Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TB/HIV
PEMBIMBING
dr. Sukaenah Shebubakar, SpP.
DISUSUN OLEH
ETIKA TUNJUNG KENCANA
030.10.094
LAPORAN KASUS
TB/HIV
Presentasi Kasus
Diajukan kepada SMF Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih Untuk Memenuhi
Persyaratan Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik SMF Penyakit Dalam
Periode 27 Oktober 2014 03 Januari 2015
Oleh:
ETIKA TUNJUNG KENCANA
03010094
Pembimbing
dr. Sukaenah Shebubakar, SpP
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Daftar Isi
BAB I
Laporan Kasus
BAB II
Tinjauan Pustaka
15
Daftar Pustaka
37
BAB I
LAPORAN KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Tn. K
Umur
34 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Alamat
Pekerjaan
Karyawan Swasta
Agama
Islam
Status pernikahan
Menikah
Pendidikan terakhir
SMA
Asuransi
BPJS
Tanggal masuk RS
24 Oktober 2014
ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis di bangsal lantai 5 RSUD Budhi
Asih.
a. Keluhan Utama
Demam yang naik-turun dan hilang-timbul sejak 1 bulan SMRS.
b. Keluhan Tambahan
BAB cair sejak 1 minggu SMRS, batuk berdahak sejak 1 bulan SMRS, mual dan
muntah
c. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan deman hilang timbul
yang dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Pasien juga mengeluh batuk yang kadang
berdahak sejak 1 bulan SMRS, dahak berwarna kuning, saat batuk terkadang
sampai sesak. Pasien mengalami muntah sejak 2 minggu SMRS, muntah berisi
cairan 1 gelas, frekuensi 3x sehari. Nafsu makan menurun. Berat badan menurun
kira-kira 10kg selama setengah tahun terakhir. Buang air kecil normal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat penyakit asma, jantung, hipertensi, gastritis dan DM disangkal. Riwayat
sakit paru sebelumnya disangkal. Riwayat menggunakan jarum suntik (+)
e. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
4
Kesadaran
Compos mentis
Berat badan
57 Kg
Tinggi badan
163 cm
Status gizi
Baik
Tanda vital
Taksiran umur
: Sesuai usia
Cara berbaring
: Aktif
Cara berjalan
Cara berbicara
: Baik
Sikap
: Kooperatif
Penampilan
: Baik
Status mental
: Tingkah laku
: wajar
Alam perasaan
: biasa
Proses pikir
: wajar
pustul maupun lesi sekunder seperti jaringan parut atau keloid pada bagian tubuh
yang lain.
Rambut
Turgor
: baik
5
Palpebra : normal, tidak ptosis, tidak lagoftalmus, tidak edema, tidak ada
perdarahan, tidak blefaritis, tidak xanthelasma
Gerakan
: tidak ikterik
Pupil
4. Hidung
Bagian luar : normal, tidak ada deformitas, tidak ada nafas cuping hidung, tidak
sianosis
Septum
: di tengah, simetris
Tonsil
: ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis, kripti tidak melebar tidak ada
detritus
Faring
6. Leher
Bendungan vena : tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
Trakea
: di tengah
6
Aksila
8. Thorax
Paru-paru
Perkusi : sonor pada kedua hemithorax, batas paru-hepar pada sela iga VI
pada linea midklavikularis dextra, dengan peranjakan 2 jari pemeriksa, batas
paru-lambung pada sela iga ke VIII pada linea axillaris anterior sinistra.
Jantung
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS III - V , linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V , 2-3 cm dari linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS III linea sternalis sinistra
9. Abdomen
Inspeksi : abdomen datar, tidak ada sagging of the flanks, tidak buncit, tidak
smiling umbilicus
Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-), ballottement (-)
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok
CVA.
