Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah suatu sindrom klinis yang memerlukan
evaluasi segera dan hati-hati. Sindrom ini memberikan akibat berupa kelumpuhan akut
pada otot, saraf, neuromuscular junction, medula spinalis dan kornu anterior. Sindrom ini
dapat menyerang otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan kematian. Setiap
kasus AFP penting untuk menentukan terapi dan mengetahui prognosis penyakit pada
pasien. Di akhir abad 20, Kongres Kesehatan Dunia (World Health Assembly) menetapkan
bahwa memasuki abad 21, seluruh dunia harus bebeas dari permasalahan polio, salah satu
penyebab AFP. Namun pada faktanya, di seluruh dunia minimal 30 negara merupakan
daerah endemis polio. Sehingga eradikasi polio menjadi suatu tugas berat bagi semua
pihak.
Daftar penyebab AFP sangatlah luas dan didapatkan variasi yang dipengaruhi oleh
umur, etnis, dan wilayah. Selain permasalahan polio, bentuk demielinasi akut Sindrom
Guillane-Bare adalah sekitar 50%, dari kasus AFP, diikuti dengan infeksi virus non-polio
seperti Mumps Virus, Epstein-Barr virus, HIV, dan West Nile virus.
Host atau faktor lingkungan secara signifikan dapat mempengaruhi terjadinya
AFP. Lingkungan yang tidak sehat dan higienitas hidup yang kurang baik dapat
menimbulkan AFP, selain faktor immune regulated. Lingkungan yang tidak sehat dan
tidak higienis tersebut dapat menyebabkan virus dan bakteri penyebab dengan mudah
menyerang orang yang tinggal di lingkungan tersebut. Dengan masih tingginya angka
kemiskinan dan kesadaran lingkungan bersih yang masih kurang baik di berbagai negara
berkembang, termasuk Indonesia, dan ancaman fatal yang ditimbulkan dari AFP berupa
kelumpuhan dan kematian, maka pengetahuan yang baik mengenai berbagai macam
kelumpuhan akut, perjalanan penyakit, dan penanganan yang diperlukan untuk
mengatasinya menjadi dasar pembahasan referat kali ini.
1.2 Tujuan Penulisan
Memperoleh informasi lebih lanjut mengenai berbagai gangguan AFP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
Flaccid Paralysis (lumpuh layuh). AFP ini ditandai dengan adanya kelumpuhan motorik
dengan cepat (<4 hari) disertai dengan tonus yang menghilang.
AFP merupakan suatu keadaan yang emergensi, karena keterlambatan dalam
penanganan akan menyebabkan kematian atau disabilitas, terutama pada anak-anak. AFP
dapat terjadi pada beberapa keadaan, dan tentu saja penannganannya berbeda.
Kelumpuhan yang terjadi pada AFP secara akut mengenai final common path,
motor end plate dan otot yaitu pada otot, saraf, neuromuscular junction, medulla spinalis
dan kornu anterior. Istilah flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor Neuron
(LMN). Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada gangguan
susuna saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hiperreflek, klonus atau respon
ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan adanya karakteristik gejala klinis
kelemahan yang timbul dengan cepat termasuk kelemahan otot-otot pernafasan dan otot
menelan. Berkembang lebih cepat dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
AFP adalah kelumpuhan atau paralisis secara fokal yang onsetnya akut tanpa
penyebab lain yang nyata seperti trauma. Yang ditandai dengan flaccid dan mengenai
anak kelompok < 15 tahun. AFP disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus,
echovirus, atau adenovirus.
