Você está na página 1de 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Gipsum

Gipsum adalah mineral hidrous kalsium sulfat (CaSO4.2H2O) yang terjadi di alam.
Pada umumnya endapan gipsum berbentuk endapan sedimen mendatar, terletak dekat
permukaan bumi dengan penyebaran yang luas, serta sering berasosiasi dengan batu
kapur, serpih, batu pasir, marmer, dan lempung. Jenis batuan yang lain dan
berasosiasi dengan gipsum anhidrat (CaSO4), yang masih merupakan mineral sulfat
yang sejenis dengan gipsum tetapi tidak mengandung kristal H 2O.
Endapan gipsum sebagian terbentuk dari air laut dan hanya sebahagian kecil
berasal dari endapan danau yang mengandung air garam. Gipsum juga terjadi sebagai
hasil kegiatan vulkanik, tempat gas H2 dan fumarol bereaksi dengan kapur dan hasil
pelapukan batuan-batuan. Endapan gipsum ditemukan ke dalam lima jenis bentuk,
yaitu :
1. Batuan gipsum yang berbentuk granular dan buram, mengandung sedikit dolomit,
batu kapur, dari kadar CaSO4 76%.
2. Gipsit, bersifat lunak dan kurang murni.
3. Alabaster, berbentuk padat, berbutir halus, bagus berwarna putih dan agak bening.
4. Satinspar, berbentuk serat dan berkilap.
5. Selenit, berbentuk kristal dan transparan (Sentano, 1992).
Gips di lapangan didapatkan dalam bentuk lembaran pipih, kristalin, serabut,
sedangkan di daerah batu gamping, ada batu gamping dan fumarol. Konsep utama
terbentuknya gips adalah terdapatnya Ca

2+

dan SO4 2-, yang tersebut terakhir berasal

dari belerang (S) atau pirit (FS2). Adanya kondisi reduksi dari daerah sedimentasi

Universitas Sumatera Utara

yang bersifat karbonatan (misal pada batu lempung) akan menghasilkan gipsum yang
berlembar pipih. Adanya fumarol dari daerah batuan yang bersifat karbonatan akan
menghasilkan gips kristal. Demikian pula adanya pirit (FeS2). Di samping itu gipsum
berbentuk akibat hidrotermal yang berdekatan dengan batuan karbonat akan
menghasilkan gips kristal seperti yang didapatkan di daerah Ponorogo. Secara teoritis
gipsum mempunyai komposisi CaO 32,6%, SO3 46%, dan H2O 20,9%. Gipsum
sering didapatkan bersama dengan halit dan anhidrit (Gips : CaSO 4.2H2O; anhidrit
CaSO4). (Sukandarrumidi, 2003).

2.1.1 Pengolahan dan Pemanfaatan Gipsum


Gipsum yang diperoleh dari tempat penambangan dibersihkan dari kotoran
kemudian dicuci dengan air lalu dikeringkan. Apabila diinginkan akan dibuat tepung
gips, harus dirubah dulu gips (CaSO4.2H2O) menjadi anhidrat (CaSO4) dengan cara
dimasukkan ke dalam tungku pemanas. Keluarkan gips yang masih dalam bentuk
kristal dari oven, gips yang telah berubah menjadi anhidrat siap untuk dibuat serbuk.
Pengolahan gipsum dimaksudkan untuk menghilangkan mineral pengotor
yang terkandung di dalamnya serta untuk mendapatkan spesifikasi yang diperlukan
industri pemakai.
Pada dasarnya garis besar, pengolahan gipsum terdiri dari 3 tahap yaitu :
preparasi (pengecilan ukuran, pengayakan dan lain-lain), kalsinasi dan formulasi.
Tambahan proses tersebut tidak perlu dilakukan seluruhnya, tergantung pada kualitas
dan jenis gipsum yang dibutuhkan. Berikut bagan alir dari pengolahan gipsum.

Universitas Sumatera Utara

Gipsum dari tambang


Peremukan I
Kemungkinan
pemisahan
Peremukan II &
Pengayakan

Kemungkinan
pengayakan buangan

Pengeringan

Kalsinasi

Produk gipsum untuk


semen
Penghalusan

Penghalusan

Kalsinasi

Gipsum untuk filler


dan pertanian

Pengeringan

Produk gipsum untuk


semen

Stucco
Kemungkinan
pengayakan buangan
Produk

Produk

Gambar 2.1 Bagan Alir Pengolahan Gipsum

Pemanfaatan gipsum antara lain yaitu sebagai :


1. Bahan tambahan semen portland. Dimana dalam jumlah yang relatif sedikit gips
dalam bentuk kristal dicampur bersaa dengan bahan baku semen portland untuk
bersama-sama dipanaskan atau dicampur dengan klin. Tujuan menambah gips ke
dalam semen agar tidak cepat membeku apabila diaduk dengan air.

