Você está na página 1de 89

KESULITAN MAKAN PADA

PENYANDANG AUTIS
OLEH :
Dr Widodo Judarwanto SpA
http://www.puterakembara.org/rm/autis_makan.shtml
ABSTRAK
Jumlah penyandang Autis semakin meningkat pesat dalam dekade terakhir ini. Dengan
adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan penyandang yang
ditemukan terkena Autis akan semakin besar. Autis adalah gangguan perkembangan
pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam
bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, interaksi sosial dan gangguan persepsi
sensoris.
Beberapa gangguan Autis seringkali melibatkan gangguan neuroanatomis dan
neurofungsional tubuh. Bila gangguan tersebut melibatkan gangguan neurofungsional tubuh
salah satu yang terganggu adalah kemampuan koordinasi motorik oral seperti mengunyah
dan menelan. Dalam keadaan demikian proses makan pada penyandang akan terganggu
sehingga akan mengalami kesulitan makan. Faktor penyebab lainnya adalah karena
gangguan nafsu makan. Gangguan neurofungsional dan gangguan nafsu makan tersebut
sangat berkaitan dengan gangguan saluran cerna yang di alami penyandang Autis.
Pendekatan diet eliminasi provokasi makanan adalah cara yang ideal untuk mencari
penyebab gangguan saluran cerna tersebut. Gangguan saluran cerna penyandang Autis
dapat disebabkan karena alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten (celiac)
atau reaksi simpang makanan lainnya.
Penanganan kesulitan makan pada penyandang Autis harus dilakukan dengan optimal,
untuk mencegah komplikasi gangguan tumbuh dan berkembangnya. Perbaikan saluran
cerna sebagai salah satu cara penanganan masalah kesulitan makan sekaligus akan
memperbaiki gangguan perilaku lainnya pada penyandang Autis.
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia harus dilakukan sejak dini,
sistematis dan berkesinambungan. Optimalisasi tumbuh dan kembang khususnya
penyandang Autis adalah menjadi prioritas utama,. Salah satu masalah yang sering dialami
penyandang autis adalah kesulitan pemberian makan pada anak yang dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi.
Tumbuh dan berkembangnya anak yang optimal tergantung dari beberapa hal,
diantaranya adalah pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas sesuai dengan
kebutuhan. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan
pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Sering timbul masalah
terutama dalam pemberian makanan karena faktor kesulitan makan pada anak.
Pemberian makan pada anak memang sering menjadi masalah buat orangtua atau
pengasuh pada penyandang Autis. Keluhan tersebut sering dikeluhkan orang tua kepada
dokter yang merawat anaknya. Lama kelamaan hal ini dianggap biasa, sehingga akhirnya
timbul komplikasi dan gangguan tumbuh kembang lainnya. Padahal penyandang Autis
sudah mempunyai kendala dalam tahap perkembangannya. Salah satu keterlambatan
penanganan masalah tersebut adalah pemberian vitamin tanpa mencari penyebabnya
sehingga kesulitan makan tersebut terjadi berkepanjangan. Akhirnya orang tua berpindah-
pindah dokter dan berganti-ganti vitamin tapi tampak anak kesulitan makannya tidak
membaik. Dengan penanganan kesulitan makan pada penyandang autis secara optimal
diharapkan dapat mencegah komplikasi yang ditimbulkan. Sehingga dapat meningkatkan
kualitas penyandang Autis.
Kesulitan makan bukanlah diagnosis atau penyakit, tetapi merupakan gejala atau tanda
adanya penyimpangan, kelainan dan penyakit yang sedang terjadi pada tubuh anak.
Pengertian kesulitan makan adalah jika anak tidak mau atau menolak untuk makan, atau
mengalami kesulitan mengkonsumsi makanan atau minuman dengan jenis dan jumlah
sesuai usia secara fisiologis (alamiah dan wajar), yaitu mulai dari membuka mulutnya tanpa
paksaan, mengunyah, menelan hingga sampai terserap dipencernaan secara baik tanpa
paksaan dan tanpa pemberian vitamin dan obat tertentu. Gejala kesulitan makan pada anak
(1). Kesulitan mengunyah, menghisap, menelan makanan atau hanya bisa makanan lunak
atau cair, (2) Memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di
mulut anak, (3).Makan berlama-lama dan memainkan makanan, (4) Sama sekali tidak mau
memasukkan makanan ke dalam mulut atau menutup mulut rapat, (5) Memuntahkan atau
menumpahkan makanan, menepis suapan dari orangtua, (6). Tidak menyukai banyak
variasi makanan dan (7), Kebiasaan makan yang aneh dan ganjil.
PENYEBAB
Penyebab kesulitan makanan itu sangatlah banyak dan luas, semua gangguan
fungsi organ tubuh dan penyakit bisa berupa adanya kelainan fisik, maupun psikis dapat
dianggap sebagai penyebab.. Kelainan fisik dapat berupa kelainan organ bawaan atau
infeksi bawaan sejak lahir dan infeksi didapat dalam usia anak. Kelainan fisik dapat berupa
kelainan organ bawaan atau infeksi bawaan sejak lahir atau infeksi didapat. Pada
penyandang Autis tampaknya gangguan saluran cerna merupakan penyebab yang paling
sering yang mengakibatkan terjadinya kesulitan makan.
Secara umum penyebab umum kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3
faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan
pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi
lebih dari 1 faktor. Pada penyandang Autis penyebab paling sering yang terjadi adalah
gangguan nafsu makan dan gangguan proses makan.
GANGGUAN NAFSU MAKAN
Gangguan nafsu makan tampaknya merupakan penyebab utama masalah kesulitan
makan pada anak. Pengaruh nafsu makan ini bisa mulai dari yang ringan (berkurang nafsu
makan) hingga berat (tidak ada nafsu makan). Tampilan gangguan nafsu makan yang
ringan berupa minum susu botol sering sisa, waktu minum ASI berkurang (sebelumnya 20
menit menjadi 10 menit), makan hanya sedikit atau mengeluarkan, menyembur-nyemburkan
makanan atau menahan makanan di mulut terlalu lama. Sedangkan gangguan yang lebih
berat tampak anak menutup rapat mulutnya, menepis suapan orang tua atau tidak mau
makan dan minum sama sekali. Gangguan nafsu makan pada penyandang Autis sering
diakIbatkan karena gangguan saluran cerna seperti alergi makanan, intoleransi makanan,
intoleransi gluten dan sebaginya. Gangguan utama gangguan saluran cerna pada
penyandang Autis berupa gangguan permeabilitias saluran cerna yang sering disebut leaky
gut.
Gangguan pencernaan tersebut kadang tampak ringan seperti tidak ada gangguan.
Tampak anak sering mudah mual atau muntah bila batuk, menangis atau berlari. Sering
nyeri perut sesaat dan bersifat hilang timbul, bila tidur sering dalam posisi nungging atau
perut diganjal bantal Sulit buang air besar (bila buang air besar ngeden, tidak setiap hari
buang air besar, atau sebaliknya buang air besar sering (>2 kali/perhari). Kotoran tinja
berwarna hitam atau hijau dan baunya sangat menyengat, berbentuk keras, bulat (seperti
kotoran kambing), pernah ada riwayat berak darah. . Lidah tampak kotor, berwarna putih
serta air liur bertambah banyak atau mulut berbau.
Keadaan ini sering disertai gangguan tidur malam. Gangguan tidur malam tersebut
seperti malam sering rewel, kolik, tiba-tiba terbangun, mengigau atau menjerit, tidur bolak
balik dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Saat tidur malam timbul gerakan brushing atau
beradu gigi sehingga menimbulkan bunyi gemeretak.
Biasanya disertai gangguan kulit : timbal bintik-bintik kemerahan seperti digigit nyamuk
atau serangga, biang keringat, kulit berwarna putih (seperti panu) di wajah atau di bagian
badan lainnya dan sebagainya. Kulit di bagian tangan dan kaki tampak kering dan kusam
Tanda dan gejala tersebut di atas sering dianggap biasa oleh orang tua bahkan banyak
dokter atau klinisi karena sering terjadi pada anak. Padahal bila di amati secara cermat
tanda dan gejala tersebut merupakan manifestasi adanya gangguan pencernaan, yang
mungkin berkaitan dengan kesulitan makan pada anak.
GANGGUAN PROSES MAKAN DI MULUT
Proses makan terjadi mulai dari memasukkan makan dimulut, mengunyah dan menelan.
Ketrampilan dan kemampuan koordinasi pergerakan motorik kasar di sekitar mulut sangat
berperanan dalam proses makan tersebut. Pergerakan morik tersebut berupa koordinasi
gerakan menggigit, mengunyah dan menelan dilakukan oleh otot di rahang atas dan bawah,
bibir, lidah dan banyak otot lainnya di sekitar mulut. Gangguan proses makan di mulut
tersebut seringkali berupa gangguan mengunyah makanan.
Tampilan klinis gangguan mengunyah adalah keterlambatan makanan kasar tidak bisa
makan nasi tim saat usia 9 bulan, belum bisa makan nasi saat usia 1 tahun, tidak bisa
makan daging sapi (empal) atau sayur berserat seperti kangkung. Bila anak sedang muntah
dan akan terlihat tumpahannya terdapat bentukan nasi yang masih utuh. Hal ini
menunjukkan bahwa proses mengunyah nasi tersebut tidak sempurna. Tetapi kemampuan
untuk makan bahan makanan yang keras seperti krupuk atau biskuit tidak terganggu, karena
hanya memerlukan beberapa kunyahan. Gangguan koordinasi motorik mulut ini juga
mengakibatkani kejadian tergigit sendiri bagian bibir atau lidah secara tidak sengaja.
Kelainan lain yang berkaitan dengan koordinasi motorik mulut adalah keterlambatan
bicara dan gangguan bicara (cedal, gagap, bicara terlalu cepat sehingga sulit dimengerti).
Gangguan motorik proses makan ini biasanya disertai oleh gangguan keseimbangan dan
motorik lainnya. Gangguan ini berupa tidak mengalami proses perkembangan normal duduk,
merangkak dan berdiri. Terlambat bolak-balik (normal usia 4 bulan), terlambat duduk
merangkak (normal 6-8 bulan) atau tidak merangkak tetapi langsung berjalan, keterlambatan
kemampuan mengayuh sepeda (normal usia 2,5 tahun), jalan jinjit, duduk bersimpuh leter
W. Bila berjalan selalu cepat, terburu-buru seperti berlari, sering jatuh atau menabrak,
sehingga sering terlambat berjalan. Ciri lainnya biasanya disertai gejala anak tidak bisa
diam, mulai dari overaktif hingga hiperaktif. Mudah marah serta sulit berkonsentrasi,
gampang bosan dan selalu terburu-buru.
Gangguan saluran pencernaan tampaknya merupakan faktor penyebab terpenting
dalam gangguan proses makan di mulut. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan teori Gut
Brain Axis. Teori ini menunjukkan bahwa bila terdapat gangguan saluran cerna maka
mempengaruhi fungsi susunan saraf pusat atau otak. Gangguan fungsi susunan saraf pusat
tersebut berupa gangguan neuroanatomis dan neurofungsional. Salah satu manifestasi
klinis yang terjadi adalah gangguan koordinasi motorik kasar mulut.
GANGGUAN PSIKOLOGIS
Gangguan psikologis dahulu dianggap sebagai penyebab utama kesulitan makan pada
anak. Tampaknya hal ini terjadi karena dahulu kalau kita kesulitan dalam menemukan
penyebab kesulitan makan pada anak. Gangguan psikologis dianggap sebagai diagnosis
keranjang sampah untuk mencari penyebab kesulitan makan pada anak. Untuk memastikan
gangguan psikologis sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak harus dipastikan
tidak adanya kelainan organik pada anak. Kemungkinan lain yang sering terjadi, gangguan
psikologis memperberat masalah kesulitan makan yang memang sudah terjadi sebelumnya.
Gangguan pskologis bisa dianggap sebagai penyebab bila kesulitan makan itu waktunya
bersamaan dengan masalah psikologis yang dihadapi. Bila faktor psikologis tersebut
membaik maka gangguan kesulitan makanpun akan membaik. Untuk memastikannya
kadang sulit, karena dibutuhkan pengamatan yang cermat dari dekat dan dalam jangka
waktu yang cukup lama. Karenanya hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang tua
bekerjasama dengan psikater atau psikolog.
Beberapa aspek psikologis dalam hubungan keluarga, baik antara anak dengan orang
tua, antara ayah dan ibu atau hubungan antara anggota keluarga lainnya dapat
mempengaruhi kondisi psikologis anak. Misalnya bila hubungan antara orang tua yang tidak
harmonis, hubungan antara anggota keluarga lainnya tidak baik atau suasana keluarga
yang penuh pertentangan, permusuhan atau emosi yang tinggi akan mengakibatkan anak
mengalami ketakutan, kecemasan, tidak bahagia, sedih atau depresi. Hal itu mengakibatkan
anak tidak aman dan nyaman sehingga bisa membuat anak menarik diri dari kegiatan atau
lingkungan keluarga termasuk aktifitas makannya
KOMPLIKASI KESULITAN MAKAN
Peristiwa kesulitan makan yang terjadi pada penyandang Autis biasanya berlangsung lama.
Komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah gangguan asupan gizi seperti kekurangan kalori,
protein, vitamin, mineral, elektrolit dan anemia (kurang darah).
Kekurangan kalori dan protein yang terjadi tersebut akan mengakibatkan gangguan
pertumbuhan atau gagal tumbuh. Tampilan klinisnya adalah terjadi gangguan dalam
peningkatan berat badan. Bahkan terjadi kecenderungan berat badan tetap dalam keadaan
yang cukup lama. Dalam keadaan normal anak usia di atas 2 tahun seharusnya terjadi
peningkatan berat badan 2 kilogram dalam setahun.
Defisiensi zat gizi ini ternyata juga akan memperberat masalah gangguan
metabolisme dan gangguan fungsi tubuh lainnya yang sudah terjadi pada penyandang
Autis. Keadaan ini tentunya akan menghambat beberapa upaya penanganan dan terapi
yang sudah dilakukan sebelumnya.
Tabel 1. Penyakit akibat kekurangan vitamin dengan gejala dan tanda klinis :

NAMA PENYAKIT KEKURANGAN/
DEFISIENSI
GEJALA DAN TANDA KLINIS
1 Buta senja
(xeroftalmia)
Vitamin A Mata kabur atau buta
2 Beri-beri Vitamin B1 Badan bengkak, tampak rewel, gelisah,
pembesaran jantung kanan
3 Ariboflavinosis Vitamin B2 Retak pada sudut mulut, lidah merah
jambu dan licin
4 Defisiensi B6 Vitamin B6 Cengeng, mudah kaget, kejang, anemia
(kurang darah), luka di mulut
5 Defisiensi Niasin Niasin Gejala 3 D (dermatitis /gangguan kulit,
diare, deementia), Nafsu makan
menurun, sakit di ldah dan mulut,
insominia, diare, rasa bingung.
6 Defisiensi Asam folat Asam folat Anemia, diare
7 Defisiensi B12 Vitamin B12 Anemia, sel darah membesar, lidah
halus dan mengkilap, rasa mual,
muntah, diare, konstipasi.
8 Defisiensi C Vitamin C Cengeng, mudah mara, nyeri tungkai
bawah, pseudoparalisis (lemah) tungkai
bawah, perdarahan kulit
9 Rakitis dan
Osteomalasia
Vitamin D Pembekakan persendian tulang,
deformitas tulang, pertumbuhan gigi
melambat, hipotoni, anemia
10 Defisiensi K Vitamin K Perdarahan, berak darah, perdarahan
hidung dsb
Tabel 2. Penyakit akibat kekurangan mineral dan elektrolit dengan gejala dan tanda klinis:

Nama penyakit Kekurangan/
Defisiensi
Gejala dan tanda klinis
1 Anemia Defisiensi Besi Zat besi pucat, lemah, rewel
2 Defisiensi Seng Seng Mudah terserang penyakit,
pertumbuhan lambat, nafsu makan
berkurang, dermatitis
3 Defisiensi tembaga tembaga Pertumbuhan otak terganggu, rambut
jarana dan mudah patah, kerusakan
pembuluh darah nadi, kelainan tulang
4 Hipokalemi kalium Lemah otot, gangguan jantung
5 Defisiensi klor klor Rasa lemah, cengeng
6 Defisiensi Fluor Fluor Resiko karies dentis (kerusakan gigi)
7 Defisiensi krom krom Pertumbuhan kurang, sindroma like
diabetes melitus
8 Hipomagnesemia magnesium Defisiensi hormon paratiroid
9 Defisiensi Fosfor Fosfor Nafsu makan menurun, lemas
10 Defisiensi Iodium Iodium Pembesaran kelenjar gondok,
gangguan fungsI mental,
perkembangan fisik
PENANGANAN KESULITAN MAKAN PADA penyandang AUTIS
Pendekatan dan penanganan terbaik pada kasus kesulitan makan pada penyandang
autis bukanlah hanya dengan pemberian vitamin nafsu makan, tetapi harus dilakukan
pendekatan yang cermat, teliti dan terpadu. Pemberian vitamin nafsu makan hanya akan
mengaburkan penyebab Kesulitan makan tersebut. Sering terjadi orang tua dalam
menghadapi masalah kesulitan makan pada anaknya telah berganti-ganti dokter dan telah
mencoba berbagai vitamin tetapi tidak kunjung membaik.
Beberapa langkah yang dilakukan pada penatalaksanaan kesulitan makan pada
anak yang harus dilakukan adalah : (1). Pastikan apakah betul anak mengalami kesulitan
makan (2) Cari penyebab kesulitan makanan pada anak, (3). Identifikasi adakah komplikasi
yang terjadi, (4) Pemberian pengobatan terhadap penyebab, (5). Bila penyebabnya
gangguan saluran cerna (seperti alergi, intoleransi atau coeliac), hindari makanan tertentu
yang menjadi penyebab gangguan.
Bila terdapat kesulitan makan yang berkepanjangan lebih dari 2 minggu sebaiknya
harus segera berkonsultasi dengan dokter keluarga atau dokter anak yang biasa merawat.
Dengan penanganan awal namun kesulitan makan tidak membaik hingga lebih 1 bulan
disertai dengan gangguan kenaikkan berat badan dan belum bisa dipastikan penyebabnnya
maka sebaiknya dilakukan penanganan beberapa disiplin ilmu. Koordinator penanganannya
adalah dokter anak atau dokter tumbuh kembang anak. Dokter anak yang merawat harus
mengkonsultasikan ke dokter spesialis anak dengan minat subspesialis tertentu untuk
menyingkirkan kelainan organik atau medis sebagai penyebab kesulitan makan tersebut.
Bila dicurigai adanya latar belakang psikologis maka kelainan makan tersebut harus
dikonsultasikan pada psikiater atau pskolog anak.
Penanganan kesulitan makan yang paling baik adalah dengan mengobati atau
menangani penyebab tersebut secara langsung. Mengingat penyebabnya demikian luas dan
kompleks bila perlu hal tersebut harus ditangani oleh beberapa disiplin ilmu tertentu yang
berkaitan dengan kelainannya. Bila dalam waktu satu bulan kesulitan makan tidak kunjung
membaik disertai penurunan atau tidak meningkatnya berat badan dan belum ditemukan
penyebabnya kita harus waspada. Sebelum menjadi lebih berat dan timbal komplikasi yang
lebih berat maka bila perlu dalam penanganan kesulitan makan tersebut harus melibatkan
berbagai disilpin ilmu kedokteran. Dokter spesialis dengan peminatan tertentu yang sering
berkaitan dengan hal ini adalah : Dokter Spesialis Anak minat gizi anak, tumbuh kembang
anak, alergi anak, neurologi anak atau psikiater anak, psikolog anak, Rehabilitasi Medis, dan
beberapa subspesialis lainnya. Bila masalah gangguan pencernaan cukup menonjol maka
sebaiknya berkonsultasi dengan dokter spesialis anak gastroenterologi, bila masalah alergi
yang dominan maka konsultasi ke dokter alergi anak demikian seterusnya.
Penyebab kesulitan makanan demikian kompleks dan luas, kadang penyebabnya
lebih dari satu bahkan satu sama lain saling mempengaruhi dan memberatkan. Sehingga
sering terjadi kebingungan pada orang tua, karena beberapa diagnosis dan penanganannya
sangat berbeda atau bertentangan antara dokter satu dengan lainnya. Perbedaan ini terjadi
karena kurangnya komunikasi antara dokter yang merawat atau mungkin juga sering terjadi
penanganan penyakit anak yang ditangani secara sepotong-sepotong. Paling ideal dalam
menangani kasus seperti ini adalah dengan cara holistik, dimana semua yang dicurigai
sebagai penyebab dicari dan ditangani secara tuntas secara bersamaan. Dokter yang harus
merawat melakukan komunikasi satu sama lainnya, baik melalui rekam medis (catatan
penyandang) atau hubungan langsung.
Gangguan pencernaan kronis pada penyandang Autis tampaknya sebagai penyebab
paling penting dalam kesulitan makan. Gangguan saluran cerna kronis yang terjadi adalah
imaturitas saluran cerna, alergi makanan, intoleransi makanan, penyakit coeliac dan
gangguan reaksi simpang makanan lainnya. Sebagian besar kelainan reaksi simpang
makanan tersebut terjadi karena adanya jenis makanan yang mengganggu saluran cerna
anak sehingga menimbulkan kesulitan makan. Berkaitan dengan hal ini tampaknya
pendekatan diet merupakan penatalaksanaan terkini yang cukup inovatif.
Penelitian yang dilakukan di Picky Eater Clinic Jakarta, dengan melakukan pendekatan
diet pada 218 anak dengan kesulitan makan. Pendeketan diet adalah dengan cara
penghindaran makanan yang berpotensi mengakibatkan reaksi simpang makanan. Setelah
dilakukan penghindaran makanan selama 3 minggu, tampak perbaikan kesulitan makan
sejumlah 78% pada minggu pertama, 92% pada minggu ke dua dan 96% pada minggu
ketiga. Gangguan saluran cerna juga tampak membaik sekitar 84% dan 94% penyandang
antara minggu pertama dan ketiga. Tetapi perbaikan gangguan mengunyah dan menelan
hanya bisa diperbaiki sekitar 30%. Pendekatan diet mungkin dapat digunakan sebagai alat
untuk mendiagnosis gangguan saluran cerna yang ada, tanpa harus menggunakan
pemeriksaan laboratorium yang mahal dan invasif.m Perbaikkan yang terjadi pada
gangguan kesulitan makan, gangguan saluran cerna tersebut ternyata juga diikuti oleh
perbaikkan pada gangguan perilaku yang menyertai seperti gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, gangguan emosi dan sebagainya. Demikian pula pada penyandang Aiutis,
pendekatan penanganan tersebut selain memperbaiki permasalahan makan yang dihadapi
diharapkan sekaligus ikut memperbaiki beberapa gangguan perilaku yang terjadi.
Penanganan dalam segi neuromotorik dapat melalui pencapaian tingkat kesadaran
yang optimal dengan stimulasi sistem multisensoris, stimulasi kontrol gerak oral dan refleks
menelan, teknik khusus untuk posisi yang baik. Penggunaan sikat gigi listrik kadang
membantu msnstimulasi sensoris otot di daerah mulut. Tindakan yang tampaknya dapat
membantu adalah melatih koordinasi gerakan otot mulut adalah dengan membiasakan
minum dengan memakai sedotan, latihan senam gerakan otot mulut, latihan meniup balon
atau harmonika. Terapi okupasi yang diberikan pada penyandang Autis yang berkaitan
dengan perbaikkan koordinasi motorik mulut juga akan membantu sekaligus mengatasi
problem kesulitan makan.
Pemberian vitamin tertentu sering dilakukan oleh orang tua atau dokter pada kasus kesulitan
makan pada anak. Tindakan ini bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, bila
tidak disertai dengan mencari penyebabnya. Kadangkala pemberian vitamin justru menutupi
penyebab gangguan tersebut, kalau penyebabnya tidak tertangani tuntas maka keluhan
tersebut terus berulang. Bila penyebabnya tidak segera terdeteksi maka anak akan
tergantung dengan pemberian vitamin tersebut, padahal bila kita tidak waspada terdapat
beberapa akibat dari pemberian obat-obatan dan vitamin dalam jangka waktu yang lama.
Selain mengatasi penyebab kesulitan makan sesuai dengan penyebab, harus ditunjang
dengan cara pemberian makan yang sesuai untuk anak. Pemberian makanan yang berserat
seperti sayur kangkung, bayam, atau sawi harus disajikan dalam bentuk yang lebih halus.
Misalnya, harus diblender atau dipotong kecil dan halus. Pilihan lain dicari alternatif sayur
yang mudah dikunyah seperti wortel atau kentang. Demikian juga dengan pemberian
makanan daging sapi atau empal harus berupa bakso, perkedel atau daging yang tidak
berserat. Bila kesulitan dalam makan nasi sebaiknya dibuat nasi yang lebih lembek atau
kalau perlu bubur.
Anak dengan gangguan makan, kebiasaan dan perilaku makannya berbeda dengan
anak yang sehat lainnya. Keadaan ini biasanya terjadi jangka panjang, pada beberapa
kasus seperti alergi makanan keadaan akan membaik setelah usia setelah usia 5-7 tahun.
Pada kasus penyakit coeliac atau intoleransi makanan terjadi dalam waktu yang lebih lama
bahkan tidak sedikit yang terjadi hingga dewasa.
PENUTUP
Faktor utama penyebab kesulitan makan pada penyandang Autis adalah gangguan
proses koordinasi motorik mulut (gangguan mengunyah dan menelan) dan gangguan nafsu
makan. Gangguan tersebut sangat berkaitan dengan gangguan saluran cerna yang dialami
penyandang Autis. Pendekatan diet eliminasi provokasi makanan adalah cara yang ideal
untuk mencari penyebab sekaligus penanganan gangguan saluran cerna tersebut.
Gangguan saluran cerna penyandang Autis dapat disebabkan karena alergi makanan,
intoleransi makanan, intoleransi gluten (celiac) atau reaksi simpang makanan lainnya.
Penanganan kesulitan makan pada penyandang Autis harus dilakukan sejak dini secara
optimal. Sehingga dapat dicegah komplikasi kesulitan makan dan gangguan tumbuh
kembang lainnya. Perbaikan saluran cerna sebagai salah satu cara penanganan masalah
kesulitan makan sekaligus akan memperbaiki gangguan perilaku yang terjadi pada
penyandang Autis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry 1988 Mar; 27(2): 252-3.
2. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13 (Suppl 2): 17.
3. Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal abnormalities in children with
autistic disorder. J Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-63.
4. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May 26; 318(21):
1390-2.
5. Agus Firmansyah.Aspek. Gastroenterology problem makan pada bayi dan anak. Pediatric Nutrition Update,
2003.
6. Berg, Frances., ed. Afraid to Eat: Children and Teens in Weight Crisis. Hettinger, ND: Healthy Weight Institute,
402 S. 14th St., Hettinger, ND 58639, 1996.
7. Hirschmann, Jane R., CSW, and Zaphiropoulos, Lela, CSW. Preventing Childhood Eating Problems: A
Practical, Positive Approach to Raising Children Free of Food & Weight Conflicts Carlsbad, CA: Grze
Books, 1993
8. Kubersky, Rachel. Everything You Need to Know about Eating Disorders New York: Rosen Publishing Group,
1992.
9. Levine, Michael, PhD, and Hill, Laura, PhD. A 5-Day Lesson Plan on Eating Disorders: Grades 7-12 Tulsa, OK:
NEDO, 1996.
Maine, Margo, PhD. Father Hunger: Fathers, Daughters, & Food Carlsbad, CA: Grze Books, 1991.
10. Judarwanto Widodo, Kesulitan makan pada penyandang alergi dengan gastroenteropati Atopi. (tidak
dipublikasikan).
11. Soepardi Soedibyo, Sri Nasar. Feeding problem from nutrition perspective.Pediatric nutrition update,2003.
12. Bryant-Waugh R., Lask B. Eating Disorders in Children. Journal of Child Psychology and Psychiatry and
Allied Disciplines 36 (3), 191-202, 1995.
13. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
14. Goyal RK, Hirano I. The enteric nervous system. N Engl J Med 1996;334:1106-1115.




