Você está na página 1de 40

SKENARIO 4

MENCRET BERKEPANJANGAN
Seorang laki-laki, 25 tahun, mengeluh diare yang hilang timbul sejak 3 bulan yang
lalu. Selain itu pasien juga mengeluh sering demam, sariawan, tidak nafsu makan dan berat
badan menurun 10 kg dalam waktu 3 bulan terakhir. Dari riwayatnya dikatakan pasien sering
melakukan hubungan seksual secara bebas.
Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat kaheksia, mukosa lidah kering dan terdapat
bercak-bercak putih. Pemeriksaan laboratorium darah rutin LED 50 mm/jam. Pemeriksaan
feses terdapat sel ragi. Pada pemeriksaan srening antibodi HIV didapatkan hasil (+) kemudian
dokter menganjurkan pemeriksaan konfirmasi HIV dan hitung jumlah limfositT CD4 dan
CD8.
Dari data tersebut dokter menyimpulkan bahwa penderita ini mengalami gangguan
defisiensi imun akibat terinfeksi virus HIV. Dokter menganjurkan pasien untuk datang ke
dokter lain dengan alasan yang tidak jelas.

Brain Storming
Kata-kata sulit
*Kaheksia :
Keadaan kelemahan hebat yang berhubungan dengan
hilangnya sebagian besar berat tubuh, mungkin disebabkan oleh faktor
yang menyebabkan terjadinya peningkatan katabolisme protein dimana
penderita tetap makan normal.
*LED

Laju endap darah

*CD 4
T helper
*CD 8

Salah satu jenis sel limfosit T yang akan menginduksi sel

*HIV

: Salah satu jenis sel limfosit T yang akan menginduksi sel


T sitotoksin
HIV adalah virus yang hidup, berkembang dalam tubuh manusia dan
melemahkan sistem kekebalan tubuh

Pertanyaan
1. Apa penyebab HIV?
2. Apa gejala HIV?
3. Bagaimana mekanisme penyakit HIV?
4. Apa fungsi skrining antibodi?
5. Apa yang harus dilakukan ketika telah terinfeksi HIV?
6. Apa yang harus dilakukan terhadap ODHA?
7. Bagaimana Pencegahan HIV?
8. Apa saja macam-macam penyakit defisiensi imun?
9. Bagaimana penyebaran HIV?
10. Bagaimana pandangan islam terhadap penyakit HIV?
11. Apa saja komplikasi penyakit HIV?
12. Bagaimana UUD yang mengatur HAM penderita HIV/AIDS?
Jawaban
1. HIV merupakan virus penyebab penyakit AIDS. Terdapat banyak cara transmisi
penyakit ini seperti melalui hubungan seksual berisiko, jarum suntik yang digunakan
bergantian, transfusi darah, dll.
2. Berat badan turun secara drastis dan tiba-tiba, nyeri pada bebrapa bagian tubuh dan
sendi, mukosa lidah kering, dll.
3. HIV masuk ketubuh manusia dan menginfeksi sel-sel tubuh yang sehat, bereplikasi
dalam jumlah sangat banyak, dan menurunkan daya tahan tubuh manusia.
4. Skrining antibodi digunakan untuk mengetahui adanya antibodi spesifik terhadap
antigen HIV.
5. Tetap berusaha berobat kedokter dan berserah diri pada Allah.
6. Tidak mendiskriminatifnya, memberi semangat hidup.
7. HIV dapat dicegah dengan tidak melakukan hubungan seks bebas dan berisiko, setia
pada pasangan, menggunakan jarum suntik yang steril.
8. AIDS, sindrom Chediak-Higashi, Ataksia telangiektasi, sindrom Wiskott-Aldrich, dll.
9. Penyebaran HIV dapat ditemukan disemua wilayah.
10. Islam tidak memperbolehkan melakukan hubungan terlarang yang tidak syah secara
agama.
2

11. TBC, kandidiasis, dll


12. Belum diketahui jawabannya.

Hipotesis
Banyak jenis penyakit defisiensi imun, salah satunya adalah AIDS. AIDS merupakan
penyakit defisiensi imun yang disebabkan oleh virus HIV. Penyakit ini sering ditandai dengan
beberapa gejala umum. Untuk menegakkan diagnosa, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan lab yang salah satunya
berfungsi untuk mengetahui keberadaan antibodi spesifik HIV serta memeriksa jumlah sel
limfosit. Terdapat etika kedokteran, hukum negara, serta hukum agama yang mengatur
penanganan penderita HIV/AIDS.

Sasaran Belajar
LI.1.

Memahami dan Menjelaskan Gangguan Defisiensi Imun


LO.1.1 Definisi
LO.1.2 Etiologi
LO.1.3 Klasifikasi dan contoh contoh penyakit imun
LO.1.4 Pemeriksaan lab untuk penyakit defisiensi imun

LI.2.

Memahami dan Menjelaskan Penyakit Akibat Infeksi Virus HIV


LO.2.1 Definisi
LO2.2 Etiologi
LO.2.3 Klasifikasi
LO.2.4 Patogenesis dan patofisiologi
LO.2.5 Epidemiologi
LO.2.6 Manifestasi klinik
LO.2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO.2.8 Pemeriksaan lab
LO.2.9 Penatalaksanaan
LO.2.10 Komplikasi
LO.2.11 Prognosis
LO.2.12 Pencegahan

LI.3.

