenaikan pajak di masa yang akan datang. Defisit anggaran yang
dibiayai dengan pengurangan pajak di masa sekarang akan meningkatkan kekayaan pelaku
ekonomi yang hidup di masa sekarang. Peningkatan kekayaan itu akan meningkatkan konsumsi
dan mengurangi tabungan. Obligasi yang dikeluarkan pemerintah tidak akan terserap semuanya
oleh tabungan masyarakat yang berkurang, karena jumlah obligasi lebih besar dari tabungan
masyarakat. Obligasi hanya akan dibeli semuanya oleh pelaku ekonomi jika suku bunganya lebih
tinggi. Keseimbangan yang baru dengan tingkat bunga yang lebih tinggi akan tercapai.
Peningkatan suku bunga pada proses berikutnya akan menyebabkan pengurangan investasi
swasta (crowding out).
Uraian di atas juga sekaligus menjelaskan ciri kedua bahwa tingkat konsumsi ditentukan oleh
proses optimasi antar waktu. Kaum Neoklasik tidak mengelak bahwa hubungan antargenerasi
walau kecil tetapi selalu ada. Dalam ungkapan Barro (1989) dikatakan bahwa mungkin ada
beberapa orang tua yang tidak punya anak, sehingga tidak ada hubungan antar generasi, tetapi
setiap anak pasti punya orang tua, sehingga hubungan antargenerasi tetap mesti ada. Selain itu
juga optimasi antar waktu itu akan menghasilkan solusi jika ada keseimbangan dalam setiap
periodenya.
Defisit anggaran akan meningkatkan tingkat konsumsi dalam jangka panjang, dengan cara
membebankan pajak untuk generasi berikutnya. Jika seluruh sumber daya secara penuh dapat
didayagunakan (full-employment), maka peningkatan konsumsi akan menurunkan tingkat
tabungan dan suku bunga akan meningkat. Peningkatan suku bunga akan mendorong
permintaan investasi swasta menurun, sehingga kaum Neoklasik menyimpulkan bahwa dalam
kondisi kesempatan kerja penuh, defisit anggaran yang permanen akan menyebabkan investasi
swasta tergusur (crowding-out). Secara umum kaum Neoklasik berpendapat bahwa defisit
anggaran akan merugikan perekonomian.
Menurut Bernheim (1989) kelemahan teori Neoklasik dalam hal dampak deficit anggaran
serupa dengan teori RE, kecuali bahwa pelaku ekonomi tidak lagi tunggal, serta hidup dalam
kurun waktu yang terbatas. Kesimpulan teori deficit anggaran kelompok Neoklasik akan sama
dengan kesimpulan teori RE, jika pelaku ekonomi altruistis (Barro, 1974).
3. Kelompok Keynesian
Berheim (1989) menunjukan tiga ciri aliran Keynesian yang membedakan dengan aliran yang
lain. Pertama, kelompok Keynesian berpendapat bahwa ada kemungkinan sumber daya yang
tidak digunakan secara penuh. Kedua, pelaku ekonomi mempunyai pandangan yang bersifat
jangka pendek (myopic). Sifat ini menggambarkan adanya hubungan antar generasi yang erat.
Ketiga, aliran Keynesian lebih memfokuskan diri pada efek defisit anggaran temporer yang
desebabkan oleh fluktuasi perekonomian.
Kelompok ketiga adalah kaum Keynesian yang berpendapat bahwa defisit anggaran
mempengaruhi perekonomian. Kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa pelaku ekonomi
mempunyai pandangan jangka pendek (myopic), hubungan antar generasi tidak erat, serta tidak
semua pasar selalu dalam posisi keseimbangan. Salah satu ketidakseimbangan terjadi di pasar
tenaga kerja, dan dalam perekonomian selalu terjadi pengangguran.
Menurut kaum Keynesian, defisit anggaran akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan,
dan konsumsi pada giliran berikutnya. Defisit anggaran yang dibiayai utang, yang berarti beban
pajak pada masa sekarang relatif menjadi lebih ringan, akan menyebabkan peningkatan
pendapatan yang siap dibelanjakan. Peningkatan pendapatan yang siap dibelanjakan akan
meningkatkan konsumsi dan sisi permintaaan secara keseluruhan. Jika perekonomian belum
dalam kondisi kesempatan penuh, peningkatan sisi permintaan akan mendorong produksi dan
selanjutnya peningkatan pendapatan nasional. Pada periode selanjutnya, peningkatan
pendapatan nasional akan mendorong perekonomian melalui efek multiplier Keynesian. Karena
defisit anggaran meningkatkan konsumsi dan tingkat pendapatan sekaligus, tingkat tabungan
dan akumulasi kapital juga meningkat. Menurut kaum Keynesian secara keseluruhan, defisit
anggaran dalam jangka pendek akan menguntungkan perekonomian.

