Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat serta karuniaNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul Anestesi Spinal pada Pasien Mola Hidatidosa dengan Hipertiroid.
Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, kami mendapat bantuan dan bimbingan,
untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Guntur, Sp.An dan sebagai pembimbing yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menjalani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Soeselo, Slawi.
2. Staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Soeselo Slawi, khususnya kepada seluruh penata anestesi yang
telah membantu selama kami menjalankan kepaniteraan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan, oleh karena kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis
berharap laporan khusus ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah ilmu
pengetahuan bagi seluruh pembaca, khususnya untuk mahasiswa kedokteran dan
masyarakat pada umumnya.
Slawi, Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
IDENTITAS PASIEN
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PENATALAKSANAAN
11
14
DAFTAR PUSTAKA
39
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM DR. SOESELO SLAWI
--------------------------------------------------------------------------------------IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Status
Tanggal masuk
I.
: Ny Fatonah
: 42 tahun
: Perempuan
: Cerih 3/2 Jatinegara, Tegal
: Ibu rumah tangga
: Islam
: Menikah
: 12 Desember 2014
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 16
Desember 2014, pukul 07.00 WIB di bangsal Nusa Indah kelas III RSUD dr
Soeselo, Slawi.
1.
2.
Keluhan Utama
Perdarahan pada kemaluan sejak 8 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang pada hari Jumat tanggal 12 Desember 2014 ke Ponek
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi dengan G4P3A0 mengeluh
adanya perdarahan pada kemaluan sejak 8 jam SMRS. Pasien juga mengeluh
perut terasa melilit dibagian perut bawah, mual dan sering berkeringat.
Riwayat HPHT 15 Oktober 2014. Sebelumnya 2 jam SMRS pasien telah
melakukan USG dan dinyatakan adanya Mola Hidatidosa. Pasien menyangkal
adanya keluhan demam, muntah, batuk, jantung berdebar-debar. Buang air
kecil dan buang air besar lancar.
3.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama. Riwayat Diabetes
Melitus, Asma, Hipertensi dan Keganasan dalam keluarga disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien jarang berolahraga, riwayat merokok dan minum-minuman beralkohol
disangkal.
II. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah
: 130/80mmHg
Nadi
: 90x/menit, reguler
Suhu
: 36,7C
Pernapasan
: 20x/menit
Kepala
membesar.
Thoraks
Ekstremitas
: Paru
: suara nafas vesikuler +/+, rh -/-, wh -/Jantung
: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
: Simetris, tidak sianosis, pitting oedem -/-, akral hangat.
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
DJJ
: Tidak ditemukan
Introitus vagina
5.7 103/uL
3.8 106/uL
10.5 %
150 103/uL
25.7 detik
11.1 detik
AB
Positif
81
19.5
0.60
3.05
30
26
0,01
10,00
320,0
IV. ASSESSMENT
Ny Fatonah, 42 tahun dengan G4P3A0 mengeluh adanya perdarahan
pervaginam sejak 8 jam SMRS, keluhan perut terasa melilit dibagian bawah,
mual, dan sering berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan vital sign
tekanan darah 130/80 mmHg dan pemeriksaan leher didapatkan teraba sedikit
pembesaran pada tiroid. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 10.5 %,
APTT 25,7, PT 11,1, Gula darah 81, Kreatinin 0,60, Albumin 3,05, SGOT 30,
SGPT 26, TSH 0,01, T3 10,00, T4 320,0. Pada pemeriksaan USG didapatkan
adanya Mola Hidatidosa, Foto Thorax dalam batas normal.
Status ASA II dengan riwayat hipertiroid dan akan dilakukan spinal anestesi.
