Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
LESION
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epilepsi
Epilepsi sudah lama dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian selain
dari trauma atau tenggelam. Saat ini ditemukan bahwa penderita dengan epilepsi
memiliki kecenderungan yang meningkat untuk mengalami kematian mendadak
yang tidak dapat dijelaskan. Terminologi untuk mendefinisikan kematian
mendadak yang tidak diharapkan pada epilepsi telah distandarisasi pada tahun
1996 yaitu adanya kematian yang disaksikan atau tidak disaksikan dan bukan
karena tenggelam ataupun trauma yang terjadi secara mendadak dan tidak
diharapkan pada penderita epilepsi dengan atau tanpa adanya kejang dan tidak
termasuk adanya status epileptikus sebelumnya dimana hasil otopsi tidak
membuktikan adanya penyebab toksikologi ataupun anatomi sebagai penyebab
kematian.1,4 Kriteria lain yang dikembangkan oleh US Food and Drug
Administration (FDA) dan Burroughs-Wellcome untuk kematian mendadak
yang tidak diharapkan pada epilepsi dikeluarkan pada tahun 1993 dan kriteria ini
banyak dipakai pada penelitian, yaitu : penderita memiliki epilepsi yang
diartikan sebagai kejang berulang yang tidak diprovokasi, penderita meninggal
tidak diharapkan ketika masih dalam status kesehatan yang baik, kematian
terjadi mendadak yaitu dalam beberapa menit, kematian terjadi dalam keadaan
normal, tidak ada keadaan medis lain yang dapat dijadikan sebagai penyebab
kematian pada otopsi, dan kematian tidak langsung disebabkan oleh kejang atau
status epileptikus.5
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kejadian kematian
mendadak pada epilepsi. Menurut Nashef, Garner, Sander, Fish dan Shorvon
dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 ditemukan 26 kasus yang
diklasifikasikan sebagai kematian mendadak yang tidak diharapkan pada
epilepsi dari jumlah total 34 kasus. 26 kasus tersebut terdiri dari 14 pria dan 12
wanita. Dari 26 kasus ditemukan 11 kasus dengan epilepsi bangkitan umum, 10
kasus dengan bangkitan parsial dan lima kasus termasuk bangkitan yang tidak
tergolongkan dan dari 26 kasus tersebut tidak ditemukan riwayat keluarga
dengan kematian mendadak yang disebabkan oleh penyakit jantung non
iskemik.4 Hasil penelitian Lip dan Brodie, ditemukan 18 kematian dari 1000
penderita yang diteliti secara retrospektif dan hanya 3 kasus kematian yang
dilakukan pemeriksaan post mortem. Dari 18 kasus kematian tersebut didapatkan
12 kasus di antaranya merupakan kematian mendadak (7 kasus laki-laki, 5 kasus
perempuan, umur berkisar antara 22-68 tahun dengan rerata umur 32 tahun), dan
tujuh kasus merupakan di bawah umur 35 tahun. 6
Teori mekanisme terjadinya kematian mendadak yang tidak diharapkan
pada epilepsi difokuskan pada hipoventilasi dan adanya perubahan jantung yang
terjadi ketika atau segera setelah kejang.4 Patofisiologi yang mendasari
terjadinya kematian mendadak pada penderita epilepsi tidak diketahui namun
mekanismenya juga bisa dikarenakan aritmia jantung yang diperantarai autonom
saja atau kombinasi dengan edema paru neurogenik dan gagal jantung. Aritmia
jantung tersebut dikarenakan adanya pelepasan katekolamin secara berlebihan
6
dari medula kelenjar adrenal. Selain itu, aritmia jantung baik ketika periode
kejang atau di antara kejang menyebabkan gagal jantung akut dan hal ini
memberi peranan penting dalam mekanisme kematian mendadak yang tidak
diharapkan pada epilepsi. Pada beberapa penelitian disebutkan mekanisme lain
dikarenakan adanya aktivitas listrik pada amigdala yang memiliki hubungan
eferen melalui nuklei sentral ke pusat pengaturan jantung di medula.5
Beberapa faktor risiko terjadinya kematian antara lain umur dewasa
muda, kelompok pria, epilepsi awitan dini, pengendalian kejang yang tidak baik,
terapi obat multipel, riwayat bangkitan kejang umum tonik klonik, pengobatan
yang tidak adekuat / kadar antikonvulsan yang rendah pada pemeriksaan post
mortem, penggunaan alkohol berlebihan, kejang yang tidak disaksikan, dan
posisi tubuh.1
Tidak ada pemeriksaan post mortem diagnostik untuk kasus kematian
mendadak pada epilepsi. Diagnosis membutuhkan eksklusi penyebab lain yang
potensial menyebabkan kematian yang berhubungan dengan kejadian kematian.