C. DAMPAK KEBIJAKAN DEFISIT
Kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran dan bertujuan untuk mendorong perekonomian
bisa melalui sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan,
kenaikan pendapatan nasional bersumber antara lain dari naiknya konsumsi, investasi, kenaikan
belanja pemerintah, naiknya ekspor, serta menurunnya impor. Tingkat perubahan dari berbagi
komponen tersebut bebarengan dengan besarnya koefisien sensitifitasnya masing-masing
komponen permintaan total terhadap faktor penentunya, akan menentukan besarnya kenaikan
pendapatan nasional.
Dampak defisit anggaran dilihat dari sisi permintaan dapat dilihat dari peningkatan agregat
demand. Dimana agregat demand merupakan fungsi (atau kurva) yang menggambarkan hubungan
antara tingkat harga dengan jumlah pengeluaran agregat yang akan dilakukan dalam perekonomian.
Perbedaan konsep antara pengeluaran agregat dan permintaan agregat adalah, pengeluaran agregat
berlaku pada harga tetap, sedangkan permintaan agregat berlaku pada harga yang berubah.
Dampak kebijakan fiskal dari sisi permintaan dipelopori oleh Keynes dalam teorinya (deficit
spending). Dimana lahir sebagai reaksi depresi besar di tahun 1930-an di Amerika Serikat. Untuk
mengatasi hal itu, Keynes mengusulkan kebijakan fiskal melalui kenaikan belanja untuk mendorong
permintaan (Anggito Abimanyu, 2003). Jadi dengan adanya kebijakan fiskal yang berupa defisit
anggaran diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat. Permintaan agregat dapat
meningkat bila komponen-komponen dalam pasar barang atau sektor riil meningkat (IS). Misalnya
kenaikan konsumsi, investasi, dan ekspor neto mampu meningkatkan permintaan agregat dan
menggesernya ke kanan atas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan stimulus fiskal, misalnya
kenaikan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak. Dimana kenaikan pengeluaran (belanja)
pemerintah akan meningkatkan pendapatan nasional (pengeluaran agregat, Y = AE), sehingga
konsumsi dan investasi, dan ekspor netto akan meningkat (Sadono Sukirno, 2004).
Sedangkan dampak kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran, dari sisi penawaran (supply
side) kenaikan pendapatan nasional antara lain bersumber dari naiknya kemampuan produksi
karena berkembangnya teknologi dan atau dari meningkatnya ketersediaan sumber daya ekonomi
(resources). Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat diberikan untuk kegiatan-kegiatan yang
mengembangkan teknologi atau menemukan sumber daya alam baru. Dampak kebijakan fiskal
defisit anggaran selain dapat dilhat pada sektor riil, juga dapat dilihat melalui jalur moneter (harga)
atau pasar uang (Maryatmo, 2004).
Melalui jalur moneter dampak defisit anggaran dapat dilihat dari permintaan akan uang (money
demand). Kebijakan fiskal yang ekspansif, misalnya kenaikan pengeluaran pemerintah akan
mengakibatkan kenaikan permintaan agregat pada putaran pertamanya (first cycle). Pada putaran
kedua (second cycle), kenaikan permintaan agregat akan mengakibatkan nilai harga (P) dan kuantitas
baru (Q). Kenaikan P dan Q yang baru mengakibatkan kenaikan permintaan uang (Hary Yusuf, 2003).
Dampak defisit anggaran yang penting terhadap ekonomi, baik dampak positif atau negatif.
Misalnya metode penambahan uang dalam ekonomi akan menimbulkan permasalahan
meningkatnya tingkat harga barang dan jasa, sehingga menyebabkan peningkatan inflasi (Jaka
Sriyana, 2007). Pembiayaan defisit anggaran dengan cara penambahan jumlah uang beredar juga
akan memiliki dampak pada peningkatan permintaan uang oleh masyarakat. Hal ini disebabkan
adanya penurunan nilai uang dalam ekonomi. Dengan kata lain, masyarakat perlu menambah uang
untuk pengeluarannya. Dengan demikian, pembiayaan defisit anggaran oleh pemerintah dengan
cara menambahkan uang dalam ekonomi dapat meningkatkan jumlah penerimaan pemerintah
(Mankiw, 2002).
Sedangkan dalam teori Keynes menjelaskan bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh suku
bunga ( i ), harga (P), dan kuantitas barang (Q). Selanjutnya, bila permintaan uang naik maka
investasi akan berkurang, dan selanjutnya berkurangnya investasi akan mengakibatkan permintaan
agregat berkurang. Pada akhirnya kenaikan permintaan agregat pada first cycle dan berkurangnya
permintaan agregat pada second cycle akan mencapai posisi keseimbangan baru secara bersama-
sama.
Oleh karena banyak sekali dampak yang akan ditimbulkan dari adanya defisit anggaran, maka
penelitian mengenai defisit anggaran sangat menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai defisit
anggaran telah banyak dilakukan antara lain Joko Waluyo (2006), yang menganalisi tentang dampak
pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi
studi kasus Indonesia tahun 1970-2003, dengan menggunakan model persamaan simultan, dimana
hasil penelitiannya adalah pembiayaan defisit anggaran dengan menggunakan hutang luar negeri
akan berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary.
Studi empiris yang lain adalah R Maryatmo (2004), dimana menghasilkan kesimpulan yang
berbeda dengan Joko Waluyo. Hasil dari R Maryato adalah defisit anggaran akan mempengaruhi
tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mempengaruhi penurunan sektor riil. Hal ini
berati akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Studi empiris mengenai defisit anggaran juga
dilakukan oleh Andiarma Tesamaris dan Siti Fatimah (2005), dimana hasil studi empirisnya adalah
terdapat hubungan dua arah antara defisit anggaran dengan hutang luar negeri.

