Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
LANDASAN TEORI
Pada wanita kelenjar hipofisis dan ovarium yang infantil akan mampu
menjalankan fungsi penuh apabila dirangsang secara tepat. Akan tetapi, seperti
yang berlaku pada pria dan karena alasan yang masih belum diketahui, hipotalamus
tidak menyekresi jumlah GnRH yang bermakna selama masa kanak-kanak.
Eksperimen menunjukkan bahwa hipotalamus sendiri sebenarnya mampu
menyekresi hormon ini, tetapi sinyal yang tepat dari beberapa daerah otak yang lain
menyebabkan tidak terjadinya sekresi. Oleh karena itu, pubertas dirangsang oleh
beberapa proses pematangan yang berlangsung dimanapun di daerah otak selain di
hipotalamus, mungkin juga di sistem limbik (Guyton, 2007).
II.1.3. Menstruasi
a. Menstruasi Normal
Menstruasi merupakan suatu hal yang berulang, akibat adanya interaksi hormon
yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisis dan ovarium. Lamanya siklus
menstruasi adalah tenggang waktu antara hari pertama haid sampai hari pertama
siklus berikutnya. Rata-rata lama siklus menstruasi 21 sampai 35 hari dengan ratarata keluarnya darah 3 sampai 7 hari dan kehilangan darah 30 sampai 40 ml setiap
hari. Darah yang keluar > 80 mL per siklusnya adalah abnormal dan dapat
menyebabkan anemia (Indriyani, 2010). Perubahan di uterus yang terjadi selama
daur haid mencerminkan perubahan hormon selama siklus ovarium dimana
fluktuasi kadar estrogen dan progesteron dalam sirkulasi (plasma) yang terjadi pada
saat siklus ovarium berlangsung menyebabkan perubahan-perubahan mencolok di
uterus. Hal ini menyebabkan timbulnya daur haid atau siklus uterus (siklus
menstruasi). Karena mencerminkan perubahan-perubahan hormon yang terjadi
selama siklus ovarium, daur haid berlangsung rata-rata 28 hari seperti siklus
ovarium, walaupun dapat terjadi variasi yang cukup besar bahkan pada orang
dewasa normal. Variabilitas tersebut terutama mencerminkan perbedaan durasi fase
folikel dimana durasi fase luteal hampir konstan. Manifestasi nyata perubahan
siklik yang terjadi di uterus adalah perdarahan haid yang berlangsung sekali setiap
daur haid. Namun, selama siklus tersebut terjadi perubahan-perubahan yang kurang
nyata, ketika uterus dipersiapkan untuk menerima implantasi ovum yang dibuahi
dan kemudian lapisannya dilepaskan jika tidak terjadi pembuahan (haid), hanya
untuk memperbaiki dirinya kembali dan mulai mempersiapkan diri untuk ovum
yang akan dikeluarkan pada siklus berikutnya (Sherwood, 2009).
Pengaruh
estrogen
dan
progesteron
pada
uterus
dan
kemudian
memperhitungkan efek fluktuasi siklik kedua hormon tersebut pada struktur dan
fungsi uterus. Uterus terdiri dari 3 lapisan yaitu miometrium, lapisan otot polos di
sebelah luar, dan endometrium, lapisan mukosa yang mengandung banyak
pembuluh darah dan kelenjar. Estrogen merangsang pertumbuhan miometrium dan
endometrium. Hormon ini juga meningkatkan sintesis reseptor progesteron di
endometrum. Dengan demikian, progesteron mampu mempengaruhi endometrium
hanya setelah endometrium dipersiapkan oleh estrogen. Progesteron bekerja pada
endometrium yang telah dipersiapkan oleh estrogen untuk mengubahnya menjadi
lapisan yang ramah dan mengandung banyak nutrisi bagi ovum yang sudah dibuahi.
Di bawah pengaruh progesteron, jaringan ikat endometrium menjadi longgar dan
edematosa akibat penimbunan elektrolit dan air, yang mempermudah implantasi
ovum yang dibuahi. Progesteron juga mempersiapkan endometrium untuk
menampung mudigah yang baru berkembang dengan merangsang kelenjar-kelenjar
endometrium agar mengeluarkan dan menyimpan glikogen dalam jumlah besar dan
dengan menyebabkan pertumbuhan besar-besaran pembuluh darah endometrium.