10. Ekstremitas
Tidak tampak deformitas, akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, edema di
ekstremitas (-)
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
Leukosit
6.0
ribu/l
3.6 11
Eritrosit
4.5
juta/l
3.8 5.2
Hemoglobin
13.0
g/dL
11.7 15.5
Hematokrit
39
35 47
Trombosit
110
ribu/l
150 440
LED
110
mm/jam
0 - 15
MCV
86.6
fL
80 100
MCH
29.2
pg
26 34
MCHC
33.7
g/dL
32 36
RDW
10.3
< 14
101
46
7.9
3.3
4.6
mU/dl
mU/dl
g/dl
g/dl
g/dl
<33
<50
6.4 - 8.3
3.5 - 5.2
1.9 - 3.5
HEMATOLOGI
KIMIA KLINIK
HATI
SGOT
SGPT
Protein Total
Albumin
Globulin
HASIL
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah Sewaktu
96
GINJAL
Ureum
38
Creatinin
1.20
IMUNOSEROLOGI
Anti HIV
Screening/Rapid test
Metode I
Reaktif
Reaktif
SATUAN
NILAI NORMAL
mg/dl
<110
mg/dL
mg/dL
13 - 43
< 1.1
Non reaktif
Non reaktif
8
Metode II
Metode III
Reaktif
Reaktif
Non reaktif
Non reaktif
HASIL
SATUAN
Non
NILAI NORMAL
Non Reaktif
Reaktif
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 29 Oktober 2014
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
4.6
3.0
9.3
28
63
91.0
30.9
33.8
11.7
ribu/l
juta/l
g/dL
%
ribu/l
fL
pg
g/dL
%
3.6 11
3.8 5.2
11.7 15.5
35 47
150 440
80 100
26 34
32 36
< 14
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
6.6
2.8
8.8
26
75
93.0
31.4
33.9
11.8
ribu/l
juta/l
g/dL
%
ribu/l
fL
pg
g/dL
%
3.6 11
3.8 5.2
11.7 15.5
35 47
150 440
80 100
26 34
32 36
< 14
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
382
/l
1250 - 4000
14.50
16.8
detik
detik
12 - 17
9
HASIL
detik
detik
mg/L
20 40
< 0.3
SATUAN
NILAI NORMAL
3+
1+
1+
Negatif
Negatif
Negatif
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
7.4
3.6
10.9
32
91
91.0
30.7
33.9
11.5
ribu/l
juta/l
g/dL
%
ribu/l
fL
pg
g/dL
%
3.6 11
3.8 5.2
11.7 15.5
35 47
150 440
80 100
26 34
32 36
< 14
52
42
mU/dl
mU/dl
<33
<50
HASIL
SATUAN
NILAI NORMAL
136
3.1
110
mmol/L
mmol/L
mmol/L
135 155
3.6 5.5
98 - 109
ELEKTROLIT
ELEKTROLIT SERUM
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
10
Foto Ro Thorax
Kesan:
V.
RINGKASAN
Pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan deman hilang timbul
yang dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Pasien juga mengeluh batuk yang kadang
berdahak sejak 1 bulan SMRS, dahak berwarna kuning, saat batuk terkadang sampai
sesak. Pasien mengalami muntah sejak 2 minggu SMRS, muntah berisi cairan 1
gelas, frekuensi 3x sehari. Nafsu makan menurun. Berat badan menurun kira-kira
10kg selama setengah tahun terakhir. Buang air kecil normal.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan Tekanan darah: 110/80mmHg, Nadi: 88
x/menit, Respirasi: 24x/menit, Suhu: 38,4 C. Terdapat bercak putih pada mukosa
mulut. Pada auskultasi paru didapatkan ronkhi di apeks paru kanan. Pada auskultasi
abdomen didapatkan bising usus meningkat.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan anemia, LED meningkat tajam,
pemeriksaan anti HIV reaktif. Pemeriksaan BTA 3x didapatkan hasil positif, dan pada
foto radiologi thorax didapatkan gambaran TB paru kanan.
VI.
VII.