D. ANGGARAN DEFISIT DI INDONESIA
Perkembangan Kebijakan Anggaran di Indonesia
Sejak Bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia
telah menganut sistem anggaran defisit. Sejak tahun 1969, Indonesia telah melakukan pinjaman ke
Luar Negeri dalam bentuk Dolar Amerika Serikat yang kemudian mempersulit perekonomian bangsa
Indonesia secara keseluruhan di tahun 1997 karena turunnya nilai Rupiah yang sangat signifikan.
Dalam perkembangannya sebelum Reformasi Keuangan Negara, pencatatan terhadap Utang yang
seharusnya dicatat sebagai pembiayaan dicatat sebagai pendapatan negara sehingga pada masa ini
kita mengenal APBN berimbang yaitu penerimaan sama dengan pengeluaran.
Sebelum Reformasi di bidang Keuangan Negara, pemerintah menanggap bahwa semakin
banyak utang yang diterima dari luar negeri, semakin baik hubungan luar negeri Indonesia. Kondisi
perekonomian masa depan tidak diperkirakan dengan akurat pada masa tersebut, misalnya nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, tingkat inflasi dan kondisi kemampuan APBN untuk
melunasi utang-utang luar negeri tersebut.
Reformasi Keuangan Negara baru dilakukan dengan keluarnya 3 paket Undang-Undnag, yaitu
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Reformasi Keuangan Negara ini membawa
dampak positif bagi sistem penganggaran di Indonesia, yang dulunya menggunakan sistem
penganggaran tradisional (traditional-based budgeting system) menjadi sistem pengangaran
berbasis kinerja (performance-based budgeting system). Selain itu, pencatatan Utang kian diperbaiki
dan ditelusuri agar dicatat secara tepat yaitu masuk ke komponen penerimaan pembiayaan bukan
pendapatan negara.
Sampai saat ini Indonesia masih memakai politik anggaran defisit karena perencanaan
pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaan sehingga dibutuhkan pembiayaan untuk
menutupi defisit APBN.
Struktur APBN Indonesia
Dari tahun ke tahun, angka pengeluaran pada APBN Indonesia terus meningkat. Peningkatan ini
diakibatkan oleh asumsi ekonomi makro yang diuangkapkan pada Nota Keuangan APBN setiap
tahunnya. Berikut Struktur APBN Indonesia dari tahun 2009 s.d. 2014:


