TERHADAP CORPORATE GOVERNANCE DI NEGARA- NEGARA ASEAN
Stephanie Indah Mulya / 1106060646 Inez Belinda / 1106060652 Leonardo Hamonangan / 1106075111 Louis Bernardus Dupa Sangkrista / 1106075704
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK Juni 2014 Kata Pengantar
Pertama-tama, puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Tata Kelola Perusahaan ini dengan baik. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis kepada Ibu Cut Saskia Rahman sebagai dosen mata kuliah Tata Kelola Perusahaan, sehingga penulis dapat mengerjakan tugas makalah ini di bawah bimbingan Beliau dengan lancar. Dalam makalah ini, penulis membahas kajian ROSC yang dipublikasikan oleh World Bank pada tahun 2010 yaitu pengenai penerapan prinsip-prinsip corporate governance dalam OECD pada perusahaan-perusahaan di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-negara ASEAN lainnya. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat berupa pemahaman yang lebih komprehensif dan singkat mengenai hasil kajian tersebut untuk setiap pembaca. Tidak ada gading yang tak retak, begitulah kata pepatah, menggambarkan bahwa tidak ada upaya manusia yang sempurna. Begitu pun karya makalah penulis ini, tidak luput dari kesalahan-kesalahan. Penulis memohon maaf atas semua kesalahan yang mungkin terdapat dalam makalah ini, dan penulis juga menantikan saran dan kritik terhadap hasil karya penulis. Akhir kata, penulis hendak menyampaikan rasa terima kasih penulis atas waktu dan perhatian yang telah diberikan terhadap makalah ini.
Depok, 4 Juni 2014
Penulis Statement of Authorship Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan dengan jelas menggunakannya. Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme. Mata Ajaran : Tata Kelola Perusahaan Judul Makalah/Tugas : Kasus 13: Hasil Penilaian Bank Dunia Rosc Terhadap Corporate Governance di Negara-Negara Asean Tanggal : 4 Juni 2014 Dosen : Cut Saskia Rahman Dibuat Oleh - Nama : Stephanie Indah Mulya NPM : 1106060646 Tandatangan :
- Nama : Inez Belinda NPM : 1106060652 Tandatangan :
- Nama : Leonardo Hamonangan NPM : 1106075111 Tandatangan :
- Nama : Louis Bernardus Dupa Sangkrista NPM : 1106075704 Tandatangan :
1. Corporate Governance Framework Berdasarkan prinsip OECD yang pertama, sebuah Corporate Governance Framework harus mendorong pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan peraturan hukum, dan mengartikulasi dengan jelas mengenai pembagian tanggung jawab di antara berbagai fungsi pengawasan, fungi regulasi, dan fungsi penegak hukum. Corporate Governance Framework yang diobservasi dalam Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC) adalah kepatuhan dalam penerapan good corporate governance pada perusahaan-perusahaan yang berbasis di Indonesia. Dalam risetnya, World Bank membagi kategori Corporate Governance Framework ini menjadi empat sesuai dengan poin-poin subprinsip pertama OECD, yaitu framework corporate governance secara keseluruhan, framework legal yang transparan dan dapat diterapkan, pemisahan yang jelas antara kewajiban-kewajiban dalam hal regulasi, dan otoritas, integritas, dan sumber-sumber peraturan. Berikut adalah hasil penelitian World Bank terhadap corporate governance framework di Indonesia.
Grafik di atas menunjukkan hasil observasi World Bank mengenai Corporate Governance Framework di Indonesia. Angka-angka tersebut menunjukkan persentase penerapan corporate governance framework dan dapat dikategorikan ke dalam empat bagian, yang pertama yaitu angka >95% menunjukkan implementasi keseluruhan (fully implemented), 75-95 menunjukkan implementasi sebagian besar (broadly implemented), 35- 75 menunjukkan implementasi sebagian (partially implemented), dan <35 menunjukkan tidak ada implementasi (not implemented). Dapat kita lihat bahwa penerapan subprinsip A yaitu corporate governance framework secara keseluruhan hanya mencapai angka 65 yang berarti hanya sebagian diimplementasikan. Transparansi dan penerapan framework legal serta otoritas, integritas, dan sumber-sumber peraturan juga menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda yaitu 69 dan 67. Walaupun demikian, pemisahan yang jelas antara kewajiban-kewajiban regulator sudah diimplementasikan dengan cukup baik dan mendapat poin sebesar 88. Pada kenyataannya, dalam studi penerapan prinsip-prinsip OECD 2004 yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK disebutkan bahwa peraturan perundangan secara umum telah sejalan dengan prinsip OECD. Jadi, rendahnya nilai penerapan prinsip OECD yang pertama ini bukan disebabkan oleh minimnya peraturan perundangan, namun karena implementasinya belum seratus persen sesuai dengan prinsip pertama OECD maupun peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam, Indonesia kira-kira berada di tengah-tengah. Namun perlu diperhatikan bahwa tahun angka-angka pada grafik di atas tersebut dipuublikasikan berbeda- beda, serta metodologi penilaiannya juga belum tentu sama. Hal itu menyebabkan kita tidak dapat membandingkan nilai kelima negara tersebut dengan apple to apple. Persentase penerapan prinsip pertama OECD di Indonesia menurut publikasi ROSC tahun 2009 menunjukkan angka 72%, kalah dengan Malaysia dan Thailand pada tahun 2005 yang mendapat nilai 85%. Namun, Indonesia masih mendapat nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan Filipina yang mendapat nilai 60% pada publikasi ROSC tahun 2006 dan Vietnam yang mendapat nilai 41% pada publikasi tahun 2006.
