Você está na página 1de 40

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Lansia
A.

Definisi lansia
Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia

menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60


tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada
tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek
ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk
lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara
terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik
yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ (Zulsita A,
2010).
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai
beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan
bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat,
bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua,
seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan
masyarakat (Zulsita A, 2010).
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok
sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata
sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka
terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan
keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan
tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang
tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Zulsita A, 2010).

B.

Klasifikasi Lansia
WHO (1989) menetapkan batasan usia lanjut menjadi (Bandiah,

2009) :
1. Kelompok usia 45-59 tahun sebagai usia pertengahan (
middle/young elderly )
2. Orang dengan usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly)
3. Umur 75-90 tahun disebut tua (old)
4. Umur di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old).
Undang-undang RI No.4 tahun 1965 menjelaskan bahwa
seseorang dikatakan sebagai lanjut usia setelah yang bersangkutan
mencapai umur 55 tahun ke atas, tidak mampu mencari nafkah
(Bandiah, 2009).
Menurut pasal 1 ayat 2,3,4 UU no. 13 tahun 1998 tentang
kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Bandiah,2009)
Ahli Gerontology membagi usia tua menjadi 2 kelompok yakni
(Kaplan, Sadock, Grebb, 2010):
1. Usia tua yang muda (young old) berusia 65-74 tahun.
2. Usia tua yang tua (old-old) berusia 75 tahun dan lebih.
C.

Perubahan pada Proses menua


Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan

strktural dan fisiologis, begitu pula organ otak. Dalam hal perubahan
fisiologis sampai patologis telah dikenal tingkatan proses menua yang
menggunakan istilah senescence, senility dan demensia. Senescence
menandakan perubahan penuaan normal dan senility menandakan
penuaan yang abnormal, tetapi batasnya masih tidak jelas. Senility juga
dipakai sebagai indikasi gangguan mental yang ringan pada usia lanjut
yang tidak mengalami demensia (Cummings, Benson, 1992).
Proses untuk menjadi tua ini memang sudah dimulai sebelum
suatu kelahiran terjadi, selama manusia hidup, akan terjadi suatu

perubahan fungsi dan struktur sel tubuh manusia. maturitas akan


terjadi pada sekitar usia 20 atau 25 tahun. pertumbuhan akan berhenti,
dan proses ketuaan akan mulai nampak usia 30 tahun (Aswin S, 2003).
Proses ketuaan ditandai oleh menurunnya kemampuan tubuh
untuk beradaptasi atau pulih dari suatu rangsangan. Begitu pula orang
tua akan berkurang kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan
fisik. Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Bila
seseorang mengalami penuaan fisiologis (fisiological aging), maka
mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging).
Penuaan dibagi menjadi 2, yaitu (1) penuaan sesuai kronologis
usia (penuaan primer) yang dipengaruhi oleh faktor endogen, dimana
perubahan dimulai dari sel, jaringan, organ dan sistem pada tubuh, (2)
penuaan sekunder yang dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu
lingkungan, sosial budaya/gaya hidup dan lingkungan. Faktor eksogen
dapat juga mempengaruhi faktor endogen, sehingga dikenal faktor
resiko. Faktor resiko tersebut yang menyebabkan penuaan patologis
(pathological aging) (Pudjiastuti, Utomo, 2003).
Healthy aging akan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu endogenic
dan exogenic factor (Darmojo B, 2009). Endogenic factor yang
dimulai dengan cellular aging, lewat tissue dan anatomical aging ke
arah proses menuanya organ tubuh. Proses ini seperti jam yang terus
berputar. Sedangkan Exogenic factor, yang dapat dibagi dalam sebab
lingkungan (environment) dimana seseorang hidup dan faktor
sosiobudaya yang paling tepat disebut gaya hidup ( life style ).
Menuju healthy aging (menua sehat) dapat dengan jalan 4P yaitu
peningkatan mutu (promotion), pencegahan penyakit (prevention),
pengobatan penyakit (curative), dan pemulihan (rehabilitation),
sehingga keadaan patologikpun dicoba untuk disembuhkan karena
proses patologik akan mempercepat jalannya jam waktu tadi,
endogenic dan exogenic factors ini seringkali sulit untuk dipisahpisahkan karena saling mempengaruhi dengan erat maka bila faktor-

faktor tersebut tidak dapat dicegah terjadinya maka orang tersebut akan
lebih cepat meninggal (Darmojo B, 2009).
Faktor risiko dan penyakit degeneratif seringkali bersamaan
sehingga memungkinkan terjadinya banyak penyakit pada satu
penderita (multi patologi) maka faktor resiko tadi haruslah dicegah dan
dikendalikan. Adapun faktor endogen dan eksogen tersebut adalah :
1. Faktor internal
Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan
anatomik, fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua
makin besar, penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya
penyakit dimana batas antara penurunan tersebut dengan penyakit
seringkali tidak begitu nyata (Darmojo, Martono, 2000).
Penurunan anatomik dan fisiologik meliputi sistem otak dan
syaraf otak, sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem
metabolisme, sistem ekskresi dan sistem musculoskeletal serta
penyakit-penyakit degeneratif, Proses menua tidak dengan sendirinya
menyebabkan terjadinya demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya
perubahan anatomi dan biokimiawi disusunan saraf pusat. Penurunan
anatomik dan fisiologik dapat meliputi:
a. Sistem saraf pusat (otak) dan saraf otak
Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12%
selama hidup, perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada
umur 20 = 1,28 : 1, pada umur 50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 =
1,55:1 (Tilarso, 1988). Disamping itu meningen menebal, giri dan
sulci

otak

berkurang

kedalamannya,

kelainan

ini

tidak

menyebabkan gangguan patologi yang berarti. Pada pembuluh


darah terjadi penebalan intima akibat proses aterosklerosis dan
tunika media berakibat terjadi gangguan vaskularisasi otak yang
dapat menyebabkan stroke dan demensia vaskuler sedangkan pada
daerah hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan saraf otak

10

akibat pengaruh berkurangnya berbagai neurotransmitter (Martono,


Pranarka, 2009 ).
Penurunan aliran darah pada umur 17-18 = 79,3
cc/menit/100gr jaringan otak, umur 57-99 = 47,7cc/100gr jaringan
otak (Tilarso, 1988). Pada beberapa penderita tua terjadi penurunan
daya ingat dan gangguan psikomotor yang masih wajar, disebut
sebagai sifat pelupa benigna akibat penuaan keadaan ini tidak
menyebabkan gangguan pada aktifitas hidup sehari-hari, biasanya
dikenali oleh keluarga atau teman karena sering mengulang
pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi.
b. Sistem kardiovaskuler
Dinding ventrikel kiri sampai usia 80 tahun menjadi 25%
lebih tebal dari usia 30 tahun, cardiac output turun 40% atau kirakira kurang dari 1% per tahun, denyut jantung maksimal pada
dewasa muda 195x/menit, pada 65 tahun 170x/menit, tekanan
darah rata-rata umur 20-24 tahun pada wanita 116/70 pria 122/76
dan pada umur 60-64 tahun wanita 142/85 dan pria 140/85
(Tilarso, 1988). Walaupun tanpa adanya penyakit pada usia lanjut
jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi,
kecepatan kontraksi dan isi sekuncup. Terjadi pula penurunan yang
signifikan

dari

cadangan

jantung

dan

kemampuan

untuk

meningkatkan kekuatan curah jantung (Martono, Pranarka, 2009).


c. Sistem pernapasan
Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan
pada usia 20-25 tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya,
elastisitas paru menurun, kekakuan dinding dada meningkat,
kekuatan otot dada menurun. Semua ini berakibat menurunnya
rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran
gradient alveolar arteri untuk oksigen, disamping itu ada
penurunan gerak silia di dinding system pernapasan, penurunan