V PENATALAKSANAAN
1. Persiapan operasi
a. Persetujuan operasi tertulis (informed consent) ( + )
b. Puasa 6-8 jam (+)
c. Oksigenasi 3 L/ menit
3. Jenis anestesi
: Anestesi regional
4. Induksi
5. Teknik anestesi
: Oksigen 3L/menit
7. Monitoring
MONITORING
JAM
11.15
TD
140/90 mmHg
HR
90 x/menit
SpO2
100 %
Keterangan
11.20
138/89 mmHg
90x/menit
100%
11.25
135/85 mmHg
86 x/menit
99%
11.30
135/80 mmHg
96 x/menit
99 %
11.35
130/80 mmHg
90 x/menit
100 %
11.40
130/80 mmHg
94 x/menit
99 %
11.45
128/77 mmHg
90 x/menit
99 %
11.50
125/76 mmHg
94 x/menit
99%
11.55
125/75 mmHg
80 x/menit
99%
12.00
123/68 mmHg
90 x/menit
100%
12.05
12.10
12.15
12.20
12.25
12.30
12.35
12.40
130/72 mmHg
136/80 mmHg
138/80 mmHg
140/80 mmHg
135/90 mmHg
135/92mmHg
138/80 mmHg
140/80 mmHg
100 x/menit
104x/menit
90x/menit
80x/menit
85x/menit
80x/menit
90x/menit
80x/menit
100%
99%
100%
100%
99%
12.45
12.50
140/80 mmHg
140/88 mmHg
80x/menit
80x/menit
100%
100%
100%
100%
Recain 2,5cc..
Mulai operasi
Ondancentron 4mg iv
RL 500 cc
Ketorolac 30mg
Operasi Selesai
RR
BU (+)
POST OPERASI:
Kesadaran : Compos mentis
Kesan sakit : Tampak sakit ringan
TD
: 140/80 mmHg
: 80 x/menit
RR
: 20 x/menit
Bromage score: 10
Variabel
Skor
Skor
pasien
Aktivitas motorik
0
1
2
3
Skor total
Fentanyl 0,1 mg+ Ketese 100mg dalam RL 500cc (20tpm micro drip)
Bila sadar penuh, mual muntah (-), pusing (-), BU (+) diet biasa bertahap
BAB II
ANALISIS KASUS
Berdasarkan
anamnesis
dan
riwayat
pasien,
maka
pasien
dapat
diklasifikasikan dengan ASA II, yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan dan
tidak ada keterbatasan fungsi.2 Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu
memastikan pasien dalam keadaan sehat, memasang infus, dan dalam keadaan puasa
selama 6-8 jam sebelum operasi. Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak
sakit sedang dan kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan adalah
regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block sit position. Blok
subarachnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestetik local ke dalam ruang sub arachnoid pada celah interspinosum L3-L4 atau
melalui tindakan pungsi lumbal.1
Indikasi dilakukannya anestesi spinal sub arachnoid adalah untuk pembedahan
daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah yaitu daerah abdominal dan
inguinal, daerah anorektal dan genitalia eksterna serta daerah ekstremitas inferior.