Sumber: www.djpu.kemenkeu.go.id
Pendapatan Negara dan Hibah mengalami kenaikan dari tahun 2009 s.d. 2014. Kenaikan
Pendapatan Negara dan Hibah ini dibarengi dengan naiknya Belanja Negara. Namun, dari tahun
2009 s.d. 2014, Pendapatan Negara dan Hibah tidak bisa menutupi Belanja Negara sehingga terjadi
defisit pada anggaran setiap tahunnya.
Berdasarkan amanah Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, besarnya
defisit anggaran maksimal adalah 3% dari PDB dan jumlah maksimal pinjaman 60% dari PDB. Hingga
APBN T.A. 2014, besaran defisit tersebut belum mencapai 3 % dari PDB seperti yang digambarkan
pada grafik di bawah ini:


Sumber: www.djpu.kemenkeu.go.id
Dari grafik tersebut terlihat bahwa persentase defisit terhadap PDB terbesar terjadi pada T.A.
2013 (data APBN-P 2013) yaitu 2,4 % dan diperkirakan pada APBN T.A. 2014 akan menurun menjadi
1,7%. Berdasarkan Nota Keuangan APBN Tahun 2014, besarnya rasio utang terhadap PDB adalah
23,00%, menurun dibandingkan dengan rasio utang terhadap PDB tahun 2013 23, 4%. Penurunan
rasio defisit anggaran terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB ini menunjukkan membaiknya
perekonomian negara Indonesia.
Selain itu, nilai defisit anggaran dari tahun 2009 s.d. 2014 berfluktuasi dimana terjadi
penurunan defisit pada APBN berdasarkan LKPP yang telah diaudit pada tahun 2010 dan
diperkirakan akan turun juga pada tahun 2014.
Penurunan nilai defisit anggaran tahun di tahun anggaran 2014 ini dibarengi dengan rencana
penurunan jumlah penerimaan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman baik dari penerbitan
Surat Berharga Negara (SBN), Pinjaman Dalam Negeri , Pinjaman Luar Negeri, Pembiayaan Nonutang
seperti Perbankan Dalam Negeri dan Nonperbankan Dalam Negeri seperti pada tabel berikut ini:


Sumber: www.djpu.kemenkeu.go.id
Dari tabel tersebut terlihat bahwa Pemerintah di tahun 2014 sedang berupaya untuk
mengurangi ketergantungan pembiayaan dari Pinjaman dan Nonpinjaman. Hal ini didukung dengan
upaya pemerintah untuk melakukan optimalisasi penerimaan paja, optimalisasi kepabeaan dan
cukai, dan optimalisasi PNBP seperti yang tertuang pada APBN T.A. 2014. Selain dari sisi pendapatan
negara, dari sisi pengelolaan utang juga diupayakan untuk ditingkatkan keefektifan dan keefisienan
pengelolaan utang.