Universitas Sumatera Utara

2. Bahan plester. Anhidrat dalam bentuk serbuk diaduk dengan cairan perekat dan
siap untuk dipergunakan untuk plester dinding.
3. Bahan pembuat cetakan. Serbuk anhidrat ditambah air secukupnya. Bahan
campuran ini siap untuk dipakai sebagai bahan pembuat cetakan.
4. Kedokteran. Sebuk anhidart direkayasa untuk spalk.
5. Bahan pembuat kapur tulis. Serbuk anhidrat dicampur dengan air. Adonan ini siap
untuk dicetak menjadi kapur tulis.
6. Alat optik dalam mikroskop polarisasi. Gips yang pipih untuk keping gips.
Dengan adanya keping gips yang merupakan asesori pada mikroskop petrografi
maka identifikasi suatu mineral dapat lebih nyata.
7. Industri kimia. Sebagai bahan utama pembuat asam sulfat.
8. Industri makanan. Dicampur dalam bentuk anhidrat dengan bahan pembuat tahu.
Dengan campuran anhidrat dan keledai yang sudah dibuat sebagai bahan dasar
perusahaan kecil dalam bentuk bubur tahu. Tahu menjadi relatif keras dan awet.

2.1.2 Sifat dan Jenis Gipsum


Di alam gipsum merupakan mineral hidroskalsium sulfat (CaSO 4.2H2O). Sifat
fisik mineral antara lain : berwarna putih, kuning, abu-abu, merah jingga, atau hitam,
bila tidak murni : lunak, pejal, kekerasan antara 1,5 2, b.d. : 2,35 dan mempunyai
kilap sutera. Kelarutan air adalah 2,1 g/l pada suhu 40 oC; 1,8 g/l pada 0 oC dan 1,9
g/l pada suhu 70 90 oC. Kelarutan bertambah dengan penambhan HCl atau HNO 3.
Pada umumnya gipsum mempunyai komposisi CaO; 32,6%; SO 3; 46,5%, dan H2O;
20,9%.
Berdasarkan penggunaannya gipsum dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1. Gipsum yang belum dikalsinasi, dimanfaatkan untuk :
a. Industri semen portland dengan persyaratan, SO3 min 35%, CaO min 2/3 berat
SO3, garam Na dan MG maks 0,1%, hilang pijar maks 9%, ukuran partikel
95% (-14 mesh).

Universitas Sumatera Utara

b. Industri pertanian sebagai conditioner tanah yang mengandung alkali dan


sebagai pupuk terutama pada tanaman kacang tanah.
c. Industri kertas, cat dan insektisida sebagai filler.
2. Gipsum yang telah mengalami proses kalsinasi, antara lain untuk :
a. Sektor konstruksi : papan dnding (wallboard) dan partisi.
b. Bidang kedokteran : cetakan gigi, spalk
c. Industri pasta gigi dengan persyaratan : CaSO4 1/2H2O > 93%, waktu
pengerasan 5 20 menit, ukuran partikel -100 mesh (>95%) dan -30 mesh
(100%).
d. Industri bahan tahan api , sumber pembuatan asam sulfat, ammonium sulfat,
untuk kapur tulis, lumpur pemboran (Sukandarrumidi, 2003).
Berdasarkan proses terbentuknya gipsum dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1. Gipsum alam, yaitu merupakan mineral hidrous sulfat yang mengandung dua
molekul air dengan rumus kimia CaSO4.2H2O, dimana jenis batuannya adalah
satinspar, alabaster, gypsite dan selenit, dengan warna bervariasi mulai dari putih,
kekuning-kuningan sampai abu-abu.
2. Gipsum sintetis, yaitu gipsum yang diperoleh dengan memproses air laut dan air
kawah yang banyak mengandung sulfat dengan menambahkan unsur kalsium ke
dalamnya, dan sumber lainnya adalah gipsum sebagai produk sampingan
pembuatan asam fosfat, asam sulfat, dan asam sitrat (Sentano, 1992).

