Você está na página 1de 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau
seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial,
rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta
orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang
epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang
terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal.
Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang
berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana dampak
epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul
adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana
penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang
lebih mendalam.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
1

meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman
epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya
dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah itu penyakit epilepsi?
2. Apakah yang menyebabkan penyakit epilepsi?
3. Bagaimana proses terjadinya penyakit epilepsi?
4. Apa saja tanda dan gejala penyakit epilepsi?
5. Bagaimana penanganan (pencegahan dan penanggulangan) penyakit epilepsi?
6. Bagaimana proses pengkajian pada pasien epilepsi?
7. Apa sajakah pemeriksaan penunjang/diagnostik untuk epilepsi?
8. Apa saja masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi?
9. Apa saja intervensi keperawatan yang dapat disusun untuk menangani masalah
keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi?
10. Bagaimana implementasi dari intervensi keperawatan dari epilepsi?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui, memahami dan mampu mengaplikasikan penanganan pasien
anak dengan masalah epilepsi menggunakan pendekatan proses keperawatan,
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi yang dihubungkan dengan konsep dasar medis penyakit.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetian penyakit epilepsi.
b. Untuk mengetahui penyebab penyakit epilepsi.
c. Untuk mengetahui proses terjadinya penyakit epilepsi.
d. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit epilepsi.
e. Untuk mengetahui penanganan (pencegahan dan penanggulangan) penyakit
epilepsi.
f. Untuk mengetahui proses pengkajian pada pasien epilepsi.
g. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang/diagnostik untuk epilepsi.
h. Untuk mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada pasien epilepsi.
i. Untuk mengetahui intervensi keperawatan yang dapat disusun untuk

menangani masalah keperawatan epilepsi.


j. Untuk mengetahui implementasi dan evaluasi dari proses keperawatan
epilepsi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR MEDIS EPILEPSI


1. Pengertian Epilepsi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua
kali kejang tanpa penyebab.
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel.
3

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala


yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi.
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan
listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik
dan laboratorik.
Epilepsy adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat
yang dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan
dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau
gerakan dan gangguan perilaku, alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga
epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala. Penyebab pasti dari epilepsy masih
belum diketahui (idiopatik) dan masih menjadi banyak spekulasi.
Status epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu
rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh diantara
serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik
kontinu yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran.
Keadaan ini dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis mayor.

2. Etiologi Epilepsi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama, ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut, dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak
pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi
menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak
4

etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik
dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu
12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang
adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu,
bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan
mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk
terjadinya bangkitan ulang. Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan
ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam
waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni
pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya
gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi
(malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya
kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan
(serotinus) mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan
ini berpotensi menjadi epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir
atau adanya gangguan pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak,
cedera karena benturan fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
Tabel 1. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th)
Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan

metabolik

(hipoglikemia,

hipokalsemia,

hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)


Malformasi kongenital
Anak (2- 12 th)

Gangguan genetic
Idiopatik
5

Infeksi akut
Trauma
Remaja (12- 18 th)

Kejang demam
Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol

Dewasa Muda (18- 35 th)

Malformasi anteriovena
Trauma
Alkoholisme

Dewasa lanjut (> 35)

Tumor otak
Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme

3. Patofisiologi Epilepsi
Faktor predisposisi:
Pascatrauma kelahiran, asfiksia neonaturum, pasca cedera kepala.
Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi
Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak.
Adanya riwayat keracunan, riwayat gangguan sirkulasi serebral.
Riwayat demam tinggi, riwayat gangguan metabolisme, dan nutrisi/gizi.
Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol.
Riwayat tumor otak, abses, kelainan bawaan, dan keturunan epilepsi.

Gangguan pada sistem listrik dari sel-sel saraf pusat pada suatu bagian otak.

Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan, secara


berulang dan tidak terkontrol
Periode pelepasan impuls yang tidak
diinginkan
Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa
perbaikan kesadaran penuh di antara
serangan.
Kebutuhan
Metabolik besar

Risiko tinggi
Bersihan jalan
nafas tidak
efektif
6

Status
epileptikus
Gangguan
pernafasan
Kerusakan Otak
permanen

Kejang parsial

Peka rangsang

Kejang berulang

Risiko tinggi
cedera

Hipoksia otak

Edema serebral

Kejang umum
Respon pascakejang
(posiktal)
Respon fisik:
Konvusi dan sulit
bangun
Keluhan sakit kepala
dan sakit otot

Gangguan perilaku, alam


perasaan, sensasi, dan persepsi

Risiko isolasi
sosial
Respon psikologis:
Ketakutan, Respon
penolakan, Penurunan
nafsu makan, Depresi,
Menarik diri

Nyeri
Ketakutan
Penurunan Otak merupakan pusat
akut penerima pesan (impuls sensorik)
sekaligus
Koping dan
individu
tidak
kesadaran
efektif
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
Kurang pengetahuan

neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas

listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neuron-neuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx
natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu
masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis
kimiawi

neuron

sehingga

terjadi

kelainan

depolarisasi

neuron.

Gangguan

keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik


atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan

berlebihan

neurotransmitter

aksitatorik

atau

deplesi

neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
8

karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh


berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
4. Klasifikasi Epilepsi
a. Epilepsi parsial
Dapat bermanifestasi dengan gejala-gejala dasar ataupun kompleks.
Epilepsi parsial dengan gejala-gejala dasar adalah yang mencangkup gejalagejala motorik atau sensorik. Pada epilepsi parsial sederhana, hanya satu jari
atau tangan yang bergetar, atau mulut dapat tersentak tak terkontrol. Individu
ini bicara yang tidak dapat dipahami, pusing, dan mengalami sinar, bunyi, ban,
atau rasa tidak umum atau tidak nyaman.
Epilepsi parsial yang kompleks melibatkan gangguan fungsional
serebral pada tingkat yang lebih tinggi, seperti proses ingatan dan proses
berpikir, individu tetap tidak bergerak atau bergerak secara otomatis tetapi
tidak tepat dengan waktu dan tempat, atau mengalami emosi yang berlebihan
yaitu takut, marah, kegirangan, atau peka rangsang. Fokus epileptik pada
epilepsi jenis ini sering kali pada lobus temporalis.
b. Kejang umum
Grandmal. Grandma adalah sejenis epilepsy yang paling sering dijumpai
pada anak. Menurut klasifikasi internasional grandma primer disebut sebagai
generalized seizures, bilateral symmetrical seizures without local onset, type
tonic clonic seizures. Pada jenis granmal primer, pasien tidak ingat atau tidak
tahu adanya serangan sejak semula. Sejak prmulaan serangan pasien telah
kehilangan kesadaran. Pada keadaan yang khas, serangan dimulai dengan
kejang tonik yang kemudian disusul oleh kejang klonik. . pada fase tonik,
badan pasien menjadi kaku dalam sikap opistotonus. Bila ia sedang berdiri
pada saat serangan, ia akan terjatuh seperti benda mati. Lengan dalam keadaan
sikap fleksi atau ekstensi, biasanya dalam sikap fleksi. Tungkai dalam sikap
ekstensi. Bila kejang tonik ini kuat udara dikeluarkan dengan kuat dari paru
9

melalui pita suara sehingga trdengar bunyi yang disebut jerit epilepsi
(epileptic cry). Fase tonik ini biasanya berlangsung 20-60 detik kemudian
disusul fase klonik. Selama fase tonik pasien menderita sianosis karena
pernapasan terhenti dan terdapat pula kongesti vena. Pada fase klonik terjadi
kejang umum yang melibatkan semua anggota gerak dan otot-otot pernapasan
serta otot rahang. Terjadilah gerak bernapas stertorus dan keluar busa dari
mulut. Lidah dapat tergigit saat kejang ini. Pasien dapat ngompol karena otot
sfingter kandung kemih ikut kontraksi.
Epilepsi jenis grandmal dapat berupa primer atau sekunder. Sekunder, berarti
sebelumnya pasien menderita jenis epilepsy lain. Bentuk grandmal merupakan
serangan yang terberat. Kejang fokal bila rangsangannya cukup kuat akan
menjadi bangkitan grandmal. Bila pasien terbaring pada permukaan yang
keras dan kasar, kejang klonik tersebut dapat mengakibatkan luka-luka;
gerakan kepala yang terantu-antuk dapat menyebabkan luka. Biasanya fase
klonik ini berlangsung sekitar 40 detik tetapi dapat juga lebih lama. Setelah
fase klonik, pasien terbaring dalam keadaan koma; pupil agak lebar dengan
reaksi cahaya yang lambat, refleks kornea negative, pasien tidak member
jawaban atas rangsangan nyeri dan didapatkan refleks patologik bilateral. Fase
koma biasanya berlangsung kira-kira 1 menit, setelah itu pasien tertidur yang
dapat berlangsung selama 2-3 jam. Jika pada saat tidur ini pasien dibangunkan
ia mengeluh sakit kepala dan ada yang tampak bengong dalam keadaan
disorientasi. Lama keadaan bengong berbeda-beda. Ada pasien yang segera
pulih setelah beberapa menit serangan selesai, yang lain sampai beberapa jam
atau hari. Sebagian besar mengeluh sakit kepala setelah serangan sampai satu
atau dua hari, dan berkurang setelah tidur. Pada serangan grandma terjadi
gangguan autonom, didapatkan peningkatan simpatis dengan pelepasan
epinefrin, yang menyebabkan terjadinya takikardia, peninggian tekanan darah,
midriasis. Produksi air liur bertambah dan bila ini disertai kesukaran bernapas
maka terlihat berbusa pada mulut pasien.
Bangkitan local atau bangkitan parsial baik yang sederhana maupun yang
kompleks dapat berkembang menjadi grandma bangkitan sekunder. Pada
grandma selalu didahului adanya aura yang dirasakan oleh pasien sebelum
serangan terjadi dan kesadaran menghilang. Bentuk aura dapat berbeda-beda
10

