NIA WULAN SARI (17) P. ALHADI SEMBIRING (21) RUTH JELITA SILABAN (24)
PROGRAM DIPLOMA IV AKUNTANSI SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA 2014
A. PENDAHULUAN
Pengertian Menurut Rahardja dan Manurung (2004) defisit anggaran adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G>T). Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus (2001) adalah suatu anggaran dimana terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Sedangkan menurut Dornbusch, Fischer dan Startz defisit anggaran adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan penerimaan dari pajak. Pengertian tentang defisit anggaran dalam teori ekonomi makro, dapat dipahami dari perekonomian tertutup. Dimana dalam perekonomian tertutup dengan adanya tindakan fiskal pemerintah, pendapatan nasional terdiri dari: Y = C + I + G (a) Dimana : Y : Pendapatan Nasional C : Pengeluaran konsumsi I : Pengeluaran investasi G : Pengeluaran konsumsi pemerintah Dari pendapatan ini, oleh penerima pendapatan sebagian dipergunakan untuk membayar pajak kepada pemerintah. Akan tetapi sebaliknya kepada orang-orang atau badan-badan tertentu pemerintah memberikan uang tanpa mengharapkan adanya balas jasa yang langsung. Transaksi yang disebutkan disebut goverment transfer atau transfer pemerintah. Pendapatan setelah diperhitungkannya penerimaan transfer dari pemerintah dan pajak yang harus diserahkan kepada pemerintah inilah yang disebut disposible income, yaitu pendapatan yang sudah siap dipakai untuk konsumsi dan untuk saving. YD = Y + Tr Tx (b) Dimana: YD : Pendapatan disposibel Tr : transfer pemerintah Tx : pajak Dari persamaan (b) dapat diturunkan persamaan: Y = YD Tr + Tx (c) Mengingat bahwa disposibel income tersebut digunakan untuk konsumsi dan sisanya merupakan saving, maka dapat ditulis: YD = C + S (d) Dimana: C : konsumsi S : saving Kemudian persamaan (a) disubtitusikan ke persamaan (c), sehingga diperoleh: C + I + G = YD Tr + Tx (e) Dengan memperhatikan persamaan (d), dapat ditemukan: C + I + G = C + S Tr + Tx (f) Ini berarti: I + G + Tr = S + Tx (g) Dalam perekonomian dengan adanya tindakan fiskal, untuk ekuilibriumnya pendapatan nasional, syarat terpenuhinya kesamaan S = I, tidak berlaku. Meskipun S tidak sama dengan I asalkan S + Tx = I + G + Tr, maka pendapatan nasional akan ada dalam keadaan ekuilibrium. Seperti halnya dengan tidak perlunya saving sama dengan investasi untuk ekuilibriumnya pendapatan nasional, anggaran belanja negara pun tidak perlu seimbang. Pendapatan nasional mungkin ada dalam keadaan ekuilibrium, meskipun anggaran belanja dalam keadaan defisit (yaitu dimana Tx < G + Tr) ataupun dalam keadaan surplus (yaitu dimana Tx > G + Tr). Sebab syarat ekuilibriumnya pendapatan nasional bukanlah samanya penerimaan negara dengan pengeluaran negara, melainkan samanya saving plus pajak dengan jumlah investasi plus konsumsi pemerintah plus transfer pemerintah (Soediyono, 1982) Selain itu, ada beberapa pengertian yang berbeda mengenai apa yang dimaksud APBN defisit, surplus, atau seimbang. Masing-masing pengertian mempunyai arti ekonomis (dan implikasi makro) yang berbeda satu sama lain. Pengertian pertama adalah Defisit Konvensional Defisit yang dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Pengertian kedua adalah Defisit Moneter. Defisit Moneter merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang). Pengertian ketiga adalah Defisit Operasional. Defisit Operasional merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal. Sedangkan pengertian keempat adalah Defisit Primer, merupakan selisih antara belanja (di luar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan.
Sebab-sebab Terjadinya Anggaran Defisit Pemerintah Menurut Barro (1989) ada beberapa sebab terjadinya defisit anggaran, yaitu: 1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang di bebani tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. 2. Pemerataan pendapatan masyarakat Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah, sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk pemerataan pendapatan tersebut. Misalnya pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju. 3. Melemahnya nilai tukar Bila suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, maka negara tersebut akan mengalami masalah bila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman dihitung dengan mata uang negara peminjam tersebut. Misalnya apabila nilai tukar rupiah depresiasi terhadap mata uang dollar AS, maka pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang akan dibayarkan juga membengkak. Sehingga pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula. 4. Pengeluaran akibat krisis ekonomi Krisis ekonomi akan menyebabkan meningkatnya pengangguran, sedangkan penerimaan pajak akan menurun akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu. 5. Realisasi yang menyimpang dari rencana Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan proyek atau program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula. 6. Pengeluran karena inflasi Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga- harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggaran tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi. Akibatnya, negara terpaksa mengeluarkan dana dalam rangka menambah standar harga itu.
B. KONTROVERSI DEFISIT ANGGARAN PEMERINTAH Defisit APBN bukanlah hal tabu dan kini tidak bisa dihindari lagi kenaikannya. Dalam situasi yang memerlukan sustainability fiscal, pelonggaran angka defisit wajar terjadi dan memang mau tidak mau harus dilakukan. Persoalannya sekarang, pada kisaran angka defisit berapakah yang bisa dijadikan acuan anggaran dan pastinya juga masih dalam kendali. Persoalan defisit anggaran pada dasarnya selalu berkutat pada sumber dana apa yang bisa digunakan untuk menutupi. Dari sisi pengeluaran, pemerintah bisa melakukan efisiensi dengan jalan melakukan penghematan di luar belanja rutin. Sementara itu, dari sisi penerimaan, ada dua opsi yang bisa diambil, yaitu apakah menggenjot penerimaan dari pajak ataukah menambah utang baru. 1
Efisiensi & optimalisasi APBN 2
Pada hakikatnya, efisiensi dalam APBN adalah optimalisasi APBN menyangkut nilai uangnya. Optimalisasi ini tidak hanya meliputi nilai efisiensi tapi juga harus memenuhi kriteria seberapa ekonomis dan efektifnya penggunaan uang yang dikeluarkan. Efektif berarti anggaran yang dikeluarkan dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan. Nilai efektivitas ini merupakan refleksi dari kemampuan suatu anggaran untuk mencapai tepat sasaran atau tepat guna. Efisien merepresentasikan aspek waktu yang digunakan. Anggaran yang dikeluarkan bisa disebut efisien jika manfaat atau hasil yang diperoleh tepat sasaran dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Sementara itu, ekonomis adalah suatu cara penghematan yang dilakukan dengan bijaksana. Nilai ekonomis ini akan menentukan pengeluaran di sektor apa saja yang harus mendapat skala prioritas lebih dalam kerangka mendapatkan hasil yang optimal secara keseluruhan.