Progesteron juga menurunkan kontraktilitas uterus agar lingkungan di uterus tenang
dan kondusif untuk implantasi dan pertumbuhan mudigah (Sherwood, 2009).
b. Siklus Haid
Daur haid terdiri dari tiga fase, yaitu:
1.
2.
fase proliferasi
3.
Fase menstruasi adalah fase yang paling jelas karena ditandai oleh
pengeluaran darah dan debris endometrium dari vagina. Hari pertama haid
dianggap sebagai awal siklus baru. Fase ini bersamaan dengan berakhirnya fase
luteal ovarium dan permulaan fase folikel. Sewaktu corpus luteum berdegenerasi
karena tidak terjadi pembuahan dan implantasi ovum yang dikeluarkan dari siklus
sebelumnya. Kadar estrogen dan progesteron di sirkulasi turun drastis oleh karena
efek estrogen dan progesteron adalah mempersiapkan endometrium untuk
implantasi ovum yang dibuahi. Penarikan kembali kedua hormon steroid tersebut
menyebabkan lapisan endometrium yang kaya akan nutrisi dan pembuluh darah itu
tidak lagi ada yang mendukung secara hormonal. Penurunan kadar hormon ovarium
itu juga merangsang pengeluaran prostaglandin uterus yang menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh-pembuluh endometrium, sehingga aliran darah ke
endometrium terganggu. Penurunan penyaluran oksigen yang terjadi menyebabkan
kematian endometrium, termasuk pembuluh-pembuluh darahnya. Perdarahan yang
timbul melalui disintegrasi pembuluh darah itu melepas jaringan endometrium yang
mati ke dalam lumen uterus. Pada setiap kali haid, seluruh lapisan endometrium
terlepas, kecuali suatu lapisan dalam dan tipis yang terdiri dari sel-sel epitel dan
kelenjar yang akan menjadi bakal regenerasi endometrium. Prostaglandin uterus
juga merangsang kontraksi ritmik ringan miometrium. Kontraksi-kontraksi itu
membantu mengeluarkan darah dan debris endometrium dari rongga uterus melalui
vagina sebagai darah haid. Kontraksi uterus yang kuat akibat pembentukan
prostaglandin yang berlebihan merupakan penyebab kejang haid atau dismenore
yang dialami oleh sebagian wanita (Sherwood, 2009).
Jumlah rata-rata darah yang keluar setiap kali haid adalah 50-150 ml. darah
yang mengalir lambat melalui endometrium akan membeku di dalam rongga uterus.
Fibrinolisin, suatu pelarut fibrin yang menguraikan fibrin yang membentuk jalinan
bekuan yang akan bekerja pada pembekuan ini. Dengan demikian, darah haid
biasanya tidak lagi membeku karena darah tersebut sudah dicairkan sebelum keluar
dari vagina. Namun, apabila darah terlalu cepat mengalir keluar, fibrinolisin
mungkin belum memiliki cukup waktu untuk bekerja, sehingga darah haid dapat
membeku terutama jika jumlahnya sangat banyak. Selain darah dan debris
endometrium, darah haid mengandung banyak leukosit. Sel-sel darah putih ini
berperan penting dalam pertahanan endometrium terhadap infeksi (Sherwood,
2009).
10
hari). Dalam waktu yang sama suhu basal badan (SBB) juga meningkat kira-kira
0,5 oC. Selama ovulasi, getah serviks encer dan bening, dan mulut serviks sedikit
terbuka, yang memungkinkan masuknya spermatozoa. Hari ke-14-28 merupakan
fase luteal atau fase sekresi, yang memiliki ciri khas, yaitu terbentuknya korpus
luteum dan penebalan kelenjar endometrium. Pengaruh progesteron terhadap
endometrium paling terlihat pada hari ke-22 yaitu pada nidasi seharusnya terjadi.
Peningkatan progesteron sesudah ovulasi akan menghambat sekresi FSH dari
hipofisis, sehingga pertumbuhan folikel selama fase luteal akan terhambat pula.