bergantung letak fokusnya; dapat berupa perasaan takut, halusinasi dari indra
pencium, pengecapan, penglihatan, merasa mual dan perut seperti naik,
merasa aneh di satu anggota gerak atau bagian dari badan dan sebagainya.
Pada grandma dapat pula dijumpai masa prodromal, yaitu beberapa jam atau
beberapa hari sebelumnya terdapat misalnya perubahan tingkah laku seperti
marah-marah, mudah tersinggung, selalu tegang dan sebagainya. Grandma
merupakan kejang umum yang terdiri dari fase tonik dan fase ronik. Pada
kejang umum jenis klonik pasien menjadi tidak sadar tanpa didahului oleh fase
tonik. Setelah fase klonik selesai pasien tertidur.
Petit mal. Petit mal disebut juga sebagai kejang detik). Pada seranga epilepsy
murni (typical absence) atau simple absence . Bangkitan berlangsung singkat
hanya beberapa detik (5-15 detik). Pada serangan epilepsy jenis petit mal yang
terlihat sebagai berikut:
1. Pasien tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan
(missalnya makan, membaca, berbicara, dan lain-lain)
2. Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini tidak bereaksi
bila diajak berbicara atau bila dipanggil karena ia tidak sadar.
3. Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan meneruskan lagi apa
yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi.
Pada serangtan petit mal selain terdapat kehilangan kesadaran dan melongo,
dapat juga dijumpai mata berkedip dengan frekuensi 3 kali perdetik.,. waktu
serangan terjadi (kesadaran menurun) pasien tidak jatuh hanya agk terhuyung.
Tidak didapatkan inkontinensia urine dan juga tidak terdapat aura. Dari segi
klinis dinyatakan sukar untuk membedakannya dengan jenis serangan lain
yang ditandai oleh menurunnya kesadaran tanpa adanya gerak kejang.
Kebanyakan pasien demikian merupakan pasien epilepsy lobus temporal.
Untuk menentukan diagnosis epilepsy jenis petit mal ini berdasarkan atas 2 hal
yaitu gambaran klinis serta rekaman EEgyang mengandung spike and
wavedengan frekuensi 3 kali per detik.
Petit mal merupakan jenis epilepsy yang jarang dijumpai. Bila ada biasanya
didapatkan pada anak setelah umur 3 tahun dan mulai pada umur 4-12 tahun.
Pada umur 20 tahun kira-kira 75% tidak mengalami seranagn lagi; tetapi 50 %
11

pasien petit mal berubah menjadi grandma. Pperubahan biasanya mulai pada
umur 10-13 tahun. Sebagian petit mal dapat berllanjut sampai dewasa walau
frekuensi serangan jauh berkurang. Frekuensi serangan epilepsy petit mal
bervariasi dari 2 atau 3 bulan sampai beberapa ratus kali dalam sehari. Bila
serangan banyak dalam satu hari keadaan mental dapat terganggu karena
frekuensi kesadaran menurun. Anak umumnya mengalami kesukaran dalam
menerima pelajaran. Prognosis baik bila serangan mulai pada usia muda,
dengan riwayat keluarga yang positif dengan intelegensi yang normal serta
tidak

dijumpai

adanya

deficit

neurologic

lainnya.

Livingston

dkk.

berkesimpulan bahwa walaupun petit mal sendiri mempunya prognosis yang


baik, tetapi pada kenyataannya muncul menjadi grandma sering. Mereka
berpendapat bahwa timbulnya serangan grandma dapat dikurangi/dicegah
secara bermakna bila diberikan pengobatan fenobarbital. Akan lebih berarti
bila bersama-sama dengan obat untuk petit mal seperti trimedion atau
etosuksimid. Jika petit mal mulai usia yang lebih lanjut misalnya setelah umur
10 tahun, kemungkinan mendapat epilepsy jenis lain lebih besar. Factor
keturunan mempunyai peranan besar pada petit mal.
Status petit mal. Bila serangan epilepsy terjadi bertutrut-turut atau beruntun,
dan serangan berikutnya telah mulai sebelum pasien pulih dari serangan
sebelumnya, hal ini disebut status epileptikus (bangkita epilepsy beruntun).
Diperkirakan 3% dari pasien petit mal pernah mengalami status petit mal
(serangan beruntun tanpa pulih lebih dahulu). Pada serangan status petis mal
ini pasien tidak memandang kosong tetapi dalam keadaan bengong, dalam
keadaan disorientasi. Kesadaran tidak menghilang hanya menurun dan
reaksinya lambat. Misalnya pasien ditanya dan diminta melakukan sesuatu,
jawabannya lamban dan reaksinya lamban dibanding biasanya. Jika disuruh
mengerjakan sesuatu banyak salah atau lupa. Status petit mal dapat
berlangsung sampai 24 jam atau lebih, tetapi pada umumnya hanya beberapa
menit. Bila telah diperiksa keadaan EEG dan ternyata petit mal dan diberikan
pengobatan umumnya baik.
Spasme infantile. Infantile spasme ditandai oleh serangan yang berbentuk
spasmus yang massif dari otot-otot badan. Didapatkan fleksi dari badan dan
anggota gerak bawah dengan abduksi serta fleksi dari lengan. Terdapat
12

gerakan kejutan dari otot fleksor ekstremitas dan kepala. Gerak kejut ini
berlangsung singkat tetapi dapat berulang beberapa kali berturu-turut. Kadang
kejutan ini disertai jeritan dari pasien sehingga orang tua mengura anaknay
kesakitan. Juga dapat terjadi kejutan otot ekstensor.
Banyak sebutan lain dari spasme infantile spasm ini diantaranya sindrom west,
infantile myoclonic encephalopathy, bangkitan salam (salam spells, salam
spasm)/. Menurut gambaran EEG-nya, jenis ini disebut epilepsy jenis
hipsaritmia. Bangkitan mulai umur 3 bulan sampai dua tahun. Dari
pengalaman dikemukakan oleh ibunya bahwa anaknya sering membuat
gerakan terkejut tanpa ada rangsangan. Ada yang menyangka sakit perut
karena sering tiba-tiba mengangkat (fleksi) tungkainya. Gerak kejut ini
umumnya terjadi pada waktu bangaun atau hendak tidur. Untuk memastikan
diagnosis akan lebih mudah setelah dilakukan EEG dan menunjukkan kelainan
yang khas, gelombang lambat bervoltase tinggi yang tidak teratur dengan
gelombang paku multifocal. Infantil spasm biasanya menunjukkan adanya
kerusakan yang luas dan difus di dalam otak yang dapat disebabkan
bermacam-macam penyebab, misalnya anoksia otak yang berat, hipoglikemia,
tuberous sclerosis, penyakit-penyakit metabolic, degenerative atau cacat
anatomic pada otak. Sering pula bayi mempunyai riwayat kelahiran dan
prenatal yang patologis. Prognosis pasien spasme infantilsuram terutama di
bidang mental. GIBBS dkk. Mendapatlkan 87% pasien ini menderita retardasi
mental.

Didapatkan

kecenderungan

bahwa

serangan

akan

mengurang/menghilang bila bayi bertambah besar; juga gambaran EEG akan


berubah.
Sinkop. Pasien dengan sinkop biasanya mengalami gejala-gejala seperti
berikut sebelum ia kehilangan kesadaran: merasa badannya dingin atau panas
dan berkeringat dingin; telinga berdengung; pandangan kabur atau benda yang
dilihatnya tampak hitam. Ia merasa pusing. Jarang sekali pasien jatuh pingsan
tanpa didahului oleh aura. Bila pingsan terjadi tanpa gejala-gejala pendahuluan
diagnosis sinkop harus diragukan. Dari orang lain yang melihatnya dapat
mengatakan bahwa sebelum pasien jatuh pasien tampak pucat dan lemas.
Sesekali terlihat bila ambang kejangnya terlampaui oleh hipoksia otak, ada
gerak kejang pada tungkai atau lengan. Setelah beberapa detik serangan pasien
13

pulih kembali tapi sering tampak bengong untuk beberapa saat dan merasa
capai. Serangan sinkop hamper selalu terjadi ketika pasien dalam sikap berdiri
atau tegak. Factor pencetus dapat bermacam-macam misalnya lama berdiri
(ketika mengikuti upacara) , melihat darah, rasa nyeri (takut suntikan),
keadaan sedih (melihat salah satu orang tuanya meninggal) dan sebagainya.
Sinkop adalah menghilangnya kesadaran sepintas yang disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah ke otak. Sebelum kesadaran menghilang di
dapatkan gejala pendahuluan berupa rasa lemah, penglihatan gelap, keringat
dingin, rasa tidak enak di perut, dan pucat. Penyebab sinkop bermacammacam. Tiap kelainan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak
secara mendadak dapat mengakibatkan terjadinya sinkop. Penyebab yang
sering ialah refleks vascular yang abnormal, kegagalan refleks simpatis dan
penyakit jantung . sinkop, apapun penyebabnya selalu disertai penurunan
tekanan darah yang hebat ( sampai nol atau sangat rendah). Dalam hal
demikian mekanisme autoregulasi pembuluh darah di otak tidak dapat bekerja
secara efektif dan mengakibatkan terhentinya atau berkurangnya aliran darah
ke otak.
Jenis sinkop yang sering ditemukan ialah sinkop vasovagal dan sinkop
postural (hipotensi ortostatik). Ada dua komponen yang berperan dalam
sinkop vasovagal, yaitu melambatnya denyut jantung karena pengaruh vagus
dan adanya vasodilatasi di otot rangka, organ internal dan pembuluh darah
splanchnik. Tetapi yang paling utama pengaruh vasodilatasi, berkurangnya
tahanan di pembuluh darah perifert terutama di otot rangka.
Hapotensi ortoststik dapat menyebabkan sinkop jika tekanan darah turun
banyak. Berdiri lama(waktu upacara); bangun dari tempat tidur setelah lama
berbaribg karena suatu penyakit juga dapat menyebabkan sinkop. Untuk
membedakan sinkop dan epile[psi dapat dengan melakukan anamnesis dan
aloanamnesis yang baik. Selain itu, serangan epilepsy dapat terjadi pada setiap
sikap badan, sedangkan sinkop hanya pada waktu sikap tegak (umumnya).
Pada sinkop tekanan darah rendah; pada epilepsy tekanan darah naik/normal.
Selain sinkop masih ada beberapa kelainan yang sering menyebabkan
gangguan kesadaran/ menghilangnya kesadaran sebentar diantaranya ialah:
14