1 http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=340 2 Ibid. Satu hal yang harus diperhatikan dalam efisiensi anggaran adalah usaha-usaha penghematan yang dilakukan tidak boleh mengganggu alokasi anggaran program pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur. Terkait dengan kaitan defisit untuk pembiayaan infrastruktur, pos APBN untuk pengeluaran pembangunan infrastruktur memang tidak dapat diganggu gugat dengan beberapa alasan. Pertama, stimulus bagi pemintaan lokal, regional, dan nasional serta sebagai stimulus lapangan kerja (Keynesian). Kedua, memberikan efek infrastruktur pada ongkos transportasi dan distribusi serta pengaruhnya terhadap harga dan keunggulan komparatif (Ricardian). Ketiga, memberikan peningkatan produktivitas melalui pertumbuhan efisiensi ekonomi yang mendorong pertumbuhan kemakmuran (Neoklasik).
Pajak atau utang 3
Menambal defisit APBN, tentu saja pemerintah berharap dari tambahan penerimaan misalnya dari ekspor pertambangan atau sektor komoditas serta penerimaan dividen dari BUMN. Kendati selayaknya dividen digunakan bagi investasi BUMN tersebut agar menjadi lebih besar dan bukan hanya untuk menutup APBN. Alternatif lain adalah opsi menggenjot penerimaan pajak dan menambah utang baru. Dalam kondisi perlambatan ekonomi, menggenjot penerimaan pajak menjadi hal yang susah direalisasikan. Dengan adanya stimulus fiskal, pajak ekspor dipastikan akan turun. Selain itu, kenaikan pajak bisa jadi akan dibebankan pada konsumen yang akan bermuara juga pada kenaikan laju inflasi. Opsi terakhir adalah menambah utang baru. Pemerintah dapat menaikkan utang baru dari dalam negeri dengan menerbitkan obligasi negara. Mengacu pada pendekatan akuntansi (accounting approach), ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai kebijakan fiskal yang sustainable. Pertama, primary balance harus surplus. Primary balance adalah selisih antara anggaran penerimaan dan pengeluaran di luar bunga dan cicilan utang. Kedua, rasio utang terhadap PDB yang konstan. Faktor-faktor yang perlu dipenuhi dalam pencapaian sustainable fiscal, sebagaimana yang disyaratkan Accounting Approach dalam praktiknya memiliki kelemahan karena profil jatuh tempo utang pemerintah diabaikan. Jika jatuh tempo utang terkonsentrasi pada satu periode yang berdekatan dan primary balance surplus tidak mampu mengimbangi, tekanan fiskal dari lonjakan pembayaran utang yang jatuh tempo tidak bisa dihindari.
3 Ibid. Dari data yang ada, primary balance memang masih surplus tapi cenderung menurun. Pada 2002, rasio primary balance terhadap total pendapatan sebesar 16,7%, pada 2005 sampai 2007 berada pada kisaran 6%.
Tekanan fiscal 4
Sementara itu, pada APBN 2008 sebesar 2,3%. Dengan kondisi seperti itu, primary balance belum bisa mengkompensasi beban pembayaran bunga dan cicilan pokok utang. Struktur jatuh tempo utang pemerintah juga terkonsentrasi pada periode 2007-2014. Jadi meski primary balance masih surplus, tekanan fiskal pada periode ini harus dikendalikan. Untuk mengatasinya pemerintah harus melakukan refinancing. Jalan yang lebih aman dengan menambah utang dalam negeri meski kemungkinan berdampak negatif pada perekonomian nasional, misalnya tingkat bunga pasar akan lebih tinggi dan terjadi crowding-out effect terhadap sektor swasta di pasar finansial. Tekanan perlambatan ekonomi yang tak bisa dihindari, pelonggaran defisit anggaran mau tidak mau mesti dilakukan. Dalam tujuh tahun terakhir, angka defisit tertinggi yang berhasil dikendalikan adalah 3,6% pada 2001. Dengan mengacu pada angka itu, kisaran 2%-3% merupakan defisit yang masih manageable. Ada pemikiran yang cukup liar bahwa masih terdapat sumber lain yang masih mungkin dilakukan adalah dengan mempercepat proses pengembalian uang negara, baik yang dari BLBI para obligor kooperatif maupun non-kooperatif yang jika dijumlahkan bisa mencapai ratusan triliun maupun dari kasus-kasus korupsi kakap lainnya. Namun tindakan ini memerlukan keberanian yang cukup kuat dan juga tidak mudah direaliasikan mengingat korupsi sudah mendarah daging dalam praktiknya.