11

reflek batuk yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi akut pada


saluran pernapasan (Martono, Pranarka, 2009).
Menurut Tilarso (1988), volume residual akan meningkat
pada dekade ke 3 sampai dengan 9, kapasitas vital turun 17-22
cc/tahun, pemakaian oksigen maksimal pada keadaan stress turun
50% pada usia 80 tahun.
d. Sistem metabolisme
Pada sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi
glukosa dengan kadar glukosa darah puasa yang normal, frekuensi
hipertiroid tinggi pada usia lanjut (25%) sekitar 75% nya
mempunyai gejala/tanda klasik sebagian lainnya disebut sebagai
apathetic thyrotoxicosis, sedangkan hipotiroid merupakan penyakit
yang terutama terjadi antara usia 50-70 tahun dengan gejala yang
tidak mencolok sehingga sering tidak terdiagnosis (Martono,
Pranarka, 2009).
e. Sistem ekskresi
Berat ginjal pada usia 60 tahun 250 gr, umur 70 tahun 230
gr, umur 80 tahun 190 gr. Sedangkan jumlah glomeruli per ginjal
pada kelahiran sampai 40 tahun 500.000 1.000.000, pada dekade
7 kurang dari 1/3-1/2 (Tilarso, 1988). Pada usia lanjut ginjal
mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula Bowman
dan gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi,
nefron secara keseluruhan mengalami penurunan dan mulai terlihat
atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal sekitar 50%
dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat
tidak terlihat menurun, barulah apabila terjadi stress fisik ginjal
tidak dapat mengatasi peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah
terjadi gagal ginjal (Martono, Pranarka, 2009).

12

f. Sistem musculoskeletal
Menurut Tilarso (1988), jumlah sel-sel lurik akan turun
50% pada usia 80 tahun, berat otot lurik pada 21 tahun 45% dari
berat badan dan pada 70 tahun 27% dari berat badan sedangkan
pada tulang kecepatan kehilangan massa tulang/decade pria 3%
dan wanita 8%, rata-rata kehilangan tinggi pada umur 65-74 1,5
inch (3,7 cm), umur 85-94 3 inch (7,5 cm).
Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat
berkurangnya aktifitas juga akibat gangguan metabolic atau
denervasi syaraf, hal ini dapat diatasi dengan memperbaiki pola
hidup

(olahraga

atau

aktifitas

yang

terprogram).

Dengan

bertambahnya usia proses perusakan dan pembentukan tulang


melambat terutama pembentukkannya hal ini akibat menurunnya
aktifitas tubuh juga akibat menurunnya hormone estrogen pada
wanita, vitamin D dan beberapa hormone lainnya (parahormon dan
kalsitonin) trabekula tulang menjadi lebih berongga berakibat
sering mudah patah tulang akibat benturan ringan atau spontan
(Martono, Pranarka, 2009).
Kondisi psikososial meliputi perubahan kepribadian yang
menjadi faktor predisposisi yaitu gangguan memori, cemas dan
gangguan tidur yang dapat mempengaruhi depresi pada lansia. Depresi
pada lansia merupakan interaksi faktor biologi, psikologik dan sosial,
lansia mengalami kehilangan dan kerusakan banyak sel-sel saraf pada
lobus frontal dan lobus temporal yang berfungsi dalam intelektual
maupun zat neurotransmiter. Lansia menjadi lebih mudah tersinggung,
marah atau pendiam. Gangguan memori pada depresi sangat
berhubungan dengan cognitif impairment yang terjadi pada lansia.
Gangguan tidur dapat terjadi sebagai sebab atau akibat pada depresi
Faktor predisposisi dapat diperberat dengan perasaan kurang percaya
diri, merasa diri menjadi beban orang lain, merasa rendah diri, putus

13

asa dan dukungan sosial yang kurang. Faktor sosial meliputi


perceraian, kematian, berkabung, kemiskinan, berkurangnya interaksi
social dalam kelompok lansia mempengaruhi terjadinya depresi.
Respon prilaku seseorang mempunyai hubungan dengan kontrol sosial
yang berkaitan dengan kesehatan (Tucker, Orlando, Elliot, Klein,
2006).

Penelitian

menyebutkan

adanya

hubungan

aktifitas

interpersonal yang kurang dengan timbulnya stress, Mekanisme stress


dapat

mempengaruhi

proses

neurodegeneratif

khususnya

di

hipokampus dan memegang peranan penting dalam proses memori


diotak. Hipokampus mengatur respon stress dan bekerja menghambat
aksi stress. Kegiatan sosial adalah kegiatan pendekatan sosial yang
dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dengan
lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain,
atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok seperti pengajian,
kesenian, kursus, olahraga dan lainnya merupakan implementasi dari
pendekatan ini agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan
sesama

lansia

maupun

dengan

petugas

kesehatan.

Semakin

berkurangnya kegiatan sosial maka semakin tidak berkembang dan


kecil kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri (Hurlock,1996).
Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan
keterikatan sosial dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada
hipotalamus dan sistim saraf pusat. Hubungan sosial ini dapat
mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan (Zunzunegui, Alvarado,
Del Ser, Otero 2003). Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada
usia 25 lanjut mempunyai hubungan dengan fungsi kognitif atau
mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39% (Barnes et al, 2004 )
2.

Faktor eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses

menua antara lain gaya hidup/life style, faktor lingkungan dan


pekerjaan. Budaya gaya hidup yang mempercepat proses penuaan

14

adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur dan nutrisi yang
tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan
yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan
menghentikan merokok, seperti diketahui bahwa merokok akan
menyebabkan berbagai penyakit antara lain PPOK (penyakit paru
obstruksi kronis), kanker dan hipertensi, upaya penghentian merokok
tetap bermanfaat walaupun individu sudah berusia 60 tahun atau lebih.
Penelitian yang dilakukan oleh Harrington et al (2000) menemukan
bahwa ada hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif
selama 4 tahun follow up, karena diketahui peningkatan prevalensi
penyakit asymtomatik serebral menimbulkan gejala hipertensi dengan
banyaknya infark kecil diotak seperti pencetus timbulnya dimensia.
Faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan
faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua
karena penurunan kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat
radikal bebas seperti asap kendaraan, asap rokok meningkatkan resiko
penuaan dini, sinar ultraviolet mengakibatkan perubahan pigmen dan
kolagen sehingga kulit tampak lebih tua.
Pengaruh dari zat-zat pengawet makanan, zat-zat ini sifatnya
beracun/karsinogenik yang dalam jangka waktu tertentu dapat
memperpendek usia walaupun ada penangkalnya seperti enzim
katalase, vitamin C,A,E, namun demikian radikal bebas ini tetap lolos
dan sangat reaktif serta cepat bereaksi terhadap protein, DNA, dan
lemak tak jenuh menyebabkan kanker, semakin usia lanjut radikal
bebas semakin terbentuk yang mempercepat proses menua. Radikal
bebas diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil mempunyai
satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan diorbit luarnya,
molekul ini sangat reaktif mencari pasangan elektronnya, jika
terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang
menghasilkan radikal bebas baru dan terus bertambah. dengan semakin
banyaknya sel-sel yang rusak yang pada akhirnya sel tersebut mati,

15

adanya radikal bebas sel-sel tidak dapat regenerasi.Reaksi antara


radikal bebas dan molekul itu berujung pada timbulnya suat penyakitpenyakit degeneratif seperti kardiovaskuler parkinson, alzheimer dan
penuaan (Hardywinoto, Setiabudhi, 2005)
Faktor pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada
pekerja keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan
orang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang
terus-menerus melatih kapasitas otak dapat membantu mencegah
terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah dimensia (Sidiarto,
Kusumoputro, 1999).
2.1.2 Fungsi Kognitif
A.

Definisi
Kognitif berasal dari bahasa Latin, yaitu cognitio yang artinya

adalah berpikir. Hal ini merujuk kepada kemampuan seseorang dan


mengerti dunianya, yang dicapai dari sejumlah fungsi yang kompleks
termasuk orientasi terhadap waktu, tempat dan individu; kemampuan
aritmatika; pikiran abstrak; kemampuan fokus untuk berpikir logis
(Pincus, Tucker 2003).
Pengertian yang lebih sesuai dengan behavior neurology dan
neuropsikologi, kognitif adalah suatu proses dimana semua maksud
sensori (taktil, visual, dan auditori) akan diubah, diolah, disimpan, dan
selanjutnya digunakan untuk hubungan interneuro secara sempurna
sehingga individu mampu melakukan penalaran terhadap masukan
sensoris tersebut (Wiyoto, 2002).
Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental manusia yang
meliputi perhatian, persepsi, proses berpikir, pengetahuan dan memori.
Sebanyak 75% dari bagian otak besar merupakan area kognitif
(Saladin, 2007).