Adapun beberapa kontra indikasi pada penggunaan teknik anestesi spinal sub
arachnoid yng terbagi menjadi kontra indikasi absolut dan relative. Kontra indikasi
absolut meliputi pasien yang menolak, infeksi di daerah lumbal, syok hipovolemia,
koagulopati atau mendapat terapi koagulan, tekanan intracranial tinggi, fasilitas
resusitasi minim, kurang pengalaman atau tanpa pendampingan dari konsultan
anesthesia. Sedangkan untuk kontra indikasi relative yaitu infeksi sistemik (sepsis,
bakteriemi), kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung dan
nyeri punggung kronis.2
Selama puasa dan operasi pasien telah diberikan cairan RL 500cc sebanyak 2 kali dan
wida Hes 500cc 1 kali, maka total terapi cairan yang pasien dapat adalah 2500 cc, maka
terapi cairan pasien terpenuhi.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
11
12
ekstremitas bawah. Terjadi reaksi antibodi yang menyebabkan aktivasi sel T terhadap
jaringan pada celah retro orbita dimana jaringan ini memiliki epitope antigen yang
sama dengan sel folikel pada kelenjar tiroid. Proses imun ini menyebabkan reaksi
peradangan dan infiltrasi limfosit di jaringan orbita serta pelepasan sitokin yang
menstimulasi
fibroblas
orbita
untuk
bermultiplikasi
dan
memproduksi
Angka
Gejala
Obyektif
Ada
Tidak
+1
Tiroid Teraba
+3
-3
Palpitasi
+2
Bising tiroid
+2
-2
Lelah
+2
Eksoftalmus
+2
-5
Lid Retraction
+2
deffort
Tahan terhadap
suhu panas
13
Tahan dingin
+5
Lid Lag
+1
+3
Hiperkinesis
+4
-2
Nervous
+2
Tangan panas
+2
-2
Tangan basah
+1
Nadi
-
-3
+3
Keringat
banyak
Nafsu
makan
bertambah
Nafsu
makan
berkurang
Berat
badan
naik
Berat
turun
Fibrilasi
atrium
badan
+3
<80x/menit
-3
80-90 x/menit
-3
+3
+3
>90 xmenit
20 : hipertiroid
Sementara itu menurut index New Castle dapat dilihat dari tabel berikut :
14
Untuk fase awal penentuan diagnosis perlu T4 (T3) dan TSH, namun pada pemantauan
cukup diperiksa T4 saja, sebab sering TSH tetap tersupresi padahal keadaan membaik.
Hal ini karena supresi terlalu lama pada sel tirotrop oleh hormon tiroid, sehingga
lamban pulih (lazy pituitary). Untuk memeriksa mata disamping klinis digunakan alat
eksofalmometer Herthl. Karena hormon tiroid berpengaruh terhadap semua sel/organ
maka tanda kliniknya ditemukan pada organ kita.
10
Peningkatan FT4 dan TSH rendah atau tidak terdeteksi merupakan diagnosis
pasti keadaan tirotoksikosis
Hyperglycemia
Hypercalcemia
15
Leukocytosis
Hypokalemia
Sinus takikardi
Atrial Fibrilation, sering ditemukan pada pasien usia tua
Complete heart block, kondisi ini jarang ditemukan.
Pengobatan hipertiroidisme
Pengobatan
hipertiroidisme
secara
umum
dapat
dilakukan
melalui
16
Ibu hamil yang tidak berhasil atau tidak dapat mentoleransi pengobatan
antitiroid farmakoterapi
Pasien
dengan goiter
yang
sangat
besar atau
memiliki
gangguan
17
Pada pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dengan kondisi hipertrioid,
gejala yang muncul seringkali terkait dengan efek gangguan dari jantungnya dan hal
ini mendominasi gejala klinik pasien-pasien ini. Beberapa tanda yang muncul akibat
gangguan fungsi jantung ini adalah takikardi, irama jantung yang ireguler, fibrilasi
atrium (10 %) sampai kepada gagal jantung.
Secara umum, penanganan pasien dengan hipertiroid adalah untuk
menurunkan level hormon tiroid dan memberikan counter (perlawanan balik)
terhadap tanda dan gejala yang muncul, terutama yang dapat mengancam jiwa.
Penanganan medis hipertiroid menggunakan obat-obatan yang menghambat sintesis
hormon (misalnya : obat propylthioruacil, methimazole) atau obat-obatan yang
menghambat pelepasan hormon (misalnya potasium, sodium iodida), atau obat yang
melawan overaktivitas dari adrenergik seperti propanolol. Meskipun -adrenergik
antagonis tidak mempengaruhi fungsi dari kelenjar tiroid, obat-obatan ini
menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Iodium radioaktif merusak fungsi selsel kelenjar tiroid tetapi obat ini tidak direkomendasikan untuk pasien hamil dan
dapat menghasilkan suatu kondisi hipotiroid. Tiroidektomi sub total sekarang mulai
berkurang penerapannya tetapi tetap dibutuhkan pada pasien dengan goiter multinodul
yang toksik ataupun adenoma toksik soliter.7
Preoperatif
Pasien yang menjalani tindakan pembedahan tetap diperlakukan seperti
pasien-pasien lain yang akan menjalani prosedur pembedahan dengan penekanan pada
anamnesis serta pemeriksaan fisik maupun penunjang untuk mengidentifikasi
kelainan fungsi tiroidnya. Gejala dan tanda yang harus menjadi perhatian utama
pasien hipertiroid adalah terkait dengan fungsi jantung dan respirasi. Pasien dengan
goiter yang besar memiliki problem potensial terkait dengan jalan napasnya.