Kontroversi Dampak Defisit Anggaran Dampak defisit anggaran terhadap perekonomian secara teoritik dipenuhi oleh kontroversi. Ada tiga kelompok yang berbeda pendapat dalam hal dampak defisit anggaran terhadap perekonomian. Ketiga kelompok tersebut adalah kaum Ricardian, Neoklasik, dan Keynesian. 1. Teori Ricardian Equivalance (RE) Kelompok pertama, yakni kaum Ricardian, dengan teorinya Ricardian Equivalence (RE) berpendapat bahwa defisit anggaran tidak akan mempunyai pengaruh apa-apa terhadap perekonomiaan. Konsep Ricardian Equivalence Hypothesis (REH) menjadi bahan perdebatan yang sangat menarik di dunia akademik. Teori ini berasal David Ricardos Funding System dan dikemukakan kembali oleh Robbert Barro (1974) sehingga sering diberi nama Ricardo-Barro
4 Ibid. Preposition. Preposisi Ricardo Barro berlandaskan pada asumsi: intergenerational altruism atau immortality, perfect capital markets, lump sum taxation, dan kondisi bahwa tingkat utang tidak lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Inti dari preposisi ini menyatakan bahwa pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan utang pemerintah berdampak netral terhadap aktifitas ekonomi (Blancard, 2000). REH mengajukan hipotesis bahwa beberapa kebijakan pemerintah tidak akan membawa dampak yang penting bagi perekonomiaan (neutrality preposition). REH mengkombinasikan dua pendekatan fundamental, yaitu kendala anggaran pemerintah dan Permanent Income Hypothesis (PIH). Kendala anggaran pemerintah menyatakan apabila pengeluaran pemerintah tidak mengalami perubahan maka tingkat pajak yang rendah sekarang akan diimbangi oleh kenaikan tingkat pajak di kemudian hari. Adapun IPH menyatakan bahwa rumah tangga akan mendasarkan keputusan konsumsinya berdasarkan permanent income yang besarnya sangat tergantung oleh nilai sekarang pendapatan setelah pajak. Pembiayaan defisit anggaran dengan memotong pajak sekarang akan mempengaruhi beban pajak di kemudian hari, tetapi tidak dalam nilai sekarang sehingga pemotongan pajak tidak akan mengubah permanent income atau konsumsi (Joko Waluyo, 2004), Neutrality preposition harus di tanggapi dengan sangat hati-hati, walaupun suku bunga tak berubah karena penerbitan obligasi negara, tetapi suku bunga dapat mengalami perubahan karena adanya tambahan pengeluaran pemerintah. Barro (1974) mengemukakan argument bahwa setiap pembiayaan defisit anggaran dengan penerbitan obligasi negara akan diimbangi oleh kenaikan pajak di masa mendatang. Kenaikan tingkat pajak tidak perlu membuat masyarakat takut terhadap kemakmurannya (wealth) karena kenaikan pajak pada periode mendatang akan diantisipasi dengan meningkatkan tabungan sekarang dan mengurangi konsumsi sekarang. Implikasinya, individu tidak menggunakan semua kekayaannya (pendapatannya) untuk meningkatkan konsumsinya karena penerbitan obligasi negara. Individu akan menyimpan seluruhnya untuk mengantisipasi kenaikan beban pajak di kemudian hari sehingga hal itu tidak akan menaikkan permintaan terhadap barang dan jasa. Penjelasan REH digambarkan melalui grafik di bawah ini (untuk memudahkan analisis diasumsikan hanya ada dua periode perencanaan). Sumbu horizontal menunjukkan periode konsumsi dan pendapatan saat ini, sedangkan sumbu vertikal menggambarkan kondisi pada masa mendatang. Pendapatan saat ini adalah Y1 d , sedangkan Y2 d adalah pendapatan di kemudian hari. Titik A menunjukan titik awal (endowment point). Jika individu meminjam atau meminjamkan pada tingkat suku bunga (i) maka tingkat kemungkinan konsumsinya (consumption possibilities frointier) akan dibatasi oleh garis lurus yang melewati titik A dengan kemiringan garis sebesar -(1+i). Tingkat maksimum individu dapat berkonsumsi pada saat ini (tahun pertama) sebesar [Y1 d + Y2 d /(1+i), 0] , sedangkan tingkat konsumsi maksimum pada tahun kedua sebesar [0, Y1 d (1+i) + Y2 d ]. Titik B menunjukkan kondisi saat individu meminjam pendapatan di kemudian hari dengan mengijinkan konsumsi sekarang melebihi pendapatan sekarang. Grafik Ricardian Equivalence Hypothesis
Jika pemerintah meningkatkan pajak hari ini untuk membayar utang obligasi negara maka individu akan memandang kebijakan ini sama dengan menggantikan pajak saat ini untuk pajak yang akan datang (pada present value yang sama). Kebijakan ini akan menggeser titik endowment dari titik A ke titik C, tetapi nilai aliran pendapatan sekarang secara keseluruhan tidak mengalami perubahan. Individu akan memilih berkonsumsi pada titik B dan akan lebih banyak meminjam sekarang sampai terjadi kenaikan dalam present value pajak. REH berpendapat bahwa perubahan dalam pajak dan pembiayaan defisit anggaran mempunyai dampak yang sama bagi variabel makro (terutama konsumsi swasta). REH dibangun dari premis bahwa penerbitan obligasi negara pada saat ini selalu disertai dengan rencana kenaikan pajak di masa mendatang. Pembiayaan utang pemerintah diasumsikan hanya mengalami perubahan sesuai dengan perubahan perpajakan sehingga konsumsi agregat akan tetap. Dalam kerangka pemikiran REH individu mengasumsikan pajak yang akan datang sama dengan besarnya beban utang pemerintah (Barro, 1989). Teori RE mendapat banyak kritikan, karena dalam kenyataannya defisit anggaran mempengaruhi perekonomian baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Barro (1989) sebagai pendukung teori RE mencoba memberikan penjelasan teori RE yang tidak sepenuhnya terbukti dengan mengemukakan lima argumen. Kelima argumen yang menyebabkan teori RE tidak berlaku sepenuhnya, yaitu: a. umur pelaku ekonomi tidak tak terbatas, b. pasar uang dan pasar modal tidak sempurna, c. pajak dan pendapatan di masa yang akan datang tidak bisa dipastikan sepenuhnya, d. pajak tidak lump-sum, e. kesempatan kerja tidak selalu penuh (full employment) seperti disyaratkan oleh teori RE. Kelima kondisi itu menyebabkan transfer beban pajak, dan kekayaan dari masa sekarang ke masa yang akan datang tidak sempurna.