Terapi Autisme dengan Diet dan Makanan. 15 November 2009

Zaman sekarang sangat mudah bertemu dengan anak yang autis disekeliling kita.
Saya sering sangat kasihan melihat keadaan anak-anak yang autis ini harus
menanggung akibat dari sesuatu yang bukan karena kesalahan mereka.

Terlebih lagi tidak banyak orang tua yang tahu harus berbuat apa, seperti contohnya
ada seorang ibu yang terus memberikan lolly pop kepada anaknya yang autis untuk
menenangkan sang anak. Ini adalah perbuatan ibarat menyiram api dengan bensin,
akan semakin memperparah kondisi sang anak.

Semoga penjelasan kami yang singkat dan sangat terbatas ini dapat mendorong
para orang tua yang memiliki anak yang autis untuk belajar memahami lebih jauh
karakteristik penyakit ini dan mau mempelajari lebih lanjut hal-hal yang dapat
memperbaiki kualitas hidup sang anak, bahkan menjadi sembuh secara total.

Autisme adalah penyakit yang masih misterius hingga saat ini. Spektrum autis
sangat luas dan kompleks, mulai dari keadaan tidak dapat berbicara, tidak bisa
bergaul dengan orang lain, hingga kesulitan mengkoordinasikan otot-otot tubuh
secara baik. Secara fisik anak yang autis umumnya tampak seperti anak yang
normal namun secara perilaku mereka suka melakukan hal-hal yang aneh, dan
kadang kala perilaku yang mengganggu.

Gejala autis sudah bisa terlihat sejak lahir atau sebelum usia tiga tahun. Gejala yang
umum antara lain adalah: tidak suka dipeluk, tatapan mata kosong/ tidak mau
bertatatapan mata, sukar berkomunikasi dan berinteraksi, seolah memiliki dunianya
sendiri, sulit menggunakan bahasa verbal, suka menggerak-gerakkan badan atau
kaki, dsb. Anak yang autis cendrung hyperaktif dan sukar mengendalikan emosi.

Gejala ini berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lain, sehingga itu
sebabnya penyakit autis disebut juga Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau
Gangguan Spektrum Autistik (GSA).

Dulu penyakit autis sangat jarang ditemukan, pada pertengahan 1980-an
diperkirakan sekitar 1 anak per 2.000 kelahiran mengalami autis., namun prevalensi
autisme meningkat sangat pesat belakangan ini. Menurut Autism Research Institute
di San Diego, jumlah penderita autis pada tahun 2007 diperkirakan 1:150 anak
terdiagnosa menderita autis, lebih dari 12 kali lipat. Autisme lebih banyak terjadi
pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 4:1

Semakin awal gejala autisme dapat terdeteksi dan dilakukan tindakan penanganan
yang tepat, akan semakin besar kemungkinan anak tersebut dapat mengalami
pemulihan yang optimal.

Apa penyebab Autisme?

Hingga saat ini tidak diketahui apa penyebab penyakit ini. Ada satu debat yang
menarik yaitu mengenai vaksin MMR yang dicurigai mentrigger meledaknya kasus
autisme yang begitu hebat selama kurang lebih dua puluh tahu terakhir.
Penjelasan resmi dari pihak yang berkompeten mengatakan bahwa tidak ada
hubungan apapun antara autisme dengan vaksin MMR, namun sebagaimana
diketahui, bahwa semenjak pertengahan 1980-an,saat mana vaksin MMR mulai luas
digunakan, pada saat yang sama terjadi ledakan penderita autis secara dramatis.
Lalu sejak 2001, dimana zat tambahan/ preservative untuk vaksin bernama
Thimerosal tidak lagi digunakan, semenjak itu kasus autis menurun cukup siknifkan.
Untuk diketahui saja, Thimerosal mengandung logam berat merkuri dalam jumlah
yang jauh diatas ambang batas normal, jumlah yang cukup untuk meracuni otak.

Yang memprihatinkan lagi ialah, bahwa zat Thimerosal ini bukan hanya terdapat
pada vaksin MMR, namun juga terdapat pada beberapa vaksin lainnya.
Sampai tahun 1989 anak prasekolah hanya mendapatkan 3 jenis vaksin , yaitu polio,
DPT dan MMR. Tahun 1999 vaksin yang direkomendasikan pada anak pra-sekolah
meningkat hingga 22 vaksin yang diberikan sebelum anak mencapai kelas 1 SD.
Bisa dibayangkan seberapa banyak logam berat itu meracuni tubuh dan otak.

Namun kita bukan mau menyalahkan MMR atau vaksin yang lain, karena banyak
juga anak yang terselamatkan melalui pemberian vaksin ini. Nasehat yang bisa di
berikan adalah konsultasikan baik-baik dengan dokter, periksa kesehatan bayi
secara benar apakah dalam kondisi fit sebelum vaksin ini diberikan.

Faktor lain yang sangat masuk akal menjadi pemicu autis adalah alergi dan
intoleransi tubuh, racun yang menumpuk pada tubuh melalui makanan yang
dimakan, nutrisi yang sangat kurang karena makanan yang diolah dizaman
modern ini sedemikian rupa sehingga kandungan gizinya menjadi sangat jauh
berkurang. Disamping itu anak yang tidak mendapatkan ASI juga berisiko lebih
tinggi terkena autis.

Terapi apa yang bisa digunakan?

Hari ini fokus kita terutama kepada terapi melalui nutrisi dan diet.

Cara terbaik untuk menangani autis adalah melalui cara alami, ini jauh lebih
efektif dari obat kedokteran manapun, disamping jelas tidak ada efek sampingnya.
Memang perlu diakui, cara alami untuk penanganan autis ini adalah pekerjaan yang
sangat berat dan melelahkan, semoga kasih sayang kita kepada anak-anak kita ini
dapat mengalahkan pekerjaan berat dan melelahkan itu.

Secara garis besar, penanganan secara alami melibatkan penyembuhan sistem
pencernaan, menghindari segala makanan yang mengandung protein susu berupa
kasein dan protein dari nabati berupa gluten, menghindari segala bentuk alergi dan
intoleransi, pemberian makanan dengan nutrisi yang baik untuk mendukung sistem
pencernaan, detoksifikasi hati, peningkatan sistem kekebalan tubuh dan pemenuhan
nutrisi yang penting bagi otak.
Jika semua ini diperhatikan dan dijalankan, kemungkinan besar anak-anak ini dapat
pulih atau setidaknya akan sangat tertolong.

Seberapa efektif terapi dengan nutrisi ini? Berikut adalah cerita Habbo seorang anak
penderita autis yang sembuh, satu study kasus oleh European Laboratory of
Nutrients in the Netherlands.

Habbo didiagnosa menderita autis pada umur empat tahun. Dia mengalami masalah
serius dalam berbicara dan bahasa. Demikian juga perkembangan sosial dan
emosional yang jauh tertinggal.
Habbo kemudian dibawa ke klinik yang ada hubungannya dengan European
Laboratory of Nutrients. Setelah dianalisa ditemukan bahwa anak ini kekurangan
lima jenis vitamin, yaitu vitamin A, beta-carotene, B3, B5 dan biotin, serta tiga jenis
mineral yaitu magnesium, zinc dan selenium. Lalu didapati tingkat kandungan lemak
omega 3 dan omega 6 GLA, serta asam amino taurine dan carnitine dalam tubuhnya
sangat rendah.

Analisa lebih lanjut menunjukkan sistem pencernaannya sangat payah, flora usus
yang abnormal dengan indikasi infeksi oleh yeast, test juga menunjukkan ia sensitif
terhadap produk susu serta beberapa makanan yang lain.

Kondisi seperti ini adalah hal yang umum bagi penderita autis.

Lalu terapi yang diberikan berupa makanan yang bebas dari susu dan kasein,
pemberian supplemen untuk mengatasi kekurangan nutrisi tadi, lalu kemudian diberi
obat anti jamur (Nystatin).

Pada umur enam tahun, dia sudah dapat memasuki sekolah untuk anak normal.
Dan menurut evaluasi Autism Research Institute's kemajuan yang dicapai adalah:

Kemampuan Bicara/ bahasa dari 36 naik ke 89%
Kemampuan sosialisasi dari 13 naik ke 68%
Kepekaan sensorik/cognitive dari 22 naik ke 97%
Kesehatan fisik dan perilaku dari 64 naik ke 96%
Dimana angka 100% menunjukkan tidak ada gejala autis.

Pada waktu ulang tahun ke lima, dia sama sekali tidak tertarik dengan hadiah dan
tamu-tamu. Setahun setelah evaluasi, yaitu sebelum umur delapan tahun dia sudah
dapat membuat daftar hadiah yang dia inginkan, termasuk komputer, dan pada saat
ulang tahun, sangat senang menerima tamu-tamu.

Dari contoh kasus ini bisa dilihat bahwa dengan koreksi diet dan makanan dapat
memberikan perbaikan yang sangat siknifikan dari penyakit autis ini.

Apa terapi yang harus diikuti agar dapat seperti Habbo sembuh hampir total dari
autisnya?

Sebagaimana diketahui gejala dari autisme sangat beragam, demikian juga pemicu/
triger dari penyakit ini, oleh karena itu pedoman diet bagi anak autis juga sangat
bervariasi. Perhatian dan pengalaman orang tua sangat diperlukan untuk mengatur
makanan yang dapat menghindarkan anak dari meningkatnya gejala autis.

Survey atas efektifitas metode diet dan terapi biomedis terhadap penderita
autis.

Dalam survey yang diadakan oleh Autism Research Institute terhadap anak autis
untuk melihat pengaruh metoda diet tertentu terhadap efek perilaku sang anak,
hasilnya sebagai berikut:

Metode Lebih buruk Sama saja Lebih baik
Candida Diet 3% 41% 56%
Feingold Diet 2% 42% 56%
Gluten- /Casein-Free Diet 3% 31% 66%
Hilangkan Coklat 2% 47% 51%
Hilangkan Telur 2% 56% 41%
Hilangkan Susu/ Produk Susu 2% 46% 52%
Hilangkan Gula 2% 48% 50%
Hilangkan Gandum 2% 47% 51%
Diet Rotasi 2% 46% 51%
Diet Karbohidrat spesifik 7% 24% 69%

Lebih buruk Sama saja Lebih baik

Calcium: 3% 62% 35%
Cod Liver Oil 4% 45% 51%
Detoxification. (Chelation): 3% 23% 74%
Enzim pencernaan 3% 39% 58%
DMG (Dimethylglycine / B15) 8% 51% 42%
Asam lemak 2% 41% 56%
Folic Acid 4% 53% 43%
Food Allergy Treatment 3% 33% 64%
Melatonin 8% 27% 65%
P5P (Vit. B6) 12% 37% 51%
Vitamin A 2% 57% 41%
Vitamin B3 4% 52% 43%
Vitamin B6 with Magnesium 4% 48% 48%
Vitamin B12 (oral) 7% 32% 61%
Vitamin C 2% 55% 43%
Zinc 2% 47% 51%


Beberapa tips bagi penderita autis:

1. Diet tanpa gluten dan tanpa kasein (GFCF)

Diet yang mulai populer saat ini adalah diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti
menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.
Gluten adalah protein yang terdapat di tepung gandum /terigu, rye, dan barley, oat,
semolina, millet, quinoa, dll.
Yang membingungkan adalah kebanyakan kandungan gluten ini tersembunyi pada
makanan yang sudah diolah, jadi perlu hati-hati dalam memilih makanan yang telah
siap, baca baik-baik kandungan pada kemasannya.

Berikut ini beberapa jenis makanan yang mengandung gluten dan harus dihindari:

Roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, Hydrolyzed
Vegetable Protein. Sebagai alternatif, biasanya digunakan beras dan bahan dasar
jagung, singkong, ubi, talas, tapioca, bihun, soun,dll.

Makanan yang mengandung kasein, yaitu susu dan produk susu: es krim, keju,
mentega, coklat susu,yogurt,dll. Sebagai pengganti protein gunakan susu kedelai
(tapi juga tidak boleh terlalu banyak), tahu, kacang hijau, kacang merah, dll.

2. Diet anti-yeast/ragi/jamur

Anak yang autis sering ditemukan mengalami masalah pada usus mereka dimana
terdapat banyak mikroorganisme yang merugikan seperti bakteri, jamur, ragi, dan
parasit lainnya. Untuk mengatasinya hindari konsumsi gula, makanan yang
mengandung yeast dan jamur. Selain itu dapat pula diberikan obat anti jamur
(Nystatin) atau arang yang cukup efektif dalam mengendalikan jamur yang
merugikan itu.

3. Kekurangan lemak esensial.
Kekurangan lemak esensial adalah hal yang umum pada penderita autis. Riset
menunjukkan bahwa penderita autis mengalami kerusakan enzimatik yang
mengakibatkan pembuangan lemak esensial dari membran sel otak berlangsung
lebih cepat dari seharusnya. Oleh karena itu, mereka perlu mengkonsumsi lebih
banyak lemak esensial.
Dimanakan terdapat lemak esensial ini? Yaitu di Flaxseed untuk mendapatkan
lemak omega 3, berbagai jenis kacang-kacangan namun bukan kacang tanah, serta
berbagai lemak tidak jenuh penting lainnya seperti yang terdapat pada minyak
zaitun, alpukat, dll.

4. Masalah alergi/ sensitif terhadap makanan.
Salah satu faktor siknifikan terhadap autis adalah karena bahan makanan dan bahan
kimia yang nyasar melalui aliran darah menuju otak karena kesalahan pencernaan
dan penyerapan.
Untuk menghindari hal ini, satu-satunya jalan adalah menghindari makanan yang
menimbulkan alergi tadi, dan makanan-makan yang patut dicurigai sebagai biang
keladinya adalah: Susu dan segala produk yang mengandung susu/ kasein,
Gandum dan segala makanan yang mengandung gluten, coklat, pewarna buatan,
obat-obatan seperti paracetamol, buah sitrus,dll.

5.Cukupi akan kebutuhan nutrisi penting.
Jika dalam pemeriksaan laboratorium ditemukan kekurangan nutrisi seperti pada
kasus Habbo, segera koreksi makanan yang kaya dengan nutrisi yang kurang tadi.
Beberapa yang penting adalah: Vitamin B6, magnesium, Zinc, Vitamin C,
molybdenum, probiotik dan prebiotik yang berkualitas. Semua ini usahakan dari
sumber yang alami, namun bila mendesak, gunakan supplemen yang berkualitas
dan dapat dipercaya.















Autisme merupakan gejala pada manusia yang telah dibawa sejak lahir atau ketika balita ( di
bawah 3 tahun ) yang menyebabkan penderita tidak bisa membentuk sosiaal atau
berkomunikasi secara normal. Kasus autisme di indonesia pada khususnya dan di dunia pada
khususnya semakin banyak dijumpai, hal itu karena pengaruh orang tua saat hamil yang
mengkonsumsi makanan yang dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal inilah yang harus
menjadi perhatian bagi anda para orang tua agar anak yang dilahirkan tidak mengalami
kelainan dan autisme.


Anak yang menderita autis tidak lantas dicampakkan dan diterlantarkan, karena
bagaimanapun juga itu adalah anak kita yang lahir dari rahim seorang ibu dan wajib diberikan
kasih sayang dan perhatian penuh. Para orang tua seharusnya bertindak demikian, hendaknya
jika anda memiliki anak yang menderita autisme maka berikanlah kasih sayang kepadanya,
rawatlah dia dengan sebaik-baik perawatan. Banyak kasus yang menunjukkan angka fantastis
mengenai penelantaran anak autis. Hal inilah yang anda harus hindari, karena jika orang tua
memberikan kasih sayang yang tulus dan dengan dibantu upaya-upaya penyembuhan maka
sangat mungkin akan sembuh. Berbicara mengenai upaya penyembuhan bagi penderita
autisme maka pada kesempatan kali ini Constiti akan memberikan informasi yang lengkap
dan absah tentang Terapi Untuk Penyembuhan Autisme Terlengkap.

Berikut adalah beberapa terapi bagi penderita autisme :

1. Terapi fisik
Penderita autis khususnya anak-anak biasanya mengalami gangguan syaraf motorik. Biasanya
anak yang menderita autis mengalami gejala seperti jalan yang tidak kuat, atau bahkan belum
bisa berjalan pada usia yang seharusnya sudah bisa berjalan. Hal ini disebabkan karena anak-
anak penderita autis memiliki tonus otot yang lembek sehingga mengalami gejala seperti
yang dicontohkan di atas. Salah satu terapi yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan
fisioterapi dan terapi integrasi sensoris.Menurut penelitian ilmiah, terapi ini akan sangat
membantu anak agar otot-ototnya menjadi lebih kuat dan mampu meningkatkan
keseimbangan tubuh.

2. Terapi visual
Anak penderita autis secara umum lebih mudah belajar dengan cara visual ( visual learning).
Untuk itu anda sebagai orang tua bisa memberikan terapi visual kepada anak anda yang autis
sebagai salah satu solusi. Terapi visual sangat mudah didapatkan, misalnya dengan video
game atau dengan PECS ( Picture Exchange Communication System), atau dengan visual-
visual lain. Terbukti secara medis terapi visual ini dapat meningkatkan kemampuan syaraf
penderita autis dan melatih komunikasi.


2. Terapi bermain
Anak yang mengalami autisme membutuhkan hubungan sosial dengan teman-teman
sebayanya, maka dari itu anak penderita autis bisa diberikan terapi bermain. Terapi bermain
dapat meningkatkan kemampuan berbicara, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan
berinteraksi dengan orang lain. Hal ini bisa anda lakukan sendiri atau melalui jasa terapis.

4. Terapi wicara
Terapi wicara dianggap sebagai terapi wajib bagi andak autis karena hampir semua anak
penderita autis memiliki kesulitan dalam berucap sehingga sulit berkomunikasi dengan orang
lain. Terapi wicara ini akan melatih anak autistik dalam berkomunikasi dan berbahasa.
Meskipun demikian orang tua harus sabar dan tidak boleh menyerah dalam melatih anak
autis, karena melatih anak autis tidak seperti melatih anak-anak normal.

5. Applied Behavioral Analysis (ABA)
Jenis terapi ini sangat populer di indonesia sehingga mayoritas orang tua menggunakan jenis
terapi ini untuk penyembuhan anak autis. ABA adalah memberi pelatihan khusus pada anak
dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian) kepadanya atas pencapaian-
pencapaian tertentu. Dengan metode ini orang tua bisa mengukur sejauh mana perkembangan
anak autis. Terapi ini dikenal juga dengan istilah terapi perilaku. Tujuan dari terapi ini adalah
mengurangi agresivitas pada anak autis, karena anak autis cenderung hiperaktif dan mudah
mengamuk. Selain itu terapi ini juga bertujuan menambahkan perilaku yang kurang pada
anak autis.

6. Terapi okupasi (occupational therapy)
Biasanya anak penderita autis mengalami kesulitan dalam ketrampilan dan gerakannya. Hal
ini dikarenakan anak autis memiliki keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Nah,
sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan ketrampilan anak autis anda bisa menggunakan
terapi okupasi ini. Terapi okupasi ini mampu meningkatkan kemampuan anak dan
memperbaiki kualitas hidup mereka, baik di rumah maupun di sekolah. Terapis akan
membantu mengenalkan, mempertahankan, dan meningkatkan keterampilan anak. Dengan
cara ini, penderita autisme diharapkan bisa hidup semandiri mungkin.

7. Terapi sosial
Terapi sosial dibutuhkan untuk membantu anak penderita autis agar lebih mudah
berkomunkasi dan berinteraksi dengan teman-teman sebaya atau orang lain. Karena pada
umumnya anak autis mengalami kesulitan dalam berucap dan berkomunikasi dua arah. Oleh
karena itu anda bisa mengajak anak autis untuk bermain bersama teman-teman sebayanya di
tempat yang menyenangkan dan dengan suasana yang ceria.

8. Terapi perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai
terapi perkembangan. Caranya dengan mempelajari minat anak, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, dan kemudian ditingkatkan kemampuan sosialnya, emosionalnya dan
intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih
mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.

9. Terapi biomedik
Anak yang menderita autis biasanya mengalami gangguan metabolisme yang akan
berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini diperiksa secara
intensif baik darah, urine, feses, dan rambutnya. Setelah menemukan dan mengetahui
kelainan dalam tubuh anak, maka kemudian diperbaiki sehingga otak bebas dari gangguan-
gangguan dari dalam. Terapi ini memang membutuhkan biaya yang lumayan mahal, karena
dilakukan oleh tenaga ahli dan dengan peralatan yang lengkap tentunya. Walau
bagaimanapun kesembuhan anak merupakan prioritas bagi orang tua, karena ia adalah harta
yang paling berharga.

10. Terapi berkuda
Terapi ini masih sangat jarang digunakan di indonesia, karena terapi ini tergolong penemuan
baru. Terapi berkuda mampu meningkatkan konsentrasi anak autis. Anak autis menunggangi
kuda dan kuda berjalan secara pelan dan dipandu oleh terapis. Peran terapi sangat penting di
sini, karena ia lah yang akan mendampingi anak dan menganalisa perkembangannya.

Anak penderita autis tidak boleh dicampakkan dan diterlantarkan, tetapi harus diperhatikan
dan diberikan kasih sayang yang tulus. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama ada
usaha dan kerja keras serta doa.
Demikian sedikit informasi dari Constiti tentang Terapi Untuk Penyembuhan Autisme
Terlengkap. Semoga menambah wawasan anda dan bermanfaat bagi semua khususnya
orang tua.
Baca juga artikel berikut : Pantangan-Pantangan Bagi Ibu Hamil.