1. Serangan napas-terhenti-sepintas (serangan apnea sepintas),


2. Serangan jantung-terhenti-sepintas,
3. Gangguan tidur,
4. Migren. Kelainan ini sering disalah artikan sebagai epilepsy jenis lobus
temporal. Migren merupakan gejala yang ditandai oleh nyeri kepala vascular
yang berulang, biasanya unilateral disertai mual, anoreksia, dapat pula disertai
gangguan sensorik, motorik, psikik dan sering ditemukan factor hereditas.
Pada pasien migren umumnya keluhan lain seperti: mual, muntan, tidak enak
diperut. Pada anak gambaran migren dapat bermacam-macam. Contoh,
seorang anak berumur 8 tahun sedang bermain; ia berhenti bermain, tampak
pucat. Ia mengeluh sakit kepala,merasa tak enak diperut, kadang-kadang
disertai nausea; setelah ia tidur, anak merasa sehat kembali dan dapat bermain
lagi. Pada anak yang lebih muda, gejala migren tidak mengeluh adanya sakit
kepala tetapi sakit perut lebih menonjol kadang disertai muntah. Serangan
biasanya mendadak tanpa pencetus, anak tampak sakit, pucat. Bila anak sering
mendapatkan serangan demikian p[erlu dicari kemungkinan lain secara
migren. Rekaman EEG biasanyaerbagai jenis epilepsy. normal. Aura pada
migren berlangsung lebih lama daripada epilepsy. Biasanya pada keluarga
terdapat juga riwayat migren.
Diketahui ada berbagai jenis epilepsi. Secara garis besar pasien epilepsi selalu
mengalami kejang dan kejang tersebut dapat dibagi menjadi kejang fokal
(parsial) dan kejang umum. Dengan melihat sendiri pada saat serangan/ kejang
dan anamnesis kepada keluarga, agaknya dugaan bahwa anak menderita
epilepsy lebih mudah. Pertolongan pada saat kejang sama dengan pasien
kejang lainnya, selanjutnya diperlukan pemeriksaan laboratorim dan lainnya.
5. Manifestasi Klinis
Kejang parsial dapat berkaitan dengan:

Gerakan wajah atau menyeringai


Sentakan yang dimulai disalah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar
Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara
Kesemutan
Perubahan tingkat kesadaran
15

Kejang umum dapat berkaitan dengan :

Ketidaksadaran, biasanya ditandai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-

kanak tidak ada kejang


Refleks pada lengan dan tungkai yang tidak terkontrol
Periode apnea yang singkat (henti nafas)
Salivasi dan mulut berbusa
Menggigit lidah
Inkontinensia
Stadium postictal berupa stupor atau koma diikuti oleh kebingungan, sakit

kepala dan keletihan


Prodroma dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodroma adalah perasaan
atau gejala tertentu yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam

atau beberapa hari


Aura dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik
tertentu yang sering atau selalu timbul sesaat menjelang kejang

6. Komplikasi
Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat terjadi setelah

kejang yang berulang


Depresi dan ansietas dapat terjadi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, isolaso
social jangkau panjang dapat terjadi

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika
penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia),
perbaikan gangguan metabolisme ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan
itu. Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah
serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin
(difenilhidantoin), karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan
pasien dapat dikontrol dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
a. Selama Kejang
1) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
2) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.

16

3) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping


untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
4) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi
jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
5) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda-tanda awal munculnya epilepsi
atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh
seperti perasaan bingung, melayang-layang, tidak fokus pada aktivitas,
mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika
Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan
aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat
atau tidur.
6) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
b. Setelah Kejang
1) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
2) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
3) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
4) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
5) Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
6) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
7) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
8) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
Pencegahan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah.
Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan
pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia
dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat
17

anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian
dari rencana pencegahan ini.
Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan
masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping
yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit
kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama
pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan
selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5 tahun.
Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan
pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan

terhadap

anak

kejang

akan

berpengaruh

terhadap

kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan


penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental
di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur
hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama
pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine,
fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan
sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis
pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun
penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus
ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak
mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.
Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan
mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka
voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan
neurotransmitter.
18

Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin

dapat

menghambat

saluran

Na .

Karbamazepin

dapat

memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam


membran sinaptik.
Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan
anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara
mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular,
fenobarbital

memperpanjang

potensial

penghambat

postsinaptik,

bukan

penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl - dan


menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin
dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh
Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan
cara memblokade saluran Ca peka voltase.
Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABAtransaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua
pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase. VPA bekerja pada saluran Na peka
voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron.
Gabapentin (GBP)
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka
voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.
Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.
Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek
jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin,
primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan
fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat,
misalnya frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan
19

neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan


hiperandrogenisme.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EPILEPSI
1. Pengkajian
Dasar Data Pengkajian Pasien
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala:

Keletihan, kelemahan umum.


Keterbatasan dalam beraktivitas/ bekerja yang dittimbulkan oleh diri
sendiri/ terdekat pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.

Tanda:

Perubahan tonus/kekuatan otot.


Gerakan involunter/kontraksi otot ataupun sekelompok otot.

SIRKULASI
Gejala:

Iktal: Hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.


Posiktal: Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernapasan.

INTEGRITAS EGO
Gejala:

Stensor eksternal/internal

yang berhubungan dengan keadaan

dan/atau penanganan.
Peka

rangsang;

perasaan

tidan

ada

harapan/tidak

berdaya.

Perubahan dalam berhubungan


Tanda:

Pelebaran rentang respon emosional.

ELIMINASI
Gejala:

Inkontinensia episodik.

Tanda:

Iktial: Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus stingfer.


Posiktal: Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik
urine/fekal).

MAKANAN/CAIRAN
Gejala:

Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan


dengan aktivitas kejang.

Tanda:

Kerusakan jaringan lunak/gigi (cedera selama kejang).


Hiperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka
panjang).

NEUROSENSORI
20

Gejala:

Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing.


Riwayat trauna kepala, anoreksia, dan infeksi serebral.
Posiktal: Kelemahan, nyeri otot, area parestase/paralisis.

NYERI/KENYAMANAN
Gejala:

Sakit kepala, nyeri otot/punggung pada periode posikal.


Nyeri abnormal paroksimal selama fase iktal (mungkin terjadi selama
kejang fokal/parsial tanpa mengalami penurunan kesadaran).

Tanda:

Sikap/tingkah laku yang berhati-hati.


Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi/gelisah.

PERNAPASAN
Gejala:

Fase iktal: Gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun/cepat;


peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal: Apnea.

KEAMANAN
Gejala:

Riwayat terjatuh/trauma, fraktur.


Adanya alergi

Tanda:

Trauma pada jaringan lunak/ekimosis.


Penurunan kekuatan/tonus otot secara menyeluruh.

INTERAKSI SOSIAL
Gejala:

Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau


lingkungan sosialnya.
Pembatasan/penghindaran terhadap kontak sosial.

Pemeriksaan Diagnostik Kejang

Elektrolit : Tidak seimbang dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi

pada aktivitas kejang.


Glukosa : Hipoglikemia dapat menjadi presipitasi (pencetus) kejang.
Ureum/kreatinin : Meningkat dapat meningkatkan risiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrotoksik yang

berhubungan dengan pengobatan.


Sel Darah Merah (SDM) : Anemia aplastik mungkin sebagai akibat dari
terapi obat.

21

Kadar obat pada serum : Untuk membuktikan batas obat antiepilepsi yang

terapeutik.
Pungsi lumbal (PL) : Untuk mendeteksi tekanan abnormal dari CSS, tandatanda infeksi, perdarahan (hemoragik sub arakhnoid, subdural) sebagai

penyebab kejang tersebut.


Foto ronsen kepala : Untuk mengidentifikasi adanya SOL, fraktur.
Elektroensefalogram (EEG) : Melokalisasi daerah serebral yang tidak
berfungsi dengan baik , mengukur aktivitas otak. Gelombang otak untuk
menentukan karakteristik dari gelombang pada masing-masing tipe dari

aktivitas kejang.
Pemantauan video-EEG, 24 jam : Dapat mengidentifikasikan fokus kejang

secara tepat.
Skan CT : mengidentifikasi letak lesi serebral, infark, hematoma, edema

serebral, trauma, abses, tumor, dan dapat dilakukan dengan/tanpa kontras.