2. Kelompok Neoklasik Kelompok kedua adalah kelompok neoklasik. Kelompok Neoklasik lebih menekankan pembahasan pada efek dari defisit yang permanen. Bernheim (1989) menyebutkan bahwa model Neoklasik yang standar mendasarkan diri pada tiga karakter pokok, yaitu: a. Pelaku ekonomi mempunyai masa hidup yang terbatas (finite horizon) b. Tingkat konsumsi optimal ditentukan oleh solusi optimasi antar waktu (intertemporal optimization) c. Setiap periode waktu terjadi keseimbangan pasar. Model Neoklasik serupa dengan model Ricardian. Dalam model Ricardian, satu pelaku ekonomi hidup sepanjang masa, sedangkan dalam model Neoklasik ada dua pelaku ekonomi yang hidup dalam periode yang berbeda. Kedua model mempunyai hubungan intertemporal. Hubungan intertemporal dalam model Ricardian menunjukkan hubungan antara kepentingan pelaku ekonomi di masa muda dan di masa tua, sedangkan dalam model Neoklasik menunjukkan hubungan antara kepentingan generasi muda dan generasi tua. Implikasi perbedaan kedua model tersebut cukup berarti. Dalam model Ricardian hanya ada satu pelaku ekonomi yang hidup sepanjang masa. Fungsi utilitas mewakili utilitas individual. Kerugian di masa sekarang diupayakan terkompensasi sepenuhnya oleh keuntungan di masa yang akan datang. Utilitas marginal pada masa sekarang akan berhubungan langsung dengan utilitas marginal yang akan datang. Kenaikan pajak di masa yang akan datang akan dikompensasi secara penuh dengan pengurangan tingkat konsumsi dan peningkatan tabungan di masa sekarang (lihat Hayashi, 1987 dan Kotlikoff, 1988). Dalam model Neoklasik, terdapat dua pelaku ekonomi atau lebih yang hidup dalam periode waktu yang berbeda. Hubungan intertemporal tidak seerat jika hanya ada satu pelaku ekonomi. Sangat mungkin pelaku ekonomi di masa sekarang tetap peduli terhadap pelaku ekonomi dari generasi penerus, tetapi tidak sepenuhnya. Jika pelaku ekonomi yang hidup pada masa sekarang sangat altruis, maka seperti hasil penelitian Barro (1974) kedua model akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Hayashi (1987) dan Kotlikoff (1988) berpendapat bahwa secara umum pelaku ekonomi tidak akan peduli terhadap peningkatan pajak setelah pelaku ekonomi tersebut meninggal, sehingga pelaku ekonomi yang hidup di masa sekarang akan meninggalkan warisan, namun tidak dalam rangka untuk mengkompensasi kenaikan pajak di masa yang akan datang. Defisit anggaran yang dibiayai dengan pengurangan pajak di masa sekarang akan meningkatkan kekayaan pelaku ekonomi yang hidup di masa sekarang. Peningkatan kekayaan itu akan meningkatkan konsumsi dan mengurangi tabungan. Obligasi yang dikeluarkan pemerintah tidak akan terserap semuanya oleh tabungan masyarakat yang berkurang, karena jumlah obligasi lebih besar dari tabungan masyarakat. Obligasi hanya akan dibeli semuanya oleh pelaku ekonomi jika suku bunganya lebih tinggi. Keseimbangan yang baru dengan tingkat bunga yang lebih tinggi akan tercapai. Peningkatan suku bunga pada proses berikutnya akan menyebabkan pengurangan investasi swasta (crowding out). Uraian di atas juga sekaligus menjelaskan ciri kedua bahwa tingkat konsumsi ditentukan oleh proses optimasi antar waktu. Kaum Neoklasik tidak mengelak bahwa hubungan antargenerasi walau kecil tetapi selalu ada. Dalam ungkapan Barro (1989) dikatakan bahwa mungkin ada beberapa orang tua yang tidak punya anak, sehingga tidak ada hubungan antar generasi, tetapi setiap anak pasti punya orang tua, sehingga hubungan antargenerasi tetap mesti ada. Selain itu juga optimasi antar waktu itu akan menghasilkan solusi jika ada keseimbangan dalam setiap periodenya. Defisit anggaran akan meningkatkan tingkat konsumsi dalam jangka panjang, dengan cara membebankan pajak untuk generasi berikutnya. Jika seluruh sumber daya secara penuh dapat didayagunakan (full-employment), maka peningkatan konsumsi akan menurunkan tingkat tabungan dan suku bunga akan meningkat. Peningkatan suku bunga akan mendorong permintaan investasi swasta menurun, sehingga kaum Neoklasik menyimpulkan bahwa dalam kondisi kesempatan kerja penuh, defisit anggaran yang permanen akan menyebabkan investasi swasta tergusur (crowding-out). Secara umum kaum Neoklasik berpendapat bahwa defisit anggaran akan merugikan perekonomian. Menurut Bernheim (1989) kelemahan teori Neoklasik dalam hal dampak deficit anggaran serupa dengan teori RE, kecuali bahwa pelaku ekonomi tidak lagi tunggal, serta hidup dalam kurun waktu yang terbatas. Kesimpulan teori deficit anggaran kelompok Neoklasik akan sama dengan kesimpulan teori RE, jika pelaku ekonomi altruistis (Barro, 1974). 3. Kelompok Keynesian Berheim (1989) menunjukan tiga ciri aliran Keynesian yang membedakan dengan aliran yang lain. Pertama, kelompok Keynesian berpendapat bahwa ada kemungkinan sumber daya yang tidak digunakan secara penuh. Kedua, pelaku ekonomi mempunyai pandangan yang bersifat jangka pendek (myopic). Sifat ini menggambarkan adanya hubungan antar generasi yang erat. Ketiga, aliran Keynesian lebih memfokuskan diri pada efek defisit anggaran temporer yang desebabkan oleh fluktuasi perekonomian. Kelompok ketiga adalah kaum Keynesian yang berpendapat bahwa defisit anggaran mempengaruhi perekonomian. Kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa pelaku ekonomi mempunyai pandangan jangka pendek (myopic), hubungan antar generasi tidak erat, serta tidak semua pasar selalu dalam posisi keseimbangan. Salah satu ketidakseimbangan terjadi di pasar tenaga kerja, dan dalam perekonomian selalu terjadi pengangguran. Menurut kaum Keynesian, defisit anggaran akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, dan konsumsi pada giliran berikutnya. Defisit anggaran yang dibiayai utang, yang berarti beban pajak pada masa sekarang relatif menjadi lebih ringan, akan menyebabkan peningkatan pendapatan yang siap dibelanjakan. Peningkatan pendapatan yang siap dibelanjakan akan meningkatkan konsumsi dan sisi permintaaan secara keseluruhan. Jika perekonomian belum dalam kondisi kesempatan penuh, peningkatan sisi permintaan akan mendorong produksi dan selanjutnya peningkatan pendapatan nasional. Pada periode selanjutnya, peningkatan pendapatan nasional akan mendorong perekonomian melalui efek multiplier Keynesian. Karena defisit anggaran meningkatkan konsumsi dan tingkat pendapatan sekaligus, tingkat tabungan dan akumulasi kapital juga meningkat. Menurut kaum Keynesian secara keseluruhan, defisit anggaran dalam jangka pendek akan menguntungkan perekonomian.
