Você está na página 1de 26

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Tetanus berasal dari bahasa yunani yaitu tetanus yang berarti
peregangan. Berikut ini adalah beberapa pengertian tetanus neonatorum dari
berbagai sumber:
.1 Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan
tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan
menyusu secara normal pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan tubuh
yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek disusul
dengan kejang-kejang (WHO, 1989).
.2 Tetanus neonatorum adalah kejang yang sering dijumpai pada BBL, yang
bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh
infeksi selama masa neonatal yang antara lain terjadi sebagai akibat
pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih (Ngastiyah,
1997).

B. ETIOLOGI
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang
merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman
tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman
clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin
utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin. Penyakit ini tersebar di seluruh
dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT

yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung
kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat
tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di
mana-mana.

Masa inkubasi penyakit ini adalah antara 5-14 hari.

Pada

umumnya tetanus neonatorum berlangsung lebih berat daripada tetanus pada


anak.
Selain disebabkan oleh clostridium tetani, tetanus neonatorum juga
dapat disebabkan oleh :
1.Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar
2.Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik
3.OMP, caries gigi
4.Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5.Penjahitan luka robek yang tidak steril.

C. PATOFISIOLOGI
Spora yang masuk dan berada pada lingkunagan anaerobik berubah
menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin. Dalam
jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi
jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya nanah,
nekrosisi jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal
toksin disalurkan ke sel saraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang
aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan
fungsi sel saraf walaupun toksinnya telah terkumpul dalam sel.

Dalam

sumsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk

sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekauan.
Efek toksin pada :
1. Ganglion pra sumsum tulang belakang
Memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neuron yang
merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur rangsangan tidak
terganggu.

Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory

transmitter dan menekna pada membran neuro motorik.


2. Otak
Toksin yang menempel pada serebral gangliosides diduga
menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.
Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
3. Saraf otonom
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala
keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, takikardi.
Sekalipun otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh
yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga
timbul manifestasi klinik seperti seperti disebutkan diatas.

Pathway

Clostridium Tetani
Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Gangguan sumsum

Otak

tulang belakang

(Cerebral gangliosides)

Saraf otonom
Saraf simpatis

Tonus otot meningkat

Keseimbanagn tonus otot


hilang

Takikardi

Otot menjadi kaku


Spasme otot pernafasan

Hipoksia

Mulut sukar membuka


Liur (sekret) tertahan di
Bayi tidak dapat menyusu

Penurunan O2 di otak

tenggorokan
Kesadaran menurun

Ketidakseimbangan
nutrisi : kurang dari

Bersihan jalan
nafas tidak efektif

Cemas

kebutuhan tubuh
Otot kaku dan mengalami
kelelahan
kejang
Pola nafas tidak efektif
Resiko cedera

Sumber: Robbins dan Kumar,1995

Kurang
pengetahuan
(orangtua/keluarga)

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga
masyarakat pun mampu mengenalinya sebagai penyakit hari kedelapan.
Anak yang semula menangis, menyusu dan hidup normal, mulai hari ketiga
menunjukkan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan
kesulitan dalam menyusu, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada
tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa. Bentukan
mulut menjadi mencucu seperti mulut ikan.

Bayi yang semula kembali

menjadi lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi
kejang-kejang semakin menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik
kegagalan nafas. Kekakuan pada tetanus sangat khusus, yaitu fleksi pada
tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak
sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian
menjalar keseluruh tubuh tanpa diserati gangguan kesadaran. Seluruh tubuh
bayi menjadi kaku, fleksi pada siku dengan tangan dikepal keras-keras.
Hipertoni menjadi semakin tinggi sehingga bayi dapat diangkat bagaikan
sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi
menengadah.
Gambaran umum pada tetanus :
1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat
kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka
mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar

bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada
anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut
kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan
mulut mencucu seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut
sehingga bayi tidak dapat menetek.
2. Risus Sardonicus (Sardonic Grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimik
a) Dahi mengkerut
b) Mata agak tertutup
c) Sudut mulut keluar dan kebawah menggambarkan wajah penuh
ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
3. Opistolomus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh seperti pada otot
punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya.

Kekakuan yang

sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu


pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan
mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain
otot dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga
penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari
kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau
bronchopneumonia.
5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula
hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit,

digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kasar dan sebagainya.


Lambat laun, masa istirahat kejanng makin pendek sehingga anak jatuh
dalam status convulsivus.
6. Pada tetanus berat akan terjadi:
a) Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus menerus atau oleh
karena spasme otot laring yang bila berat menimbulkan anoxia dan
kematian.
b) Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan
sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradikardi,
takikardi atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan
suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak
(hiperhidrosis)
c) Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan
retensi urin.
d) Pada tulang paha dan fraktur kompresi tulang belakang.