2.2

Papan Gipsum Plafon


Papan gipsum adalah salah satu produk jadi setelah material gipsum diolah

melalui proses pabrikasi menjadi tepung. Papan gipsum digunakan sebagai salah satu
elemen dari dinding partisi dan plafon.
Papan gipsum juga digunakan sebagai plafon dimana gipsum mempunyai
kelendutan paling minimal, fleksibel dan memiliki kemampuan konduktivitas suhu
yang rendah. Berdasarkan sifat di atas gipsum sebagai plafon dengan mudah dapat di

Universitas Sumatera Utara

modifikasi sesuai dengan kebutuhan. Kekuatan papan gipsum berbanding lurus


dengan ketebalannya (Anonim, 2004).
Mengacu pada SNI 03-6384-2000 tentang spesifikasi panel atau papan
gipsum, menjelaskan ukuran atau standar nominal untuk papan gipsum, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Tebal minimal panel atau papan gipsum 6,4 mm; 8,0 mm; 9,5 mm; 12,7 mm; 15,9
mm; 19 mm atau 25 mm dengan toleransi ketebalan + 0,8 mm.
2. Lebar nominal papan gipsum adalah 1220 mm, papan gipsum dengan lebar
sampai 1370 mm dengan toleransi + 2,4 mm
3. Panjang nominal papan gipsum 6,4 mm; 8,0 mm; 9,5 mm; 12,7 mm; atau 15,9
mm dengan toleransi ketebalan + 6,4 mm. Untuk ketebalan 6,4 mm panjang
nominal 1200 3700 mm, 8,0 mm yaitu 1200 4300 mm, sedangkan untuk 9,5
mm; 12,7 mm; dan 15,9 mm yaitu 1200 4900 mm.

2.2.1 Pemanfaatan Papan Gipsum Plafon Sebagai Pengganti Asbes


Sekitar tahun 80-an bahan asbes umumnya sangat akrab digunakan sebagai
penutup atap dan plafon rumah. Selain harga dan pemasangannya mudah karena
asbes memiliki bobot yang ringan sehingga tidak membutuhkan gording yang khusus.
Asbes plat biasanya digunakan sebagai partisi dan plafon. Karena sifatnya tahan
panas, kedap suara dan kedap air, asbes juga sering digunakan pada insolating pipa
pemanas dan juga untuk panel akustik.
Sebenarnya asbes termasuk dalam kategori bahan berbahaya, karena asbes
terdiri dari serat-serat yang berukuran sangat kecil, kira-kira lebih tipis dari 1/700
rambut kita. Serat-serat ini menguap di udara dan tidak larut dalam air, jika terhirup
oleh paru-paru akan menetap di sana dan menyebabkan berbagai macam penyakit.
Asbes dapat membahayakan tubuh kita jika ada bagian asbes yang rusak,
sehingga serat-seratnya bisa lepas, ini sangat berbahaya karena sulit untuk mendeteksi
bagaimana yang dikatakan asbes rusak, dan kadang banyak orang yang tidak

Universitas Sumatera Utara

mengetahui kalau asbes yang digunakan sudah rusak. Dan kondisi lain yang sangat
beresiko saat asbes diperbaiki atau dipotong akan mengeluarkan serpihan yang
berupa serbuk yang sangat berbahaya bagi paru-paru.
Adapun beberapa penyakit yang ditimbulkan karena asbes antara lain yaitu :
1. Asbestosis, yaitu luka pada paru-paru hingga kesulitan bernafas dan dapat
mengakibatkan kematian.
2. Mesothelioma, sejenis kanker yang menyerang selaput pada perut dan dada,
muncul gejalanya setelah 20-30 tahun sejak pertama kali menghirup serat asbes.
3. Kanker paru-paru, biasanya asbes putih penyebab utama kanker paru-paru.
Sejak tahun 2001 pemerintah sudah melarang penjualan dan penggunaan
asbes sebagai atap rumah. Sehingga banyak yang sekarang menggunakan triplek
ataupun papan gipsum plafon (Anonim. 2009).
Plafon adalah bagian konstruksi, merupakan lapis pembatas antara rangka
bangunan di bawah rangka atapnya. Sedangkan papan gipsum plafon merupakan
papan yang digunakan untuk konstruksi bangunan, khususnya pada dinding-dinding
langit yang bahan dasarnya menggunakan gipsum. Dimana kelebihan dari pada papan
gipsum yaitu mudah didesain dan enak dipandang (artistik), ruangan menjadi lebih
sejuk karena dapat menahan panas, dapat sebagai peredam suara yang baik terutama
untuk air hujan yang jatuh dari atap.

2.3

Polivinil Alkohol (PVA)


Polivinil alkohol dihasilkan dari hidrolisis sempurna atau sebagian dari Vinyl

Acetate Monomer (VAM) dengan ratio berkisar antara 87% - 99%. Polivinil asetat
adalah suatu polimer karet sintetis. Polivinil asetat dibuat dari monomernya, vinil
asetat (vinyl acetate monomer). Senyawa ini ditemukan di Jerman oleh Dr. Flitz
Klatte pada 1912.