2. Shareholder Rights Prinsip Corporate Governance dari OECD yang kedua mewajibkan framework tata kelola perusahaan yang diterapkan harus melindungi dan memfasilitasi pelaksanaan hak pemegang saham. Adapun hak pemegang saham yang dimaksud adalah hak metode registrasi kepemilikan, hak mentransfer saham, mendapatkan informasi yang material dan relevan terkait perusahaan secara reguler, berpartisipasi dalam rapat umum pemegang saham, memilih dan menurunkan anggota direksi, dan mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan.
(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010) Berdasarkan observasi World Bank pada tahun 2010, ditemukan bahwa terdapat disparitas yang cukup tinggi dari nilai-nilai antarsubprinsip, dengan rata-rata poin sebesar 77 (broadly implemented). Nilai ini cukup moderat namun mengindikasikan masih adanya penerapan yang buruk dari prinsip kedua OECD pada beberapa poin. Dapat dilihat pada grafik di atas, terdapat satu subprinsip yang masuk ke kategori not implemented, atau belum diterapkan, yaitu pengungkapan kontrol yang tidak seimbang dengan poin 25. Selain itu, nilai yang relatif rendah juga ditunjukkan dari banyaknya subprinsip yang masuk ke dalam kategori partially implemented, beberapa diantaranya yaitu pada subprinsip pengungkapan tatakelola dan kebijakan voting oleh investor institusi (38 poin), pelaksanaan fasilitasi hak kepemilikan (42 poin), dan pengungkapan manajemen konflik kepentingan oleh investor institusi (46 poin). Pada subprinsip disproportionate control disclosure, ditemukan bahwa tidak ada regulasi atau undang-undang yang mengatur mekanisme untuk disproportionate control, pengungkapan perjanjian antarpemegang saham, walaupun masih ada regulasi Bapepam-LK nomor IX.C.1, IX.C.2, IX.C.3 yang mengatur pengungkapan struktur perusahaan dalam prospektus penawaran publik. Pengungkapan capital structure juga untungnya masih diatur dalam peraturan Bapepam-LK X.K.6, VIII.G.7. Meskipun demikian, aturan pengungkapan itu masih sebatas pada satu level perusahaan, dimana banyak dari perusahaan listed di BEI memiliki struktur kepemilikan berbentuk piramida, sehingga sulit bagi non-controlling shareholder untuk mengidentifikasi ultimate owner dari perusahaan. Kendati demikian, pada penerapan prinsip kedua ini, teradapat lima subprinsip yang masuk ke dalam kategori fully implemented, dimana empat diantaranya mendapatkan nilai penuh. Skor ini mengindikasikan bahwa regulasi dan iklim corporate governance di Indonesia telah berhasil memfasilitasi transfer hak, hak partisipasi dan memilik dalam RUPS, memilih dan menurunkan anggota direksi, serta mengizinkan pemegang saham untuk berkonsultasi satu sama lain. Transfer hak dilindungi oleh payung hukum UU no 40 tahun 2007 pasal 59, dimana perusahaan listed tidak diperbolehkan untuk membatasi transfer kepemilikan. Dalam UU no 40 tahun 2007 pasal 52 pasal 1(a), terdapat pula kerangka hukum yang memberikan hak bagi pemegang saham untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS. Untuk subpoin hak memilih dan menurunkan anggota direksi, dasar hukumnya terdapat pada pasal 94, 105, dan 111 UU no 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dengan demikian, maka di Indonesia anggota direksi diangkat oleh RUPS (dimana ada partisipasi pemegang saham), dan dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh RUPS berdasarkan alasan tertentu, serta pemilihan Dewan Komisaris pun juga dipilih oleh RUPS.