16

B.

Anatomi dan Fisiologi Fungsi kognitif


Masing-masing domain kognitif tidak dapat berjalan sendiri-

sendiri dalam menjalankan fungsinya, tetapi sebagai satu-kesatuan,


yang disebut sistem limbik (Markam S, 2003). Struktur Limbik terdiri
dari amigdala, hipokampus, nucleus talamik anterior, girus subkalosus,
girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus, dan korpus
mamillare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mamilotalamikus, dan
striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung sistem ini (Snell
RS, 2001; Waxman SG, 2007).

Gambar 1. Sistem Limbik


Sumber: Waxman SG. The limbic system. In : Lange Neuroanatomy.

Peran sentral sistem limbik meliputi memori, pembelajaran,


motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin, dan aktivitas otonom. Struktur
otak berikut ini bagian dari sistem limbik (Snell RS, 2001; Waxman
SG, 2007):

17

1. Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi dimana pada hemisfer


kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar,
dan pada hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat
sadar.
2. Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang,
pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran.
3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori
spasial.
4. Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung,
tekanan darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior
(ACC) merupakan struktur limbik terluas, berfungsi pada afektif
kognitif, otonom, perilaku dan motorik
5. Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mamillary bodies
dan septal nuclei, forniks berperan dalam meori dan pembelajaran.
6. Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui
produksi dan pelepasan hormone, tekanan darah, denyut jantung,
libido, siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi
memori jangka panjang.
7. Talamus ialah kumpulan badan sel saraf didalam diensefalon
membentuk dinding lateral vertrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai
pusat hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri.
Dengan kata lain, thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi
kognitif di otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri.
8. Mamillary bodies, berperan dalam pembentuka memori dan
pembelajaran.
9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur
kebahagiaan.
10. Korteks entorhinal, penting dalam memori dan merupakan
komponen asosiasi.
Sedangkan lobus otak yang ikut berperan dalam kognitif adalah
(Markam S, 2003) :
1. Lobus frontalis
Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, prilaku, kepribadian,

18

bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis


dan sintesis sebagian korteks medial lobus frontalis dikaitkan
sebagai bagian system limbic, karena banyaknya koneksi anatomic
dengan struktur limbic dan adanya perubahan emosi bila terjadi
kerusakan.
2. Lobus parietalis
Lobus parietalis berfungsi dalam membaca, persepsi, memori, dan
visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensori (input visual,
auditori, taktil) dari area asosiasi sekunder. Karena menerima input
dari berbagai modalitas sensori sering disebut korteks heteromodal
dan mampu membentuk asosiasi sensori (cross modal association).
Sehingga manusia dapat menghubungkan input visual dan
menggambarkan apa yang mereka lihat atau pegang.
3. Lobus temporalis
Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan,
emosi, memori, kategorisasi benda-benda, dan seleksi rangsangan
auditorik dan visual.
4. Lobus oksipitalis
Lobus

oksipitalis

berfungsi

mengatur

penglihatan

primer,

visuospasial, memori dan bahasa.

Fungsi kognitif terdiri dari :


1.

Atensi, konsentrasi
Atensi

merupakan

kemampuan

untuk

bereaksi

atau

memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu


mengabaikan stimulus lain baik internal maupun eksternal yang tidak
perlu atau tidak dibutuhkan (Modul neurobehaviour, 2008).

19

Fungsi kognitif yang baik didukung oleh atensi atau konsentrasi


yang baik. Atensi dan konsentrasi yang terganggu akan mempunyai
dampak terhadap fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan
fungsi eksekutif. Sistem aktivasi retikuler sangat berperan penting
dalam fungsi atensi, demikian juga thalamus sebagai pusat modulasi
kortikal. Penurunan fungsi atensi sesuai proses menua normal dimulai
usia 20 tahun berlanjut sampai usia tua. Atensi merupakan kemampuan
yang kompleks termasuk kewaspadaan, konsentrasi, dan bebas
distraksi. Atensi merujuk pada mempertahankan menjalani perintah,
fokus dan aktivitas mental yang dapat beralih bila dibutuhkan
(Lumempaw, 2009).
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda.
Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang
terpecah atau tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik
unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak
(Modul neurobehaviour, 2008).
2.

Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali

harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui


system

limbik

untuk

terjadinya

pembelajaran

baru

(Modul

neurobehaviour, 2008).
Pengetahuan dasar individual dapat sangat baik terpelihara
sepanjang usia, tetapi pemasukan informasi baru dapat menurun.
Kemampuan memori pada usia 75 tahun menurun 25% dibandingkan
usia 20 tahun (Lumempaw, 2009).
Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate,
recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus
dan recall (Modul neurobehaviour, 2008).
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall
stimulus dalam interval waktu beberapa detik.

20

b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat


kejadian sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang
dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan
mempelajari materi baru serta mencari materi tersebut dalam
rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi
bertahun-tahun yang lalu (misalya tanggal lahir, sejarah, nama
teman)
Gangguan utama fungsi ini pada proses menua berhubungan
dengan pemindahan informasi dari penyimpanan sementara ke tempat
penyimpanan permanen di otak, hal ini berkaitan dengan memori baru.
Memori lama biasanya relative baik atau sedikit menurun. Hasil
penelitian fungsi memori menurun pada proses recall, sedangkan
recognition tetap baik. Pemeriksaan memori meliputi memori baru
(verbal/auditorik dan non-verbal/visual), memori tertunda (recall
memory), dan rekognisi serta memori lama (remote memory)
(Lumempaw, 2009).
3. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas
dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu
pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan
neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif
seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau
tidak mungkin dilakukan (Modul neurobehaviour, 2008).
Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4
parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming
(Goldman, 2000) :
a.

Kelancaran
Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan

kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu

21

metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah


dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.
b.

Pemahaman
Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami

suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya


seseorang untuk melakukan perintah tersebut.
c.

Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan

atau kalimat yang diucapkan seseorang.


d.

Naming
Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk

menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.


Bahasa mengacu pada komunikasi simbolis. Fungsi ini relative
baik pada proses menua. Faktor sensoris seperti pendengaran yang
berkurang juga dapat menyebabkan gangguan kelancaran berbahasa
(Lumempaw, 2009).
4. Visuospasial
Merupakan kemampuan persepsi ruang yaitu mengamati
lingkungan sekitar dan juga mengamati dirinya sendiri. Bila
mengalami gangguan fungsi ini terjadi kesulitan untuk menggambar
atau melukis atau memahat dan sebagainya (Lumempaw, 2009).
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan
kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam
gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua
lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal
terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling dominan.
Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan
visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan
di lobus frontal dan parietal (Modul neurobehaviour, 2008).

22

Pasien diminta untuk menggambar jam berbentuk lingkaran


kemudian dengan angkanya yang lengkap, jika gambar jam digambar
terlalu kecil sehingga angka-angkanya tidak muat, hal ini mencermikan
gangguan pada perencanaan. Jika terdapat neglek unilateral pasien
menempatkan angka hanya pada satu sisi. Selanjutnya pasien diminta
untuk menggambar jarum pada pukul 11:10. Pasien dengan gangguan
fungsi eksekutif akan menunjuk jarum pada angka 10 dan 11 (Modul
neurobehaviour, 2008).
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara
berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi
diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan
bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga
menyebabkan sindroma lobus frontal. Diperlukan atensi, bahasa,
memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan
kognitif (Modul Neurobehavior, 2008).
Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral
dan struktur kortikal serta subkortikal yang berhubungan dengan
daerah tersebut. Kerusakan pada korteks prefrontal dorsolateral dapat
menimbulkan sindrom neurobehavioral dengan gejala gejala seperti
berkurangnya aktivitas motorik kompleks , proses berfikir yang tidak
konkrit, gagal mengenal konsep konsep, kurang fleksibilitas, serta
terjadi perilaku motorik yang stereotipik (Lumempaw, 2009).
Istilah

penurunan

kognitif

sebenarnya

menggambarkan

perubahan kognitif yang berkelanjutan. Beberapa dianggap masih


dalam spektrum penuaan normal, sementara yang lainnya dimasukkan
dalam ketegori gangguan ringan. Untuk menentukan gangguan fungsi
kognitif, biasanya dilakukan penilaian terhadap satu domain atau lebih
seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis. Temuan
dari berbagai peneltian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa

23

faktor biologis, perilaku, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi


terhadap esiko penurunan fungsi kognitif (Plassman, William, Burke
2010).
C.