2.2 Patofisiologi dan Etiologi
Berikut ini akan diuraikan mengenai keadaan AFP, dan bagaimana cara untuk
membedakannya:
1. Kelainan pada otot (acute myopathies)
a. Periodik paralisis
b. Inflamatory miophaty (polymyositis dermatomyositis)
c. Miopati karena steroid atau kelainan tiroid
d. Rabdomiolisis (karena obat, kecelakaan)
2. Neuromuscular Junction
2
a. Miastenia Gravis
b. Botulism
c. Tick Paralysis
d. Lambert Eaton Myastenic Syndrome (LEMS)
3. Neuropati akut
a. Paraneoplastik dan paraproteinemia
b. Vaskulitis (lupus, poliartritis)
c. Neuropati motorik multifokal
4. Poliradikulopati akut
a. Guillain-Barre Syndrome
b. Lime disease
c. Sindroma Cauda Equina
5. Penyakit Motor Neuron
a. Poliomielitis
b. Amyotrophic Lateral Sklerosis (ALS)
6. Medula Spinalis
a. Inflamasi (mielitis transversus)
b. Mielopati (spondilosis, hematom, infark)
7. Otak
a. Lesi di Pons
b. Lesi multifokal
Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan medulla
spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe Brunhilde, Lansing dan
Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-masing tidak mengakibatkan imunitas
silang. Bila seorang mengalami infeksi dengan satu jenis virus ia akan mendapat
kekebalan yang menetap terhadap virus tersebut.
Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu asimtomatik,
abortif, nonparalitik dan paralitik. Sebagian besar pasien infeksi polio adalah asimtomatik
atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan sepintas.
Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih gejalagejala seperti malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan,
konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan nyeri perut lokal
serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring biasanya menunjukkan
sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri tenggorok.
Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis abortif
kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan kekakuan otot
leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang cepat menghilang
sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga anak mengalami jeda bebas
gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase kedua (sakit sistem saraf sentral atau
sakit mayor).
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan perubahan
pada refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif tanda-tanda kaku
kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih tidak pasti, upaya yang
harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki.
Poliomeilitis
Paralitik,
manifestasinya
adalah
manifestasi
poliomeilitis
nonparalitik yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih kelompok
otot, skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda tanpa gejala beberapa
hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis paralysis flaksid merupakan
ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas. Terjadinya atrofi muskuler disebabkan
oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak digunakan. Nyeri, spastisitas, kaku kuduk dan
kekakuan spinal, serta hipertoni pada awal penyakit mungkin karena lesi batang otak,
ganglia spinalis, dan kolumna posterior.
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi
pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang
mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain, infeksi,
vaksinasi, pembedahan, kehamilan atau dalam masa nifas, penyakit sistematik,
keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison.
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi gastrointestinal.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada
sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler
dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone
marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid danperedaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen
harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan
(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan
memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi
interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi
molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam
membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan
makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan
pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan
secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi
telah hancur. Perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang
ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera
diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi
degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fishers syndrome
6. Acute pandysautonomia
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
10
ii.
Relatif simetris.
iii.
iv.
Gejala saraf kranial 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain
dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang <
5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
v.
vi.
vii.
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP
serial. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
ii.
Varian:
Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
6 merkaptopurin (6-MP)
ii.
Azathioprine
iii.
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan
tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lain:
i.
ii.
iii.
12
13
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR)
yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada
membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masingmasing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran
yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang Natrium
pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+. Influx Na+ ini
akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-synaptic. Jika
depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka akan terjadi potensial
aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala
arah sesuai dengan karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan
kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah
synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan
kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses
hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus
yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju membran postsynaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
Mengakibatkan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di
dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan
merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies
ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu
penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia
Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini
menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting dalam etiology
14
penyakit ini. Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi
kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui.
Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan
oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun, penemuan
baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting
pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis.Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasiathymic dan thymoma.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu
maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih
banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh
kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut
maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus
pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung
menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.
Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot
dipergunakan terus-menerus Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh
kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita
miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka
memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat
limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster
lainnya.
Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk ketika
digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah sebagai
berikut : Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa disebut Ptosis.
Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali menjadi gejala awal
dari Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum diketahui penyebabnya.
Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan otot-otot bulbar dalam rentang
15
minggu sampai bulan. Pada kasus tertentu kelemahan EOM bisa tetap bertahan selama
bertahun-tahun Sebagian besar mengalami kelemahan. Perbaikan secara spontan sangat
jarang terjadi, sedangkan perbaikan total hampir tidak pernah ditemukan.
Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain :
-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya)
yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir.
Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa
muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini bisa
disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami. Bisa terjadi kesulitan
dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan dan tungkai. Dalam menaiki
tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan. pernafasan (krisis miastenik).
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory Board
(MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih normal
Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat kelemahannya
Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi
ekstrimitas
Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan pada otot
okuler
Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot oropharyngeal
Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga mempengaruhi
ekstrimitas
Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot okuler
Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot oropharyngeal
Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal, juga
mempengruhi otot-otot ekstrimitas
Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-operative)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang mengalami
kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau kelemahan yang
meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika otot yang terkena
diistirahatkan.
16
Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan darurat. Foodborne
botulisme mungkin merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena banyak
orang dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar.
Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap tahunnya. Dan sekitar 25% nya
foodborne botulisme, 72% infant botulisme dan sisanya adalah wound botulisme.
Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan kaleng. Wound botulisme
meningkat karena penggunaan heroin terutama di california.
Etiologi dari botulisme adalah Clostridium botulinum. Clostridium botulinum
merupakan kuman anaerob, gram positif, mempunyai spora yang tahan panas, dapat
membentuk gas, serta menimbulkan rasa dan bau pada makanan yang terkontaminasi.
Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan spora dan produksi toksin.
Racun botulisme diserap di dalam lambung, duodenum dan bagian pertama jejunum.
Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun tersebut melakukan blokade
terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa mengganggu saraf adrenegik.
Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang. Efek ini berbeda dengan efek kurare
yang menghalang-halangi efek asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek
racun botulisme menyerupai khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari
kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt
cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan
okular ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi keluhan
penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat terganggu,
hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan
pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup
untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding,
seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran
yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari
botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan
bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otototot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan
18
diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro spinalis, nerve conduction test
seperti electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk myastenia gravis.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien juga
dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau infant
botulisme.
Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Dalam 50 tahun
terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50% menjadi
8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu pernafasan sebagai
bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif selama beberapa bulan. Pasien yang
selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah dan nafas yang pendek selama
beberapa tahun dan terapi jangka panjang dibutuhkan untuk proses pemulihan.
19
Setiap pasien AFP adalah keadaan darurat klinis yang membutuhkan penanganan
segera. Dalam setiap kasus, penjelasan rinci tentang gejala klinis harus diperoleh. Gejala
tersebut termasuk kelumpuhan, gangguan gaya berjalan, kelemahan atau gangguan
koordinasi dari satu atau beberapa anggota gerak tubuh.
Berbagai macam lesi yang dapat timbul pada susunan lower motor neuron, berarti
lesi tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate dan otot skeletal sehingga
tidak terdapat gerakan atau rangsang motorik yang disampaikan ke motor neuron.
Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower motor neuron yaitu:
a. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek tendon hilang dan reflek
patologik tidak muncul.
b. Tonus otot hilang.
c. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik hilang dan terjadi
atrofi otot.
Tanda-tanda AFP harus dievaluasi klinis secara lengkap dengan pemeriksanan
neurologis lengkap. Beberapa hal yang perlu diperhatikan: usia, riwayat penyakit seperti
ada/tidaknya febris saat terjadinya paralisis, progresifitas, keterlibatan saraf otak, sensoris
dan motoris, refleks fisiologis, refleks patologis. Adanya tanda-tanda meningismus,
gangguan saraf pusat (ataxia) atau sistem saraf otonom (fungsi usus dan kandung kemih,
sfingter dan fungsi berkemih neurogenik).
Pemeriksaan Penunjang yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Pemeriksaan lab darah: kalium, magnesium, fosfat, CK B12, TSH, ANA, ANCA,
protein elktroforesis.
b. Pemeriksaan kultur dari feses, apus tenggorok, LCS.
c. Tes prostigmin pada kasus miastenia gravis
Pemeriksaan elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan
prognosis dari penyakit motorneuron. Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal
diindikasikan untuk menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi
bakteri ditunjukkan dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan kandungan
protein yang tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan mengidentifikasi adanya
mikroorganisme spesifik. Pencitraan tulang belakang seperti radiografi, CT-Scan atau
magnetic resonance imaging (MRI) diindikasikan untuk menyingkirkan adanya kompresi
tulang belakang, mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis. Pemeriksaan
20
b. Pemeriksaan tekanan darah dan nadi secara berkala terutama pada kasus bradikardia
atau takiaritmia atau adanya disfungsi otonom.