Bilamana tidak terjadi nidasi, terjadi penyempitan pembuluh-pembuluh darah
endometrium yang berlanjut dengan iskemik, sehingga terlepas dan timbul haid
(Sherwood, 2009).
11
12
2). Hipomenorea
Hipomenorea ialah perdarahan haid yang lebih pendek/atau lebih kurang
dari biasa. Penyebabnya dapat terletak pada konstitusi penderita, pada uterus seperti
sesudah miomektomi, pada gangguan endokrin, dan lain-lain. Kecuali jika
ditemukan sebab yang nyata, terapi terdiri atas menenangkan penderita. Adanya
hipomenorea tidak mengganggu fertilitas (Prawirohardjo, 1999).
b. Kelainan siklus
1). Polimenorea
Pada polimenorea siklus haid lebih pendek dari biasa (< 21 hari).
Perdarahan kurang lebih sama atau lebih banyak dari haid biasa. Hal terakhir ini
diberi nama polimenoragia atau epimenoragia. Polimenorea dapat disebabkan oleh
gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan ovulasi, atau menjadi
pendeknya masa luteal. Sebab lain ialah kongesti ovarium karena peradangan,
endometriosis, dan sebagainya (Prawirohardjo, 1999).
2). Oligomenorea
Siklus haid lebih panjang, lebih dari 35 hari. Apabila panjangnya siklus
lebih dari 3 bulan, hal itu sudah mulai dinamakan amenorea. Perdarahan pada
oligomenorea biasanya berkurang. Oligomenorea dan amenorea sering kali
mempunya dasar yang sama, perbedaannya terletak dalam tingkat. Pada
kebanyakan kasus oligomenorea, kesehatan wanita tidak terganggu dan fertilitas
cukup baik. Siklus haid biasanya juga ovulatoar dengan masa proliferasi lebih
panjang dari biasa (Prawirohardjo, 1999).
3). Amenorea
Amenorea ialah keadaan tidak adanya haid untuk sedikitnya 3 bulan
berturut-turut. Lazim diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea
sekunder. Kita berbicara tentang amenorea primer apabila seorang wanita berumur
18 tahun ke atas tidak pernah dapat haid, sedang pada amenorea sekunder penderita
pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi. Amenorea primer
umumnya disebabkan oleh hal yang lebih berat dan sulit untuk diketahui, seperti
13
Dismenorea
2.
3.
Mastodinia
II.1.4. Dismenore
a. Definisi
Dismenore merupakan salah satu dari keluhan utama ginekologis yang
menyebabkan pasien datang ke dokter (Jamieson & Steege, 1996) Dismenore
adalah nyeri pada saat haid merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit
(Baziad, 2003). Istilah dismenore (dysmenorrhea) berasal dari bahasa Greek
yang artinya adalah dys (gangguan/nyeri hebat/abnormalitas) meno (bulan)
rrhea (flow/aliran). Dismenore adalah gangguan aliran darah haid atau nyeri haid.
Dismenore merupakan nyeri siklik pada panggul atau abdomen bagian bawah, rasa
nyeri dapat menjalar ke arah punggung dan paha bagian depan, terjadi sebelum dan
atau selama periode haid. Dismenore dibagi menjadi 2 yaitu dismenore primer
(spasmodik) dan dismenore sekunder (kongestif) (Dawood, 1985). Dismenore juga
merupakan nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus.
Disebut dismenore primer apabila tidak terdapat gangguan fisik yang menjadi
penyebab dan hanya terjadi selama siklus-siklus ovulatorik. Dismenore sekunder
timbul karena adanya masalah fisik seperti endometriosis, polip uteri, leiomioma,
14
stenosis serviks, atau penyakit radang panggul (PID) (Sylvia & Lorraine, 2006).
Nyeri haid ini timbul akibat suatu kontraksi disritmik miometrium yang
menimbulkan satu atau lebih gejala mulai dari nyeri yang ringan sampai berat pada
perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik pada sisi medial paha.
