Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
NAMA DOSEN:
I GUSTI NGURAH JEMMY ANTON PRASETYA
KELOMPOK IV
GOLONGAN I
ANGGOTA KELOMPOK:
SARAH ANDRIANI PUTRI
1208505020
1208505021
1208505023
NI WAYAN BUDININGRUM
1208505024
1208505025
1208505027
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PREFORMULASI
Indikasi
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non-narkotik dengan
cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter, atau yang dijual bebas. (Darsono, 2002).
Parasetamol merupakan pilihan line pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan
sampai sedang (Cranswick and Coghlan, 2000).
I.1.2
Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati,
sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui
urin dalam satu hari pertama, sebagian dihidroksilasi menjadi N-acetyl-pbenzoquinoneimine yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi
nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati
(Darsono, 2002). Waktu eliminasi parasetamol terjadi kira-kira 1-4 jam (Reynolds,
1989).
Metabolit terhidroksilasi (N-acetyl-p-benzoquinoneimine), selalu diproduksi
dengan jumlah yang sedikit oleh isoenzim sitokrom P450 (terutama CYP2E1 dan
CYP3A4) di dalam hati dan ginjal. Metabolit ini selalu terdetoksifikasi dengan
konjugasi dengan glutasion, tetapi dapat terjadi akumulasi diikuti dengan overdosis
parasetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan (Sweetman, 2009).
I.1.3
Mekanisme
Parasetamol merupakan analgetik-antiperetik yang bekerja seperti aspirin
Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas meliputi gejala urtikaria, disponoea, dan hipotensi.
Hal ini dapat terjadi setelah penggunaan parasetamol baik pada dewasa maupun anakanak. Juga dilaporkan terdapat angioedema (Sweetman, 2009).
Efek samping jarang terjadi. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat
terjadi kerusakan hati dan pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang
tidak reversibel. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya yang
pada dosis normal dapat ditangkal oleh gluthation (suatu tripeptida dengan SH). Pada
dosis di atas 10 g persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat
diri pada protein dengan gugusan SH di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan
irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal. Overdose dapat menimbulkan antara
lain, mual, muntah dan anoreksia (Tjay dan Rahardja, 2008).
I.1.5
Kontra Indikasi
akut, pada beberapa pasien dewasa dapat menyebabakan kerusakan hati pada dosis
harian kronis. Digunakan dengan perhatian pada pasien dengan penyakit hati karena
alkoholik karena akan meningkatkan resiko hepatotoksik dan pasien dengan
defisiensi G6PD yang tidak diketahui (Lacy et al., 2004). Jika terjadi sensitivitas,
pemakaian obat harus dihentikan. Tidak dianjurkan untuk batuk berdahak dan
keadaan-keadaan di mana terjadi gangguan pernafasan, misalnya asma bronchial. Bila
setelah 5 hari nyeri tidak menghilang, atau demam tidak menurun setelah 2 hari,
segera hubungi unit pelayanan kesehatan (Tjay dan Rahardja, 2008).
I.1.7
Interaksi Obat
antikonvulsan
phenobarbiton
memperkuat
efek
hepatotoksik
parasetamol.
(Lacy et al., 2004).
Selain itu pemberian bersama-sama diflusinal mengakibatkan kenaikan
konsentrasi plasma.
Kodein dan Kafein dapat memperkuat efek analgetik paracetamol
Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia tetapi pada dosis
biasa tidak interaktif.
Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan
neutropenia.
(Tjay dan Rahardja, 2008).
I.1.8
Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. Suppositoria disimpan pada
suhu di bawah 270C (800F) atau dalam kulkas (Depkes RI, 1979).
I.2 Tinjauan Fisikokimia Zat Aktif dan Bahan Tambahan
1.2.1
Parasetamol
Nama Kimia
: N-asetil-4-aminfenol
Berat Molekul
: 151,16 gram/mol
a) Pemerian: Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas
lemak, agak rapuh
b) Kelarutan: Sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P,
dalam eter P, dan dalam eter minyak tanah P.
c) Titik Leleh: 30-36C.
d) Indeks bias: 1,4564 sampai 1,4575; penetapan dilakukan pada sudut 40.
e) Bilangan asam: tidak lebih dari 4,0.
f) Bilangan iodium: 35 sampai 40.
g) Bilangan penyabunan: 188 sampai 196.
5
kristal yang lebih stabil, yang akan membentuk inti dimana pengentalan
mungkin terjadi sewaktu pendinginan cairan tadi (Ansel, 2005).
Bahan-bahan seperti fenol dan kloralhidrat cenderung menurunkan titik
lebur dari oleum cacao sewaktu bercampur dengan bahan tersebut. Jika titik
lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dijadikan
suppositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis
tunggal, maka bahan pengeras seperti lilin setil ester ( 20%) atau malam tawon
( 4%) dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh
pelunakan dari bahan yang ditambahkan (Ansel, 2005).
