Você está na página 1de 13

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber nutrisi terbaik bagi bayi baru lahir adalah air susu ibu (ASI).
Setelah melalui masa pemberian ASI secara ekslusif yang umumnya
berlangsung 3-6 bulan, bayi mulai diberikan susu formula sebagai pengganti
air susu ibu (PASI). PASI lazimnya dibuat dari susu sapi, karena susunan
nutriennya dianggap memadai dan harganya terjangkau.
Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada anak-anak
yang paling sering dan awal dijumpai dalam kehidupan. Alergi susu sapi
(ASS) merupakan suatu penyakit berdasarkan reaksi imunologis yang
timbul sebagai akibat dari susu sapi atau makanan yang mengandung susu
sapi. Alergi protein susu sapi dapat berkembang pada anak-anak yang diberi
ASI atau pada anak-anak yang diberi susu formula. Namun, anak-anak yang
diberi ASI biasanya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi
alergi terhadap makanan lainnya.
Diperkirakan insiden ASS 2-3% diantara keseluruhan bayi. Sedangkan
diantara bayi umur 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45% disebabkan
ASS. Alergi pada susu sapi 85% akan menghilang atau menjadi toleran
sebelum usia 3 tahun.
Penanganan alergi terhadap susu sapi adalah menghindari susu sapi dan
makanan yang mengandung susu sapi, dengan memberikan susu kedelai
sampai terjadi toleransi terhadap susu sapi. Perbedaan kontras antara
penyakit alergi terhadap susu sapi dan makanan lain pada bayi adalah
bahwa dapat terjadi toleransi secara spontan pada anak usia dini.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin membahas mengenai
alergi susu sapi lebih lanjut.
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud alaergi susu sapi ?
2. Bagaimana cara mendiagnosis alergi susu sapi ?
3. Bagaimana tatalaksana alergi susu sapi?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi alergi susu sapi.
2. Mengetahui bagaimana mendiagnosis alergi susu sapi.
3. Mengetahui tatalaksana alergi susu sapi



















3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Alergi susu sapi adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan
yang mengandung susu sapi, dan reaksi ini dapat terjadi cepat atau lambat.

B. Epidemiologi
Suatu studi kohor The Isle of Wight birth, dari 543 anak dalam usia 1-3
tahun tersensitisasi pada susu sapi adalah 0.37% pada bayi, 0.92% pada
anak usia 2 tahun dan 0.55% pada usia 3 tahun. Pada German Multicentre
Allergy Study sensitisasi menurun dari 4% pada usia 2 tahun sampai 1%
pada usia 10 tahun. Pada studi cross sectional, dilaporkan bahwa prevelansi
alergi susu sapi sebanyak 0,6% sampai 2,5% pada anak preschoolers, 0,3%
anak yang lebih tua dan remaja, serta kurang dari 0,5% dewasa.
Diperkirakan insiden ASS 2-3% diantara keseluruhan bayi. Sedangkan
diantara bayi umur 1 tahun dengan dermatitis atopik, 30-45% disebabkan
ASS. Alergi pada susu sapi 85% akan menghilang atau menjadi toleran
sebelum usia 3 tahun.

C. Etiologi
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20
komponen protein yang dapat merangsang produksi antibodi manusia.
Protein susu sapi terdiri dari 2 fraksi, yaitu casein dan whey. Fraksi casein
yang membuat susu berbentuk kental (milky) dan merupakan 76% sampai
4

86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat dipresipitasi dengan zat
asam pada pH 4,6 yang menghasilkan 5 casein dasar, yaitu , , , k, dan .
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan
ekstensif (albumin serum bovin, gamaglobulin bovin, dan -laktalbumin).
Akan tetapi, dengan pasteurisasi rutin tidak cukup untuk denaturasi protein
ini, tetapi malah meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu,
seperti -laktoglobulin.

D. Patogenesis
Alergi susu sapi merupakan respon imun spesifik allergen susu sapi
yang secara predominan diperantari lgE (lgE mediated immune response)
dan tidak diperantarai lg E atau seluler (cellular immune response).
Reaksi akut (diperantari lgE) terhadap susu disebabkan oleh berbagai
alergen susu. Protein susu utama dibagi menjadi 2 fraksi yaitu casein dan
whey dengan masing-masing 80% dan 20%.

