Você está na página 1de 25

JURNAL AWAL

PRAKTIKUM FORMULASI TEKNOLOGI SEDIAAN NON STERIL


FORMULASI DAN EVALUASI SUPOSITORIA PARASETAMOL
SUTAMOL

NAMA DOSEN:
I GUSTI NGURAH JEMMY ANTON PRASETYA
KELOMPOK IV
GOLONGAN I
ANGGOTA KELOMPOK:
SARAH ANDRIANI PUTRI

1208505020

IDA BAGUS SUTAMA ARIMBAWA

1208505021

CATHERINA MECI ANDINA PUTRI

1208505023

NI WAYAN BUDININGRUM

1208505024

I PUTU SUDIATMIKA WIDNYANA

1208505025

NI LUH KOMANG NOVIA PARAMITA

1208505027

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PREFORMULASI

I.1 Tinjauan Farmakologi Zat Aktif


I.1.1

Indikasi
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non-narkotik dengan

cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam
sediaan obat flu, melalui resep dokter, atau yang dijual bebas. (Darsono, 2002).
Parasetamol merupakan pilihan line pertama bagi penanganan demam dan nyeri
sebagai antipiretik dan analgetik. Parasetamol digunakan bagi nyeri yang ringan
sampai sedang (Cranswick and Coghlan, 2000).
I.1.2

Farmakokinetik
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum

puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati,
sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui
urin dalam satu hari pertama, sebagian dihidroksilasi menjadi N-acetyl-pbenzoquinoneimine yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya.
Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi
nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati
(Darsono, 2002). Waktu eliminasi parasetamol terjadi kira-kira 1-4 jam (Reynolds,
1989).
Metabolit terhidroksilasi (N-acetyl-p-benzoquinoneimine), selalu diproduksi
dengan jumlah yang sedikit oleh isoenzim sitokrom P450 (terutama CYP2E1 dan
CYP3A4) di dalam hati dan ginjal. Metabolit ini selalu terdetoksifikasi dengan
konjugasi dengan glutasion, tetapi dapat terjadi akumulasi diikuti dengan overdosis
parasetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan (Sweetman, 2009).

I.1.3

Mekanisme
Parasetamol merupakan analgetik-antiperetik yang bekerja seperti aspirin

yaitu menghambat sintesa prostaglandin. Obat ini memblok impuls nyeri,


memproduksi antipiresis dari hambatan pusat pengaturan panas hipotalamus (Lacy et
al., 2004). Parasetamol termasuk dalam golongan obat NSAID yang memiliki efek
anti inflamasi lemah. Parasetamol merupakan inhibitor lemah yang mengisolasi
COX-1 dan COX-2 tetapi sangat poten menghambat sintesis prostaglandin masuk ke
dalam sel apabila konsentrasi asam arakhidonat ada dalam jumlah kecil (Tjay dan
Rahardja, 2008).
I.1.4

Efek Samping
Reaksi hipersensitivitas meliputi gejala urtikaria, disponoea, dan hipotensi.

Hal ini dapat terjadi setelah penggunaan parasetamol baik pada dewasa maupun anakanak. Juga dilaporkan terdapat angioedema (Sweetman, 2009).
Efek samping jarang terjadi. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat
terjadi kerusakan hati dan pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang
tidak reversibel. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya yang
pada dosis normal dapat ditangkal oleh gluthation (suatu tripeptida dengan SH). Pada
dosis di atas 10 g persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat
diri pada protein dengan gugusan SH di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan
irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal. Overdose dapat menimbulkan antara
lain, mual, muntah dan anoreksia (Tjay dan Rahardja, 2008).
I.1.5

Kontra Indikasi

Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat.


Penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
Penderita diabetes mellitus.
Penderita dengan riwayat hipersensitivitas pada parasetamol
2

(Lacy et al., 2004).