Universitas Sumatera Utara

Polivinil alkohol merupakan bahan yang tepat sebagai bahan pengemulsian


dan adhesi. Polivinil alkohol juga tahan terhadap minyak pelumas dan pelarut tanpa
bau dan tidak beracun. Polivinil alkohol kuat dan fleksibel, merupakan pelarut cepat,
memiliki titik lebur 230C dan pada suhu 180-190C akan terhidrolisis sempurna atau
sebagian.
Beberapa kegunaan polivinil alkohol antara lain:
1. Sebagai bahan percetakan
2. Bahan textil
3. Merekatkan dan mempertebal bahan pada cat latex, hairspray, shampo dan lem.
4. Sebagai larutan yang digunakan untuk packing
5. Sebagai penguat fiber
6. Untuk membuat PCB
7. Digunakan dengan polivinil asetat untuk membuat lem elmers.
Tabel 2.1 Komposisi Bahan PVA
Bahan

CAS No.

Jumlah

Metil Alkohol

67-56-1

1%

Polivinil Alkohol

9002-89-5

95%

Massa jenis PVA = 1,19 1,31 g/cm dengan melting point = 230C. PVA
dijual dalam bentuk emulsi di air, sebagai bahan perekat untuk bahan-bahan berpori,
khususnya kayu. PVA adalah lem kayu yang paling sering digunakan, baik sebagai
"lem putih" atau "lem tukang kayu" (lem kuning). "Lem kuning" tersebut juga
digunakan secara luas untuk mengelem bahan-bahan lain seperti kertas, kain, dan
rokok. Polivinil Alkohol juga umum dipakai dalam percetakan buku karena
fleksibilitasnya dan tidak bersifat asam seperti banyak polimer lain.
Polivinil Alkohol juga sering dijadikan kopolimer bersama akrilat (yang lebih
mahal), digunakan pada kertas dan cat. Kopolimer ini disebut vinil akrilat. Polivinil
Alkohol juga bisa digunakan untuk melindungi keju dari jamur dan kelembaban.

Universitas Sumatera Utara

Polivinil Alkohol bereaksi perlahan dengan basa membentuk asam asetat sebagai
hasil hidrolisis. Senyawa boron seperti asam borat atau boraks akan terbentuk sebagai
endapan.
Tabel 2.2 Kelarutan PVA Dalam Air
Safonifikasi (Penyabunan)

Air Dingin

Air panas

95% atau diatas

Membengkak

Larut

80%

Larut

Tidak Larut

50% atau dibawah

Tidak larut

Tidak Larut

PVA dipergunakan untuk membuat serat kimia pada saat ini terutama dipakai
untuk benang ban mobil dan industri lainnya. Bahan ini juga sering dipakai
pengepakan, bahan pewarna , bahan kimia pupuk yang dapat segera larut dalam air.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peranan polivinil alkohol
dalam penelitian ini adalah sebagai perekat untuk menyambung serat yang terputus
sehingga menimbulkan gaya adhesif yang tinggi dan akan menambah kekuatan
material campuran dan fleksibel (Anonim, 2010).

2.4

Batang Kelapa Sawit


Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yaitu tanaman berpohon jenis palem-

paleman (palmae), buahnya menghasilkan minyak kelapa sawit yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan industri dan rumah tangga. Kelapa sawit diketahui berasal
dari Guenea di Afrika, dan diperkenalkan ke Indonesia sejak zaman Belanda (1848).
Sekarang kelapa sawit sudah berkembang sangat pesat, khususnya di Malaysia dan
Indonesia, dan sedikit di Thailand. Dikatakan bahwa secara bersama Indonesia dan
Malaysia menguasai lebih dari 95% produksi kelapa sawit di dunia saat ini.