Deteksi dini anak AUTIS
Deteksi dini dan skrening autism (bag.1)
Ditulis pada 27 Januari, 2008 oleh binhasyim
Oleh: Dr Widodo Judarwanto SpA
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan
dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat dalam dekade terakhir ini. Dengan
adanya metode diagnosis yang kian berkembang hampir dipastikan jumlah anak yang ditemukan
terkena Autisme akan semakin besar. Jumlah penyandang autis semakin mengkhawatirkan
mengingat sampai saat ini penyebab autis masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara
para ahli dan dokter di dunia.baca selengkapnya
penyandang autis yang memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal memungkinkan tatalaksana
yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik. Deteksi dini sangat penting dan berpengaruh
terhadap prognosis penyandang. Upaya deteksi dini yang optimal diperlukan kerjasama peranan
orang dan dokter baik dokter umum atau dokter anak dalam melakukan skrening terhadap
penyandang yang dicurigai autis.
PENDAHULUAN
Kata autis berasal dari bahasa Yunani auto berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang
menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri. Pada umumnya penyandang autisma
mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi
biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka
menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang,
bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang
psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943
berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan
berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara
berkomunikasi yang aneh.
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan
dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Autis
dapat terjadipada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota, berpendidikan maupun
tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Jumlah anak yang terkena autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di Kanada
dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002
di-simpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan autis terjadi pada
60.000 15.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10-20
kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada
awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1
diantara 10 anak menderita autisma. Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini
belum diketahui berapa persisnya jumlah penyandang namun diperkirakanjumlah anak autis dapat
mencapai 150 200 ribu orang.Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 2,6 4 : 1, namun
anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat.
Deteksi dini dan Skrening autis 2
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena
multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain
berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat
bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang
terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang
mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.baca selengkapnya
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari
penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : teori kelebihan
Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), Genetik (heriditer), teori kolokistokinin, teori oksitosin Dan
Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah
penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori
Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan
Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein:
Orphanin.
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil
saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya
berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan
ditemukan adanya gangguan netabolisme metalotionin. Metalotionon adalah merupakan sistem
yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat
lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan
afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin
dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan
metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam
berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik,
antara lain pada gen pembentuk netalotianin
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang
disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari
Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles,
mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang
lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa
orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith
seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini
sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak
mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan
beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara
khusus pada penyandang autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan
merupakan sebab akibat..
Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari
sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam
hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari
Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide
menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat
pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme
bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak
normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada
semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh
darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang
kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan
bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan
mental. Nelson menyimpulkan autisme terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis
pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya,
kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap
anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab
autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika
menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi
tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam
menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
Deteksi dini dan Skrening autis
Oleh: Dr Widodo Judarwanto SpA
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan
dan keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku,
gangguan perasaan dan emosi, interaksi sosial, perasaan sosial dan gangguan dalam perasaan
sensoris.baca selengkapnya
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal meliputi kemampuan berbahasa
mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa
menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan.Berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-kata yang tidak dapat
dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam
konteks yang sesuai. Ekolalia (meniru atau membeo), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu
artinya. Bicaranya monoton seperti robot. Bicara tidak digunakan untuk komunikasi dan imik datar
Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk
bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang
atau menolak dipeluk. Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan tangan orang yang terdekat dan
berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang
lain. Saat bermain bila didekati malah menjauh. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan
orang lain dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
Gangguan dalam bermain diantaranya adalah bermain sangat monoton dan aneh misalnya
menderetkan sabun menjadi satu deretan yang panjang, memutar bola pada mainan mobil dan
mengamati dengan seksama dalam jangka waktu lama. Ada kelekatan dengan benda tertentu
seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang
satu mainan tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, tetapi lebih menyukai benda yang
kurang menarik seperti botol, gelang karet, baterai atau benda lainnya Tidak spontan, reflek dan
tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat
memulai permainan yang bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas
angin yang berputar atau angin yang bergerak. Perilaku yang ritualistik sering terjadi sulit
mengubah rutinitas sehari hari, misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila
bepergian harus melalui rute yang sama.
Gangguan perilaku dilihat dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian harus
menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya bila masuk
dalam rumah yang baru pertama kali ia datang, ia akan membuka semua pintu, berjalan kesana
kemari, berlari-lari tak tentu arah. Mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan tangannya
seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri seperti memukul kepala atau
membenturkan kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam),
duduk diam bengong dengan tatap mata kosong. Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat
sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan
akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur,
gangguan makan dan gangguan perilaku lainnya.
Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau
marah tanpa sebab nyata. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum)bila
keinginannya tidak didapatkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak.. Tidak dapat berbagi
perasaan (empati) dengan anak lain
Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya, pendengaran,
sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau
mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Menangis
setiap kali dicuci rambutnya. Meraskan tidak nyaman bila diberi pakaian tertentu. Tidak menyukai
rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan. Tidak
menyukai rabaan atau pelukan, Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan.
Responses to Penyebab autis (bag.2)
1. adi, di/pada Maret 17th, 2008 pada 3:03:28 p03 Dikatakan:
Transfer Factor Untuk Anak autis
Fakta:
Anak-anak memiliki system imun yang masih lemah dan mudah terserang infeksi yang di dapat
dari kehidupan sehari-hari dan juga dari sekolah.
Fakta:
Anak-anak bayak sekali mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar gula yang tinggi,dan
memiliki asupan yang rendah terhadap nutrisi yang penting untuk meningkatkan system
kekebalan tubuh.
Fakta:
Anak-anak mendapatkan infeksi dari lingkungan rumah dan sekolah.
Fakta:
Infeksi telinga yang meningkat membuat penggunaan antibiotic dosis tinggi meningkat pada
anak-anak.
Fakta:
Penggunaan antibiotic yang berlebihan pada anak-anak menyebabkan system imun tidak bekerja
optimal,dan membuat tingkat resistensi bakteri terhadap antibiotic meningkat.
Transfer Factor adalah alami, aman , tidak menimbulkan efek samping, dan mudah dikonsumsi
oleh anak-anak.
Anak-anak mendapatkan manfaat yang luar biasa dari transfer factor di dalam kehidupan
mereka.
Dr.David Markowitz, seorang dokter spesialis anak melakukan penelitian selama 12 bulan
terhadap transfer factor menemukan dari 88 anak yang mengkonsumsi transfer factor 2 cap per
hari selama 8 bulan, didapatkan 74% penurunan jumlah penderita penyakit,dan 84% penurunan
dalam penggunaan antibiotic pada anak-anak yang sakit.yang terpenting bahwa tidak ditemukan
adanya efek samping pada anak-anak, Dr. David mengindikasikan terjadi penghematan lebih
US$25.000 oleh group yang mengkonsumsi transfer factor dalam hal perawatan rumah-sakit,
kunjungan dokter dan biaya pengobatan.
Mengapa Anak-Anak Menbutuhkan Transfer Factor
Transfer Factor menghemat jutaan rupiah dalam biaya pengobatanTransfer Factor membantu
mencegah infeksi berulang seperti flu,amandel dan infeksi telinga.
Transfer Factor mencegah penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak perlu dengan cara
meningkatkan kekebalan dan sistem pertahanan tubuh anak-anak.
Transfer Factor terbukti aman diberikan untuk anak-anak mulai berumur 1 hari.
Transfer Factor dapat meningkatkan IQ pada anak-anak .
Transfer Factor sudah dibuktikan secara sains selama lebih 50 tahun,dan menghasilkan lebih
dari 3500 laporan uji klinis oleh para ilmuwan lebih dari 60 negara.
Transfer Factor sangat dibutuhkan oleh anak-anak mengingat begitu tingginya tingkat stress
yang didapatkan anak disekolah,sehingga dapat melemahkan system kekebalan tubuh,yang
berakibat mudahnya anak2 terkena penyakit.
Bahkan obat ini telah di coba pada penderita outis dan dua bulan terapi bicaranya sudah mulai
teratur, dia sudah tidak perlu guru pendamping dan belum lama dia menjuarai sains di
sekolahnya. Info ( adi 0858 8087 1026 )
Diagnosis autism (bag.4)
Menegakkan diagnosis autism memang tidaklah mudah karena membutuhkan kecermatan,
pengalaman dan mungkin perlu waktu yang tidak sebentar untuk pengamatan. Sejauh ini tidak
ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Untuk menetapkan diagnosis
gangguan autism para klinisi sering menggunakan pedoman DSM IV.Gangguan Autism
didiagnosis berdasarkan DSM-IV.baca selengkapnya
DiagnosIs yang paling baik adalah dengan cara seksama mengamati perilaku anak dalam
berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Banyak tanda dan gejala perilaku
seperti autism yang disebabkan oleh adanya gangguan selain autis. Pemeriksaan klinis dan
penunjang lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain
tersebut.
Karena karakteristik dari penyandang autis ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa
yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli
neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli
profesional lainnya dibidang autis.
Dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan dan
wawasan mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang
kadang dokter ahli atau praktisi kesehatan profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak
melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat
menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara
umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.
Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan
perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah
hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis
dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan
pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah
semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.
Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autis dengan yang lainnya sehingga
diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi
yang tepat.
Deteksi dini autism (bag.5)
Meskipun sulit namun tanda dan gejala autism sebenarnya sudah bisa diamati sejak dini bahkan
sejak sebelum usia 6 bulan.
1. DETEKSI DINI SEJAK DALAM KANDUNGAN
Sampai sejauh ini dengan kemajuan tehnologi kesehatan di dunia masih juga belum mampu
mendeteksi resiko autism sejak dalam kandungan. Terdapat beberapa pemeriksaan biomolekular
pada janin bayi untuk mendeteksi autism sejak dini, namun pemeriksaan ini masih dalam batas
kebutuhan untuk penelitian.baca selengkapnya
2. DETEKSI DINI SEJAK LAHIR HINGGA USIA 5 TAHUN
Autisma agak sulit di diagnosis pada usia bayi. Tetapi amatlah penting untuk mengetahui gejala
dan tanda penyakit ini sejak dini karena penanganan yang lebih cepat akan memberikan hasil yang
lebih baik. Beberapa pakar kesehatanpun meyakini bahwa merupahan hal yang utama bahwa
semakin besar kemungkinan kemajuan dan perbaikan apabila kelainan pada anak ditemukan pada
usia yang semakin muda
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak menurut usia :
USIA 0 6 BULAN
1. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3. Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
4. Tidak babbling
5. Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
6. Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
7. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 6 12 BULAN
1. Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
2. Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
3. Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4. Sulit bila digendong
5. Tidak babbling
6. Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
7. Tidak ditemukan senyum sosial
8. Tidak ada kontak mata
9. Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 6 12 BULAN
1. Kaku bila digendong
2. Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
3. Tidak mengeluarkan kata
4. Tidak tertarik pada boneka
5. Memperhatikan tangannya sendiri
6. Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
7. Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
USIA 2 3 TAHUN
1. Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
2. Melihat orang sebagai benda
3. Kontak mata terbatas
4. Tertarik pada benda tertentu
5. Kaku bila digendong
USIA 4 5 TAHUN
1. Sering didapatkan ekolalia (membeo)
2. Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
3. Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
4. Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
5. Temperamen tantrum atau agresif
DETEKSI DINI DENGAN SKRENING
Beberapa ahli perkembangan anak menggunakan klarifikasi yang disebut sebagai Zero to threes
Diagnostic Classification of Mental Health and Development Disorders of Infacy and early
Childhood.
DC-0-3 menggunakan konsep bahwa proses diagnosis adalah proses berkelanjutan dan terus
menerus, sehingga dokter yang merawat dalam pertambahan usia dapat mendalami tanda, gejala
dan diagnosis pada anak.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan secara cepat, tapi harus melalui pengamatan yang cermat dan
berulang-ulang. Dalam penegakkan diagnosis harus berkerjasama dengan orangtua dengan
mengamati perkembangan hubungan anak dengan orangtua dan lingkungannya.
Konsep DC 0-3 tersebut digunakan karena pengalaman kesulitan dalam mendiagnosis Autis atau
gangguan perilaku sejenisnya di bawah 3 tahun, khususnya yang mempunyai gejala yang belum
jelas. Faktor inilah yang menyulitkan apabila anak didiagnosis autism terlalu dini, padahal dalam
perkembangannya mungkin saja gangguan perkembanagn tersebut ada kecenderungan membaik
atau menghilang. Sehingga kalau anaknya didiagnosis Autism adalah sesuatu yang berat bagi
orang tua, seolah-olah sudah tidak harapan bagi si anak.
DIarsipkan di bawah: autisme
MSDD (Multisystem Developmental Disorders) (bag.6)
MSDD (Multisystem Developmental Disorders) adalah diagnosis gangguan perkembangan dalam
hal kesanggupannya berhubungan, berkomunikasi, bermain dan belajar. Gangguan MSDD tidak
menetap seperti gangguan pada Autistis Spectrum Disorders, tetapi sangat mungkin untuk terjadi
perubahan dan perbaikkan. Pengertian MSDD meliputi gangguan sensoris multipel dan interaksi
sensori motor. Gejala MSDD meliputi : gangguan dalam berhubungan sosial dan emosional
dengan orang tua atau pengasuh, gangguan dalam mempertahankan dan mengembangkan
komunikai, gangguan dalam proses auditory dan gangguan dalam proses berbagai sensori lain atau
koordinasi motorik
Pervasive Developmental Disorders Screening Test PDDST II (bag.7)
PDDST-II adalah salah satu alat skrening yang telah dikembangkan oleh Siegel B. dari Pervasive
Developmental Disorders Clinic and Laboratory, Amerika Serikat sejak tahun 1997. Perangkat ini
banyak digunakan di berbagai pusat terapi gangguan perliaku di dunia. Beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang cukup baik sebagai alat bantu diagnosis atau skrening Autis.baca
selengkapnya Skrening dilakukan pada umur 12-18 bulan
1. Apakah bayi anda sering terlihat bosan atau tidak berminat terhadap pembicaraan atau
suatu aktivitas di sekitarnya?
2. Apakah anak anda sering mengerjakan suatu pekerjaan atau bermain dengan suatu
benda, yang dilakukannya berulang-ulang dalam waktu yang lama, sehingga anda merasa
heran mengapa anak seumurnya dapat berkonsentrasi sangat baik?
3. Apakah anda memperhatikan bahwa anak anda dapat sangat awas terhadap suara
tertentu misalnya iklan di TV, tetapi seperti tidak mendengar suara lain yang sama
kerasnya, bahkan tidak menoleh bila dipanggil?
4. Apakah anda merasa bahwa perkembangan anak (selain perkembangan kemampuan
berbicara) agak lambat (misalnya terlambat berjalan)?
5. Apakah anak anda hanya bermain dengan satu atau dua mainan yang disukainya saja
hampir sepanjang waktunya, atau tidak berminat terhadap mainan?
6. Apakah anak anda sangat menyukai maraba suatu benda secara aneh, misalnya meraba-
raba berbagai tekstur seperti karpet atau sutera?
7. Apakah ada seseorang yang menyatakan kekuatiran bahwa anak anda mungkin
mengalami gangguan pendengaran?
8. Apakah anak anda senang memperhatikan dan bermain dengan jari-jarinya?
9. Apakah anak anda belum dapat atau tidak dapat menyatakan keinginannya, baik dengan
menggunakan kata-kata atau dengan menunjuk menggunakan jarinya?
Skrening pada umur 18-24 bulan
1. Apakah anak anda tampaknya tidak berminat untuk belajar bicara?
2. Apakah anak anda seperti tidak mempunyai rasa takut terhadap benda atau binatang
yang berbahaya?
3. Bila anda mencoba menarik perhatiannya, apakah kadang-kadang anda merasa bahwa ia
menghindari menatap mata anda?
4. Apakah anak anda suka digelitik dan berlari bersama, tetapi tidak menyukai bermain
ciluk-ba
5. Apakah ia pernah mengalami saat-saat ia menjadi kurang berminat terhadap mainan?
6. Apakah ia menghindari atau tidak menyukai boneka atau mainan berbulu?
7. Apakah ia tidak suka bermain dengan boneka atau mainan berbulu?
8. Apakah ia terpesona pada sesuatu yang bergerak, misalnya membuka-buka halaman
buku, menuang pasir, memutar roda mobil-mobilan atau memperhatikan gerakan air?
9. Apakah anda merasa bahwa kadang-kadang anak anda tidak peduli apakah anda berada
atau tidak ada di sekitarnya?
10. Apakah kadang-kadang suasana hatinya berubah tiba-tiba tanpa alasan yang jelas?
11. Apakah ia mengalami kesulitan untuk bermain dengan mainan baru, walaupun setelah
terbiasa ia dapat bermain dengan mainan tersebut?
12. Apakah ia pernah berhenti menggunakan mimik yang sudah pernah dikuasainya, seperti
melambaikan tangan untuk menyatakan da-dah, mencium pipi, atau menggoyangkan kepala
untuk menyatakan tidak?
13. Apakah anak anda sering melambaikan tangan ke atas dan ke bawah di samping atau di
depan tubuhnya seperti melambai-lambai bila merasa senang?
14. Apakah anak anda menangis bila anda pergi, tetapi seperti tidak peduli saat anda datang
kembali?
Penafsiran :
Bila ada 3 atau lebih jawaban Ya untuk nomor ganjil di antara semua pertanyaan tersebut, anak
harus diperiksa lebih lanjut untuk menentukan apakah ia mengalami autisme. Bila ada 3 atau lebih
jawaban Ya untuk nomor genap di antara semua pertanyaan tersebut, anak harus diperiksa
apakah ia mengalami gangguan perkembangan selain autisme.
Deteksi autism dengan CHAT (Checklist Autism in Toddlers, diatas usia 18
bulan) (bag.8)
Ditulis pada 27 Januari, 2008 oleh binhasyim
Deteksi dini dan Skrening autis
Terdapat beberapa perangkat diagnosis untuk skreening (uji tapis) pada penyandang autism sejak
usia 18 bulan sering dipakai di adalah CHAT (Checklist Autism in Toddlers). CHAT
dikembangkan di Inggris dan telah digunakan untuk penjaringan lebih dari 16.000 balita.
Pertanyaan berjumlah 14 buah meliputi aspek-aspek : imitation, pretend play, and joint attention.
Menurut American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The
Pediatricians Role in Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children.
Pediatrics !107 : 5, May 2001) baca selengkapnyaBAGIAN A.
Alo anamnesis (keterangan yang ditanyakan dokter dan diberikan oleh orang tua atau orang lain
yang biasa mengasuhnya)
1. Senang diayun-ayun atau diguncang guncang naik-turun (bounced) di lutut ?
2. Tertarik (memperhatilan) anak lain ? 3. Suka memanjat benda-benda, seperti mamanjat
tangga ? 4. Bisa bermain cilukba, petak umpet ?
5. Pernah bermain seolah-olah membuat secangkir teh menggunakan mainan berbentuk
cangkir dan teko, atau permainan lain ? 6. Pernah menunjuk atau menerima sesuatu dengan
menunjukkan jari ?
7. Pernah menggunakan jari untuk menunjuk ke sesuatu agar anda melihat ke sana ?
8. Dapat bermain dengan mainan yang kecil (mobil mainan atau balok-balok) ?
9. Pernah memberikan suatu benda untuk menunjukkan sesuatu ?
BAGIAN B. Pengamatan
1. Selama pemeriksaan apakah anak menatap (kontak mata dengan) pemeriksa ?
2. Usahakan menarik perhatian anak, kemudian pemeriksa menunjuk sesuatu di ruangan
pemeriksaan sambil mengatakan : Lihat, itu. Ada bola (atau mainan lain) Perhatikan
mata anak, apakah anak melihat ke benda yang ditunjuk. Bukan melihat tangan pemeriksa
3. Usahakan menarik perhatian anak, berikan mainan gelas / cangkir dan teko. Katakan
pada anak anda : Apakah kamu bisa membuatkan secangkir susu untuk mama ?
Diharapkan anak seolah-olah membuat minuman, mengaduk, menuang, meminum. Atau
anak mampu bermain seolah-olah menghidangkan makanan, minuman, bercocok tanam,
menyapu, mengepel dll.
4. Tanyakan pada anak : Coba tunjukkan mana anu (nama benda yang dikenal anak dan
ada disekitar kita). Apakah anak menunjukkan dengan jarinya ? Atau sambil menatap
wajah anda ketika menunjuk ke suatu benda ?
5. Dapatkah anak anda menyusun kubus / balok menjadi suatu menara ?
Interpretasi
1. Risiko tinggi menderita autis : bila tidak bisa melakukan A5, A7, B2, B3, dan B4
2. Risiko kecil menderita autis : tidak bisa melakukan A7 dan B4
3. Kemungkinan gangguan perkembangan lain : tidak bisa melakukan >3
4. Dalam batas normal : tidak bisa melakukan <3
Keterangan :
Pertanyaan A5, 7 dan B2, 3, 4 paling penting. Anak yang tidak bisa melakukan hal-hal tersebut
ketika di uji 2 kali (jarak 1 bulan) semua kemudian terdiagnosis sebagai autis ketika berumur 20
42 bulan. Tetapi anak dengan keterlambatan perkembangan yang menyeluruh juga tidak bisa
melakukannya. Oleh karena itu perlu menyingkirkan kemungkinan retardasi mental
Pemeriksaan yang dilakukan (bag.9)
Deteksi dini dan Skrening autis
Penegakan diagnosis Autis adalah melalui diagnosis klinis atau hanya bersarkan pengamatan
langsung dan tidak langsung (melalui wawancara orang tua atau anamnesa). Sehingga dalam
penegakkan diagnosis autis sebenarnya tidak harus menggunakan pemeriksaan laboratorium yang
sangat banyakl dan sanngat mahal. Tidak ada satupun pemeriksaan medis yang dapat memastikan
suatu diagnosis Autism pada anak. Tetapi terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat menunjang
diagnosis yang dapat digunakan sebagai dasar intervensi dan strategi pengobatan. Sehingga
pemeriksaan penunjang laboratorium hanyal untuk kepentiangan strategi penatalaksanaan semata
dan bukan sebagai alat diagnosis.baca selengkapnya
Bila terdapat gangguan pendengaran harus dilakukan beberapa pemeriksaan Audio gram and
Typanogram. EEG untuk memeriksa gelombang otak yang mennujukkan gangguan kejang,
diindikasikan pada kelainan tumor dan gangguan otak.. Pemeriksaan lain adalah skrening
gangguan metabolik, yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urine untuk melihat
metabolisme makanan di dalam tubuh dan pengaruhnya pada tumbuh kembang anak. Beberapa
spectrum autism dapat disembuhkan dengan diet khusus.MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan
CAT Scans (Computer Assited Axial Tomography): sangat menolong untuk mendiagnosis
kelainan struktur otak, karena dapat melihat struktur otak secara lebih detail. Pemeriksaan genetic
dengan melalui pemeriksaan darah adalah untuk melihat kelainan genetik, yang dapat
menyebabkan gangguan perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkkan bahwa penyandang
autism telah dapat ditemukan pola DNA dalam tubuhnya.
Observasi secara langsung (bag.10)
Untuk dapat melakukan penilaian yang cermat tentang penyimpangan perilaku pada anak sangat
penting dilakukan observasi secara langsung. Observasi secara langsung ini meliputi interaksi
langsung, penilaian fungsional dan penilaian dasar bermain.
Observasi langsung yangs erring dilakukan adalah dengan melakukan interaksi langsung dengan
anak dan diikuti dengan wawancara terhadap orangtua dan keluarga. Informasi tentang emosi
anak, sosial, komunikasi, kemampuan kognitif dapat dilakukan secara bersamaan melalui interaksi
langsung, observasi dalam berbagai situasi, dan wawancara atau anamnesa dengan orangtua dan
pengasuhnya. Orang tua dan anggota lainnya harus ikut aktif dalam penilaian tersebut.baca
selengkapnya
Observasi langsung lainnya adalah dengan melakukan penilaian fungsional. Tujuan penilaian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana bisa terjadi perubahan perilaku seperti perilaku gerakan yang
aneh, perilaku bicara yang khas dan sebagainya. Berdasarkan pertimbangan itu bahwa perubahan
perilaku adalah suatu cara untuk berkomunikasi dengan lingkungan. Penilaian fungsional termasuk
wawancara, observasi langsung dan interaksi secara langsung untuk mengetahui apakah anak
menderita autism atau dikaitkan ketidakmampuan dalam komunikasi melalui perilaku
anak.Penilaian secara fungsional ini akan membantu dalam perencanaan intervensi atau terapi
okupasi yang harus diberikan.
Penilaian dasar bermain juga merupakan observasi langsung yang penting untuk dilakukan.
Penilaian ini melibatkan orang tua, guru, pengasuh atau anggota keluarga lainnya untuk
mengamati situasi permainan yang dapat memberikan informasi hubungan sosial, eomosional,
kognitif dan perkembangan komunikasi. Dengan mengetahui kebiasaan belajar anak dan pola
interaksi melalui penilaian permainan, pengobatan secara individual dapat direncanakan.
Peranan orang tua dan dokter dalam deteksi dini autisme (bag.11 akhir)
Dalam perkembangannya menjadi manusia dewasa, seorang anak berkembang melalui tahapan
tertentu. Diantara jenis perkembangan, yang paling penting untuk menentukan kemampuan
intelegensi di kemudian hari adalah perkembangan motorik halus dan pemecahan masalah visuo-
motor, serta perkembangan berbahasa. Kemudian keduanya berkembang menjadi perkembangan
sosial yang merupakan adaptasi terhadap lingkungan. Walaupun kecepatan perkembangan setiap
anak berbeda-beda, kita harus waspada apabila seorang anak mengalami keterlambatan
perkembangan atau penyimpangan perkembangan. bacaUntuk mendeteksi keterlambatan
khususnya gangguan , dapat digunakan 2 pendekatan :baca selengkapnya
Memberikan peranan kepada orang tua, nenek, guru atau pengasuh untuk melakukan deteksi dini
dan melaporkan kepada dokter bila anak mengalami keterlambatan atau gangguan perkembangan
dan perilaku. Kerugian cara ini adalah bahwa orang tua sering menganggap bahwa anak akan dapat
menyusul keterlambatannya dikemudian hari dan cukup ditunggu saja. Misalnya bila anak
mengalami keterlambatan bicara, nenek mengatakan bahwa ayah atau ibu juga terlambat bicara,
atau anggapan bahwa anak yang cepat jalan akan lebih lambat bicara. Kadang-kadang disulitkan
oleh reaksi menolak dari orang tua yang tidak mengakui bahwa anak mengalami keterlambatan
bicaraPendekatan lainnya adalah dengan deteksi aktif yang dapat dilakukan dokter atau dokter
spesialis anak. Deteksi aktif ini dengan membandingkan kemampuan seorang anak dapat
melakukan peningkatan perkembangan yang sesuai dengan baku untuk anak seusianya.
Pendekatan kedua juga mempunyai kelemahan yaitu akan terlalu banyak anak yang diidentifikasi
sebagai abnormal karena banyak gangguan perilaku penyandang autis pada usia di bawah 2
tahun juga dialami oleh penyandang yang normal. Sehingga beberapa klinisi bila kurang cermat
dalam melakukan deteksi aktif ini dapat mengalami keterlambatan dalam penegakkan diagnosis.
Tampaknya peranan orangtua sangatlah penting dalam mendeteksi gejala autis sejak dini.
Orangtua harus peka terhadap perkembangan anak sejak lahir. Kepekaan ini tentunya harus
ditunjang dengan peningkatan pengetahuan tentang perkembangan normal pada anak sejak dini.
Informasi tersebut saat ini sangat mudah didapatkan melalui media cetak seperti buku kesehatan
populer, koran, tabloid, majalah dan media elektronik seperti televisi, internet dan sebagainya.
Orang tua juga harus peka terhadap kecurigaan orang lain termasuk pengasuh, nenek, kakek karena
mereka sedikitnya telah mempunyai pengalaman dalam perawatan anak.
Peranan orang tua untuk melaporkan kecurigaannya dan peran dokter untuk menanggapi keluhan
tersebut sama pentingnya dalam penatalaksanaan anak. Bila dijumpai keterlambatan atau
penyimpangan harus dilakukan pemeriksaan atau menentukan apakah hal tersebut merupakan
variasi normal atau suatu kelainan yang serius. Jangan berpegang pada pendapat :Nanti juga akan
membaik sendiri atau Anak semata-mata hanya terlambat sedikit tanpa pemeriksaan yang
cermat. Akibat yang terjadi diagnosis yang terlambat dan penatalaksanaan yang semakin sulit.
Langkah yang harus dilakukan adalah dengan melakukan uji tapis atau skrening gangguan perilaku
atau autis pada anak yang dicurigai yang dapat dilakukan oleh dokter.
Kemampuan penilaian skrening Autis ini hendaknya juga harus dipunyai oleh para dokter umum
atau khususnya dokter spesialis anak. Dokter hendaknya harus cermat dalam melakukan penilaian
skrening tersebut. Bila mendapatkan konsultasi dari orangtua pasien yang dicurigai Autis atau
gangguan perilaku lainnya sebaiknya dokter tidak melakukan penilaian atau advis kepada orangtua
sebelum melakukan skrening secara cermat. Banyak kasus dijumpai tanpa pemeriksaan dan
penilaian skrening Autis yang cermat, dokter sudah berani memberikan advis bahwa masalah anak
tersebut adalah normal dan nantinya akan membaik dengan sendirinya. Hambatan lainnya yang
sering dialami adalah keterbatasan waktu konsultasi dokter, sehingga pengamatan skrening
tersebut kadang sering tidak optimal. Orang tua sebaiknya tidak menerima begitu saja advis dari
dokter bila belum dilakukan skrening Autis secara cermat. Bila perlu orangtua dapat melakukan
pendapat kedua kepada dokter lainnya untuk mendapatkan konfirmasi yang lebih jelas.
Sebaliknya sebelum cermat melakukan penilaian, dokter sebaiknya tidak terburu-buru memvonis
diagnosis Autis terhadap anak. Overdiagnosis Autis kadang menguntungkan khususnya dalam
intervensi dini, tetapi dilain pihak juga dapat merugikan khususnya dalam menghadapi beban
psikologis orang tua. Orangtua tertentu yang tidak kuat menghadapi vonis autis tersebut
kadangkala akan menjadikan overprotected atau overtreatment kepada anaknya. Selain itu keadaan
seperti itu dapat meningkatkan beban biaya pengobatan anak. Bukan menjadi rahasia lagi, bahwa
orangtua penyandang Autis sangat banyak mengeluarkan biaya konsultasi pada berbagai dokter,
terapi okupasi, pemeriksaan laboratorium yang kadang mungkin belum perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American of Pediatrics, Committee on Children With Disabilities. Technical Report : The Pediatricians Role in
Diagnosis and Management of Autistic Spectrum Disorder in Children. Pediatrics !107 : 5, May 2001)
2. Anderson S, Romanczyk R: Early intervention for young children with autism: A continuum-based behavioral models.
JASH 1999; 24: 162-173.
3. APA: Diagnostic and statistic manual of mental disorders. 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric
Association; 1994.
4. Bettelheim B: The Empty Fortress: Infantile Autism and the Birth of the Self. New York, NY: Free
5. Buka SL, Tsuang MT, Lipsitt LP: Pregnancy/delivery complications and psychiatric diagnosis. A prospective study.
Arch Gen Psychiatry 1993 Feb; 50(2): 151-6.
6. Burd L, Kerbeshian J: Psychogenic and neurodevelopmental factors in autism. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry
1988 Mar; 27(2): 252-3.
7. Burd L, Severud R, Kerbeshian J, Klug MG: Prenatal and perinatal risk factors for autism. J Perinat Med 1999; 27(6):
441-50.
8. Cohen DJ, Volkmar FR: Handbood of Autism and Pervasive Developmental Disorders. NY: Wiley; 1996.
9. Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, et al: Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J
Pediatr 1999 Nov; 135(5): 559-63.
10. Johnson MH, Siddons F, Frith U, Morton J: Can autism be predicted on the basis of infant screening tests? Dev Med
Child Neurol 1992 Apr; 34(4): 316-20.
11. Lainhart JE, Piven J: Diagnosis, treatment, and neurobiology of autism in children. Curr Opin Pediatr 1995 Aug;
7(4): 392-400.
12. Lovaas I: The Autistic Child: Language Development through Behavior Modification. NY: Irvington Press; 1977.
13. Lovaas OI, Koegel RL, Schreibman L: Stimulus overselectivity in autism: a review of research. Psychol Bull 1979
Nov; 86(6): 1236-54.
14. Poustka F, Lisch S, Ruhl D, et al: The standardized diagnosis of autism, Autism Diagnostic Interview- Revised:
interrater reliability of the German form of the interview. Psychopathology 1996; 29(3): 145-53.
15. Singer HS: Pediatric movement disorders: new developments. Mov Disord 1998; 13 (Suppl 2): 17.
16. Skjeldal OH, Sponheim E, Ganes T, et al: Childhood autism: the need for physical investigations. Brain Dev 1998
Jun; 20(4): 227-33.
17. Teitelbaum P, Teitelbaum O, Nye J, et al: Movement analysis in infancy may be useful for early diagnosis of autism.
Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov 10; 95(23): 13982-7.
18. Volkmar FR: DSM-IV in progress. Autism and the pervasive developmental disorders. Hosp Community Psychiatry
1991 Jan; 42(1): 33-5.
19. Volkmar FR, Cicchetti DV, Dykens E, et al: An evaluation of the Autism Behavior Checklist. J Autism Dev Disord
1988 Mar; 18(1): 81-97.
20. Volkmar FR, Cohen DJ: Neurobiologic aspects of autism. N Engl J Med 1988 May 26; 318(21): 1390-2.
21. Vostanis P, Smith B, Chung MC, Corbett J: Early detection of childhood autism: a review of screening instruments
and rating scales. Child Care Health Dev 1994 May-Jun; 20(3): 165-77.
22. Vostanis P, Nicholls J, Harrington R: Maternal expressed emotion in conduct and emotional disorders of childhood. J
Child Psychol Psychiatry 1994 Feb; 35(2): 365-76.
23. Werner E, Dawson G, Osterling J, Dinno N: Brief report: Recognition of autism spectrum disorder before one year
of age: a retrospective study based on home videotapes. J Autism Dev Disord 2000 Apr; 30(2): 157-62.
24. Wilkerson DS, Volpe AG, Dean RS, Titus JB. Perinatal complications as predictors of infantile autism. Int J
Neurosci 2002 Sep;112(9):1085-98
25. Yirmiya N, Sigman M, Freeman BJ: Comparison between diagnostic instruments for identifying high- functioning
children with autism. J Autism Dev Disord 1994 Jun; 24(3): 281-91.