2.4.1 Sindroma Guillain-Barre (SGB)
Pada sebagian besar penderita Sindroma Guillain-Barre (SGB) dapat sembuh
sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit
ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan\
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat
steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Plasmaparesis atau
plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan
klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama
perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan
plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15
hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP),
Azathioprine, cyclophosphamid. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia,
muntah, mual dan sakit kepala.
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan
tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: pada pemeriksaan
22
NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat
onset.
Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium, magnesium, dan
natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi.Ini diakibatkan terjadinya
pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung.Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang.Tetapi hal itu
bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan,
dan pemberian freshfrozen plasma tidak diperlukan.
Intravena Immunoglobulin (IVIG)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan
mampu memodulasi respon imun.Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara
klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates
yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat
muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.
Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang
sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak
menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis.Sehingga IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini
memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu.
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan
1gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa
penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
dilakukan pemasangan infus.
Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike symdrome
seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24
jam pertama.Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga
tetesan infus menjadi lebih lambat.
Intravena Metilprednisolone(IVMp)
IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam.Bila tidak ada respon,
maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.Jika respon masih juga tidak ada, maka
pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon
terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada
24
terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.
Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal
atau tidak dapat digunakan.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap
sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum
diketahui.Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata
selama 3 bulan.Dimana respon terhadap pengobatan kortikosteroid akanmulai tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya.Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T
helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.
Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat
menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.Dosis maksimal
penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada
pemberiannya.Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
Azathioprine
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
RNA.Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh
tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
obat imunosupresif lainnya.Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia
gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis
tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari.
Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon
Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan.
25
Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.
Cyclosporine
Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.Dosis awal
pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper.
Supresi
terhadap
aktivasi
sel
T-helper,
menimbulkan
efek
pada
produksi
26
2.4.3 Poliomyelitis
Terapi lama. Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Terapi poliomyelitis tak ada yang spesifik, tetapi
tergantung penyulityang terjadi. Inhibisi metabolik untuk mencegah serangan virus ke
susunan
saraf yang
dilakukan
in-vitro
tidak
dapatdikerjakan
pada
manusia.
utama
pengobatan
berlangsung.Perlengkapan
medis
adalah
vital
mengontrol
untuk
gejala
sewaktu
menyelamatkan
nyawa,
infeksi
teruatma
membantu pernafasan mungkin diperlukan pada kasus yang parah. Jika terjadi infeksi
salurankemih, diberikan antibiotik. Untuk mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejangotot,
bisa diberikan obat pereda nyeri. Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangidengan
kompres hangat. Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsiotot mungkin
perlu dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau penyangga maupun
pembedahan ortopedik.
Fase Pre-paralitik
Selama epidemik polio semua penderita dengan gejala sistemik yang tak
spesifik harus
diperhatikan
kemungkinan
terjadi
paralisis.
Tirah
baring
merupakan pengobatan yang penting untuk menjaga terjadinya footdrop, bila anak
tampak gelisah dapat diberikan sedative ringan seperti diazepam, pada otot yang
sakitdiberikan kompres buli-buli panas, dan dapat diberikan antipiretik bilademam.Selain
itu juga dianjurkan untuk diet tinggi kalori tinggi protein
Fase Paralitik.
Selama fase akut dapat diberi analgetik non narkotik, misalnya aspirin
atauacetaminophen. Rasa nyeri pada otot dikurangi dengan mengurangimanipulasidan
untuk menghindari terjadinya regangan pada otot diberikan splint.
Perlu
dilakukan
gerakan
pasif
pada
otot
secara
halus.
Dianjurkan
lewat, mulai dilakukan fisioterapi aktif. Konsultasi ortopedi dapat dilakukansegera terapi
operasi, biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah awitan.