Memahami dan Menjelaskan Dilema Etik


LO.3.1 kaidah KODEKI
LO.3.2 UUD yang Berhubungan

LI.4.

Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam pada pederita HIV/AIDS

LI 1

Memahami dan Menjelaskan Defisiensi Imun

LO 1.1:

Definisi
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan aneka penyakit yang karena memiliki

satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, dimana kerentanan terhadap infeksi
meningkat. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan penyakit lain yang
mengganggu sistem imun, dan banyak yang merupakan akibat kelainan genetik dengan
pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain,
umur, trauma, atau pengobatan.(Baratawidjaja Garna Karnen, Renggaris Iris, Imunologi
Dasar, Edisi Ke-9, FK UI, Jakarta)

LO 1.2:

Etiologi

Defek genetik

Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak


jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi
deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus
pada sistem imun ( misal defek tirosin kinase
pada X-linked

agammaglobulinemia;

abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel


T) Kelainan multifaktorial dengan kerentanan
genetik

(misal common

variable

Obat atau toksin

immunodeficiency)
Imunosupresan
(kortikosteroid,

Penyakit nutrisi dan metabolik

Antikonvulsan (fenitoin)
Malnutrisi ( misal kwashiorkor)Protein losing
enteropathy (misal

siklosporin).

limfangiektasia

intestinal)Defisiensi vitamin (misal biotin, atau


transkobalamin II)
Defisiensi mineral (misal Seng pada Enteropati
Kelainan kromosom

Akrodermatitis)
Anomali DiGeorge (delesi 22q11) Defisiensi IgA

Infeksi

selektif (trisomi 18)


Imunodefisiensi transien (pada campak dan varicella
5

)Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi


rubella kongenital)
(Baratawidjaja Garna Karnen, Renggaris Iris, Imunologi Dasar, Edisi Ke-9, FK UI,
Jakarta)

LO 1.3 :
1

Klasifikasi

Defisiensi Imun Non-Spesifik


a

Komplemen
Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun
(SLE), defisiensi ini secara genetik.
i Kongenital
Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan
glomerulonefritis).
ii Fisiologik
Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B
yang masih rendah.
iii Didapat
Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi
protein/kalori).

Interferon dan lisozim


i Interferon kongenital
Menimbulkan infeksi mononukleosis fatal
ii Interferon dan lisozim didapat
Pada malnutrisi protein/kalori

Sel NK
i Kongenital
Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar
IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi meningkat.
ii Didapat
Akibat imunosupresi atau radiasi.

Sistem fagosit
Menyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik
berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko
meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm 3. Defek ini juga
mengenai sel PMN.

i Kuantitatif
Terjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh
menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan
produksi diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada kanker,
leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel
hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena
autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin).
ii Kualitatif
Mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan
membunuh mikroba intrasel.

Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram dan


+)

Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)

Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh


benda asing)
4

Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak


mampu melepas isinya, penderita meninggal pada usai anak)

Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis,


dan otitis media. Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan
eosinofilia).

Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba


berat. Jumlah neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi
terganggu)

Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis


buruk, efeks sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai
infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan
luka)

Defisiensi Imun Spesifik


a

Kongential/primer
Sangat jarang terjadi.
i Sel B
Defisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)
1

X-linked hypogamaglobulinemia

Hipogamaglobulinemia sementara

Common variable hypogammaglobulinemia

Disgamaglobulinemia

ii Sel T

Defisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa


yang rekuren
1

Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital)

Kandidiasis mukokutan kronik

iii Kombinasi sel T dan sel B

Severe combined immunodeficiency disease

Sindrom nezelof

Sindrom wiskott-aldrich

Ataksia telangiektasi

Defisiensi adenosin deaminase

Fisiologik
i Kehamilan
Defisiensi imun seluler dapat diteemukan pada kehamilan. Hal ini
karena pningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral
yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang
meningkat atas pengaruh estrogen
ii Usia tahun pertama
Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5
tahun masih belum matang.
iii Usia lanjut
Golongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi
timus dengan fungsi yang menurun.

Defisiensi imun didapat/sekunder


i Malnutrisi
ii Infeksi
iii Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah
Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu
kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan
antibodi sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas
humoral ataupun selular.
iv Penyinaran
Dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah
menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
v Penyakit berat
Penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloma
multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan
sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan
diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya

belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus


pada diare.
vi Kehilangan Ig/leukosit
Sindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml. Diare
(linfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar
akibat kehilangan protein.
vii Stres
viii Agammaglobulinmia dengan timoma
Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari
sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat
menyertai
d