I.1.6

Peringatan dan Perhatian


Limit dosis < 4 g/hari dapat menyebabkan toksisitas hati pada kasus overdosis

akut, pada beberapa pasien dewasa dapat menyebabakan kerusakan hati pada dosis
harian kronis. Digunakan dengan perhatian pada pasien dengan penyakit hati karena
alkoholik karena akan meningkatkan resiko hepatotoksik dan pasien dengan
defisiensi G6PD yang tidak diketahui (Lacy et al., 2004). Jika terjadi sensitivitas,
pemakaian obat harus dihentikan. Tidak dianjurkan untuk batuk berdahak dan
keadaan-keadaan di mana terjadi gangguan pernafasan, misalnya asma bronchial. Bila
setelah 5 hari nyeri tidak menghilang, atau demam tidak menurun setelah 2 hari,
segera hubungi unit pelayanan kesehatan (Tjay dan Rahardja, 2008).
I.1.7

Interaksi Obat

Dengan aspirin, meningkatkan konsentrasi aspirin dalam darah.


Dengan kloramfenikol meningkatkan half life dari klorafenikol.
Barbiturat, karbamazepin, hydantoins, isoniazid, rifampin, sulfinpyrazone
dapat meningkatkan potensi hepatotoksik dan menurunkan efek analgesik dari
parasetamol.
Kolesteramin dan propantelin dapat menurunkan absorpsi parasetamol.
Metoklopramid dapat meningkatkan absorpsi dari parasetamol.
Etanol dapat meningkatkan resiko induksi hepatotoksik dari parasetamol.
Dengan

antikonvulsan

phenobarbiton

memperkuat

efek

hepatotoksik

parasetamol.
(Lacy et al., 2004).
Selain itu pemberian bersama-sama diflusinal mengakibatkan kenaikan
konsentrasi plasma.
Kodein dan Kafein dapat memperkuat efek analgetik paracetamol

Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia tetapi pada dosis
biasa tidak interaktif.
Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan
neutropenia.
(Tjay dan Rahardja, 2008).
I.1.8

Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. Suppositoria disimpan pada

suhu di bawah 270C (800F) atau dalam kulkas (Depkes RI, 1979).
I.2 Tinjauan Fisikokimia Zat Aktif dan Bahan Tambahan
1.2.1

Parasetamol

a) Struktur dan Berat Molekul

Gambar 1. Struktur Parasetamol (Moffat, et al., 2005)

Nama Kimia

: N-asetil-4-aminfenol

Berat Molekul

: 151,16 gram/mol

Rumus Molekul : C8H9NO2


(Depkes RI, 1995)
b) Pemerian: Serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

(Depkes RI, 1995)


c) Kelarutan: Parasetamol agak sukar larut dalam air (1 : 70), larut dalam air
mendidih (1 : 20), mudah larut dalam alkohol (1 : 7 atau 1: 10), larut dalam
aseton (1 : 13), agak sukar larut dalam gliserol (1 : 40), mudah larut dalam
propilen glikol (1 : 9), sangat sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut
dalam eter, larut dalam larutan alkali hidroksida.
(Reynolds, 1989)
d) Stabilitas
Terhadap cahaya: tidak stabil terhadap sinar UV
Terhadap suhu: peningkatan suhu dapat mempercepat degradasi obat
Terhadap pH: pH larutan parasetamol 5,3 6,5
Terhadap oksigen: parasetamol relatif stabil terhadap keberadaan oksigen
Titik Lebur: 169-172 oC
e) Penyimpanan: Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.
f) Interaksi obat: Disolusi Parasetamol akan menurun dengan adanya
peningkatan kadar sorbitol.
(Depkes RI, 1979)
1.2.2