Sehingga, pada pasien ini, penilaian jalan napas menjadi hal utama yang harus dinilai
dengan cermat. Pasien dapat memberikan gejala kesulitan napas misalnya positional
dyspnoe dan hal ini dapat dihubungkan dengan beberapa derajat dari disfagia. Pasien
juga dapat menunjukkan gejala sumbatan pada vena cava terutama pada kasus goiter
retrosternal. Beberapa penilaian lain terhadap jalan napas dapat beruba penilaian jarak
tiromental, derajat protrusi gigi bawah, keterbatasan gerak dari leher dan observasi
struktur faring.8
18
Pasien dinilai tekanan darah, temperatur, denyut dan ritme jantungnya. Selain
itu juga dinilai gejala-gejala yang berhubungan dengan miopati, manifestasi sistem
saraf pusat ( misal : kondisi gugup), tanda-tanda di mata, tanda dehidrasi, maupun
adanya kehamilan maupun kehamilan mola. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan di antaranya pemeriksaan EKG, profil darah tes fungsi pembekuan darah,
CT scan leher, foto rontgen dada (terutama pada pasien goiter). Pasien juga harus
dinilai apakah akan menjalani pembedahan elektif atau pembedahan emergency.
Pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan elektif, termasuk tindakan
tiroidektomi subtotal, harus ditunda hingga pasien mengalami keadaan klinis dan
kimiawi yang eutiroid. Penilaian preoperatif harus termasuk penilaian terhadap
fungsi tiroid. Nadi isitirahat yang direkomendasikan adalah 85 kali/menit.
Benzodizepin adalah pilihan yang baik untuk sedasi preoperatif. 8 Meski demikian,
beberapa berpendapat bahwa pemberian sedasi yang berlebihan tidak dianjurkan
terutama pada pasien yang memiliki goiter yang besar yang mengganggu airway.
Meskipun hal ini sebenaranya tidak berhubungan langsung dengan kondisi
hipertiroidnya,lebih pada gangguan jalan napas. Preparasi cepat dibutuhkan untuk
pasien yang akan menjalani pembedahan darurat. Preparasi cepat ini dilakukan
dengan memberikan kombinasi beta-bloker, kortikosteroid, thionamid, iodium dan
asam iopanoic (mengandung iodium dan penghambat pelepasan hormon tiroid).
Wanita yang akan menjalani evakuasi darurat dari mola hidatidosa dapat dalam
keadaan hipertiroid dan memiliki resiko terjadi badai tiroid.