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

Secara garis besar ada dua macam penyakit defisiensi imun yaitu:
1.
Penyakit defisiensi imun kongenital atau primer
Penyakit defisiensi imun Kongenital dibagi menjadi lima yaitu:
a.
Penyakit dimana terdapat kadar antibodi yang rendah
Ada empat macam penyakit defisiensi imun karena kadar antibody yang rendah yaitu:
1) Common Variable Immunodefisiensi
Merupakan Immunodefisiensi yang berubah-ubah terjadi pada pria dan wanita pada usia
berapapun, tetapi biasanya baru muncul pada usia 10-20 tahun. Penyakit ini terjadi akibat
sangat rendahnya kadar antibodi meskipun jumlah limfosit Bnya normal. Pada beberapa
penderita limfosit T berfungsi secara normal, sedangkan pada penderita lainnya tidak.
Sering terjadi penyakit autoimun, seperti penyakit Addison, tiroiditis dan artritis
rematoid. Biasanya terjadi diare dan makanan pada saluran pencernaan tidak diserap dengan
baik. Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita. Jika terjadi
infeksi diberikan antibiotik.
2)
Kekurangan antibody selektif
Pada penyakit ini, kadar antibodi total adalah normal, tetapi terdapat kekurangan antibodi
jenis tertentu. Yang paling sering terjadi adalah kekurangan IgA. Kadang kekurangan IgA
sifatnya diturunkan, tetapi penyakit ini lebih sering terjadi tanpa penyebab yang jelas.
Penyakit ini juga bisa timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang).
Sebagian besar penderita kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau hanya
mengalami gangguan ringan, tetapi penderita lainnya bisa mengalami infeksi pernafasan
menahun dan alergi. Jika diberikan transfusi darah, plasma atau immunoglobulin yang
mengandung IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA, yang bisa
menyebabkan reaksi alergi yang hebat ketika mereka menerima plasma atau immunoglobulin
berikutnya. Biasanya tidak ada pengobatan untuk kekurangan IgA. Antibiotik diberikan pada
mereka yang mengalami infeksi berulang. .[4]
3)
Hippogammaglobulin sementara pada bayi
Pada penyakit ini, bayi memiliki kadar antibodi yang rendah, yang mulai terjadi pada usia 3-6
bulan. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang lahir prematur karena selama
dalam kandungan, mereka menerima antibodi ibunya dalam jumlah yang lebih sedikit.
Beberapa bayi (terutama bayi prematur) sering mengalami infeksi. Penyakit ini tidak
diturunkan, dan menyerang anak laki-laki dan anak perempuan. Sebagian bayi mampu
9

membuat antibodi dan tidak memiliki masalah dengan infeksi, sehingga tidak diperlukan
pengobatan. Pemberian immunoglobulin sangat efektif untuk mencegah dan membantu
mengobati infeksi. Biasanya diberikan selama 3-6 bulan jika perlu, bisa diberikan antibiotik
4) Agammaglobulinemia X-linked
Agammaglobulinemia X-linked (agammaglobulinemia Bruton) hanya menyerang anak
laki-laki dan merupakan akibat dari penurunan jumlah atau tidak adanya limfosit B serta
sangat rendahnya kadar antibodi karena terdapat kelainan pada kromosom X.
Bayi akan menderita infeksi paru-paru, sinus dan tulang, biasanya karena bakteri
(misalnya Hemophilus dan Streptococcus) dan bisa terjadi infeksi virus yang tidak biasa di
otak.
Tetapi infeksi biasanya baru terjadi setelah usia 6 bulan karena sebelumnya bayi memiliki
antibodi perlindungan di dalam darahnya yang berasal dari ibunya.Jika tidak mendapatkan
vaksinasi polio, anak-anak bisa menderita polio. Mereka juga bisa menderita artritis. Anak
laki-laki penderita agammaglobulinemia X-linked banyak yang menderita infeksi sinus dan
paru-paru menahun dan cenderung menderita kanker.
Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita agar penderita
memiliki antibodi sehingga bisa membantu mencegah infeksi. Jika terjadi infeksi bakteri
diberikan antibiotik.[5]
b.
Penyakit dimana terjadi gangguan fungsi sel darah putih
Dibagi menjadi dua yaitu karena kelainan limfosit T dan kelainan limfosit T
dan B.
1)
Kelainan limfosit T
(a) Kandidiasis mukokotaneus kronis
Kandidiasi mukokutaneus kronis terjadi akibat buruknya fungsi sel darah putih, yang
menyebabkan terjadinya infeksi jamur Candida yang menetap pada bayi atau dewasa
muda.Jamur bisa menyebabkan infeksi mulut (thrush), infeksi pada kulit kepala, kulit dan
kuku.
Penyakit ini agak lebih sering ditemukan pada anak perempuan dan beratnya
bervariasi. Beberapa penderita mengalami hepatitis dan penyakit paru-paru menahun.
Penderita lainnya memiliki kelainan endokrin (sepertihipoparatiroidisme). Infeksi internal
oleh Candida jarang terjadi.
Biasanya infeksi bisa diobati dengan obat anti-jamur nistatin atau klotrimazol. Infeksi
yang lebih berat memerlukan obat anti-jamur yang lebih kuat (misalnyaketokonazol per-oral
atau amfoterisin B intravena). Kadang dilakukan pencangkokan sumsum tulang.[6]
(b) Anomali DiGeorge
Anomali DiGeorge terjadi akibat adanya kelainan pada perkembangan janin. Keadaan
ini tidak diturunkan dan bisa menyerang anak laki-laki maupun anak perempuan. Anak-anak
tidak memiliki kelenjar thymus, yang merupakan kelenjar yang penting untuk perkembangan
limfosit T yang normal.
Kadang kelainannya bersifat parsial dan fungsi limfosit T akan membaik dengan
sendirinya. Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak biasa
(telinganya lebih renadh, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta jarak antara kedua
matanya lebih lebar).Penderita juga tidak memiliki kelenjar paratiroid, sehingga kadar kalium
darahnya rendah dan segera setelah lahir seringkali mengalami kejang.
Jika keadaannya sangat berat, dilakukan pencangkokan sumsum tulang. Bisa juga
dilakukan pencangkokan kelenjar thymus dari janin atau bayi baru lahir (janin yang
10