C. DAMPAK KEBIJAKAN DEFISIT Kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran dan bertujuan untuk mendorong perekonomian bisa melalui sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kenaikan pendapatan nasional bersumber antara lain dari naiknya konsumsi, investasi, kenaikan belanja pemerintah, naiknya ekspor, serta menurunnya impor. Tingkat perubahan dari berbagi komponen tersebut bebarengan dengan besarnya koefisien sensitifitasnya masing-masing komponen permintaan total terhadap faktor penentunya, akan menentukan besarnya kenaikan pendapatan nasional. Dampak defisit anggaran dilihat dari sisi permintaan dapat dilihat dari peningkatan agregat demand. Dimana agregat demand merupakan fungsi (atau kurva) yang menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan jumlah pengeluaran agregat yang akan dilakukan dalam perekonomian. Perbedaan konsep antara pengeluaran agregat dan permintaan agregat adalah, pengeluaran agregat berlaku pada harga tetap, sedangkan permintaan agregat berlaku pada harga yang berubah. Dampak kebijakan fiskal dari sisi permintaan dipelopori oleh Keynes dalam teorinya (deficit spending). Dimana lahir sebagai reaksi depresi besar di tahun 1930-an di Amerika Serikat. Untuk mengatasi hal itu, Keynes mengusulkan kebijakan fiskal melalui kenaikan belanja untuk mendorong permintaan (Anggito Abimanyu, 2003). Jadi dengan adanya kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat. Permintaan agregat dapat meningkat bila komponen-komponen dalam pasar barang atau sektor riil meningkat (IS). Misalnya kenaikan konsumsi, investasi, dan ekspor neto mampu meningkatkan permintaan agregat dan menggesernya ke kanan atas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan stimulus fiskal, misalnya kenaikan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak. Dimana kenaikan pengeluaran (belanja) pemerintah akan meningkatkan pendapatan nasional (pengeluaran agregat, Y = AE), sehingga konsumsi dan investasi, dan ekspor netto akan meningkat (Sadono Sukirno, 2004). Sedangkan dampak kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran, dari sisi penawaran (supply side) kenaikan pendapatan nasional antara lain bersumber dari naiknya kemampuan produksi karena berkembangnya teknologi dan atau dari meningkatnya ketersediaan sumber daya ekonomi (resources). Dengan demikian, kebijakan fiskal dapat diberikan untuk kegiatan-kegiatan yang mengembangkan teknologi atau menemukan sumber daya alam baru. Dampak kebijakan fiskal defisit anggaran selain dapat dilhat pada sektor riil, juga dapat dilihat melalui jalur moneter (harga) atau pasar uang (Maryatmo, 2004). Melalui jalur moneter dampak defisit anggaran dapat dilihat dari permintaan akan uang (money demand). Kebijakan fiskal yang ekspansif, misalnya kenaikan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan kenaikan permintaan agregat pada putaran pertamanya (first cycle). Pada putaran kedua (second cycle), kenaikan permintaan agregat akan mengakibatkan nilai harga (P) dan kuantitas baru (Q). Kenaikan P dan Q yang baru mengakibatkan kenaikan permintaan uang (Hary Yusuf, 2003). Dampak defisit anggaran yang penting terhadap ekonomi, baik dampak positif atau negatif. Misalnya metode penambahan uang dalam ekonomi akan menimbulkan permasalahan meningkatnya tingkat harga barang dan jasa, sehingga menyebabkan peningkatan inflasi (Jaka Sriyana, 2007). Pembiayaan defisit anggaran dengan cara penambahan jumlah uang beredar juga akan memiliki dampak pada peningkatan permintaan uang oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai uang dalam ekonomi. Dengan kata lain, masyarakat perlu menambah uang untuk pengeluarannya. Dengan demikian, pembiayaan defisit anggaran oleh pemerintah dengan cara menambahkan uang dalam ekonomi dapat meningkatkan jumlah penerimaan pemerintah (Mankiw, 2002). Sedangkan dalam teori Keynes menjelaskan bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh suku bunga ( i ), harga (P), dan kuantitas barang (Q). Selanjutnya, bila permintaan uang naik maka investasi akan berkurang, dan selanjutnya berkurangnya investasi akan mengakibatkan permintaan agregat berkurang. Pada akhirnya kenaikan permintaan agregat pada first cycle dan berkurangnya permintaan agregat pada second cycle akan mencapai posisi keseimbangan baru secara bersama- sama. Oleh karena banyak sekali dampak yang akan ditimbulkan dari adanya defisit anggaran, maka penelitian mengenai defisit anggaran sangat menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai defisit anggaran telah banyak dilakukan antara lain Joko Waluyo (2006), yang menganalisi tentang dampak pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi studi kasus Indonesia tahun 1970-2003, dengan menggunakan model persamaan simultan, dimana hasil penelitiannya adalah pembiayaan defisit anggaran dengan menggunakan hutang luar negeri akan berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Studi empiris yang lain adalah R Maryatmo (2004), dimana menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan Joko Waluyo. Hasil dari R Maryato adalah defisit anggaran akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mempengaruhi penurunan sektor riil. Hal ini berati akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Studi empiris mengenai defisit anggaran juga dilakukan oleh Andiarma Tesamaris dan Siti Fatimah (2005), dimana hasil studi empirisnya adalah terdapat hubungan dua arah antara defisit anggaran dengan hutang luar negeri.