Universitas Sumatera Utara

Sejauh ini budidaya kelapa sawit hanya ditujukan untuk produksi minyak.
Komoditi minyak kelapa sawit memang sudah berhasil memberikan devisa cukup
signifikan bagi negara. Untuk produksi minyak, daur tanaman kelapa sawit ditetapkan
25 tahun, lewat umur tersebut pohon kelapa sawit sudah terlalu tinggi untuk dipanen
dan produksi buahnya sudah menurun sehingga harus diremajakan. Dari peremajaan
tanaman tua kelapa sawit tersebut dihasilkan limbah batang yang mengandung kayu
dalam jumlah yang sangat besar (Bakar, 2003).
Sejauh ini hasil peremajaan tersebut dibakar atau dibiarkan menumpuk
menjadi limbah yang dapat menimbulkan berbagai dampak lingkungan dan
gangguan. Sementara itu sebagai hasil dari penanaman besar-besaran yang dimulai
pada tahun 1970an, maka pada tahun-tahun mendatang kegiatan peremajaan tanaman
tua kelapa sawit akan menjadi sangat besar (Bakar, 1999).
Salah satu limbah padat dari kelapa sawit yang mengandung lignoselulosa
adalah batang kelapa sawit. Potensi batang kelapa sawit di Indonesia cukup besar.
Penanaman kelapa sawit di lapangan biasanya dilakukan dengan kerapatan 130-143
pohon per hektar. Setelah 25 tahun diperkirakan ada sekitar 10% pohon yang mati,
sehingga pada saat peremajaan terdapat sekitar 117 pohon tua per hektar. Pada tahun
1967-1982 luas penambahan areal kelapa sawit mencapai rata-rata 15.000 hektar per
tahun.
Dengan asumsi bahwa luas areal yang diremajakan sama dengan pertambahan
luas areal kelapa sawit 25 tahun sebelumnya, maka pada tahun 1992-2007 ada sekitar
1,7 juta pohon yang ditebang setiap tahun atau setara dengan 0,85 juta ton kering.
Pada tahun 1983-1990 pertambahan areal rata-rata mencapai 100.000 hektar
pertahun, sehingga pada tahun 2008-2015 jumlah pohon yang ditebang mencapai
11,7 juta pohon pertahun atau setara dengan 5,85 juta ton kayu kering. Batang kelapa
sawit tersebut akan terus menerus tersedia sepanjang tahun karena peremajaan
tanaman kelapa sawit dilakukan secara terus-menerus (Prayitno, 1994).

Universitas Sumatera Utara

2.4.1 Karakteristik Batang Kelapa Sawit


Pada umur peremajaan, pada pengukuran 1,5 m dari atas tanah, tinggi batang
kelapa sawit dapat mencapai 7-13 m dan diameternya berkisar antara 45-65 cm.
Batang berbentuk taper terhadap tajuk yang umumnya memiliki 41 helai daun pada
saat dewasa (Choon, 1991).
Balfas (2003) menyatakan bahwa batang kelapa sawit pada dasarnya adalah
bahan berkayu yang memiliki struktur relatif tidak seragam dan memiliki kesan
struktur seperti batang kelapa dengan konfigurasi serat lebih pendek. Dalam keadaan
segar batang kelapa sawit berwarna putih cerah dengan penampakan permukaan
cenderung berbulu (fuzzy grain). Hasil penelitian menunjukkan bahwa batang kelapa
sawit secara umum memiliki karakteristik fisik, mekanik, keawetan dan pemesinan
yang kurang baik dibandingkan dengan kayu biasa.
a) Anatomi Batang Kelapa Sawit
Kelapa sawit adalah jenis monokotil yang tidak memiliki kambium,
pertumbuhan sekunder, lingkaran tahun, kayu muda dan kayu dewasa, cabang, dan
mata kayu. Pertumbuhan dan pertambahan diameter batang berasal dari pembelahan
sel secara keseluruhan dan pembesaran sel pada jaringan dasar parenkim, juga berasal
dari pembesaran serat dari berkas pembuluh (Choon, 1991).
b) Sifat Fisik Batang Kelapa Sawit
Kerapatan Batang Kelapa Sawit. Karena sifat dasarnya yang merupakan jenis
monokotil, kerapatan batang kelapa sawit memiliki nilai yang sangat bervariasi pada
bagian yang berbeda dari batang kelapa sawit. Nilai kerapatan tersebut berkisar antara
200-600 kg/m3 dengan rata-rata 370 kg/m3. Kerapatan batang kelapa sawit menurun
terhadap ketinggian dan kedalaman bagian batang.
Kadar Air Batang Kelapa Sawit. Kadar air (KA) batang kelapa sawit
bervariasi antara 100-500%. Kenaikan KA yang bertahap ini diindikasikan terhadap
ketinggian dan kedalaman posisi batang, yang bagian terendah dan luar batang
memiliki nilai yang sangat jauh dengan 2 bagian batang lainnya. Kecenderungan

Universitas Sumatera Utara

kenaikan KA ini dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan distribusi jaringan


parenkim yang berfungsi menyimpan atau menahan lebih banyak air daripada
jaringan pembuluh. Ketersediaan jaringan parenkim ini akan semakin berlimpah pada
bagian puncak batang dan juga semakin berlimpah dari bagian luar batang ke bagian
dalam (pusat) batang.
c) Sifat Mekanik Batang Kelapa Sawit
Sifat mekanik kayu menggambarkan variasi kerapatan batang baik pada arah
radial maupun vertikal. Tabel 2.3 membandingkan beberapa sifat mekanik batang
kelapa sawit dengan beberapa spesies kayu dan 2 jenis monokotil (Choon, 1991).
Tabel 2.3 Perbandingan Sifat Kayu Kelapa Sawit Dengan Beberapa Jenis Kayu
Kerapatan