Kognitif pada Lansia


Setiati, Harimurti, dan Roosheroe (2006) menyebutkan adanya

perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya


kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi
tranmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan
banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan
mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori,
serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik
dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat
dipercaya sebagai kontributor utama perubahan dalam kemampuan
kognitif dan efisiensi dalam pemrosesan informasi (Papalia, Olds,
Feldman, 2005).
Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan,
memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang.
Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan
fungsi otak. Raz dan Rodrigue menyebutkan garis besar dari berbagai
perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan
berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus,
hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum,
penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps,
kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA.
Raz dan Rodrigue juga menambahkan terjadinya hiperintensitas
substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat
menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang
berkurang. Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah
memunculkan hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan

24

fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan dengan pasien dengan


lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut memperlihatkan gangguan
pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif (Zulsita A, 2010).
D.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif


1.

Jenis Kelamin
Wanita tampaknya lebih beresiko mengalami penurunan

kognitif. Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks


endogen dalam perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen
telah ditemukan dalam area otak yang berperan dalam fungsi
belajar dan memori, seperti hipokampus. Rendahnya level
estradiol dalam tubuh telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
kognitif umum dan memori verbal. Estradiol diperkirakan
bersifat neuroprotektif dan dapat membatasi kerusakan akibat
stress oksidatif serta terlihat sebagai protektor sel saraf dari
toksisitas amiloid pada pasien Alzheimer (Zulsita A, 2010).
2.

Pendidikan
Banyak studi menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih

tinggi, berisiko rendah menderita penyakit Alzheimer (Kramer,


Hillman,

2009).

Tingkat

fungsi

intelektual

premorbid

mempengaruhi kemungkinan penyembuhan fungsi kognitif dan


respon terhadap rehabilitasi (Lifshitz, Witgen, Grady, 2007).
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan
penurunan fungsi kognitif yang dapat terjadi lebih cepat
dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Diduga ada
beberapa mekanisme yang mendasari proses ini yaitu :
a. Hipotesis

brain

reverse,

teori

ini

mengatakan

bahwasannya tingkat pendidikan dan penurunan fungsi


kognitif karena usia saling berhubungan karena keduanya
didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak lahir.

25

b. Teori use it or lose it, teori mengatakan stimulus mental


selama dewasa merupakan proteksi dalam melawan
penurunan fungsi kognitif yang prematur. Pendidikan
pada

awal

kehidupan

mempunyai

pengaruh

pada

kehidupan selanjutnya jika seseorang tersebut terus


melanjutkan pendidikan untuk menstimulasi mental yang
diduga bermanfaat untuk neurokimia dan pengaruh
struktur otak (Bosma et al 2003; Seeman et al, 2005)
Satu teori menjelaskan tentang synaptic reserve hypothesis,
dimana orang yang berpendidikan tinggi mempunyai lebih
banyak synaps di otak dibanding orang yang berpendidikan
rendah. Ketika synap tersebut rusak karena ada proses penyakit
Alzheimer maka synap yang lain akan menggantikan tempat
yang rusak tadi. Teori ini berhubungan dengan cognitive reserve
hypothesis dimana orang yang beredukasi memiliki lebih banyak
sinaps pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi
dengan baik terhadap hilangnya suatu kemampuan dengan
menggunakan strategi alternative pada tes yang didapati selama
pelatihan

selama

diasumsikan

pendidikan,

orang

yang

dengan

demikian

berpendidikan

tinggi

dapat

menurun

fleksibilitas ini dalam test-taking strategy (Dash, VillemarettePittman, 2005).


Suatu studi yang dilakukan oleh Bennett et al, (2003) untuk
mengetahui hubungan antara tingkat edukasi formal dan patologi
Alzheimer Diseases. Ternyata dijumpai adanya bukti yang kuat
antara senile plaque dan level fungsi kognitif yang berbeda
berdasarkan tingkat edukasi formal.
Studi

yang

menyimpulkan

dilakukan

bahwasannya

oleh

Seeman

semakin

et

tinggi

al

(2005)

pendidikan

penderita Alzheimer maka semakin cepat penurunan fungsi

26

kognitif. Hipotesis cognitive reserve (CR) dapat menjelaskan hal


ini. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ada perbedaan individu
dalam kemampuan mengatasi patologis penyakit Alzheimer.
Substrat neural dari CR dapat mengambil bentuk dari jumlah
yang besar dari sinaps atau neuron yang sehat saat yang lainnya
dipengaruhi proses patologis Alzheimer. Sehingga penyakit
Alzheimer pada tingkat pendidikan tinggi baru bermanifestasi
secara klinis setelah kelainan patologi otak cukup parah
(patologis di otak yang berpendidikan tinggi lebih berat dari yang
berpendidikan rendah saat penyakit Alzheimer terdeteksi). Dan
pada saat patologis otak sudah berat dan meluas, substrat neural
yang mengkompensasi tersebut tidak lagi tersedia dan penurunan
fungsi kognitif yang cepat terjadi.
3.

Pekerjaan
Pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada

pekerja keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani.


Pekerjaan orang dapat mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana
pekerjaan yang terus-menerus melatih kapasitas otak dapat
membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan
mencegah demensia (Sidiarto, Kusumoputro, 1999).
.

4.

Stroke
Baik

stroke

iskemik

maupun

hemoragik

dapat

mengakibatkan kerusakan bahkan sampai kematian sel otak.


Akibat dari keadaan tersebut dapat timbul suatu kelainan klinis
sebagai akibat dari kerusakan sel otak pada bagian tertentu tetapi
juga dapat berakibat terganggunya proses aktivitas mental atau
fungsi kortikal luhur termasuk fungsi kognitif (Nasreddine Z et
al, 2005).

27

Banyak

penelitian

yang

telah

dilakukan

mengenai

gangguan kognitif dan demensia pasca stroke, Zhu et al (1998)


dalam

penelitiannya

berhubungan

dengan

mengatakan
disability

bahwa

stroke

(ketidakmampuan)

selain
juga

berhubungan dengan perkembangan demensia. Tipe stroke silent


merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya gangguan
kognitif. Dari hasil penelitiannya dikatakan bahwa stroke juga
berhubungan dengan terjadinya gangguan kognitif tanpa adanya
demensia (Kusumoputro S, 2001).
Pasien stroke iskemik yang dirawat mempunyai risiko
paling sedikit lima kali untuk terjadinya demensia. Mekanisme
yang mendasari hubungan tersebut ada beberapa. Pertama stroke
secara langsung atau sebagian penyebab utama demensia, yang
secara umum diklasifikasikan sebagai demensia multi infark atau
demensia vaskuler. Kedua adanya stroke memacu onset
terjadinya demensia Alzheimers. lesi vascular pada otak
termasuk perubahan pada subtansi alba, lesi degenerasi
Alzheimers dan usia sendiri berpengaruh pada perkembangan
dari demensia.
Pohjasvaara dkk (1998) mengatakan bahwa faktor risiko
demensia yang dihubungkan dengan stroke belum diketahui
secara lengkap, berbagai faktor gambaran stroke (dysphasia,
sindrom stroke dominan), karakteristik penderita (tingkat
pendidikan) dan penyakit kardiovaskular yang mendahului
berperan terhadap risiko tersebut (Rahmawati D, 2006).
Pohjasvaara

dkk

(1998)

dalam

penelitian

lainnya

mengatakan bahwa penurunan kognitif dan demensia sering


terjadi pada pasien stroke iskemik, dan frekuensinya meningkat
dengan meningkatnya usia (Kusumoputro S, 2001).
Hasil penelitian Pohjasvaara didapatkan penurunan fungsi
kognitif yang terjadi 3 bulan pasca stroke adalah 56,7% untuk

28

paling sedikit satu kategori, 31,8% untuk penurunan dua atau tiga
kategori, dan penurunan lebih dari empat kategori ada 26,8%
(Ballard et al, 2003).
5.