Alasan Kebijakan Anggaran Defisit di Indonesia
Pada struktur APBN T.A. 2014, terdapat perkiraan defisit anggaran sebesar Rp.175,4 Triliun
dengan rasio terhadap PDB 1,69% dan rasio pinjama terhadap PDB sebesar 23,00%. Anggaran defisit
ini dikarenakan jumlah pengeluaran negara yang lebih besar dari penerimaan negara. Kebijakan
anggaran defisit pada APBN tahun 2014 masih menggunakan anggaran defisit. Sebagai salah satu
bentuk kebijakan fiskal pemerintah, kebijakan anggaran defisit tentu memliki beberapa alasan (Nota
Keuangan APBN T.A. 2014), antara lain:
a. Memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik melalui serangkaian
program dan kegiatan Pemerintah.
b. Penetapan besaran defisit APBN dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal, antara lain
kebutuhan kegiatan prioritas yang harus dibiayai di tahun yang bersangkutan, kapasitas
pembiayaan anggaran, kondisi perekonomian dan pasar keuangan, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penerimaan Pembiayaan dilakukan untuk Pengeluaran Pembiayaan Utang dan Nonutang.
Pengeluaraan pembiayaan nonutang terdiri atas dana investasi pemerintah, dana
pengembangan pendidikan nasional, kewajiban penjaminan, dan pinjaman kepada PT PLN..
Sebab-sebab terjadinya defisit anggaran di Indonesia lain antara lain:
Mempercepat pertumbuhan ekonomi
Percepatan pertumbuhan ekonomi didukung dengan pembangunan melalui investasi yang besar
dan dana yang besar. Untuk menghindari pembebanan kepada masyarakat melaui penarikan
pajak, maka negara melakukan pinjaman luar negeri. Pembangunan perekonomian meliputi
pembangunan program-program, seperti:
1) Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan, listrik,
pelabuhan, dll.
2) Program yang berkaitan dengan Hankam.
3) Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan, lembaga
pemasyarakatan, dll.
4) Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit, panti
asuhan.
5) Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program transmigrasi,
pembangunan daerah, dll.
6) Program yang menangani masalah kemiskinan, seperti PPK, P3DT, dsb
Rendahnya daya beli masyarakat
Pada umumnya masyarakt Indonesia memiliki tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan
juga daya beli yang rendah. Untuk barang dan jasa publik seperti listrik, BBM, sarana
transportasi yang jika dibiarkan dengan mekanisme pasar maka harganya tidak akan terjangkau
oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu, pemerintah membutuhkan pengeluaran yang
besar untuk mensubsidi barang dan jasa publik tersebut agar masarakat yang kurang mampu
bisa ikut menikmati.
Pemerataan Pendapatan Masyarakat
Pengeluaran Negara, khususnya subsidi dilakukan untuk pemerataan pendapatan masyarakat.
Melemahnya nilai tukar
Indonesia sejak tahun 1969 telah melakukan pinjaman luar negeri dan mengalami gejolak nilai
tukar setiap tahunnya. Apabila nilai tukar rupiah terhadap valuta asing menurun maka utang
pokok serta cicilan bunganya akan meningkat.
Pengeluaran Akibat Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi tahun 1997 mengakibatkan meningkatnya pengangguran dan menurunkan
sektor-sektor perekonomian di Indonesia, padahal pemerintah harus menaikkan daya beli
masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan dana ekstra
untuk program-program kemiskinan dan pemerdayaan masyarakat terutama di wilayah
pedesaan yang masih miskin tersebut.
Realisasi yang Menyimpang dari Rencana
Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau
dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang
direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan, proyek, atau program harus dipotong.
Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja
pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain.
Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat
tercapai sesuai dengan rencana semula.
Pengeluaran Karena Inflasi
Penyusunan APBN mempertimbangkan asumsi-asumsi ekonomi makro, yang salah satunya
adalah tingkat inflasi. Inflasi akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa termasuk
pengeluaran berupa belanja terkait penyediaan barang dan jasa publik. Untuk menyesuaikan
pengeluaran-pengeluaran tersebut, pendapatan negara dan hibah tidak cukup untuk
menutupinya sehingga pembiayaan dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran.

