Você está na página 1de 13

Definisi

Kanker leher rahim (serviks) adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada jaringan
serviks. Kanker serviks merupakan kanker primer yang berasal dari serviks (kanalis servikalis
dan atau porsio).

Anatomi Fisiologi
a. Vagina
Merupakan saluran muskulo-membraneus yang menghubungkan rahim dengan vulva
1) Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari muskulus sfingter ani dan
muskulus levator ani oleh karena itu dapat dikendalikan
2) Vagina terletak antara kandung kemih dan rectum
3) Panjang bagian depannya sekitar 9cm dan dinding belakangnya sekitar 11cm
4) Pada dinding vagina terdapat lipatan-lipatan melintang disebut rugae dan terutama
dibagian bawah
5) Pada puncak (ujung) vagina menonjol serviks pada bagian uterus
6) Bagian servik yang menonjol kedalam vagina disebut portio
7) Portio uteri membagi puncak vagina menjadi :
1. Fornik anterior
2. Fornik posterior
3. Fornik kokstra
4. Fornik sinistra
8) Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam susu
dengan PH 4,5
9) Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi
10) Fungsi utama vagina:
1. saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi
2. alat hubungan seks
3. jalan lahir pada waktu persalinan
b. Uterus
1) Merupakan jaringan otot yang kuat terletak di pelvis minor diantara kandung
kemih dan rectum
2) Dinding belakang, dinding depan dan bagian atas tertutup peritoneum sedangkan
bagian bawahnya berhubungan dengan kandung kemih
3) Bentuk uterus seperti bola lampu (buah peer) dan gepeng
a. Corpus uteri: berbentuk segitiga
b. Seviks uteri: berbentuk silinder
c. Fundus uteri: bagian corpus uteri yang terletak diatas kedua pangkal
tuba
4) Untuk mempertahankan posisinya uterus disangga beberapa ligamentum,jaringan
ikat dan peritoneum
5) Ukuran uterus:
a. tergantung dari usia wanita dan paritas
b. ukuran : anak-anak 2-3 cm, nullipara 6-8 cm, multipara 8-9cm
6) Dinding uterus terdiri dari 3 lapisan: perimetrium, lapisan otot (miometrium), dan
Endometrium
Semakin kearah serviks otot rahim makin berkurang dan jaringan ikatnya
bertambah. bagian rahim yang terletak antara osteum uteri internum anatomikum
yang merupakan batas dan kavum uteri dan kanalis servikalis dengan osteum
uteri histologikum ( dimana terjadi perubahan selaput lendir kavum uteri menjadi
selaput lendir serviks) disebut istmus. Istmus uteri ini akan menjadi segmen
bawah rahim dan meregang saat persalinan.
Kedudukan uterus dalam tulang panggul ditentukan oleh tonus otot rahim
sendiri, tonus ligamentum yang menyangga, tonus otot-otot dasar panggul,
ligamentum yang menyangga uterus adalah ligamentum latum, ligamentum
rotundum (teres uteri) ligamentum infindibulo pelvikum ( suspensorium ovarii )
ligamentum kardinale, ligamentum sacro uterinum.

Epidemiologi
Karsinoma serviks uteri merupakan keganasan yang sering dijumpai pada wanita. Di
negara-negara maju keganasan ini menempati urutan ketiga setelah kanker payudara dan
kanker endometrium, sedangkan di negara-negara berkembang penyakit ini masih menempati
urutan pertama di antara penyakit kanker lainnya yang dialami oleh wanita.
Di seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan
250.000 kematian setiap tahunnya yang 80% terjadi di negara-negara sedang berkembang.
Di Indonesia, insidens kanker serviks diperkirakan 40.000 kasus pertahun dan masih
merupakan kanker wanita yang tersering. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-
negara berkembang. Hal itu terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut.
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini
menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di Indonesia ada
sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks
yang sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu
relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam
keadaan stadium lanjut.
Etiologi
Etiologi karsinoma serviks sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi
faktor-faktor predisposisi keganasan ini telah banyak dikenal. Data epidemologi yang
tersusun selama akhir abad ini menyingkap kemungkinan adanya hubungan yang kuat antara
neoplasia intraepitelial serviks (NIS) dan karsinoma serviks uteri dengan infeksi virus human
papiloma. Virus human papiloma adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada
permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi virus ini sering terdapat pada wanita yang aktif
secara seksual. Dari beberapa pemeriksaan laboratorium terbukti bahwa lebih dari 90%
kondiloma serviks, semua neoplasma intraepitelial serviks dan karsinoma serviks
mengandung DNA virus human papiloma.
Virus human papiloma tipe 6, 11, 42, 43 dan 44 jarang ditemukan pada neoplasma,
sedangkan tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan
prakanker. Virus tipe 16 ditemukan pada sekitar 50% kasus lesi intraepitelial skuamosa
derajat berat dan karsinoma serviks.