mengalami keguguran). Kadang kelainan jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan
sehingga perlu dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal jantung yang berat dan
kematian. Juga dilakukan tindakan untuk mengatasi rendahnya kadar kalsium dalam darah.
2)
Kelainan limfosit T dan B
(a) Ataksia-telangiektasia
Ataksia-telangiektasia adalah suatu penyakit keturunan yang menyerang sistem
kekebalan dan sistem saraf. Kelainan pada serebelum (bagian otak yang mengendalikan
koordinasi) menyebabkan pergerakan yang tidak terkoordinasi (ataksia).Kelainan pergerakan
biasanya timbul ketika anak sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru muncul pada usia 4
tahun. Anak tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-ototnya lemah dan kadang terjadi
keterbelakangan mental. Telangiektasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler
(pembuluh darah yang sangat kecil) di kulit dan mata.Kelainan pada sistem endokrin bisa
menyebabkan ukuran buah zakar yang kecil, kemandulan dan diabetes.
Antibiotik dan suntikan atau infus immunoglobulin bisa membantu mencegah infeksi
tetapi tidak dapat mengatasi kelaianan saraf. Ataksia-telangiektasia biasanya berkembang
menjadi kelemahan otot yang semakin memburuk, kelumpuhan, demensia dan kematian.
(b) Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat
Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat merupakan penyakit immunodefisiensi
yang paling serius. Terjadi kekurangan limfosit B dan antibodi, disertai kekurangan atau
tidak berfungsinya limfosit T, sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi secara
adekuat.Sebagian besar bayi akan mengalami pneumonia dan thrush (infeksi jamur di mulut);
diare biasanya baru muncul pada usia 3 bulan. Bisa juga terjadi infeksi yang lebih serius,
seperti pneumonia pneumokistik.
Jika tidak diobati, biasanya anak akan meninggal pada usia 2 tahun. Antibiotik dan
immunoglobulin bisa membantu, tetapi tidak menyembuhkan. Pengobatan terbaik adalah
pencangkokan sumsum tulang atau darah dari tali pusar.
(c) Sindroma Wiskott-Aldrich
Kelainan pada proses ekspresi antigen oleh makrofag . Ditandai dengan
trombositopeniadan eksim serta kadar IgM yang sangat rendah.
Antibiotik dan infus immunoglobulin bisa membantu penderita, tetapi pengobatan
terbaik adalah dengan pencangkokan sumsum tulang
c.
Penyakit dimana terjadi kelainan pada fungsi pembunuh dari sel darah putih.
Ada empat macam penyakit dimana terjadi kelainan pada fungsi pembunuh dari sel
darah putih salah satunya yaitu enyakit granulomatosa kronis. Penyakit ini kebanyakan
menyerang anak laki-laki dan terjadi akibat kelainan pada sel-sel darah putih yang
menyebabkan terganggunya kemampuan mereka untuk membunuh bakteri dan jamur
tertentu.
Antibiotik bisa membantu mencegah terjadinya infeksi.Suntikan gamma interferon
setiap minggu bisa menurunkan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, pencangkokan
sumsum tulang berhasi menyembuhkan penyakit ini.[8]
d. Penyakit dimana terdapat kelainan pergerakan sel darah putih
Ada dua macam penyakit dimana terdapat kelainan pergerakan sel darah putih salah
satunya yaitu Sindroma hiper-IgE (sindroma Job-Buckley). Sindroma hiper-IgE (sindroma
Job-Buckley) adalah suatu penyakit immunodefisiensi yang ditandai dengan sangat tingginya
kadar antibodi IgE dan infeksi bakteri stafilokokus berulang. Infeksi bisa menyerang kulit,
paru-paru, sendi atau organ lainnya. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala alergi,
seperti eksim, hidung tersumbat dan asma.
11

Antibiotik diberikan secara terus menerus atau ketika terjadi infeksi stafilokokus. Sebagai
tindakan pencegahan diberikan antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol.
e.
Penyakit dimana terdapat kelainan pada sistem komplemen
Defisiensi masing- masing komponen komplemen menyebabkan penderita tidak
mampu mengeliminasi kompleks antigen antibody yang terdapat dalam tubuh secara efektif.
Defisiensi komplemen C3 atau C5 dapat menyebabkan gangguan opsosinasi mikroorganisme,
disamping itu terjadi gangguan pelepasan factor kemataksis sehinggs proses fagositosis juga
terganggu.
2.