Peluang Sembuh Penderita Autisme Sudah Terbuka
Jangan mematok gejala autisme hanya pada kontak mata. banyak
orangtua terkecoh dan akhirnya menyesal karena mengabaikan gejala-gejala lain. Kini
autisme menyeruak satu di setiap 150 batita.

Istilah autisme berasal dari kata "auto" yang berarti berdiri sendiri. Istilah ini diperkenalkan
oleh Leo Kramer pada tahun 1943 karena melihat anak autisme memiliki prilaku aneh,
terlihat acuh dengan lingkungan dan cenderung menyendiri seakan-akan hidup dalam dunia
yang berbeda. Perilaku aneh yang tergolong gangguan perkembangan berat ini terjadi karena
adanya kerusakan saraf dibeberapa bagian otak.

Menurut Dr. Rudy sutadi, SpA, spesialis anak dari Pusat Terapi Kid Autis, kerusakan
saraf otak ini muncul karena banyak faktor, termasuk masalah genetik dan faktor
lingkungan. Autisme terbagi dua. Disebut autisme klasik manakala kerusakan saraf
sudah terdapat sejak lahir, karena sewaktu mengandung, ibu terinfeksi virus, seperti
rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang
berdampak menagacaukan proses pembentukan sel-sel saraf di otak janin.

Jenis kedua disebut autisme regresif. Muncul saat anak berusia antara 12 sampai 24
bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun tiba-tiba saat usia anak
meninjak 2 tahun kemampuan anak merosot. Yang tadinya sudah bisa membuat
kalimat 2 sampai 3 kata berubah diam dan tidak lagi berbicara. Anak terlihat acuh dan
tidak mau melakukan kontak mata. Kesimpulan yang beredar di klangan ahli
menyebutkan autisme regresif muncul karena anak terkontaminasi langsung oleh faktir
pemicu. Yang paling disorot adalah paparan logam berat terutama merkuri dan timbal
dari lingkungan.

Sebuah harapan

Dulu penyandang autisme dianggap tidak punya masa depan, sekarang peluang sembuh
terbuka lebar. Anak autisme dikatakan sembuh bila mampu mengikuti sekolah reguler,
berkembang dan hidup mandiri di tengah masyarakat dengan tidak menunjukkan gejala sisa.
kini di luar negeri sudah ada anak autisme yang bersekolah sampai S3, menikah, dan
memiliki anak bahkan menjadi pejabat. Kunci kesembuhan anak autisme ada dua, yaitu
intervensi terapi perilaku dengan metode ABA dan intervensi biomedis. ABA
merupakan singkatan dari Applied Behaviour analysis(ABA). Dipergunakan pertama
kali dalam penanganan autisme oleh Lovaas, sehingga disebut dengan metode Lovaas.
Metode ini melatih anak berkemampuan bahasa, sosial, akademis, dan kemampuan
membantu diri sendiri. Pada tahun 1967, Lovaas sudah membuktikan ABA bisa
memperbaiki ketidaknormalan anak autisme dnan tingkat keberhasilan sampai 89
persen. Sedangkan Intervensi biomedis diperlukan untuk membenahi kerusakan sel-sel
tubuh akibat keracunan logam berat dan mengusir kendala-kendala yang menghalangi
masuknya nutrisi ke otak. Intervensi biomedis menuntut anak untuk menjalani diet
tertentu. Jenis makanan yang dipantang bergantung kondisi seberapa parah keracunan
yang terjadi. Umumnya anak autisme dilarang mengkonsumsi susu sapi dan makanan
mengandung tepung terigu.

Diet Susu Sapi dan Terigu

Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan terigu mengandung protein gluten. Menurut
Rudy, tubuh anak-anak autis tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna. Uraian
senyawa yang tidak sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai morfin.
Ini terbukti dengan ditemukannya kandungan morfin yang bercirikan kasein dan gluten pada
tes urine anak-anak autisme. Keberadaan morfin jelas mempengaruhi kerja otak dan pusat-
pusat saraf sehingga anak berprilaku aneh dan sulit berinteraksi dengan lingkungannya.
"Makanya anak autisme berprilaku seperti anak morfinis. kadang-kadang saja bisa
berinteraksi dengan lingkungannya tapi hanya sementara kemudian ngawur lagi" kata Rudy.
Dengan diet kasein dan gluten dapat meminimalkan gangguan morfin dan merangsang
kemampuan anak menerima terapi ABA.

Deteksi autisme

Amati gerak balita Anda, sebab gejala autisme muncul pada fase usia 0-3 tahun ada banyak
gejala autisme. sekalipun ada kontak mata, jika anak menunjukkan gejala autisme lain,
sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter saraf anak atau ahli kejiwaan anak untuk
memastikan diagnosa autisme. Diagnosa bisa dipercaya bila dokter melakukan test dengan
kriteria DSM IV atau ICD-10.

Indikator perilaku autistik pada anak-anak Bahasa dan Komunikasi

* Ekspresi wajah datar
* Tidak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh
* Jarang memulai komunikasi
* Tidak meniru aksi dan suara
* Bicara sedikit atau tidak ada
* Mengulangi atau membeo kata-kata, kalimat-kalimat, atau nyanyian
* Mengucapkan intonasi atau ritme vokal yang aneh
* Tampak tidak mengerti arti kata. Kalau mengerti dan menggunakan kata secara terbatas

Hubungan dengan orang Tidak responsif

* Tidak ada senyum sosial
* Tidak berkomunikasi dengan mata
* Kontak mata terbatas
* Tampak asyik bila dibiarkan sendirian
* Tidak melakukan permainan giliran
* Menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat untuk melakukan sesuatu

Hubungan dengan lingkungan Bermain repetitif atau diulang-ulang

* Marah dan tidak menghendaki perubahan
* Berkembangnya rutinitas yang kaku
* Memperlihatkan ketertarikan yang sangat pada sesuatu dan tidak fleksibel

Respon terhadap rangsangan Panik terhadap suara-suara tertentu
* Sangat sensitif terhadap suara
* Bermain dengan cahaya dan pantulan
* Memainkan jari-jari di depan mata
* Menarik diri ketika disentuh
* Sangat tidak suka dengan pakaian, makanan, atau hal-hal tertentu
* Tertarik pada pola, tekstur, atau bau tertentu
* Sangat inaktif atau hiperaktif
* Mungkin suka memutar-mutar sesuatu, bermain berputar-putar, membentur-benturkan
kepala, atau menggigit pergelangan
* Melompat-lompat atau mengepak-ngepakan tangan
* Tahan atau berespon aneh terhadap nyeri

Kesenjangan perkembangan perilaku Kemampuan akan sesuatu mungkin sangat baik
atau sangat terlambat

* Mempelajari keterampilan di luar urutan normal. Misal : membaca tapi tidak mengerti arti
* Menggambar secara rinci tapi tidak bisa mengancingkan baju
* Pintar memainkan puzzle tapi amat sukar mengikuti perintah
* Berjalan pada usia normal, tapi tidak bisa berkomunikasi
* Lancar membeo bicara, tapi sulit memulai bicara dari diri sendiri (inisiatif komunikasi)
* Suatu waktu dapat melakukan sesuatu, tapi di lain waktu tidak

Vaksinasi: Manfaat dan Bahaya

Dalam tubuh sekelompok anak autisme di AS yang sebelumnya berkali-kali menjalani
imunisasi ditentukan kandungan merkuri di atas kadar normal. Bagaimana merkuri
bisamasuk ke dalam tubuh anak? ternyat, beberapa jenis vaksin mengandung pengawet
thimerosal. Hampir 50 persen senyawa ini terdiri dari etilmerkuri.

Fakta lain tentang kaitan vaksin dan autismen diungkapkan Andrew Wakefield sekitar tahun
1998. Dokter asal Inggris ini memaparkan pemberian vaksin kombinasi MMR
(Measles,Mumps,dan Rubella) untuk mencegah penyakit campak, gondong dan rubella
(campak jerman) sekalipun vaksin tersebut tidak mengandung merkuri.

Rudy menjelaskan MMR berisikan tiga viurs, diberikan pada anak dengan harapan anak
dapat langsung memiliki tiga natibodi. Pada anak-anak tertentu, kedatangan tiga virus
sekaligus menimbulkan reaksi autoimun dimana zat yang seharusnya melindungi malah
menyerang tubuh, tepatnya yang serang bagian selubung serabut saraf otak.

Saat ini belum satu pun negara melarang penggunaan vaksin-vaksin tersebut, mengingat
keberadaannya diperlukan untuk mencegah wabah penyakit berbahaya di masyarakat luas.
Negara maju seperti AS pun baru tahap memerintahkan produsen untuk emnghentikan
pembuatan vaksin ber-thoimerosal dan segera memproduksi vaksin bebas merkuri. Stok
vaksin bermerkuri masih digunakan. Bila produksi vaksin baru telah mencukupi kebutuhan
negaranya, barulah vaksin "bermasalah" ditarik dari peredaran.

karenanya Rudy menyarankan dalam melakukan vaksinasi sebaiknya para orangtua lebih
mengutamakan kondisi individu anak. Bila di lingkungan keluarga besar ada yang mengidap
autisme, kelainan genetik seperti down syndrown, atau penyakit autoimun seperti lupus dan
jantung rematik, anak beresiko mengidap autisme. Tetap berikan imunisasi untuk melindungi
anak dari penyakit menular, tetapi lakukan dengan yang cara lebih teliti. Mintalah dokter
memberikan vaksinasi measles,mumps,dan rubella dengan jadwal terpisah berjarak sekitar 3
bulan antara satu dengan yang lainnya.
Hubungan Terapi Diet Bebas Gluten dan
Kasein dengan Perkembangan Anak
Autisme (kode099)
Leave a comment
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak-anak adalah generasi penerus harapan bangsa. Pembentukan anak-anak untuk menjadi
generasi penerus berkualitas tinggi, baik fisik maupun mental, tentunya menjadi tanggung
jawab kita bersama. Namun, saat ini pertumbuhan dan perkembangan anak-anak banyak
mengalami gangguan, tidak hanya masalah kesehatan tapi juga gangguan psikis. Salah satu
gangguan kesehatan pada anak-anak yang patut mendapat perhatian khusus dari semua
kalangan yaitu gangguan perkembangan, yang dikenal dengan istilah autisme (Hembing,
2003).
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi (Rahmayanti, 2008). Adanya
gangguan pada setiap tahap akan menyebabkan hambatan pada tahap selanjutnya, sehingga
deteksi dini, monitor dan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya intervensi
dini merupakan upaya penting untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan (Tiel,
2006).
Saat ini prevalensi anak dengan hambatan perkembangan prilaku telah mengalami
peningkatan yang sangat mengejutkan tidak hanya di negara-negara maju seperti Inggris,
Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia.
Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau 0,15-0,20%, jika
angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di
Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun, prevalensi anak laki-laki tiga sampai
empat kali lebih besar daripada anak perempuan (Mashabi & Tajuddin, 2009). Para ahli
memprediksi bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari
keseluruhan popoulasi anak diseluruh dunia (Hembing, 2004).
Ada beberapa teori umum penyebab autisme, antara lain teori psikososial, teori biologis
dan teori imunologi. Teori biologis meliputi faktor genetik, faktor perinatal, model
neuroanatomy, dan hipotesis neurochemistry. Salah satu kelainan yang terjadi pada
anak autisme adalah kelainan saraf pusat di otak, diduga ada beberapa daerah di otak
mengalami disfungsi. Kelainan inilah yang diduga dapat mendorong timbulnya
gangguan perilaku pada anak autisme (Widyawati, 2002).
Intoleransi terhadap bahan kimia dan makanan diduga sebagai penyebab autisme. Makanan
pantangan utama meliputi gandum, susu sapi, dan obat golongan salisilat. Reaksi alergi yang
timbul berupa asma, dan perilaku yang memburuk. Pada penelitian buta ganda yang
menggunakan placebo sebagai makanan control dengan diet ketat selama 3 sampai 4 minggu
memperlihatkan kekambuhan gangguan perilaku yang disebabkan pemberian kembali semua
jenis makanan. Penelitian ini membuktikan bahwa diet mempunyai kontribusi terhadap
kelainan perilaku walupun mekanismenya masih tidak tidak jelas apakah mekanisme
alergi, toksik atau farmakologikal (Waring, 1999)
Beberapa jenis makanan yang mengandung gluten dan kasein merupakan salah satu
faktor yang dapat memperburuk kondisi anak. Pengaturan makanan yang sesuai
dengan kondisi dan kecukupan zat gizi anak autisme dapat memperbaiki gangguan
yang diderita anak (Hariyadi, 2009).
Survei awal yang Peneliti lakukan di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan yang beralamat di
Kota, menunjukkan bahwa terapi yang diberikan di sekolah tersebut berupa terapi perilaku
yang diterapkan dengan metoda ABA (Applied Behavioral Analysis), terapi okupasi, terapi
wicara, terapi musik dan terapi diet. Terapi diet yang diberikan adalah diet bebas gluten,
kasein, zat aditif, jamur, dan gula murni.
Diet bebas gluten dan kasein (CFGF, Casein Free Gluten Free) adalah terapi yang
dilaksanakan dari dalam tubuh dan apabila dilaksanakan dengan terapi lain, seperti
terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okupasi yang bersifat fisik akan lebih baik.
Setelah mengikuti dan menjalani diet bebas gluten dan kasein, banyak anak autisme
mengalami perkembangan pesat dalam kemampuan bersosialisasi dan mengejar
ketinggalan dari anak-anak lain (Danuatmaja, 2004). Adanya terapi diet yang harus
dijalani penderita autis ditujukan untuk melihat adanya perubahan perkembangan
pada anak autisme (Budhiman, 2002).
Hasil penelitian oleh Nanin dan Umi (2010) menyebutkan bahwa terdapat bahwa dari 55
anak autisme yang diterapi di yayasan tersebut, sebanyak 35 anak juga menjalani diet bebas
gluten dan kasein. Dari 35 anak yang menjalani diet bebas gluten dan kasein hanya sebagian
kecil yang menjalani diet dengan ketat dan disiplin yaitu sebanyak 19 anak.
Pada setiap 3 bulan, orang tua anak didik diberikan laporan berupa evaluasi program yang
telah dicapai oleh anak didik dan perubahan perkembangan yang telah dicapai. Kemajuan
yang dicapai oleh anak bersifat individual dan setiap anak yang di terapi tidak mempunyai
target waktu yang ditentukan karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai jangka
waktu yang pasti dan tergantung dari banyak hal.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui hubungan terapi diet bebas
gluten dan kasein dengan perkembangan anak autisme di Lembaga Pendidikan dan
Pelatihan.
B. Masalah Penelitian
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah ada hubungan terapi diet bebas gluten
dan kasein dengan perkembangan anak autisme di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan terapi diet bebas gluten dan kasein dengan perkembangan anak
autisme di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik penderita autisme berdasarkan usia, jenis kelamin dan usia pada
saat awal diagnosa.
b. Mengetahui diet bebas bahan makanan sumber gluten pada anak autisme.
c. Mengetahui diet bebas bahan makanan sumber kasein pada anak autisme.
d. Mengetahui perkembangan anak autisme.
e. Mengetahui hubungan diet bebas bahan makanan sumber gluten dengan perkembangan
anak autisme.
f. Mengetahui hubungan diet bebas bahan makanan sumber kasein dengan perkembangan
anak autisme.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
Sebagai pengalaman yang sangat berharga dan tambahan pengetahuan dalam melakukan
penelitian secara ilmiah selama mengikuti pendidikan di Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes.
2. Bagi instansi terkait
Memberikan informasi sebagai upaya pengembangan dalam penanganan perilaku anak
autisme di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, khususnya berkaitan dengan pengaturan
makan.





Search

Nursing Site
Catatan kuliah, Jurnal Penelitian, Sharing Keperawatan

Home
Label
Jurnal Luar
Organisasi
Jurnal Keperawatan
Health
Contact Us
Translate
Powered by Translate

Ns. Heri Saputro
Lihat profil lengkapku

Other
Bahaya duduk lama, Saat Anak Bertanya Tentang Seks~Share, Terapi Kejang Listrik,
PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP KECERDASAN EMOSI PADA ANAK AUTIS
9/11/2012 Jurnal Keperawatan 2 comments
Oleh : Wiwik Endang Susilowati
1
,Yuly Peristyowati
2
, Prima Dewi Kusumawati
2



Latar Belakang : Musik terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembangan IQ
(Inteligent Quotient) dan EQ (Emotional Quotient). Anak autis mengalami gangguan
perkembangan yang kompleks sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan
komunikasi, perilaku dan kecerdasan emosionalnya.
Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh terapi musik klasik terhadap kecerdasan emosi
pada anak autis.
Metode Penelitian : Jenis penelitian ini menggunakan desain Pre-Eksperiment, One-
group pra-post test design dengan populasi seluruh siswa siswi di Pusat Terapi Autis Cahaya
Ananda Kepatihan Tulungagung. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi
sebanyak 16 responden dengan teknik pengambilan sampling secara Total Sampling. Waktu
penelitian dimulai tanggal 10 Maret - 30 Maret 2012. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan lembar observasi. Data yang telah terkumpul diolah dengan uji statistik
Wilcoxon dengan kemaknaan < 0,05.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan kecerdasan emosional anak autis
yaitu kecerdasan emosional sebelum terapi musik sebagian besar adalah cukup yaitu 8
responden (50 %) dari 16 responden, dan sesudah terapi musik sebagian besar adalah cukup
yaitu 7 responden (43%) dari 16 responden.
Kesimpulan : Ada pengaruh terapi musik klasik terhadap kecerdasan emosional anak autis
dengan uji wilcoxon dengan hasil p-value = 0,007 yang berarti kurang dari 0,05, sehingga
tolak H0, yang berarti ada pengaruh terapi musik klasik terhadap kecerdasan emosi pada
anak autis
Kata Kunci : Terapi musik klasik, kecerdasan emosional, anak autis





Pendahuluan

Musik terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembanngan IQ (Intelegent
Quotient) dan EQ (Emotional Quotient). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa
mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya
dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik (Christanday,2007). IQ
menyumbang paling banyak 20% bagi kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80%
ditentukan oleh Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan
persiapan untuk menghadapi gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan hidup. Banyak bukti
yang memperlihatkan bahwa orang yang secara emosional cakap mengetahui dan
menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, serta mampu membaca dan menghadapi
perasaan orang lain dengan efektif, memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan
(Anonymous, 2004). Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi, dengan demikian pola asuh yang diterapkan pada anak harus
mencakup hal-hal yang mendukung terciptanya peningkatan kecerdasan emosi pada anak,
pemberian pola asuh yang baik akan sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan
emosi pada anak dan perkembangan sosial anak, oleh sebab itu seorang ayah juga wajib
berperan aktif dalam memberikan asuhan pada anak.
Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan system syaraf pusat yang
ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak kanak hingga masa sesudahnnya
(Purwati, 2007). Salah satu penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak
anak, yang berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan maupun
setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya kongenital Rubella, Herpez Simplex
Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection (Kurniasih, 2002).
Prevalensi autisme pada anak berkisar 2 5 penderita dari 10.000 anak anak dibawah 12
tahun. Sedangkan prevalensi anak autis disertai dengan keterbelakangan mental
perbandinganya meningkat, sebanyak 20 pasien dari 10.000 anak (Pratiwi, 2007). Adapun
rasio perbandingannya 3 anak laki laki dan 1 anak perempuan (3 : 1). Dengan kata lain,
anak laki laki lebih rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan.
Bahkan diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan
mencapai 60% dari keseluruhan populasi anak di seluruh dunia (Purwati, 2007).
Dari hasil studi pendahuluan tentang pengukuran kecerdasan emosi anak autis yang
dilakukan di Pusat Terapi Autis Cahaya Ananda di Kelurahan Kepatihan, Tulungagung
pada tanggal 4 Desember 2011 terhadap 3 anak autis. Ditemukan 2 anak mempunyai
kecerdasan emosi sedang dan 1 anak mempunyai kecerdasan emosi rendah . Hal ini
membuktikan bahwa rata - rata anak autis mengalami gangguan kecerdasan emosi.
Anak Autisme mengalami gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh
adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan
komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori, dan belajar (Ginanjar, 2001). Anak
autisme sering terisolasi dari lingkungan dan hidup di dunianya sendiri, tidak bisa berbicara
secara normal, berkomunikasi, berhubungan dengan orang lain dan belajar berinteraksi
dengan seseorang. Penyandang autisme pada umumnya tidak mampu mengembangkan
permainan yang kreatif dan imajinatif. Oleh karena itu mereka membutuhkan stimulasi agar
bisa mengembangkan daya kecerdasan emosidan imajinasinya untuk dapat bersosialisasi
dengan orang lain (Pratiwi, 2007). Terapi autisme menurut Tjin Wiguna (2002) yang ditulis
oleh Astuti (2007) adalah penatalaksanaan anak dengan gangguan autisme secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk mengurangi masalah perilaku dan untuk
meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan anak sesuai atau paling sedikit
mendekati anak seusianya dan bersifat multi disiplin yang meliputi: (1) terapi perilaku
berupa ABA (Applied Behaviour Analysis), (2) terapi biomedik (medikamentosa), (3) terapi
tambahan lainnya yaitu, terapi wicara, terapi sensory integration, terapi musik, terapi diet,
dll .
Menurut Astuti (2007) juga menemukan bahwa musik dapat, memperbaiki kepercayaan
diri, mengembangkan ketrampilan sosial, menaikkan perkembangan motorik persepsi dan
perkembangan psikomotor. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan ahli saraf
dari Universitas Harvard, Mark Tramo, (2006). Ia mengatakan, di dalam otak terdiri dari
jutaan neuron yang menyebar di otak akan menjadi aktif saat mendengarkan musik.
Rangsangan neuron itulah yang meningkatkan kecerdasan. Maka dari itu, diperlukan suatu
kerjasama antara tenaga pendidik, tenaga medis, termasuk perawat serta psikiatri atau
psikolog agar dapat mendeteksi dini dan untuk penanganan secara cepat dan tepat bagi para
penderita autis (Pratiwi, 2007)

Metode

Jenis penelitian ini adalah Pra Eksperimental Pre Post Test Design dengan Seluruh
siswa siswi autis di Pusat Terapi Autis Cahaya Ananda yang didiagnosa autis murni,
berjumlah 16 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah Seluruh siswa siswi autis di Pusat
Terapi Autis Cahaya Ananda yang didiagnosa autis murni, berjumlah 16 orang. Teknik
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total sampling, yaitu tehnik
penentuan sampel yang di gunakan bila jumlah populasi relative kecil, kurang dari 30 orang,
atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil
(Sugiyono, 2006)
Lokasi penelitian dilaksanakan di Lokasi dalam penelitian ini di lakukan di di Pusat
Terapi Autis Cahaya Ananda di Kelurahan Kepatihan, Tulungagung. Waktu penelitian ini di
lakukan pada tanggal 10 Maret 2012 sampai dengan 30 Maret 2012. Instrumen yang dipakai
dalam penelitian ini yaitu alat pemutar musik dari perangkat tape recorder dan lembar
observasi kecerdasan untuk mengukur tingkat kecerdasan emosional anak. Pengumpulan
data dilakukan dengan mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan rekomendasi
dari Ka-Prodi S1 Keperawatan STIKES Surya Mitra Husada - Kediri dan permintaan ijin
kepada Kepala Pusat Terapi Autis Cahaya Ananda di Kelurahan Kepatihan Tulungagung.
Setelah data terkumpul dengan observasi, selanjutnya dilakukan pengolahan data, yang
meliputi pengecekan kelengkapan data (editing), pemberian nilai (scoring), pemberian kode
(coding) dan tabulasi data (tabulating). Data kemudian dianalisa dengan menggunakan uji
Wilcoxon.



Hasil

Kecerdasan emosional anak autis setelah terapi musik :
Kecerdasan Emosional Jumlah Prosentase
Kurang
Cukup
Baik
3
7
6
19 %
43 %
38 %
Total 16 100 %

Karakteristik Responden Berdasarkan Derajat Autis :
Derajat Autisme Jumlah Prosentase
Ringan
Sedang
Berat
10
3
3
62 %
19 %
19 %
Total 16 100 %

Uji statistik dilakukan dengan menggunakan uji wilcoxon

Kecerdasan_emosi_posttest -
Kecerdasan_emosi_pretest
Z -2.714
a

Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Based on negative ranks
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
.007

Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon dengan program SPSS for Windows 16.0, diketahui
bahwa nilai p-value adalah 0,007, yang berarti kurang dari 0,05, sehingga tolak H0 yang
berarti ada pengaruh terapi musik klasik terhadap kecerdasan emosi pada anak autis di
Pusat Terapi Autis Cahaya Ananda Kepatihan Tulungagung. Hal ini didukung oleh data
tabulasi silang sebelum terapi musik klasik dengan sesudah terapi musik klasik, dan
diketahui bahwa pula terdapat 5 responden yang sebelum terapi musik memiliki kecerdasan
emosional yang kurang dan sesudah terapi musik memiliki kecerdasan emosional yang
cukup, serta 5 responden yang sebelum sebelum terapi musik memiliki kecerdasan
emosional yang cukup dan sesudah terapi musik memiliki kecerdasan emosional yang baik.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penemuan para peneliti bahwa musik dapat
meningkatkan kreativitas, memperbaiki kepercayaan diri, mengembangkan ketrampilan
sosial, menaikkan perkembangan motorik persepsi dan perkembangan psikomotor
(Astuti,2007). Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan ahli saraf dari
Universitas Harvard, Mark Tramo , M.D (2006) yang ditulis oleh Pratiwi, 2007, ia
mengatakan bahwa di dalam otak kita yang terdiri dari jutaan neuron yang menyebar di otak
akan menjadi aktif saat mendengarkan musik. Hal inilah yang menyebabkan aliran impuls
listrik antar sel berangsur angsur kembali normal, sehingga terjadi keseimbangan
neurotransmitter yang membantu anak untuk berimajinatif dalam rangka meningkatkan
kreativitas. lewat tulisan-tulisannya. Ia percaya bahwa objek dari terapi Menurut Margaret
Anderton (2002), seorang guru piano berkebangsaan Inggris, yang mengemukakan tentang
efek alat musik (khusus untuk pasien dengan kendala psikologis) karena hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa timbre (warna suara) musik dapat menimbulkan efek terapeutik.
Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa terdapat peningkatan kecerdasan
emosional anak autis melalui terapi musik klasik, dimana terdapat 5 responden yang
sebelum terapi musik memiliki kecerdasan emosional yang kurang dan sesudah terapi musik
memiliki kecerdasan emosional yang cukup, serta 5 responden yang sebelum sebelum terapi
musik memiliki kecerdasan emosional yang cukup dan sesudah terapi musik memiliki
kecerdasan emosional yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa terapi musik klasik bisa
meningkatkan kecerdasan emosional pada anak autis, baik dalam aspek intra pribadi
(mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi diri, serta memotivasi diri) maupun
aspek antar pribadi (memahami emosi orang lain / empati dan membina hubungan dengan
orang lain). Hal ini merupakan suatu kondisi yang harus dilakukan secara rutin dan
kontinyu agar didapatkan hasil yang maksimal yang bisa membantu perkembangan anak
autis selanjutnya

Kesimpulan

Berdasarkan hasil uji statistik Wilcoxon diketahui nilai p-value adalah 0,007, yang berarti
kurang dari 0,05, sehingga tolak H0 yang berarti ada pengaruh terapi musik klasik terhadap
kecerdasan emosi pada anak autis di Pusat Terapi Autis Cahaya Ananda Kepatihan
Tulungagung.