Casein temasuk -1 casein (32%), -2 casein (10%), -casein (28%)
dan -casein (20%) (Bos d 8) dari total protein. Whey alergen yang paling
penting adalah -laktalbumin 5% (ALA, Bos d 4) dan -laktoglobumin 10%
(BLG, Bos d 5) dari total protein. Alergen minor yang lain adalah termasuk
5

bovine serum albumin (BSA, Bos d 6), laktoferin dan imunoglobulin (Bos d
7). Patogenesis dan penyebab dalam alergen tidak diperantarai lg E susu
sapi dan alergi susu yang disebabkan oleh proses gabung lgE dan non lgE
mediated masih belum dipahami.
Reaksi diperantari lgE merupakan mekanisme alergi imunologi yang
diidentifikasi serta dapat didiagnosa dengan lebih mudah berbanding
dengan tidak diperantarai lgE. Disebabkan gejalanya cepat muncul (dalam
beberapa menit sampai beberapa jam setelah kontak dengan alergen), maka
mekanisme ini disebut sebagai hipersensitivitas cepat. Diperantarai lgE
menyebabkan gejala pada kulit (urtikaria dan angioedem), sistem respirasi
(rhinokonjungtivitis dan asma), dan traktus gasterointestinal (mual, muntah
dan diare).
Protein alergi susu sapi diperantari lgE terdapat 2 tahap: pertama dari
sensitisasi, terbentuk ketika kekebalan sistem tubuh diprogram dengan
cara yang menyimpang, sehingga IgE antibodi terhadap protein susu sapi
disekresi. Antibodi tersebut mengikat pada permukaan sel mast dan basofil,
dan pada kontak berikutnya protein susu yang memicu "aktivasi, ketika
IgE bergabung dengan sel mast mengikat epitop alergi terdapat pada
protein susu dan melepaskan mediator inflamasi dengan cepat yang
berperan dalam reaksi alergi. Alergen tersebut dipinositosis dan
diekspresikan oleh antigen presenting sel (APC).
Interaksi antara APC dan limfosit T mempromosikan modulasi dan
aktivasi limfosit B. Aktivasi limfosit B memproduksi antibodi IgE yang
berinteraksi dengan Fc mereka dengan alergen pada permukaan mast-sel.
Interaksi antara alergen pada sel mast atau basofil dan antibodi IgE
mempromosikan proses sinyal intraseluler dengan degranulasi sel dan
pelepasan histamin, PAF dan mediator inflamasi lain.
6

Pengetahuan tentang mekanisme imunologi yang tidak diperantarai lgE
pada alergi susu sapi masih kurang. Terdapat beberapa mekanisme telah
disarankan termasuk reaksi diperantarai T helper 1 dari kompleks imun
yang mengaktivasi komplemen, atau sel T/sel mast/interaksi neuron
termasuk perubahan fungsi dalam otot polos dan motaliti usus. Makrofag,
diaktifkan oleh alergen protein susu sapi oleh sitokin, mampu mensekresi
mediator vasoaktif (PAF, leukotrin) dan sitokin (IL-1, pIL-6, IL-8, GM-CSF,
TNF-) yang mampu meningkatkan fagosistosis seluler. Ini melibatkan sel
epitel, yang melepaskan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, IL-11, GM-CSF), kemokin
(RANTES, MCP-3, MCP-4, eotaxin) dan mediator lain (leukotrien, PGs, 15-
HETE, endotelin-1).
Mekanisme ini menghasilkan peradangan seluler kronis (pada sistem
gastrointestinal, kulit, dan pernafasan). Ketika proses inflamasi terlokalisir
pada gastrointestinal, fagositosis imun dapat mengkontribusi untuk
menjaga hiperpermeabilitas epitel dan berpotensi untuk meningkatkan
paparan antigen protein susu sapi. Hal ini melibatkan TNF- dan IFN-,
antagonis TGF- dan IL-10 dalam mediasi toleransi oral.