DIAGNOSIS
ODHA
Prolong fever
Gastroenteritis kronik
TB Paru BTA +
Candidiasis oral
RENCANA PEMERIKSAAN
USG Abdomen
PEMERIKSAAN CD4
VIII. PENATALAKSANAAN
MEDIKA MENTOSA
o IVFD Aminofluid:RD (2:2)/6jam
o Ceftriaxone 1x2gr
12
o Metronidazole 3x500mg
o Pumpicel 1x40mg
o Granicetron 1x5g
o Episan syrup 3xCII
o Cotrimoxazole 2x2
o Smecta 2x1
o New Diatab 3xII
o Candistatin 4x1cc
o Aminoral 3x1
o Rifampisin 1x450mg
o Isoniazid 1x300mg
o Etambutol 2x500
o Hepa Q 2x1
Terapi Non-Medikamentosa:
1. OS dihimbau untuk minum obat secara teratur
2. Kontrol ke Poliklinik Penyakit Dalam dan Paru sebelum obat habis
3. Mencegah penularan kepada orang-orang sekitar
IX.
PROGNOSIS
Ad vitam
: ad malam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad malam
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk, seperti terlihat pada
tabel 1
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti
sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika
yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang cukup tinggi mengakibatkan
peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
II.
DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex.
III.
PATOGENESIS
A. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
14
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut :
1.
2.
3.
meningitis
tuberkulosis,
typhobacillosis
Landouzy.
Sembuh
pertumbuhan
dengan
terbelakang
meninggalkan
sekuele
(misalnya
pada
setelah
mendapat
anak
dan
membungkus
diri
(enkapsulasi),
dan
disebut
16
KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
A. TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+):
Lesi
nontuberkulosis
(pneumonia,
bronkiektasis,
jamur,
keganasan dll)
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
DIAGNOSIS
GAMBARAN KLINIK
Diagnosis
tuberkulosis
dapat
ditegakkan
berdasarkan
gejala
klinis,
Gejala respiratorik
batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
19
Gejala sistemik
Demam, gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun
B. Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat.Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.Pada pleuritis
tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.Pada limfadenitis
tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher
(pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
C. Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan
bakteriologi
untuk
menemukan
kuman
tuberkulosis
cerebrospinal,
bilasan
bronkus,
bilasan
lambung,
kurasan
pemeriksaan/specimen
yang
berbentuk
cairan
dikumpulkan
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
Fibrotik
Kalsifikasi
21
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti
Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
VI.
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama
dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
1. Obat yang dipakai:1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
A. INH Rifampisin
B. Pirazinamid
C. Streptomisin
D. Etambutol
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
A. Kanamisin
B. Amikasin
C. Kuinolon
D. Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
22
klavulanat
E. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain:
Kapreomisin, Sikloserino, PAS (dulu tersedia), Derivat rifampisin dan
INH, Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination FDC) Kombinasi dosis
tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah
sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:TB paru (kasus baru), BTA positif atau
pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE/ 6HE atau
2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil
uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2 RHZE/
4R3H3
24
bulan
ofloksasin,
etionamid,
sikloserin).
Dalam
keadaan
tidak
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat
pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis
maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat ringan atau
berat (terlihat pada tabel 4), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan
obat simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal
27
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing
dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara
dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25grStreptomisin dapat menembus sawar
plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.
28
D. PENGOBATAN SUPORTIF/SIMPTOMATIK
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan
klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat diberikan rawat jalan. Selain
OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
Pasien rawat jalan
Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demamc. Bila perlu dapat
diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan
29
lain.
Pasien rawat inap
E. TERAPI PEMBEDAHAN
Indikasi operasi
a. Indikasi mutlak
Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap
positif
Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
b. lndikasi relative
F. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan- Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit - Evaluasi klinis
30
BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
VII.
32
33
Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan
dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART
harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa
memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau
cgc 1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300
mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari)
sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang
mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB
diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
34
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT
karena bersifat sebagai buffer antasida
Jenis ART
VIII.
KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.Beberapa komplikasi
yang mungikin timbul adalah :
a. Batuk darah
b. Pneumotoraks
c. Luluh paru
d. Gagal napas
e. Gagal jantung
f. Efusi pleura
35
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO
Tuberculosis
Fact
Sheet
no.
104.
Available
at:
http//www.who.Tuberculosis.htm. Accesed on March 3, 2004.