Oleum Cacao (Lemak Coklat)

a) Pemerian: Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas
lemak, agak rapuh
b) Kelarutan: Sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P,
dalam eter P, dan dalam eter minyak tanah P.
c) Titik Leleh: 30-36C.
d) Indeks bias: 1,4564 sampai 1,4575; penetapan dilakukan pada sudut 40.
e) Bilangan asam: tidak lebih dari 4,0.
f) Bilangan iodium: 35 sampai 40.
g) Bilangan penyabunan: 188 sampai 196.
5

h) Stabilitas: Pemanasan lebih dari 36oC menyebabkan pembentukan bentuk


metastabil sehingga sulit untuk diformulasikan sebagai suppositoria
i) Kegunaan: Bahan tambahan dan basis
j) Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik dengan suhu tidak lebih dari 25oC.
(Depkes RI, 1979).
Oleum cacao dalam USP didefinisikan sebagai lemak yang diperoleh dari
biji Theobroma cacao yang dipanggang. Secara kimia adalah trigliserida
(campuran gliserin dan satu atau lebih asam lemak yang berbeda) terutama
oleopalmitostearin dan oleodistearin. Oleh karena oleum cacao meleleh pada
30o-36oC, oleum cacao merupakan basis suppositoria yang ideal, yang dapat
melumer pada suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada
suhu kamar biasa. Akan tetapi oleh karena kandungan trigliseridanya oleum
cacao menunjukkan sifat polimorfisme atau keberadaan zat tersebut dalam
berbagai bentuk kristal, sehingga apabila oleum cacao tergesa-gesa atau tidak
hati-hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu minimumnya, lalu segera
didinginkan maka hasilnya berbentuk kristal metastabil (suatu bentuk kristal)
dengan titik lebur yang lebih rendah dari titik lebur oleum cacao asalnya
(Ansel, 2005).
Pada kenyataannya titik lebur ini mungkin terlalu rendah sehingga oleum
cacao tidak akan mengeras pada suhu ruang. Akan tetapi karena bentuk kristal
merupakan suatu kondisi metastabil, terjadi penyesuaian yang lambat ke tingkat
kristal bentuk yang lebih stabil dan lebih tinggi titik leburnya. Penyesuaian ini
memerlukan beberapa hari. Akibatnya, apabila suppositoria yang telah diolah
dengan cara melebur oleum cacao, karena basisnya tidak segera mengeras
setelah dilebur, maka ia menjadi tidak berguna bagi pasien, membuang waktu
dan bahan serta merusak nama baik ahli farmasinya (Ansel, 2005).
Oleum cacao harus melebur perlahan-lahan tapi pasti lebih baik bila
diatas penangas air berisi air hangat, untuk menghindari terjadinya bentuk
kristal yang tidak stabil dan untuk menjamin retensi dalam cairan dari bentuk
6

kristal yang lebih stabil, yang akan membentuk inti dimana pengentalan
mungkin terjadi sewaktu pendinginan cairan tadi (Ansel, 2005).
Bahan-bahan seperti fenol dan kloralhidrat cenderung menurunkan titik
lebur dari oleum cacao sewaktu bercampur dengan bahan tersebut. Jika titik
lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dijadikan
suppositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis
tunggal, maka bahan pengeras seperti lilin setil ester ( 20%) atau malam tawon
( 4%) dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh
pelunakan dari bahan yang ditambahkan (Ansel, 2005).
1.2.3 Tween 80
a) Pemerian: Cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning muda hingga coklat
muda, bau khas lemah, rasa pahit dan hangat.
b) Kelarutan: Sangat mudah larut dalam air, larutan tidak berbau dan praktis
tidak berwarna, larut dalam etanol, dalam etil asetat, tidak larut dalam minyak
mineral.
c) Kekentalan: 300-500 sentistokes pada suhu 250C
(Depkes RI, 1995).
1.2.4

Cera alba

a) Pemerian: Padatan putih, sedikit tembus cahaya dalam keadaan lapisan tipis,
bau khas dan bebas bau tengik
b) Kelarutan: Tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol dingin. Larut
sempurna dala kloroform, dalam eter, dalam minyak lemak, dan minyat atsiri.
Sebagian larut dalam benzene dingin dan dalam karbon disulfide dingin.
c) Suhu Lebur: 620C 650C.
d) Khasiat: Emolien, zat penambah kekerasan dan meningkatkan titik leleh
e) Penyimpanan: Dalam wadah sejuk dan kering serta tertutup baik
(Depkes RI, 1995).