Mengingat sebagian besar wanita mengalami beberapa derajat nyeri pelvik selama
haid, maka istilah dismenorea hanya dipakai untuk; nyeri haid yang cukup berat
sampai yang menyebabkan penderita terpaksa mencari pertolongan dokter atau
pengobatan sendiri dengan analgesik. Yang dimaksud dengan dismenorea berat
adalah nyeri haid yang disertai mual, muntah, diare, pusing, nyeri kepala, dan
bahkan sampai menyebabkan pingsan (Sylvia & Lorraine, 2006).
b. Epidemiologi
Dismenore merupakan gangguan ginekologi yang sering terjadi. Sekitar 3075% wanita mengalami dismenore. Secara umum didapatkan terjadi lebih dari 50%
wanita. Biasanya kejadiannya tergantung dari rata-rata usia yang telah ditetapkan.
Sekitar 10% wanita yang mengalami dismenore sering mengakibatkan tidak
masuknya wanita tersebut 1-3 hari di sekolah maupun pekerjaan mereka
(Sylvia&Lorraine, 2006).
Angka kejadian pasti dismenorea di Indonesia belum ada secara detail.
Sebenarnya angka kejadiannya cukup tinggi, namun yang datang berobat ke dokter
sangatlah sedikit, yaitu 1-2% saja. Pada tahun 2002 telah dilakukan penelitian di 4
SLTP di Jakarta untuk mencari angka kejadian haid primer. Dari 733 orang yang
diterima sebagai subyek penelitian, 543 orang mengalami nyeri haid dari derajat
ringan sampai berat (74,1%), sedangkan sebanyak 190 orang (25,9%) tidak
mengalami nyeri haid. Di Amerika Serikat, dismenorea dialami oleh 30-50%
wanita usia reproduksi. Sekitar 10-15% diantaranya terpaksa kehilangan
kesempatan kerja, sekolah dan kehidupan keluarga. Di Swedia ditemukan angka
kejadian dismenorea pada wanita berumur 19 tahun sebanyak 72,42% (Baziad,
2003).
15
Dismenore paling sering terjadi pada masa remaja, dalam 2-5 tahun setelah
menarche atau haid yang pertama sekali terjadi. Dismenore terjadi pada lebih dari
setengah wanita usia reproduksi dengan prevalensi yang beragam. Sebuah
penelitian terhadap 113 pasien praktek pribadi menunjukkan angka prevalensi
sekitar 29-44% (Cameron, 1999).
Tabel 1. Dismenore Primer pada populasi 586 wanita di Swedia, diatas
usia 19 tahun
Persentase
Derajat
Jumlah
(%)
162
27.6
Ringan *
201
34.3
Sedang **
133
22.7
Berat ***
90
15.4
Tidak
Menderita
dari:
Andersch
B.
dan
Milsom
I.
Am
Obstetrics
&
Gynaecology.1982.144:655
c. Etiologi
Berdasarkan klasifikasi masing-masing penyebab kejadian dismenore
primer yaitu adanya jumlah prostaglandin F2 yang berlebihan pada darah
menstruasi yang pada akhirnya merangsang hiperaktivitas uterus, F2 merupakan
stimulan kuat terhadap uterus dan vasokonstriktor pada endometrium dalam fase
16
selama fase luteal dari siklus menstruasi dan mencapai puncaknya pada saat
menstruasi. Fungsi progesteron terhadap endometrium pada saat terjadi perubahan
sekretorik menyebabkan degenerasi endometrium, pada miometrium menurunkan
tonus miometrium sehingga kontraksi lambat, maka jika kadar progesteron sedikit
maka mengakibatkan kontraksi miometrium semakin hebat sehingga mudah terjadi
dismenore (Wiknjosastro,1999).
BMI(kg/m2)
Underweight
<18.50
Normal range
18.50 23.00
Overweight
23.00 -27.50
Obesity
>27.50
Source: Adapted from WHO, 1995, WHO, 2000 and WHO 2004.