Obat antitiroid dan antagonis -adrenergik dilanjutkan sampai pagi hari
operasi. Pemberian Prophylthiouracil dan methimazole adalah penting karena kedua
obat ini memiliki waktu paruh yang pendek. Apabila akan dilakukan pembedahan
darurat
(emergency),
sirkulasi
yang
hiperdinamik
dapat
dikontrol
dengan
19
dipandu dengan perubahan pulmonary artery wedge pressure. Jika dosis kecil esmolol
(50 g/kg) yang diberikan tidak memperparah kondisi gagal jantung yang telah ada,
dapat diberikan esmolol tambahan.9
Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan temperatur tubuh harus dimonitor secara ketat pada
pasien yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi secara baik,
karena keadaan eksoftalmus pada penyakit Graves
kornea sampai dengan ulserasi. Ketamin, pancuronium, agonis adrenergik indirek dan
obat-obat lain yang menstimulasi sistem saraf simpatis dihindari karena adanya
kemungkinan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Thiopental dapat
menjadi obat induksi pilihan di mana obat ini memiliki efek antitiroid pada dosis
tinggi. Pasien hipertiroid dapat menjadi hipovolemi dan vasodilatasi dan menjadi
rentan untuk mengalami respon hipotensi selama induksi anestesi. Kedalaman
anestesi yang adekuat harus dicapai sebelum dilakukan laringoskopi atau stimulasi
pembedahan untuk menghindari takikardi, hipertensi atau aritmia ventrikel.
Pemberian agen blok neuromuskuler (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati,
karena keadaan tirotoksikosis seringkali berhubungan dengan peningkatan insiden
miopati dan miastenia gravis. Hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan anestesia
seperti tidak berubahnya minimum alveolar concetration.7 Meski demikian, terkadang
kebutuhan dosis anestesi intravena diperlukan. Untuk menumpulkan respon
hemodinamik saat melakukan intubasi dapat diberikan lidokain, fentanyl atau
kombinasi keduanya yang diberikan sebelum intubasi. Pasien dengan goiter yang
besar dan mengalami obstruksi jalan napas dikelola seperti pasien-pasien lain yang
mengalami gangguan jalan napas.10 Kesulitan intubasi meningkat kejadiannya pada
pasien dengan goiter. Induksi inhalasi atau intubasi sadar dengan fiberoptik dapat
dipertimbangkan apabila ada bukti obstruksi jalan napas ataupun deviasi maupun
penyempitan.
Tujuan utama dari manajemen intraoperatif pasien hipertiroid adalah untuk
mencapai kedalaman anestesia (sering dengan isofluran atau desfluran) yang
mencegah peningkatan respon sistem saraf pusat terhadap stimulasi pembedahan.
Apabila menggunakan anestesi regional, epinefrin tidak boleh ditambahkan pada
larutan anestesi lokal.
20
Postoperatif
Ancaman serius pada pasien hipertiroid pada periode postoperatif adalah badai
tiroid (thyroid storm)9,11 yang memiliki ciri hiperpireksia, takikardi, penurunan
kesadaran (agitasi, delirium, koma) dan hipotensi. Onset badai tiroid biasanya 6-24
jam setelah pembedahan tetapi dapat muncul intraoperatif, menyerupai hipertermi
maligna. Tidak seperti hipertermi maligna, badai tiroid tidak berhubungan dengan
rigiditas otot, peningkatan kreatinin kinase, atau keadaan asidosis metabolik maupun
respiratorik.
Penanganan badai tiroid termasuk hidrasi dan pendinginan, infus esmolol atau
propanolol intravena (0,5 mg dan ditingkatkan sampai denyut jantung < 100/menit),
propylthioruacil (250-500 mg tiap 6 jam secara oral maupun dengan nasograstric
tube) diikuti sodium iodida (1g intravena dalam 12 jam) dan koreksi faktor yang
mempresipitasi (misal: infeksi). Kortisol (100-200 mg tiap 8 jam) direkomendasikan
untuk mencegah komplikasi supresi kelenjar adrenal yang muncul.9
ANASTESI REGIONAL
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh untuk
sementara pada impuls saraf, dengan menyuntikan obat anestesi disekitar syaraf
21
sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam
keadaan sadar. Anestesi Regional terbagi menjadi Epidural, Spinal dan Kaudal.