I.3 Bentuk Sediaan, Dosis, dan Rute Pemberian


I.3.1

Bentuk sediaan
Suppositoria merupakan sediaan padat yang digunakan melalui dubur,

umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh.
Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu
tubuh. Sebagai bahan dasar digunakan lemak coklat, polietilen glikol berbobot
molekul tinggi, lemak atau bahan lain yang cocok. Kecuali dinyatakan lain,
digunakan lemak coklat (Depkes RI, 1979). Bobot suppositoria jika tidak dinyatakan
lain adalah 3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak-anak. Suppositoria harus
disimpan dalam wadah tertutup baik dan di tempat sejuk (Anief, 2006). Suppositoria
dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik
yang bersifat lokal atau sistemik (Depkes RI, 1995).
Terdapat dua jenis suppositoria, yaitu suppositoria rektum dan suppositoria
vaginal (Depkes RI, 1995). Umumnya, suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5
inci), berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk
rektum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil
tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun
berbeda-beda. USP menetapkan berat suppositoria 2 g untuk orang dewasa apabila
lemak coklat yang digunakan sebagai basis. Sedangkan suppositoria untuk bayi dan
anak-anak, ukuran dan beratnya dari ukuran dan berat untuk orang dewasa,
bentuknya kira-kira seperti pensil. Suppositoria untuk vagina yang juga disebut
pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan
kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya lemak coklat. Suppositoria untuk
saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya
untuk dimasukkan ke dalam saluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin
pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang 140 mm, walaupun ukuran ini masih
8

bervariasi satu dengan lainnya. Apabila basisnya dari lemak coklat, maka beratnya 4
g. Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya dari ukuran untuk
pria, panjang 70 mm dan beratnya 2 g dan basisnya lemak coklat (Ansel, 2005).
I.3.2

Dosis
Dosis obat yang digunakan melalui rektum lebih besar atau lebih kecil

daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti
keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia obat dan kemampuan obat melewati
penghalang fisiologi untuk absorpsi dan sifat basis suppositoria serta kemampuannya
melepaskan obat supaya siap untuk diabsorpsi (Ansel, 2005). Bobot suppositoria bila
tidak dinyatakan lain adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak
(Anief, 2006).
Tabel 1. Dosis Lazim Untuk Anak dan Bayi
Umur/bobot
Dosis lazim
Nama zat
Sekali
Sehari
badan
Parasetamol
6-12 bulan
100 mg
400 mg

Penggunaan
Analgetiku

(Asetaminofen

1-5 tahun

100 mg - 200 400 mg - 800 antipiretikum

5-10 tahun

mg

mg

10 tahun ke 200 mg- 400 800


atas

mg

mg

1600 mg

500 mg

2g

(Depkes RI, 1979).


Tabel 2. Dosis Lazim Untuk Dewasa
Dosis lazim
Nama zat
Sekali
Sehari
Parasetamol
1000 mg
1000 mg - 4 g
(Asetaminofen)
I.3.3