Sehingga pemeriksaan post mortem termasuk toksikologi dan histologi
diperlukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit lain, intoksikasi, atau
trauma. Kematian bisa saja salah dikatakan akibat dari epilepsi ternyata ada
penyakit lain seperti perdarahan otak, atau overdosis obat. Penelitian juga
menunjukkan pemeriksaan neuropatologi otak dapat memberikan informasi
tambahan.7
Penelitian yang dilakukan Nashef, Garner, Sander, Fish dan Shorvon
juga menunjukkan bahwa kasus kematian mendadak yang tidak diharapkan pada
epilepsi dapat tidak disertai oleh penyebab anatomis ataupun toksikologi.
Walaupun pemeriksaan post mortem ditemukan edema pada organ terutama
paru, sekresi bronkial, atau aspirasi minor, hal-hal ini tidak cukup untuk
menyebabkan kematian. Perdarahan yang berupa petekie juga dikatakan tidak
spesifik yang terjadi pada hipoksia dan peningkatan tekanan vena sefalik,
dimana kedua hal ini ditemukan ketika terjadi kejang .4
Walaupun hasil otopsi gagal menunjukkan penyebab mendasar dari
kematian, namun beberapa hasil otopsi yang didapatkan pada organ penderita
dengan kasus ini pernah dilaporkan. Pada kebanyakan kasus anak-anak dan
dewasa ditemukan edema serebral pada pemeriksaan otak. Selain itu didapatkan
tanda-tanada hipoksia pada daerah hipokampus. Sklerosis pada amigdala juga
pernah didapatkan pada beberapa kasus. Pada pemeriksaan paru ditemukan
edema paru dengan cairan yang kaya protein dan hemoragik alveolar. Pada
jantung ditemukan adanya fibrosis dari sistem konduksi. Pada pemeriksaan
hepar didapatkan peningkatan dari berat organ tersebut dan adanya kongesti
vena yang mengindikasikan adanya gagal jantung kanan dan keadaan ini tampak
pada sebagian besar kasus. Semua temuan ini lebih sering ditemukan pada
penderita dengan kematian mendadak yang tidak diharapkan pada epilepsi
dibandingkan pada penderita lain dengan epilepsi.5
2.2 Perdarahan Sub Arakhnoid Spontan (Non Trauma)
Perdarahan sub arakhnoid spontan merupakan keadaan yang sangat berpotensi
mengancam jiwa. Penyebab dari perdarahan sub arakhnoid spontan ini sangat perlu
diketahui karena akan menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Perdarahan
subarakhnoid dapat menyebabkan kematian yang sangat cepat walaupun mekanismenya
masih belum jelas. Banyak kasus yang menunjukkan ketika orang yang sehat terlihat
kolaps dan kemudian meninggal.8 Menurut Milenkovic, Babic, dan Raadenkovic,
penyebab terbanyak dari perdarahan sub arakhnoid spontan adalah aneurisma (75%),
kemudian malformasi arteri-vena (5%), dan perdarahan sub arakhnoid yang tidak
diketahui sebabnya (4-27%). Rasio insiden berbasis populasi bervariasi antara 6,5
sampai 23,9 per 100.000 untuk semua kelompok umur, meningkat sebanding dengan
umur (rerata umur 50 tahun), kejadiannya lebih sering pada penderita lebih dari 35
tahun, dan lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria.9
Aneurisma serebral merupakan dilatasi fokal patologis dari pembuluh darah otak
yang berpotensi untuk ruptur. Aneurisma sakular, atau aneurisma berry, atau aneurisma