Spindal anestesi dengan menuntikan obat anestesi ke dalam ruang Subarachnoid dan
epidural Anestesi dalam Ekstradural. Spinal anestesi atau yang biasa disebut
Subarachnoid Block (SAB). Untuk mendapatkan analgesi pada daerah dermatom
tertentu maka perlu diketahui neurologi saraf serta derajat anestesi yang ingin dicapai
tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade
sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor
yang mempengaruhi difusi obat ke atas antara lain posisi pasien selama dan setelah
penyuntikan, barisitas atau berat jenis obat serta gaya grafitasi obat. Berat jenis obat
lokal anesthesia dapat diubahubah dengan mengganti komposisinya.12
B. PEMBAGIAN ANESTESI/ANALGESIA REGIONAL
1. Blok sentral atau blok neuroaksial, yang meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer atau blok saraf, yang meliputi anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.
C. KEUNTUNGAN ANESTESIA REGIONAL DIBANDINGKAN ANESTESI
UMUM
1. Alat tidak banyak dan teknik sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi darurat, keadaan lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. komplikasi jalan nafas dan respirasi jarang.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
2.
3.
4.
22
5.
I. Anestesi Spinal
Anestesi spinal adalah pemberian obat ke dalam ruang subarachnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam
ruang subarachnoid. Anestesi spinal (anestesi subaraknoid) disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum
Lig. Flavum ruang epidural durameter ruang subarachnoid.
23
24
Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu
25
3.
Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara
kontinyu dapat dimasukan kateter.
26
5.
saraf
yang
terjadi
semakin
besar
pengaruhnya
terhadap
parameter
kardiovaskular.7
Hipotensi yang terjadi berhubungan dengan penurunan cardiac output (CO)
dan systemic vascular resistance (SVR). Blok simpatis menyebabkan vasodilatasi
baik pada arteri maupun vena, namun karena jumlah darah pada vena lebih besar
27
(kurang lebih 75% dari total volume darah) dan otot dinding pembuluh darahnya lebih
tipis dibandingkan dengan arteri, efek venodilatasi yang terjadi lebih dominan. 7
Akibat dari venodilatasi terjadi redistribusi darah ke splanknik dan ekstremitas
inferior yang menyebabkan venous return atau aliran darah balik vena menuju jantung
berkurang sehingga CO menurun.7,8 Pada pasien muda yang sehat, SVR hanya
menurun 15-18%, walaupun terjadi blok simpatis yang signifikan.8
Bradikardi yang terjadi selama anestesia spinal terutama pada blok tinggi
disebabkan oleh blokade pada cardioaccelerator fibers yang terdapat dari T1 sampai
T4.7,8 Bradikardi juga terjadi sebagai respon terhadap penurunan tekanan pada atrium
kanan akibat pengisian atrium yang berkurang menyebabkan penurunan peregangan
pada reseptor kronotropik yang terdapat pada atrium kanan dan vena-vena besar.
Efek Pada Respirasi. Perubahan variabel pulmonal pada pasien sehat selama
anestesia spinal mempunyai konsekuensi klinis yang kecil. Volume tidal tidak berubah
selama anestesia spinal tinggi, dan kapasitas vital hanya berkurang sedikit dari 4,05
menjadi 3,73 liter.8 Penurunan kapasitas vital lebih disebabkan oleh penurunan
expiratory reserve volume (ERV) akibat dari paralisis otot-otot abdomen yang penting
pada ekspirasi paksa diabandingkan dengan penurunan fungsi saraf frenikus atau
diafragma. Henti nafas yang terjadi pada anestesia spinal tidak berhubungan dengan
disfungsi saraf frenikus atau diafragma, namun disebabkan oleh hipoperfusi pada
pusat pernafasan di medula oblongata. Hal yang mendukung pernyataan tersebut
adalah kembalinya pernafasan pasien apneu setelah mendapatkan resusitasi yang
cukup baik secara farmakologi ataupun dengan pemberian cairan untuk meningkatkan
cardiac output dan tekanan darah.
Hal yang penting diperhatikan dalam hubungannya dengan terjadinya paralisis
otot pernafasan pada anestesia spinal adalah otot-otot ekspiratori, karena jika terjadi
paralisis pada otot-otot tersebut, kemampuan batuk dan pembersihan sekresi bronkus
menjadi terganggu.