Hipertensi
Mekanisme pasti terjadinya gangguan kognitif pada

hipertensi belum sepenuhnya

dipahami. Suatu hipertensi

menyebabkan percepatan terjadinya arterosklerosis pada jaringan


otak yang berimplikasi pada gangguan kognitif, yang mana pada
penelitian sebelumnya ditunjukan adanya hubungan bermakna
antara derajat retinopati hipertensi sebagai akibat hipertensi lama
yang mana selain proses terjadinya vasokonstriksi pada
pembuluh darah retina sendiri juga peristiwa aterosklerosis.
Kapiler dan arteriola jaringan otak akan mengalami penebalan
dinding oleh karena terjadi deposisi hyaline dan proliferasi tunika
intima yang akan menyebabkan penyempitan diameter lumen
dan peningkatan resistensi pembuluh darah. Hal tersebut memicu
terjadinya gangguan perfusi serebral,memungkinkan terjadinya
iskemia berkelanjutan pada gangguan aliran pembuluh darah
yang kecil hingga timbul suatu infark lakuner. Hipertensi kronik
dapat

menyebabkan

gangguan

fungsi

sawar

otak

yang

menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar otak.hal ini akan


menyebabkan jaringan otak khususnya substansi alba menjadi
lebih mudah mengalami kerusakan akibat adanya stimulus dari
luar (Pujarini LA, 2007).
Peningkatan tekanan darah sistolik mempengaruhi fungsi
kognitif terutama pada usia lanjut, dimana terjadinya gangguan
mikrosirkulasi dan disfungsi endotel juga berperan pada
gangguan fungsi kognitif pada hipertensi (Moroney JT et al,
2001).

29

6.

Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah sebuah penyakit metabolik yang

dapat mempunyai efek yang sangat merusak pada banyak organ


di dalam tubuh. Salah satu komplikasi diabetes mellitus adalah
disfungsi kognitif. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dapat
mengalami gangguan kognitif (Kodl, Seaquist, 2008).
Pengendalian kadar gula darah berperan dalam menentukan
derajat disfungsi kognitif yang terdeteksi pada pasien dengan
diabetes tipe 2. Yaffe dkk menemukan bahwa pasien dengan
HbA1c lebih dari 7,0% mempunyai peningkatan empat kali lipat
mengalami gangguan kognitif ringan. Pengendalian kadar
glukosa yang buruk menyebabkan fungsi kognitif yang buruk
juga (Kodl, Seaquist, 2008).
Hipotesis mengenai patofisiologi yang mendasari disfungsi
kognitif pada pasien diabetes bermacam-macam, antara lain
peran hiperglikemia, penyakit vaskuler, hipoglikemia, resistensi
insulin, dan deposisi amiloid. Penyebab disfungsi kognitif pada
pasien diabetes merupakan kombinasi dari faktor-faktor tersebut,
tergantung tipe diabetes, komorbiditas, umur, dan tipe terapi
(Kodl, Seaquist, 2008).
a. Peran hiperglikemia terhadap disfungsi kognitif pada DM
yaitu hiperglikemia menyebabkan aktivasi jalur poliol,
peningkatan formasi advanced glycation end products
(AGEs), aktivasi diasilgliserol dari protein kinase C, dan
peningkatan perlintasan glukosa pada jalur heksosamin.
Mekanisme yang sama dapat terjadi di otak dan
menimbulkan perubahan pada fungsi kognitif yang
terdeteksi pada pasien dengan diabetes. Mencit diabetik
(HbA1c 32% vs. 12% pada mencit kontrol) yang
menunjukkan gangguan kognitif ditemukan mengalami
peningkatan ekspresi RAGE pada neuron dan sel glial

30

serta kerusakan pada substansia alba dan myelin,


menunjukkan kemungkinan adanya peran RAGE dalam
perkembangan disfungsi serebral. Hiperglikemia akibat
diabetes memindahkan glukosa ke arah produksi khitin,
maka kemungkinan akumulasi molekul tersebut dapat
berperan pada abnormalitas kognisi. Hiperglikemia juga
menyebabkan kerusakan organ akhir melalui peningkatan
pada

spesies

superoksida,

oksigen
yang

reaktif

kemudian

(ROS),

dapat

terutama

mengakibatkan

peningkatan aktivasi jalur poliol, peningkatan formasi


AGE, aktivasi protein kinase C, dan peningkatan
perlintasan glukosa pada jalur heksosamin. Faktor
transkripsi faktor nuklir B, sebuah penanda gen
proinflamasi yang di-up-regulasi oleh AGE, dan protein
S-100, suatu penanda cedera otak yang dapat berikatan
dengan RAGE, keduanya di-up-regulasi di dalam
hipokampus pada percobaan binatang. Data menunjukkan
bahwa stress oksidatif dapat memicu kaskade kerusakan
neuronal.

Selain

kerusakan

organ

akhir

akibat

hiperglikemia, perubahan fungsi neurotransmitter juga


berperan pada disfungsi kognitif. Pada tikus diabetic
terdapat

gangguan

potensiasi

jangka

panjang,

didefinisikan sebagai penyengatan kekuatan sinaptik


jangka panjang tergantung aktivitas, pada neuron yang
kaya reseptor untuk neurotransmitter N-metil-D-aspartat
(NMDA), yang dapat berperan pada defisit belajar.
Perubahan neurokimiawi lain yang telah teramati,
meliputi penurunan asetilkolin, penurunan pergantian
serotonin,

penurunan

aktivitas

dopamine,

dan

peningkatan norepinefrin pada otak binatang dengan


diabetes.

31

b. Peran penyakit vaskuler terhadap disfungsi kognitif pada


DM yaitu pasien dengan DM mengalami peningkatan dua
hingga enam kali lipat untuk risiko stroke trombotik, dan
penyakit vaskuler, ini berperan terhadap terjadinya
gangguan kognitif. Penebalan membran basement kapiler,
penanda dari mikroangiopati diabetik, juga ditemukan
pada otak pasien dengan diabetes. Pasien dengan diabetes
juga ditemukan secara global mengalami penurunan laju
aliran darah serebral dan besar penurunannya berkorelasi
dengan lama sakitnya. Penurunan aliran darah serebral,
digabung dengan stimulasi reseptor tromboksan A2 yang
terjadi pada pasien dengan diabetes, dapat berperan pada
ketidakmampuan

pembuluh

darah

serebral

untuk

bervasodilatasi secara adekuat, yang kemudian dapat


meningkatkan

kemungkinan

iskemia.

iskemia

dan

hiperglikemia berbahaya bagi otak. Level glukosa darah


yang sedikit meninggi (lebih dari 8,6 mmol/liter) pada
manusia

ketika

terjadi

gangguan

serebrovaskuler

berkorelasi dengan pemulihan klinis yang lebih buruk.


Salah satu mekanisme potensial dimana hiperglikemia
dapat memperbesar kerusakan iskemik adalah akumulasi
laktat. Hiperglikemia menghasilkan lebih banyak substrat
untuk membentuk laktat, menimbulkan asidosis seluler
dan memperberat cedera. Mekanisme yang lain adalah
akumulasi glutamate dalam situasi hiperglikemia dan
iskemia. Glutamate, suatu neurotransmitter asam amino
eksitatorik,

telah

terbukti

menyebabkan

kerusakan

neuronal di dalam otak. Meskipun mekanisme pastinya


belum diketahui, tidak adanya C-peptida pada pasien
dengan diabetes dapat memperberat gangguan kognitif
melalui kerjanya pada endothelium.