D. ANGGARAN DEFISIT DI INDONESIA Perkembangan Kebijakan Anggaran di Indonesia Sejak Bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah menganut sistem anggaran defisit. Sejak tahun 1969, Indonesia telah melakukan pinjaman ke Luar Negeri dalam bentuk Dolar Amerika Serikat yang kemudian mempersulit perekonomian bangsa Indonesia secara keseluruhan di tahun 1997 karena turunnya nilai Rupiah yang sangat signifikan. Dalam perkembangannya sebelum Reformasi Keuangan Negara, pencatatan terhadap Utang yang seharusnya dicatat sebagai pembiayaan dicatat sebagai pendapatan negara sehingga pada masa ini kita mengenal APBN berimbang yaitu penerimaan sama dengan pengeluaran. Sebelum Reformasi di bidang Keuangan Negara, pemerintah menanggap bahwa semakin banyak utang yang diterima dari luar negeri, semakin baik hubungan luar negeri Indonesia. Kondisi perekonomian masa depan tidak diperkirakan dengan akurat pada masa tersebut, misalnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, tingkat inflasi dan kondisi kemampuan APBN untuk melunasi utang-utang luar negeri tersebut. Reformasi Keuangan Negara baru dilakukan dengan keluarnya 3 paket Undang-Undnag, yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Reformasi Keuangan Negara ini membawa dampak positif bagi sistem penganggaran di Indonesia, yang dulunya menggunakan sistem penganggaran tradisional (traditional-based budgeting system) menjadi sistem pengangaran berbasis kinerja (performance-based budgeting system). Selain itu, pencatatan Utang kian diperbaiki dan ditelusuri agar dicatat secara tepat yaitu masuk ke komponen penerimaan pembiayaan bukan pendapatan negara. Sampai saat ini Indonesia masih memakai politik anggaran defisit karena perencanaan pengeluaran yang lebih besar daripada penerimaan sehingga dibutuhkan pembiayaan untuk menutupi defisit APBN. Struktur APBN Indonesia Dari tahun ke tahun, angka pengeluaran pada APBN Indonesia terus meningkat. Peningkatan ini diakibatkan oleh asumsi ekonomi makro yang diuangkapkan pada Nota Keuangan APBN setiap tahunnya. Berikut Struktur APBN Indonesia dari tahun 2009 s.d. 2014:
Sumber: www.djpu.kemenkeu.go.id Pendapatan Negara dan Hibah mengalami kenaikan dari tahun 2009 s.d. 2014. Kenaikan Pendapatan Negara dan Hibah ini dibarengi dengan naiknya Belanja Negara. Namun, dari tahun 2009 s.d. 2014, Pendapatan Negara dan Hibah tidak bisa menutupi Belanja Negara sehingga terjadi defisit pada anggaran setiap tahunnya. Berdasarkan amanah Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, besarnya defisit anggaran maksimal adalah 3% dari PDB dan jumlah maksimal pinjaman 60% dari PDB. Hingga APBN T.A. 2014, besaran defisit tersebut belum mencapai 3 % dari PDB seperti yang digambarkan pada grafik di bawah ini:
Sumber: www.djpu.kemenkeu.go.id Dari grafik tersebut terlihat bahwa persentase defisit terhadap PDB terbesar terjadi pada T.A. 2013 (data APBN-P 2013) yaitu 2,4 % dan diperkirakan pada APBN T.A. 2014 akan menurun menjadi 1,7%. Berdasarkan Nota Keuangan APBN Tahun 2014, besarnya rasio utang terhadap PDB adalah 23,00%, menurun dibandingkan dengan rasio utang terhadap PDB tahun 2013 23, 4%. Penurunan rasio defisit anggaran terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB ini menunjukkan membaiknya perekonomian negara Indonesia. Selain itu, nilai defisit anggaran dari tahun 2009 s.d. 2014 berfluktuasi dimana terjadi penurunan defisit pada APBN berdasarkan LKPP yang telah diaudit pada tahun 2010 dan diperkirakan akan turun juga pada tahun 2014. Penurunan nilai defisit anggaran tahun di tahun anggaran 2014 ini dibarengi dengan rencana penurunan jumlah penerimaan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman baik dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), Pinjaman Dalam Negeri , Pinjaman Luar Negeri, Pembiayaan Nonutang seperti Perbankan Dalam Negeri dan Nonperbankan Dalam Negeri seperti pada tabel berikut ini:
Sumber: www.djpu.kemenkeu.go.id Dari tabel tersebut terlihat bahwa Pemerintah di tahun 2014 sedang berupaya untuk mengurangi ketergantungan pembiayaan dari Pinjaman dan Nonpinjaman. Hal ini didukung dengan upaya pemerintah untuk melakukan optimalisasi penerimaan paja, optimalisasi kepabeaan dan cukai, dan optimalisasi PNBP seperti yang tertuang pada APBN T.A. 2014. Selain dari sisi pendapatan negara, dari sisi pengelolaan utang juga diupayakan untuk ditingkatkan keefektifan dan keefisienan pengelolaan utang.
