Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh:
Dr. Huldani
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul......................................................................................
Daftar Isi...............................................................................................
ii
iii
iv
12
17
21
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.3.1 Struktur meningen dari luar .......................................
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.5.1
Tabel 2.6.1
Tabel 2.6.2
18
Tabel 2.6.4
17
Tabel 2.6.3
13
19
iv
20
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.Rumusan masalah
Tingginya insidensi meningitis tuberkulosis di Indonesia mengharuskan
tingginya kontak pasien dengan tenaga medis sehingga diperlukan pembelajaran
agar kasus seperti ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana penanganan
penyakit lainnya yang sering ditemui. Dengan demikian, rumusan masalah pada
tinjauan pustaka ini adalah:
1. Bagaimana penegakkan diagnosis meningitis tuberkulosis?
2. Bagaimana penatalaksanaan meningitis tuberkulosis yang tepat?
1.3.Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan mengenai penegakkan dan
penatalaksanaan meningitis tuberkulosis.
1.4.Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
mahasiswa kedokteran dan praktisi kedokteran agar dapat menegakkan diagnosis
dan memberikan penanganan yang tepat pada kasus meningitis tuberkulosis.
vi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis
tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri
Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru (5).
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal
Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis
purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan
meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan
gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga
diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal
ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya.
Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan
penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik
spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan
meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer
tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru (10).
2.2. Epidemiologi
vii
viii
ix
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila
meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya
dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (12,13,14).
Dura
kranialis
atau
xi
xii
xiii
xiv
xv
populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat
dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa
tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia.
Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling banyak ditemukan pada
ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA
dengan hitung CD4 yang lebih rendah (16,17)
Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan
dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis
xvi
xvii
xviii
xix
xx
Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel (cellmediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis (23,24). Aktivitas
ADA tidak dapat membedakan meningitis TB dengan meningitis bakterial lainnya,
tapi aktivitas dari ADA dapat menjadi informasi tambahan yang berguna untuk
menyingkirkan diagnosis meningitis yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA
dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan spesifitas <80%) dapat membantu
eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59% dan spesifitas
>96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis TB (p<0.001). Namun,
nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi atau mengeksklusi
diagnosis meningitis TB (p=0.07) (23). Hasil positif palsu juga bisa ditemukan
pada pasien dengan infeksi HIV (24).
Pengukuran IFN- yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh
antigen bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skintesting untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk
mendiagnosis TB ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi
menurut asal atau sumber infeksi primernya (25). Telah dilaporkan kegagalan tes
pengukuran IFN- ini diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika
distimulasi dengan antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat
ditemukan negatif meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB (26).
Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan asumsi
bahwa pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan
pada stase selanjutnya basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam
xxi
makrofag (27). Hasil tes yang positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat
bakteri TB di dalam CSF. Pada studi terbaru di dapatkan sensitivitas 73.5% dan
spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi positif dan negatif sebesar 52.9% dan 96%
berturut-turut (28).
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi
lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit
neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi
menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan
serebrospinal (CSF) (20). Namun segala metode untuk memastikan sebuah
diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi. Kultur
memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik
untuk basil tahan asam dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode
molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah
namun dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF
sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi (20).
xxii
xxiii
Tabel 2.6.2 Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak lini
kedua
Sebuah studi oleh Thwaites dkk. dilakukan secara acak pada 61 pasien
dewasa (usia >14 tahun) meningitis tuberkulosis. Pasien mendapat terapi
antituberkulosis standar saja atau kombinasi terapi antituberkulosis dengan
ciprofloxacin 750 mg tiap 12 jam (n=16), levofloxacin 500 mg tiap 12 jam (n=15),
atau gatifloxacin 400 mg tiap 24 jam (n=15) selama 60 hari pertama. Penetrasi
levofloxacin dalam cairan serebrospinal lebih besar dibandingkan gatifloxacin dan
ciprofloxacin, dengan nilai p < 0,001.
Simpulan studi ini adalah pasien meningitis tuberkulosis besar
kemungkinan mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone yang terlihat dari
xxiv
xxv
xxvi
tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu (total
penggunaan kortikosteroid 6 minggu) (32).
xxvii
BAB III
PENUTUP
xxviii
DAFTAR PUSTAKA
1. Susana Chavez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. Bacterial
Meningitis in Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric
Infectious Diseases, University of Texas Southwestern Medical Center of
Dallas. Pediatr Clin N Am 2005; 52: 795810.
2. Ginsberg L. Difficult and recurrent meningitis. Journal of Neurology,
Neurosurgery and Psychiatry. 2004; 75: 16-21
3. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL et al. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004; 39: (9)
1267-84
4. T Ducomble, K Tolksdorf, I Karagiannis, B Hauer, B Brodhun, W Haas, L
Fiebig. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an
investigation of national surveillance data, Germany 2002 to 2009. Euro
Surveill. 2013; 18(12) 20436.
5. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,
Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Universit
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda Ospedale Maggiore
Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen
6. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU.
2003; 1-13.
7. Yayan A. Israr. Meningitis. Faculty of Medicine University of Riau, Arifin
Achmad General Hospital of Pekanbaru. 2008; 1-6.
8. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.
9. Hardiono D. Pusponegoro et al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
IDAI. 2004
10. Meningitis
tuberculosis.
http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis
Accessed September, 25th 2013.
11. Epidemiologi tbc Indonesia.
September, 25th 2013.
http://www.tbindonesia.or.id.
Accessed
12. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.
xxix
13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
14. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. h. 189-96.
15. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance, 2009.
16. Raviglione MC, OBrien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrisons principles of internal
medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012
17. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
18. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis in
a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a
diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.
19. Keane J. TNF-blocking agents and tuberculosis: new drugs illuminate an old
topic.Rheumatology (Oxford)2005;44:714e20
20. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous
meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences,
Universit degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda Ospedale
Maggiore Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis
2012: 92; 377-383
21. Farinha NJ, Razali KA, Holzel H, Morgan G, Novelli VM. Tuberculosis of the
central nervous system in children: a 20-year survey.J Infect 2000;41:61e8
22. Saitoh A, Pong A, Waecker Jr NJ, Leake JA, Nespeca MP, Bradley JS.
Prediction of neurologic sequelae in childhood tuberculous meningitis: a
review of 20 cases and proposal of a novel scoring system.Pediatr Infect Dis
J2005;24:207e12.
23. Tuon FF, Higashino HR, Lopes MI, Litvoc MN, Atomiya AN, Antonangelo L,
et al. Adenosine deaminase andtuberculous meningitisea systematic review
with meta-analysis.Scand J Infect Dis2010;42:98e207.
24. Corral I, Quereda C, Navas E, Martn-Dvila P, Prez-Elas MJ, Casado JL, et
al.Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-infected
xxx
xxxi