Dalam melakukan penelitian ini peneliti memiliki beberapa keterbatasan yaitu:
1. Karakteristik responden yang didapatkan penulis hanya sebatas berdasarkan umur dan
jenis kelamin, masih banyak karakteristik lain yang harusnya ditampilkan oleh peneliti,
terutama yang berhubungan dengan penyebab terjadinya autisme.
2. Waktu penelitian ini hanya selama 2 minggu, hal ini kurang sesuai dengan prinsip terapi
pada anak autis yang membutuhkan proses yang lama, sehingga perlu dilakukan penelitian
yang serupa dalam waktu yang lama.
3. Tidak adanya kelompok kontrol dalam penelitian ini.
4. Pemberian terapi musik tidak dibedakan sesuai dengan derajat autis (ringan, sedang, berat)
sehingga ada yang tidak mengalami peningkatan derajat autis


Referensi

Anthony,Spawnthe.2003. Manfaat Musik, hhtp/www.partikelwebgaul.com/, Diakses 6 September 2007.
Anonymous , 2004. Mempersiapkan IQ dan EQ Anak, Percuma IQ Tinggi Jika Tak Diimbangi EQ, (Online),
(http://www.pikiran-rakyat.com, diakses 19 Desember 2011).
Arikunto, Suharsimi.2002.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta; Jakarta.
Astuti, Idayu. 2007. Mengenal Autisme & Terapinya. http://autisme.or.id. Diakses 6 September 2011.
Christanday. Andreas. 2007. Pengaruh Musik pada Anak. http://angelfire.com. Diakses 6 September 2011.
Diamond, John...(et.al). Musik Sebagai Terapi. Diakses tanggal 5 September 2011.
Ginanjar. 2003. http://www.bundazepy. Diakses 12 Agustus 2011.
Goleman, D. 2003. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia.
Goleman, D. 2007. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta:
Gramedia.
Hariwijaya, M. 2006. Tes EQ. Tes Kecerdasan Emosional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik. Alfabeta; Bandung.
Halim, Samuel., 2007. Efek Mozart dan Terapi Musik Dalam Dunia Kesehatan.
Hhtp//www.tempo.co.id/medika, Diakses 5 September 2011.
Hidayat, Teddy. 2003. Musik Memiliki Pengaruh Dalam Kepribadian.

Holmes, Clive. 2003. Musik Terapi. http://kompas.com. Diakses 6 september 2011.
Masra, Ferizal. 2005. Autisme : Gangguan Perkembangan Anak. http://www.waspadaonline. Diakses 12
Agustus 2011.
Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis;Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas
dan Sehat. Katahati; Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis
dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Edisi I, Salemba Medika, Jakarta.
Pandoe, Wing., 2006. Musik Terapi, hhtp//www.my.opera.com/paw, Diakses 7 September 2011.
Pratiwi, E.S. 2007. Penanganan Terpadu Anak Autisme. http://pikiranrakyat.com. Diakses 6 September
2011.
Santosa, singgih. 2003. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik Dengan SPSS Versi 11,5. PT Alex Media
Komputindo; Jakarta.
Setiadi. 2007. Konsep konsep penerapan Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta; Yogjakarta.
Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Penelitian. Alfabet; Bandung
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Reactions:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
2 comments:
1.
Harry eCKo3 Januari 2013 00.06
mbak saya mau shering bisa?
Balas
Balasan
1.
Heri Saputro4 Januari 2013 14.57
Tentang apa mas Harry??
Apa yang bisa di share...
Balas
Tambahkan komentar
Muat yang lain...
Komentar yang baik akan lebih membangun site ini...
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Jurnal Keperawatan
>> Pengaruh Daun Kamboja Terhadap Penyembuhan Luka Bakar
>> Pengaruh Lama Hemodialisa terhadap Standar BUN
>> Pengaruh Terapi Musik Klasik Terhadap Kecerdasan Emosional
>> Pengaruh Pemasangan Traksi Kateter Terhadap Perdarahan
>> Pengaruh Apel Batu malang Terhadap Kadar Gula
Other Slide
>> Draft RUU Keperawatan Terbaru
>> Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan
>> Perubahan Permenkes 148/2009 menjadi Permenkes no 17 tahun 2013
>> Community Mental Health Nursing
>> Contoh Laporan Komunitas
>> Contoh Mini Riset Komunitas
>> Pengkajian Keperawatan Keluarga
>> APGAR Keluarga

About
o Hubungi Saya
Berlangganan Email





Animasi Blog
Copyright 2013 Nursing Site | Powered by Blogger
Design by FThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Themes | Cloud CRM

Ada 5.000 Anak Autis di Kalsel
Banjarmasin | Jum'at, 7 Sep 2012
Data kesehatan anak di Provinsi Kalimantan Selatan cukup mengejutkan. Ternyata di wilayah
Kalsel terdapat sekitar 5.000 anak penderita autisme. Meski begitu, anak-anak autis itu
mempunyai hak yang sama dengan anak-anak normal. Hanya saja anak autisme memerlukan
bimbingan pendidikan yang lebih daripada anak-anak normal.
Untuk keperluan itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan segera membangun Autis
Center yang baru pertama kali ada di Kalimantan. Ide pembangunan Autis Center ini, berasal
dari Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Para ahli di kampus terbesar di Kalsel
itulah yang mendata ribuan penderita autisme di Kalsel.
"Banyak anak penderita autisme yang masih perlu mendapatkan pendidikan dan bimbingan
sebagai terapi mengatasi kekurangan mereka," kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi
Kalimantan Selatan Ngadimun di Banjarmasin, Kamis (6/9).
Di Autis Center ini, para anak akan diberikan pendidikan berupa sekolah terapi bagi anak-
anak penderita autisme. Mereka juga diberikan pelajaran pendidikan dari guru atau
pembimbing berpengalaman.
Rencananya pembangunan Autis Center dilaksanakan pada periode 2013-2014. Biayanya
sharing antara dana APBD Pemprov Kalsel dengan dana dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI sebesar Rp3,8 miliar.
Pembangunan Autis Centre dilakukan di atas lahan seluas dua hektare di kawasan Jalan
Brigjen Hasan Basry Banjarmasin. Diperkirakan akan menghabiskan total dana sebesar Rp11
miliar. Mereka yang sekolah di Autis Center tidak dipungut biaya, dengan cakupan wilayah
anak autisme di 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan.
Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin menambahkan, pemprov berharap bisa berbuat
banyak lagi bagi generasi muda. Terutama terhadap anak-anak berkebutuhan khusus yang
membutuhkan perhatian dari orang tua dan pemerintah daerah.
Ke depan nantinya diharapkan dalam era globalisasi, ketika persaingan tidak mengenal batas
bisa membawa anak-anak dipersiapkan mendapatkan hak-haknya. Termasuk anak penderita
autisme.
Diakui masih banyak anak-anak yang tidak menerima haknya secara mamadai. Mulai dari
tidak memiliki akta kelahiran, dan dipekerjakan di bawah umur. Untuk itu perlu ditumbuhkan
kesadaran masyarakat dalam meningkatkan hak-hak anak, baik mendapatkan pendidikan
yang layak maupun peningkatan fasilitas kesehatan.




MENYIKAPI KONTROVERSI AUTISME
DAN IMUNISASI MMR
10:25 PM | Filed under Imunisasi, Info Ibu, Kesehatan | Posted by Administrator

Dalam waktu terakhir ini kasus penderita autisme tampaknya semakin meningkat pesat.
Autisme tampak menjadi seperti epidemi ke berbagai belahan dunia. Dilaporkan terdapat
kenaikan angka kejadian penderita Autisme yang cukup tajam di beberapa negara. Keadaan
tersebut di atas cukup mencemaskan mengingat sampai saat ini penyebab autisme
multifaktorial, masih misterius dan sering menjadi bahan perdebatan diantara para klinisi.
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya
gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan
interaksi sosial. Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan hubungan
autisme dengan imunisasi MMR (Mumps, Measles, Rubella). Banyak orang tua menolak
imunisasi karena mendapatkan informasi bahwa imunisasi MMR dapat mengakibatkan
autisme. Akibatnya anak tidak mendapatkan perlindungan imunisasi untuk menghindari
penyakit-penyakit justru yang lebih berbahaya seperti hepatitis B, Difteri, Tetanus, pertusis,
TBC dan sebagainya. Banyak penelitian yang dilakukan secara luas ternyata membuktikan
bahwa autism tidak berkaitan dengan imunisasi MMR. Tetapi memang terdapat penelitian
yang menunjukkan bahwa Autism dan imunisasi MMR berhubungan.

Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit Campak, Campak
Jerman dan Penyakit Gondong. Pemberian vaksin MMR biasanya diberikan pada usia anak
16 bulan. Vaksin ini adalah gabungan vaksin hidup yang dilemahkan. Semula vaksin ini
ditemukan secara terpisah, tetapi dalam beberapa tahun kemudian digabung menjadi vaksin
kombinasi. Kombinasi tersebut terdiri dari virus hidup Campak galur Edmonton atau
Schwarz yang telah dilemahkan, Componen Antigen Rubella dari virus hidup Wistar RA
27/3 yang dilemahkan dan Antigen gondongen dari virus hidup galur Jerry Lynn atau Urabe
AM-9.

Pendapat yang mendukung autism berkaitan dengan imunisasi :
Terdapat beberapa penelitian dan beberapa kesaksian yang mengungkapkan Autisme
mungkin berhubungan dengan imunisasi MMR. Reaksi imunisasi MMR secara umum ringan,
pernah dilaporkan kasus meningoensfalitis pada minggu 3-4 setelah imunisasi di Inggris dan
beberapa tempat lainnya. Reaksi klinis yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher,
iritabilitas hebat, kejang, gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan
tidak dapat dijelaskan, defisit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit visual atau
bicara yang serupa dengan gejala pada anak autism.

Andrew Wakefielddari Inggris melakukan penelitian terhadap 12 anak, ternyata terdapat
gangguan Inflamantory Bowel disesase pada anak autism. Hal ini berkaitan dengan setelah
diberikan imunisasi MMR. Bernard Rimland dari Amerika juga mengadakan penelitian
mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme.
Wakefield dan Montgomery melaporkan adanya virus morbili (campak) dengan autism pada
70 anak dari 90 anak autism dibandingkan dengan 5 anak dari 70 anak yang tidak autism. Hal
ini hanya menunjukkan hubungan, belum membuktikan adanya sebab akibat.

Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan
autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme
percaya bahwa anak mereka yang terkena autisme disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Sedangkan beberapa orang tua penderita autisme di Indonesiapun berkesaksian bahwa
anaknya terkena autisme setelah diberi imunisasi

Pendapat yang menentang bahwa imunisasi menyebabkan autisme
Sedangkan penelitian yang mengungkapkan bahwa MMR tidak mengakibatkan Autisme
lebih banyak lagi dan lebih sistematis. Brent Taylor, melakukan penelitian epidemiologik
dengan menilai 498 anak dengan Autisme. Didapatkan kesimpulan terjadi kenaikkan tajam
penderita autism pada tahun 1979, namun tidak ada peningkatan kasus autism pada tahun
1988 saat MMR mulai digunakan. Didapatkan kesimpulan bahwa kelompok anak yang tidak
mendapatkan MMR juga terdapat kenaikkan kasus aurtism yang sama dengan kelompok
yang di imunisasi MMR.

Dales dkk seperti yang dikutip dari JAMA (Journal of the American Medical Association)
2001, mengamati anak yang lahir sejak tahun 1980 hingga 1994 di California, sejak tahun
1979 diberikan imunisasi MMR. Menyimpulkan bahwa kenaikkan angka kasus Autism di
California, tidak berkaitan dengan mulainya pemberian MMR.

Intitute of medicine, suatu badan yang mengkaji keamanan vaksin telah melakukan kajian
yang mendalam antara hubungan Autisme dan MMR. Badan itu melaporkan bahwa secara
epidemiologis tidak terdapat hubungan antara MMR dan ASD. The British Journal of
General Practice mepublikasikan penelitian De Wilde, pada bulan maret 2001. Meneliti anak
dalam 6 bulan setelah imunisasi MMR dibandingkan dengan anak tanpa Autisme.
Menyimpulkan tidak terdapat perubahan perilaku anak secara bermakna antara kelompok
control dan kasus. Pada jurnal ilmiah Archives of Disease in Childhood, September 2001,
The Royal College of Paediatrics and Child Health, menegaskan bahwa tidak ada bukti
ilmiah yang mendukung adanya hipoteda kaitan imunisasi MMR dan Autisme. Para
profesional di bidang kesehatan tidak usah ragu dalam merekomendasikan imunisasi MMR
pada pasiennya..

Makela A, Nuorti JP, Peltola H tim peneliti dari Central Hospital Helsinki dan universitas
Helsinky Finlandia pada bulan Juli 2002 telah melakukan penelitian terhadap 535.544 anak
yang mendapatkan imunisasi MMR sejak 1982 hingga 1986, yang dilakukan pengamatan 3
bulan setelah di Imunisasi. Mereka menyimpulkan bahwa tidak menunjukkan hubungan yang
bermakana antara imunisasi MMR dengan penyakit neurologis (persrafan) seperti ensefalitis,
aseptik meningitis atau autisme. Kreesten Meldgaard Madsen dkk bulan November 2002,
melakukan penelitian sejak tahun 1991 - 1998 terhadap 440.655 anak yang mendapatkan
imunisasi MMR. Hasilnya menunjukkan tidak terbukti hipotesis hubungan MMR dan
Autisme.

Rekomendasi Intitusi atau Badan Kesehatan Dunia
Beberapa institusi atau badan dunia di bidang kesehatan yang independen dan sudah diakui
kredibilitasnya juga melakukan kajian ilmiah dan penelitian tentang tidak adanya hubungan
imunisasi dan autisme. Dari hasil kajian tersebut, dikeluarkan rekomendasi untuk tenaga
profesional untuk tetap menggunakan imunisasi MMR dan thimerosal karena tidak terbukti
mengakibatkan Autisme.

The All Party Parliamentary Group on Primary Care and Public Health pada bulan Agustus
2000, menegaskan bahwa MMR aman. Dengan memperhatikan hubungan yang tidak terbukti
antara beberapa kondisi seperti inflammatory bowel disease (gangguan pencernaan) dan
autisme adalah tidak berdasar.

WHO (World Health Organisation), pada bulan Januari 2001 menyatakan mendukung
sepenuhnya penggunaan imunisasi MMR dengan didasarkan kajian tentang keamanan dan
efikasinya.

Beberapa institusi dan organisasi kesehatan bergengsi di Inggris termasuk the British Medical
Association, Royal College of General Practitioners, Royal College of Nursing, Faculty of
Public Health Medicine, United Kingdom Public Health Association, Royal College of
Midwives, Community Practitioners and Health Visitors Association, Unison, Sense, Royal
Pharmaceutical Society, Public Health Laboratory Service and Medicines Control Agency
pada bulan januari tahun 2001 setelah mengadakan pertemuan dengan pemerintahan Inggris
mengeluarkan pernyataan bersama yaitu MMR adalah vaksin yang sangat efektif dengan
laporan keamanan yang sangat baik. Secara ilmiah sangat aman dan sanagat efektif untuk
melindungi anak dari penyakit. Sangat merekomendasikan untuk memberikan MMR terhadap
anak dan tanpa menimbulkan resiko.

The Committee on Safety of Medicine (Komite Keamanan Obat) pada bulan Maret 2001,
menyatakan bahwa kesimpulan dr Wakefield tentang vaksin MMR terlalu premature. Tidak
terdapat sesuatu yang mengkawatirkan. The Scottish Parliaments Health and Community
Care Committee, juga menyatakan pendapat tentang kontroversi yang terjadi, yaitu
Berdasarkan pengalaman klinis berbasis bukti, tidak terdapat hubungan secara ilimiah antara
MMR dan Autisme atau Crohn disease. Komite tesebut tidak merekomendasikan perubahan
program imunisasi yang telah ditetapkan sebelumnya bahwa MMR tetap harus diberikan.

The Irish Parliaments Joint Committee on Health and Children pada bulan September
2001, melakukan review terhadap beberapa penelitian termasuk presentasi Dr Wakefield
yang mengungkapkan AUTISM berhungan dengan MMR. Menyimpulkan tidak ada
hubungan antara MMR dan Autisme. Tidak terdapat pengalaman klinis lainnya yang
mebuktikan bahan lain di dalam MMR yang lebih aman dibandingkan kombinasi imunisasi.
MMR.

The American Academy of Pediatrics (AAP), organisasi profesi dokter anak di Amerika
Serikat pada tanggal 12 13 Juni 2000 mengadakan konferensi dengan topik "New
Challenges in Childhood Immunizations" di Oak Brook, Illinois Amerika Serikat yang
dihadiri para orang tua penderita autisme, pakar imunisasi kesehatan anak dan para peneliti.
Pertemuan tersebut merekomendasikan bahwa tidak terdapat huibungan antara MMR dan
Autisme. Menyatakan bahwa pemberian imunisasi secara terpisah tidak lebih baik
dibandingkan MMR, malahan terjadi keterlambatan imunisasi MMR. Selanjutnya akan
dilakukan penelitian l;ebih jauh tentang penyebab Autisme.

BAGAIMANA SIKAP KITA SEBAIKNYA ?
Bila mendengar dan mengetahui kontroversi tersebut, maka masyarakat awam bahkan
beberapa klinisipun jadi bingung. Untuk menyikapinya kita harus cermat dan teliti dan
berpikiran lebih jernih. Kalau mengamati beberapa penelitian yang mendukung adanya
autisme berhubungan dengan imunisasi, mungkin benar sebagai pemicu. Secara umum
penderita autisme sudah mempunyai kelainan genetik (bawaan) dan biologis sejak awal. Hal
ini dibuktikan bahwa genetik tertentu sudah hampir dapat diidentifikasi dan penelitian
terdapat kelainan otak sebelum dilakukan imunisasi. Kelainan autism ini bisa dipicu oleh
bermacam hal seperti imunisasi, alergi makanan, logam berat dan sebagainya. Jadi bukan
hanya imunisasi yang dapat memicu timbulnya autisme. Pada sebuah klinik tumbuh kembang
anak didapatkan 40 anak dengan autism tetapi semuanya tidak pernah diberikan imunisasi.
Hal ini membuktikan bahwa pemicu autisme bukan hanya imunisasi.

Penelitian yang menunjukkan hubungan keterkaitan imunisasi dan autism hanya dilihat dalam
satu kelompok kecil (populasi) autism. Secara statistik hal ini hanya menunjukkan hubungan,
tidak menunjukkan sebab akibat. Kita juga tidak boleh langsung terpengaruh pada laporan
satu atau beberapa kasus, misalnya bila orang tua anak autism berpendapat bahwa anaknya
timbul gejala autism setelah imunisasi. Kesimpulan tersebut tidak bisa digeneralisasikan
terhadap anak sehat secara umum (populasi lebih luas). Kalau itu terjadi bisa saja kita juga
terpengaruh oleh beberapa makanan yang harus dihindari oleh penderita autism juga juga
akan dihindari oleh anak sehat lainnya. Jadi logika tersebut harus dicermati dan dimengerti.

Bila terpengaruh oleh pendapat yang mendukung keterkaitan autism dan imunisasi tanpa
melihat fakta penelitian lainnya yang lebih jelas, maka kita akan mengabaikan imunisasi
dengan segala akibatnya yang jauh lebih berbahaya pada anak. Penelitian dalam jumlah besar
dan luas secara epidemiologis lebih bisa dipercaya untuk menunjukkan sebab akibat
dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum.
Beberapa institusi atau badan kesehatan dunia yang bergengsi pun telah mengeluarkan
rekomendasi untuk tetap meneruskan pemberian imunisasi MMR. Hal ini juga menambah
keyakinan kita bahwa memang Imunisasi MMR memang benar aman.

Kontroversi itu terus berlanjut terus, namun kita bisa mengambil hikmah dan jalan yang
terbaik anak kita harus imunisasi atau tidak ? Untuk meyakinkan hal tersebut mungkin kita
bisa berpedoman pada banyak penelitian yang lebih dipercaya validitasnya secara statistik
dengan populasi lebih banyak dan luas yaitu Autisme tidak berhubungan dengan MMRl.
Demikian pula kita harus percaya terhadap rekomendasi berbagai badan dunia kesehatan
yang independen dan terpercaya setelah dilakukan kajian ilmiah terhadap berbagai penelitian
yang dilakukan oleh beberapa pakar kesehatan anak di berbagai dunia maju.

Dari beberapa hal tersebut diatas, tampaknya dapat disimpulkan bahwa Imunisasi MMR tidak
mengakibatkan Autisme, bila anak kita sehat dan tidak berbakat autisme. Tetapi diduga
imunisasi dapat memicu memperberat timbulnya gangguan perilaku pada anak yang sudah
mempunya bakat autisme secara genetik sejak lahir.

Tetapi tampaknya teori, penelitian atau pendapat beberapa kasus yang mendukung
keterkaitan autisme dengan imunisasi, tidak boleh diabaikan bergitu saja. Meskipun laporan
penelitian yang mendukung hubungan Autisme dan imunisasi hanya dalam populasi kecil
atau bahkan laporan perkasus anak autisme. Sangatlah bijaksana untuk lebih waspada bila
anak kita sudah mulai tampak ditemukan penyimpangan perkembangan atau perilaku sejak
dini, memang sebaiknya untuk mendapatkan imunisasi MMR harus berkonsultasi lebih jelas
dahulu dengan dokter anak. Bila anak kita sudah dicurigai ditemukan bakat kelainan Autism
sejak dini atau beresiko terjadi autisme, mungkin bisa saja menunda dahulu imunisasi MMR
sebelum dipastikan diagnosis Autisme dapat disingkirkan. Meskipun sebenarnya pemicu atau
faktor yang memperberat Autisme bukan hanya imunisasi. Dalam hal seperti ini kita harus
memahami dengan baik resiko, tanda dan gejala autisme sejak dini.

Tetapi bila anak kita sehat, tidak beresiko atau tidak menunjukkan tanda dini gejala Autisme
maka kita tidak perlu kawatir untuk mendapatkan imunisasi tersebut. Kekawatiran terhadap
imunisasi tanpa didasari pemahaman yang baik dan pemikiran yang jernih akan menimbulkan
permasalahan kesehatan yang baru pada anak kita. Dengan menghindari imunisasi maka akan
timbul permasalahan baru yang lebih berbahaya dan dapat mengancam jiwa terutama bila
anak terkena infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi
Bunga Rampai Online


Artikel sebelumnya: "Kekhawatiran terhadap thimerosal dan autisme- kiriman artikel pertama
dr. Widodo Judarwanto"

Artikel berikutnya " Merubah Pola Pikir - oleh Donna Williams- Setiap saat kita dapat
menentukan pilihan untuk merubah pola pikir apakah kita akan tetap dengan pola pikir yang
positif atau pola pikir yang negatif"
dr. Widodo Judarwanto, Rumah Sakit Bunda Jakarta














[tutup]
Autisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah
dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa menjamin bahwa
informasi kedokteran yang diberikan di halaman ini adalah benar.
Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan.
Autisme
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal

Salah satu kebiasaan khas seorang penyandang autis: menumpuk-numpuk benda
(dalam foto ini yang ditumpuk adalah kaleng makanan).
ICD-10 F84.0
ICD-9 299.00
OMIM 209850
DiseasesDB 1142
MedlinePlus 001526
eMedicine med/3202 ped/180
MeSH D001321
Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang dialami sejak lahir
ataupun saat masa balita. Karakteristik yang menonjol pada seseorang yang mengidap
kelainan ini adalah kesulitan membina hubungan sosial, berkomunikasi secara normal
maupun memahami emosi serta perasaan orang lain.
[1]
Autisme merupakan salah satu
gangguan perkembangan yang merupakan bagian dari Kelainan Spektrum Autisme atau
Autism Spectrum Disorders (ASD) dan juga merupakan salah satu dari lima jenis gangguan
dibawah payung Gangguan Perkembangan Pervasif atau Pervasive Development Disorder
(PDD). Autisme bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang
terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak
normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme.
[2]

Gejala-gejala autisme dapat muncul pada anak mulai dari usia tiga puluh bulan sejak
kelahiran hingga usia maksimal tiga tahun.
[1]

[3]
Penderita autisme juga dapat mengalami
masalah dalam belajar, komunikasi, dan bahasa.
[1]
Seseorang dikatakan menderita autisme
apabila mengalami satu atau lebih dari karakteristik berikut: kesulitan dalam berinteraksi
sosial secara kualitatif, kesulitan dalam berkomunikasi secara kualitatif, menunjukkan
perilaku yang repetitif, dan mengalami perkembangan yang terlambat atau tidak normal.
[4]

Di Amerika Serikat, kelainan autisme empat kali lebih sering ditemukan pada anak lelaki
dibandingkan anak perempuan dan lebih sering banyak diderita anak-anak keturunan Eropa
Amerika dibandingkan yang lainnya.
[5]
Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat
lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun.
[6]
Sedangkan
prevalensi penyandang autisme di seluruh dunia menurut data UNESCO pada tahun 2011
adalah 6 di antara 1000 orang mengidap autisme.
[6]

Daftar isi
1 Gejala
2 Diagnosis
o 2.1 Simtoma klinis menurut DSM IV
3 Penyebab
o 3.1 Faktor genetik
o 3.2 Faktor lingkungan
4 Penanganan autisme
o 4.1 Terapi
5 Prognosis
6 Perkembangan penelitian autisme
7 Lihat pula
8 Rujukan
9 Pranala luar
Gejala
Secara historis, para ahli dan peneliti dalam bidang autisme mengalami kesulitan dalam
menentukan seseorang sebagai penyandang autisme atau tidak. Pada awalnya, diagnosa
disandarkan pada ada atau tidaknya gejala namun saat ini para ahli setuju bahwa autisme
lebih merupakan sebuah kontinuum. Gejala-gejala autisme dapat dilihat apabila seorang anak
memiliki kelemahan di tiga domain tertentu, yaitu sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang
berulang.
[7]

Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya suatu pendekatan deskriptif dalam
mendiagnosa autisme sehingga menyertakan pengamatan-pengamatan yang menyeluruh di
setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain
atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun
kesulitan mereka tampak jelas di antara teman-teman sebaya mereka yang normal.
Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari
adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh
yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika
keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi
yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan
perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan
selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan
konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin
memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup
anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap
kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila
kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan
keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak,
kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan
konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain
sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Diagnosis
Anak dengan autisme dapat tampak normal pada tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan
berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang
lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif
terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan,
penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau
jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan.
Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah
sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal
mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang
terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para
penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang
mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan
tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak
'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering
ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki
kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit
memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas
yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua
dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The
National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat
menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga
usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme
tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog,
Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
Simtoma klinis menurut DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka,
posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan,
baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau
pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda


Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe),
sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya
gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para
ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah,
tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan
sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai
low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi
yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan
kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism.
Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada
implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang
autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di
bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik
pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah
dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang
diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10
tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang
keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv
(Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih
dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial
Komunikasi Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari
berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun
komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening
yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang
dibuat oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku.
Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan
orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar
dan komunikasi verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa
balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon
Baron Cohen pada awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item
yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan
komunikasi dan sosial mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2
tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang
kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan
membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan
komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena
adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua
juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu
memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog,
psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial
dan lain sebaginya.
Penyebab
Hingga kini apa yang menyebabkan seseorang dapat menderita autisme belum diketahui
secara pasti. Riset-riset yang dilakukan oleh para ahli medis menghasilkan beberapa hipotesa
mengenai penyebab autisme. Dua hal yang diyakini sebagai pemicu autisme adalah faktor
genetik atau keturunan dan faktor lingkungan seperti pengaruh zat kimiawi ataupun vaksin.
[8]

Faktor genetik
Faktor genetik diyakini memiliki peranan yang besar bagi penyandang autisme walaupun
tidak diyakini sepenuhnya bahwa autisme hanya dapat disebabkan oleh gen dari keluarga.
[7]

Riset yang dilakukan terhadap anak autistik menunjukkan bahwa kemungkinan dua anak
kembar identik mengalami autisme adalah 60 hingga 95 persen sedangkan kemungkinan
untuk dua saudara kandung mengalami autisme hanyalah 2,5 hingga 8,5 persen.
[7]
Hal ini
diinterpretasikan sebagai peranan besar gen sebagai penyebab autisme sebab anak kembar
identik memiliki gen yang 100% sama sedangkan saudara kandung hanya memiliki gen yang
50% sama.
[7]