kongenital merupakan 90% dari seluruh kasus serebral aneurisma dan terletak pada
cabang utama dari arteri besar.10 Aneurisma berry merupakan kombinasi antara
hipertensi dan lemahnya dinding pembuluh darah. Bagian yang lemah atau tipis pada
pembuluh darah otak sangat rapuh terhadap peningkatan tekanan hidrostatik yang
disebabkan hipertensi dan akan melebar. Beberapa bagian pembuluh darah otak yang
lemah terutama daerah sirkulus Willis, dimana pembuluh darah kecil menghubungkan
pembuluh darah otak yang utama. Daerah ini sangat suseptibel untuk terjadi aneurisma
berry. Aneurisma berry dapat terbentuk batik pada sirkulasi anterior maupun sirkulasi
posterior otak. 11
Pada penelitian yang dilakukan oleh Freytad dengan rentang umur antara 14
sampai 77 tahun dan rerata 46 tahun, didapatkan 84% aneurisma berada di bagian
anterior sirkulus Willis dan 16 % di bagian posterior. 27% aneurisma pada arteri
serebral media, 25% di arteri karotis interna, 24% di arteri komunikans anterior, dan
10% pada arteri basilaris. Penderita dengan aneurisma di bagian posterior sirkulus
Willis atau di arteri karotis interna menunjukkan kecenderungan yang lebih besar (69-
79%) untuk mengalami kematian pada saat ruptur dibandingkan dengan arteri pada
daerah lain.12
Pada otopsi, diagnosis perdarahan subarakhnoid terbukti sendiri (self evident).
Biasanya perdarahan berasal dari sirkulus Willis, perdarahan yang paling tebal akan
melewati dasar otak, terutama sisterna basalis. Darah biasanya akan menyebar secara
lateral dan dapat menutupi seluruh permukaan hemisfer serebral, otak bagian belakang,
dan ke bawah menuju canalis spinalis. Perdarahan akan berwarna merah terang pada
perdarahan segar; apabila bertahan beberapa minggu akan berwarna kecoklatan karena
hemoglobin mengalami perubahan. Hemosiderin dapat dideteksi dengan pengecatan
Perl setelah sekitar tiga hari. Penentuan sumber perdarahan terkadang sulit. Aneurisma
tampak pada 85% kasus perdarahan sub arakhnoid spontan namun sisanya tidak
menunjukkan adanya aneurisma. Hal ini mungkin karena destruksi aneurisma kecil
ketika ruptur. Pencarian akan adanya aneurisma kecil pada otopsi mungkin sulit karena
adanya lapisan tebal dari bekuan darah yang terjebak antara selaput otak dan pembuluh
darah.8 Diseksi tumpul sebaiknya dilakukan, dengan menggunakan gagang scalpel atau
forsep. Darah sebaiknya dicuci menggunakan air yang mengalir.8,12 Injeksi air pada salah
satu ujung arteri vertebralis yang sudah dipotong, setelah mengikat atau menjepit secara
hati-hati pembuluh darah lainnya dan ujung arteri karotis, dapat dilakukan untuk
melihat dari mana air tersebut bocor atau keluar. Kebocoran tersebut mungkin multipel
karena adanya robekan tambahan ketika pengeluaran otak pada saat otopsi. Aneurisma
paling baik dicari pada sediaan otak segar, karena adanya fiksasi formalin dapat
menyebabkan bekuan darah menjadi lebih keras sehingga dapat menyebabkan robekan
pada pembuluh darah atau aneurisma ketika mengeluarkan bekuan darah tersebut.