MOE

MOR

Tekan

Kekerasan

(kg/m)

(MPa)

(MPa)

(MPa)

(N)

Kelapa sawit

220-550

800-8000

8-45

5-25

350-2450

Kayu kelapa

250-850

3100-11400

26-105

19-49

520-4400

Cengal

820

19600

149

75

9480

Kapur

690

13200

73

39

5560

Kayu karet

530

8800

58

26

4320

Spesies

Menurut Bakar (1999), untuk bahan konstruksi, kayu dituntut memiliki sifatsifat mekanik yang memenuhi persyaratan struktural dan keamanan. Selain itu kayu
yang digunakan disyaratkan memiliki penyusutan yang kecil, tidak mudah pecah,
berserat lurus, ringan dan tidak bercacat. Kelebihan lain dari batang kelapa sawit
yang mendukung persyaratan-persyaratan di atas adalah kelapa sawit mempunyai
umur relatif pendek, mudah tumbuh, tidak mengandung cacat mata kayu, berserat
lurus, berdiameter cukup besar, serta bentuk batang lurus dan silinder.

Universitas Sumatera Utara

Dari penelitian Bakar (2003) diketahui bahwa batang kelapa sawit mempunyai
sifat sangat beragam dari bagian luar ke pusat batang dan sedikit bervariasi dari
bagian pangkal ke ujung batang. Beberapa sifat penting dari batang kelapa sawit
untuk setiap bagian batang dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Sifat Sifat Fisik Bagian Dalam Batang Sawit
Sifat

Bagian Dalam Batang


Tepi

Tengah

Pusat

Berat Jenis,g/cm3

0,35

0,28

0,2

Kadar Air, %

156

257

365

MOE, kgf/cm2

29996

11421

6980

MOR, kgf/cm2

295

129

67

Kelas Awet

Kelas Kuat

III-V

Dalam hal ini yang dipergunakan dalam penelitian yaitu bagian tengah dalam
batang sawit. Menurut Balfas (2003), secara umum terdapat beberapa hal yang
kurang menguntungkan dari batang kelapa sawit dibandingkan dengan kayu biasa, di
antaranya adalah :
1. Kandungan air pada kayu segar sangat tinggi (dapat mencapai 500%).
2. Kandungan zat pati sangat tinggi (pada jaringan parenkim dapat mencapai 45%).
3. Keawetan alami sangat rendah.
4. Kadar air keseimbangan relatif lebih tinggi.
5. Dalam proses pengeringan terjadi kerusakan parenkim disertai dengan perubahan
dan kerusakan fisik secara berlebihan terutama pada kayu berkerapatan rendah.
6. Dalam pengolahan mekanik batang kelapa sawit lebih cepat menumpulkan pisau,
gergaji, dan ampelas.
7. Kualitas permukaan kayu setelah pengolahan relatif sangat rendah.
8. Dalam proses pengerjaan akhir (finishing) memerlukan bahan lebih banyak.

Universitas Sumatera Utara

2.5

Karakterisasi Papan Gipsum Plafon


Pengujian papan gipsum plafon yang mengacu pada standart ASTM C 473

ataupun SNI 03-6384-2000. Dimana pengujian yaitu uji mekanis (uji kuat lentur, uji
modulus elastisitas, uji kuat tarik dan uji impak) dan uji fisik (uji densitas, uji
penyerapan air) dan uji termal dengan DTA.

2.5.1 Uji Kuat Lentur


Kekuatan lentur atau MOR (modulus of repture) dapat didefenisikan sebagai
kemampuan material untuk menahan deformasi di bawah beban hingga bengkok
sebelum patah. Tekanan fleksural pada dasarnya adalah kombinasi dari gaya tekan
dan gaya tarik. Kuat lentur merupakan besaran dalam bidang teknik yang
menunjukkan beban maksimum yang dapat ditahan oleh material (dalam hal ini
adalah papan komposit) persatuan luas.. Kuat lentur bekerja pada batas proporsional
atau daerah elastis.(Sudarsono, 2010).