Faktor lingkungan
Ada dugaan bahwa autisme disebabkan oleh vaksin MMR yang rutin diberikan kepada anak-
anak di usia dimana gejala-gejala autisme mulai terlihat.
[9]
Kekhawatiran ini disebabkan
karena zat kimia bernama thimerosal yang digunakan untuk mengawetkan vaksin tersebut
mengandung merkuri.
[9]
Unsur merkuri inilah yang selama ini dianggap berpotensi
menyebabkan autisme pada anak. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung bahwa
autisme disebabkan oleh pemberian vaksin. Penggunaan thimerosal dalam pengawetan vaksin
telah diberhentikan namun angka autisme pada anak semakin tinggi.
[9]

Penanganan autisme
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun
persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi
lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan
dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia di antaranya adalah:
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam
proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme
dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak
mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya
mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai
dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak
menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi
orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan
karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan
bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam
Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan
yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk
dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan
oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara
klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically
Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia.
Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh
validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan
anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan
bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih
salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab
melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas
mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses
penanganan masalah autisme di Indonesia.
Terapi
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara
terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya,
tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar
dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus
dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara
umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku.
Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi
Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta
memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan
penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi
keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya
langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah
program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi
hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA)
yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan
dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai
Floortime.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children).
Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan
pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif,
melukai diri sendiri, dsb.).
Speech Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha
penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange
Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam
berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan
intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT),
dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting
bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas
anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim
data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di
Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian
mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat
keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada
didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak
mungkin mengontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-
penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan
dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai
dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya
menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli
yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai
jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua
maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah
satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan
yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang
diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang
signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap
obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Prognosis
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80
an, bayi-bayi yang lahir di California AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat
penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf
dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya
mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National
Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan
bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 100 per 10.000 kelahiran.
Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme
beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 best current
estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika
Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah
diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada
anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli
terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun
dapat menemukan obat yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang
menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan
ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar
di Singapura pada tanggal 26 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab
autisme, yaitu:
Genetic susceptibility different genes may be responsible in different families
Chromosome 7 speech / language chromosome
Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau
bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat
melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak
disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak
menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang
sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly
Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan
adanya peningkatan yang luar biasa. Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang
autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak
(Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak
penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat.
Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih
dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime
beserta spektrumnya?
Perkembangan penelitian autisme
Penelitian mengenai autisme pertama kali diprakarsai oleh seorang psikiater asal Amerika
Serikat, Leo Kanner, di tahun 1943.
[10]
Melalui makalah risetnya yang berjudul "Autistic
Disturbances of Affective Contact", Kanner mendiagnosa sebelas orang anak yang memiliki
gangguan yang sama dan mendeskripsikannya sebagai "autisme".
[10]
Pada masa itu, anak-
anak penderita autisme dianggap sebagai anak yang bodoh dan terbelakang bukan sebagai
anak yang mengalami gangguan perkembangan.
[10]
Hasil penelitian yang dilakukan Kanner
ini kemudian menjadi titik tolak perkembangan penelitian autisme serta perubahan
pandangan masyarakat terhadap anak-anak yang menderita autisme.
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model
psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations
(Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada
pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik
tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur,
dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment
dan target-target khusus lainnya, seperti:
Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme,
seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme
yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile
Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu
psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan
autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan
dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka
Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang
pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada
anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia
membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang
dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme
mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional
dalam jurnal-jurnal psikologi.
Lihat pula
Sindrom Asperger
ADHD
Rujukan
1. ^
a

b

c
(Inggris)Klin, Ami; Jones, Warren; Schultz, Robert; Fred, Volkmar; Cohen, Donald
(2002). "Defining and Quantifying the Social Phenotype in Autism". American Journal of
Psychiatry 159: 895908. Diakses 2 Juli 2013.
2. ^ (Inggris) Dear Abby: Is Autism a Mental Illness?, Psychology Today. Diakses pada 3 Juli
2013.
3. ^ Pengertian, Autisme.or.id. Diakses pada 2 Juli 2013.
4. ^ (Inggris) Diagnostic Criteria, Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada 2
Juli 2013.
5. ^ (Inggris)Kogan et al (2009). "Prevalence of Parent-Reported Diagnosis of Autism
Spectrum Disorder Among Children in the US, 2007". Pediatrics Journal 124.
doi:10.1542/peds.2009-1522. Diakses 2 Juli 2013.
6. ^
a

b
112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme, Republika Online. Diakses
pada 2 Juli 2013.
7. ^
a

b

c

d
(Inggris) Bernier, Raphael; Gerdts, Jennifer (2006). Autism Spectrum Disorders, A
Reference Handbook. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-1-59884-334-7.
8. ^ Les causes de lautisme, Autisme Montreal. Diakses pada 2 Juli 2013.
9. ^
a

b

c
(Inggris) Kring, Ann, et al. (2012). Abnormal Psychology. John Wiley & Sons, Inc. 978-
1-118-01849-1.
10. ^
a

b

c
(Inggris) Leo Kanner's 1943 paper on autism, Simons Foundation Autism Research
Initiative. Diakses pada 2 Juli 2013.
Pranala luar

Wikimedia Commons memiliki kategori mengenai Autisme
Rumah Autis
Yayasan Autisma Indonesia (YAI)
Anakku Autis
Autisme
Autisme di Proyek Direktori Terbuka
Terapi untuk Anak Autis
Terapi ABA untuk Anak Autis - Yayasan Baik Indonesia
Kategori:
Autisme
Kecacatan
Menu navigasi
Buat akun baru
Masuk log
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting sumber
Versi terdahulu

Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Bagikan
Cetak/ekspor
Peralatan
Bahasa lain
Afrikaans

Azrbaycanca
emaitka




Brezhoneg
Bosanski
Catal
esky
Cymraeg
Dansk
Deutsch



English
Esperanto
Espaol
Eesti
Euskara

Suomi
Franais
Gaeilge
Galego


Hrvatski
Magyar

Interlingua
Ido
slenska
Italiano

Lojban
Basa Jawa



Kurd

Latina
Lietuvi
Latvieu



Bahasa Melayu

Nederlands
Norsk bokml
Occitan
Polski
Portugus
Romn

Srpskohrvatski /
Simple English
Slovenina
Slovenina
Shqip
/ srpski
Basa Sunda
Svenska
Kiswahili



Trkmene
Tagalog
Trke

Ting Vit
Walon


Sunting interwiki
Halaman ini terakhir diubah pada 06.42, 18 Agustus 2013.
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Developers
Tampilan seluler


















[tutup]
Teori pikiran
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Teori pikiran (TP) adalah kemampuan untuk menghubungkan keadaan mental -
kepercayaan, intensi, hasrat, berpura-pura, pengetahuan, dll. - kepada diri sendiri dan orang
lain dan untuk memahami bahwa orang lain memiliki kepercayaan, keinginan dan intensi
yang berbeda dari diri kita sendiri.
[1]
Kekurangan terjadi pada orang dengan gangguan
spektrum autisme, skizofrenia, gangguan hiperaktivitas kekurangan atensi,
[2]
dan juga
keracunan-saraf disebabkan penyalahgunaan alkohol.
[3]
Walaupun ada pendekatan filosofi
terhadap masalah yang diangkat dalam diskusi ini, teori pikiran dalam hal ini berbeda dari
filsafat pikiran.
Daftar isi
1 Definisi
2 Akar filosofi
3 Perkembangan
4 Investigasi empiris
o 4.1 Pengujian Kepercayaan-keliru
o 4.2 Pengujian penampilan-realitas
o 4.3 Pengujian lainnya
o 4.4 Prekursor awal
5 Kekurangan-kekurangan
o 5.1 Autisme
o 5.2 Gangguan penggunaan alkohol
6 Mekanisme Otak
o 6.1 Dalam perkembangan manusia secara khususnya
o 6.2 Dalam autisme
7 Selain-manusia
8 Lihat juga
9 Catatan
10 Referensi
11 Tautan luar
Definisi
Teori pikiran adalah sebuah teori bahwa pikiran tidak dapat langsung diobservasi.
[1]

Anggapan bahwa orang lain memiliki suatu pikiran diistilahkan teori pikiran karena setiap
manusia hanya dapat mengintuisi keberadaan dari pikirannya sendiri lewat introspeksi, dan
tidak ada orang lain yang memiliki akses langsung terhadap pikiran orang lain. Secara tipikal
diasumsikan bahwa orang lain memiliki pikiran dengan analogi yang seseorang miliki, dan
berdasarkan interaksi sosial alami timbal-balik, sebagaimana yang diobservasi dalam atensi
bersama,
[4]
penggunaan fungsi bahasa,
[5]
dan memahami emosi dan aksi orang lain.
[6]

Memiliki teori pikiran membuat seseorang mengatribusikan pemikiran, hasrat, dan intensi
kepada orang lain, untuk memperkirakan atau menjelaskan aksi mereka, dan untuk
menempatkan intensi mereka. Dalam arti aslinya, ia membuat seseorang untuk memahami
bahwa keadaan mental dapat menjadi penyebab - yang digunakan untuk menjelaskan dan
memperkirakan - perilaku orang lain.
[1]
Kemampuan mengatribusikan keadaan mental
terhadap orang lain dan memahaminya sebagai penyebab perilaku menandakan, sebagian,
bahwa seseorang harus dapat memahami pikiran sebagai "pembangkit representasi".
[7]

[8]

Jika seseorang tidak memiliki teori pikiran yang komplit ia mungkin menandakan gangguan
kognitif atau perkembangan.
Teori pikiran muncul sebagai potensi kemampuan lahiriah pada manusia, tapi membutuhkan
pengalaman sosial dan pengalaman lainnya selama beberapa tahun sampai menghasilkan
sesuatu. Orang yang berbeda bisa saja membentuk teori pikiran yang lebih, atau kurang,
efektif. Empati adalah konsep yang berkaitan, yang berarti mengenali dan memahami teori
pikiran lewat pengalaman, termasuk kepercayaan, hasrat dan terkadang emosi orang lain,
sering dikarakterkan sebagai kemampuan untuk "menempatkan diri sendiri di posisi orang
lain." Kajian terbaru dari neuro etologis perilaku hewan, menyarankan bahkan tikus mungkin
memperlihatkan kemampuan etikal atau empati.
[9]

Teori perkembangan kognitif Neo-Piagetian menyatakan bahwa teori pikiran adalah hasil dari
kemampuan hiperkognitif yang luas dari pikiran manusia untuk mencatat, memonitor, dan
merepresentasikan fungsinya sendiri.
[10]

Penelitian terhadap teori pikiran dalam sejumlah populasi yang berbeda (manusia dan hewan,
orang dewasa dan anak-anak, perkembangan secara normal dan tidak-khusus) telah tumbuh
secara cepat dalam 30 tahun terakhir sejak tulisan Premack dan Woodruff, "Does the
chimpanzee have a theory of mind?" (Apakah simpanse memiliki teori pikiran?).
[1]

Munculnya bidang ilmu neurosains sosial juga telah memulai mengawali debat ini, dengan
membayangkan manusia yang sedang melakukan pekerjaan mengharapkan pemahaman dari
suatu intensi, kepercayaan atau keadaan mental orang lain.
Laporan alternatif dari teori pikiran dibawakan oleh instrumental psikologi dan memberikan
bukti empiris penting bagi fungsi perspektif pembawaan dan empati. Pendekatan instrumental
yang paling berkembang dikembangkan dalam penelitian mengenai relasi respon turunan dan
digolongkan dalam apa yang disebut, "Teori Kerangka Rasional." Menurut pandangan
tersebut empati dan perspektif bawaan terdiri dari suatu set kompleks dari kemampuan
relasional turunan berdasarkan pada pembelajaran terhadap diskriminasi dan respon secara
verbal ke relasi yang lebih komplek antara diri sendiri, orang lain, tempat, dan waktu, dan
transformasi fungsi lewat relasi yang telah terhubung.
[11]

[12]

[13]

Akar filosofi
Diskusi kontemporer mengenai TP berakar dari debat filosifis - secara luas, dari saat
Descartes Second Meditation, yang membuat dasar untuk mempertimbangkan sains dari
pikiran. Yang paling menonjol saat sekarang adalah dua pendekatan berlawanan, dalam
literatur filsafat, terhadap teori pikiran: teori-teori dan teori simulasi (TS). Pendukung teori-
teori membayangkan sebuah teori yang sesungguhnya - "psikologi tradisional" - yang
digunakan untuk berpikir mengenai pikiran orang lain. Teori ini dikembangkan secara
otomatis dan lahiriah, walau diinstansiasi lewat interaksi sosial.
[14]

Di sisi lain, teori simulasi menyarankan TP bukanlah, pada intinya, teoritis. Menurut ahli
teori simulasi, metoda utama untuk memahami pemikiran orang lain yang digunakan oleh
orang adalah dengan menempatkan dirinya sendiri "dalam sepatu mental" dari orang lain. Ini
merupakan suatu ide intuitif secara atraktif yang juga secara eksplisit tercakup dalam "aturan
emas" yang hampir semua orang pelajari saat masih anak-anak: "perlakukan orang lain
sebagaimana kamu mau diperlakukan". Dengan kata lain, bayangkan bagaimana kamu mau
bereaksi terhadap orang lain melakukan suatu aksi kepada anda sebelum anda melakukan aksi
yang sama kepada orang lain. TS mengikutkan tiga langkah:
[15]

1. Penciptaan dari keadaan berpura-pura untuk menyesuaikan dengan target.
2. Pemrosesan dari keadaan berpura-pura dengan mekanisme yang sama yang mana si
pengatribusi gunakan untuk memahami keadaan mentalnya sendiri.
3. Penempatan atau "proyeksi" dari keadaan-keadaan tersebut kepada target.
Ada sejumlah catatan berbeda dari TS, tiap-tiapnya bergantung kepada aktivitas saraf cermin.
Bisa dikatakan pandangan konsensus adalah hipotesis "pencocokan langsung". Menurut teori
tersebut, saraf cermin secara aktual "mencerminkan" keadaan dari target pada si pengamat.
Pencerminan ini mengeluarkan suatu emosi atau intensi yang sama pada si pengamat, yang
kemudian secara implisit atau eksplisit diproyeksikan terhadap target. Si pengamat kemudian
menyimpulkan makna atau intensi dari target menggunakan informasi tersebut.
[16]

[17]

[18]

Sebuah alternatif dari teori simulasi telah diajukan, hipotesis "pemodelan terbalik". Menurut
pandangan ini, aksi-aksi dari saraf cermin mensimulasikan tujuan yang diharapkan dari suatu
aksi terlebih dahulu. Setelah simulasi motor ini, si pengamat menggunakan kemampuan
konseptualnya untuk menyimpulkan intensi dari aksi.
[19]

[20]
Dengan model ini, peran dari
saraf cermin adalah sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk menerka makna dari
perilaku intensional dengan menghasilkan sebuah model dari perilaku tersebut dalam konteks
untuk membantu pemahaman.
Teori simulasi lain yang mencoba untuk mencatat saraf cermin kongruen yang lebih luas
adalah teori pemodelan respon. Teori ini mengajukan bahwa fungsi dari saraf cermin dalam
kognisi sosial adalah tidak sepenuhnya "mencerminkan" aksi dari target. Melainkan,
fungsinya yaitu untuk secara instan mempersiapkan suatu aksi komplementer sebagai respon
terhadap target. Mereka secara dinamis menggabungkan aksi observasi dengan aksi eksekusi.
Daya pendorong dari pandangan ini adalah penemuan bahwa saraf cermin pada kenyataannya
lebih aktif saat menyiapkan bagi suatu aksi komplementer daripada aksi imitatif.
[21]

[22]

Dengan kata lain, fungsi dari beberapa saraf cermin adalah untuk secara langsung
mengantisipasi dan menyiapkan suatu respon terhadap aksi yang diobservasi.
Dua jenis tambahan dari simulasionisme telah diajukan.
[23]
Salah satu versi (Alvin Goldman)
menekankan bahwa seseorang harus mengenali keadaan mental sendiri sebelum melekatkan
keadaan mental kepada orang lain secara simulasi. Versi kedua dari teori simulasi
mengajukan bahwa setiap orang mengetahui pikiran dia dan orang lain lewat apa yang Robert
Gordon
[23]
namakan suatu logika kenaikan rutin, yang menjawab pertanyaan tentang keadaan
mental dengan mengubah kata dari pertanyaan sebagai sebuah pertanyaan metafisik. Sebagai
contohnya, jika Zoe bertanya pada Pam, "Apakah kamu pikir anjing itu mau bermain
denganmu?", Pam akan bertanya pada dirinya sendiri, "Apakah anjing itu mau bermain
dengan saya?" untuk menentukan respon dari dia sendiri. Pam bisa saja menanyakan
pertanyaan tersebut untuk menjawab pertanyaan dari apa yang Zoe mungkin pikirkan.
Keduanya memegang bahwa orang-orang secara umum memahami satu sama lain dengan
mensimulasikan berada dalam sepatu orang lain.
Salah satu perbedaan antara kedua teori yang telah mempengaruhi pertimbangan psikologis
dari TP adalah bahwa teori-teori menjelaskan TP sebagai proses teoritis yang terpisah bahwa
ia adalah fitur lahiriah, sedangkan teori simulasi memotret TP sebagai sejenis pengetahuan
yang membolehkan seseorang membuat suatu prediksi dari keadaan mental seseorang dengan
menempatkan dirinya sendiri di dalam posisi orang lain dan mensimulasikannya. Teori-teori
tersebut terus menginformasikan definisi dari teori pikiran dalam jantung investigasi ilmiah
TP.
Baru-baru ini laporan lain mengenai kemampuan kita untuk mengetahui pikiran orang lain
telah diajukan. Sebagai contohnya, teori terbaru yang dibela oleh Shaun Gallagher, teori
interaksi (TI), menolak interpretasi standar sebagai seluruhnya "mental". Dalam teori
interaksi, pikiran orang lain secara langsung diterima selama terjadi intersubjektif. Menurut
TI, sangat sedikit mentalisasi terjadi dalam interaksi keseharian kita. Bukannya pertama kali
menangkap aksi dari orang lain dan kemudian menyimpulkan makna dari aksi mereka,
makna dari yang ditujukan adalah secara otomatis muncul selama persepsi. Menyembunyikan
keadaan mental seperti "percaya" dan "keinginan" adalah kemudian tidak diperlukan untuk
menjelaskan perilaku. Kita dapat melihat makna dari perilaku mereka lewat aksi dan
pergerakan ekspresif mereka.
[24]
Sebagai contohnya, saat melihat muka marah, si pengamat
pertama kali tidak melihat sebuah muka yang berkerut menjadi berwajah suram dan
kemudian menyimpulkan bahwa target adalah dalam keadaan marah. Marah itu sendiri secara
langsung muncul pada wajah. Mayoritas banyaknya dari interaksi dalam kehidupan
keseharian kita adalah antar-muka jadi masuk akal bahwa cara utama kita dalam memahami
satu sama lain yaitu dari perspektif orang kedua bukan dari perspektif objektif, teoritis, orang
ketiga.
"Dalam kebanyakan situasi intersubjektif, yaitu, dalam situasi interaksi sosial, kita memiliki
sebuah persepsi pemahaman langsung terhadap intensi orang lain karena intensi mereka
secara eksplisit diekspresikan dalam bungkusan aksi mereka dan perilaku ekspresif mereka.
Pemahaman ini tidak membutuhkan kita mempostulasi atau menyimpulkan suatu
kepercayaan atau suatu keinginan di dalam pikiran orang lain. Apa yang mungkin kita sebut
secara reflektif atau abstrak sebagai kepercayaan atau keinginan mereka diekspresikan secara
langsung dalam aksi dan perilaku mereka."
[25]

Kemampuan ini telah diistilahkan dengan "intersubjektif primer" dan mengikutkan emosi,
indra motorik, persepsi, dan latihan-latihan non-konseptual yang diperlihatkan oleh anak-
anak pra-linguistik.
[26]
Ia dianggap "primer" karena dua alasan:
1. Secara ontogenetis ia merupakan kemampuan intersubjektif yang awal muncul pada anak-
anak, dan
2. bahkan pada masa dewasa ia tetap merupakan kemampuan esensial yang paling kita
gunakan dalam berinteraksi dan memahami yang lain.
[27]

Kemampuan tersebut adalah multimodal dan non-konseptual, yang terbukti dalam
eksperimen-eksperimen terkenal menyangkut imitasi neonate.
[28]
Dalam eksperimen tersebut
neonate berumur beberapa menit dan tidak memiliki kemampuan konseptual; namun neonate
dapat mengimitasi ekspresi wajah yang lain, yang merupakan proses multimodal yang
membutuhkan suatu koneksi non-konseptual antara stimulus visual dan konfigurasi wajah
dari neonate sendiri.
Lebih lanjut, fakta bahwa kebanyakan interaksi terjadi dalam konteks kerjasama membawa
ke "intersubjektif sekunder". Selama interaksi, intensi jelas terlihat berdasarkan konteks
pragmatis dari situasi tempat ia terjadi. Kita dapat secara langsung melihat apa yang lain
"maksud" atau "ingin"-kan berdasarkan aksi mereka dan konteks yang berlangsung; kita tidak
perlu menyimpulkan intensi mereka sebagai hal yang disembunyikan.
[29]
Ada suatu "dunia
berbagi" tempat kita hidup, di mana kita secara intuitif dan secara instingtif menangkap yang
lain sebagai mahluk berpikiran seperti diri kita. Dan Zahavi menyebutkan sentimen ini saat
dia menulis, "bukannya kita pertama melihat objek tidak bergerak dan menggerakan mereka
lewat komponen-komponen mental tambahan selanjutnya. Melainkan, saat pertama kali kita
melihat semuanya sebagai ekspresif, dan kemudian kita melalui sebuah proses tidak-
menggerakan."
[30]

Asumsi intuitif yang orang lain pikirkan merupakan suatu tendensi nyata yang kita semua
miliki. Kita mengantropomorfismekan hewan selain manusia, objek diam, dan bahkan
fenomena alami. Daniel Dennett menunjuk kepada tendensi ini sebagai melakukan suatu
"posisi intensional" terhadap segala sesuatu: kita mengasumsikan mereka memiliki intensi,
untuk membantu memprediksi perilaku selanjutnya.
[31]
Namun, ada suatu perbedaan penting
antara melakukan suatu "posisi intensional" terhadap sesuatu dan memasuki suatu "dunia
berbagi" dengannya. Posisi intensional adalah suatu teori terpisah dan fungsional yang kita
dapatkan selama interaksi interpersonal. Dunia berbagi secara langsung ditangkap dan
keberadaannya membangun realitas itu sendiri bagi si pengamat. Ia tidak secara otomatis
diterapkan pada persepsi; ia, dalam berbagai cara, membentuk persepsi.
Akar filosofi dari Teori Kerangka Relasional (TKR) dari TP muncul dari kontekstual
psikologi dan mengacu pada kajian organisme (manusia dan bukan manusia) yang
berinteraksi dalam dan dengan konteks situasi sekarang dan historis. TKR adalah suatu
pendekatan berdasarkan pada kontekstualisme, suatu filosofi yang melihat setiap kejadian
diinterpretasikan sebagai suatu aksi berkelanjutan tak terpisahkan dari konteks sekarang dan
sejarahnya yang mengadopsi pendekatan fungsional radikal terhadap kebenaran dan makna.
Sebagai variasi dari kontekstualisme, TKR fokus pada konstruksi pengetahuan praktis,
ilmiah. Bentuk ilmiah dari psikologi kontekstual ini bersinonim dengan filosofi psikologi
instrumental.
[32]

Perkembangan
Penelitian tentang hewan yang mampu mengatribusikan pengetahuan dan keadaan mental
terhadap hewan lain, sebagaimana pada manusia kemampuan ontogeni dan filogeni
berkembang, telah mengidentifikasi sejumlah perilaku awal terhadap teori pikiran.
Memahami atensi, memahami intensi orang lain, dan pengalaman meniru orang lain adalah
ciri khas dari teori pikiran yang bisa diobservasi lebih awal dalam perkembangan dari apa
yang nantinya menjadi teori yang utuh. Dalam penelitian terhadap hewan selain-manusia dan
manusia pra-verbal, secara khusus, para peneliti melihat keistimewaan perilaku-perilaku
tersebut dalam membentuk interferensi mengenai pikiran.
Simon Baron-Cohen mengidentifikasi pemahaman atensi bayi terhadap orang lain,
kemampuan sosial yang ditemukan pada umur 7 sampai 9 bulan, sebagai "prekursor kritikal"
terhadap perkembangan teori pikiran.
[4]
Memahami atensi mengikutkan pemahaman bahwa
melihat dapat diarahkan secara selektif sebagai atensi, bahwa yang melihat menilai objek
yang terlihat sebagai "yang menarik", dan bahwa melihat dapat menyebabkan kepercayaan.
Atensi dapat diarahkan dan dibagi dengan aksi menunjuk, perilaku atensi bersama yang
membutuhkan mempertimbangkan keadaan mental orang lain, khususnya apakah seseorang
mengenali suatu objek atau menemukannya menarik. Baron-Cohen menspekulasi bahwa
kecenderungan untuk secara spontan menunjuk suatu objek dalam dunia sebagai suatu
ketertarikan ("menunjuk proto-deklaratif") dan juga mengapresiasikan atensi yang diarahkan
dan ketertarikan orang lain mungkin saja mendasari motif di balik semua komunikasi
manusia.
[4]

Memahami intensi orang lain adalah prekursor kritikal lain untuk memahami pikiran orang
lain karena secara intensionalitas, atau "mengenai", adalah suatu fitur fundamental dari
keadaan mental dan kejadian. "Kedudukan intensional" telah diartikan oleh Daniel Dennet
[33]

sebagai suatu pemahaman bahwa aksi orang lain diarahkan oleh tujuan dan timbul dari hasrat
dan keinginan tertentu. Anak 2 dan 3 tahun dapat membedakan saat penguji secara sengaja
vs. tak sengaja menandai suatu kotak sebagai umpan dengan stiker.
[34]
Bahkan pada awal
ontogeni, Andrew N. Meltzoff menemukan bahwa bayi umur 18 bulan dapat melakukan
manipulasi target yang mana penguji dewasa cobakan dan gagal, hal ini menyiratkan bayi
dapat mewakili perilaku manipulasi-objek dari orang dewasa yang mengikutkan tujuan dan
intensi.
[35]
Bila atribusi dari intensi (penandaan kotak) dan pengetahuan (pekerjaan
kepercayaan-palsu) diinvestigasi pada manusia muda dan hewan selain-manusia untuk
mendeteksi prekursor untuk teori pikiran, Gagliardi dkk. menunjukkan bahwa bahkan
manusia dewasa tidak selalu berperilaku konsisten dengan perspektif atribusional.
[36]
Dalam
percobaan, subjek manusia dewasa disuruh memilih wadah umpan yang dipandu oleh teman
yang tidak dapat melihat (dan juga, tidak mengetahui) wadah mana yang menjadi umpan.
Penelitian terbaru pada psikologi perkembangan menyatakan bahwa kemampuan bayi untuk
meniru orang lain berada pada asal mula teori pikiran dan pencapaian sosial-kognitif seperti
memperoleh-perspektif dan empati.
[37]
Menurut Meltzoff, pemahaman lahiriah bayi bahwa
orang lain adalah "seperti saya" membuatnya mengenali persamaan antara keadaan fisik dan
mental yang ada pada orang lain dan yang dirasakan oleh diri sendiri. Sebagai contohnya,
bayi menggunakan pengalamannya sendiri mengarahkan kepala/matanya pada objek yang
menarik, untuk memahami pergerakan orang lain yang mengarah kepada objek, yaitu, bahwa
secara umum mereka akan mengikuti objek yang menjadi perhatian atau yang
berkepentingan. Beberapa peneliti dalam disiplin perbandingan menolak menempatkan berat
terlalu berlebihan pada imitasi sebagai prekursor kritikal terhadap perkembangan kemampuan
sosial-kognitif manusia seperti mentalisasi dan berempati, khususnya jika imitasi yang
sebenarnya tidak digunakan lagi oleh orang dewasa. Pengujian tentang imitasi oleh
Alexandra Horowitz
[38]
menemukan bahwa orang dewasa meniru penguji
mendemonstrasikan pekerjaan yang baru jauh lebih mirip daripada yang anak-anak lakukan.
Horowitz menjelaskan bahwa keadaan psikologis yang tepat mengenai imitasi adalah tidak
jelas dan tidak dapat, secara sendirinya, digunakan untuk mengambil kesimpulan tentang
keadaan mental manusia.
Investigasi empiris
Apakah anak yang lebih muda dari 3 atau 4 tahun mungkin memiliki teori pikiran adalah
suatu topik debat antara para peneliti. Ia merupakan pertanyaan yang menantang, dikarenakan
sulitnya menilai bagaimana anak pra-linguistik memahami tentang orang lain dan dunia.
Pekerjaan-pekerjaan yang digunakan dalam penelitian terhadap teori pikiran harus
memperhatikan umwelt -- kata dari bahasa Jerman Umwelt yang berarti "lingkungan" atau
"dunia sekitar") -- dari anak-anak pra-verbal.
[butuh klarifikasi]