Alasan Kebijakan Anggaran Defisit di Indonesia Pada struktur APBN T.A. 2014, terdapat perkiraan defisit anggaran sebesar Rp.175,4 Triliun dengan rasio terhadap PDB 1,69% dan rasio pinjama terhadap PDB sebesar 23,00%. Anggaran defisit ini dikarenakan jumlah pengeluaran negara yang lebih besar dari penerimaan negara. Kebijakan anggaran defisit pada APBN tahun 2014 masih menggunakan anggaran defisit. Sebagai salah satu bentuk kebijakan fiskal pemerintah, kebijakan anggaran defisit tentu memliki beberapa alasan (Nota Keuangan APBN T.A. 2014), antara lain: a. Memberikan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik melalui serangkaian program dan kegiatan Pemerintah. b. Penetapan besaran defisit APBN dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal, antara lain kebutuhan kegiatan prioritas yang harus dibiayai di tahun yang bersangkutan, kapasitas pembiayaan anggaran, kondisi perekonomian dan pasar keuangan, serta peraturan perundang- undangan yang berlaku. Penerimaan Pembiayaan dilakukan untuk Pengeluaran Pembiayaan Utang dan Nonutang. Pengeluaraan pembiayaan nonutang terdiri atas dana investasi pemerintah, dana pengembangan pendidikan nasional, kewajiban penjaminan, dan pinjaman kepada PT PLN.. Sebab-sebab terjadinya defisit anggaran di Indonesia lain antara lain: Mempercepat pertumbuhan ekonomi Percepatan pertumbuhan ekonomi didukung dengan pembangunan melalui investasi yang besar dan dana yang besar. Untuk menghindari pembebanan kepada masyarakat melaui penarikan pajak, maka negara melakukan pinjaman luar negeri. Pembangunan perekonomian meliputi pembangunan program-program, seperti: 1) Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan, listrik, pelabuhan, dll. 2) Program yang berkaitan dengan Hankam. 3) Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dll. 4) Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan. 5) Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program transmigrasi, pembangunan daerah, dll. 6) Program yang menangani masalah kemiskinan, seperti PPK, P3DT, dsb Rendahnya daya beli masyarakat Pada umumnya masyarakt Indonesia memiliki tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan juga daya beli yang rendah. Untuk barang dan jasa publik seperti listrik, BBM, sarana transportasi yang jika dibiarkan dengan mekanisme pasar maka harganya tidak akan terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia. Untuk itu, pemerintah membutuhkan pengeluaran yang besar untuk mensubsidi barang dan jasa publik tersebut agar masarakat yang kurang mampu bisa ikut menikmati. Pemerataan Pendapatan Masyarakat Pengeluaran Negara, khususnya subsidi dilakukan untuk pemerataan pendapatan masyarakat. Melemahnya nilai tukar Indonesia sejak tahun 1969 telah melakukan pinjaman luar negeri dan mengalami gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Apabila nilai tukar rupiah terhadap valuta asing menurun maka utang pokok serta cicilan bunganya akan meningkat. Pengeluaran Akibat Krisis Ekonomi Krisis ekonomi tahun 1997 mengakibatkan meningkatnya pengangguran dan menurunkan sektor-sektor perekonomian di Indonesia, padahal pemerintah harus menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemerdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang masih miskin tersebut. Realisasi yang Menyimpang dari Rencana Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan, proyek, atau program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula. Pengeluaran Karena Inflasi Penyusunan APBN mempertimbangkan asumsi-asumsi ekonomi makro, yang salah satunya adalah tingkat inflasi. Inflasi akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa termasuk pengeluaran berupa belanja terkait penyediaan barang dan jasa publik. Untuk menyesuaikan pengeluaran-pengeluaran tersebut, pendapatan negara dan hibah tidak cukup untuk menutupinya sehingga pembiayaan dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran.
Pokok-pokok mengenai Defisit APBN dan Diskresi Kebijakan Fiskal: 1) Persoalan defisit anggaran pada dasarnya selalu berkutat pada sumber dana apa yang bisa digunakan untuk menutupi. Dari sisi pengeluaran, pemerintah bisa melakukan efisiensi dengan jalan melakukan penghematan di luar belanja rutin. Sementara itu, dari sisi penerimaan, ada dua opsi yang bisa diambil, yaitu apakah menggenjot penerimaan dari pajak ataukah menambah utang baru. 2) Terkait dengan kaitan defisit untuk pembiayaan infrastruktur, pos APBN untuk pengeluaran pembangunan infrastruktur memang tidak dapat diganggu gugat dengan beberapa alasan. Pertama, stimulus bagi pemintaan lokal, regional, dan nasional serta sebagai stimulus lapangan kerja (Keynesian). Kedua, memberikan efek infrastruktur pada ongkos transportasi dan distribusi serta pengaruhnya terhadap harga dan keunggulan komparatif (Ricardian). Ketiga, memberikan peningkatan produktivitas melalui pertumbuhan efisiensi ekonomi yang mendorong pertumbuhan kemakmuran (Neoklasik). 3) Dengan tekanan fiskal pada struktur APBN kita, sudah selayaknya kita mendukung upaya efisiensi program pemerintah serta pengembalian aset negara dari para koruptor demi tercapainya upaya stabilisasi perekonomian nasional. Dari penjelasan anggaran defisit di Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa anggaran defisit tidak berarti jelek. Anggaran defisit disebabkan oleh faktor-faktor melekat pada Bangsa Indonesia sendiri seperti tingkat kesehatan dan pendidikan Bnagsa Indonesia yang masih membutuhkan pengeluaran yang besar untuk dapat menjangkau seluruh masyarakat. Keefektifan kebijakan fiskal ini dinilai dari kinerja pemerintah bukan hanya dalam efektifitas dan efisiensi pengelolaan utang, tetapi juga dari sisi optimalisasi pendapatan negara dan efisiensi serta efektifitas Belanja Negara oleh Pemerintah Indonesia. Anggaran Defisit dan Surplus di Negara Lain Kebijakan anggaran di negara-negara di dunia pastilah berbeda. Kebijakan anggaran defisit atau surplus tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi perekonomian suatu negara, misalnya inflasi, PDB, pendapatan per kapita, dan faktor lainnya. Pada tabel persentase defisit/ surpus anggaran di beberapa negara di dunia di bawah, untuk anggaran tahun 2014, terdapat enam 6 negara (15,79%) dengan anggaran surplus dari total 38 negara, dan 32 negara (84,21%) dengan anggaran defisit. Negara dengan persentase defisit terhadap PDB terbesar adalah Jepang, 8,4% dan negara dengan persentase surplus terhadap PDB terbesar adalah Norwegia (Norway). Berikut akan dibahas kebijakan anggaran surplus di Norwegia dan kebijakan anggaran defisit di Jepang.