Penyakit Defisiensi Imun Dapatan


Defisiensi imun sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau
pengobatan. [9]
Beberapa jenis penyakit yang dapat menyebabkan defisiensi imun
Jenis penyakit
Acquired
immine
syndrome (AIDS)
Immunodeficiencies sIgA

deficiencies

Reticular disgenesis

Severe Combined immunodeficiency


Di Geeorge Syndrome
Sindroma Wiskott-Aldrich
X-Linked agammaglobulinemia

Sel target
Sel T (sel merusak sel Th )
Sel B dan sel t (rentan terhadap infeksi
pada mukosa)
Sel B, sel T, dan sel induk (defisiensi
sel induk, sel B dan sel T tidak
berkembang)
Sel B, sel t, dan sel induk (defisiensi
pada sel B dan selT)
Sel
T
(kelainan
pada
timus
menyebabkan difesiensi sel T)
Sel B dan sel T(ksedikit platelet dalam
darah dan sel T abnormal)
Sel
B
(penurunan
produksi
immunoglobulin)

LO.1.4

Pemeriksaan lab untuk penyakit defisiensi imun


Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui
penyakit defisiensi imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai
dengan kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat
dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:

1.
A.
B.
C.
D.
E.

Pemeriksaan darah tepi


Hemoglobin
Leukosit total
Hitung jenis leukosit (persentasi)
Morfologi limfosit
Hitung trombosit
12

2.
3.

Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)


Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)
A.
Titer antibodi Tetatus, Difteri
B.
Titer antibodi H.influenzae
4.
Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)
5.
Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)
Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita cari
(Tabel 28-9).
Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun
Defisiensi Sel B
Uji Tapis:

Kadar IgG, IgM dan IgA

Titer isoaglutinin

Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)


Uji lanjutan:

Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)

Kadar subklas IgG

Kadar IgE dan IgD

Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli

Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus

Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid


Riset:

Fenotiping sel B lanjut


Biopsi kelenjar
Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen
Ig-survival in vivo
Kadar Ig sekretoris
Sintesis Ig in vitro
Analisis aktivasi sel
Analisis mutasi

Defisiensi sel T
Uji tapis:

Hitung limfosit total dan morfologinya

Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts

Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberkulin

Foto sinar X dada : ukuran timus


13

Uji lanjutan:

Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)

Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik

HLA typing

Analisis kromosom
Riset:

Advance flow cytometry


Analisis sitokin dan sitokin reseptor
Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)
Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside purin/PNP)
Pencitraan timus dab fungsinya
Analisis reseptor sel T
Riset aktivasi sel T
Riset apoptosis
Biopsi
Analisis mutasi

Defisiensi fagosit
Uji tapis:

Hitung leukosit total dan hitung jenis

Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil

Titer IgE
Uji lanjutan:

Reduksi dihidrorhodamin

White cell turn over

Morfologi spesial

Kemotaksis dan mobilitas random

Phagocytosis assay

Bactericidal assays
Riset:

Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)


Oxidative metabolism
Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)
Analisis mutasi

Defisensi komplemen
Uji tapis:

Titer C3 dan C4
14

Aktivitas CH50

Uji lanjutan:

Opsonin assays

Component assays

Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)


Riset:

LI.2

Aktivitas jalur alternatif


Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)

Memahami dan Menjelaskan Penyakit Akibat Infeksi Virus HIV

LO.2.1

Definisi
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu
sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan system
imun yang disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah singkatan dari Human
Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sel CD4 dan menjadikannya tempat
berkembang biak, kemudian merusaknya sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sebagaimana
kita ketahui bahwa sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa
kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit, tubuh kita lemah dan tidak
berupaya melawan jangkitan penyakit dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski
terkena influenza atau pilek biasa. Manusia yang terkena virus HIV, tidak langsung menderita
penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi
virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan.

LO 2.2

Etiologi

Penyakit HIV/AIDS adalah infeksi oleh virus HIV, yang menyerang system kekebalan
tubuh sehingga sel-sel pertahanan tubuh makin lama makin banyak yang rusak. Penderita
infeksi HIV menjadi sangat rentan terhadap semua bentuk infeksi. Pada tahap akhir, penderita
tidak bisa tahan terhadap kuman-kuman yang secara normal bisa dilawannya dengan mudah.
Infeksi HIV ditularkan melalui hubungan badan baik vagina, anus, dan kontak dengan darah
penderita HIV, seperti lewat jarum suntik, bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV,
menerima transfusi darah yang terinfeksi, serta transplantasi organ tubuh. Apabila anda
merasa telah terkena infeksi HIV segeralah periksa ke dokter. Hindari tempat-tempat yang
banyak serangan penyakit. Tidak melakukan hubungan badan dan mencegah kehamilan, serta
jangan menjadi donor darah , sperma, ataupun organ tubuh. Sebagai tambahan : infeksi
HIV/AIDS tidak bisa ditularkan lewat kontak sosial biasa seperti berjabat tangan dan
berpelukan. Makanan atau alat-alat makan. Toilet dan kolam renang. Gigitan nyamuk atau
serangga lain serta donor darah yang bebas virus HIV.