Pokok-pokok mengenai Defisit APBN dan Diskresi Kebijakan Fiskal:
1) Persoalan defisit anggaran pada dasarnya selalu berkutat pada sumber dana apa yang bisa
digunakan untuk menutupi. Dari sisi pengeluaran, pemerintah bisa melakukan efisiensi dengan
jalan melakukan penghematan di luar belanja rutin. Sementara itu, dari sisi penerimaan, ada dua
opsi yang bisa diambil, yaitu apakah menggenjot penerimaan dari pajak ataukah menambah
utang baru.
2) Terkait dengan kaitan defisit untuk pembiayaan infrastruktur, pos APBN untuk pengeluaran
pembangunan infrastruktur memang tidak dapat diganggu gugat dengan beberapa alasan.
Pertama, stimulus bagi pemintaan lokal, regional, dan nasional serta sebagai stimulus lapangan
kerja (Keynesian). Kedua, memberikan efek infrastruktur pada ongkos transportasi dan distribusi
serta pengaruhnya terhadap harga dan keunggulan komparatif (Ricardian). Ketiga, memberikan
peningkatan produktivitas melalui pertumbuhan efisiensi ekonomi yang mendorong
pertumbuhan kemakmuran (Neoklasik).
3) Dengan tekanan fiskal pada struktur APBN kita, sudah selayaknya kita mendukung upaya
efisiensi program pemerintah serta pengembalian aset negara dari para koruptor demi
tercapainya upaya stabilisasi perekonomian nasional.
Dari penjelasan anggaran defisit di Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa anggaran
defisit tidak berarti jelek. Anggaran defisit disebabkan oleh faktor-faktor melekat pada Bangsa
Indonesia sendiri seperti tingkat kesehatan dan pendidikan Bnagsa Indonesia yang masih
membutuhkan pengeluaran yang besar untuk dapat menjangkau seluruh masyarakat. Keefektifan
kebijakan fiskal ini dinilai dari kinerja pemerintah bukan hanya dalam efektifitas dan efisiensi
pengelolaan utang, tetapi juga dari sisi optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi serta efektifitas
Belanja Negara oleh Pemerintah Indonesia.
Anggaran Defisit dan Surplus di Negara Lain
Kebijakan anggaran di negara-negara di dunia pastilah berbeda. Kebijakan anggaran defisit atau
surplus tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian suatu negara, misalnya
inflasi, PDB, pendapatan per kapita, dan faktor lainnya.
Pada tabel persentase defisit/ surpus anggaran di beberapa negara di dunia di bawah, untuk
anggaran tahun 2014, terdapat enam 6 negara (15,79%) dengan anggaran surplus dari total 38
negara, dan 32 negara (84,21%) dengan anggaran defisit. Negara dengan persentase defisit terhadap
PDB terbesar adalah Jepang, 8,4% dan negara dengan persentase surplus terhadap PDB terbesar
adalah Norwegia (Norway).
Berikut akan dibahas kebijakan anggaran surplus di Norwegia dan kebijakan anggaran defisit di
Jepang.