Positron Emission Tomography (PET): Mendemonstrasikan perubahan

metabolik, misalnya penurunan metabolisme glukosa pada sisi lesi.


MRI : Melokalisasi lesi-lesi lokal.
Magnetoensefalogram : Memetakan impuls/potensial listrik otak pada pola

pembebasan yang abnormal.


Wada : Menentukan hemisfer dominan (dilakukan sebagai evaluasi awal
dari pra operasi lobektomi temporal)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Cappernito:
1. Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan
dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan
pada inervasi otot
2. Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut
merasa malu sekunder terhadap mengalami kejang di masyarakat
3. Risiko Tinggi Inefektif Penatalaksanaan Program Terapeutik yang
berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, obat,
perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber komunitas
Diagnosa Keperawatan menurut Doengus:
1. Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas
berhubungan dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot
pernafasan.
2. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial.
22

3. Harga diri/ identitas pribadi, gangguan berhubungan dengan sigma


berkenaan dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi
pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Diagnosa Keperawatan menurut Arif Muttaqin:
1) Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang berulang,
ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta
penurunan tingkat kesadaran.
2) Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca
kejang (postikal).
3) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas
bangun sekunderrespons pasca kejang (postikal).
4) Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5) Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat
apilepsi.
3. Intervensi
Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan dengan
relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan inervasi otot
Kriteria Pengkajian Fokus
Makna Klinis
1. Riwayat aktivitas kejang
Gerakan tonik/klonik selama kejang dapat
2. Status pernapasan selama aktivitas
menyebabkan lidah turun ke belakang dan
kejang
mnghambat jalan nafas.

Intervensi
Rasional
1. Selama kejang, lakukan hal berikut :
1. Tindakan ini dapat membantu
a. Berikan privasi, bila mungkin
menurunkan cedera dan rasa malu.
b. Baringkan klien di lantai, bila
mungkin
c. Setelah kejang, baringkan klien
pada posisi miring
d. Kendurkan pakaian

disekitar

leher
e. Bila tidak memungkinkan utuk
membaringkan

klien

dalam

posisi miring, angkat dagunya ke


23

atas dan ke depan dengan kepala


mendongak ke belakang untuk
membantu membuka jalan nafas
2. Observasi
kejang
dan
dokumentasikan karakteristiknya :
a. Awitan dan durasi
b. Kejadian
pra
kejang
(mis.,penglihatan, pendengaran,

2. Informasi ini memberi petunjuk


pada lokasi focus epileptogenik pada
otak

dan

bermanfaat

dalam

mengambil tindakan

penciuman atau rangsang takut)


c. Bagian tubuh dimana kejang
mulai, gerakan awal
d. Mata : terbuka dan terpejam,
ukuran pupil
e. Bagian tubuh yang terlibat, tipe
gerakan
f. Aktivitas
(mis.,

motorik

mengecap

involunter
bibir

atau

menelan berulang kali)


g. Inkontinensia (fekal atau urine)
h. Penurunan kesadaran
i. Paska
kejang:
kemampuan
bicara,

tidur,

bingung,

kelemahan, paralisis
3. Bila klien mengeluh aura, anjurkan

3. Posisi rekumben dapat mencegah

dia berbaring
4. Ajarkan anggota keluarga atau orang

cedera karena jauh


4. Orang lain dapat diajarkan tindakan

terdekat cara berespon pada klien

untuk mencegah obstruksi jalan

selama kejang

nafas dan cedera

Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut akan rasa malu
sekunder terhadap mengalami kejang di banyak orang
Kriteria Pengkajian Fokus
1. Pola sosialisasi biasanya :
a. Hobi
b. Minat pada orang lain
c. Gereja
d. Tengga
e. Sekolah
2. Masalah

berkenaan

Makna Klinis
1. Klien berisiko tinggi harus dikaji
dengan cermat, karena penderitaan
yang berkaitan dengan isolasi social
tidak selalu cepat tampak.
dengan

2. Perasaan penolakan dan malu adalah


24

sosialisasi

umum

Intervensi
Rasional
1. Bantu klien mengenali kebutuhan
1. Klien yang cenderung kejang dapat
sosialisasi

memisahkan

diri

dari

keluarga,

validasi

teman, dan kontak social lain


2. Perawat harus sensitive terhadap

bahwa masalah yang dia hadapi

dampak kejang pada citra tubuh

adlah normal

klien, menghasilkan konsep diri, dan

2. Berikan

3. Bantu

dukungan

klien

dan

mengidentifikasi

minat aktivitas social


3. Rasa takut akan cedera

aktivitas yang menyebabkan dan


tidak berbahaya
4. Tekankan pentingnya

mematuhi

dapat

menimbulkan isolasi
4. Kepatuhan

pada

regimen

pengobatan

dapat

membantu

rencana pengobatan

mencegah atau mengurangi episode


5. Diskusikan pengungkapan diagnosis

kejang
5. Dialog terbuka dengan orang lain

dengan anggota keluaraga, teman,

dapat

teman kerja dan kontak sosial

terlebih

memberitahukan
dahulu

mereka
tentang

kemungkinan kejang, yang dapat


mengurangi
menyakitkan

keterkejutan
kejang

dan

6. Diskusikan situasi dimana klien

memungkinkan membantu tindakan


6. Dengan berbagi pada orang lain

dapat menemui orang lain pada

dengan situasi yang serupa dapat

situasi serupa:
1. Kelompok pendukung
2. Yayasan Epilepsi

memberi klien pandangan yang


lebih realistik tentang gangguan
kejang dan persepsi social

Risiko Tinggi terhadap Inefektif Penatalaksaan Regimen Terapeutik yang berhubungan


dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, medikasi, perawatan selama kejang,
bahaya lingkungan, dan sumber-sumber komunikasi
Kriteria Pengkajian Fokus
Makna Klinis
1. Pengetahuan saat ini tentang kejang
25

dan penatalaksanaannya
2. Factor penunjang meliputi hal berikut:
a. ansietas
b. diagnosis baru
c. kekurangan instruksi sebelumnya
3. Sumber-sumber
(mis.,
keluarga,

Pengkajian membantu mengidentifikasi


setisp factor yang dapat mempengaruhi
belajar.klien atau keluarga yang tidak
mencapai

tujuan

pembelajaran

memerlukan rujukan untuk bantuan paska


keuangan dan komunitas)
4. Sikap, perasaan dan masalah yang pulang.
berhubungan
5.

dengan

gangguan

kejang
kesiapan dan kemampuan belajar

Intervensi
Rasional
1. Ajarkan tentang gangguan kejang dan 1. Pengertian klien dan keluarga tentang
pengobatan, perbaiki miskonsepi

gangguan kejang dan regimen pengobatan


yang

diharuskan

sangat

mempengaruhi

kepatuhan terhadap regimen.


2. Bila klien sedang dalam terapi obat ajarkan 2. Kewaspadaan khusus harus ditekankan
informasi berikut :

untuk menjamin terapi obat yang aman,

a) Jangan menghentikan obat tiba-tiba


efektif
b) Efek samping dan tanda toksisitas
a) Penghentian
tiba-tiba
dapat
c) Pentingnya untuk memantau kadar
mencetuskan status epileptikus.
obat dalam darah.
b) Identifikasi dini terhadap masalah
d) Pentingnya
untuk
melakukan
memungkinkan intervensi segera
pemeriksaan. Hitung darah lengkap
untuk mencegah komplikasi serius.
secara periodik, bila diindikasikan.
c) Kadar obat dalam darah memandu
e) Efek difenilhidantoin (dilantin), bila
penyesuaian dosis obat.
diperintahkan, pada jaringan gusi dan
d) Penggunaan anti konvulsif jangka
kebutuhan pemeriksaan gigi rutin.
panjang, seperti hidantoin (mis ;
fenitoin

[Dilantin])

dapat

menyebabkan diskrasias darah.


e) Terapi fenitoin jangka panjang dapat
menyebabkan hyperplasia gusi
3. berikan informasi tentang situasi yang 3. situasi tertentu telah teridentifikasi sebagai
meningkatkan risiko kejang :
a) Minum alcohol

peningkat

epidose

kejang,

meskipun

mekanisme actual dibelakang situasi tersebut


26

b)
c)
d)
e)

Masukan kafein berlebihan


tidak diketahui
Keletihan/stress berlebihan
Penyakit demam
Penyesuaian layar televise kurang

baik
f) Tingkat aktivitas menonton
4. Bahas mengapa aktivitas tertentu yang 4. Umumnya, klien yang cenderung kejang
berbahaya dan harus dihindari :

harus menghindari aktivitas yang dapat

a) Berenang sendiri
menyebabkan klien atau situasi orang lain
b) Mengendarai (kecuali bebas kejang
pada situasi berbahaya bila terjadi kejang.
selama 1 sampai 3 tahun bergantung
status )
c) Mengoperasikan mesin yang potensial
berbahaya
d) Mendaki gunung
e) Pekerjaan dimana

klien

dapat

mengalami cedera atau menyebabkan


orang lain cedera
5. Berikan kesempatan pada klien dan orang 5. menyaksikan kejang adalah menakutkan
terdekat untuk mendekspresikan perasaan untuk orang lain dan memalukan bagi klien
mereka sendiri dan saling mengekspresikan.

yang rentan terhadap kejang. Rasa malu dan


memalukan ini mempunyai dampak terhadap
ansietas, depresi, bermusuhan, dan takut.
Anggota keluarga juga dapat mengalami
perasaan

ini.

Diskusi

terbuka

dapat

mengurangi perasaan malu dan isolasi.


