Você está na página 1de 11

Angiofibroma Nasofaring

A.

Anatomi Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan

dengan orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada
orang dewasa yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi
anteroposterior. Dinding posteriornya sekitar 8 cm dari aparatus piriformis
sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior dibentuk oleh
permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan vertebra
cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak
yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum
molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor
faring superior. (Snell, 2006)
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah ke
nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat di
atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa
russenmuller (resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding
posterosuperior nasofaring. (Snell, 2006)

Gambar 1. Anatomi Nasofaring

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah


arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya. (Snell, 2006)
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas
otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris
saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
2

dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim
tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion
sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus. (Snell, 2006)

B. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan. Nama lain dari angiofibroma nasofaring adalah
nasopharyngeal fibroma, bleeding fibroma of adolescence, fibroangioma,
angiofibroma nasofaring belia. (Soepardi, dkk, 2010)

C.

Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring sering terjadi pada laki-laki prepubertas dan

remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini
merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan merupakan 0,05% dari seluruh
tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya adalah 1 : 5.000 1 : 60.000 pada
pasien THT. (Soepardi, dkk, 2010; Hajar, 2005; Mendenhall, 2003; Asrole, 2002)

D.

Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas. Berbagai macam teori telah diajukan.

Salah satu teori diantaranya adalah teori jaringan asal. Pada teori tentang jaringan
asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan
fibrokartilago

embrional

di

daerah

oksipital

os

spenoidalis.

Faktor

ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab adanya


kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan juga atas
adanya hubungan yang erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak
ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. Banyak bukti memperlihatkan secara
langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan

menggunakan teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel


yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring
diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan
dengan antibodi pada reseptor androgen (RA), reseptor progesteron (RP), dan
reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining,
menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan
negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama
adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini
didasarkan juga atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan
umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. (Soepardi, dkk, 2010;
Nutrisno, 2000)

E.

Patologi Anatomi
Tumor ini secara patologi anatomi memberi penampakan tidak berkapsul

dan memiliki stroma jaringan ikat kolagen. Pembuluh darah pada tumor dilapisi
dengan epitel gepeng selapis, lapisan otot polos pembuluh darah tidak sempurna.
Gambaran patologi anatomi dapat dilihat pada gambar 2. (Hajar, 2005)

Gambar 2. Gambaran patologi anatomi angiofibroma nasofaring

F.

Patogenesis
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan

lateral koana di atap ansofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Tumor
dapat meluas ke rongga hidung, sinus maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada
pemeriksaan mungkin ditemukan benjolan pada pipi atau proptosis, ini
disebabkan karena ekspansi masa tumor ke dalam spasium pterigomaksila dan
orbita. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.
(Soepardi, dkk, 2010; Nutrisno, 2000)

G.

Gejala Klinik
Gejala utama yang sering timbul adalah epistaksis berulang yang masif dan

hidung tersumbat yang progresif. Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (8090%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%);
kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah
meluas ke sinus paranasal, sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor
sudah meluas ke intrakranial, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain
seperti anosmia, otalgia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga
timbul rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan
menimbulkan ketulian atau otalgia. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi,
palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat
menimbulkan perdarahan. (Soepardi, dkk, 2010; Asrole, 2002)
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau
hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada

permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali
karena erosi pembuluh darah besar. (Nutrisno, 2000)

H.

Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang

dirasakan pasien. Selain itu juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan
penunjang. Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi pisterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput
lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring
berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia
yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya.
Mukosanya yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan
adanya ulserasi. (Soepardi, dkk, 2010)
Secara mikroskopis tampak terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam
stroma yang fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh
darah menjadi predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari
endothelial tunggal

yang melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk

menyebabkan perdarahan yang masif. Pembuluh darah dalam bisa memiliki suatu
lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang
memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu. (Hajar,
2005)
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan dan arteriografi. Pada
pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala AP-lateral, Waters) akan
terlihat gambaran klasik yang disebut tanda Holman Miller yaitu pendorongan
prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo-palatina akan melebar.
Akan terlihat juga massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada
pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan
6