1.2.3 Tween 80
a) Pemerian: Cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning muda hingga coklat
muda, bau khas lemah, rasa pahit dan hangat.
b) Kelarutan: Sangat mudah larut dalam air, larutan tidak berbau dan praktis
tidak berwarna, larut dalam etanol, dalam etil asetat, tidak larut dalam minyak
mineral.
c) Kekentalan: 300-500 sentistokes pada suhu 250C
(Depkes RI, 1995).
1.2.4
Cera alba
a) Pemerian: Padatan putih, sedikit tembus cahaya dalam keadaan lapisan tipis,
bau khas dan bebas bau tengik
b) Kelarutan: Tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol dingin. Larut
sempurna dala kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak, dan minyat atsiri.
Sebagian larut dalam benzene dingin dan dalam karbon disulfide dingin.
c) Suhu Lebur: 620C 650C.
d) Khasiat: Emolien, zat penambah kekerasan dan meningkatkan titik leleh
e) Penyimpanan: Dalam wadah sejuk dan kering serta tertutup baik
(Depkes RI, 1995).
Bentuk sediaan
Suppositoria merupakan sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh.
Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu
tubuh. Sebagai bahan dasar digunakan lemak coklat, polietilen glikol berbobot
molekul tinggi, lemak atau bahan lain yang cocok. Kecuali dinyatakan lain,
digunakan lemak coklat (Depkes RI, 1979). Bobot suppositoria jika tidak dinyatakan
lain adalah 3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak-anak. Suppositoria harus
disimpan dalam wadah tertutup baik dan di tempat sejuk (Anief, 2006). Suppositoria
dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik
yang bersifat lokal atau sistemik (Depkes RI, 1995).
Terdapat dua jenis suppositoria, yaitu suppositoria rektum dan suppositoria
vaginal (Depkes RI, 1995). Umumnya, suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5
inci), berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk
rektum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil
tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun
berbeda-beda. USP menetapkan berat suppositoria 2 g untuk orang dewasa apabila
lemak coklat yang digunakan sebagai basis. Sedangkan suppositoria untuk bayi dan
anak-anak, ukuran dan beratnya dari ukuran dan berat untuk orang dewasa,
bentuknya kira-kira seperti pensil. Suppositoria untuk vagina yang juga disebut
pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan
kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya lemak coklat. Suppositoria untuk
saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya
untuk dimasukkan ke dalam saluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin
pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang 140 mm, walaupun ukuran ini masih
8
bervariasi satu dengan lainnya. Apabila basisnya dari lemak coklat, maka beratnya 4
g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya dari ukuran untuk
pria, panjang 70 mm dan beratnya 2 g dan basisnya lemak coklat (Ansel, 2005).
I.3.2
Dosis
Dosis obat yang digunakan melalui rektum lebih besar atau lebih kecil
daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti
keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia obat dan kemampuan obat melewati
penghalang fisiologi untuk absorpsi dan sifat basis suppositoria serta kemampuannya
melepaskan obat supaya siap untuk diabsorpsi (Ansel, 2005). Bobot suppositoria bila
tidak dinyatakan lain adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak
(Anief, 2006).
Tabel 1. Dosis Lazim Untuk Anak dan Bayi
Umur/bobot
Dosis lazim
Nama zat
Sekali
Sehari
badan
Parasetamol
6-12 bulan
100 mg
400 mg
Penggunaan
Analgetiku
(Asetaminofen
1-5 tahun
5-10 tahun
mg
mg
mg
mg
1600 mg
500 mg
2g
Penggunaan
Analgetikum;
antipiretikum
Rute Pemberian
9
Satu supositoria digunakan setiap 4-6 jam jika diperlukan untuk nyeri dan
demam. Petunjuk pemakaian : Cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus
suppositoria, kemudian tidur dengan posisi miring, dan masukkan suppositoria ke
dalam rektum dengan jari kanan. Jangan berikan lebih dari 6 suppositoria dalam
periode 24 jam. Supositoria digunakan 15 menit setelah buang air besar atau tahan
pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian (Monson and Schoenstadt,
2007).
Pemberian obat parasetamol dengan sediaan suppositoria dilakukan dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum. Suppositoria dimasukkan dengan cara
bagian ujung suppositoria didorong dengan ujung jari sampai melewati otot sfingter
rektal, kira-kira - 1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung
suppositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Begitu dimasukkan, basis
suppositoria meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan bahan obat yang
dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat ini bisa dimaksudkan untuk
ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja lokal, atau bisa juga dimaksudkan agar
diabsorpsi untuk mendapatkan efek sistemik. Suppositoria rektal dimaksudkan untuk
kerja lokan dan paling sering digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa
sakit, iritasi, rasa gatal dan radang sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal
lainnya (Ansel, 2005)
Informasi khusus: Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan
hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
Jika tertelan atau terjadi overdosis, segera hubungi dokter (Monson and Schoenstadt,
2007).
10
BAB II
FORMULASI
2.1 Permasalahan
2.1.1
akan mencair sempurna seperti minyak dan kehilangan semua inti kristal yang
stabil yang berguna untuk memadat, bila didinginkan dibawah suhu 15C
akan mengkristal dalam bentuk kristal yang metastabil (Anief, 2006).