E. KOMPLIKASI
1. Bronkopneumonia
2. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pencernaan.
3. Sepsis neonatorum

F. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada
tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor resiko. Meskipun

banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun
tidak semua dapat dihilangkan misalnya lingkungan fisik dan biologik.
Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik
dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian
dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
Pendekatan

pengendalian

panganan

dapat

dilakukan

dengan

mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi


pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali
pusat. Mengigat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun bayi
maka praktek 3 bersih yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas
tempat tidur ibu serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam
kurikulum pendidikan dukun bayi.
Pencegahan tetanus neonatorum juga dapat dilakukan dengan
pemberian toksoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada
trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus
neonatorum.

Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat steril dan

perawatan tali pusat selanjutnya.

G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medik
a) Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl
fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya
IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat lebih
dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan

glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5 % dalam perbandingan 4 : 1


(jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila
setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum per oral/sonde,
melalui infus diberikan tambahan proteindan kalium.
b) Diazepam dosisi awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3
menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui
IVFD (diazepam dimasukkan kedalam cairan infus dan diganti setiap
6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam
lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam
berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam 5mg/kgBB/hari
sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari.
Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan per oral dan
diturunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia
berat atau bila berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin
turun boleh diberikan secara intravena.
c) ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM.
Per infus diberikan 20.000 U sekaligus.
d) Ampisilin 100mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama
10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien sepsis
lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti
yang diberikan pada pasien menigitis bakterialis.
e) Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alkohol 70%/betadin 10%.
f) Perhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital.
dihisap.

Lendir sering

2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien tetanus neonatorum adalah pasien yang gawat, mudah
terangsang/kejang dan bila kejang selalu disertai sianosis. Spasme pada
otot pernafasan sering menyebabkan pasien apnea. Spasme otot telan
akan menyebabkan liur sering terkumpul didalam mulut dan dapat
menyebabkan aspirasi. Oleh karena itu, pasien perlu dirawat di kamar
yang tenang tepim harus terang (untuk memudahkan pengawasan pada
bayi, dan bila terjadi apnea agar segera dapat dilakukan tindakan.
Dahulu, kamar tetanus selalu gelap).

Masalah pasien yang perlu

diperhatikan adalah :
a) Gangguan pernafasan yang sering terjadi adalah apnea, yang
disebabkan karena adanya tetanospasmin yang menyerang otot-otot
pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme
pada otot faring menyebabkan terkumpulnya liur didalam rongga
mulut sehingga memudahkan terjadinya pneumonia aspirasi. Adanya
lendir di tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara
(pernafasan). Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai
sianosis dan frekuensi kejang biasanya sering sehingga pasien akan
terlihat sianosis terus-menerus. Tindakan yang perlu dilakukan:
1) Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan
ganjal dibawah tubuhnya.
2) Berikan O2

secara teratur karena

bayi selalu sianosis (1-2

L/menit jika sedang terjadi kejang karena sianosis bertambah

10

berat O2 berikan lebih tinggi dapat sampai 4L/menit. Jika kejang


telah berhenti, turunkan lagi)
3) Pada saat kejang, pasangkan sudip lidah untuk mencegah lidah
jatuh kebelakang dan juga memudahkan penghisapan lendirnya.
Selama masih kejang sudip lidah dipasang terus.
4) Sering isap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan
nafas buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat lendir
pada mulut bayi.
5) Observasi tanda vital secara kontinu setiap jam dan catat secara
cermat. Pasien tetanus neonatorum kemungkinan sewaktu-waktu
dapat terjadi apnea karena mendapatkan antikonvulsan secara
terus-menerus.
6) Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat (pasang
selubung tempat tidur/kaii di sekeliling tempat tidur karena
selama payah bayi sering dalam keadaan telanjang, maksudnya
agar memudahkan pengawasan pernafasannya).

Bila bayi

kedinginan juga dapat menyebabkan apnea. Jika bayi menderita


apnea, tindakan yang dilakukan:
(a) Isap lendirnya sampai bersih (dari mulut juga hidung)
(b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L /menit)
(c) Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri
penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah
tulang dada dengan dua jari tangan kanan frekuensi 50-60
per menit. Tekanan dapat dilakukan dengan kedua jari diatas

11

dada bayi dan delapan jari di bawah punggungnya dengan


frekuensi sama.
(d) Bila belum berhasil, cabutlah sudip lidahnya, lakukan
pernafasan dengan menutup mulut dan hidung bergantian
secara ritmik dengan kecepatan 50-60 per menit bila perlu
diselingi

tiupan.