Faktor Risiko
Beberapa faktor yang mempengaruhi kanker serviks antara lain:
1. Pola hubungan seksual dan hubungan seksual dengan pria yangmempunyai
pasangan seksual lebih dari satu
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara lesi pra kanker dan kanker serviks dengan aktivitas seksual pada usia dini,
khususnya sebelum umur 17 tahun. Hal ini diduga ada hubungan dengan belum
matangnya daerah transformasi pada usia tersebut bila sering terekspos. Frekuensi
hubungan seksual berpengaruh terhadap lebih tingginya risiko pada usia, tetapi tidak
pada kelompok usia lebih tua. Jumlah pasangan seksual menimbulkan konsep pria
berisiko tinggi sebagai vektor yang dapat menimbulkan infeksi yang berkaitan dengan
penyakit hubungan seksual (Suwiyoga, 2007).
Sedangkan Nugraha B.D (2003) menganalisis bahwa akan terjadinya perubahan
pada sel leher rahim pada wanita yang sering berganti-ganti pasangan, penyebabnya
adalah sering terendamnya sperma dengan kadar PH yang berbedabeda sehingga
dapat mengakibatkan perubahan dari displasia menjadi kanker.
2. Paritas
Kanker serviks sering terjadi pada wanita yang sering melahirkan. Semakin
sering melahirkan, semakin besar risiko mendapatkan kanker serviks. Paritas dapat
meningkatkan insiden kanker serviks, lebih banyak merupakan refleksi dari aktivitas
seksual dan saat mulai kontak seksual pertama kali daripada akibat trauma persalinan.
Pada wanita dengan paritas 5 atau lebih mempunyai risiko terjadinya kanker serviks
2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan paritas 3 atau kurang
(Suwiyoga, 2007).
3. Merokok
Menurut Suwiyoga (2007) dilihat dari segi epidemiologinya, perokok aktif dan
pasif berkontribusi pada perkembangan kanker serviks yaitu 2 sampai 5 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang tidak perokok. Pada wanita yang merokok terdapat
nikotin yang bersifat ko karsinogen di cairan serviksnya sehingga dapat mendorong
terjadinya pertumbuhan kanker.
4. Kontrasepsi Oral
Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan. Kontrasepsi oral yang
dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko
relatif 1,53 kali. World Health Organization (WHO) melaporkan risiko relatif pada
pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya
pemakaian (Sjamsuddin, 2001).
5. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi seseorang dapat mempengaruhi terjadinya kanker serviks.
Menurut Suwiyoga (2007) pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya penelitian
yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan tingkat
pendidikan dan pendapatan yang rendah. Adanya kaitan yang erat antara status sosial
ekonomi rendah dengan status gizi karena status gizi berhubungan dengan daya tahan
tubuh baik terhadap infeksi maupun kemampuan untuk melawan keganasan.
6. Hygine dan Sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kanker serviks pada wanita yang
pasangannya belum disirkumsisi hal ini karena pada pria non sirkumsisi higine penis
tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.
7. Defisiensi zat gizi
Ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa defisiensi asam folat dapat
meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan dan sedang, serta mungkin juga
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya rendah
beta karoten dan retinol (vitamin A).

Patofisiologi dan Patogenesis
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar junction
(SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis
serviks, dimana secara histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel
skuamosa berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis
bersilia. Letak SCJ dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita
muda SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di atas 35
tahun SCJ berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada wanita muda, SCJ yang
berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan terhadap faktor luar berupa mutagen yang
akan memicu displasia dari SCJ tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ
terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks; epitel
kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel
kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses
metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang
tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara
morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan
antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini disebut
daerah transformasi.
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu faktor penyebab
yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis asam nukleat virus tersebut
dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan terjadinya
mutasi sel.26 Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik
sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan,
displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi
karsinoma invasif. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-
kanker. Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel skuamosa yang
secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi tidak memenuhi persyaratan
sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang mengalami
kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah
gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana
basalis masih utuh.
Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS) untuk
kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari : 1) NIS 1, untuk displasia
ringan; 2) NIS 2, untuk displasia sedang; 3) NIS 3, untuk dysplasia berat dan karsinoma in-
situ. Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spekrum penyakit yang dimulai dari
displasia ringan (NIS 1), dysplasia sedang (NIS 2), displasia berat dan karsinoma in-situ (NIS
3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Beberapa peneliti menemukan
bahwa 30-35% NIS mengalami regresi, yang terbanyak berasal dari NIS 1/NIS 2.28 Karena
tidak dapat ditentukan lesi mana yang akan berkembang menjadi progesif dan mana yang
tidak, maka semua tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas sehingga harus
ditatalaksanai sebagaimana mestinya.