Gambar 2.2 Kuat Lentur


Pada Gambar 2.2 tampak papan segi empat ditekan oleh gaya tunggal F pada
bagian tengah sehingga papan akan mengalami defleksi. Jarak terbesar papan
mengalami defleksi disebut defleksi maksimum. Bagian atas papan akan mengalami
kompresi dan bagian bawah akan mengalami tarikan. Permukaan imaginer pada
bagian tengah beam disebut bidang netral.

Universitas Sumatera Utara

Besarnya suatu tekanan atau tarikan akan bertambah besar bila semakin
menjauhi bidang netral. Tekanan dan tarikan akan maksimum pada permukaan atas
dan bawah. (Dieter, 1981).
Pengujian kuat lentur dari papan gipsum plafon mengacu pada SNI 03-21052006. Untuk menentukan nilai kuat lenturnya dapat menggunakan persamaan sebagai
berikut :

Fl

Dimana :

3 P1 S
2 LT2

(2.1)

Fl

= Nilai kuat lentur, kgf/m2

P1

= Beban lentur, kgf

= Jarak penyangga, m

= Lebar benda uji, m

= Tebal benda uji, m

Untuk papan gipsum biasa nilai terendah yang dipakai. Untuk papan gipsum
biasa struktural, nilai pada arah panjang dan lebar yang dipakai. (Anonim, 1991)

2.5.2 Uji Modulus Elastisitas


Modulus elastisitas atau MOE (Modulus of Elasticity) merupakan tegangan
lengkung akhir sebelum terjadinya patah dari suatu material dalam kelengkungannya,
dan itu sering digunakan untuk membandingkan material satu dengan yang lainnya.
Modulus elastisitas papan gipsum plafon mengacu pada SNI 03-2105-2006.
M e t o d e p e ng u j i a n i n i dimaksudkan untuk memperoleh nilai modulus
elastisitas kayu (Sudarsono, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Modulus Elastisitas


Benda uji sebelum dilakukan pengujian harus memenuhi persyaratan antara
lain yaitu benda uji harus sama jenisnya, benda uji bebas cacat (papan t idak
retak, tidak rapuh, dan k a d a r a i r m a k s i m u m 2 0 % ) , jumlah benda uji
minimum 2 buah untuk setiap jenis papan gipsum (Anonim, 2011)
Setelah dilakukan pengujian akan diperoleh nilai P maksimumnya, yang
kemudian ditentukan nilai Modulus Elastisitas nya dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :

Fp

Dimana :

P
S3
x 2
3
Y
4 LT
Fp

= Nilai Modulus Elastisitas, kgf/m2

= Jarak penyangga, m

= Lebar benda uji, m

= Tebal benda uji, m

P2

= Beban patah, kgf

= Titik pusat kelengkungan, m

(2.2)

Untuk papan gipsum biasa nilai terendah yang dipakai. Untuk papan gipsum
biasa struktural, nilai pada arah panjang dan lebar yang dipakai.

Universitas Sumatera Utara

2.5.3 Uji Kuat Tarik


Uji kuat tarik ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan maksimum suatu
material bila dikenai beban. Pengujian ini dilakukan dengan menarik spesimen di
kedua ujungnya hingga putus. Hasil yang di dapat dari uji tarik adalah beban
maksimum yang dapat ditahan dengan kemuluran material. Biasanya hasil pengujian
dituliskan dalam bentuk gaya persatuan luas :(Dieter,G. E, 1981)

Gaya tarik
Gambar 2.4 Kuat Tarik

Pengujian kuat tarik ini mengacu pada SNI 03-3399-1994, setelah dilakukan
pengujian akan diperoleh nilai P maksimumnya, yang kemudian ditentukan nilai kuat
tariknya dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Ft
Dimana :

P
A

(2.3)
Ft

= Nilai kuat tarik, kgf/m2

= Beban maksimum, kgf

= Luas penampang, m

Selain tegangan tarik hasil lain yang didapat dan diuji tarik adalah kemuluran
material sebelum putus seperti pada persamaan berikut ini (Dieter, G. E, 1981).

e
Dimana :

p 2 p1

(2.4)

p1
e

= Kemuluran

p1

= Panjang sebelum uji tarik, m

p2

= Panjang setelah uji tarik, m

Universitas Sumatera Utara

Dari tegangan dan kemuluran material di dapat suatu modulus yang biasa
disebut modulus youngs: ( Dieter, G.E,1981)
E

Dimana :

Ft
e

(2.5)
E

= Modulus Youngs,kgf/m

Ft

= Nilai uji kuat tarik, kgf/m2

= Kemuluran

Modulus youngs merupakan ukuran kekakuan material. Semakin kaku suatu


material maka modulus youngs juga juga akan semakin besar. Modulus young
didapat dari gaya ikatan antar atom, oleh karena itu modulus youngs suatu material
tidak dapat berubah tanpa mengubah sifat alami material itu sendiri dan tidak
terpengaruh oleh sifat-sifat material. ( Perry, 1981)