Penggunaan
Analgetikum;
antipiretikum

Rute Pemberian
9

Satu supositoria digunakan setiap 4-6 jam jika diperlukan untuk nyeri dan
demam. Petunjuk pemakaian : Cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus
suppositoria, kemudian tidur dengan posisi miring, dan masukkan suppositoria ke
dalam rektum dengan jari kanan. Jangan berikan lebih dari 6 suppositoria dalam
periode 24 jam. Supositoria digunakan 15 menit setelah buang air besar atau tahan
pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian (Monson and Schoenstadt,
2007).
Pemberian obat parasetamol dengan sediaan suppositoria dilakukan dengan
memasukkan obat melalui anus atau rektum. Suppositoria dimasukkan dengan cara
bagian ujung suppositoria didorong dengan ujung jari sampai melewati otot sfingter
rektal, kira-kira - 1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung
suppositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Begitu dimasukkan, basis
suppositoria meleleh, melunak, atau melarut menyebarkan bahan obat yang
dibawanya ke jaringan-jaringan di daerah tersebut. Obat ini bisa dimaksudkan untuk
ditahan dalam ruang tersebut untuk efek kerja lokal, atau bisa juga dimaksudkan agar
diabsorpsi untuk mendapatkan efek sistemik. Suppositoria rektal dimaksudkan untuk
kerja lokan dan paling sering digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa
sakit, iritasi, rasa gatal dan radang sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal
lainnya (Ansel, 2005)
Informasi khusus: Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan
hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
Jika tertelan atau terjadi overdosis, segera hubungi dokter (Monson and Schoenstadt,
2007).

10

BAB II
FORMULASI
2.1 Permasalahan
2.1.1

Sifat karakterisktik dari oleum cacao dimana jika pemanasannya tinggi

akan mencair sempurna seperti minyak dan kehilangan semua inti kristal yang
stabil yang berguna untuk memadat, bila didinginkan dibawah suhu 15C
akan mengkristal dalam bentuk kristal yang metastabil (Anief, 2006).
2.1.2

Suppositoria dengan basis oleum cacao cenderung lengket sehingga

dapat tertempel pada cetakan.


2.1.3

Oleum cacao memiliki sifat lipofilitas yang tinggi menyebabkan

proses drug release menjadi terhambat. Suppositoria paracetamol dengan


basis oleum cacao menghasilkan drug release 37,14 % (Swiader et al., 2011).
2.1.4

Parasetamol mengandung gugus fenol yang dapat dapat menurun titik

leleh basis oleum cacao (Lachman, 2008) sehingga cepat melebur pada suhu
ruang pada daerah tropis sebelum berikan lewat rektal
2.1.5

Pada pengisian masa supositoria ke dalam cetakan, oleum cacao cepat

membeku dan pada proses pendinginan terjadi susut volume hingga terjadi
lubang di atas masa (Anief, 2006).
2.1.6

Oleum

cacao

mudah

mencair

dan

menjadi

tengik

selama

penyimpanan.
2.2 Pengatasan Masalah
2.2.1

Pemanasan oleum cacao tidak boleh melebihi suhu minimumnya. Harus


dilebur perlahan-lahan di atas penangas air berisi air hangat untuk
menghindari terjadinya bentuk kristal yang tidak stabil dan untuk menjamin
retensi dalam cairan dari bentuk kristal yang lebih stabil sehingga akan
membentuk inti dimana pengentalan mungkin terjadi sewaktu pengentalan
cairan tersebut (Ansel, 2005).
11

2.2.2

Untuk mencegah lengket pada cetakan maka sebelum digunakan cetakan


dilapisi dengan gliserin.

2.2.3

Dilakukan penambahan 4 % tween 80 sehingga dapat meningkatkan drug


release parasetamol pada cairan rektal, dimana tween 80 dapat meningkatkan
drug release paracetamol dengan basis oleum cacao menjadi 61,3% (Swiader
et al., 2011)

2.2.4

Ditambahkan cera alba sebanyak 4% dari jumlah oleum cacao yang


digunakan. (Ansel, 2005). Penambahan cera alba sebanyak 4% dapat
meningkatkan

titik

leleh

suppositoria.

Penambahan

lebih

dari

4%

menyebabkan kenaikan titik leleh oleum cacao diatas suhu rektal.


2.2.5

Pada pengisian cetakan harus diisi lebih, baru setelah dingin kelebihannya
dipotong (Anief, 2006).