1. Prostaglandin
Penelitian dalam tahun-tahun terakhir menunjukkan bahwa peningkatan
kadar prostaglandin (PG) penting peranannya sebagai penyebab terjadinya
dismenore primer. Jeffcoate berpendapat bahwa terjadinya spasme miometrium
dipicu oleh zat dalam darah haid, mirip lemak alamiah yang kemudian diketahui
sebagai prostaglandin. Kadar zat ini meningkat pada keadaan dismenore dan
ditemukan di dalam otot uterus. Pickles, dkk mendapatkan kadar PGE2 dan
PGF2-alfa sangat tinggi dalam endometrium, miometrium dan darah haid wanita
yang menderita dismenore primer. PG menyebabkan peningkatan aktivitas
uterus dan serabut-serabut saraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara
peningkatan kadar PG dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan
tekanan intrauterus sampai 400 mm Hg dan menyebabkan kontraksi miometrium
yang hebat. Atas dasar itu disimpulkan bahwa PG yang dihasilkan uterus
berperan dalam menimbulkan hiperaktivitas miometrium. Selanjutnya kontraksi
miometrium yang disebabkan oleh PG akan mengurangi aliran darah, sehingga
terjadi iskemia sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri
spasmodik. Jika PG dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran
darah, maka selain dismenore timbul pula pengaruh umum lainnya seperti diare,
mual, muntah (Anonim, 2009).
2. Hormon steroid seks
Dismenore primer hanya terjadi pada siklus ovulatorik. Artinya,
dismenore hanya timbul bila uterus berada di bawah pengaruh progesteron.
Sedangkan sintesis PG berhubungan dengan fungsi ovarium. Kadar progesteron
yang rendah akan menyebabkan terbentuknya PGF2-alfa dalam jumlah yang
banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus luteum
menyebabkan terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga meningkatkan
pelepasan enzim fosfolipase-A2 yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis
PG melalui perubahan fosfolipid menjadi asam arakhidonat. Ylikorkala, dkk
pada penelitiannya menemukan bahwa kadar estradiol lebih tinggi pada wanita
19
4. Vasopresin
Akarluad, dkk pada penelitiannya mendapatkan bahwa wanita dengan
dismenore primer ternyata memiliki kadar vasopresin yang sangat tinggi, dan
berbeda bermakna dari wanita tanpa dismenore. Ini menunjukkan bahwa vasopresin
dapat merupakan faktor etiologi yang penting pada dismenore primer. Pemberian
vasopresin pada saat haid menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus dan
berkurangnya darah haid. Namun demikian peranan pasti vasopresin dalam
mekanisme dismenore sampai saat ini belum jelas (Anonim, 2009)
5. Psikis
Semua nyeri tergantung pada hubungan susunan saraf pusat, khususnya
talamus dan korteks. Derajat penderitaan yang dialami akibat rangsang nyeri
tergantung pada latar belakang pendidikan penderita. Pada dismenore, faktor
pendidikan dan faktor psikis sangat berpengaruh; nyeri dapat dibangkitkan atau
diperberat oleh keadaan psikis penderita. Seringkali segera setelah perkawinan
dismenore hilang, dan jarang masih menetap setelah melahirkan. Diduga kedua
keadaan tersebut (perkawinan dan melahirkan) membawa perubahan fisiologik
pada genitalia maupun perubahan psikis.
20
21
22
f. Gejala klinis
Pada dismenore primer gejala utama adalah nyeri, dimulai pada saat awitan
menstruasi. Nyeri dapat tajam atau tumpul, siklik atau menetap, dapat berlangsung
beberapa jam sampai 1 hari atau lebih, tapi jarang melebihi 72 jam. Biasanya terjadi
pula gejala-gejala sistemik yang menyertai biasanya berupa mual, diare, sakit
kepala, dan perubahan emosional (Stephen&Maxine, 2010). Selain nyeri dirasakan,
kram pelvis juga sering terjadi biasanya terjadi 6-12 bulan setelah menarche. Secara
umum nyeri dimulai beberapa jam sebelum atau saat menstruasi, kejadiannya
selama beberapa jam sampai hari dan sekitar 48-72 jam. Gejala lain yang dapat
dirasakan adalah mual, muntah, lelah, diare, sakit kepala dan lain sebagainya
(Sylvia&Lorraine, 2006).
Pada dismenore sekunder merupakan nyeri haid yang muncul pada usia
dewasa, dan menyerang wanita yang semula belum pernah merasakan dismenore
(Anonim,2009).