(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010) Figur di atas menggambarkan perbandingan tingkat implementasi prinsip kedua OECD di-antara negara-negara di ASEAN dan India. Berdasarkan assessment hingga tahun 2009, Indonesia telah berhasil mendapatkan peringkat ketiga dari segi poin rata-rata, dimana poin tertinggi diraih oleh India (85 poin), yang diikuti Malaysia dan Thailand (masing-masing 78 poin). Namun, perbandingan ini memiliki kelemahan, yaitu observasi dilakukan pada tahun yang berbeda, serta metodologi observasi tidak persis sama. Dapat dilihat bahwa Indonesia telah berhasil memperbaiki diri, yang diindikasikan dengan peningkatan skor secara signifikan, dari 56 poin di tahun 2004 ke 77 poin di tahun 2009. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak pemegang saham semakin dilindungi di Indonesia.
3. Equitable Treatment of Shareholders Pada prinsip OECD yang ketiga, dikatakan bahwa kerangka tata kelola perusahaan harus dapat menjamin perlakuan yang setara terhadap seluruh pemegang saham, termasuk minoritas dan pemegang saham asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk memperoleh kompensasi yang efektif apabila terjadi pelanggaran terhadap hak hak mereka. Tertulis bahwa pemegang saham harus memiliki hak hak yang sama. Investor harus memperoleh akses terhadap informasi atas hak yang mereka dapatkan sebelum mereka memperoleh saham tersebut. Segala perubahan atas hak voting harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham bersangkutan. Prinsip ini juga mengharuskan adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas atas benturan kepentingan yang mungkin terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Insider trading dan abusive self dealing dilarang dan dewan harus mencantumkan apabila mereka memiliki kepentingan pribadi yang material atas setiap transaksi yang mempengaruhi perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Bank Dunia menilai Indonesia dengan skor 78 atas prinsip ketiga OECD ini, yaitu Equitable Treatment of Shareholders. Subprinsip dengan nilai tertinggi diperoleh oleh nomor empat yaitu penghapusan halangan atas cross border voting dengna nilai 95. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan perusahaan di Indonesia yang memiliki pemegang saham luar negeri telah memiliki sistem yang baik dalam melakukan pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh pihak termasuk pemegang saham asing yang tidak berada di Indonesia. Sementara itu nilai terendah diperoleh oleh subprinsip yang ketujuh, yaitu pengungkapan kepentingan yang dilakukan oleh dewan dengan nilai 58 atau baru diterapkan secara parsial dan belum menyeluruh. Subprinsip ini mengatur bahwa dewan, baik itu dewan direksi, komisaris, ataupun dewan lainnya di dalam perusahaan, harus mengungkapkan bisnis pribadi, keluarga, kerabat, ataupun hubungan lain yang memungkinkan terjadinya benturan kepentingan dengan perusahaan tempat dewan tersebut menjabat. Benturan kepentingan tersebut dapat berupa pengambilan keputusan maupun transaksi transaksi. Subprinsip kedua dan ketiga juga masih menempati nilai yang cukup rendah yaitu 67 dan 64. Kedua subprinsip ini menilai mengenai perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas. Nilai kedua yang tertinggi diperoleh oleh subprinsip voting yang dilakukan oleh kustodian dengan persetujuan pemegang hak yang sebenarnya. Dibandingkan dengan negara negara Asia, Indonesia pada tahun 2009 memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu 75. Nilai ini berkembang cukup pesat dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya memperoleh nilai 60. Thailand yang pada tahun 2005 memiliki nilai 77, mengalami penurunan nilai menjadi 76 pada tahun 2013. Sebaliknya, Malaysia mengalami kenaikan sebesar dua nilai menjadi 79 pada tahun 2012.
4. Equitable Treatment of Stakeholder Prinsip keempat OECD mengatakan bahwa kerangka tatakelola perusahaan harus mengakui adanya hak hak pemegang kepentingan yang terikat secara hukum atau melalui perjanjian kedua belah pihak dan mendorong terciptanya kerjasama yang aktif antara korporasi dengan pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlangsungan finansial perusahaan. Dinyatakan bahwa hak hak pemegang kepentingan, baik yang telah diatur secara hukum maupun atas perjanjian kedua belah pihak, harus dihargai. Pemegang kepentingan yang diatur secara hukum harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan kompensasi yang pantas apabila hak hak mereka terlanggar. Mekanisme yang baik juga harus disusun untuk menjamin dihargainya kinerja karyawan. Pemegang kepentingan yang berpartisipasi dalam tatakelola perusahaan juga harus memiliki akses yang relevan, luas, dan dapat diandalkan, dengan waktu yang berkala. Isu isu terkait dengan tindakan yang illegal ataupun tidak beretika harus dapat dikomunikasikan secara bebas oleh pemegang kepentingan kepada dewan dan hak mereka tidak boleh terganggu oleh karena laporan tersebut. Kerangka juga harus dibuat secara efektif dan efisien dan secara jelas menyatakan peran dan hak hak yang dimiliki oleh kreditur.