6. Rujuk klien dan keluarga pada sumber 6. sumber ini dapat memberikan informasi
komunitas

dan

bahan

bacaan

untuk tambahan dan dukungan.

membantu penatalaksaan (mis ; Yayasan


epilepsy, rehabilitasi okupasi )

DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan


27

penghentian nafas berhubungan dengan kejang dan kelemahan progresif cepat otot-otot
pernafasan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
a. Klien mengungkapkan pemahaman faktor yang menunjang kemungkinan trauma,
dan/atau penghentian pernafasan dan mengambil langkah untuk memperbaiki situasi.
b. Klien mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor
risiko dan melindungi diri dari cedera.
c. Klien mampu mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.
d. Klien membantu klien untuk mempertahankan aturan pengobatan untuk
mengontrol/menghilangkan aktivitas kejang.
Intervensi
Gali bersama-sama

klien

dan

Rasionalisasi
orang Kejang demam terjadi ketika demam

tua/keluarga berbagai stimulasi yang menjadi

menyebabkan perubahan beda potensial sel

pencetus demam.

neuron

yang

menyebabkan

pelepasan

muatan listrik yang besar. Jadi, pengkajian


difokuskan pada area penyebab demam.
Pertahankan bantalan lunak pada penghalang Mengurangi

trauma

saat

kejang

tempat tidur yang terpasang dengan posisi (sering/umum) terjadi selama pasien di
tempat tidur rendah
Evaluasi

kebutuhan

perlindungan pada kepala.

tempat tidur.
untuk/

berikan Penggunaan
memberikan

penutup

kepala

perlindungan

dapat
tambahan

terhadap seseorang yang mengalami kejang


terus-menerus/kejang berat.
Kaji suhu menggunakan termometer dengan Menurunkan risiko pasien menggigit atau
bahan metal atau ukur suhu melalui lubang menghancurkan termometer yang terbuat
telinga jika perlu.

dari kaca atau kemungkinan mengalami


trauma jika terjadi aktivitas kejang.

28

Pertahankan tirah baring secara ketat jika Pasien mungkin tidak dapat beristirahat
pasien mengalami tanfa-tanda timbulnya fase /perlu untuk bergerak atau melepaskan diri
prodromal/aura. Jelaskan pentingnya tindakan dari suatu keadaan selama fase aura, namun
ini pada klien/orang tua/keluarga.

bergerak dengan mempedulikan diri dari


keamanan

lingkungan

dan

mudah

diobservasi. Pemahaman kepentingan untuk


mempertimbangkan

tentang

pentingnya

kebutuhan keamanan diri sendiri dapat


menambah

keikutsertaan

(kerja

sama)

pasien.
Minta orang tua/keluarga klien untuk tetap Meningkatkan keamanan klien.
tinggal bersama klien dalam waktu beberapa
lama selama/setelah kejang.
Masukkan jalan nafas buatan seperti plastik Menurunkan risiko terjadinya trauma mulut
atau biarkan klien menggigit sesuatu yang tetapi tidak boleh dipaksa atau masukkan
lunak

antara

gigi

(jika

rahang

sedang ketika gigi-gigi sedang mengatup kuat

relaksasi). Miringkan kepala ke salah satu karena kerusakan pada gigi jaringan lunak
sisi/lakukan penghisapan pada jalan nafas dapat
sesuai indikasi

terjadi.

Juga

membantu

mempertahankan jalan nafas. Catatan :


Spatel lidah dari kayu tidak boleh digunakan
karena mungkin bisa rusak atau terpelintir
pada mulut klien.

Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang Mengarahkan ekstremitas dengan hati-hati
empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada menurunkan risiko trauma secara fisik ketika
lantai jika keluar dari tempat tidur. Jangan klien kehilangan kontrol terhadap otot
melakukan restrein.

volunter. Catatan : jika dilakukan restrein


pada klien yang mengalami kejang, gerakan
kaku dapat meningkat dan klien dapat
mengalami trauma oleh diri sendiri atau
orang lain.

Catat tipe dari aktivitas kejang (seperti lokasi/ Membantu untuk melokalisasi daerah otak

29

lamanya aktivitas motorik, hilang/penurunan yang terkena.


kesadaran, inkontinensia, dll) dan berapa kali
terjadi (frekuensi/kambuhannya).
Lakukan penilaian neurologis/TTV setelah Mencatat

keadaan posiktal

dan waktu

kejang, misal: tingkat kesadaran, orientasi, penyembuhan pada keadaan normal.


TD, nadi dan pernafasan.
Orientasikan

kembali

kepada

orang Untuk

menghilangkan

ansietas.

Orang

tua/keluarga klien terhadap aktivitas kejang tua/keluarga mungkin bingung dan cemas.
yang dialami anaknya.

Klien mungkin mengalami amnesia setelah


kejang dan memerlukan bantuan untuk dapat
mengontrol lagi.

Observasi munculnya tanda-tanda atau gejala Hal ini merupakan keadaan darurat yang
status epileptikus, seperti kejang tonik-klonik mengancam hidup yang dapat menyebabkan
setelah jenis yang lain muncul dengan cepat henti
dan cukup meyakinkan.

nafas,

hipoksia

berat,

dan/atau

kerusakan pada otak dan sel saraf. Intervensi


yang

segera

dibutuhkan

untuk

mengendalikan aktivitas kejang.


Diskusikan

adanya

tanda-tanda

serangan Memberikan kesempatan orang tua/keluarga

kejang (jika memungkinkan) dan pola kejang klien untuk melindungi klien dari trauma
yang biasa dialami klien. Ajarkan orang dan

mengenali

perubahan

yang

perlu

terdekat klien untuk mengenali tanda-tanda disampaikan pada dokter/pada intervensi


awal dari kejang tersebut dan bagaimana selanjutnya. Mengetahui apa yang harus
merawat klien selama dan setelah serangan dilakukan
kejang.

mencegah

saat

kejang

terjadi

trauma/komplikasi

dapat
dan

menurunkan perasaan tak berdaya dari orang


terdekat.
Berikan obat sesuai indikasi:
Obat

antiepilepsi

(Dilatin),
karbamazepin

meliputi

pirimidon
(Tegretol),

fenitoin Obat antiepilepsi meningkatkan ambang

(Mysoline), kejang dengan menstabilkan membran sel


klonazepam saraf, yang menurunkan eksitasi neuron
30

(Klonopin), asam valproat (Depakote).

melalui aktivitas langsung pada sistem


limbik, talamus, dan hipotalamus. Tujuannya
adalah untuk mengoptimalkan penekanan
terhadap aktivitas kejang dengan dosis obatobat yang rendah dan dengan efek samping
yang minimal.

Fenobarbital (Luminal)

Meningkatkan efek dari obat antiepilepsi


dan memungkinkan untuk memberikan dosis
lebih

rendah

untuk

menurunkan

efek

sampingnya.
Diazepam (Valium)

Dapat digunakan tersendiri (atau dalam


kombinasi dengan fenobarbital) sebagai obat
pilihan pertama untuk menekan status
kejang.

Glukosa, tiamin

Dapat diberikan untuk mempertahankan


keseimbangan
tersebut

metabolisme

jika

kejang

ditimbulkan oleh hipoglikemia/

alkohol.
Pantau/catat kadar obat antiepilepsi, yang Kadar terapeutik standar mungkin tidak
berhubungan dengan efek samping dan optimal pada klien individual jika terjadi
frekuensi dari aktivitas kejang yang terjadi.

efek

samping

yang

merugikan

atau

kejangnya tidak terkontrol.


Pantau kadar sel darah, elektrolit dan glukosa

Mengidentifikasi

faktor-faktor

yang

memperberat/menurunkan ambang kejang.


Siapkan

untuk

pembedahan/elektrolit Stimulator

pengganti sesuai indikasi.

saraf

vegal,

terapi

dengan

pemancaran magnetik, atau intervensi bedah


lainnya (seperti; lubektomi temporal) dapat
dilakukan untuk kejang yang tidak dapat
diobati atau melokalisasi dengan akurat lesi
epileptogenik ketika klien tidak mengatasi
dan adanya risiko yang amat tinggi terhadap

31

munculnya trauma yang serius.

DIAGNOSA KEPERAWATAN : Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas


tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial,
dan kerusakan persepsi/kognitif.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
Mampu mempertahankan pola pernafasan efektif dengan jalan nafas paten/aspirasi dicegah.
Intervensi
Rasionalisasi
Lakukan penilaian neurologis/TTV setelah Untuk mengetahui

gambaran

status

kejang, misal: tingkat kesadaran, orientasi,

fungsional kesehatan klien, sehingga dapat

TD, nadi dan pernafasan.

mengantisipasi keadaan klien.

Ajarkan orang tua/keluarga klien untuk

Menurunkan risiko aspirasi atau masuknya

mengosongkan mulut dari benda/zat tertentu

sesuatu yang asing ke faring.

jika fase aura terjadi dan untuk menghindari


rangang mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
Letakkan klien pada posisi miring, permukaan Meningkatkan

aliran

(drainase)

sekret,

datar, miringkan kepala selama serangan mencegah lidah jatuh dan menyumbat jalan
kejang.

nafas.

Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada Untuk


dan abdomen.

usaha

bernafas/

ekspansi dada.

Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau Jika


gulungan benda lunak sesuai dengan indikasi.

memfasilitasi

memasukkannya

diawal

untuk

membuka rahang, alat ini dapat mencegah


tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat
penghisapan lendir atau memberi sokongan
pernafasan jika diperlukan. Jalan nafas
buatan

mungkin

meredanya
tersebut

diindikasikan

aktivitas

tidak

sadar

kejang
dan

setelah

jika

klien

tidak

dapat
32

mempertahankan posisi lidah yang aman.