massa tumor serta destruksi tumor ke tulang sekitarnya. Pada foto polos
gambaran pada sinus dapat tampak seperti polip nasofaring dan lengkungan ke
depan serta opasifikasi dari dinding posterior sinus maksila. Pada CT scan
gambaran perluasan tumor pada sinus sfenoid, erosi pada tulang sfenoid, atau
invasi pada pterigomaksila dan fosa infratemporal terkadang dapat dilihat.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan dan
menentukan batas tumor terutama pada kasus yang sudah meluas ke intrakranial.
Angiografi memperlihatkan cabang dari arteri carotis eksterna sebagai
vaskularisasi utama pada tumor (94%). Vaskularisasi utama pada tumor berasal
dari arteri maksilaris interna, tetapi arteri vidianus atau arteri faringeal ascenden
juga berkontribusi daram memperdarahi tumor. Akan tampak arteri maksilaris
interna terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior
ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa pterigomaksila. Selain itu massa
tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum
setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pada kasus yang jarang terdapat juga
perdarahan dari cabang arteri carotis interna. (Tewfik, 2009; Soepardi, dkk, 2010)
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis
intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah
pengangkatan tumor. (Soepardi, dkk, 2010)
Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan immunohistokimia terhadap
reseptor estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat
adanya gangguan hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat
dilakukan, karena biopsi merupakan kontraindikasi sebab akan mengakibatkan
perdarahan yang masif. (Soepardi, dkk, 2010)
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang
paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch (Soepardi, dkk, 2010).

Klasifikasi menurut Sessions


-

Stage IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan

perluasan ke satu sinus paranasal.


-

Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi

ke tulang orbita.
-

Stage IIIA : Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang

minimal.
-

Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke

dalam sinus kavernosus.


Klasifikasi menurut Fisch :
-

Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi

tulang.
-

Stage II :Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan

destruksi tulang.
-

Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah

parasellar sampai sinus kavernosus.


-

Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau

fossa pituitary.

I.

Penatalaksanaan
Cara pengobatan tumor ini antara lain radiasi, operasi, dan terapi hormonal.

Sekarang ini cara pengobatan yang dapat dilakukan adalah reseksi bedah.
Sedangkan radioterapi mungkin efektif pada kasus tertentu, lebih disukai
menggunakan radiasi pada penyakit residual atau jika operasi tidak mungkin
dilakukan. Penilaian termasuk CT scanning dan arteriografi untuk memastikan
sumber pembuluh darah utama dari tumor. (Soepardi, dkk, 2010; Adams, 1997)
Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari luas dan
besarnya tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup
dilakukan eksterpasi tumor, tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam kranium,
radioterapi merupakan cara pengobatan pilihan. (Nutrisno, 2000)
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan
radioterapi. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi
tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi
sublabial (sublabial mid-facial degloving), atau kombinasi dengan kraniotomi
frontotemporal bila sudah meluas ke intrakranial. (Soepardi, dkk, 2010)
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering
didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk
mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang digunakan untuk
embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl
alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Sebelum
dilakukan operasi pengangkatan tumor selain dilakukan embolisasi untuk
mengatasi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna
dan anestesi dengan teknik hipotensi. (Asrole, 2002)
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan
preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi dapat
dilakukan dengan stereotaktik radioterapi (gama knife) atau jika tumor meluas ke
intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi. Untuk tumor yang sudah

meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya


diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi hormonal 6
minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi. (Soepardi,
2010)

10

Daftar Pustaka
Adams, et al. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC
Asrole, Harry. 2002. Angiofibroma Nasofaring Belia. Medan : FKUSU
Hajar, Siti. 2005. Angiofibroma Nasofaring Belia. Majalah Kedokteran Nusantara
Vol.38 No.3 September 2005 : p 251-253
Mendenhall, et al. 2003. Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma. J HK Coll
Radiol 2003. 6: p 15-19
Nutrisno, dkk. 2000. Tumor Hidung Yang Berdarah Di RS. Karyadi Semarang.
Cermin Dunia Kedokteran No.52 Tahun 2000 : p 3-5
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Snell untuk Mahasiswa kedokteran Edisi
6. Jakarta : EGC
Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Ke-enam. Jakarta : FKUI
Tewfik, Ted., et al. 2009. Juvenile Nasopharingeal Abgiofibroma. Available at
http://emedicine.medscape.com/ (Diakses pada 16 Maret 2014)

11

Você também pode gostar