32

c. Peran hipoglikemia terhadap disfungsi kognitif pada DM


telah diteliti pada binatang percobaan, setelah 30-60
menit level glukosa darah berada diantara 0,12 dan 1,36
mmol/liter, terjadi nekrosis neuronal yang disertai
peningkatan
kegagalan

aspartat
energy

ekstraseluler,

neuronal,

yang

alkalemia,
pada

dan

akhirnya

menghasilkan elektroensefalograf mendatar. Korteks,


ganglia basalis, dan hipokampus paling rawan terhadap
hipoglikemia, dengan nekrosis laminar dan gliosis
ditemukan pada region tersebut pada otopsi yang
dilakukan

pada

pasien

yang

meninggal

karena

hipoglikemia. Penelitian dengan otopsi manusia lainnya


yang dilakukan setelah kematian akibat hipoglikemia
menunjukkan nekrosis multifokal atau difus pada korteks
serebral dan kromatolisis sel-sel ganglion.
d. Peran resistensi insulin dan amiloid terhadap disfungsi
kognitif pada diabetes mellitus. Diabetes dan insulin
dapat

mempengaruhi

potensiasi

jangka

panjang.

Potensiasi jangka panjang sangat menentukan dalam


pembentukan memori dan diinduksi oleh aktivasi reseptor
NMDA,

suatu

proses

yang

di-upregulasi

dengan

keberadaan insulin. Tikus dengan diabetes, dan dianggap


mengalami defisiensi insulin relatif, terdapat penurunan
potensiasi jangka panjang di hipokampus yang diukur
secara elektrofisiologi. Bila potensiasi jangka panjang
menurun, neuron hipokampus tikus yang terpapar insulin
menunjukkan inhibisi spontan. Kemungkinan reduksi
pada uptake glukosa mempunyai efek langsung terhadap
bagaimana insulin meregulasi fungsi hipokampus pada
pasien DM. Resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2
dapat berperan pada disfungsi kognitif melalui tiga

33

mekanisme. Pertama, disfungsi kognitif pada pasien


dengan diabetes tipe 2 berkorelasi dengan penanda
inflamatorik, dan peningkatan inflamasi berperan dalam
perkembangan penyakit Alzheimer atau makrovaskuler.
Peninggian protein C-reaktif, dan peninggian IL-6
mempengaruhi gangguan fungsi kognitif. Pasien dengan
diabetes tipe 2 mempunyai level penanda inflamatorik
lebih

tinggi,

antara

lain

proten

C-reaktif,

-1-

antikhimotripsin, IL-6, dan molekul adhesi interseluler 1


daripada populasi kontrol. Mekanisme potensial kedua,
resistensi insulin dan diabetes tipe 2 berperan pada
disfungsi kognitif adalah terputusnya aksis hipothalamuspituitari-adrenal. Baik binatang maupun manusia dengan
DM mengalami up-regulasi aksis hipothalamus-pituitariadrenal, dengan peningkatan kortisol serum dibanding
dengan kontrol. Hiperkortisolemia ternyata menyebabkan
disfungsi kognitif. Mekanisme potensial ketiga dimana
resistensi insulin dapat secara tidak langsung berperan
dalam disfungsi kognitif adalah dengan meningkatkan
pembentukan

plak

senilis-amiloid

dibentuk

dari

pembelahan protein prekrusor amiloid (APP), diproduksi


di neuron, oleh enzim sekretase dabamiloid akhirnya
terdegradasi oleh enzim pemecah insulin. Peptide amiloid
dapat dengan sendirinya berikatan dengan RAGE dan
menghasilkan disfungsi mikroglial dan neuronal serta
stress oksidatif. Insulin dan resistensi insulin dapat
mempengaruhi metabolisme APP dan -amiloid, sehingga
berpotensi memperbesar beban plak senilis serebral.
Resistensi

insulin

dapat

menyebabkan

penurunan

degradasi APP yang dapat diatasi dengan meninggikan

34

level insulin dalam serum dan kemungkinan besar juga di


jaringan.
7.

Aktivitas fisik
Beberapa hipotesis yang menjelaskan tentang mekanisme

yang mendasari hubungan antara aktivitas fisik dan fungsi


kognitif masih belum dapat dipahami. Aktivitas fisik terlihat
dapat mempertahankan aliran darah otak dan mungkin juga
meningkatkan persediaan nutrisi otak. Selain itu kegiatan
aktivitas fisik juga diyakini untuk memfasilitasi metabolisme
neurotransmiter,

dapat

juga

memicu

perubahan

aktivitas

molekuler dan seluler yang mendukung dan menjaga plastisitas


otak. Bukti dari suatu studi hewan telah menunjukkan bahwa
aktivitas fisik berhubungan dengan seluler, molekul dan
perubahan neurokimia. Pengaruh yang diamati berhubungan
dengan peningkatan vaskularisasi di otak, peningkatan level
dopamin, dan perubahan molekuler pada faktor neutropik yang
bermanfaat sebagai fungsi neuroprotective (Singh-Manoux,
2005; Hernandez, 2010). Selain itu aktivitas fisik juga diduga
menstimulasi

faktor

tropik

dan

neuronal

growth

yang

kemungkinan faktor-faktor ini yang menghambat penurunan


fungsi kognitif dan demensia (Yaffe et al, 2001).
Pada exercise, beberapa sistem molekul yang berperan
didalamnya bermanfaat untuk otak. Faktor-faktor neurotrofik
kebanyakan yang berperan dalam efek yang bermanfaat tersebut.
Faktor

neurotrofik

itu

terutama

BDNF,

karena

dapat

meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan beberapa tipe dari


neuron, meliputi neuron glutamanergik. BDNF berperan sebagai
mediator utama dari efikasi sinaptik, penghubungan sel saraf dan
plastisitas sel saraf (Cotman, Berchtold, 2002).
Diduga bahwa response neurotorphin yang diperantarai
exercise mungkin terbatas pada sistem motorik, sensorik, dari

35

otak, seperti serebellum, area korteks primer antara lain basal


ganglia. Hasil yang dijumpai pada suatu penelitian beberapa hari
setelah voluntany tral-runing dilakukan, mengingatkan kadar dari
BDNF mRNA di hipokampus, struktur higly plastic yang secara
normal berkaitan dengan fungsi kognitif dibandingkan aktifitas
motorik. Perubahan kadar mRNA dijumpai di neuron, terutama
di girus dentatus, hilus, dan regio CA3. Peningkatan terjadi
dalam beberapa hari pada tikus jantan dan betina, menetap
sampai beberapa minggu selama latihan dan bersamaan dengan
peningkatan jumlah protein BDNF (Cotman, Berchtold, 2002) .
Meskipun faktor-faktor neurotrofik lain seperti NGF &
FGF-2 juga diindukasi di hipokampus sebagai respon pada
latihan, peningkatannya hanya sesaat dan kurang jelas/nyata
dibanding BDNF, ini menunjukkan bahwa BDNF merupakan
kandidat yang lebih baik dalam memediasi manfaat jangka
panjang dari exercise pada otak (Cotman, Berchtold, 2002) .
Aktivitas fisik kemungkinan mempertahankan kesehatan
vaskular otak dengan menurunkan tekanan darah, meningkatkan
profil lipoprotein, mendukung produksi endotel nitrat oksidasi
dan memastikan perfusi otak cukup. Demikian pula, muncul
bukti hubungan antara insulin dan amiloid menunjukkan bahwa
manfaat aktivitas aerobik pada resistensi insulin dan glucose
intolerance, mungkin ini merupakan mekanisme yang lain
dimana aktivitas fisik dapat mencegah atau menunda penurunan
fungsi kognitif (Weuve et al, 2004).

8.