Lakukan penghisapan sesuai indikasi

Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia.

Berikan tambahan oksigen atau ventilasi Dapat


manual sesuai kebutuhan pada fase posiktal.

menurunkan

hipoksia

serebral

sebagian akibat dari sirkulasi yang menurun


atau oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang. Catatan :
ventilasi buatan selama serangan kejang
umum dibatasi atau tidak menguntungkan
karena dalam keadaan seperti ini tidak
mungkin untuk memindahkan udara ke
dalam/keluar paru selama kontraksi otot
pernafasan yang amat berlebihan. Setelah

Siapkan untuk/bantu melakukan intubasi , jika

kejang itu reda, fungsi pernafasan akan


kembali

ada indikasi.

jika

tidak

muncul

masalah

sekunder (seperti: benda asing atau terjadi


aspirasi).
Munculnya apnea yang berkepanjangan
pada fase posiktal membutuhkan dukungan
ventilator mekanik.

DIAGNOSA KEPERAWATAN : HARGA DIRI/ IDENTITAS PRIBADI, GANGGUAN


Tujuan: Mengidentifikasi perasaan dan metode untuk kooping dengan presepsi negatif pada
diri sendiri, Mengungkapkan peningkatan rasa harga diri dalam hubungannya dengan
diagnosis, Mengungkapkan persepsi realistis dan penerimaan diri dalam perubahan peran
dan gaya hidup
Intervensi
Mandiri :
Diskusikan perasaan

Tujuan
pasien

mengenai Reaksi yang ada bervariasi diantara individu

diagnostik, persepsi diri terhadap tindakan dan pengetahuan/ pengalaman awal dengan
yang

dilakukannya.

mengungkapkan/

Anjurkan

untuk keadaan penyakitnya akan mempengaruhi

mengekspresikan penerimaan terhadap pengaturan pengobatan.


33

perasaannya

Adanya keluhan merasa takut, marah dan


sangat memperhatikan tentang implikasinya
dimasa yang akan datang dapat membantu

pasien menerima keadaannya.


Identifikasi/ antisipasi kemungkinan reaksi Memberikan kesempatan untuk berespon
orang pada keadaan penyakitnya. Anjurkan pada
pasien

untuk

tidak

proses

pemecahan

masalah

dan

merahasiakan memberikan tindakan control terhadap situasi

masalahnya.

yang dihadapi. Merahasiakan sesuatu adalah


dekstruksit (merusak) harga diri (potensial
mengalami

menyangkal),

menghentikan

perkembangan dalam menangani maslah dan


mungkin secara aktual meningkatkan resiko
trauma atau respon yang negative ketika
kejang itu terjadi.
Gali bersama pasien mengenai keberhasilan Memfokuskan pada aspek yang positif dapat
yang diperoleh atau yang akan dicapai membantu untuk menghilangkan perasaan
selanjutnya dan kekuatan yang dimilikinya.

dari kegagalan atau kesadaran terhadap diri


sendiri

dan

membentuk

pasien

mulai

menerima penanganan terhadap penyakitnya.


Hindari pemberian perlindungan yang amat Partisipasi
dalam
sebanyak
mungkin
berlebihan pada pasien, anjurkan aktivitas pengalaman

dapat

mengurangi

depresi

dengan memberikan pengawasan/ dengan tentang keterbatasan. Observasi/ pengawasan


memantau jika ada indikasi.

perlu diberikan pada beberapa aktivitas


seperti

latih

tubuh

(senam),

olahraga

memanjat/ panjat tebing atau olahraga air.


Tentukan sikap/ kecakapan orang terdekat. Pandangan yang negative dari orang terdekat
Bantu ia menyadari perasaan tersebut adalah dapat

berpengaruh

normal, sedangkan merasa bersalah dan kemampuan/


menyalahkan
manfaatnya.

diri

sendiri

tidak

harga

terhadap
diri

perasaan

pasien

dan

ada mengurangi dukungan yang diterima dari


orang terdekat tersebut yang mempunyai

resiko membatasi penanganan optimal.


Tekanan pentingnya staf/ orang terdekat Ansietas dari pemberian asuhan adalah
untuk tetap dalam keaadaan tenang selama menjalar dan bila sampai pada pasien dapat
kejang.

meningkatkan persepsi negative terhadap


keadaan lingkungan/ diri sendiri.
34

Intervensi Kolaborabsi:
Rujuk pasien atau orang terdekat pada Berikan kesempatan untuk mendapatkan
kelompok

penyokong,

seperti

epilepsy dan sebagainya.


Diskusikan

rujukan

kepada

yayasan informasi, dukungan dan ide-ide untuk


mengatasi massalah dari orang lain yang

telah mempunyai pengalaman yang sama.


psikoterapi Kejang mempunyai pengaruh yang besar

dengan pasien atau orang terdekat.

pada harga diri seseorang dan pasien/ orang


terdekat

dapat

merasa

berdosa

atas

keterbatasan penerimaan terhadap dirinya dan


stigma

masyarakat.

Konsling

dapat

membantu mengatasi perasaan terhadap diri


sendiri.

DIAGNOSA KEPERAWATAN : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang


pemajanan informasi pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah klien teratasi dengan kriteria:
a. Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang gangguan dan berbagai rangsang
yang dapat meningkatkan/berpotensial pada ativitas kejang.
b. Memulai perubahan perilaku/gaya hidup sesuai indikasi.
c. Mentaati aturan obat yang diresepkan.
Intervensi
Jelaskan

kembali

Rasionalisasi
mengenai Memberi

kesempatan

untuk

patofisiologi/prognosis penyakit dan perlunya mengklarifikasi kesalahan persepsi dan


pengobatan/penanganan dalam jangka waktu keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu
yang lama sesuai indikasi kepada klien dan yang dapat ditangani dalam cara hidup
orang tua/keluarga.

yang normal.

Tinjau kembali obat-obat yang didapat, penting Tidak adanya pemahaman terhadap obatsekali memakan obat sesuai petunjuk, dan tidak obat yang didapat merupakan penyebab
menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dari kejang yang terus-menerus tanpa
dokter. Termasuk petunjuk untuk pengurangan henti. Pasien perlu untuk mengetahui risiko
dosis

timbulnya status epileptikus sebagai akibat


dari

menghentikan

penggunaan

obat

antikonvulsan. Bergantung pada obat dan


frekuensinya, pasien dapat diinstruksikan
35

untuk menentukan dosis obat yang tepat.


Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk Dapat menurunkan iritasi lambung,
minum obat bersamaan dengan waktu makan mual/muntah.
jika memungkinkan.
Diskusikan mengenai efek samping secara Dapat mengindikasikan kebutuhan akan
khusus,

seperti

mengantuk,

hiperaktif, perubahan dalam dosis/obat pilihan yang

gangguan tidur, hipertrofi pada gusi, gangguan lain, meningkatkan keterlibatan/partisipasi


penglihatan, mual/muntah, timbul ruam pada dalam proses pengambilan keputusan dan
kulit, sinkope/ataksia, kelahiran yang terganggu menyadari efek jangka panjang dari obat
dan anemia aplastik.

dan

memberikan

kesempatan

untuk

mengurangi/mencegah komplikasi.
Berikan informasi tentang interaksi obat yang Pengetahuan mengenai penggunaan obat
potensial dan pentingnya untuk memberitahu antikonvulsan menurunkan risiko obat
pemberi perawatan yang lain dari pemberian yang diresepkan yang dapat berinteraksi
obat terebut.

yang

selanjutnya

mengubah

ambang

kejang atau memiliki efek terapeutik,


contoh;

Dilantin

mempunyai

efek

antikoagulasi dari Coumadin, sebaliknya


INH dan kloromisetin meningkatkan efek
dari dilantin.
Tekankan perlunya untuk melakukan evaluasi Kebutuhan terapeutik dapat berubah dan
yang

teratur/melakukan

laboratorium

yang

teratur

pemeriksaan efek samping obat yang serius (seperti


sesuai

dengan agranulositosis atau tosisitas) dapat terjadi.

indikasi, seperti darah lengkap harus diperiksa


minimal dua kali dalam satu tahun dan
munculnya sakit tenggorok atau demam.

DIAGNOSA KEPERAWATAN : RESIKO CIDERA YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJANG BERULANG, KETIDAKTAHUAN TENTANG EPILEPSI DAN
CARA PENANGANAN SAAT KEJANG, PENURUNAN TINGKAT KESADARAN
36

Tujuan : Klien bebas dari cidera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria Hasil : Klien dan keluarga mengetahui pelaksanaan kejang, menghindari stimulus
kejang, melakukan pengobatan teratur untuk menurunkan intensitas kejang.
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga Data dasar untuk intervensi selanjutnya.
secara penanganan saat kejang
Ajarkan klien dan keluarga tentang metode Orang
mengontrol demam.

tua

mengalami

dengan

anak

kejang

diinstruksikan

tentang

yang

demam
metode

pernah
harus
untuk

mengontrol demam (kompres dingin, obat


Anjurkan untuk kontrol pasca cidera kepala.

antipiretik).
Cidera kepala

merupakan

salah

satu

penyebab utama yang dapat dicegah melalui


program yang member keamanan yang tinggi
dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu
tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
Anjurkan
lingkungan

keluarga
yang

agar
aman

cidera kepala.
mempersiapkan Melindungi klien bila kejang terjadi.
seperti

batasan

ranjang, papan pengaman, dan alat suction


selalu berada dekat klien.
Anjurkan untuk menghindari rangsangan Klien sering mengalami peka rangsang
cahaya yang berlebihan.

terhadap cahaya yang sangat silau.