Pengujian Kepercayaan-keliru
Salah satu tonggak penting dalam perkembangan teori pikiran adalah memperoleh
kemampuan untuk mengatribusikan kepercayaan keliru: yaitu, untuk mengenali bahwa orang
lain memiliki kepercayaan tentang dunia yang berbeda. Untuk melakukan hal ini, disarankan,
seseorang harus memahami bagaimana pengetahuan terbentuk, bahwa kepercayaan seseorang
didasarkan pada pengetahuan mereka, bahwa keadaan mental dapat berbeda secara realitas,
dan bahwa perilaku orang dapat diprediksi dengan keadaan mentalnya. Berbagai versi dari
pengujian kepercayaan-keliru telah berkembang, berdasarkan pada pengujian awal yang
dilakukan oleh Wimmer dan Perner (1983).
[39]

Dalam versi umum dari pengujian kepercayaan-keliru (sering disebut juga dengan
"Percobaan Sally-Anne"), anak-anak diceritakan atau diperlihatkan suatu kisah yang
mengikutkan dua karakter. Sebagai contohnya, anak diperlihat dua boneka, Sally dan Anne,
yang masing-masing memiliki sebuah keranjang dan sebuah kotak. Sally juga memiliki
sebuah kelereng, yang disimpannya di dalam keranjang, dan pergi meninggalkan ruangan.
Saat dia keluar dari ruangan, Anne mengambil kelereng dari keranjang, dan menyimpannya
di dalam kotak. Sally kembali, dan kemudian anak-anak ditanya di manakah Sally akan
mencari kelereng. Anak akan lulus pengujian tersebut jika dia menjawab bahwa Sally akan
melihat ke dalam keranjang, tempat dia menaruh kelereng; anak gagal dalam percobaan jika
dia menjawab bahwa Sally akan melihat ke dalam kotak, walaupun si anak tahu tempat
kelereng disembunyikan, walaupun Sally tidak tahu, karena dia tidak melihatnya
disembunyikan di sana. Supaya lulus dari pengujian, anak harus dapat memahami bahwa
representasi mental orang lain terhadap situasi adalah berbeda dari milik mereka sendiri, dan
si anak harus dapat memprediksi perilaku berdasarkan pemahaman tersebut. Hasil dari
penelitian berdasarkan pengujian kepercayaan-keliru secara wajar konsisten: kebanyakan
anak yang berkembang normal tidak lulus tes sampai pada umur sekitar empat tahun.
(Terutama, bila kebanyakan anak-anak, termasuk mereka dengan Sindrom Down, mampu
lulus dalam tes ini, dalam salah satu pengujian, 80% dari anak-anak yang didiagnosa dengan
autisme tidak mampu melakukan hal tersebut.)
[40]

Pengujian penampilan-realitas
Tes lain telah dikembangkan untuk mencoba menjawab permasalahan yang melekat dalam
pengujian kepercayaan-keliru. Dalam pengujian "penampilan-realitas", atau "Smarties",
penguji bertanya pada anak apa yang mereka percaya terhadap isi dari sebuah kotak sambil
memegang sebuah permen bernama "Smarties". Setelah si anak menebak (biasanya)
"Smarties", setiap mereka diperlihatkan bahwa kotak tersebut sebenarnya berisi pensil.
Penguji kemudian menutup kotak dan menanyakan pada si anak apa yang mereka kira orang
lain, yang belum diperlihatkan isi sebenarnya dari kotak, pikir tentang isi kotak. Si anak akan
lulus tes tersebut jika dia merespon bahwa orang lain akan berpikir bahwa ada "Smarties" di
dalam kotak, namun gagal bila mereka merespon bahwa orang lain akan berpikir bahwa
kotak berisi pensil. Gopnik & Astington (1988)
[41]
menemukan bahwa anak lulus dalam tes
saat berumur empat atau lima tahun.
Pengujian lainnya
Pengujian "Fotografi-keliru"
[42]

[43]
yaitu pengujian lain yang bertujuan sebagai pengukuran
terhadap teori pikiran. Dalam pengujian ini, anak-anak harus memberikan jawaban tentang
apa yang direpresentasikan dalam sebuah foto yang berbeda dengan keadaan sekarang.
Selama pengujian fotografi-keliru, terdapat perubahan lokasi atau identitas.
[44]
Dalam test
perubahan-lokasi, si anak diberitahu sebuah cerita tentang suatu karakter yang menaruh suatu
objek di satu lokasi (misalnya, coklat di dalam lemari hijau) dan mengambil foto Polaroid
dari tempat tersebut. Saat foto sedang dibuat, si objek dipindahkan ke lokasi berbeda
(misalnya, ke lemari biru). Si anak kemudian diajukan dua pertanyaan kontrol, "Saat kita
mengambil gambar pertama, di mana si objek? Di manakah si objek sekarang?". Subjek juga
diajukan pertanyaan fotografi-keliru, "Di manakah si objek di dalam gambar?" Anak akan
lulus tes jika secara benar mengidentifikasi lokasi dari objek dalam gambar dan lokasi
sebenarnya dari objek pada saat pertanyaan diajukan.
Supaya pengujian dapat lebih diterima oleh hewan lain, anak yang lebih muda, dan individu
yang autis, peneliti teori pikiran telah memulai menggunakan paradigma tak-verbal. Salah
satu kategori pengujian menggunakan paradigma melihat preferensial, dengan melihat waktu
sebagai variabel tersendiri. Sebagai contohnya, Woodward
[kutipan diperlukan]
menemukan bahwa
bayi 9 bulan lebih menyukai melihat pada perilaku yang dilakukan oleh tangan manusia
daripada objek yang berbentuk seperti tangan. Paradigma lain melihat pada tingkat perilaku
imitatif, suatu kemampuan untuk meniru dan menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai,
[35]

dan observasi dari tingkat sandiwara bermain.
[45]

Prekursor awal
Penelitian terbaru mengenai prekursor awal dari Teori Pikiran telah melihat cara-cara inovatif
untuk menggambarkan pemahaman pralinguistik bayi terhadap keadaan mental orang lain,
termasuk persepsi dan kepercayaan. Menggunakan sejumlah variasi prosedur-prosedur
eksperimentasi, penelitian telah menunjukkan bahwa bayi pada tahun kedua hidupnya
memiliki pemahaman implisit apa yang orang lain lihat
[46]
dan apa yang mereka ketahui.
[47]
.
Sebuah paradigma terkenal yang digunakan untuk meneliti teori pikiran bayi adalah
pelanggaran dari prosedur ekspektasi, yang menyebutkan tendensi bayi untuk melihat lebih
lama pada kejadian-kejadian yang tak diharapkan dan mengejutkan dibandingkan pada
kejadian-kejadian biasa dan diharapkan. Oleh karena itu, perhitungan lama waktu mereka
melihat memberikan para peneliti suatu indikasi tentang apa yang bayi mungkin simpulkan,
atau pemahaman implisit mereka terhadap kejadian. Salah satu penelitian terbaru
menggunakan paradigma ini menemukan bahwa bayi 16 bulan condong mengatribusikan
kepercayaan pada seseorang yang persepsi visualnya sebelumnya disaksikan sebagai
"dipercaya" dibandingkan kepada seseorang yang persepsi visualnya "tidak dipercaya".
Secara khusus, bayi 16 bulan dilatih untuk menduga vokalisasi senang dan memandang
kepada kotak untuk dihubungkan dengan menemukan sebuah mainan dalam kondisi
terpercaya si pemandang atau tidak adanya mainan pada kondisi tak-percayanya si
pemandang. Setelah fase pelatihan tersebut, bayi menyaksikan, dalam pengujian pencarian-
benda, orang yang sama masing-masing mencari mainan di lokasi yang tepat atau tidak tepat
setelah mereka berdua menyaksikan lokasi tempat mainan disembunyikan. Bayi yang
mengalami pandangan percaya tercengang dan makanya melihat lebih lama saat orang
tersebut mencari mainan di lokasi yang salah dibandingkan lokasi yang tepat. Sebaliknya,
lama waktu melihat pada bayi yang mengalami pandangan tak-percaya tidak berbeda untuk
masing-masing lokasi pencarian. Penemuan ini menyarankan bahwa bayi 16 bulan dapat
membedakan atribusi kepercayaan tentang suatu lokasi mainan berdasarkan catatan persepsi
visual sebelumnya dari seseorang.
[48]

Kekurangan-kekurangan
Kekurangan teori pikiran menjelaskan kesulitan yang dimiliki seseorang dalam memperoleh
perspektif. Hal ini terkadang disebut dengan kebutaan-pikiran. Hal ini berarti bahwa individu
dengan gangguan teori pikiran akan kesulitan melihat sesuatu dari perspektif orang lain
daripada dari mereka sendiri.
[49]
Individu yang mengalami kekurangan teori pikiran memiliki
kesulitan menentukan intensi orang lain, kekurangan pemahaman tentang bagaimana perilaku
mereka mempengaruhi orang lain, dan memiliki kesulitan hubungan timbal-balik sosial.
[50]

Kekurangan teori pikiran telah diobservasi pada orang dengan kelainan spektrum autisme,
orang dengan schizophrenia, orang dengan gangguan kekurangan atensi,
[2]
orang di bawah
pengaruh alkohol dan narkotik, orang dengan gangguan tidur, dan orang yang mengalami
sakit fisik dan emosi yang akut.
Autisme
Pada tahun 1985 Simon Baron-Cohen, Alan M. Leslie dan Uta Frith menerbitkan penelitian
yang menyarankan bahwa anak dengan autisme tidak menggunakan teori pikiran,
[40]
dan
menyatakan bahwa anak dengan autisme memiliki suatu kesulitan tersendiri dalam pengujian
yang membutuhkan si anak untuk memahami kepercayaan orang lain. Kesulitan ini terus ada
saat anak disesuaikan dengan kemampuan verbal
[51]
dan telah digunakan sebagai fitur kunci
dari autisme.
Banyak individu dikelompokkan dengan autisme memiliki kesulitan menetapkan keadaan
mental dengan orang lain, dan mereka tampak memiliki kekurangan kemampuan teori
pikiran.
[52]
Para peneliti yang mengkaji hubungan antara autisme dan teori pikiran mencoba
menjelaskan hubungan dalam berbagai cara. Salah satunya mengasumsikan bahwa teori
pikiran memainkan peran penting dalam atribusi keadaan mental terhadap orang lain dan
dalam masa kanak-kanak saat berpura-pura bermain.
[53]
Menurut Leslies,
[53]
teori pikiran
adalah suatu kapasitas untuk secara mental mewakili pemikiran, kepercayaan, dan hasrat,
tanpa memperhatikan apakah keadaan yang mempengaruhi nyata atau tidak. Hal ini mungkin
menjelaskan kenapa individu dengan autisme memperlihatkan kekurangan yang ekstrim
dalam teori pikiran dan berpura-pura bermain. Namun, Hobson mengajukan suatu justifikasi
sosial-afektif,
[54]
yang menyatakan bahwa seseorang dengan gangguan autisme dalam teori
pikiran dihasilkan dari suatu distorsi dalam pemahaman dan merespon terhadap emosi. Dia
menyatakan bahwa biasanya manusia yang berkembang, tidak seperti individu dengan
autisme, lahir dengan sekumpulan kemampuan (seperti kemampuan referensi sosial) yang
nantinya membuat mereka mampu mengerti dan bereaksi dengan perasaan orang lain.
Ilmuwan lain menekankan bahwa autisme mengikutkan suatu keterlambatan perkembangan
tertentu, sehingga anak dengan gangguan beragam dalam setiap gangguannya, karena mereka
mengalami kesulitan dalam tingkat yang berbeda dalam pertumbuhan. Kemunduran saat awal
sekali dapat mengubah perkembangan selanjutnya dari perilaku atensi-gabungan, yang mana
mengarah pada gagalnya membentuk suatu teori pikiran yang utuh.
[52]

Telah dispekulasi
[45]
bahwa teori pikiran ada dalam kontinum berlawanan dengan pandangan
tradisional dari keadaan kongkrit sekarang atau ketiadaan. Bila beberapa peneliti telah
menyatakan bahwa beberapa populasi autistik tidak mampu mengatribusikan keadaan mental
terhadap orang lain,
[4]
bukti terbaru menunjukkan pada kemungkinan mekanisme
penanganan yang memfasilitasi suatu spektrum dari perilaku sadar.
[55]

Tine dkk. menyarankan bahwa anak dengan autisme memiliki nilai rendah dalam
memperkirakan teori pikiran sosial dibandingkan anak dengan sindrom Asperger.
[56]

Gangguan penggunaan alkohol
Penurunan pada teori pikiran, sebagaimana juga kekurangan pada kognitif-sosial lainnya
adalah umum ditemukan pada orang yang mengalami alkoholisme disebabkan efek
neurotoksik dari alkohol pada otak, khususnya bagian korteks prefrontal dari otak.
[3]

Mekanisme Otak
Dalam perkembangan manusia secara khususnya
Penelitian tentang teori pikiran pada autisme mengarah pada pandangan bahwa kemampuan
mentalisasi ditangani oleh mekanisme khusus yang mampu (pada beberapa kasus) mendapat
gangguan sementara fungsi kognitif secara keseluruhan tetap utuh. Penelitian citrasaraf
(neuroimaging) telah mendukung pandangan ini, memperlihatkan wilayah otak tertentu
secara konsisten berhubungan selama pengujian teori pikiran. Penelitian PET awal terhadap
teori pikiran, menggunakan pengujian verbal dan pemahaman cerita bergambar,
mengidentifikasi sekumpulan wilayah termasuk media prefrontal cortex (mPFC), dan area
disekitar posterior superior temporal sulcus (pSTS), dan terkadang precuneus dan
amydala/temoropolar cortex (ditinjau dalam
[57]
). Selanjutnya, penelitian berdasarkan saraf
pada teori pikiran telah terpecah, dengan beberapa penelitian fokus pada pemahaman
mengenai kepercayaan, intensi, dan properti yang lebih kompleks pada pikiran seperti sifat-
sifat psikologis.
Kajian dari laboratorium Rebecca Saxe di MIT, menggunakan pengujian kepercayaan-keliru
dibandingkan dengan fotografi-keliru bertujuan untuk memisahkan komponen mentalisasi
dari pengujian kepercayaan-keliru, telah secara konsisten menemukan aktivasi di dalam
mPFC, precuneus, dan temporo-parietal junction (TPJ), lateral-kanan.
[58]

[59]
Secara khusus,
telah diajukan bahwa bagian kanan TPJ (rTPJ) secara selektif ikut serta dalam
merepresentasikan kepercayaan orang lain.
[60]
Namun, beberapa perdebatan masih ada,
karena beberapa ilmuwan telah melaporkan bahwa wilayah rTPJ yang sama secara konsisten
aktif selama orientasi ulang spasial dari atensi visual;
[61]

[62]
Jean Decety dari Universitas
Chicago dan Jason Mitchell dari Harvard telah mengajukan bahwa rTPJ melayani fungsi
yang lebih generik yang terlibat dalam memahami kepercayaan-keliru dan reorientasi
atensional, daripada suatu mekasnime khusus untuk kognisi sosial. Namun, adalah
memungkinkan bahwa observasi dari wilayah yang saling tumpah tindih yang
merepresentasikan kepercayaan dan reorientasi atensional bisa saja karena berdampingan tapi
populasi saraf berbeda yang saling mengkode untuk setiap-tiapnya. Resolusi dari kajian fMRI
mungkin tidak cukup bagus untuk memperlihatkan bahwa kode populasi saraf
berbeda/berdampingan untuk setiap dari proses-proses tersebut. Dalam penelitian setelah
Decety dan Mitchel, Saxe dan teman sejawatnya menggunakan fMRI resolusi tinggi dan
memperlihatkan bahwa ujung dari aktivasi dari reorientasi atensional kira-kira 6-10 mm di
atas ujung yang merepresentasikan kepercayaan. Penelitian lebih lanjut yang menguatkan
bahwa populasi saraf yang berbeda mungkin mengkodekan untuk setiap proses, mereka
menemukan tidak ada kesamaan dalam pola dari respon fMRI di antara ruang.
[63]

Pencitraan fungsional juga telah digunakan untuk mempelajari pendeteksian informasi
keadaan mental dalam animasi pergerakan bentuk geometris-nya Heider-Simmel-esque, yang
pada manusia biasa secara otomatis melihatnya sebagai interaksi sosial yang sarat dengan
intensi dan emosi. Tiga penelitian secara luar biasa menemukan pola yang sama dari aktivasi
selama melihat animasi tersebut dibandingkan dengan kontrol pergerakan secara acak atau
ditentukan: mPFC, pSTS, fusiform face area (FFA), dan amygdala secara selektif terlibat
selama kondisi teori pikiran.
[64]

[65]

[66]
Penelitian lain memperlihatkan subjek sebuah animasi
dari dua titik yang bergerak dengan derjat yang diparamaterkan secara sengaja (menghitung
panjang saat titik mengejar satu sama lain), dan menemukan bahwa aktivasi pSTS berkaitan
dengan parameter tersebut.
[67]

Beberapa bagian penelitian telah melibatkan posterior superior temporal sulcus (pSTS)
dalam persepsi intentionalitas dalam aksi manusia; area ini juga terlibat dalam
mempersepsikan gerakan biologis, termasuk badan, mata, mulut, menunjuk (direview di
[68]
).
Salah satu penelitian menemukan meningkatnya aktivasi pSTS saat melihat seseorang
mengangkat tangannya dibandingkan saat tangannya didorong oleh sebuah piston (aksi
sengaja versus tidak sengaja).
[69]
Beberapa penelitian telah menemukan meningkatnya
aktivasi pSTS saat subjek mengamati aksi seseorang yang tidak selaras dengan aksi yang
diharapkan dari konteks si pelaku dan intensi yang diharapkan: misalnya, seseorang yang
melakukan gerakan menjangkau-untuk-meraih pada ruang kosong di dekat sebuah objek,
dibandingkan dengan menggenggam objek;
[70]
seseorang mengubah arah matanya ke arah
ruang kosong di dekat suatu papan dibandingkan mengubah pandangan ke arah suatu target;
[71]
seseorang yang menghidupkan lampu dengan lutut tanpa membawa apa-apa dibandingkan
menghidupkan lampu dengan lutut sambil membawa sekumpulan buku;
[72]
dan seseorang
yang berhenti berjalan saat melewati rak buku, dibandingkan berjalan dengan kecepatan
tetap.
[73]
Dalam penelitian-penelitian tersebut, aksi dalam kasus "selaras" memiliki tujuan
yang jelas, dan mudah dijelaskan dalam pengertian intensi dari si aktor; aksi "tidak selaras",
di lain sisi, membutuhkan penjelasan lebih lanjut (kenapa seseorang melihat ke ruang kosong
di sebelah suatu perlengkapan?), dan rupanya membutuhkan pemrosesan lebih pada pSTS.
Perlu diketahui bahwa wilayah ini berbeda dengan area temporo-parietal yang diaktivasi
selama pengujian kepercayaan-keliru.
[73]
Perlu dicatat juga bahwa aktivasi pSTS pada
kebanyakan penelitian di atas kebanyakan lateral-kanan, mengikuti tren umum dalam
penelitian pencitraan saraf dari kognisi dan persepsi sosial: juga lateral-kanan adalah aktivasi
TPJ selama pengujian kepercayaan-keliru, respon STS terhadap mosi biologis, dan respon
FFA terhadap wajah.
Bukti neuropsikologi telah menyediakan dukungan untuk hasil pencitraan saraf pada teori
pikiran berdasarkan saraf. Penelitian dengan pasien yang menderita luka pada bagian
temporoparietal junction otak (antara temporal lobe dan parietal lobe) melaporkan bahwa
mereka memiliki kesulitan dengan pengujian-pengujian teori pikiran.
[74]
Hal ini
memperlihatkan bahwa kemampuan teori pikiran berhubungan dengan bagian tertentu pada
otak manusia. Namun, fakta bahwa medial prefrontal cortex dan temporoparietal junction
diperlukan untuk pengujian teori pikiran bukan berarti bahwa wilayah tersebut hanya spesifik
untuk fungsi itu saja.
[61]

[75]
TPJ dan mPFC mungkin melayani fungsi-fungsi lebih umum
yang diperlukan untuk teori pikiran.
Penelitian oleh Vittorio Gallese, Luciano Fadiga dan Giacomo Rizzolatti (direview dalam
[76]

) telah memperlihatkan bahwa beberapa sensorimotor saraf, yang disebut sebagai saraf
cermin, pertama kali ditemukan dalam premotor cortex pada monyet rhesys, mungkin terkait
dalam pemahaman aksi. Pencatatan elektroda-tunggal mengungkapkan bahwa saraf-saraf
tersebut aktif saat seekor monyet melakukan suatu aksi dan saat monyet melihat agen lain
melakukan pekerjaan yang sama. Hal yang sama, penelitian fMRI dengan partisipasi manusia
telah memperlihatkan wilayah otak (diasumsikan memiliki saraf cermin) aktif saat seseorang
melihat aksi orang lain yang terarah pada satu tujuan.
[77]
Data tersebut telah mengarahkan
beberapa penguji menyarankan bahwa saraf cermin mungkin menyediakan dasar bagi teori
pikiran pada otak, dan mendukung simulasi pembacaan teori pikiran (lihat dibagian atas).
[78]

Namun, ada juga bukti yang menolak keterkaitan antara saraf cermin dan teori pikiran.
Pertama, monyet macaque memiliki saraf-saraf cermin tapi tampak tidak memiliki kapasitas
'seperti-manusia' untuk memahami teori pikiran dan kepercayaan. Kedua, penelitian fMRI
pada teori pikiran biasanya melaporkan aktivasi di mPFC, temporal poles dan TPJ atau STS,
[79]
tapi wilayah otak tersebut bukan bagian dari sistem saraf cermin. Beberapa peneliti,
seperti ahli perkembangan psikologi Andrew Meltzoff dan neurosains Jean Decety, percaya
bahwa saraf cermin hanya memfasilitasi pembelajaran lewat imitasi dan mungkin
menyediakan suatu awal pada perkembangan teori pikiran.
[80]

[81]
Yang lain, seperti filsuf
Shaun Gallagher, menyatakan bahwa aktivasi saraf-cermin, dalam sejumlah perhitungan,
gagal menemukan definisi dari simulasi yang diajukan oleh teori simulasi pembacaan pikiran.
[82]

[83]

Dalam autisme
Beberapa penelitian citrasaraf telah melihat gangguan saraf dasar pada teori pikiran pada
subjek dengan Sindrom asperger dan high-functioning autism (HFA). Penelitian PET pertama
teori pikiran pada autisme (juga penelitian citrasaraf pertama menggunakan uji-paksa aktivasi
paradigma pada autisme) menggunakan suatu pengujian komprehensi cerita,
[84]
meniru
penelitian sebelumnya pada individu normal.
[85]
Penelitian tersebut menemukan aktivasi
mPFC yang berkurang dan tidak digunakan pada subjek dengan autisme. Namun, karena
penelitian tersebut hanya menggunakan enam subjek dengan autisme, dan karena resolusi
spasial pada pencitraan PET relatif buruk, hasil tersebut harus dipertimbangkan sebagai
pendahuluan.
Penelitian fMRI selanjutnya memindai orang dewasa normal dan dewasa dengan HFA saat
melakukan pengujian "pembacaan pikiran lewat mata" sat melihat foto mata manusia dan
memilih dua kata yang lebih menjelaskan keadaan mental seseorang, dibandingkan dengan
kontrol diskriminasi gender.
[86]
Peneliti menemukan aktivitas di orbitofrontal cortex, STS,
dan amygdala pada subjek normal, dan menemukan tidak ada aktivasi amygdala dan aktivasi
abnormal STS pada subjek dengan autisme.
Penelitian PET terbaru melihat aktivitas otak pada individu dengan HFA dan sindrom
Asperger saat memperlihatkan animasi Heider-Simmer (lihat di atas) dibandingkan dengan
kontrol gerak acak.
[87]
Berbanding mencolok dengan subjek normal, mereka yang dengan
autisme memperlihatkan tidak ada aktivasi STS atau FFA, dan sangat sedikit aktivasi mPFC
dan amygdala. Aktivitas dalam korteks extrastriate V3 dan LO tampak identik pada kedua
grup, menyarankan secara utuh pemrosesan visual tingkat-rendah pada subjek dengan
autisme. Penelitian tersebut juga melaporkan sangat kurangnya konektivitas fungsional antara
STS dan V3 pada grup autisme. Ingatlah, meskipun demikian, bahwa menurunnya korelasi
temporal antara aktivasi pada STS dan V3 mungkin disebabkan karena kurangnya respon
yang diberikan pada STS terhadap animasi bermuatan-tajam pada subjek dengan autisme;
analisis yang lebih informatif bisa dengan menghitung konektivitas fungsi setelah
mengurangi respon yang muncul dari semua urutan-urutan waktu.
Penelitian berikutnya, menggunakan paradigma pengalihan tatapan tak-selaras/selaras seperti
yang dijelaskan di atas, menemukan bahwa pada HFA dengan autisme, aktivasi pSTS tidak
terbedakan saat melihat seseorang mengalihkan pandangan ke arah suatu target dan ke arah
ruang kosong.
[88]
Tidak adanya pemrosesan tambahan STS pada keadaan selaras mungkin
menyarankan bahwa subjek tersebut gagal melakukan suatu ekspektasi dari apa yang aktor
seharusnya lakukan saat menerima informasi kontekstual, atau bahwa informasi tentang
pelanggaran dari ekspektasi ini tidak mencapai STS; kedua penjelasan mengikutkan suatu
kecacatan pada kemampuan menghubungkan alih pandang mata dengan penjelasan
intensional. Penelitian ini juga menemukan anti-korelasi yang sangat penting antara aktivasi
STS dalam perbedaan tak-selaras/selaras dan nilai subskala sosial dalam Autisme Diagnostic
Interview-Revised, tapi tidak dengan nilai pada subskala lainnya.
Pada tahun 2011, penelitian fMRI mendemonstrasikan bahwa temporoparietal junction kanan
(rTPJ) pada HFA dengan autisme tidak secara selektif lebih diaktivasi untuk menilai secara
mentalisasi bila dibandingkan dengan penilaian fisik tentang diri dan orang lain.
[89]
rTPJ
yang secara selektif untuk mentalisasi juga berelasi dengan variasi individu dalam
pengukuran secara klinis terhadap gangguan sosial; individu yang rTPJnya meningkat lebih
aktif untuk mentalisasi dibandingkan dengan penilaian fisik akan memiliki sedikit gangguan
sosial, sementara mereka yang memperlihat sedikit atau tidak ada perbedaan saat merespon
penilaian mental atau fisik adalah yang paling mengalami gangguan sosial. Bukti ini
dibangun berdasarkan perkembangan tipikal yang menyarankan rTPJ adalah kritikal untuk
merepresentasikan informasi keadaan mental, terlepas apakah itu tentang diri sendiri atau
orang lain. Ia juga menunjukan pada penjelasan tingkat saraf untuk kesulitan menerima
kebutaan-pikiran pada autisme yang merupakan bukti selama masa hidup.
[90]