2.2.6

Oleum cacao harus disimpan pada tempat dingin, kering dan terlindung dari
cahaya (Lachman et al., 1994).

2.3 Macam-macam formula standar


Formula I
R/ Parasetamol (Asetaminofen)
Oleum cacao

250 mg
100%
(Swiader et al., 2011).

Formula II
R/ Parasetamol (Asetaminofen)
Oleum cacao
Tween 60

125 mg
100%
5%
(Swiader et al., 2011).

Formula II
R/ Parasetamol (Asetaminofen)

125 mg
12

Oleum cacao
Span 80

100%
5%
(Swiader et al., 2011).

2.4 Formula yang akan diajukan untuk dibuat dalam praktikum


R/ Parasetamol

250 mg

Oleum Cacao

100%

Cera alba

4% dari Oleum Cacao

Tween 80

4% dari Oleum Cacao

13

BAB III
PRODUKSI
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1

Alat
-

Timbangan
Gelas beaker
Penangas air
Sendok tanduk
Kertas perkamen
Tisu
Batang pengaduk
Cawan porselen
Cetakan suppositoria
Termometer
Aluminium foil
Lemari pendingin

3.1.2 Bahan
-

Parasetamol

Oleum Cacao

Cera alba

Tween 80

3.2.Penimbangan
3.2.1

Formula yang dikerjakan


Pembuatan 1 sediaan suppositoria parasetamol dengan bobot 2 gram yaitu:
R/ Parasetamol

3.2.2

250 mg

Oleum Cacao

100%

Cera alba

4% dari Oleum Cacao

Tween 80

4% dariOleum Cacao

Perhitungan dan Penimbangan


14

3.2.2.1 Perhitungan pembuatan 1 buah suppositoria:


Bobot perhitungan total 1 buah suppo
= 2 gram
Bobot zat aktif yang ditambahkan
= 250 mg
-

Bobot Parasetamol yang digunakan untuk 1 Suppositoria adalah 250


mg = 0,250 g, dengan bilangan pengganti adalah 1,5.
Parasetamol = 1,5 x 0,250 g
= 0,375 g

Maka 0,25 g parasetamol dapat menggantikan 0,375 g oleum cacao

Jumlah basis untuk 2 gram sediaan:


-

Oleum Cacao

= 2 g 0,375 g = 1,625 g

Cera alba

= 4% x 1,625 g = 0,065 g = 65 mg

Tween 80

= 4% x 1,625 g = 0,065 g = 65 mg

3.2.2.2 Perhitungan pembuatan suppositoria 1 batch (12 suppositoria + 3 suppositoria


untuk mencegah kehilangan bobot):

Parasetamol

= 250 mg x 15 = 3750 mg= 3,750 g

Oleum Cacao

= 1,625 g x 15 = 24,375 g

Cera alba

= 65 mg x 15 = 975 mg = 0,975 g

Tween 80

= 65 mg x 15 = 975 mg = 0,975 g

Tabel penimbangan untuk 1 batch (15 suppositoria):


Jumlah
N
o

Bahan

dalam
1 supp
(mg)

Penimbangan
Persentase

1 batch
(15 supp) (g)

Fungsi

15

1.

Parasetamol

250

250 mg

3,750

2.

Oleum Cacao

1625

100 %

24,375

3.

Cera alba

65

4 % dari

0,975

65

Oleum Cacao
4 % dari

0,975

4.