Tabel persentase defisit/ surpus anggaran di beberapa negara di dunia
Sumber: http://www.oecd-ilibrary.org/economics/government-deficit_gov-dfct-table-en

Anggaran Surplus di Norwegia
Norwegia menerapkan kebijakan anggaran surplus sudah mulai tahun 1985 hingga saat ini,
namun pada tahun 1991 s.d. 1994 anggaran Norwegia defisit dan kembali surplus dari tahun 1995
s.d. 2014. Berikut gambaran penganggaran Norwegia tahun 2014:

Total pendapatan negara (1.293.027 Juta NOK) lebih besar dari pengeluaran negara (1.116.400
Juta NOK). Pendapatan dari sumber daya alam berupa minyak merupakan penyumbang yang cukup
besar pada APBN Norwegia, yaitu 26,61% dari total pendapatan. Jika dibandingkan dengan PNBP
yang berasal dari Pendapatan Migas Indonesia pada APBN T.A. 2014, Rp 196,5 Triliun dari total
Pendapatan Negara Rp 1.665,8 Triliun, yaitu 11, 8%, pendapatan SDA migas Norwegia menjadi
penyokong perekonomian dan indicator kesejahteraan rakyatnya. Terutama dengan naiknya harga
minyak di tahun 2013 membuat Pemerintah Norwegia menyimpan kekayaan negara sampai 5,11
Triliun Crowns ($828 Milyar). Dalam perhitungan di situs resmi Bank Sentral Norwegia, dana asing
negara meningkat hingga 5,11 triliun krone atau Rp 10.098,4 trliun (kurs: Rp 1.976 per krone). Dibagi
estimasi jumlah penduduk Norwegia terkini, artinya setiap warga di negara tersebut memiliki satu
juta krone atau Rp 1,9 miliar. (http://bisnis.liputan6.com/read/796778/fantastis-semua-orang-di-
negara-ini-jadi-miliarder).
Penduduk Norwegia merupakan masyarakat yang sudah mempersiapkan masa depan. Hal ini
dikarenakan sejak penemuan minyak di tahun 1969 di Laut Utara, penduduk Norwegia berhasil
menahan gejolak untuk memakai uang secara berlebihan, mereka justru memberikan uangnya untuk
dikelola lewat pengelola dana investasi atau Soforeign Wealth Fund (SWF) untuk menguyur generasi
masa depannya.
Norwegia merupakan negara penghasil minyak yang sebagian besar terletak pada lepas
pantainya. Selain itu pada tahun 2014, Norwegia menjadi negara pengekspor minyak terbesar
ketujuh di dunia.
Selain karena sumber daya alam berupa minyak bumi, keberhasilan anggaran surplus Norwegia
juga didukung oleh Sumber Daya Manusianya, angka pengangguran di Norwegia hanya 3% bahkan
dari angkatan kerja wanita lebih unggul di pendidikan, beradatasi dengan lingkungan baru dan
bekerja di tempat baru. Sistem pendidikan yang baik juga sudah dilakukan sejak taman kanak-kanak.
Berdasarkan Human Development index (HDI) tahun 2012 yang dilakukan UNDP, kualitas SDM
Norwegia berada di urutan pertama dari 186 negara di dunia.
Dalam setahun Norwegia hanya menghabiskan 4% dana asing. Selain itu Norwegia juga berhasil
memangkas beban subsidi misalnya subsidi pertanian dengan mengizinkan para petani untuk
menjaga susu sapinya tetap hangat dan layak dikonsumsi.
Perkembangan surplus anggaran Norwegia dapat dilihat melalui grafik di bawah ini:


Sumber: http://www.tradingeconomics.com/norway/government-budget



Anggaran Defisit di Jepang
Jepang merupakan negara yang menerapkan kebijakan anggaran defisit selain Indonesia.
Anggaran Jepang 6 kali lipat anggaran Indonesia, yaitu 95,88 Triliun atau $922 Milyar (sekitar
Rp11.000 Triliun). Besarnya anggaran tersebut dikarenakan naiknya belanja pertahanan di tahun
2014. Sebagian besar belanja negara Jepang dihabiskan untuk biaya medis dan jaminan sosial.
Jepang juga memproyeksikan defisit anggarannya aka semakin kecil dan bisa surplus pada tahun
2020. Berikut gambaran anggaran Jepang tahun 2014:

Sumber: http://www.mof.go.jp/english/budget/budget/fy2014/01.pdf
Anggaran defisit oleh Pemerintah Jepang disebabkan oleh tinginya Belanja social security yaitu
26,9 Triliun Yen. Tingginya anggaran belanja ini tidak sebanding dengan Consumption Tax Revenues-
nya yaitu 11,9 Triliun Yen. Sehingga untuk membiayai kekurangannya, Jepang menerbitkan surat
utang sebesar 15 Triliun Yen. Di samping Belanja Social Security, Belanja lainnya seperti Belanja di
bidang Pendidikan, Food Supply, Energi dan bidang lain mencapai 46 Triliun Yen. Selain untuk belanja
pengeluaran pemerintah Jepang juga untuk membayar utang negara sebesar 23 Triliun Yen. Kedua
jenis pengeluaran ini didanai melalui pendapatan Other Tax Revenues than Consumption Tax sebesar
38,1 Triliun Yen, Pendapatan lainnya 4,6 Triliun Yen, dan Pinjaman sebesar 26,3 Triliun Yen.

Sumber: http://www.mof.go.jp/english/budget/budget/fy2014/01.pdf
Anggaran defisit Jepang yang cukup besar belum tentu mencerminkan kebijakan fiskal yang
kurang tepat karena angka pengangguran Jepang berdasarkan Highlight of The Budget for FY2014
adalah 3,7%. Angka lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yaitu 5,7-5,9%. Selain itu kualitas
SDM Jepang berada di urutan 10 dari 186 negara di duna berdasarkan data Human Development
index (HDI) tahun 2012 yang dilakukan UNDP.
Jepang merupakan salah satu negara pemeberi pinjaman antar negara di dunia misalnya saja
pada APBNP 2013 Indonesia memiliki jumlah pinjaman program kepada Jepang sebesar 3,89 Milyar
USD. Pinjaman program ini dilakukan dalam rangka pembiayaan infrastruktur di Indonesia. Selama
22 tahun berturut-turut Jepang merupakan negara pemberi pinjaman (kreditur) terbesar di dunia
dengan besar 2,9 Triliun USD dan disusul oleh China, Jerman, Swiss dan Hongkong.
Dari grafik Japan Government Budget di bawah ini, tahun 2004 s.d. 2014 Jepang menerapkan
kebijakan anggaran defisit dengan nilai persentase defisit terhadap PDB sebesar 7,6%. Persentase ini
jauh lebih besar daripada rasio defisit APBN Indonesia yaitu, 1, 69%. Lebih besarnya defisit Jepang
diimbangi dengan posisinya sebagai kreditur terbesar di dunia, pertumbuhan ekonomi yang baik,
dan kualitas SDM yang baik.

Sumber: http://www.tradingeconomics.com/japan/government-budget

REFERENSI

Algifari. Pengaruh Defisit Anggaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
www.stieykpn.ac.id/.../riset%20defisit%20artikel.docx

Teguh Pamuji TNH, Analisis Dampak Defisit Anggaran Terhadap Ekonomi Makro di Indonesia (Tahun
1993-2007), Universitas Diponegoro, 2008.

DJPU. Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat Berharga Negara) Edisi Juni 2014.
www.djpu.kemenkeu.go.id

Kunarjo: Defisit Anggaran Negara.2001.

Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2014.

http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=340

Norwegian Ministry of Finance. Budget 2014.
http://www.statsbudsjettet.no/Upload/Tilleggsproposisjon_2014/doks/budget2014.pdf.

http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/hdr/human-development-report-2013/

http://m.news.viva.co.id/news/read/405630-dubes-norwegia--ini-kunci-sukses-negara-kami

http://rt.com/news/norwegians-become-crown-millionaires-349/

http://www.nusaforex.com/tahun-2014-anggaran-belanja-jepang-naik-mayoritas-untuk-belanja-
pertahanan-21842.html

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/28/21351524/Inilah.Negara.Pemberi.Utang.Terb
esar.di.Dunia

Você também pode gostar