Selain-manusia
Lihat pula: Kesadaran hewan
Sebuah pertanyaan terbuka adalah apakah hewan lain selain manusia memiliki suatu genetik
bawaan dan lingkungan sosial yang membuat mereka memperoleh teori pikiran dengan cara
yang sama pada anak manusia lakukan.
[1]
Ini adalah masalah yang suka diperdebatkan
karena permasalahan menyangkut perilaku hewan dengan keberadaan pemikiran, dengan
keberadaan suatu konsep diri atau kesadaran diri, atau pemikiran-pemikiran yang khusus.
Salah satu kesulitan dengan penelitian pada selain-manusia untuk teori pikiran adalah tidak
cukupnya jumlah observasi naturalistik, yang memberikan pandangan terhadap tekanan
secara evolusi apa yang ada pada perkembangan teori pikiran pada spesies.
Penelitian selain-manusia masih memiliki tempat utama dalam bidang ini, bagaimanapun
juga, dan sangat berguna dalam memperjelas perilaku tak-verbal mana yang menunjukan
teori pikiran, dan untuk mengarahkan pada kemungkinan langkah-langkah dalam evolusi
yang banyak diklaim orang hanya aspek unik manusia terhadap kognisi sosial. Walaupun
sulit untuk mempelajari teori pikiran seperti-manusia dan keadaan mental pada spesies yang
potensi keadaan mentalnya belum seluruhnya dipahami, para peneliti dapat fokus pada
komponen yang lebih sederhana dari kemampuan yang lebih kompleks. Contohnya, banyak
peneliti fokus pada pemahaman hewan terhadap intuisi, tatapan, perspektif, atau pengetahuan
(atau bisa juga, apa yang mahluk lain lihat). Penelitian Call dan Tomasello
[34]
yang melihat
pada pemahaman intensi pada orangutan, simpanse, dan anak-anak memperlihatkan bahwa
ketiga spesies memahami perbedaan antara aksi sengaja dan tak-sengaja. Bagian yang sulit
pada penelitian ini adalah fenomena yang diobservasi sering dijelaskan sebagai pembelajaran
respon-stimulus sederhana, seperti secara alami setiap para teori pikiran harus
memperkirakan keadaan mental internal dari perilaku yang diobservasi. Baru-baru ini,
kebanyakan penelitian teori pikiran bukan-manusia telah memfokuskan pada monyet dan
kera besar, yang kebanyakan lebih tertarik pada penelitian evolusi kognisi sosial pada
manusia. Penelitian lain yang berkaitan dengan atribusi teori pikiran telah dilakukan
menggunakan plover
[91]
dan anjing,
[92]
dan telah memperlihatkan bukti awal pemahaman
atensi - salah satu prekursor dari teori pikiran - terhadap yang lain.
Ada beberapa kontroversi mengenai interpretasi bukti yang mengaku memperlihatkan
kemampuan atau ketakmampuan teori pikiran pada hewan.
[93]
Dua contoh sebagai
demonstrasi: pertama, Povinelli dkk. (1990)
[94]
memberikan simpanse pilihan dua orang
eksperimen yang akan memberikan makanan: pertama, yaitu yang telah melihat tempat
makanan disembunyikan, dan satu lagi, berdasarkan berbagai mekanisme (memiliki
keranjang atau tas di atas kepalanya; mata yang ditutup, atau dijauhkan dari umpan) tidak
tahu, dan hanya dapat menebak. Mereka menemukan bahwa hewan gagal pada kebanyakan
kasus untuk membedakan meminta makanan kepada yang "mengetahui". Sebaliknya, Hare,
Call, dan Tomasello (2001)
[95]
menemukan bahwa subordinat simpanse mampu
menggunakan keadaan pengetahuan dari simpanse dominan lawan untuk menentukan kotak
yang berisi makanan mana yang mereka dekati. William Field dan Sue Savage-Rumbaugh
tidak meragukan bahwa bonob telah memiliki teori pikiran dan mengutip komunikasi mereka
dengan bonobo tangkaran terkenal, Kanzi, sebagai bukti.
[96]

Lihat juga
Autisme
Intelijensi
Cephalopod
Intelijensi
Cetacean
Landasan
dalam
komunikasi
Kesadaran
Empati
Identitas teori
pikiran
Atensi
gabungan
Badan mental
Mentalisasi
Pikiran
Pikiran seekor
kera
Permasalahan
Pikiran-badan
Saraf cermin
Asal mula bahasa
Filosofi pikiran
Permasalahan
pikiran orang lain
Pikiran quantum
Neurosains social
Tes Turing

Catatan
1. ^
a

b

c

d

e
Premack, D. G.; Woodruff, G. (1978). "Does the chimpanzee have a theory of
mind?". Behavioral and Brain Sciences 1 (4): 515526. doi:10.1017/S0140525X00076512.
2. ^
a

b
Korkmaz B (May 2011). "Theory of mind and neurodevelopmental disorders of
childhood". Pediatr. Res. 69 (5 Pt 2): 101R8R. doi:10.1203/PDR.0b013e318212c177.
PMID 21289541.
3. ^
a

b
Uekermann J, Daum I (May 2008). "Social cognition in alcoholism: a link to prefrontal
cortex dysfunction?". Addiction 103 (5): 72635. doi:10.1111/j.1360-0443.2008.02157.x.
PMID 18412750.
4. ^
a

b

c

d
Baron-Cohen, S. (1991). Precursors to a theory of mind: Understanding attention in
others. In A. Whiten (Ed.), Natural theories of mind: Evolution, development and simulation
of everyday mindreading (pp. 233-251). Oxford: Basil Blackwell.
5. ^ Bruner, J. S. (1981). Intention in the structure of action and interaction. In L. P. Lipsitt & C.
K. Rovee-Collier (Eds.), Advances in infancy research. Vol. 1 (pp. 41-56). Norwood, NJ: Ablex
Publishing Corporation.
6. ^ Gordon, R. M. (1996). 'Radical' simulationism. In P. Carruthers & P. K. Smith, Eds. Theories
of theories of mind. Cambridge: Cambridge University Press.
7. ^ Courtin, C. (2000). "The impact of sign language on the cognitive development of deaf
children: The case of theories of mind". Cognition 77: 2531.
8. ^ Courtin, C.; Melot, A.-M. (2005). "Metacognitive development of deaf children: Lessons
from the appearance-reality and false belief tasks". Journal of Deaf Studies and Deaf
Education 5 (3): 266276. doi:10.1093/deafed/5.3.266. PMID 15454505.
9. ^ de Waal, Franz B.M. (2007), "Commiserating Mice" (Scientific American), 24 June 2007
10. ^ Demetriou, A., Mouyi, A., & Spanoudis, G. (2010). The development of mental processing.
Nesselroade, J. R. (2010). Methods in the study of life-span human development: Issues and
answers. In W. F. Overton (Ed.), Biology, cognition and methods across the life-span. Volume
1 of the Handbook of life-span development (pp. 36-55), Editor-in-chief: R. M. Lerner.
Hoboken, NJ: Wiley.
11. ^ Hayes, S. C., Barnes-Holmes, D., & Roche, B. (2001). Relational frame theory: A post-
Skinnerian account of human language and cognition. New York: Kluwer Academic/Plenum.
12. ^ Rehfeldt, R. A., and Barnes-Holmes, Y., (2009). Derived Relational Responding: Applications
for learners with autism and other developmental disabilities. Oakland, CA: New Harbinger.
13. ^ McHugh, L. & Stewart, I. (2012). The self and perspective-taking: Contributions and
applications from modern behavioral science. Oakland, CA: New Harbinger.
14. ^ Carruthers, P. (1996). Simulation and self-knowledge: a defence of the theory-theory. In P.
Carruthers & P.K. Smith, Eds. Theories of theories of mind. Cambridge: Cambridge University
Press.
15. ^ Goldman, A. (2005). Imitation, mind reading, and simulation. In S. Hurley, & N. Chater,
Perspectives on Imitation II (pp. 80-81). Cambridge, MA: MIT Press.
16. ^ Goldman, A. (2006). Simulating Minds: The Philosophy, Psychology, and the Neuroscience
of Mindreading. New York: Oxford University Press.
17. ^ Gallese, V., Keysers, C., & Rizzolatti, G. (2004). A Unifying View of the Basis of Social
Cognition. Trends in Cognitive Sciences , 8 (9), 396-403.
18. ^ Decety, J., & Grezes, J. (2006). The power of simulation: Imagining one's own and other's
behavior. Brain Research , 1079, 4-14.
19. ^ Csirba, G. (2008). Action Mirroring and Action Understanding: An Alternative Account. In P.
Haggard, Y. Rossetti, & M. Kawato, Sensorimotor Foundations of HIgher Cognition: Attention
and Performance (pp. 435-458). Oxford: Oxford University Csirba
20. ^ Jacob, P. (2008). What do mirror neurons contribute to human social cognition? Mind and
Language , 23 (2), 190-223.
21. ^ Newman-Norlund, R., van Shie, H., van Zuijlen, A., & Beckering, H. (2007). The mirror
system is more active during complementary compared with imitative action. Social
Neuroscience , 10 (7), 167-178
22. ^ Michael, J. (2012). Mirror Systems and Simulation: a neo-empiricist interpretation.
Phenomenology and the Cognitive Sciences, 1-21.
23. ^
a

b
Gordon, R.M. (1996). 'Radical' simulationism. In P. Carruthers & P.K. Smith, Eds. Theories
of theories of mind. Cambridge: Cambridge University Press.
24. ^ De Jaegher, H., Di Paolo, E., & Gallagher, S. (2010). Can Social Interaction Constitute Social
Cognition? Trends in Cognitive Sciences , 14 (10), 441-447.
25. ^ Gallagher, S., & Hutto, D. (2008). Understanding others through Primary Interaction and
Narrative Practice. In T. Zlatev, T. Racine, C. Sinha, & E. Itkonen, The Shared Mind:
Perspectives on Intersubjectivity (pp. 17-38). Amsterdam: John Benjamins.
26. ^ Trevarthen, 1979
27. ^ Gallagher, S. (2001) The practice of mind: Theory, Simulation, or Interaction? Journal of
Consciousness Studies, 8, 83-107.
28. ^ Meltzoff, A., & Moore, M. (1983). Newborn infants imitate adult facial gestures. Child
Development , 54, 702-709.
29. ^ Trevarthen, C. (1979). Communication and cooperation in early infancy: A description of
Primary Intersubjectivity. In M. Bullowa, Before Speech (pp. 321-348). Cambridge:
Cambridge University Press.
30. ^ Zahavi, D. (2008). Simulation, projection, and empathy. Consciousness and Cognition , 17,
514-522. p.518
31. ^ Dennett, D. (1987). The Intentional Stance. Cambridge: MIT Press.
32. ^ http://www.contextualpsychology.org/functional_contextualism_0
33. ^ Dennett, D. C. (1987). Reprint of Intentional systems in cognitive ethology: The Panglossian
paradigm defended (to p. 260). The Brain and Behavioral Sciences, 6, 343-390
34. ^
a

b
Call, J.; Tomasello, M. (1998). "Distinguishing intentional from accidental actions in
orangutans (Pongo pygmaeus), chimpanzees (Pan troglodytes), and human children (Homo
sapiens)". Journal of Comparative Psychology 112 (2): 192206. doi:10.1037/0735-
7036.112.2.192. PMID 9642787.
35. ^
a

b
Meltzoff, A. (1995). "Understanding the intentions of others: Re-enactment of intended
acts by 18-month-old children". Developmental Psychology 31 (5): 838850.
doi:10.1037/0012-1649.31.5.838.
36. ^ Gagliardi, J. L. et al. (1995). "Seeing and knowing: Knowledge attribution versus stimulus
control in adult humans (Homo sapiens)". Journal of Comparative Psychology 109 (2): 107
114. doi:10.1037/0735-7036.109.2.107. PMID 7758287.
37. ^ Meltzoff, A. N. (2002). Imitation as a mechanism of social cognition: Origins of empathy,
theory of mind, and the representation of action. In U. Goswami (Ed.), Handbook of
childhood cognitive development (pp. 6-25). Oxford: Blackwell Publishers.
38. ^ Horowitz, A. (2003). "Do humans ape? or Do apes human? Imitation and intention in
humans and other animals". Journal of Comparative Psychology 17 (3): 325336.
doi:10.1037/0735-7036.117.3.325.
39. ^ Wimmer, H.; Perner, J. (1983). "Beliefs about beliefs: Representation and constraining
function of wrong beliefs in young children's understanding of deception". Cognition 13 (1):
103128. doi:10.1016/0010-0277(83)90004-5. PMID 6681741.
40. ^
a

b
Baron-Cohen S, Leslie AM, Frith U (1985). "Does the autistic child have a 'theory of
mind'?" (PDF). Cognition 21 (1): 3746. doi:10.1016/0010-0277(85)90022-8. PMID 2934210.
Diakses 2008-02-16.
41. ^ Gopnik A, Aslington J W. Children's understanding of representational change and its
relation to the understanding of false belief and the appearance-reality distinction.. Child
Development. 1988;59(1):2637. doi:10.2307/1130386. PMID 3342716.
42. ^ Zaitchik, D. (1990). "When representations conflict with reality: the preschooler's problem
with false beliefs and "false" photographs". Cognition 35 (1): 4168. doi:10.1016/0010-
0277(90)90036-J. PMID 2340712.
43. ^ Leslie, A.; Thaiss, L. (1992). "Domain specificity in conceptual development". Cognition 43
(3): 22551. doi:10.1016/0010-0277(92)90013-8. PMID 1643814.
44. ^ Sabbagh, M.A.; Moses, L.J.; Shiverick, S (2006). "Executive functioning and preschoolers'
understanding of false beliefs, false photographs, and false signs". Child Development 77 (4):
10341049. doi:10.1111/j.1467-8624.2006.00917.x. PMID 16942504.
45. ^
a

b
Leslie, A. M. (1991). Theory of mind impairment in autism. In A. Whiten (Ed.), Natural
theories of mind: Evolution, development and simulation of everyday mindreading (pp. 63-
77). Oxford: Basil Blackwell.
46. ^ Poulin-Dubois, D., Sodian, B., Tilden, J., Metz, U., & Schoepper, B. (2007). Out of sight is not
out of mind: Developmental changes in infants' understanding of visual perception during
the second year. Journal of Cognition and Development, 8, 401-425.
47. ^ Onishi, K. H., & Baillargeon, R. (2005) Do 15-month-old infants understand false beliefs?
Science, 308, 255-258.
48. ^ Chow, V., & Poulin-Dubois, D. (2009) [First published 2010]. "The effect of a looker's past
reliability on infants' reasoning about beliefs" (PDF). Developmental Psychology 45 (6):
15761582. doi:10.1037/a0016715. PMID 19899915.
49. ^ Moore, S. (2002). Asperger Syndrome and the Elementary School Experience. Shawnee
Mission, KS: Autism Asperger Publishing Company.
50. ^ Baker, J. (2003). Social Skills Training: for children and adolescents with Asperger Syndrome
and Social-Communication Problems. Mission, KS: Autism Asperger Publishing Company.
51. ^ Happe, FG (2009). "The role of age and verbal ability in the theory of mind task
performance of subjects with autism". Child Development 66 (6): 84355.
doi:10.1037/a0016715. PMID 19899915.
52. ^
a

b
Baron-Cohen, S. (1991). Precursors to a theory of mind: Understanding attention in
others. In A. Whiten, Ed., Natural theories of mind: Evolution, development, and simulation
of everyday mindreading (233-251). Cambridge, MA: Basil Blackwell.
53. ^
a

b
Leslie, A. M. (1991). Theory of mind impairment in autism. In A. Whiten, Ed., Natural
theories of mind: Evolution, development, and simulation of everyday mindreading.
Cambridge, MA: Basil Blackwell.
54. ^ Hobson, R.P. (1995). Autism and the development of mind. Hillsdale, N.J.: Lawrence
Erlbaum Associates Ltd.
55. ^ Dapretto, M. et al. (2006). "Understanding emotions in others: mirror neuron dysfunction
in children with autism spectrum disorders". Nature Neuroscience 9 (1): 2830.
doi:10.1038/nn1611. PMID 16327784.
56. ^ Michele Tine and Joan Lucariello (2012). "Unique Theory of Mind Differentiation in
Children with Autism and Asperger Syndrome". Autism Research and Treatment 2012
(Article ID 505393): 1. doi:10.1155/2012/505393.
57. ^ Gallagher and Frith, (2003) "Functional imaging of 'theory of mind'," Trends in Cognitive
Sciences Vol. 7, No. 2, 77-83
58. ^ Saxe, R; Kanwisher, N (2003). "People thinking about thinking people: The role of the
temporo-parietal junction in 'theory of mind'". NeuroImage 19 (4): 18351842.
doi:10.1016/S1053-8119(03)00230-1. PMID 12948738.
59. ^ Saxe et al. (2006), "Reading minds versus following rules: Dissociating theory of mind and
executive control in the brain," Social Neuroscience 1 (3-4), 284-298
60. ^ Saxe and Powell (2006), "It's the Thought That Counts: Specific Brain Regions for One
Component of Theory of Mind," Psychological Science Vol. 17, No. 8, 692-699
61. ^
a

b
Decety and Lamm (2007), "The Role of the Right Temporoparietal Junction in Social
Interaction: How Low-Level Computational Processes Contribute to Meta-Cognition,"
Neuroscientist Vol. 13, No. 6, 580-593
62. ^ Mitchell (2008), "Activity in Right Temporo-Parietal Junction is Not Selective for Theory-of-
Mind," Cerebral Cortex
63. ^ Scholz J, Triantafyllou C, Whitfield-Gabrieli S, Brown EN, Saxe R. Distinct regions of right
temporo-parietal junction are selective for theory of mind and exogenous attention. PLoS
One. 2009;4(3):e4869. doi:10.1371/journal.pone.0004869. PMID 19290043.
64. ^ Castelli et al. (2002), "Movement and Mind: A Functional Imaging Study of Perception and
Interpretation of Complex Intentional Movement Patterns," NeuroImage
65. ^ Martin and Weisberg (2003), "Neural Foundations For Understanding Social And
Mechanical Concepts," Cognitive Neuropsychology 20(3-6), 575-587
66. ^ Schultz et al. (2003), "The role of the fusiform face area in social cognition: Implications for
the pathobiology of autism," Philosophical Transactions of Royal Society of London, Series B:
Biological Sciences, 358(1430), 415427
67. ^ Schultz et al. (2005), "Activation in Posterior Superior Temporal Sulcus Parallels Parameter
Inducing the Percept of Animacy," Neuron Vol. 45, 625-635
68. ^ Allison, T et al. (2000). "Social perception from visual cues: role of the STS region". Trends
in Cognitive Sciences 4 (7): 267278. doi:10.1016/S1364-6613(00)01501-1. PMID 10859571.
69. ^ Morris et al. (2008), "Perceived causality influences brain activity evoked by biological
motion," Social Neuroscience 3(1), 16-25
70. ^ Pelphrey, KA et al. (2004). "Grasping the Intentions of Others: The Perceived Intentionality
of an Action Influences Activity in the Superior Temporal Sulcus during Social Perception".
Journal of Cognitive Neuroscience 16 (10): 17061716. doi:10.1162/0898929042947900.
PMID 15701223.
71. ^ Mosconi, MW et al. (2005). "Taking an 'intentional stance' on eye-gaze shifts: A functional
neuroimaging study of social perception in children". NeuroImage 27 (1): 247252.
doi:10.1016/j.neuroimage.2005.03.027. PMID 16023041.
72. ^ Brass, M et al. (2007). "Investigating Action Understanding: Inferential Processes versus
Action Simulation". Current Biology 17 (24): 21172121. doi:10.1016/j.cub.2007.11.057.
PMID 18083518.
73. ^
a

b
Saxe, R et al. (2004). "A region of right posterior superior temporal sulcus response to
observed intentional actions". Neuropsychologia 42 (11): 14351446.
doi:10.1016/j.neuropsychologia.2004.04.015. PMID 15246282.
74. ^ Samson, D.; Apperly, I.A.; Chiavarino, C.; Humphreys, G.W. (2004). "Left temporoparietal
junction is necessary for representing someone else's belief". Nature Neuroscience 7 (5):
499500. doi:10.1038/nn1223. PMID 15077111.
75. ^ Stone, V.E., & Gerrans, P. (2006). What's domain-specific about theory of mind. Social
Neuroscience, 1 (3-4), 309-319.
76. ^ Rizzolatti, G., & Craighero, L. (2004). The mirror-neuron system. Annual Review of
Neuroscience, 27, 169-192.
77. ^ Iacoboni, M.; Molnar-Szakacs, I.; Gallese, V.; Buccino, G.; Mazziotta, J.C.; Rizzolatti,
Giacomo (2005). "Grasping the intentions of others with one's own mirror neuron system".
PLoS Biology 3 (3): 529535. doi:10.1371/journal.pbio.0030079.
78. ^ Gallese, V., & Goldman, A. (1998). Mirror neurons and the simulation theory of mind-
reading. Trends in Cognitive Science, 2(12), 493-501.
79. ^ Frith U, Frith CD (2003). "Development and neurophysiology of mentalizing" (PDF). Philos
Trans R Soc Lond B Biol Sci 358 (1431): 45973. doi:10.1098/rstb.2002.1218. PMC 1693139.
PMID 12689373.
80. ^ Meltzoff, A.N., & Decety, J. (2003). What imitation tells us about social cognition: A
rapprochement between developmental psychology and cognitive neuroscience. The
Philosophical Transactions of the Royal Society, London, 358, 491-500.
81. ^ Sommerville, J. A.; Decety, J. (2006). "Weaving the fabric of social interaction: Articulating
developmental psychology and cognitive neuroscience in the domain of motor cognition".
Psychonomic Bulletin & Review 13 (2): 179200. doi:10.3758/BF03193831.
82. ^ Gallagher, S. (2007). Simulation trouble. Social Neuroscience. 2 (3-4): 353-65.
83. ^ Gallagher, S. (2008). Neural simulation and social cognition. In J. A. Pineda (ed.), Mirror
Neuron Systems: The Role of Mirroring Processes in Social Cognition (355-71). Totowa, NJ:
Humana Press.
84. ^ Happe, F et al. (1996). "'Theory of mind' in the brain. Evidence from a PET scan study of
Asperger syndrome". NeuroReport 8 (1): 197201. doi:10.1097/00001756-199612200-
00040. PMID 9051780.
85. ^ Fletcher, PC et al. (1995). "Other minds in the brain: a functional imaging study of 'theory
of mind' in story comprehension". Cognition 57 (2): 109128. doi:10.1016/0010-
0277(95)00692-R. PMID 8556839.
86. ^ Baron-Cohen et al. (1999), "Social intelligence in the normal and autistic brain: an fMRI
study," European Journal of Neuroscience 11: 1891-1898
87. ^ Castelli, F et al. (2002). "Autism, Asperger syndrome and brain mechanisms for the
attribution of mental states to animated shapes". Brain 125 (Pt 8): 18391849.
doi:10.1093/brain/awf189. PMID 12135974.
88. ^ Pelphrey, KA et al. (2005). "Neural basis of eye gaze processing deficits in autism". Brain
128 (Pt 5): 10381048. doi:10.1093/brain/awh404. PMID 15758039.
89. ^ Lombardo MV, Chakrabarti B, Bullmore ET, MRC AIMS Consortium, Baron-Cohen S.
Specialization of right temporo-parietal junction for mentalizing and its relation to social
impairments in autism. Neuroimage. 2011;56(3):18321838.
doi:10.1016/j.neuroimage.2011.02.067. PMID 21356316.
90. ^ Senju A, Southgate V, White S, Frith U. Mindblind eyes: an absence of spontaneous theory
of mind in Asperger syndrome. Science. 2009;325(5942):883885.
doi:10.1126/science.1176170. PMID 19608858.
91. ^ Ristau, C. (1991). Aspects of the cognitive ethology of an injury-feigning bird, the piping
plovers. In C. A. Ristau (Ed.), Cognitive ethology: The minds of other animals. Essays in honor
of Donald R. Griffin (pp. 91-126). Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum.
92. ^ Horowitz, A. (2009). Attention to attention in domestic dog (Canis familiaris) dyadic play.
Animal Cognition, 12, 107-118.
93. ^ Povinelli, D.J.; Vonk, Jennifer. Chimpanzee minds: suspiciously human?.
94. ^ Povinelli, D.J.; Nelson, K.E.; Boysen, S.T. (1990). "Inferences about guessing and knowing by
chimpanzees (Pan troglodytes)". Journal of Comparative Psychology 104 (3): 203210.
doi:10.1037/0735-7036.104.3.203. PMID 2225758.
95. ^ Hare, B.; Call, J.; Tomasello, M. (2001). "Do chimpanzees know what conspecifics know and
do not know?". Animal Behavior 61: 139151. doi:10.1006/anbe.2000.1518.
96. ^ Hamilton, Jon (8 July 2006). "A Voluble Visit with Two Talking Apes". NPR. Diakses 21
March 2012.
Referensi
Excerpts taken from: Davis, E. (2007) Mental Verbs in Nicaraguan Sign Language and the
Role of Language in Theory of Mind. Undergraduate senior thesis, Barnard College, Columbia
University.
Tautan luar

Buku Wiki memiliki buku bertajuk
Consciousness
(Inggris)The Computational Theory of Mind
(Inggris)The Identity Theory of Mind
(Inggris)Sally-Anne and Smarties tests
(Inggris)Scientists Say Everyone Can Read Minds
(Inggris)Functional Contextualism
o (Inggris)Relational Frame Theory
Templat:Filsafat pikiran
Kategori:
Artikel yang membutuhkan rujukan tambahan
Ilmu kognitif
Teori-teori Pikiran
Teori
Menu navigasi
Buat akun baru
Masuk log
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting sumber
Versi terdahulu

Halaman Utama
Perubahan terbaru
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Bagikan
Cetak/ekspor
Peralatan
Bahasa lain
Deutsch
English
Espaol
Suomi
Magyar
Italiano

Bahasa Melayu
Nederlands
Norsk bokml
Polski
Portugus

Slovenina
Slovenina
Svenska
Trke
Sunting interwiki
Halaman ini terakhir diubah pada 09.32, 5 Agustus 2013.
Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Developers
Tampilan seluler

















Autisme
.
Pada pemeriksaan status mental, ditemukan kurangnya orientasi lingkungan, rendahnya
ingatan, meskipun terhadap kejadian yang baru, demikian juga kepedulian terhadap
sekitar sangat kurang. Anak autisme kalau berbicara cepat-cepat tetapi tanpa arti, kadang
diselingi suara yang tidak jelas maksudnya seperti suara gemeretak gigi bila si anak
menggigil karena demam.
Kebanyakan inteligensia anak autisme rendah. Namun demikian, 20 % dari anak autisme
masih mempunyai IQ>70. Kemampuan khusus, seperti membaca, berhitung,
menggambar, melihat penanggalan, atau mengingat jalanan yang banyak liku-likunya,
kurang. Anak autisme berarti anak yang kurang bisa bergaul atau kurang bisa
mengimbangi anak sebayanya. Tetapi tidak sampai seperti anaak Down Syndrome yang
idiot, atau anak yang gerakan ototnya kaku, pada anak dengan kelainan jaringan otak.
Autisme menimpa seluruh bangsa, ras serta seluruh tingkat sosial. Hanya lebih sering
terdapat pada anak lelaki, bisa sampai 3-4 kali dibanding anak perempuan, mungkin ada
hubungan genetik. Sebagian besar penderita autisme biasanta mengalami gangguan
berbahasa. Kejadian autisme di negara maju sekitar 4-15/ 10.000 penduduk.
Pemeriksaan CT scanning dan pneumo encephalograam pada anak autisme, tampak :
Ventrikel lateral otak tidak normal, terutama daerah temporal.
Juga terlihat pelebaran ventrikel lateral otak.
Pada pemeriksaan histopatologi:
Pembentukan sel-sel di daerah hipocampus terlihat tidak normal dan
amygdala di kedua sisi otak.
Pada pemeriksaan EEG:
Kelainan tidak khas, meskipun kadang-kadang tampak discharge temporal.
Secara laboratorium:
Diduga ada kaitannya dengan banyaknya pembuangan zat phenil keton
melalui air seni (phenil ketonuria).
Kurang mampu berimajinasi (daya khayal).

Você também pode gostar