Tween 80

Oleum Cacao

16

3.3 Skema Kerja


3.3.1

Pembuatan Supositoria Sampel Parasetamol


Sebuk Parasetamol

Dihaluskan dengan penggerusan menggunakan mortir dan diayak dengan ayakan no

Serbuk Parasetamol, Oleum Cacao dan Cera alba, Tween 80


Ditimbang sesuai perhitungan

Serbuk Parasetamol dicampurkan dengan Tween 80

Cera alba
Dilebur pada suhu 620C-650C
Leburan Cera alba

Ditambahkan Oleum Cacao secara perlahan-lahan dan dilebur pada suhu 300C-36

Campuran basis yang homogen

Ditambahkan campuran parasetamol dan tween 80 sedikit demi sedikit, diaduk hingga

Campuran basis dan parasetamol

Disaring dengan kain kassa, dimasukkan ke dalam cetakan suppositoria yang telah dilapisi gliserin d

17

Campuran basis dan parasetamol di dalam cetakan suppositoria


Didiamkan dan disimpan di lemari pendingin hingga membeku.

Suppositoria yang telah membeku


Dikeluarkan dari cetakan.
Dibungkus dengan aluminium foil dan dimasukkan kedalam kemasan

Suppositoria parasetamol dalam kemasan, suppositoria dievaluasi

3.3.2

Evaluasi Sediaan

3.3.2.1 Uji Organoleptis


3 Buah Suppositoria Parasetamol

Diamati bau dan warna dari suppositoria


Data uji organoleptis

18

3.3.2.2 Uji Fisik Suppositoria

3 Buah Suppositoria

Suppositoria
menjadi 3 bagian
Data uji fisik terbagi
suppositoria
Diletakkan
padadipotong.
wadah datar
danbagian
dipotong
pada bagian
atas,
tengah, dan
bawahny
p bagian suppositoria
yang telah
Dicatat
suppositoria
yang
mengalami
kerusakan
da

3.3.2.3 Uji Keseragaman Bobot


Suppositoria Parasetamol
Ditimbang satu persatu
Suppositoria yang telah ditimbang
Dicatat bobotnya, dihitung selisih bobot dan %
penyimpangan
Data keseragaman bobot
19

3.3.2.4 Uji Kisaran Leleh


Suppositoria
Dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi air,
dan telah dipanaskan pada suhu 370C, dan dibiarkan
meleleh
Suppositoria
meleleh sempurna
Dicatat waktu yang diperlukan suppositoria untuk
meleleh sempurna. Waktu yang diperlukan
suppositoria basis oleum cacao untuk meleleh
sempurna adalah 3-5 menit
Data uji kisaran leleh

20

BAB IV
PENGEMASAN
4.1. Kemasan Primer
- Alumminium foil
4.2. Kemasan Sekunder

21

4.3. Brosur

22

DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.
Ansel, C. H. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.
Cranswick, N. and Coghlan D. 2000. Paracetamol Efficacy and Safety in Children:
The first 40 years. Victoria: Clinical Pharmacologist, Royal Children Hospital.
Darsono, L. 2002.Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol.
Bandung: Universitas Kristes Maranatha
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Lachman, L., H. A. Lieberman, dan J. L. Kanig. 2008. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press.
Lacy, C. F., Lora L. A., Marton P. G., and Leonard L. L.. 2004. Drug Information
Handbook. 12th Edition. Ohio: Lexi Comp.
Mashford, M. L. 2007. Therapeutic Guidelines: Analgesic. Version 5. Australia:
Therapeutic Guidelines Limited.
Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 29th edition. London:
The Pharmaceutical Press.
Singh, I. and P. Kumar. 2012. Preformulation Studies For Direct Compression
Suitability Of Cefuroxime Axetil And Paracetamol: A Graphical Representation
Using Sedem Diagram. Acta Poloniae Pharmaceutica. Vol. 69(1). pp. 87-93.
Swiader, K., R. Kasperek, D. Dwornicka, P. Belniak, E. Dobiecka, and E. Poleszak.
2011. The preparation of suppositories by various methods and evaluation of
physicochemical properties. Medical University of Lublin. Vol. 114(2). pp. 159167.

23

Sweetman, S. C. 2009. Martindale; The Complete Drug Reference. USA:


Pharmaceutical Press
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efekefek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Computindo.

24

Você também pode gostar