Aneurisma biasanya ditemukan pada bifurkasi arteri serebral media dan arteri
komunikans posterior, di arteri serebral media pada fisura Sylvian, di arteri komunikans
anterior, atau dimana arteri komunikans posterior bergabung dengan pembuluh darah
serebral posterior. Aneurisma kadang terdapat pada bagian kortikal arteri dan mungkin
merupakan bagian yang terbenam dalam permukaan serebral, sehingga sulit untuk
dicari. Apabila pembengkakan (dimana dapat terjadi kolaps seluruhnya pada otopsi,
terutama ketika ruptur) tidak tampak pada pemeriksaan superfisial sirkulus Willis,
pembuluh darah sebaiknya diangkat perlahan menggunakan elevator tumpul sehingga
bagian dibawahnya dapat diinspeksi. Terkadang aneurisma yang terbenam dapat ruptur
terutama ke bagian korteks yang menyebabkan kesalahan menginterpretasikan lesi
tersebut dengan perdarahan intraserebral. Aneurisma berry sering multipel dan
bervariasi dalam ukurannya, mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter,
walaupun ukuran biasanya berkisar antara 3-8 milimeter.8.
Persentase kecil dari kasus perdarahan subarakhnoid non traumatik adalah
dikarenakan perdarahan dari malformasi arteri-vena. Kelainan ini merupakan adanya
jalinan dari arteri abnormal dengan vena yang dihubungkan oleh satu atau lebih fistula.
Jalinan ini tidak memiliki capillary bed dan arteri kecil memiliki lapisan otot yang
sangat kurang. Malformasi arteri-vena bervariasi dalam ukurannya mulai dari kecil
hingga besar, mulai dari yang terletak kortikal hingga lebih dalam. Lesi ini biasanya
terlihat pada permukaan otak, yang tampak sebagai desakan arteri-areri dan vena-vena
yang meluas ke substansia alba subkortikal. Malformasi arteri-vena yang dalam bisa
terdapat pada substansia alba, ganglia basalis, talamus, atau batang otak. Malformasi
arteri-vena paling banyak memperoleh aliran darah setidaknya dari satu cabang arteri
serebral media. Kemungkinan bisa terjadi perdarahan berat pada kelainan ini ke dalam
ruang subarakhnoid, ke dalam substansi otak yang tampak sebagai perdarahan
intraserebral masif. 12
Apapun penyebab dari perdarahan subarakhnoid spontan, ketika darah masuk ke
ruang subaraknoid, hal tersebut akan menyebabkan reaksi inflamasi ringan di dalam
meningen dan menginduksi terjadinya aseptik meningitis dimana secara klinis akan
terjadi demam dan meningismus dalam beberapa jam.12,13 Respon selular akan terjadi
dengan cepat yang dimulai dengan akumulasi kecil sel polimorfonuklear dan dalam 4-
16 jam terlihat reaksi polimorfonuklear yang lebih intensifdan limfosit mulai
berakumulasi di sekitar pembuluh darah. Setelah 16-32 jam, akan tampak sel
polimorfonuklear dan limfosit dalam jumlah yang besar. Reaksi sel mesotel yang
melapisi ruang subarakhnoid dan trabekula arakhnoid akan tampak 24 jam setelah
perdarahan subarakhnoid. Pemecahan eritrosit dapat dilihat mulai 16-32 jam setelah
perdarahan subarakhnoid. Pada hari ketiga, reaksi polimorfonuklear mencapai
puncaknya. Karena adanya peningkatan limfosit dan makrofag yang cepat, hanya
setengah dari jumlah sel PMN yang akan tampak. Granula hemosiderin dapat dilihat di
dalam makrofag. Dalam 7 hari, tidak ada lagi reaksi PMN. Pada saat tersebut, infiltrasi
limfosit akan lebih prominen, dengan makrofag dan hemosiderin. Beberapa sel darah
merah yang masih utuh dapat terlihat. Fibrosis pia mater akan tampak dalam 10 hari.
Pada beberapa keadaan fibrosis minimal pada pia mater dan arakhnoid merupakan
keadaan yang normal, misalnya pada umur tua, sehingga sulit untuk
menginterpretasikan adanya fibrosis minimal.12
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA