Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
P
DENGAN DIAGNOSA MEDIS
FRAKTUR TERTUTUP RADIUS ULNA SINISTRA
PRE DAN POST OPERASI ORIF K WIRE
DI RUANG MELATI 3
RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN
Disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah KMB IV
Oleh :
Vinda Astri Permatasari
NIM. P07120112080
Tingkat 3 Reguler B
Oleh :
( ) ( )
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit
seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis
(Mansjoer, 2000).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh
rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan ,
dan krepitasi (Doenges, 2002).
B. Klasifikasi fraktur
Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar dibagi menjadi 2 antara lain:
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
2. Fraktur terbuka (open atau compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan atau potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman
dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.
Derajat patah tulang terbuka :
a. Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
b. Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
c. Derajat III
Luka lebar, rusak hebat atau hilang jaringan sekitar.
Menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
Klasifikasi fraktur antebrachii :
1. Fraktur antebrachii, yaitu fraktur pada kedua tulang radius dan ulna
2. Fraktur ulna (nightstick fractur), yaitu fraktur hanya pada tulang ulna
E. Patofisiologis
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer dan Bare, 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling
untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan
serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani
dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Smeltzer dan
Bare, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur
tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti
tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2002).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).
F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias
diketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smeltzer dan Bare, 2002).
G. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai
akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi atau reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang
harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi
eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan
fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur
dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan
eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk
fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment
berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan
lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atrofi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
H. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Price dan
Wilson (2006) antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang bisa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi
stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan
terjadinya globula lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena
fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau
balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartement otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misalnya : iskemi dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi,
CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa
juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
dan plat.
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
dengan adanya Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a. Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Non union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang (Price dan Wilson, 2006).
I. Pengkajian Fokus
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada
berbagai macam meliputi:
1. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma
angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek,
sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama
fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti
kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
3. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Aktifitas atau Istirahat
Keterbatasan atau kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
2) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
3) Penurunan atau tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera, pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
4) Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
1) Hilangnya gerakan atau sensasi, spasme otot
2) Kebas atau kesemutan (parestesia)
3) Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi.
d. Agitasi (mungkin badan nyeri atau ansietas atau trauma lain)
e. Nyeri atau kenyamanan
1) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan atau kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada
nyeri akibat kerusakan syaraf .
2) Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi)
f. Keamanan
1) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
2) Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-
tiba).
g. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
i. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
j. Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi
dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan
keterbatasan gerak yang dialami klien.
J. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan atau MRI : memperlihatkan fraktur
dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : hematokrit mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.
K. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000) dan Barbara
(1999) adalah
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan
oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor
kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidaknyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas, penurunan
kekuatan / tahanan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan faktor (kolaboratif): traksi atau
gips pada ekstrimitas
6. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat.
7. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
L. Fokus Intervensi dan Rasional
Fokus intervensi keperawatan dan rasional merujuk pada Carpenito
(2007) dan Doenges (2000) antara lain :
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat kontraksi/ immobilisasi,
stress, ansietas.
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
beradaptasi dengan nyeri yang di alami.
b. Kriteria hasil : nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
c. Intervensi :
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif.
2) Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
Rasional: tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukan skala
nyeri.
3) Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
Rasional: memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan
klien tentang nyeri.
4) Observasi tanda- tanda vital.
Rasional: untuk mengetahui perkembangan klien.
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgetik.
Rasional: merupakan tindakan dependent perawat, dimana
analgetik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan
oleh terdapat luka atau ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan,
turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah kerusakan
kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, kemerahan,
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam
batas normal atau dapat di toleransi.
c. Intervensi :
1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka.
Rasional: mengetahui sejauhmana perkembangan luka
mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
Rasional: mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan
mempermudah intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai
adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
Rasional: tehnik aseptik membantu mempercepat
penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement.
Rasional: agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak
menyebar luas pada area kulit normal lainya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari
tergantung kondisi parah/ tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian anti biotik sesuai indikasi.
Rasional: anti biotik berguna untuk mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang beresiko terjadi infeksi.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskeletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/ tahanan.
a. Tujuan : pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
b. Kriteria hasil : klien mampu melakukan pergerakan dan perpindahan,
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan pengawasan
dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
c. Intervensi
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
Rasional: mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasional: mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktifitas
apakah karena ketidakmampuan atau ketidakmauan.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
Rasional: menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
Rasional: sebagai suatu sumber untuk mengembangkan
perencanaan dan mempertahankan atau meningkatkan
mobilitas pasien.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur infasif dan jalur penusukan, luka/ kerusakan
kulit, insisi pembedahan.
a. Tujuan : infeksi tidak terjadi/ terkontrol
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, luka bersih
tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal
atau dapat ditoleransi.
c. Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital
Rasional: mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila
suhu tubuh meningkat.
2) Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik.
Rasional: mengendalikan penyebaran mikroorganisme
pathogen.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infuse,
kateter, drainase luka, dll.
Rasional: untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial.
4) Jika di temukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.
Rasional: penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari
normal bias terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
Rasional: antibiotic mencegah perkembangan mikroorganisme
patogen.
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan faktor(kolaboratif): traksi atau
gips pada ekstrimitas
a. Tujuan : tidak terjadi defisit perawatan diri
b. Kriteria hasil :tidak ada bau badan, tidak bau mulut, mukosa mulut
lembab, kulit utuh
c. Intervensi :
1) Berikan bantuan pada AKS sesuai kebutuhan, ijinkan pasien untuk
merawat diri sesuai dengan kemampuannya.
Rasional: AKS adalah fungsi-fungsi dimana orang normal
melakukan tiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar. Merawat
untuk kebutuhan dasar orang lain membantu mempertahankan
harga diri.
2) Setelah reduksi, tempatkan kantung plastik di atas ekstrimitas
untuk mempertahankan gibs/ belat/ fiksasi eksternal tetap kering
pada saat mandi. Rujuk pada bagian terapi fisik sesuai pesanan
untuk instruksi berjalan dengan kruk untuk ambulasi dan dapat
menggunakannya secara tepat.
Rasional: kantong plastik melindungi alat-alat dari kelembaban
yang berlebih yang dapat menimbulkan infeksi dan dapat
menyebabkan lunaknya gibs, hal ini menyiapkan pasien untuk
mendorong dirinya sendiri setelah dia pulang. Ahli terapi fisik
adalah sepesialis latihan yang membantu pasien dalam rehabilitasi
mobilitas.
6. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubunngan
dengan intake yang tidak adekuat.
a. Tujuan : nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh
b. Kriteria hasil: tanda-tanda mal nutrisi tidak ada
c. Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan
Rasional: untuk mengetahui tingkat status nutrisi pasien
2) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan selama
waktu makan
Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan.
3) Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
Rasional: untuk mengurangi rasa mual.
4) Kaji faktor yang dapat merubah masukan nutrisi seperti anoreksi
dan mual
Rasional: menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat
diubah atau di hilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
5) Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat anti mual
Rasional: mengurangi rasa mual pada pasien.
7. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
a. Tujuan: memperbaiki konsep diri
b. Kriteria hasil: pasien tidak minder dan malu dengan keadaan
sekarang
c. Intervensi:
1) Kaji respon dan reaksi pasien serta keluarga terhadap penyakit
dan penangananya
Rasional: Mengetahui bagaimana tanggapan pasien dan keluarga
terhadap penyakitnya sekarang.
2) Kaji hubungan pasien dengan anggota keluarganya
Rasional: Mengetahui adanya masalah dalam keluarga.
3) Kaji pola koping pasien dan keluarga pasien
Rasional: Mengetahui cara penyelesaian masalah dalam keluarga
4) Diskusikan peran memberi dan menerima kasih sayang,
kehangatan dan kemesraan.
Rasional: seksualitas mempunyai arti yang berbeda bagi tiap
individu tergantung pada tahap maturasi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Klien
Umur : 82 tahun
Agama : Islam
No. CM : 829798
Umur : 41 tahun
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengatakan nyeri di bagian tangan kirinya. Nyeri saat
digerakkan. Pasien mengatakan sulit untuk tidur.
b. Alasan masuk rumah sakit
Keluarga pasien mengatakan pasien jatuh terpeleset di teras
rumah. Pasien jatuh dengan posisi tangan menumpu berat tubuh
yang jatuh terpeleset, sehingga terjadi luka ± 1cm di pergelangan
tangan, perdarahan disertai dengan keluhan nyeri. Keluarga
kemudian mengantarkan pasien ke UGD RSUP dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten pada tanggal 15 September 2014 untuk
mendapatkan pengobatan dan perawatan lebih lanjut. Setelah
dilakukan tindakan rontgen thorax AP+wrist+joint sebelah kiri
dengan hasil rontgen positif fraktur, maka pasien harus menjalani
rawat jalan dan menunggu untuk jadwal operasi di bangsal Melati
3.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan nyeri di bagian tangan kirinya. Nyeri saat
digerakkan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk. Nyeri di sekitar
pergelangan tangan. VAS 7 dari 0-10. Nyeri hilang timbul. Pasien
menyatakan sulit tidur karena tidak mendengarkan radio yang
biasanya pasien dengarkan sebelum memulai tidur.
d. Upaya pengobatan
Keluarga pasien mengatakan sebelumnya belum pernah
membawa pasien ke klinik pengobatan atau perawatan yang lain.
e. Riwayat kesehatan lalu
Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah dirawat di
rumah sakit. Pasien baru pertama kali mengalami fraktur. Keluarga
pasien juga mengatakan pasien tidak mempunyai riwayat penyakit
menurun maupun menular. Selama ini, apabila pasien merasakan
sakit, pasien hanya membeli obat di warung dan langsung
sembuh.
f. Kesehatan keluarga
Keluarga pasien mengatakan tidak ada riwayat penyakit menular
maupun menurun dalam keluarganya.
C. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh sekunder tidak
adekuat ditandai dengan :
DS :
a. Keluarga pasien mengatakan pasien mengalami luka ± 1cm di
pergelangan tangan kiri yang disertai dengan perdarahan
DO :
a. Pada tangan kanan terpasang infus NaCl 0,9% 16 tpm sejak 18
November 2013 dengan kondisi tidak ada kemerahan tidak ada
tanda-tanda infeksi dan tidak ada lesi.
b. Balutan infus terlihat bersih tidak ada rembesan.
c. Di pergelangan tangan kiri pasien terlihat luka ± 1cm
d. Tangan kiri terlihat dibalut dengan spalk sepanjang antebrachii,
balutan terlihat bersih.
e. Pemeriksaan darah
HGB : 11,1 g/dL
WBC : 14,1 103/μL
LYM% : 4,7 %
NEUT% : 39,2 %
LYM# : 0,7 103/μL
NEUT# : 12,5 103/μL
2. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan muskuloskeletal
ditandai dengan :
DS :
a. Pasien mengatakan nyeri di bagian tangan kirinya, nyeri saat
digerakkan.
b. Pasien mengatakan susah tidur karena merasakan kesakitan yang
luar biasa.
DO :
a. Pasien terlihat meringis menahan sakit
b. Tanda tanda vital
TD : 130/80 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
VAS : 7 (0-10)
c. P : Saat digerakkan
Q : Ditusuk-tusuk
R : Pergelangan tangan
S : VAS : 7 (0-10)
T : Hilang timbul
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik : nyeri
ditandai dengan :
DS :
a. Pasien menyatakan sulit tidur karena tidak mendengarkan radio
yang biasanya pasien dengarkan sebelum memulai tidur.
b. Keluarga pasien mengatakan pasien tidak bisa tidur nyenyak,
sebentar tidur sebentar bangun.
c. Pasien mengatakan tidak bisa tidur kembali setelah terbangun
DO :
a. Wajah pasien terlihat sayu
b. Terlihat kantung mata
c. Pasien menunjukkan perilaku gelisah
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi
pembatasan aktifitas ditandai dengan :
DS :
a. Pasien mengatakan susah untuk mengubah posisi karena nyeri
b. Keluarga pasien mengatakan pasien melakukan seluruh
aktivitasnya di atas tempat tidur.
c. Pasien mengatakan dalam melakukan aktivitas, selalu dibantu
orang lain.
DO :
a. Selama sakit pasien melakukan aktivitasnya dengan dibantu
keluarganya.
b. Pasien terbaring di tempat tidur
c. Pasien bergerak dengan pelan-pelan
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
N PERENCANAAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN
O TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
2. Nyeri akut berhubungan dengan 15 September 2014 15 September 2014 15 September 2014
kerusakan jaringan 13.30 WIB 13.30 WIB 13.30 WIB
muskuloskeletal ditandai dengan : Selama dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengetahui tingkat nyeri
keperawatan diharapkan untuk menentukan intervensi
DS : pasien mampu beradaptasi selanjutnya
dengan nyeri, dengan kriteria 2. Ajarkan teknik non farmakologi : distraksi 2. Mengurangi nyeri pasien
a. Pasien mengatakan nyeri di
hasil : relaksasi, nafas dalam
bagian tangan kirinya, nyeri
1. Tanda-tanda vital 3. Kelola pemberian ketorolac 3x30 mg 3. Analgetik dapat mengurangi
saat digerakkan.
TD : 130-150/80-90 mmHg Vinda rasa nyeri
b. Pasien mengatakan susah tidur
HR : 60-100 x/menit Vinda
karena merasakan kesakitan
RR : 16-20 x/menit
yang luar biasa.
2. Pasien mampu mengontrol
DO : nyeri
3. Pasien menyatakan nyeri
a. Pasien terlihat meringis
berkurang
menahan sakit
b. Tanda tanda vital
Vinda
TD : 130/80 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
c. P : Saat digerakkan
Q : Ditusuk-tusuk
R : Pergelangan tangan
S : VAS : 7 (0-10)
T : Hilang timbul
3. Gangguan pola tidur berhubungan 15 September 2014 15 September 2014 15 September 2014
dengan ketidaknyamanan fisik : 13.30 WIB 13.30 WIB 13.30 WIB
nyeri ditandai dengan : Setelah dilakukan tindakan a. Lakukan pengkajian kecukupan tidur a. Mengetahui pola tidur untuk
keperawatan selama 3x24 merencanakan intervensi
DS :
jam diharapkan pasien dapat selanjutnya
a. Pasien menyatakan sulit tidur istirahat tidur dengan optimal, b. Ciptakan suasana nyaman, kurangi atau b. Menurunkan kemungkinan
karena tidak mendengarkan dengan kriteria hasil : hilangkan distraksi lingkungan dan pengganggu tidur pasien
radio yang biasanya pasien 1. Melaporkan istirahat tidur gangguan tidur
dengarkan sebelum memulai malam yang optimal. c. Batasi pengunjung selama periode istirahat c. Membantu pasien untuk
tidur. 2. Tidak menunjukan yang optimal beristirahat tidur dengan
b. Keluarga pasien mengatakan perilaku gelisah. tenang
pasien tidak bisa tidur nyenyak, 3. Wajah pasien tidak d. Gunakan alat bantu tidur (mendengarkan d. Membantu pasien memulai
sebentar tidur sebentar bangun. terlihat sayu dan tidak radio atau musik) untuk memulai pola tidur tidur yang adekuat sesuai
c. Pasien mengatakan tidak bisa terlihat kantung mata kebiasaa di rumah
tidur kembali setelah terbangun Vinda e. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat e. Membantu pasien untuk tidur
tidur
DO : Vinda
a. Wajah pasien terlihat sayu
Vinda
b. Terlihat kantung mata
c. Pasien menunjukkan perilaku
gelisah
DO :
Vindaa S : 36,5° C
HR : 88 x/menit
RR : 18 x/menit
VAS : 7 (0-10)
Vindaa
Nyeri Senin, 15 September Senin, 15 September 2014
akut 2014 Jam 08.45 WIB
Jam 08.45 WIB S : Pasien menyatakan bisa nafas dalam
Mengajarkan teknik : Pasien menyatakan nyeri berkurang
non farmakologi :
O : Pasien terlihat mempraktikkan nafas dalam
nafas dalam
dengan benar
Vindaa
: Pasien nampak meringis menahan sakit
Vindaa
Resiko Senin, 15 September Senin, 15 September 2014
Infeksi 2014 Jam 09.00 WIB
Jam 08.50 WIB S : Pasien mengatakan tangan kiri terasa sangat
Mengobservasi sakit
keadaan luka dan O : Terlihat luka ± 1cm di pergelangan tangan
merawat luka kiri pasien, tidak terlihat nanah dan perdarahan
: Pemeriksaan darah
HGB : 11,1 g/dL
WBC : 14,1 103/μL
LYM% : 4,7 %
NEUT% : 39,2 %
LYM# : 0,7 103/μL
NEUT# : 12,5 103/μL
Vindaa
Nyeri Selasa, 16 September Selasa, 16 September 2014
Akut 2014 Jam 10.10 WIB
Jam 10.00 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di daerah tangan
Injeksi obat sebelah kiri
ketorolac O : Ketorolac 30 mg + aquades 2cc masuk rute
Vindaa IV
Vindaa
Resiko Senin, 15 September Senin, 15 September 2014
infeksi 2014 Jam 10.15 WIB
Jam 10.10 WIB S:-
Injeksi cefotaxim O : Injeksi cefotaxim 1 gram dan drip
dan drip metronidazole 500 mg masuk rute IV
metronidazole
A : Masalah resiko infeksi sebagian teratasi
Vindaa
P : Kelola pemberian cefotaxim 2x1 gram dan
drip metronidazole 3x500 mg
Vindaa
Resiko PAGI Selasa, 16 September 2014
infeksi Selasa, 16 September Jam 08.40 WIB
2014 S : Pasien mengatakan kepala terasa sedikit
Jam 08.30 WIB pusing
Memonitor tanda- O : Tanda-tanda vital
tanda vital
TD : 130/90 mmHg
Vindaa
N : 80 x/menit
RR : 18 x/menit
S : 36,5° C
: Batasi pengunjung
Vindaa
Nyeri Selasa, 16 September Selasa, 16 September 2014
Akut 2014 Jam 10.20 WIB
Jam 10.15 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di daerah tangan
Injeksi obat sebelah kiri
ketorolac
O : Ketorolac 30 mg + aquades 2cc masuk rute
Vindaa IV
Vindaa
Resiko Selasa, 16 September Selasa, 16 September 2014
infeksi 2014 Jam 10.30 WIB
Jam 10.20 WIB S:-
Injeksi cefotaxim O : Injeksi cefotaxim 1 gram dan drip
dan drip metronidazole 500 mg masuk rute IV
metronidazole
A : Masalah resiko infeksi sebagian teratasi
Vindaa
P : Kelola pemberian cefotaxim 2x1 gram dan
drip metronidazole 3x500 mg
Vindaa
Vindaa
Resiko PAGI Rabu, 17 September 2014
infeksi Rabu, 17 September Jam 08.40 WIB
2014 S : Pasien mengatakan nyeri di tangan sebelah
Jam 08.30 WIB kiri
Memonitor tanda- O : Tanda-tanda vital
tanda vital
TD : 110/60 mmHg
Vindaa
S : 36° C
N : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
Vindaa
Nyeri Rabu, 17 September Rabu, 17 September 2014
akut 2014 Jam 08.44 WIB
Jam 08.40 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di daerah tangan
Injeksi obat kiri
ketorolac O : Ketorolac 30 mg + aquades 2cc masuk rute
Vindaa IV
Vindaa
Resiko Rabu, 17 September Rabu, 17 September 2014
infeksi 2014 Jam 10.10 WIB
Jam 10.00 WIB S:-
Injeksi cefotaxim O : Injeksi cefotaxim 1 gram dan drip
dan drip metronidazole 500 mg masuk rute IV
metronidazole
A : Masalah resiko infeksi sebagian teratasi
Vindaa
P : Kelola pemberian cefotaxim 2x1 gram dan
drip metronidazole 3x500 mg
Vindaa
Resiko MALAM Rabu, 17 September 2014
Infeksi Rabu, 17 September Jam 22.05 WIB
2014 S:-
Jam 22.00 WIB O : Injeksi cefotaxim 1 gram dan drip
Injeksi cefotaxim metronidazole 500 mg masuk rute IV
dan drip
A : Masalah resiko infeksi sebagian teratasi
metronidazole
Vindaa
Nyeri Rabu, 17 September Rabu, 17 September 2014
akut 2014 Jam 22.10 WIB
Jam 22.05 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di daerah tangan
Injeksi obat kiri berkurang
ketorolac O : Ketorolac 30 mg + aquades 2cc masuk rute
Vindaa IV
Vindaa
Resiko Kamis, 18 September Kamis, 18 September 2014
infeksi 2014 Jam 05.40 WIB
Jam 05.30 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di tangan kiri
Memonitor tanda- sudah berkurang
tanda vital O : Tanda-tanda vital
N : 80 x/menit
S : 36,5° C
RR : 20 x/menit
Vindaa
Resiko PAGI Jum’at, 19 September 2014
Infeksi Jum’at, 19 September Jam 08.40 WIB
2014 S : Pasien mengatakan nyeri di tangan kiri
Jam 08.30 WIB berkurang banyak
Memonitor tanda- O : Tanda-tanda vital
tanda vital
TD : 150/80 mmHg
Vindaa
S : 36,2° C
RR : 20x/menit
N : 80 x/menit
: Batasi pengunjung
Vindaa
Resiko Jum’at, 19 September Jum’at, 19 September 2014
Infeksi 2014 Jam 10.05 WIB
Jam 10.00 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di tangan kiri
Melakukan injeksi sudah berkurang
cefotaxim dan drip O : Injeksi cefotaxim 1 gram dan drip
metronidazole metronidazole 500 mg masuk rute IV
Vindaa
Nyeri Jum’at, 19 September Jum’at, 19 September 2014
akut 2014 Jam 10.10 WIB
Jam 10.05 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di daerah tangan
Injeksi obat kiri berkurang
ketorolac O : Ketorolac 30 mg + aquades 2cc masuk rute
Vindaa IV
Vindaa
Nyeri Jum’at, 19 September Jum’at, 19 September 2014
Akut 2014 Jam 13.10 WIB
Jam 13.00 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di tangan kiri
Melakukan sudah berkurang
pengkajian nyeri O : Pasien terlihat tenang
Vindaa : VAS : 2
Vindaa
Resiko Jum’at, 19 September Jum’at, 19 September 2014
Infeksi 2014 Jam 09.10 WIB
Jam 09.00 WIB S : Pasien mengatakan tangan kirinya terasa
Mengobservasi dan nyeri
melakukan O : Balutan terlihat kering dan bersih
perawatan luka post
: Luka jahitan terlihat lembab, tidak terlihat
ORIF k wire
perdarahan dan nanah
Vindaa
: Terlihat 2 daerah jahitan, masing-masing ±
1cm
P : Pasien BLPL
Vindaa
Resiko PAGI Sabtu, 20 September 2014
Infeksi Sabtu, 20 September Jam 08.40 WIB
2014 S : Pasien mengeluhkan nyeri di tangan kiri
Jam 08.30 WIB berkurang
Memonitor tanda-
tanda vital O : Tanda-tanda vital
S : 36,4° C
RR : 21 x/menit
N : 84 x/menit
: Batasi pengunjung
Vindaa
Ganggua Sabtu, 20 September Sabtu, 20 September 2014
n pola 2014 Jam 08.45 WIB
tidur Jam 08.40 WIB S : Keluarga pasien mengatakan semalam
Melakukan pasien bisa tidur dengan nyenyak ± selama 5
pengkajian jam
kecukupan tidur : Pasien mengatakan semalam bisa tidur
P : Pasien BLPL
Vindaa
Nyeri Sabtu, 20 September Sabtu. 20 September 2014
akut 2014 Jam 10.10 WIB
Jam 10.00 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di daerah tangan
Injeksi obat kiri berkurang
ketorolac O : Ketorolac 30mg+aquades 2cc masuk per IV
P : Pasien pulang
Vindaa
Resiko Sabtu, 20 September Sabtu, 20 September 2014
Infeksi 2014 Jam 10.05 WIB
Jam 10.00 WIB S : Pasien mengatakan nyeri di tangan kiri
Melakukan injeksi sudah berkurang
cefotaxim dan aff O : Injeksi cefotaxim 1 gram masuk rute IV
infus
A : Masalah resiko infeksi sebagian teratasi
Vindaa
P : Pasien pulang
Vindaa
Hambata Sabtu, 20 September Sabtu, 20 September 2014
n 2014 Jam 13.20 WIB
mobilitas Jam 13.00 WIB S : Keluarga pasien mengatakan akan
fisik Mengajarkan pasien memastikan pasien tidak akan mengangkat
dan keluarga cara beban berat dan menggerakkan pergelangan
mengurangi odem, tangan kiri
cara menggunakan O : Keluarga pasien terlihat mengangguk
tripod dan merawat mengerti
luka post operasi
: Pasien terlihat mobilisasi duduk, berdiri
(hindari dari air,
dan kemudian berjalan dengan
mengubah posisi
tangan kiri, menggunakan tripod
melarang angkat
A : Masalah hambatan mobilitas fisik teratasi
berat, melarang
menggerakkan P : Pasien pulang
pergelangan tangan
kiri) Vindaa
Vindaa
BAB III
KESIMPULAN