2.1.2
leleh basis oleum cacao (Lachman, 2008) sehingga cepat melebur pada suhu
ruang pada daerah tropis sebelum berikan lewat rektal
2.1.5
membeku dan pada proses pendinginan terjadi susut volume hingga terjadi
lubang di atas masa (Anief, 2006).
2.1.6
Oleum
cacao
mudah
mencair
dan
menjadi
tengik
selama
penyimpanan.
2.2 Pengatasan Masalah
2.2.1
2.2.2
2.2.3
2.2.4
titik
leleh
suppositoria.
Penambahan
lebih
dari
4%
Pada pengisian cetakan harus diisi lebih, baru setelah dingin kelebihannya
dipotong (Anief, 2006).
2.2.6
Oleum cacao harus disimpan pada tempat dingin, kering dan terlindung dari
cahaya (Lachman et al., 1994).
250 mg
100%
(Swiader et al., 2011).
Formula II
R/ Parasetamol (Asetaminofen)
Oleum cacao
Tween 60
125 mg
100%
5%
(Swiader et al., 2011).
Formula II
R/ Parasetamol (Asetaminofen)
125 mg
12
Oleum cacao
Span 80
100%
5%
(Swiader et al., 2011).
250 mg
Oleum Cacao
100%
Cera alba
Tween 80
13
BAB III
PRODUKSI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1
Alat
-
Timbangan
Gelas beaker
Penangas air
Sendok tanduk
Kertas perkamen
Tisu
Batang pengaduk
Cawan porselen
Cetakan suppositoria
Termometer
Aluminium foil
Lemari pendingin
3.1.2 Bahan
-
Parasetamol
Oleum Cacao
Cera alba
Tween 80
3.2.Penimbangan
3.2.1
3.2.2
250 mg
Oleum Cacao
100%
Cera alba
Tween 80
4% dariOleum Cacao
Oleum Cacao
= 2 g 0,375 g = 1,625 g
Cera alba
= 4% x 1,625 g = 0,065 g = 65 mg
Tween 80
= 4% x 1,625 g = 0,065 g = 65 mg
Parasetamol
Oleum Cacao
= 1,625 g x 15 = 24,375 g
Cera alba
= 65 mg x 15 = 975 mg = 0,975 g
Tween 80
= 65 mg x 15 = 975 mg = 0,975 g
Bahan
dalam
1 supp
(mg)
Penimbangan
Persentase
1 batch
(15 supp) (g)
Fungsi
15
1.
Parasetamol
250
250 mg
3,750
2.
Oleum Cacao
1625
100 %
24,375
3.
Cera alba
65
4 % dari
0,975
65
Oleum Cacao
4 % dari
0,975
4.
Tween 80
Oleum Cacao
16
Cera alba
Dilebur pada suhu 620C-650C
Leburan Cera alba
Ditambahkan Oleum Cacao secara perlahan-lahan dan dilebur pada suhu 300C-36
Ditambahkan campuran parasetamol dan tween 80 sedikit demi sedikit, diaduk hingga
Disaring dengan kain kassa, dimasukkan ke dalam cetakan suppositoria yang telah dilapisi gliserin d
17
3.3.2
Evaluasi Sediaan
18
3 Buah Suppositoria
Suppositoria
menjadi 3 bagian
Data uji fisik terbagi
suppositoria
Diletakkan
padadipotong.
wadah datar
danbagian
dipotong
pada bagian
atas,
tengah, dan
bawahny
p bagian suppositoria
yang telah
Dicatat
suppositoria
yang
mengalami
kerusakan
da
20
BAB IV
PENGEMASAN
4.1. Kemasan Primer
- Alumminium foil
4.2. Kemasan Sekunder
21
4.3. Brosur
22
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.
Ansel, C. H. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
Cranswick, N. and Coghlan D. 2000. Paracetamol Efficacy and Safety in Children:
The first 40 years. Victoria: Clinical Pharmacologist, Royal Children Hospital.
Darsono, L. 2002.Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol.
Bandung: Universitas Kristes Maranatha
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Lachman, L., H. A. Lieberman, dan J. L. Kanig. 2008. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.
Lacy, C. F., Lora L. A., Marton P. G., and Leonard L. L.. 2004. Drug Information
Handbook. 12th Edition. Ohio: Lexi Comp.
Mashford, M. L. 2007. Therapeutic Guidelines: Analgesic. Version 5. Australia:
Therapeutic Guidelines Limited.
Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 29th edition. London:
The Pharmaceutical Press.
Singh, I. and P. Kumar. 2012. Preformulation Studies For Direct Compression
Suitability Of Cefuroxime Axetil And Paracetamol: A Graphical Representation
Using Sedem Diagram. Acta Poloniae Pharmaceutica. Vol. 69(1). pp. 87-93.
Swiader, K., R. Kasperek, D. Dwornicka, P. Belniak, E. Dobiecka, and E. Poleszak.
2011. The preparation of suppositories by various methods and evaluation of
physicochemical properties. Medical University of Lublin. Vol. 114(2). pp. 159167.
23
24