Indonesia memiliki nilai yang tinggi pada subprinsip yang ketiga yaitu mengenai akses atas informasi. Nilai 92 tersebut diperoleh karena adanya keterbukaan dan memang telah diwajibkan bagi perusahaan untuk secara berkala menerbitkan laporan tahunan yang berisi informasi informasi penting perusahaan. Nilai paling rendah yaitu 38 diperoleh oleh subprinsip yang keempat yaitu perlindungan terhadap whistleblower. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pelapor whistleblower masih belum terjamin dan hak hak mereka masih dapat terganggu. Tentu saja ini merupakan isu sangat penting yang harus diperbaiki di Indonesia
Dibandingkan dengan negara negara Asia, Indonesia pada tahun 2009 memiliki nilai 73. Nilai ini terpaut cukup jauh dengan Malaysia yang telah memperoleh nilai 87 pada tahun 2005. Sisi positif yang dapat kita lihat adalah terjadi peningkatan atau tren positif terhadap nilai Indonesia yang beranjak dari 60 pada tahun 2004 menjadi 73 pada tahun 2009. Dengan adanya perbaikan secara menyeluruh dan terus menerus, diharapkan agar Indonesia dapat terus meningkatkan nilai pada prinsip empat OECD ini. 5. Disclosure & Transparency Prinsip OECD yang kelima mengharuskan bahwa sebuah entitas terbuka atas segala informasi mengenai dirinya dan informasi ini harus disampaikan tepat waktu dan akurat terutama untuk semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan. Termasuk di dalam hal material ini adalah keadaan keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tatakelola perusahaan. Prinsip keterbukaan dan transparansi ini terbagi lagi menjadi enam subprinsip. Di Indonesia sendiri, implementasi prinsip OECD kelima ini terlihat seperti yang tertera pada figur di bawah yang disusun berdasarkan penilaian Bank Dunia atas penerapan corporate governance di Indonesia.
(sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010) Dari perolehan angka diatas, disimpulkan bahwa tidak ada prinsip yang benar benar diterapkan secara keseluruhan oleh Indonesia. Hanya subprinsip A1 mengenai laporan keuangan dan operasional saja yang hampir diimplementasikan secara keseluruhan. Sementara itu, subprinsip A8 mengenai struktur dan kebijakan tatakelola justru paling sedikit penerapannya di Indonesia dengan poin 44 atau implementasinya dilakukan sebagian. Penerapan peraturan yang mendukung kriteria keterbukaan dan transparansi di Indonesia memiliki rata rata sebesar 73 yang berarti secara umum, prinsip kelima ini baru diterapkan sebagian oleh Indonesia. Tingkat implementasi tertinggi berada pada subprinsip terkait laporan keuangan dan operasional karena memang di Indonesia sudah ada peraturan yang secara tegas mengatur bahwa sebuah entitas yang terdaftar harus membuat laporan keuangan yang diaudit oleh auditor eksternal. Aturan ini pun sudah diaati oleh seluruh perusahaan listed di Indonesia. Sedangkan tingkat implementasi terendah berada pada keterbukaan informasi mengenai struktur tatakelola karena aturan mengenai hal tersebut masih bersifat sukarela dan tidak wajib pengungkapannya. Selain itu, tingkat pengungkapan terkait remunerasi bagi BOD dan BOC juga masih rendah. Berdasarkan IICD 2008 diperoleh data bahwa sebagian besar perusahaan listed mengungkapkan remunerasi secara agregat, hanya 2% yang mengungkapkannya secara individual, dan hanya 5% yang mengungkapkan kebijakan remunerasinya. Penerapan subprinsip D mengenai akuntabilitas eksternal auditor juga masih rendah yaitu 58%. Hal ini dikarenakan Bapepam-LK masih dalam proses pengembangan kapasitas inspeksi audit yang independen dan efisien. Yang terendah keempat adalah subprinsip A3 dimana memang peraturan di Indonesia mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan pemegang saham yang memiliki kepemilikan lebih dari 5%. Akan tetapi aturan tersebut tidak mengharuskan perusahaan menyajikan informasi apabila ada ultimate shareholdings atau ultimate control di perusahaan. Jika dibandingkan dengan negara negara lain di Asia, Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat penerapan yang tinggi seperti tampak pada figur di bawah ini. (sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010) Negara yang paling tinggi tingkat penerapan corporate governance-nya adalah Malaysia dengan skor rata rata sebesar 87. Diikuti dengan India dengan skor 82. Tingkat implementasi terendah ditempati oleh Vietnam. Pembaca memang tidak dapat membandingkan secara apple-to-apple skor tersebut, termasuk di dalamnya adalah penerapan Indonesia tahun 2004 dengan 2009, karena tahun yang berbeda dan disebutkan bahwa penggunaan metodologi penilaian juga berbeda. Namun dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 saja Malaysia sudah memperoleh skor yang jauh lebih tinggi yaitu 87 dibandingkan dengan Indonesia tahun 2004 yang hanya memperoleh skor 60.