LO 2.3

Klasifikasi

15

Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1
dan HIV-2 . HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan
Afrika Tengah, Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat.
HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen
VPU, tetapi tidak mempunyai gen VPX, sedangkan HIV-2 mempunyai gen VPX
tapi tidak memiliki gen VPU.
a. HIV-1
Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV mengkode
sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1
terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari
HIV-1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.
b. HIV-2
Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat
meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil
duplikasi dari protein lain (Vpr). Walaupun sama-sama menyebabkan
penyakit klinis dengan HIV-2 tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan
HIV-1.

LO 2.4

Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang
mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi
imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara
selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan
tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk
kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia
merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang
berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian
menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah beberapa
bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis
sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya
gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21
bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakitpenyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan
juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara
langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis.

16

Patofisiologi
Peran penting sel T dalam menyalakan semua kekuatan limfosit dan makrofag,
membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai tombol utama sistem imun. Virus AIDS
secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau melumpuhkan sel-sel yang
biasanya mengatur sebagian besar respon imun. Virus ini juga menyerang makrofag, yang
semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga
timbul demensia (gangguan kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian
pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang
yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi
adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.

17

LO 2.5

Epidemiologi
Laporan dari Asia hanya menyebutkan satu dua kasus saja. Dan di Jakarta

ditemukan tiga kasus bentuk ringan (AIDS related complex ). Pola infeksi penderita
AIDS di negara Barat umumnya mengikuti kaidah seperti berikut :

75% pada kelompok homoseksual atau biseksual

13% pada kelompok pecandu narkotika yang menggunakan obat secara intra vena

6% pada orang-orang Haiti tanpa riwayat homoseksual maupun pecandu obat bius

0,3% pada kelompok penderita hemofilia

5% pada kelompok tanpa risiko yang jelas.


18

Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada tahun
1981. Sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS meningkat
dengan cepat. Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan pandemi, menyerang
jutaan penduduk dunia, pria, wanita, bahkan anak-anak. WHO memperkirakan bahwa
sekitas 15 juta orang diantaranya 14 juta remaja dan dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari
5000 orang ketularan virus HIV.
Menurut etimasi WHO pada tahun 2000 sekitar 30-40 juta orang terinfeksi virus
HIV, 12-18 juta orang akan menunjukkan gejala-gejala AIDS dan setiap tahun sebanyak
1,8 juta orang akan meninggal karena AIDS. Pada saat ini laju infeksi (infection rate)
pada wanita jauh lebih cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi, 90% akan terjadi di
negara berkembang terutama Asia.
(Wibisono Bing, Epidemiologi AIDS, Petunjuk Untuk Petugas Kesehatan RI, Jakarta)

LO 2.6

Manifestasi klinik

Berdasarkan stadiumnya:
a.Stadium 1 Asimptomatik
- Tidak ada penurunan berat badan
- Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata
Persisten
b. Stadium 2 Sakit ringan
- Penurunan BB 5-10%
- ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
- Ulkus mulut berulang
- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
- Dermatitis seboroik
- Infeksi jamur kuku
c. Stadium 3 Sakit sedang
- Penurunan berat badan > 10%
- Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya,
lebih dari 1 bulan
-Kandidosis oral atau vaginal
- Oral hairy leukoplakia
- TB Paru dalam 1 tahun terakhir
- Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
- TB limfadenopati
- Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
- Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombosito penikronis (<50.000/ml)
d. Stadium 4 sakit berat (AIDS)
- Pneumonia pnemosistis, Pnemoni bakterial yang berat
Berulang
-Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
19

- Kandidosis esophageal
- TB Extraparu
- Sarkoma kaposi
- Retinitis CMV*
- Abses otak Toksoplasmosis*
- Encefalopati HIV
- Meningitis Kriptokokus
- Infeksi mikobakteria non-TB meluas

LO 2.7

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi karena
mereka tidak mengalami gejala setelah mereka pertama kali terinfeksi HIV. Sebagian dari
mereka memiliki gejala mirip flu dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
terpapar virus. Mereka mengeluh demam, sakit kepala, kelelahan, dan terjadi pembesaran
kelenjar getah bening di leher. Gejala-gejala ini biasanya hilang dengan sendirinya dalam
beberapa minggu. Setelah itu, orang tersebut merasa normal dan tidak memiliki gejala. Fase
ini sering berlangsung tanpa gejala selama bertahun-tahun. Pemeriksaan darah adalah cara
paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini bertujuan untuk mencari antibodi terhadap
virus HIV. Orang yang terkena virus harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Tindak lanjut tes mungkin diperlukan, tergantung pada waktu awal paparan.
LO 2.8

Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:


-

ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi
infeksi HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien
tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan.
ELISA cukup sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi
segera setelah infeksi, hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu untuk
beberapa bulan setelah terinfeksi. Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode
ini, pasien mungkin memiliki tingkat penularan tinggi.

Pemeriksaan Air Liur


Pad kapas digunakan untuk memperoleh air liur dari bagian dalam pipi. Pad
ditempatkan dalam botol dan diserahkan ke laboratorium untuk pengujian. Hasil dapat
diperoleh dalam tiga hari. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes darah.