23
Dismenore Sekunder
Tidak tentu
dengan paritas
Nyeri terus-menerus
darah haid
Sering memerlukan
tindakan operatif
mentosa
Tidak
Sumber : D:\http\16_PengobatanDismenorescrAkupuntur.html
24
g. Patogenesis
Dismenore dapat terjadi karena adanya korelasi antara produksi dari
prostaglandin dan kram. Diketahui bahwa jika produksi jumlah prostaglandin
meningkat maka dapat menyebabkan kram uterus meningkat yang berakibat pada
iskemik uterus sehingga terjadilah nyeri tersebut. Diketahui bahwa peningkatan
produksi prostaglandin terjadi saat 48-72 jam pertama saat menstruasi. Selain dari
produksi prostaglandin yang meningkat dismenore juga dapat terjadi karena
hipersensitisasi ujung-ujung terminal nyeri ke stimulus fisik dan kimia. (Gunawan,
2002)
Bagan 1. Patofisiologi Dismenore
h. Pemeriksaan
Secara umum pemeriksaan untuk menentukan dismenore biasanya harus
dilakukan
anamnesis
terlebih
dahulu,
pemeriksaan
fisik,
USG,
25
i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi dismenore adalah
pertama evaluasi dari anamnesa sampai pemeriksaan fisik, jika dari pemeriksaan
fisik hasilnya normal dan dari anamnesa menguatkan ke diagnosis dismenore
primer, maka dapat diberikan control pills (kontrasepsi oral) atau antiprostaglandin
juga bisa menjadi pilihan untuk mengatasi dismenore primer. Pemberian terapinya
dimulai saat hari pertama kram sampai 2-3 hari selanjutnya, lalu dilanjutkan
beberapa bulan selanjutnya dan dievaluasi. Pills control atau kontrasepsi oral
bekerja dengan cara mengurangi ketebalan dari dinding endometrium dan
mengubah jumlah status hormon ke level yang sama pada saat awal proliferasi oleh
karena pada stadium ini produksi prostaglandin sangat rendah. Dengan penurunan
produksi prostaglandin maka kram, iskemik uterus, dan nyeri pun berkurang
(Fredericson&Wilkins, 1997). Supaya efek dari pengobatannya maksimal dan
kram/nyeri berkurang maka disarankan pada pasien supaya cukup istirahat,
mengurangi caffeine dan tidak stress.
j. Diagnosis
Dismenorea primer sering ditemukan pada usia muda. Nyeri sering timbul
segera setelah mulai timbul haid teratur. Nyeri sering terasa sebagai kejang uterus
dan spastik juga sering disertai mual, muntah, diare, kelelahan dan nyeri kepala.
Nyeri haid timbul mendahului haid dan meningkat pada hari pertama atau kedua
haid. Pada pemeriksaan ginekologis jarang ditemukan kelainan genitalia. Cepat
memberikan respons terhadap pengobatan medikamentosa (Fredericson&Wilkins,
1997).
Dismenorea sekunder lebih sering ditemukan pada usia tua, dan setelah 2
tahun mengalami siklus haid teratur. Nyeri dimulai saat haid dan meningkat
bersamaan dengan keluarnya darah haid. Sering ditemukan kelainan ginekologik.
Pengobatannya sering sekali memerlukan tindakan operatif (Fredericsn&Wilkins,
1997).
26
k. Pengobatan
Untuk dismenorea primer dapat diberikan obat-obat penghambat sintesis
prostaglandin seperti asam mefenamat, acetaminophen, indometasin, fenilbutazon,
asam arakanoat (ibuprofen, fenoprofen, naproksen). Obat-obat jenis ini diberikan 12 hari menjelang haid dan diteruskan sampai hari kedua atau ketiga siklus haid.
Terapi hormonal telah banyak digunakan dalam pengobatan dismenore primer,
sehingga nyeri haid dapat dikurangi. Pemberian progestogen akan mengurangi
sintesis prostaglandin di endometrium. Sediaan progestogen yang banyak
digunakan pada dismenorea primer adalah didrogesteron dan medroksiprogesteron
asetat (MPA). Didrogesteron diberikan dalam bentuk tablet 10 mg, 2x per hari
(Baziad, 2003).