Manifestasi Klinik
Pada tahap permulaan kanker, sudah menimbulkan perdarahan melalui vagina,
misalnya:
1) Setelah melakukan koitus atau perdarahan menstruasi lebih banyak atua timbul
perdarahan menstruasi lebih sering.
2) Timbul perdarahan diantara siklus menstruasi.
3) Apabila kanker sudah berada pada stadium lanjut bias terjadi perdarahan spontan dan
nyeri pada rongga panggul.
4) Keluhan dan gejala akibat bendungan kanker penderita mengalami halangan air seni.
5) Sembab anggota tengah karena penekanan pembuluh darah balik.
6) Nyeri pada pinggang bagian bawah.
7) Keluar keputihan atau cairan encer dari kelamin wanita
8) Perdarahan sesudah menopouse
Menurut Dalimartha (2004), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai
dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar
dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal
demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah
bersenggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -
80%). Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus. Biasanya
timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea, hipermenorhea, dan
penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan intermenstrual, post koitus serta latihan
berat. Perdarahan yang khas terjadi pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk
mukoid.

Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah lumbal. Pada
tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi, sekret dari vagina
berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta mukosa vulva. Perdarahan
pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri makin progresif. Menurut Baird (1991) tidak
ada tanda-tanda khusus yang terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau
pemeriksaan dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik
darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai
menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria dan
gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat terjadi karena
penyebaran sel kanker yang juga

Stadium klinik
Pemeriksaan untuk menentukan stadium klinik dilakukan secara bimanual vaginal dan
rektal sebelum pengobatan diberikan. Tujuan penentuan stadium klinik adalah untuk
menetapkan jenis pengobatan, meramalkan pronogsis dan sebagai studi perbandingan di
antara berbagai institusi.
Berbagai stadium klinik telah diajukan oleh para ahli, namun stadium klinik yang
dianut sekarang yaitu yang telah disetujui oleh International Federation of Gynecology and
Obstetrics (FIGO. Pembagian ini didasarkan atas pemeriksaan klinik (inspeksi, palpasi,
kolposkopi), radiologi (paru-paru, ginjal), sistoskopi, rektoskopi, kuretase endoserviks dan
biopsi.




Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basalis
I Lesi tumor masih terbatas di serviks
IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan
diameter permukaan tumor <7mm
IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi <5mm
dengan diameter permukaan tumor <7mm
IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer <4cm
IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer >4cm
II Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan
sepertiga proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding
panggul
III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau
sepertiga vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa
vesika urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh

Diagnosis
Gejala dan Tanda
Lesi pra-kanker dan kanker stadium dini biasanya asimtomatik dan hanya dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan sitologi. Boon dan Suurmeijer melaporkan bahwa sebanyak
76% kasus tidak menunjukkan gejala sama sekali. Jika sudah terjadi kanker akan timbul
gejala yang sesuai dengan penyakitnya, yaitu dapat lokal atau tersebar. Gejala yang timbul
dapat berupa perdarahan pasca-sanggama atau dapat juga terjadi perdarahan di luar masa haid
dan pasca menopause. Jika tumornya besar, dapat terjadi infeksi dan menimbulkan cairan
(duh) berbau yang mengalir keluar dari vagina. Bila penyakitnya sudah lanjut, akan timbul
nyeri panggul, gejala yang berkaitan dengan kandung kemih dan usus besar.
Gejala lain yang timbul dapat berupa gangguan organ yang terkena misalnya otak
(nyeri kepala, gangguan kesadaran), paru (sesak atau batuk darah), tulang (nyeri atau patah),
hati (nyeri perut kanan atas, kuning, atau pembengkakan), dan lain-lain.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis definitive harus didasarkan pada konfirmasi histopatologi dari hasil biopsi
lesi sebelum sebelum pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut dilakukan.
Tes IVA
Tes visual dengan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 2%) dan larutan
iosium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah dilakukan olesan.
Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami displasia sebagai salah satu metode
skrining kanker serviks

Pemeriksaan pap smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang
tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi
serviks. Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah
melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap
tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus
kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka
kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang
telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap
tahun. Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal,
maka pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Hasil pemeriksaan
pap smear adalah sebagai berikut (Prayetni,1999):
a. Normal.
b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).
c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).
d. Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).
e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau
ke organ tubuh lainnya).

Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka
pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau
kanker. Biopsi ini dilakukan untuk melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan
adalah punch biopsi yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsi yang
menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang ada pada serviks.
Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal. Hasil biopsi akan memperjelas
apakah yang terjadi itu kanker invasif atau hanya tumor saja (Prayetni, 1997).

Kolposkopi
Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia.
Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena kolposkopi
memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam mengetes darah yang
abnormal (Prayetni, 1997).
Tes Schiller
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium. Pada serviks normal
akan membentuk bayangan yang terjadi pada sel epitel serviks karena adanya glikogen.
Sedangkan pada sel epitel serviks yang mengandung kanker akan menunjukkan warna yang
tidak berubah karena tidak ada glikogen ( Prayetni, 1997).
Radiologi
a) Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada saluran
pelvik atau peroartik limfe.
b) Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks tahap lanjut,
yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter terminal. Pemeriksaan
radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi kandung kemih dan rektum yang
meliputi sitoskopi, pielogram intravena (IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan
untuk menilai penyebaran lokal dari tumor dan / terkenanya nodus limpa regional.

Pengobatan kanker serviks
Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan secara
histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim kanker / tim onkologi). Pemilihan
pengobatan kanker leher rahim tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit,
usia, keadaan umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat rendah
biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal
seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker
bisa berupa kriosurgeri (pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang
sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi
(Wiknjosastro, 1997).
1. Pembedahan
Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh
kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop
electrosurgical excision procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita
masih bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani
pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya
setiap 6 bulan. Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk
menjalani histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif
maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya
sehingga manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif
adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita.
Histerektomi adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus
dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik
IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila
keadaan umum baik, dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.

2. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta mematikan
parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks stadium II B, III, IV sebaiknya
diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan
pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang
telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke kelenjar getah bening panggul, dengan
tetap mempertahankan sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum,
vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif hanya akan diberikan
pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker sudah keluar ke rongga panggul, maka
radioterapi hanya bersifat paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi
penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul.
Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan
menghentikan pertumbuhannya. Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar
berasal dari sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran
biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. Keduannya adalah melalui
radiasi internal yaitu zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke
dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di
rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. Efek samping
dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan vagina, kerusakan kandung kemih dan
rektum dan ovarium berhenti berfungsi (Gale & Charette, 2000).

3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat melalui infus,
tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel kanker
dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang dapat
diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan
mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam
periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan
dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup
yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase
karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang
memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP
(Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain lain
(Prayetni, 1997).

Prognosis kanker serviks
Prognosis kanker serviks adalah buruk. Prognosis yang buruk tersebut dihubungkan
dengan 85-90 % kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif, stadium lanjut, bahkan
stadium terminal (Suwiyoga, 2000; Nugroho, 2000). Selama ini, beberapa cara dipakai
menentukan faktor prognosis adalah berdasarkan klinis dan histopatologis seperti keadaan
umum, stadium, besar tumor primer, jenis sel, derajat diferensiasi Broders. Prognosis kanker
serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, 5-years survival rate untuk stadium I
lebih dari 90%, untuk stadium II 60-80%, stadium III kira - kira 50%, dan untuk stadium IV
kurang dari 30%
1. Stadium 0 100 % penderita dalam stadium ini akan sembuh.
2. Stadium 1 Kanker serviks stadium I sering dibagi menjadi IA dan IB. Dari semua
wanita yang terdiagnosis pada stadium IA memiliki 5-years survival rate sebesar
95%. Untuk stadium IB 5-years survival rate sebesar 70 sampai 90%. Ini tidak
termasuk wanita dengan kanker pada limfonodi mereka.
3. Stadium 2 Kanker serviks stadium 2 dibagi menjadi 2, 2A dan 2B. Dari semua wanita
yang terdiagnosis pada stadium 2A memiliki 5-years survival rate sebesar 70-90%.
Untuk stadium 2B 5-years survival rate sebesar 60 sampai 65%.
4. Stadium 3 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 30-50%.
5. Stadium 4 Pada stadium ini 5-years survival rate-nya sebesar 20-30%.

Você também pode gostar