Viral Load Test


20

Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Umumnya, tes
ini digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan atau mendeteksi dini infeksi
HIV. Tiga teknologi yang digunakan untuk mengukur viral load HIV dalam darah:
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Branched DNA
(bDNA) and Nucleic Acid Sequence-Based Amplification Assay (NASBA). Prinsipprinsip dasar dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan urutan DNA yang terikat
secara khusus pada virus. Penting untuk dicatat bahwa hasil dapat bervariasi antara
tes.
-

Western Blot
Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif yang digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif.

PCR (Polymerase Chain reaction)


Untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitive dan spesifik untuk infeksi
HIV. Tes ini sering digunakan bila tes yang lain tidak jelas.

Strategi I
Hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif, maka
dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan nonreaktif dianggap tidak

21

terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki
sensitivitas yang tinggi (>99%).

Strategi II
Menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan pertama
memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya nonreaktif, maka
dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan pertama menggunakan reagensia dengan
sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta
berbeda jenis antigen atau tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil
pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV. Namun jika hasil
pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua
metode. Bila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate.

Strategi III
Menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan
ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut memang terinfeksi HIV. Bila
hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes
ketiga nonreaktif, atau tes pertama reaktif, sementara tes kedua dan ketiga nonreaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa memiliki
riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Sedangkan bila hasil
seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV
atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu
diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang berbeda asal
antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif, pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang
paling sering dipakai saat ini adalah teknik Western Blot (WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat informasi yang
sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang
terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan
survei tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberi tahu hasil
tesnya.
Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes
positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan
untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya
negatif, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana
mempertahankan perilaku yang tidak berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila
dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan
antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh.
*Skrining HIV
Mempunyai makna melakukan pemeriksaan HIV pada suatu populasi tertentu,
22

sementara uji diagnostik HIV berarti melakukan pemeriksaan HIV pada orang-orang dengan
gejala dan tanda yang konsisten dengan infeksi HIV. CDC menyatakan bahwa infeksi HIV
memenuhi seluruh kriteria untuk dilakukan skrining, karena:
a. Infeksi HIV merupakan penyakit serius yang dapat didiagnosis sebelum timbulnya
gejala.
b. HIV dapat dideteksi dengan uji skrining yang mudah, murah, dan noninvasif.
c. Pasien yang terinfeksi HIV memiliki harapan untuk lebih lama hidup bila pengobatan
dilakukan sedini mungkin, sebelum timbulnya gejala.
d. Biaya yang dikeluarkan untuk skrining sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh
serta dampak negatif yang dapat diantisipasi. Di antara wanita hamil, skrining secara
substansial telah terbukti lebih efektif dibandingkan pemeriksaan berdasarkan risiko
untuk mendeteksi infeksi HIV dan mencegah penularan perinatal.
CDC merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HIV secara rutin untuk setiap
orang berusia 13-64 tahun yang datang ke sarana pelayanan kesehatan meskipun tanpa gejala.
Selain itu, CDC juga merekomendasikan agar pemeriksaan HIV dimasukkan dalam
pemeriksaan rutin antenatal bagi wanita hamil.11 Sementara pemeriksaan wajib HIV lebih
ditekankan untuk dilakukan pada donor darah dan organ. Pemeriksaan wajib HIV juga dapat
dilakukan pada bidang perekrutan tentara atau tenaga kerja imigran.
Panduan WHO mengenai PITC tahun 2007 menyebutkan bahwa metode ini dapat
diterapkan pada wilayah dengan tingkat epidemiologi HIV yang berbeda- beda, yaitu daerah
dengan epidemi HIV yang rendah, daerah dengan tingkat epidemi HIV yang terkonsentrasi,
dan daerah dengan tingkat epidemi yang meluas. Yang dimaksud dengan epidemi yang
rendah adalah infeksi HIV hanya ditemukan pada beberapa individu dengan perilaku berisiko
(WPS, pengguna narkoba suntik, laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki); angka
prevalensinya tidak melebih 5% pada subpopulasi tertentu. Sementara itu, yang dimaksud
dengan tingkat epidemi yang terkonsentrasi adalah infeksi HIV telah menyebar di
subpopulasi tertentu, namun tidak ditemukan di populasi umum. Hal ini menunjukkan
aktifnya hubungan antara risiko dengan subpopulasi; angka prevalensi pada subpopulasi
melebihi 5%, namun tidak sampai 1% pada wanita hamil. Kemudian, yang dimaksud tingkat
epidemi yang meluas adalah infeksi HIV telah ditemukan pada populasi umum, dengan
prevalensi pada wanita hamil melebihi 1%.
Pada semua tingkat epidemi, PITC direkomendasikan untuk dilakukan kepada orang
dewasa, remaja, atau anak dengan gejala dan tanda klinis yang sesuai dengan infeksi HIV;
anak yang terpapar HIV atau anak yang lahir dari ibu yang HIV positif; anak dengan
pertumbuhan suboptimal atau malnutrisi, di daerah dengan epidemi yang meluas, yang tidak
membaik dengan terapi yang optimal; serta pria yang menginginkan untuk dilakukan
sirkumsisi sebagai pencegahan penularan HIV.
Pada daerah dengan epidemi yang meluas, PITC direkomendasikan untuk diterapkan
kepada pasien rawat inap dan rawat jalan, termasuk pasien TB; pelayanan kesehatan
antenatal, persalinan dan post partum; pelayanan infeksi menular seksual; pelayanan
kesehatan untuk populasi yang berisiko; pelayanan kesehatan untuk anak usia dibawah 10
tahun; pelayanan kesehatan untuk remaja; pelayanan pembedahan; dan layanan kesehatan
reproduksi, termasuk keluarga berencana.
Untuk daerah dengan tingkat epidemi rendah atau terkonsentrasi, PITC dapat
23