Beberapa klien perlu menghindari stimulasi
fotik (cahaya menyilaukan yang kelap-klip,
menonton televise). Dengan menggunakan
kaca mata hitam atau menutup slah satu mata

dapat membantu mengontrol maslah ini.


Anjurkan mempertahankan tirah baring total Mengurangi risiko jatuh/ terluka jika fertigo,
selama fase akut.
Kolaborasi pemberian
(Dilantin).

terapi;

sinkope, dan ataksia terjadi.


fenitoin Terapi medikasi untuk menurunkan respon
kejang berulang.

37

DIAGNOSA : NYERI AKUT/ KRONIS


Tujuan : Melaporkan nyeri hilang/ terkontrol, Mengungkapkan metode yang memberikan
penghilangan, Mendemonstrasikan penggunaan intervensi trapeutik (misalnya ketermpilan
relaksasi, modifikasi perilaku) untuk menghilangkan nyeri.
Intervensi
Rasional
Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, Membantu menentukan pilihan intervensi
lamanya serangan, factor pencetus/ yang dan memberikan dasar evaluasi terhadap
memperberat.

Minta

pasien

untuk terapi.

menetapkan pada skala 0-10


Pertahankan tirah baring selama fase akut. Tirah baring dalam posisi yang nyaman
Letakkan pasien pada posisi semi fowler memungkinkan pasien untuk menurunkan
dengan tulang spinal, pinggang dan lutut spasme otot, menurunkan penekanan pada
dalam keadaan fleksi: posisi terlentang bagian tubuh tertentu dan memfasilitasi
dengan atau tanpa meninggikan kepala 10- terjadinya reduksi dari tonjolan diskus.
30o atau pada posisi lateral.
Gunakan logroll (papan) selama melakukan Menurunkan fleksi, perputaran, desakan pada
perubahan posisi.
Bantu pemasangan brace/ korset.

daerah belakang tubuh.


Berguna selama fase akut dari rupture diskus
untuk memberikan sokongan dan membatasi
fleksi/ terplintir. Pengunaan dalam jangka
panjang dapat menambah kelemahan otot dan

lebih lanjut menyababkan degeneratif.


Batasi aktivitas selama fase akut sesuai Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang
dengan kebutuhan.

dpat

menghilangkan

menurunkan

edema

spasme
dan

otot

tekanan

dan
pada

struktur sekitar diskus intervetebralis yang


terkena.
Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel Menurunkan resiko peregangan otot saat
panggil dalam batas yang mudah dijangkau/ meraih.
diraih oleh pasien.
Instruksikan pasien untuk melakukan teknik Memfokuskan perhatian pasien, membantu
relaksasi/ visualisasi.
Instruksikan/

anjurkan

menurunkan tegangan otot dan meningkatkan


untuk

proses penyembuhan.
melakukan Menghilangkan atau mengurangi stress pada
38

mekanika tubuh/ gerakan yang tepat.


otot dan mencegah trauma lebih lanjut.
Berikan kesempatan untuk berbicara/ Ventilasi rasa takut/ cemas dapat membantu
mendengar masalah pasien.

untuk menurunkan factor-faktor stres selama


dalam

keadaan

sakit

dan

dirawat.

Kesempatan untuk memberikan informasi/


membetulkan informasi yang kurang tepat.
.Kolaborasi :
Berikan tempat tidur ortopedik atau letakkan Memberikan sokongan dan menurunkan
papan dibawah kasur atau matras.
Berikan obat sesuai dengan kebutuhan :
Relaksan

otot,

(Valium),

seperti

karisoprodol

fleksi spinal, yang menurunkan spasme.

diazepam Merlaksasikan otot dan menurunkan nyeri


(Soma),

metkarbamol (Robaxin).
NSAID, seperti ibuprofen (Motrin, Menurunkan edema, tekanan pada akar saraf.
Advil),

diflurisal

(Dolobid), Catatan : suntikan epidural atau gabungan

ketoprotein (Orudis), meklofenamat obat


(Meclomen).

antiinfalamasi

intervensi

lain

dapat

tidak

dicoba

mampu

jika
untuk

menghilangkan nyeri.
Analgetik,

seperti

asetaminofen Perlu untuk menghilangkan nyeri sedang

(Tylenol) dengan kodein, meperidin sampai berat.


(Demerol),

hidrokodon

(Vicodin),

butorpanol (Stadol).
Pasang penyokong fisik seperti brace lumbal Songkongan

anatomis/

struktur

berguna

kolar servikal.

untuk meurunkan ketegangan/ spasme otot

Pertahankan traksi jika diperlukan.

dan menurunkan nyeri.


Pemindahan berat badan dari bagian diskus
yang

terkena,

meningkatkan

pemisahan

interveterbral dan memungkinkan lesatan


Konsultasikan dengan ahli terapi fisik.

diskus tersebut untuk menggerakan saraf.


Program latihan/ peragangan yang spesifik
dapat

menghilangkan

spasme

otot

dan

menguatkan otot-otot punggung, ekstensor,


abdomen,

dan

otot

quadrisep

untuk

meningkatkan sokongan terhadap daerah


39

Pasang/
pendingin

pantau
atau

lumbal.
kantong Meningkatkan sirkulasi pada daerah yang

penggunaan
pelembab,

diatermia, sakit, menghilangkan spasme, meningkatkan

ultrasound.
relaksasi pada pasien.
Berikan intervensi tertentu pada pasca- Menurunkan
resijo

terjadinya

sakit/

prosedur mielografi jika perlu, seperti jaga kebocoran cairan spinal.


jangan sampai aliran cairan terlalu cepat,
posisi tidur datar atau ditinggikan 30o sesuai
indikasi selama beberapa jam.
Bantu dengan/ persiapan untuk pemasangan Menurunkan stimulus dengan menghambat
TENS.
Rujuk ke klinik nyeri.

transmisi nyeri.
Upaya tim yang terkordinasi meliputi baik
terapi fisik maupun terapi psikologis dapat
mengatasi

semua

menyebabkan

aspek
nyeri

yang
kronik

mugkin
dan

memungkinkan pasien untuk meningkatkan


kreativitas dan produktivitasnya.

DIAGNOSA KEPERAWATAN : KETAKUTAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEMUNGKINAN KEJANG BERULANG
Tujuan : Setelah intervensi ketakutan klien hilang/ berkurang.
Kriteria :

Mengenai perasaanya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang

mempengaruhinya dan menyatakan ketakutan berkurang/ hilang.


Intervensi
Rasional
Bantu klien mengekspresikan perasaan takut. Ketakutan
berkelanjutan
Lakukan kerjasama dengan keluarga.

memberikan

dampak psikologis yang tidak baik.


Kerjasama klien dan keluarga sepenuhnya
penting.

Mereka

harus

yakin

terhadap

manfaat program yang ditetapkan. Harus


ditekankan bahwa medikasi antikonvulsan
yang diresepkan harus dikonsumsi secara
terus-menerus dan bahwa ini bukan obat yang
membentuk kebiasaan. Medikasi ini dapat
dikonsumsi

tanpa

rasa

takut

tentang

ketergantungan obat selama bertahun-tahun


40

gunakan

tanpa

ketakutan

akan

ketergantungan obat untuk beberapa tahun


jika obat-obatan tersebut diperlukan. Jika
klien

dibawah

kesehatan
Hindari konfrontasi.

dan

didampingi,

perawatan
maka

klien

melakukan instruksi dengan taat.


Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan

Ajarkan kontrok kejang.

pengawasan

kerjasama,

dan

mungkin

memperlambat penyembuhan.
Kontrol kejang bergantung pada aspek
pemahaman dan kerjasama klien. Gaya hidup
dan lingkungan dikaji untuk mengidentifikasi
factor-faktor

yang

dapat

mencetuskan

kejang : gangguan emosi, stressor lingkungan


baru, onset menstruasi pada klien wanita,
atau

demam.

Klien

dianjurkan

untuk

mengikuti gaya hidup rutin regular dan


sedang,

diet

(menghindari

stimulant

berlebihan), latihan dan isntirahat. Gangguan


tidur

dapat

menurunkan

ambang

klien

terhadap kejang. Aktivitas sedang adalah


terapi yang baik, tetapi penggunaan energy
yang berlebihan dapat dihindari.
Beri lingkungan yang tenang dan suasana Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak
penuh istirahat.
Kurangi stimulus ketegangan.

perlu.
Keadaan

tegang

(ansietas,

frustasi)

mengakibatkan kejang pada beberapa klien.