Bila

melakukan

tiupan,

caranya

gembungkan dahulu pipi si penolong baru kemudian udara


dihembuskan (dengan cara ini hembusan udara tidak terlalu
kuat sehingga bahaya terjadinya alveoli pecah dapat
dihindarkan). Bila nafas buatan tidak segera berhasil atau
bayi sering apnea harus segera hubungi dokter. Pasien yang
menderita tetanus neonatorum biasanya sejak masuk di
ruangan segera dipasang infus untuk memberikan kalori dan
keperluan pengobatan secara intravena.
b) Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menyusu dan keadaannya payah,
untuk memenuhi kebutuhan makanannya perlu diberi infus dengan
cairan glukosa 10%. Tetapi karena bayi juga sering sianosis maka
cairan ditambahkan bikarbonas natrikus 1 % dengan perbandingan
4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang sudah berkurang pemberian
makanan dapat diberikan melalui sonde dan selanjutnya sejalan
dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot secara bertahap.
c) Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit

12

Kepada orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus perlu


diberi penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat/gawat, maka
memerlukan

tindakan

dan

pengobatan

khusus,

keberhasilan

pengobatan ini tergantung dari daya tahan tubuh si bayi dan ada
tidaknya obat yang diperlukan.

Untuk pencegahan tetanus

neonatorum ini suntikan diberikan 3 kali berturut-turut.

Kepada

pasien ibu hamil perlu dijelaskan bahwa tidak ada manfaatnya jika
suntikan tidak lengkap 3 kali.
Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas
perlu diberitahukan cara yang murah dan baik, yaitu menggunakan
alkohol 70% dan kassa steril yang telah dibasahi alkohol kemudian
dibingkuskan pada tali pusat terutama pada pangkalnya.

Kasa

dibasahi lagi dengan alkohol yang sudah kering. Jika tali pusat telah
lepas dikompres alkohol diteruskan lagi sampai lika bekas tali pusat
kering betul (selama 3-5 hari).

Jangan membubuhkan bubuk

dermatol atau bedak pada bekas tali pusat karena akan dapat terjadi
infeksi.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1

Pemeriksaan laboratorium
Liquor cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit
meningkat.

Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan

magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk
dilakukan.

13

Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen thorax dilakukan setelah hari kelima.

14

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1

Wawancara
a) Riwayat kehamilan prenatal
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT (Tetanus Toksoid) atau
tidak.
b) Riwayat natal
Ditanyakan siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu
membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat
pemotong tali pusat, tempat persalinan.
c) Riwayat post natal
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat
menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala
tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of
onset).
d) Riwayat imunisasi pada tetanus anak
Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan
kapan terakhir.
e) Riwayat psiko sosial.
Meliputi

kebiasaan anak bermain di mana, hygiene dan sanitasi

lingkungan.

15

f) Pengetahuan anak dan keluarga, meliputi pemahaman tentang


diagnosis, pengetahuan atau penerimaan tentang prognosa dan
rencana keperawatan ke depan.
2

Pemeriksaan fisik.
a) Keadaan umum
Lemah, sulit menelan dan kejang.
b) Kepala
Posisi menengadah, kaku kuduk, Risus sardonikus, ekspresi muka
yang khas, dahi mengkerut, alis teragkat, mata agak menyipit.
c) Mulut
Kekakuan mulut, sukar membuka, mengatupnya rahang seperti mulut
ikan, sudut mulut keluar dan ke bawah.
d) Dada
Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung
e) Abdomen
Otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula terjadi
setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status konvulsius.
f) Kulit
Turgor kulit kurang, pucat, kebiruan
g) Ekstremitas
Fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi
dapat diangkat seperti sepotong kayu. Dikaji juga apakah ada luka
tusuk, luka dengan nanah, atau gigitan binatang.
h) Respirasi

16

Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk dan


pilek.
i) Kardiovaskuler
Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler,
sirkulasi, berkeringat, hiperpireksia.
j) Neurologi
Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
k) Gastrointestinal
Bising usus, pola defekasi, distensi.
l) Perkemihan
Produksi urin.
m) Muskuloskeletal
Tonus otot, pergerakan, kekakuan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernafasan.

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan


nafas: sekresi yang tertahan.

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan ketidakmampuan dalam memasukkan, mencerna, mengabsorpsi
makanan.

Kurang

pengetahuan

(keluarga/orang

keterbatasan paparan.

17

tua)

berhubungan

dengan

Resiko cedera berhubungan dengan ketidaksadaran (kejang), hipoksia


jaringan.

C. INTERVENSI
Diagnosa I
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses


keperawatan diharapkan pola nafas efektif.

NOC

: Respiratory Status : Ventilation

Kriteria Hasil

a. Irama nafas sesuai yang diharapkan


b. Bernafas mudah
c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas
d. Tidak ada suara nafas tambahan
e. Ekspansi dada simetris
f.