Terapi baru: Periacetabular OsteotomiTeknik pembedahan. Teknik Bernese
periacetabular osteotomy pertama kali dijelaskan pada 1987 dan mulai berevolusi dengan
sedikit perubahan. Dokter menggunakan pendekatan Smith-Petersen dimodifikasi ke
pinggul, yang memungkinkan perlindungan kulitsaraf femoralis lateralis. Osteotomy dari
spina iliaka anterior superior dengantendon dan ligamen inguinal sartorius terpasang
dilakukan untuk mengurangiketegangan pada saraf kutaneus lateralis femoralis. Untuk
dua pasien yangdioperasi sebelum tahun 1993, asal-usul fasciae latae tensor dan gluteus
mediusdan otot paling bungsu dibebaskan dari panggul, namun, setelah 1993,
osteotomyyang dilakukan melalui pendekatan yang tetap teknik saat ini disukai. Kedua
ototrektus femoris terlepas dari asal-usul dan tercermin medial. Serat dari otot m.iliakus,
yang melekat pada kapsul anterior pinggul, yang dibedah sampai pectineal bursa
divisualisasikan dan tendon m. psoas itu terkena. Para osteotomiesdilakukan di Eropa
oleh salah satu dari kami (RG) dilakukan tanpa bimbinganfluoroscopic, tetapi anatomi
dan tanda didefinisikan dengan baik. Kolom posterior panggul itu tetap utuh, dan fragmen
acetabular lateral, anterior, danmedial yang diperlukan untuk diputar mencapai optimal
penahanan kepalafemoral. sebuah intraoperatif radiografi panggul dibuat untuk
memverifikasi posisi yang memadaifragmen acetabular.
Perbaikan
dalam
penahanan
radiografi
dikaitkan
dengan
penurunan
2.5 Prognosis
Prognosis
AFP
berdasarkan
masing-masing
penyebab
dan
penanganan.
29
BAB III
KESIMPULAN
Acute Flaccid Paralyis adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan Flaccid
Paralysis (lumpuh layuh) dan onsetnya akut. Istilah flaccid menunjukkan kelumpuhan
Lower Motor Neuron (LMN). AFP ini ditandai dengan adanya kelumpuhan motorik
dengan cepat (<4 hari). Tonus menghilang dan mengenai anak kelompok < 15 tahun.
AFP merupakan kejadian akut yang merupakan keadaan emergency. Beberapa
keadaan memberikan penampilan yang sama, namun karena etiologi dan penatalaksanaan
yang berbeda, dokter harus dapat mengetahui dan membuat diagnosis yang tepat sehingga
penatalaksanaannya pun tidak terlambat. Beberapa petunjuk dalam melakukan anamnesis,
pemeriksaan klinik dan pemeriksaan neurologis serta pemeriksaan penunjang diharapkan
dapat membantu ketepatan diagnosis sehingga penatalaksanaan terhadap pasien menjadi
lebih baik.
Penatalaksanaan pada pasien AFP tentu saja sesuai dengan diagnosis yang telah
dibuat (sesuai penyebab kelumpuhan), tetapi secara umum adalah ABCs. Prognosis AFP
berdasarkan masing-masing penyebab dan penanganan. Penanganan yang baik akan
memberikan prognosis yang baik. Setiap ditemukan adanya kasus kelumpuhan akut
(AFP) pada anak berusia kurang dari 15 tahun wajib dilaporkan kepada instansi kesehatan
setempat.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Andi Basuki
Alberta Health and Wellness. Acute Flaccid Paralysis (AFP). Public Health
Notifiable Disease Management Guidelines; 2011.
3.
Marx A, Glass JD, dkk. Differential Diagnosis of Acute Flaccid Paralysis and Its
Role in Poliomyelitis Sueveillance. The Johns Hopkins University School of Hygiene
and Public Health, 22 (2), 2000; p.298-316.
4.
DSS Harsono.2007. Kapita selekta neurologi. Jakarta : Gajah Mada University Press;
2007. p. 119-26; 137-43.
5.
Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of paediatrics, 17th
edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40.
6.
Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Agustus
2007. Hal: 299-302.
7.
8.
Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan ke-2.
Jakarta, 1999: 190-241.
31