Pengklafikasian penatalaksanaan stress akan
bermanfaat. Oleh karena kejang diketahui
oleh asupan alkohol, maka kebiasaan ini
harus dihindari. Trapi paling efektif adalah
mengikuti

rencana

menghindari
Tingkatkan kontrol sensasi klien.

kejang.
Kontrol

stimuli

sensasi

pengobatan
yang
klien

untuk

mencetuskan
(dan

dalam
41

menurunkan

ketakutan)

dengan

cara

memberikan informasi tentang keadaan klien,


menekankan pada penghargaan terhadap
sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang
positif, membantu latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan, serta memberikan
respon balik yang positif.
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
dan aktivitas yang diharapkan.
Beri kesempatan kepada klien

untuk Dapat menghilangkan ketegangan terhadap

mengungkapkan ansietasnya.
kekhwatiran yang tidak diekspresikan.
Berikan privasi untuk klien dan orang Memberi waktu untuk mengekspresikan
terdekat.

perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku


adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang
dipilih

klien

pengalihan

melayani

(misalnya

aktivitas
membaca)

dan
akan

menurunkan perasaan trisolasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

: KOPING,

INDIVIDUAL TIDAK EFEKTIF/

KONFLIK KEPUTUSAN
Tujuan : Mengidentifikasi tingkahlaku koping yang tidak efektif dan konsekuensi,
Menunjukan kewaspadaan dari koping pribadi/ kemampuan memecahkan masalah,
Memenuhi kebutuhan psikologis yang ditunjukan dengan mengekspresikan perasaan yang
sesuai, identifikasi pilihan dan penggunaan sumber-sumber, Membuat keputusan dan
menunjukan kepuasan dengan pilihan yang diambil.
Intervensi
Rasional
Mandiri :
Tinjau

ulang

patofisiologi

yang Indikator dari tingkat disekuilibrium dan

mempengaruhi pasien dan luasnya perasaan kebutuhan akan intervensi untuk mencegah
yang

tidak

kehilangan

berdaya/
control

tingkat ansietas.
Tetapkan hubungan
pasien.

tanpa

terhadap
terapeutik

harapan/ atau mengatasi krisis.


kehidupan
perawat- Pasien mungkin akan leebih bebas dalam
konteks hubungan ini untuk menunjukan
42

perasaan tidak tertolong/ tanpa tenaga dan


untuk

mendiskusikan

perubahan

yang

diperlukan dalam kehidupan pasien.


Catat ekspresi keragu-raguan, ketergantungan Mungkin menunjukan kebutuhan bersabdar
kepada orang lain dan ketidakmampuan kepada orang lain untuk sementara waktu.
untuk mengatasi AKS pribadi.

Pengenalan

awal

membantu

pasien

dan

intervensi

memperoleh

dapat
kembali

ekulibrium.
Kaji munculnya kemampuan koping positif, Jika individu memiliki kemampuan koping
misalnya

penggunaan

teknik

relaksasi yang berhasil dilakukan pada waktu lampau,

keinginan untuk mengekspresikan perasaan.

mungkina dapat digunakan sekarang untuk


mengatasi tegangan dan memelihara rasa

control individu.
Dorong pasien untuk berbicara mengenai apa Menyediakan petunjuk untuk membantu
yng terjadi saat ini dan apa yang telah terjadi pasien dalam mengembangkan kemampuan
untuk

mengantisipasi

perasaan

tidak koping dan memperbaiki ekuilibrium.

tertolong dan ansietas.


Perbaiki kesalahan konsep yang mungkin Membantu

mengidentifikasi

dan

dimiliki

persepsi

dan

pasien.

Menyediakan

informasi membenarkan

factual.

realita

memungkinkan dimulainya usaha pemecahan

masalah.
Sediakan lingkungan yang tenang dan tidak Menurunkan

ansietas

dan

menyediakan

menstimulasi. Tentukan apa yang menjadi control bagi pasien selama situasi krisis.
kebutuhan pasien, dan menyediakannya jika
memungkinkan. Memberikan informasi yang
sederhana namun factual mengenai apa yang
dapat pasien harapkan dan ulangi sesuai
kebutuhan.
Ijinkan pasien untuk mandiri pada awla Meningkatkan perasaan aman (pasien akan
dengan melakukan kembali AKS mandiri mengetahui
bertahap,

perawatan

diri

dan

aktivitas mengusahakan

bahwa

perawat

keamanan).

Jika

akan
kontrol

lainnya. Buat kesempatan bagi pasien untuk tercipta, pasien akan memiliki kesempatan
membuat keputusan mengenai keperawatan untuk

mengembangkan

koping

adaptif/

jika memungkinkan, menerima pilihan untuk kemampuan memecahkan masalah.


tidak melakukannya.
Terima ekspresi verbal rasa marah, buat Menunjukan rasa marah adalah proses yang
43

batasan terhadap tingkah laku maladaptif.

penting

untuk

resolusi

rasa duka dan

kehilangan. Meskipun demikian, pencegahan


terhadap

tindakan

destruktif

(seperti

memisahkan diri dari orang lain) akan


Diskusikan

perasaan

mempertahankan harga diri pasien.


diri Ketika mekanisme ini dilindungi pada waktu

menyalahkan

sendiri/ proyeksi menyalahkan orang lain.

krisis, terdapat perasaan kounter-produktif


dan intensifikasi dari perasaan tidak tertolong

Catat

ekspresi

ketidakmampuan

dan tanpa harapan.


untuk Situasi krisis mungkin

membangkitkan

menemukan arti kehidupan/ lasan untuk pertanyaan mengenai kepercayaan spiritual


hidup, perasaan sia-sia atau pengasingan yang dapat mempengaruhi kemampuan untuk
terhadap Tuhan.

berhadapan dengan situasi sekarang dan

rencana untuk masa depan.


Solusi pemecahan masalah untuk situasi Membantu pasien/ orang terdekat untuk
sekarang. Berikan informasi/ dukungan dan mengilhami

solusi

yang

mungkin

memperkuat realita pada waktu pasien mulai (memberikan pertimbangan pro dan kontra
bertanya; lihatlah apa yang terjadi.

bagi setiap masalah) meningkatkan perasaan

control diri/ harga diri.


Identifikasi tingkah laku penanggulangan Selama krisis koma, pasien mengembangkan
yang baru, bahwa pasien menunjukan dan cara baru dalam menghadapi masalah, yang
memperkuat adaptasi positif.

dapat membantu resolusi situasi sekarang dan


juga krisis di masa depan.

4. Implementasi
Implementasi dilakukan dengan menggunakan panduan yang sesuai dengan
intervensi.
5. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan memperhatikan tujuan dan kriteria hasil yang
diharapkan.

44

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel. Epilepsi
juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan
bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu
epilepsi parsial dan epilepsi umum.
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),
sering terjadi pada: Trauma lahir, Asphyxia neonatorum; Cedera Kepala, Infeksi
sistem syaraf; Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol; Demam, ganguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia); Tumor Otak; Kelainan pembuluh darah.

45

Manifestasi Klinis kejang parsial dapat berkaitan dengan: Gerakan wajah atau
menyeringai, Sentakan yang dimulai disalah satu bagian tubuh, yang dapat menyebar,
Pengalaman sensorik berupa penglihatan, bau atau suara, Kesemutan, Perubahan
tingkat kesadaran. Kejang umum dapat berkaitan dengan : Ketidaksadaran, biasanya
ditandai dengan jatuh, kecuali pada masa kanak-kanak tidak ada kejang; Refleks pada
lengan dan tungkai yang tidak terkontrol; Periode apnea yang singkat (henti nafas);
Salivasi dan mulut berbusa; Menggigit lidah; Inkontinensia; Stadium postictal berupa
stupor atau koma diikuti oleh kebingungan, sakit kepala dan keletihan; Prodroma
dapat terjadi pada setiap jenis kejang. Prodroma adalah perasaan atau gejala tertentu
yang dapat mendahului kejang selama beberapa jam atau beberapa hari; Aura dapat
terjadi pada setiap jenis kejang. Aura adalah sensasi sensorik tertentu yang sering atau
selalu timbul sesaat menjelang kejang
Penatalaksanaan

medis

ditujukan

terhadap

penyebab

serangan.

Jika

penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia),


perbaikan gangguan metabolisme ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada
empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin),
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol
dengan salah satu dari obat tersebut di atas.
Diagnosa keperawatan menurut Cappernito:
1. Risiko Tinggi terhadap Inefektif Bersihan Jalan Napas yang berhubungan
dengan relaksasi lidah dan refleks gangguan sekunder terhadap gangguan pada
inervasi otot
2. Risiko Tinggi terhadap Isolasi Sosial yang berhubungan dengan takut merasa
malu sekunder terhadap mengalami kejang di masyarakat
3. Risiko Tinggi Inefektif Penatalaksanaan Program

Terapeutik

yang

berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan tentang kondisi, obat,


perawatan selama kejang, bahaya lingkungan, dan sumber komunitas
Diagnosa Keperawatan menurut Doengus:
1. Risiko tinggi terhadap trauma/kerusakan sel otak dan penghentian nafas
berhubungan dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
2. Risiko tinggi terhadap bersihan jalan nafas/pola nafas tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, obstruksi trakeobronkial.
3. Harga diri/ identitas pribadi, gangguan berhubungan dengan sigma berkenaan
dengan kondisi, persepsi tentang tidak terkontrol.
46

4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi pada


klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.
Diagnosa Keperawatan menurut Arif Muttaqin:
1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan

dengan

kejang

berulang,

ketidaktahuan tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta


penurunan tingkat kesadaran.
2. Nyeri akut yang berhubungan dengan nyeri kepala sekunder respons pasca
kejang (postikal).
3. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kebingungan, malas bangun
sekunderrespons pasca kejang (postikal).
4. Ketakutan yang berhubungan dengan kejang berulang.
5. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan depresi akibat
apilepsi.
B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada
umumnya dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian,
tindakan penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah
psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi
pasien dengan gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien
tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan
masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.

47

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan (Diagnose
Keperawatan Dan Masalah Kolaboratif. Edisi 2. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn, Mary Frances Moorhouse, Alice C. Geissler. 1999. Rencana Asuhan
Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien.Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit : Edisi 2. Jakarta : EGC.
Nuzulul.

2011.

Neurobehaviour

Askep

Epilepsi.

[internet]

http://nuzulul-

fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35569-Kep%20Neurobehaviour-Askep
%20Epilepsi.html diakses pada 21 Oktober 2014 pukul 10.00 WITA.
Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta :
Sagung Seto.

48

Você também pode gostar