Tabel persentase defisit/ surpus anggaran di beberapa negara di dunia Sumber: http://www.oecd-ilibrary.org/economics/government-deficit_gov-dfct-table-en
Anggaran Surplus di Norwegia Norwegia menerapkan kebijakan anggaran surplus sudah mulai tahun 1985 hingga saat ini, namun pada tahun 1991 s.d. 1994 anggaran Norwegia defisit dan kembali surplus dari tahun 1995 s.d. 2014. Berikut gambaran penganggaran Norwegia tahun 2014:
Total pendapatan negara (1.293.027 Juta NOK) lebih besar dari pengeluaran negara (1.116.400 Juta NOK). Pendapatan dari sumber daya alam berupa minyak merupakan penyumbang yang cukup besar pada APBN Norwegia, yaitu 26,61% dari total pendapatan. Jika dibandingkan dengan PNBP yang berasal dari Pendapatan Migas Indonesia pada APBN T.A. 2014, Rp 196,5 Triliun dari total Pendapatan Negara Rp 1.665,8 Triliun, yaitu 11, 8%, pendapatan SDA migas Norwegia menjadi penyokong perekonomian dan indicator kesejahteraan rakyatnya. Terutama dengan naiknya harga minyak di tahun 2013 membuat Pemerintah Norwegia menyimpan kekayaan negara sampai 5,11 Triliun Crowns ($828 Milyar). Dalam perhitungan di situs resmi Bank Sentral Norwegia, dana asing negara meningkat hingga 5,11 triliun krone atau Rp 10.098,4 trliun (kurs: Rp 1.976 per krone). Dibagi estimasi jumlah penduduk Norwegia terkini, artinya setiap warga di negara tersebut memiliki satu juta krone atau Rp 1,9 miliar. (http://bisnis.liputan6.com/read/796778/fantastis-semua-orang-di- negara-ini-jadi-miliarder). Penduduk Norwegia merupakan masyarakat yang sudah mempersiapkan masa depan. Hal ini dikarenakan sejak penemuan minyak di tahun 1969 di Laut Utara, penduduk Norwegia berhasil menahan gejolak untuk memakai uang secara berlebihan, mereka justru memberikan uangnya untuk dikelola lewat pengelola dana investasi atau Soforeign Wealth Fund (SWF) untuk menguyur generasi masa depannya. Norwegia merupakan negara penghasil minyak yang sebagian besar terletak pada lepas pantainya. Selain itu pada tahun 2014, Norwegia menjadi negara pengekspor minyak terbesar ketujuh di dunia. Selain karena sumber daya alam berupa minyak bumi, keberhasilan anggaran surplus Norwegia juga didukung oleh Sumber Daya Manusianya, angka pengangguran di Norwegia hanya 3% bahkan dari angkatan kerja wanita lebih unggul di pendidikan, beradatasi dengan lingkungan baru dan bekerja di tempat baru. Sistem pendidikan yang baik juga sudah dilakukan sejak taman kanak-kanak. Berdasarkan Human Development index (HDI) tahun 2012 yang dilakukan UNDP, kualitas SDM Norwegia berada di urutan pertama dari 186 negara di dunia. Dalam setahun Norwegia hanya menghabiskan 4% dana asing. Selain itu Norwegia juga berhasil memangkas beban subsidi misalnya subsidi pertanian dengan mengizinkan para petani untuk menjaga susu sapinya tetap hangat dan layak dikonsumsi. Perkembangan surplus anggaran Norwegia dapat dilihat melalui grafik di bawah ini:
Anggaran Defisit di Jepang Jepang merupakan negara yang menerapkan kebijakan anggaran defisit selain Indonesia. Anggaran Jepang 6 kali lipat anggaran Indonesia, yaitu 95,88 Triliun atau $922 Milyar (sekitar Rp11.000 Triliun). Besarnya anggaran tersebut dikarenakan naiknya belanja pertahanan di tahun 2014. Sebagian besar belanja negara Jepang dihabiskan untuk biaya medis dan jaminan sosial. Jepang juga memproyeksikan defisit anggarannya aka semakin kecil dan bisa surplus pada tahun 2020. Berikut gambaran anggaran Jepang tahun 2014:
Sumber: http://www.mof.go.jp/english/budget/budget/fy2014/01.pdf Anggaran defisit oleh Pemerintah Jepang disebabkan oleh tinginya Belanja social security yaitu 26,9 Triliun Yen. Tingginya anggaran belanja ini tidak sebanding dengan Consumption Tax Revenues- nya yaitu 11,9 Triliun Yen. Sehingga untuk membiayai kekurangannya, Jepang menerbitkan surat utang sebesar 15 Triliun Yen. Di samping Belanja Social Security, Belanja lainnya seperti Belanja di bidang Pendidikan, Food Supply, Energi dan bidang lain mencapai 46 Triliun Yen. Selain untuk belanja pengeluaran pemerintah Jepang juga untuk membayar utang negara sebesar 23 Triliun Yen. Kedua jenis pengeluaran ini didanai melalui pendapatan Other Tax Revenues than Consumption Tax sebesar 38,1 Triliun Yen, Pendapatan lainnya 4,6 Triliun Yen, dan Pinjaman sebesar 26,3 Triliun Yen.
Sumber: http://www.mof.go.jp/english/budget/budget/fy2014/01.pdf Anggaran defisit Jepang yang cukup besar belum tentu mencerminkan kebijakan fiskal yang kurang tepat karena angka pengangguran Jepang berdasarkan Highlight of The Budget for FY2014 adalah 3,7%. Angka lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yaitu 5,7-5,9%. Selain itu kualitas SDM Jepang berada di urutan 10 dari 186 negara di duna berdasarkan data Human Development index (HDI) tahun 2012 yang dilakukan UNDP. Jepang merupakan salah satu negara pemeberi pinjaman antar negara di dunia misalnya saja pada APBNP 2013 Indonesia memiliki jumlah pinjaman program kepada Jepang sebesar 3,89 Milyar USD. Pinjaman program ini dilakukan dalam rangka pembiayaan infrastruktur di Indonesia. Selama 22 tahun berturut-turut Jepang merupakan negara pemberi pinjaman (kreditur) terbesar di dunia dengan besar 2,9 Triliun USD dan disusul oleh China, Jerman, Swiss dan Hongkong. Dari grafik Japan Government Budget di bawah ini, tahun 2004 s.d. 2014 Jepang menerapkan kebijakan anggaran defisit dengan nilai persentase defisit terhadap PDB sebesar 7,6%. Persentase ini jauh lebih besar daripada rasio defisit APBN Indonesia yaitu, 1, 69%. Lebih besarnya defisit Jepang diimbangi dengan posisinya sebagai kreditur terbesar di dunia, pertumbuhan ekonomi yang baik, dan kualitas SDM yang baik.