Secara sederhana untuk pengobatan dismenore primer adalah dengan
memberikan pil kontrasepsi kombinasi. Pil kontrasepsi kombinasi selain dapat
menghilangkan nyeri haid, juga dapat mengurangi jumlah darah haid yang keluar
dan haid menjadi teratur setiap bulan. Pil kontrasepsi kombinasi sangat efektif pada
dismenorea yang berat. Jenis pengobatan ini hanya terbatas diberikan pada wanita
yang belum ingin hamil atau menunda kehamilan. Dewasa ini telah mulai
digunakan analog GnRH untuk pengobatan dismenorea primer. Cara kerjanya
adalah dengan menekan fungsi ovarium. Obat ini merupakan pilihan terakhir, bila
dengan pengobatan yang lain tidak memberikan efek yang baik. Kadang-kadang
harus dilakukan tindakan operatif pada kasus-kasus yang refrakter, berupa
neurektomi prasakral (Baziad, 2003).
Dismenorea sekunder dengan kelainan organik ditangani secara kausal.
Pada kasus-kasus yang menolak untuk tindakan operatif, maka dapat dilakukan
pengobatan medikamentosa seperti penanganan pada dismenorea primer.
Pemberian analog GnRH selama 6 bulan sangat efektif menghilangkan nyeri haid
yang disebabkan oleh endometriosis (Baziad, 2003).
27
l. Prognosis
Pada terapi dismenore seperti yang telah dibahas diatas maka dilihat dari
efektivitasnya memperlihatkan bahwa prostaglandin sintetase inhibitor dapat
mengurangi nyeri dismenore >70% (Fredericson&Wilkins, 1997).
II.1.5. Nyeri
Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut (International
Association for the Study of Pain). Sensasi nyeri ditimbulkan oleh suatu cedera atau
rangsangan yang cukup kuat untuk berpotensi mencederai. Pada kasus cedera, nyeri
memiliki fungsi protektif, memicu respons terhadap stress berupa imobilisasi bagian
tubuh lalu sering disertai oleh suatu respons stres berupa meningkatnya rasa cemas,
denyut jantung, tekanan darah, dan kecepatan pernapasan (Sylvia&Lorraine, 2006).
Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri: transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi nyeri adalah
proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat
transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal medulla spinalis dan neuronneuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan
aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi
transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor
kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer.
Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga
dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf (Sylvia&Lorraine, 2006)
.
28
29
3. Judul Penelitian: Hubungan Beberapa Faktor Remaja Putri Kelas II dan III
dengan Kejadian dismenore Primer di SMPN 30 Semarang Bulan Maret-Mei
Tahun 2007
Nama Peneliti: Indah Prastiwi
Tempat dan Tahun Penelitian: SMPN 30 Semarang Bulan Maret-Mei Tahun
2007
Rancangan Penelitian: Penelitian ini menggunakan analisis Chi-square
Variabel Penelitian: Psikologi (kecemasan), status gizi (IMT), dan kejadian
dismenore
Hasil Penelitian: Hasil dari analisis Chi-square ada hubungan umur menarche
remaja putri kelas II dan III dengan kejadian dismenore primer
30
fosfolipid
Enzim
fosfolipid A2
Vitamin E
Asam arakidonat
Enzim cyclooksigenase-2
PG F2
PG E2
Vasopresin
Obstruksi
serviks
OAINS
penghambat Cox-2
Iskemik
uterus
Kontraksi miometrium
vasokonstrikso pembuluih
darah
Faktor yang
tidak dkiketahui
Dismenore
Primer
Sekunder
31
Variabel independen
variabel dependen
Faktor Psikis :
- Tingkat Kecemasan/stres
Dismenore
Faktor Fisik :
- Olahraga
- Indeks Massa Tubuh
32
II.4. Hipotesis
a. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta yang memiliki
tingkat kecemasan yang lebih cenderung akan meningkatkan kejadian
dismenore dibandingkan mahasiswa yang tidak stres
b. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta yang jarang
berolahraga cenderung meningkatkan kejadian dismenore dibandingkan
dengan mahasiswa yang rajin berolahraga
c. Mahasiswa Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta yang memiliki
BMI lebih cenderung meningkatkan kejadian dismenore dibandingkan dengan
mahasiswa yang memiliki BMI normal
33