Nutrisi
Berdasarkan penelitian di tiga kota di prancis dengan

subjek 8085 lansia usia 65 tahun tanpa demensia, didapatkan


bahwa konsumsi ikan, buah dan sayur dapat mengurangi risiko

36

segala penyebab demensia. Penelitian ini dimulai pada tahun


1999 menggunakan studi kohort dan diikuti selama 4 tahun.
Hasilnya, mengkonsumsi ikan setidaknya sekali dalam seminggu
terbukti mampu menurunkan risiko segala penyebab demensia
(HR 0,65) dibandingkan orang yang lebih jarang mengkonsumsi
ikan. Mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari mempunyai
hubungan yang signifikan dalam menurunkan risiko segala
penyebab demensia (HR 0,72) dibandingkan dengan mereka
yang jarang makan buah dan sayur (Jeffrey S, 2007).
9.

Merokok
Penelitian menunjukkan bahwa merokok pada usia

pertengahan berhubungan dengan kejadian gangguan fungsi


kognitif pada usia lanjut, sedangkan status masih merokok
dihubungkan

dengan

peningkatan

insiden

demensia

dan

Alzheimer Diseases (Rahmawati D, 2006). Pada penelitian


lainnya didapatkan bahwa jumlah batang rokok per-hari tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan fungsi kognitif
(Tamin A, 2011).
Asupan nikotin, zat adiktif utama dalam rokok dapat
menguntungkan fungsi kognitif. Terutama atensi, belajar dan
daya ingat dengan memfasilitasi pelepasan asetilkolin, glutamate,
dopamine, noreepinefrin, serotonin dan GABA, tetapi terpapar
asap tembakau jangka panjang terbukti meningkatkan risiko
gangguan kognitif dan demensia dikemudian hari, termasuk
peningkatan infark otak silent, intensitas massa alba, kematian
neuron dan artrofi subkortikal. Merokok juga menurunkan kadar
antioksidan

penangkap

radikal

bebas

dalam

sirkulasi,

meningkatkan respons inflamasi dan mengarah ke aterosklerosis


yang mempengaruhi permeabilitas sawar darah otak, aliran darah
otak dan metabolisme otak. (Swan, Lessove, 2007)

37

E.

Tahapan penurunan fungsi kognitif


Tiga tahapan penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut, dimulai

dari yang masih dianggap normal sampai patologik dan pola ini
berujud sebagai spectrum mulai dari yang sangat ringan sampai berat
(demensia), yaitu : (1) mudah lupa (forgetfulness), (2) Mild Cognitive
Impairment (MCI), (3) Demensia.
1.

Mudah lupa (Forgetfulness)


Mudah lupa masih dianggap normal dan gangguan ini

sering dialami subyek usia lanjut. Frekuensinya meningkat sesuai


peningkatan usia. Lebih kurang 39% pada usia 50-60 tahun dan
angka ini menjadi 85% pada usia di atas 80 tahun. Istilah yang
sering digunakan dalam kelompok ini adalah Benign Senescent
Forgetfulness (BSF) atau Age Associated Memory Impairment
(AAMI). Ciri-ciri kognitifnya adalah proses berfikir melambat,
kurang menggunakan strategi memori yang tepat, kesulitan
memusatkan perhatian; mudah beralih pada hal yang kurang
perlu, memerlukan waktu yang lebih lama untuk belajar sesuatu
yang baru, memerlukan lebih banyak petunjuk/isyarat (clue)
untuk mengingat kembali (Soetedjo, 2002).
2.

Mild Cognitive Impairment (MCI)


Mild Cognitive Impairment (MCI) bisa disebut sebagai fase

peralihan antara yang masih dianggap normal dan yang benarbenar telab sakit. Dan rangkuman berbagai hasil riset di berbagai
negara prevalensi MCI berkisar antara 6,5 - 30% pada golongan
usia di atas 60 tahun (Soetedjo, 2002). Kriteria diagnostik MCI
adalah adanya gangguan daya ingat (memori) yang tidak sesuai
dengan usianya namun belum demensia. Fungsi kognitif secara
umum relatif normal, demikian juga aktivitas hidup seharihari.
Bila dibandingkan dengan orang-orang yang usianya sebaya serta

38

orang-orang dengan pendidikan yang setara, maka terdapat


gangguan yang jelas pada proses belajar (learning) dan delayed
recall. Bila dikur dengan Clinical Dementia Rating (CDR),
diperoleh hasil 0,5 (Soetedjo, 2002).
MCI merupakan faktor resiko untuk terjadinya demensia.
Rasio konversi dan MCI menjadi penyakit Alzheimer adalah
12% per tahun dalam waktu 4 tahun, dibanding populasi normal
yang hanya 1-2% pertahun dalam waktu 10 tahun. Bila terdapat
gangguan memori berupa gangguan memori tunda (delayed
recall) atau mengalami kesulitan mengingat kembali sebuah
informasi walaupun telah diberikan bantuan isyarat padahal
fungsi kognitif secara umum masih normal, rnaka perlu
dipikirkan diagnosis MCI. Pada umumnya

pasien MCI

mengalami kemunduran dalam memori baru. Namun diagnosis


MCI tidak boleh diterapkan pada individu-individu yang
mempunyai gangguan psikiatrik lain, kesadaran yang berkabut
atau minum obat-obatan yang mempengaruhi sistem saraf pusat
(Soetedjo, 2002).
3.

Demensia
Demensia diartikan sebagai gangguan fungsi intelektual

atau kognitif dengan sedikit atau tanpa gangguan kesadaran atau


persepsi. Menurut lCD 10 agar dapat digolongkan sebagai
demensia, kemunduran fungsi luhur harus sedemikian rupa
sehingga mengganggu fungsi pekerjaan, aktivitas sosial atau
hubungan dengan orang lain. Dalam DSM-IV (1994) demensia
didefinisikan sebagai sindroma (yang disebabkan berbagai
kelainan) yang ditandai dengan gangguan fungsi intelektual yang
sebelumnya lebih tinggi. Gangguan meliputi gangguan memori
dan gangguan kognitif lain termasuk berbahasa, orientasi,

39

kemampuan konstruksional, berfikir abstrak, pemecahan masalah


dan ketrampilan (praksis).
Gangguan ini harus cukup berat sehingga mengganggu
kemampuan okupasional/pekerjaan dan atau aktifitas sosial.
Perubahan kepribadian dan afek sering nampak, namun
kesadarannya tetap normal. Penderita dengan gangguan fungsi
kognitif tanpa adanya bukti penurunan fungsional tidak
memenuhi criteria demensia (Soetedjo, 2002).
Frekuensi demensia pasca stroke ternyata lebih tinggi dari
yang diperkiraan, suatu serangan stroke dapat meningkatkan
resiko demensia 4 sampai 12 kali. Prevalensi demensia pasca
stroke diantara serangan stroke pertama kali dan stroke berulang
sangat bervariasi, antara 6% sampai 55% namun tidak semua
pasien stroke mengalami demensia. Diagnose demensia pasca
stroke dibuat atas dasar ada klinis demensia yang diketahui 3
bulan sesudah serangan stroke akut , baik stroke rekuren atau
serangan stroke pertama. Ternyata risiko demensia pasca stroke
lebih terkait dengan beratnya abnormalitas white matter, atrofi
dan faktor hemodinamik dari pada karakteristik stroke itu sendiri
(Soetedjo, 2002).
2.1.3 Montreal Cognitive Assessment (MoCa)
A.

Definisi
Montreal Cognitive Assesment (MoCA) adalah salah satu tes

skrining gangguan fungsi kognitif yang mulai dikembangkan pada


awal tahun 2000. Tes MoCA dapat menilai fungsi berbagai domain
dalam waktu sekitar 10 menit. MoCA tes pertama kali dikembangkan
di institusi klinik Quebec Canada, tahun 2000 oleh Nasreddine Ziad,
dibimbing oleh guru besar dari UCLA, Jeffrey Cummings. MoCA
dibuat berdasarkan gangguan domain yang sering dijumpai pada MCI.
Versi awal mencakup 10 ranah kognitif. Lima tahun pertama setelah

40

digunakan. diubah menjadi 8 ranah kognitif yakni visospasial/eksekutif


penamaan, memori, memori tertunda, atensi, bahasa, abstraksi, dan
orientasi. MoCA terdiri dari 30 poin yang dapat dikerjakan kurang
lebih selama 10 menit (Nasreddin Z et al, 2005; Husein N, 2010).
Di Indonesia, Nadia H, Silvia L, Yetty, Herqutanto 2009
melakukan uji validitas dan uji reliabilitas terhadap tes MoCA.
Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang untuk menilai
validitas dan menghitung tingkat kesepakatan antara dua orang dokter
di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Uji validitas dengan metode
transcultural World Health Organization (WHO) dan uji reliabilitas
dengan analisis reliabilitas test-retest dilakukan dengan statistik K
(Kappa). Dari penelitian ini didapatkan nilai Kappa total antara 2
orang dokter (inter rater) adalah 0,820. Sedangkan pada tiap-tiap ranah
sebagai berikut Visuospasial / eksekutif 0,817; penamaan (naming)
0,985; dan atensi 0,969. Sementara untuk ranah bahasa 0,990;
abstraksi 0,957; memori 0,984, dan orientasi adalah 1,00. Tes MoCA
versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validas
transcultural dan reliable sehingga dapat digunakan baik oleh dokter
ahli saraf maupun dokter umum (Husein, Lumempouw, Ramli,
Herqutanto, 2010).
B.