E. Manifestasi klinis
Gejala ASS biasanya dimulai pada usia 6 bulan pertama kehidupan. Dua
puluh delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah 7
hari, dan 68% setelah 1 bulan. Berbagai manifestasi klinis dapat timbul.
Pada bayi terdapat 3 sistem organ tubuh yang paling sering terkena yaitu
kulit, sistem saluran nafas, dan saluran cerna. Gejala klinis yang dapat
terjadi pada ketiga sistem tersebut adalah :
a. Kulit : urtikaria, kemerahan kulit, pruritus, dermatitis atopik.
b. Saluran nafas : hidung tersumbat, rinitis, batuk berulang, dan asma.
c. Saluran cerna : muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air besar berdarah.
7

F. Diagnosis
Penegakkan diagnosis ASS dengan :
1. Anamnesis
a. Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum susu sapi/makanan
yang mengandung susu sapi.
b. Jumlah susu yang diminum/makanan yang mengandung susu sapi.
c. Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopi, urtikaria,
alergi makanan, dan alergi obat pada keluarga atau penderita sendiri.
d. Gejala klinis pada :
Kulit : urtikaria, dermatitis atopi, ruam
Saluran nafas : batuk berulang terutama pada malam hari, asma
Saluran cerna : muntah, diare, kolik, obstipasi.
2. Pemeriksaan fisik
Kulit tampak kering, urtikaria, dermatitis atopi, Allergic shiners,
nasal crease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan mengi.

Allergic shiners




8


nasal crease geographic tongue
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah tepi
Hitung jenis eosinofil > 3 % atau eosinofil total > 300/ml. Kadar
IgE spesifik susu sapi. Bila kadar IgE total dan atau IgE spesifik susu
sapi meninggi, berarti sudah terjadi sensitisasi dengan susu sapi.
Pemeriksaan IgE dengan cara IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test).
Dinyatakan positif bila nilainya 1. Uji IgE RAST positif mempunyai
korelasi yang baik dengan uji kulit.
b. Uji kulit
Terdapat berbagai cara uji kulit, yaitu uji kulit gores, uji tusuk,
dan uji kulit intradermal. Yang sering dilakukan uji kulit tusuk,
sedangkan uji intradermal lebih sensitif. Bila hasil uji kulit positif
kemungkinan ASS 50% karena prediksi positif akurasinya <50%,
sedangkan bila hasil uji kulit negatif berarti ASS yang diperantai IgE
dapat disingkirkan karena akurasinya 95%. Uji kulit pada usia <1
tahun seringnya negatif palsu, tetapi bila positif maka dugaan sangat
mungkin terjadi ASS.

9

G. Tatalaksana
Bila diagnosis Alergi Susu Sapi (ASS) sudah ditegakkan maka susu sapi
harus dihindarkan dengan ketat supaya toleran dapat cepat tercapai.
Eliminasi susu sapi direncanakan selama 6 18 bulan. Bila gejala
menghilang, dapat dicoba provokasi setelah eliminasi 6 bulan. Bila gejala
tidak timbul lagi berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan
kembali. Bila gejala timbul kembali, maka eliminasi dilanjutkan kembali
sampai 1 tahun dan seterusnya. Umumnya bayi akan toleran sekitar umur 3
tahun. 50 % akan toleran pada usia 2 tahun, 60% pada usia 4 tahun, dan
80% pada usia 6 tahun. Keluarga pasien, teman, guru harus dijelaskan
mengenai keadaan pasien supaya harus membaca label setiap makanan siap
olah sebelum dikonsumsi.
1. Pemakaian susu kedele sebagai pengganti dapat dipilih, tetatapi 30 -40
% ASS akan alergi juga terhadap susu kedele. Zeiger dkk mendapatkan
hanya 14% ASS yang alergi susu kedele pada anak usia <3.5 tahun. Susu
pengganti diberikan susu kedele, walaupun dilaporkan 30 - 40% dari
ASS akan alergi juga susu kedele. Bila alergi terhadap susu sapi dan susu
kedele diberikan susu sapi hidrosilat.
2. Gejala yang ditimbulkan ASS diobati secara simptomatis.
Mengeliminasi protein susu sapi dari makanan adalah satu satunya
yang terbukti sebagai terapi pada saat ini
1. ASI. Ibu yang menyusui harus mengeliminasi produk susu dari
makanannya. Terdapat kontroversi tentang penilaian lainya : karena
anak anak memiliki peningkatan resiko terhadap alergi makanan
lainnya, adalah suatu hal yang bijak bagi seorang ibu untuk
mengeliminasi alergen lain seperti susu kedele, telur, daging sapi.
Bagaimanapun juga ini menjadi tekanan tersendiri bagi ibu dan mungkin
memprovokasi kegagalan pemberian ASI. Pendekatan praktisnya
10