6. Responsibilities of the Board Prinsip GCG dari OECD yang terakhir berkaitan dengan tanggung jawab dewan komisaris dan direksi perusahaan. Dalam prinsip ini dinyatakan bahwa kerangka kerja tatakelola perusahaan harus memastikan pedoman strategis perusahaan, monitoring yang efektif terhadap manajemen oleh dewan, serta akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan pemegang saham. Indonesia menggunakan struktur two-tier board yang terdiri atas BOC dan BOD dimana BOC memantau dan memberikan saran kepada BOD. Implementasi atas prinsip ini di Indonesia seperti tampak pada figur berikut. (sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010) Di Indonesia, subprinsip dengan tingkat penerapan paling tinggi ialah subprinsip D1 tentang tanggung jawab dewan untuk menelaah dan mengarahkan strategi perusahaan, rencana utama, kebijakan mengenai resiko, anggaran tahunan, rencana usaha, sasaran kinerja, memonitor penerapan dan kinerja perusahaan serta memantau belanja modal yang besar, akuisisi, dan divestasi. Penerapan terendah berada pada tanggung jawab dewan untuk melakukan nominasi atau pemilihan dewan yang transparan. Di Indonesia hal ini masih kurang diterapkan karena seringkali tidak ada proses yang transparan dalam pemilihan adalah bahwa di Indonesia, dewan pun tidak memperlakukan shareholder secara sama dan adil yang dibahas lebih detil pada penerapan prinsip equitable treatment of shareholders. Masih terkait dengan equitable treatment, komitmen dewan terhadap tanggun jawabnya untuk berlaku adil terhadap seluruh shareholder masih sangat kecil. Hal ini tergambar dengan skor komitmen yang hanya 50. Berdasarkan analisis Bank Dunia, sebagian besar dewan di Indonesia masih mengutamakan kepentingan controlling shareholders dan mengesampingkan minority shareholders. (sumber: Detailed Country Assessment Indonesia, April 2010) Secara umum Indonesia memperoleh skor 66 untuk penerapan prinsip ini. Dan jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, pada penerapan prinsip ini Indonesia juga masih kalah dibandingkan Malaysia, India, dan Thailand. Vietnam masih menempati posisi terendah dengan skor 43. Selisih skor antara Indonesia dengan India dan Malaysia cenderung sangat jauh yang mengindikasikan bahwa Indonesia masih perlu mengembangkan aturan aturan yang berlaku agar tingkat implementasi prinsip ini dapat meningkat.
Daftar Pustaka Peraturan Bapepam-LK nomor VII.G.7 Peraturan Bapepam-LK nomor IX.C.1 Peraturan Bapepam-LK nomor IX.C.2 Peraturan Bapepam-LK nomor IX.C.3 Peraturan Bapepam-LK nomor X.K.6 Indonesia, R. (2007). Undang-undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Bank, The World. (2010). Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC): Corporate Governance Country Assessment. Bank, The World. (2010). Report on the Observance of Standards and Codes (ROSC): Annex: Corporate Governance Detailed Country Assesment (DCA). Bapepam-LK. (2006). Studi Penerapan Prinsip-Prinsip OECD 2004 dalam Peraturan Bapepam Mengenai Corporate Governance.
Pendekatan sederhana untuk investasi pasif: Panduan Pengantar Prinsip-prinsip Teoretis dan Operasional Investasi Pasif untuk Membangun Portofolio Malas yang Berkinerja dari Waktu ke Waktu
Pendekatan sederhana untuk komunikasi profesional: Panduan praktis untuk komunikasi profesional dan strategi komunikasi bisnis tertulis dan interpersonal terbaik