Efek Pada Gastrointestinal. Organ lain yang dipengaruhi selama anestesia spinal
adalah traktus gastrointestinal. Mual dan muntah terjadi pada 20% pasien yang
mendapatkan anestesia spinal dan hal ini berhubungan dengan terjadinya
hiperperistaltik gastrointestinal akibat dari aktivitas parasimpatis (vagus) dan relaksasi
dari spinkter yang terdapat pada traktus gastrointestinal.7 Atropin efektif mengurangi
28
mual dan muntah pada anestesia subarakhnoid yang tinggi (sampai T5). Dilain pihak,
kombinasi dari usus yang berkontraksi dan relaksasi dari otot-otot abdominal
memberi keuntungan karena hal ini menyebabkan terciptanya kondisi yang bagus
untuk operasi.
Efek Pada Fungsi Ginjal. Aliran darah ginjal seperti halnya aliran darah serebral
dipelihara oleh mekanisme autoregulasi dalam hubungannya dengan tekanan perfusi
arteri.7 Jika tidak terjadi hipotensi yang parah, aliran darah ginjal dan produksi urin
tidak berpengaruh selama anestesia spinal. Jika anestesia spinal menyebabkan
terjadinya penurunan tekanan perfusi arteri samapi dibawah 50 mmHg, akan terjadi
penurunan aliran darah ginjal dan produksi urin secara bertahap. 7 Walaupun begitu,
jika tekanan darah sudah kembali normal, maka fungsi ginjal juga akan kembali
normal.
Efek pada Termoregulator. Hipotermia perioperatif yang terjadi pada anestesia
spinal memiliki pendekatan yang sama dengan yang terjadi pada anestesia umum. 8
Tiga mekanisme dasar yang menyebabkan terjadinya hipotermia selama anestesia
spinal antara lain redistribusi dari pusat panas ke perifer akibat dari vasodilatasi oleh
blok simpatis, hilangnya termoregulasi yang berhubungan dengan penurunan ambang
vasokontriksi dan menggigil dibawah level yang terblok, dan peningkatan hilangnya
panas dari vasodilatasi yang terjadi dibawah level yang terblok.
Strategi untuk meminimalkan hilangnya panas adalah dengan memonitor suhu
tubuh pasien, memberikan cairan intravena yang hangat, menutupi kulit yang terpapar
udara dingin, dan membatasi ketinggian blok dari anestesia spinal.13,14
Farmakologi
Obat anestesia lokal yang disuntikkan ke dalam ruangan subarakhnoid akan
mengalami pengenceran oleh cairan serebrospinal, menyebar baik ke kranial maupun
ke kaudal dan kontak dengan radiks medula spinalis yang belum mempunyai
selubung myelin. Obat anestesia lokal tidak boleh mengandung bahan (material) yang
mempunyai efek iritasi pada radiks dan medula spinalis. Obat yang dipakai untuk
anestesia spinal adalah obat yang khusus.
Penggunaan obat-obatan anestesia lokal yang umum dipakai dalam anestesia
spinal harus diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan seperti distribusi dari obat
dalam cairan serebrospinalis (level dari anestesia), ambilan obat oleh elemen-elemen
saraf pada ruang subarakhnoid (tipe dari saraf yang terblok), dan eliminasi obat dari
ruangan subarakhnoid (duration of action).6 Terdapat beberapa macam obat anestesia
lokal yang sering dipakai pada anestesia spinal seperti prokain, lidokain (Xylocaine),
tetrakain (Pantocaine), bupivakain (Marcaine atau Sensorcaine), dan dibukain
30
31
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 2.2 di bawah tentang dosis obat
anestesia lokal yang digunakan untuk mencapai ketinggian blok yang diinginkan.