2. Global tuberculosis control. WHO Report, 2003.
3. Rasjid R. Patofisiologi dan diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yusuf A,
Tjokronegoro A. Tuberkulosis paru pedoman penataan diagnostik dan terapi. Jakarta,
Balai Penerbit FKUI, 1985:1-11.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2005.
5. Aditama TY, Luthni E. Buku petunjuk teknik pemeriksaan laboratorium tuberkulosis,
eds 2. Jakarta, Laboratoirum Mikrobiologi RS Persahabatan dan WHO Center for
Tuberculosis, 2002.
6. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial disease. In: Murray
JF, Nadel JA. Textbook of respiratory medicine 2nd ed. Philadelphia, WB Saunders
Co, 1994;1095-100.
7. McMurray DN. Mycobacteria and nocardia. In: Baron S. Medical microbiology 3 rd
ed. New York, Churchil Livingstone, 1991; 451-8.
8. Besara GS, Chatherjee D. Lipid and carbohydrate of Mycobacterium tuberculosis. In:
Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;285-301.
9. Edward C, Kirkpatrick CH. The imunology of mycobacterial disease. Am Rev Respir
Dis 1986;134:1062-71.
10. Andersen AB, Brennan P. Proteins and antigens of Mycobacterium Tuberculosis. In:
In: Bloom BR. Tuberculosis. Washington DC, ASM Preess, 1994;307-32.
11. Rosilawati ML. Deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan reaksi berantai
Polimerasa / Polymerase Chain Reaction (PCR). Tesis Akhir Bidang Ilmu Kesehatan
Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 1998.
12. Netter FH. Respiratory system. In: Divertie MB, Brass A. The Ciba colletion of
medical illustrations. CIBA Pharmaceuticals Company, 1979:189.
13. Winariani. Pedoman penanganan tuberkulosis paru dengan resistensi multi obat
(MDR-TB). Kumpulan naskah ilmiah tuberkulosis. Pertemuan Ilmiah Nasional
Tuberkulosis PDPI, Palembang 1997.
14. American Thoracic Society Workshop. Rapid diagnostic test for tuberculosis. Am J
Respir Crit Care Med, 1997;155:1804-14.
15. ICT Diagnostic. Performance characteristics of the ICT tuberculosis test in China,
1997;1-9.
16. Cole RA, Lu HM, Shi YZ, Wang J, De Hua T, Zhun AT. Clinical evaluation of a rapid
immunochromatographic assay based on the 38 kDa antigen of Mycobacterium
tuberculosis in China. Tubercle Lung Dis 1996;77:363-8.
17. Mycodot test kit untuk mendeteksi antibodi terhadap Mycobacterium spp sebagai alat
Bantu dalam mendiagnosis TB aktif. Mycodot diagnosa cepat tuberculosis. PT.
Enseval Putera Megatrading.
18. Kelompok Kerja TB-HIV Tingkat Pusat. Prosedur tetap pencegahan dan pengobatan
tuberkulosis pada orang dengan HIV / AIDS. Jakarta, Departemen Kesehatan RI,
2003.
19. Soepandi PZ. Stop mutation with fixed dose combinantion. Departemen of
Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia Persahabatan
36
Hospital, Jakarta-Indonesia.
20. Soepandi PZ. Penatalaksanaan kasus TB dengan resistensi ganda (Multi Drug
Resistance/MDR). Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, RS
Persahabatan - Jakarta.
21. Khaled NA, Enarson D. Tuberculosis a manual for medical students. WHO, 2003.
22. Treatment of Tuberculosis. Guidelines for National Programmes 3 rd ed. WHO
Geneva, 2003.
23. Pedoman Pengobatan Antiretroviral (ART) di Indonesia. Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,
2004.
24. Prihatini S. Directly observed treatment shortcourse. Simposium tuberculosis
terintegrasi. Kegiatan dies natalis Universitas Indonesia ke-49. FKUI, Jakarta 1998.
25. Strategic directions. The global plan to stop TB 2006 2015. Available
at:http/www.stoptb.org/globanplan/plan. Accesed on June 4, 2006.
37