2.5.4 Uji Impak


Pengujian impak merupakan suatu pengujian yang mengukur ketahanan bahan
terhadap beban kejut. Inilah yang membedakan pengujian impak dengan pengujian
tarik dan kekerasan dimana pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan. Pengujian
impak merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi material yang
sering ditemui dalam perlengkapan transportasi atau konstruksi dimana beban tidak
selamanya terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba, contoh
deformasi pada bumper mobil pada saat terjadinya tumbukan kecelakaan.
Prinsip dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari
pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji
sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 2.5 di bawah ini memberikan ilustrasi
suatu pengujian impak dengan metode Charpy.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 Ilustrasi Skematis Pengujian Impak Dengan Benda Uji Charpy
Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk
terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan
tersebut. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah akibat
deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h. Bila bahan
tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap energi lebih besar maka makin
rendah posisi h. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan
menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan
mudah.
Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya
dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang
telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan
yang diuji dengan metode Charpy menggunakan persamaan sebagai berikut :

HI

E
A

Dimana :

(2.6)
E

= Energi yang diserap, J

= Luas penampang, m2

HI

= Harga Impak, J/m2

Universitas Sumatera Utara

Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10
mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar
0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi
mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul,
sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 2.4. Serangkaian uji Charpy pada satu
material umumnya dilakukan pada berbagai temperatur sebagai upaya untuk
mengetahui temperatur transisi.
Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi
tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain
berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci
(key hole). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy
adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan
(fracografi) yang terjadi.
Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik
maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran
bidang-bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan
permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan
berpenampilan buram.
2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan
(cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai
dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul
cahaya yang tinggi (mengkilat).
3.

Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis


perpatahan di atas (Yuwono, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.5.5 Uji Densitas


Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Ada dua macam
densitas yaitu : bulk density dan densitas teoritis (true density). Dalam hal ini yang
diukur adalah bulk density, merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume
sampel termasuk dengan rongga atau pori.
Bulk density untuk benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan,
bentuk dan volume sampel dapat diukur dengan cara mengukur dimensinya.
Sedangkan untuk bentuk yang tidak beraturan maka bulk density ditentukan dengan
metode Archimedes, yaitu dengan persamaan sebagai berikut :

Dimana :

Mk
x air
M k (M g M t )

(2.7)

= Densitas sampel uji, kg/m3

air

= Densitas air, kg/m3

Mk

= Massa kering sampel uji, kg

Mg

= Massa ketika sampel uji digantung dalam air, kg

Mt

= Massa tali penggantung, kg (Simbolon, 2001).

2.5.6 Uji Penyerapan Air


Untuk metode pengujian penyerapan air ini mengacu pada ASTM C 20-002005 dan SNI 01-4449-2006. Dimana pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
besarnya persentase penyerapan air oleh papan gipsum plafon. Metode pengujian ini
dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap sampel papan gipsum plafon
untuk waktu perendaman selama 24 jam (1 hari).

Universitas Sumatera Utara

Untuk menentukan besarnya nilai penyerapan air, dapat menggunakan


persamaan sebagai berikut :

PA
Dengan :

(M b M k )
x100%
Mk

(2.8)

PA

= Nilai penyerapan air (%)

Mk

= Berat sampel kering (kg)

Mb

= Berat jenuh air (kg) (Butarbutar, 2009).

2.5.7 Uji Termal dengan Differential Thermal Analysis (DTA)


Differential Thermal Analysis (DTA) yaitu merupakan suatu alat untuk
menganalisis sifat termal suatu sampel yang memiliki berat molekul tinggi seperti
bahan-bahan polimer dengan perlakuan sampel dipanaskan sampai terurai, yang
kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. DTA
digunakan untuk menentukan temperatur kitis (Tg) dan perubahan temperatur (T),
dengan ukuran sampel berkisar 30 mg (Stevens, 2001).
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang
perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses
kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam
bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (T g) sangat
penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran
beberapa polimer.
Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak T g
(eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. T g campuran biasanya
berada diantara Tg. Dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen
digunakan untuk menurunkan Tg , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair.

Universitas Sumatera Utara

Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur


bahan polimer, seperti modifikasi karet dengan resin ABS. campuran polimer
heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak Tg , karena di samping masing-masing
komponen masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan
Tg yang berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk
menentukan parameter interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal
(Wirjosentono, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Você também pode gostar