Tabel 2.2 Obat-obatan Untuk Anestesia Spinal
Obat dan
Konsentrasinya
Dosis (mg)
L4
T10
Durasi (menit)
T4
Plain
Dengan 0,2 mg
Epinefrin
Prokain (5%)
50-75
100-150
150-200
40-55
60-75
Lidokain (5%)
25-50
50-75
75-100
60-70
60-70
Tetrakain (0,5%)
4-6
6-10
12-16
60-90
120-180
Bupivakain (0,75%)
4-8
8-12
14-20
90-110
90-110
Dibukain (0,5%)
4-6
6-8
10-15
150-180
180-240
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas (Barik
Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan densitas
cairan spinal pada suhu 370C. Barisitas penting diketahui karena menentukan
penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian blok karena grafitasi bumi akan
menyebabkan cairan hiperbarik akan cendrung ke bawah. Densitas dapat diartikan
sebagai berat dalam gram dari 1ml cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas
berbanding terbalik dengan suhu.
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih besar dari pada
berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi perpindahan obat ke dasar
akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal benarbenar hiperbarik pada semua
32
pasien
maka
baritas
paling
rendah
harus
1,0015gr/ml
pada
suhu
37C.
dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat hiperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml),
Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg (1-3ml)
2)
Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih rendah dari berat
jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal pada suhu 370C adalah
1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan serebrospinal sehingga obat yang
sedikit hipobarik belum tentu menjadi hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh:
tetrakain,dibukain.
3)
Isobarik
Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya sama dengan
densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi karena terdapat variasi densitas
cairan serebrospinal, maka obat akan menjadi isobarik untuk semua pasien jika
densitasnya
berada
pada
rentang
standar
deviasi
0,999-
33
2. Faktor tambahan
a. Ketinggian lokasi penyuntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik lokal tergantung:
1. Jenis obat anestesi lokal
2. Besarnya dosis anestesi
3. Ada tidaknya tambahan obat vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik lokal
34
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2014
2. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Dan
Reanimasi. Semarang 2002.
3. Said A. Latief, Kartini A Suryadi, M. Ruswan Dachlan. Petunjuk
PraktisAnestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anstesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001.
4. Ondansetron: Medscape reference. Ondansetron. [Online]. Updated January
2014.
Available
at
http://reference.medscape.com/drug/zofran-zuplenz-
Hyperthyroid.
36
7. Morgan GE, 2006, Anesthesia for Patient With Endocrine Disease, Clinical
Anesthesiology, 4th edition, McGraw-Hill, p 807-808
8. Farling, PA,2000, Thyroid Disease, British Journal of Anesthesia 85 (I) : 15-28
9. Crisaldo S et Mercado A.,2005, Clinical Outcome During The Peri-operative
(Thyroidectomy) Period of Severely Hyperthyroid Patients with Normalized
Pre-operative Free-T4 Levels: Importance of I-131 Therapy as a part of Preoperative Preparation, World Journal of Nuclear Medicine, p 235-238
10. Bolaji et al., 2011, Anesthesia Management for Thyroidectomy in a NonEuthyroid Patient Following Cardiac Failure, Nigeria Journal of Clinical
Practice, Vol 14, p 482-485)
11. Braunwald, et all. Harrisons Principles of Interal Medicine. Ed 15th.
McGraw-Hill. New York, USA. 2001.
12. Boulton TB, Blogg CE. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC
13. Dobson, MB. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC
14. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Anestesiologi: Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
15. Miller RD. 2000. Anesthesia. Edisi Kelima. Chruchill Livingstone.
Philadelphia
16. Morgan, E. 2006. Clinical Anesthesiology. Edisi Keempat. McGraw-Hill
Company
17. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
18. Mulroy MF. 1996. Regional Anesthesia, An Illistrated Procedural Guide. Edisi
Kedua. Boston: Little Brown Company
19. Robyn Gymrek, MD. 2010. Regional Anesthesia at www.emedicine.com
20. Werth, M. Pokok-pkok Anestesi. Jakarta: EGC
37