Komponen MoCa
Komponen penilaian MoCa mencakup beberapa domain kognitif,

yaitu (Nasreddine Z et al, 2005):


1. Memori jangka pendek: menyebutkan 5 kata benda (5 poin)
dan menyebutkan kembali setelah 5 menit (5 poin).
2. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing task (3 poin) dan
mengambar kubus tiga dimensi (1 poin).
3. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail-making B (1 poin),
phonemic fluency task (1 poin), dan two item verbal
abstraction (2 poin).

41

4. Atensi : penilaian kewaspadaan (1 poin), pengurangan


berurutan (3 poin), digits forward and backward (1 poin
masing-masing).
5. Bahasa : menyebut 3 nama binatang (singa, unta, badak; 3
poin), mengulang dua kalimat (2 poin) dan kelancaran
berbahasa (1 poin).
C.

Keuntungan
Penelitian Nasreddine Z et al (2005) yang melakukan studi

validasi untuk mendeteksi penderita Mild Cognitive Impairment (MCI)


dan Early Alzheimers disease dengan mengunakan tes MoCA dan
MMSE (Mini-Mental State Examination). Dari penelitian tersebut
dengan mengunakan nilai cutt of point 26 didapatkan hasil untuk
mendeteksi MCI dengan MoCA mempunyai sensitivitas 90% dan
spesifisitas 87% dengan subyek 94 orang, sedangkan MMSE
mempunyai sensitivitas 18% dan spesifisitas 100%. Pada tes MoCA
jika subyek mendapat nilai 26 maka dianggap normal (Nasreddin Z et
al, 2005; Husein N, 2010).
Pada kelompok dengan penyakit Alzheimer, MoCa mempunyai
sensitivitas 100% dan spesifisitas 87%, sedangkan MMSE mempunyai
sensitivitas 78% dan spesifisitas 100%. MoCa lebih menekankan pada
komponen fungsi eksekutif dan atensi dari MMSE , yang mungkin
membuatnya lebih sensitif dalam mendeteksi gangguan kognitif
(Smith, Gildeh, Holmes, 2007) . Perbedaan antara kelompok MCI dan
penyakit Alzheimer jauh lebih terasa menggunakan MoCA dari pada
MMSE . Skor rata-rata peserta MCI yang berada dalam kisaran normal
pada MMSE tetapi berada pada kisaran abnormal dalam MoCa
(Nasreddine et al, 2005). Mayoritas peserta MCI dan beberapa peserta
Alzheimer memiliki skor MMSE dalam kisaran normal. Namun, hanya
sedikit Peserta MCI dan tidak ada peserta Alzheimer yang mendapat
skor normal pada MoCA.

42

Dalam penelitian terbaru, Larner (2012) Moca dinilai dan


dibandingkan dengan MMSE di klinik pengaturan memori. Standar
Kriteria diagnostik klinis ( DSM - IV ) digunakan untuk mendiagnosa
demensia dan MCI. Moca ditemukan lebih sensitif dibandingkan
dengan MMSE , 97% berbanding 65% masing-masing, tetapi kurang
spesifik 60% berbanding 89% masing-masing (Larner, 2012). Moca
memiliki akurasi diagnostik yang lebih baik dari MMSE dengan luas
di bawah kurva 0,91 dibandingkan 0,83 (Larner, 2012).
D.

Kelemahan
Dalam sebuah penelitian terbaru oleh Rossetti, Lacritz, Cullum,

Weiner (2011), Data normatif MoCa dikelompokkan berdasarkan umur


dan pendidikan di (n=2653), etis beragam sampel berdasarkan populasi
besar. Seperti yang diharapkan, mereka menemukan bahwa peserta
dengan pendidikan lebih memiliki skor yang lebih tinggi dalam tes
Moca. Skor Moca hanya menurun sedikit pada mereka yang lama
pendidikannya lebih dari 12 tahun dan menurun lebih banyak pada
mereka dengan lama pendidikan kurang dari 12 tahun. Bahkan dengan
peningkatan pendidikan satu titik, mayoritas skor peserta di bawah
cutoff, kurang dari 26, menunjukkan bahwa cutoff ini dan kenaikan
satu titik mungkin tidak tepat. Tingkat kegagalan yang tinggi terlihat
pada item tertentu seperti menggambar kubus, mengulangi kalimat,
menempatkan jam tangan, abstraksi dan kefasihan lisan. Selain itu,
secara keseluruhan rata-rata total skor lebih rendah dari data normatif
yang diterbitkan sebelumnya (mean = 23.36, SD = 3,99). Hal ini
menunjukkan hati-hati ketika menafsirkan skor Moca dan faktor
demografi seperti usia serta pendidikan juga perlu dipertimbangkan
(Rossetti, Lacritz, Cullum, Weiner, 2011).
2.2 Kerangka Konsep

43

Variabel Independen

Faktor yang mempengaruhi


1. Jenis Kelamin
2. Tingkat pendidikan
3. Riwayat penyakit
Stroke
Diabetes
mellitus
Hipertensi
4. Aktivitas fisik
5. Nutrisi (Konsumsi
ikan, buah dan sayur)
6. Pola hidup
Merokok

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.3 Hipotesis

Variabel Dependen

Fungsi Kognitif

Normal

Abnormal

44

1. H0

Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan fungsi kognitif


lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.

H1 : Ada hubungan antara jenis kelamin dengan fungsi kognitif lansia


di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun 2013.
2. H0

Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi


kognitif lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang
tahun 2013.

H1

Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan fungsi kognitif


lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.

3. H0

Tidak ada hubungan antara riwayat pekerjaan dengan fungsi


kognitif lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang
tahun 2013.

H1

Ada hubungan antara riwayat pekerjaan dengan fungsi kognitif


lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.

4. H0

Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit (Stroke, Diabetes


Melitus, Hipertensi) dengan fungsi kognitif lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Teratai Palembang tahun 2013.

H1

Ada hubungan antara riwayat penyakit (Stroke, Diabetes Melitus,


Hipertensi) dengan fungsi kognitif lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Teratai Palembang tahun 2013.

5. H0

Tidak ada hubungan antara aktivitas fisik dengan fungsi kognitif


lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.

H1 : Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan fungsi kognitif lansia


di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun 2013.
6. H0

Tidak ada hubungan antara nutrisi (makan ikan, buah, dan sayur)
dengan fungsi kognitif lansia di Panti Sosial Tresna Werda Teratai
Palembang tahun 2013.

45

H1 : Ada hubungan antara nutrisi (makan ikan, buah, dan sayur) dengan
fungsi kognitif lansia di Panti Sosial Tresna Werda Teratai
Palembang tahun 2013.
7. H0 : Tidak ada hubungan antara merokok dengan fungsi kognitif lansia
di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun 2013.
H1 : Ada hubungan antara Pola hidup (merokok) dengan fungsi kognitif
lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.
8. H0 : Tidak ada hubungan antara fungsi kognitif dengan aktivitas seharihari lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.
H1 : Ada hubungan antara fungsi kognitif dengan aktivitas sehari-hari
lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang tahun
2013.

Você também pode gostar