TTV dalam batas normal

Indikator Skala

: Tidak pernah menunjukkan

: Jarang menunjukkan

: Kadang menunjukkan

: Sering menunjukkan

: Selalu menunjukkan

NIC

: Respiratory monitoring

a. Monitor frekuensi, ritme, kedalaman pernafasan


b. Catat pergerakan dada dan kesimetrisannya

18

c. Palpasi ekspansi paru


d. Auskultasi suara pernafasan
e. Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
f.

Monitor sekresi pernafasan pasien

g. Monitor hasil rontgen

Diagnosa II
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses


keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif.

NOC

: Respiratory Status : Airway patency

Kriteria Hasil

a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas.
Indikator Skala
1

: Tidak pernah menunjukkan

: Jarang menunjukkan

: Kadang menunjukkan

: Sering menunjukkan

: Selalu menunjukkan

NIC

: Airway Management

a. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu

19

b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


c. Lakukan fisoterapi dada jika perlu
d. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
e. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
f.

Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

g. Monitor respirasi dan status O2

Diagnosa III
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses


keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien dapat
seimbang/terpenuhi.

NOC

: Nutritional Status : Food and Fluid intake

Kriteria Hasil

a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan


b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
d. Menunjukkan peningkatan fugsi pengecapan dari menelan
e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Indikator Skala
1

: Tidak pernah menunjukkan

: Jaramg menunjukkan

: Kadang menunjukkan

: Sering mrnunjukkan

: Selalu menunjukkan

20

NIC

: Nutrition Monitoring

a. Berat badan pasien dalam batas normal


b. Monitor adanya penurunan berat badan
c. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
d. Monitor turgor kulit
e. Monitor pucat, kemerahan, kekeringan jaringan konjungtiva
f.

Monitor kalori dan intake nutrisi

Diagnosa IV
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses


keperawatan diharapkan pengetahuan keluarga/orang tua
mengenai penyakit anaknya cukup

NOC

: Knowledge : Disease Process

Kriteria Hasil

a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan


program pengobatan.
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya.
Indikator Skala
1

: Jidak pernah dilakukan

: Jarang dilakukan

: Kadang dilakukan

: Sering dilakukan

21

: Selalu dilakukan

NIC

: Teaching : Disease Process

a. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan


dengan anatomi fisiologi dengan cara yang tepat.
b. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan
cara yang tepat
c. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
d. Identifikasi kemungkinan penyebab dengan cara yang tepat
e. Sediakan informasi pada keluarga tentang kondisi pasien
f.

Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara


yang tepat

g. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan


h. Instruksikan keluarga pasien mengenai tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat.

Diagnosa V
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses


keperawatan diharapkan resiko terhadap terjadinya cedera
tidak terjadi.

NOC

: Risk Control

Kriteria Hasil

a. Klien terbebas dari cedera


b. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada
c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury

22

Indikator Skala
1

: Tidak pernah menunjukkan

: Jarang menunjukkan

: Kadang menunjukkan

: Sering menunjukkan

: Selalu menunjukkan

NIC

: Manajemen lingkungan

a. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien.


b. Memindahkan lingkungan yang berbahaya
c. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
d. Membatasi pengunjung
e. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
f.

Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien

D. EVALUASI
Diagnosa I
Kriteria Hasil

Skala

a. Irama nafas sesuai yang diharapkan

b. Bernafas mudah

c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas

d. Tidak ada suara nafas tambahan

e. Ekspansi dada simetris

f.

TTV dalam batas normal

23

Diagnosa II
Kriteria Hasil

Skala

a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang

bersih, tidak ada sianosis


b. Menunjukkan jalan nafas yang paten

c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat

menghambat jalan nafas.

Diagnosa III
Kriteria Hasil

Skala

a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan

b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

d. Menunjukkan peningkatan fugsi pengecapan dari menelan

e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Diagnosa IV
Kriteria Hasil

Skala

a. Keluarga menyatakan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan

program pengobatan.
b. Keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara

benar
c. Keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/ 5
tim kesehatan lainnya.

24

Diagnosa V
Kriteria Hasil

Skala

a. Klien terbebas dari cedera

b. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada

c. Mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injury

25

DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Aziz Alimul .A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta :
EGC.
Hinchliff, Sue. 1997. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius.
Johnson, Marion, dkk. 2000.
Missouri: Mosby.

Nursing Outcomes classification ( NOC ).

Mc. Clostrey, Deane C, & Bulecheck, Glorid M. 1996. Nursing Intervention


Classification ( NIC ). Missouri: Mosby.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC.
Robbins dan Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi II Edisi 4. Jakarta: EGC.
Santosa, Budi. 2006. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Prima Medika.
Wong, Dona.L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4.
Jakarta:EGC.

26

Você também pode gostar