dimulai dengan eliminasi protein susu sapi dan eliminasi produk lain
hanya jika anak memperlihatkan gejala.
2. Susu Formula. Formula digantikan dengan formula hipoalergi yang
berdasarkan protein susu yang terhidrolisasi secara ekstensif. Terdapat
pengalaman terbatas dengan hidrolisasi dibandingkan dengan sumber
lainnya seperti susu kedele dan kolagen. Sumber proteinnya mungkin
berdasarkan protein air dadih yang terhidrolisasi ekstensif (eHW) dan
kasein (eHC). Anak yang tidak toleran terhadap eHW mungkin dapat
mentoleransi eHC, begitupun sebaliknya.
3. Makanan keras. Tidak dibutuhkan untuk menunda pemberian makanan
keras. Kebanyakan anak dapat mentoleransi makanan lainnya (non-
susu) ketika dikenalkan setelah umur 4 bulan. Pada anak yang alergi
berat, makanan keras adalah pilihan yang bijak: hanya satu atau dua
makanan baru per 3 harinya.
4. Konseling. Diagnosis alergi susu sapi memiliki imbas yang besar pada
sebuah keluarga. Edukasi yang sesuai pada orang tua dan pengasuh
adalah hal yang penting. Mereka butuh belajar tidak hanya strategi
pencegahan, seperti membaca label makanan dan menghindari situasi
yang beresiko tinggi, tetapi juga harus mengenal gejala dan tanda awal
dan juga tatalaksanan untuk reaksi akut.

H. Pencegahan
1. Pencegahan primer
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaraan dilakukan
sejak pranatal pada janin yang dari keluarga yang mempunyai bakat
atopi. Penghindaran susu sapi berupa pemberian susu sapi
hipoalergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya
11

dapat merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari
karena masih mengandung sedikit partikel susu sapi.
2. Pencegahan sekunder
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi
penyakit alergi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan
IgE spesifik dalam serum atau darah tali pusat, atau dengan uji kulit.
Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun. Penghindaran
susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu
sapi yang dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi misalnya susu
kacang kedele supaya tidak terjadi sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi
manifestasi alergi.
3. Pencegahan tersier
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan
menunjukkan manifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya
dermatitis atopi atau rinitis tetapi belum menunjukkann gejala alergi
yang lebih berat misalnya asma. Saat tindakan yang optimal adalah pada
usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu
sapi yang dhidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan
lain pemberian obat pencegahan misalnya setirizin, imunoterapi,
imunomodulator serta penghindaran asap rokok.

I. Prognosis
Alergi susu sapi biasanya adalah sebuah kondisi sementara. Hal ini
ditunjukkan bahwa umumnya bayi akan toleran sekitar umur 3 tahun. 50 %
akan toleran pada usia 2 tahun, 60% pada usia 4 tahun, dan 80% pada usia 6
tahun.


12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi susu sapi merupakan penyakit alergi yang sering ditemukan pada
anak anak. Dermatitis atopi pada anak umur 1 tahun biasanya karena
alergi susu sapi. Umumnya bayi akan toleran sekitar umur 3 tahun. 50 %
akan toleran pada usia 2 tahun, 60% pada usia 4 tahun, dan 80% pada usia 6
tahun.

B. Saran
1. Meminimalkan untuk mengkonsumsi susu sapi atau makanan yang
mengandung alergen.
2. Memberikan alternatif susu kedele jika sudah alergi susu sapi.














13

DAFTAR PUSTAKA

1. Akib, Arwin. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. 2010 : Jakarta.

2. Munasir, Zakiudin. The Management of Food Allergy in Indonesia. Asia
Pacific Allergy 2013; 3:23 28


3. Clinical practice. Diagnosis and treatment of cows milk allergy-eur j
pediatric 2009

4. Italian Journal of Pediatrics, Carlo Caffarelli

Você também pode gostar