dipertimbangkan untuk diaplikasikan pada tempat pelayanan infeksi menular seksual;


pelayanan kesehatan untuk populasi paling berisiko; pelayanan antenatal, persalinan, dan
pascamelahirkan; serta pelayanan untuk TB.
Panduan nasional Inggris tahun 2008 tentang pemeriksaan HIV merekomendasikan
pemeriksaan HIV secara rutin kepada orang-orang berikut:
a. Semua pasien yang datang ke sarana pelayanan kesehatan di mana HIV, termasuk
infeksi primer HIV, menjadi salah satu diagnosis banding.
b. Semua pasien yang didiagnosis dengan infeksi menular seksual.
c. Semua partner seksual dari laki-laki atau wanita yang diketahui HIV positif.
d. Semua laki-laki dengan riwayat berhubungan seksual dengan laki-laki
e. Semua wanita partner seksual dari laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
f. Semuapasiendenganriwayatpenggunaannarkobasuntik.
g. Semua laki-laki dan wanita yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan
prevalensi HIV yang tinggi (>1%).
h. Semua laki-laki dan wanita yang berhubungan seksual di luar atau di dalam Inggris
dengan pasangan yang diketahui berasal dari negara/daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi.

Uji Konfirmasi HIV


Pemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan pemeriksaan tahap kedua setelah uji
saring. Pemeriksaan ini diperlukan ketika hasil uji saring positif atau positif palsu (hasil uji
saring menyatakan positif, namun sebenarnya tidak terinfeksi HIV). Bila pada pemeriksaan
ini menunjukkan hasil positif, maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu
terinfeksi HIV.

24

LO 2.9

Penatalaksanaan Infeksi HIV


Pengobatan suportif Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum
penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat sintomatik,
vitamin dan dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti
semula/seoptimal mungkin.
Pengobatan infeksi oportunistikYaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi
oportunistik dan dilakukan secara empiris.
Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretrovira (ARV)

TERAPI ANTIRETROVIRAL
Mencegah transmisi penyakit
Menurunkan angka kesakitan & kematian terkait HIV
Memperbaiki kualitas hidup ODHA
Memulihkan / memelihara fungsi kekebalan tubuh
Menekan replikasi virus secara maksimal & terus-menerus
Pengobatan ODHA dewasa dengan antiretroviral dibagi menjadi dua kelompok:
1. Regimen ARV Lini Pertama
a. Golongan Nucleoside RTI (NRTI):
*Reverse transciptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral
sebelum bergabung dgn kromosom hospes
*NRTI menghambat secara kompetitif RT dan dapat bergabung dengan rantai
DNA virus yg sedang berkembang terminasi
*Semua obat NRTI harus mengalami 3 tahap fosforilasi oleh enzim sitoplasma
hospes membentuk trifosfat
Komplikasi penggunaan NRTI : asidosis laktat, hepatomegali berat + steatosis
*Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam
Efektif : HIV-1&2, Human T lymphotropic virus (leukemia)
0,001 0,04g/ml: hambat infeksi HIV-1 akut pd sel T & limfosit darah
perifer.
0,3 0,5g/ml : hambat pertumbuhan sel progenitor mieloid, eritriod,
blastogenesis sel2 mononuklear
Farmakokinetika: Absorbsi oral cepat tp dpt dihambat jika ada makanan,
bioavaibilitas 60-70%, kadar dlm CSS 53% (dws), 24% (anak),
ekskresi melalui ginjal
ES. Awal terapi: nyeri kepala, mual, muntah, insomnia, mialgia
berkurang setelah terapi lanjut
Risiko toksik jika : jumlah sel CD4<<, Penyakit bertambah parah, dosis
>>, terapi memanjang
25

Terapi dihentikan jika : hepatomegali, kadar enzim hepar , asidosis


laktat/metabolik
Interaksi obat:
o Flukonazol, probenesid, lamivudin zidovudin
o Rimfapisin kadar zidovudin
o Gansiklovir risiko toksisitas hematologi

*Lamivudin
Indikasi
: hepatitis B, HIV 1-2 bersama anti- retrovirus lainnya
Absorbsi cepat peroral, bioavaibilitas 80%, T eliminasi 2,5 jam, ekskresi
70%:urin
Efek samping : sakit kepala, mual secara umum dpt ditolerir, tidak sebabkan
neuropati perifer,
Dapat diberikan untuk anak 2-17 th, keamanan untuk ibu hamil tidak
diketahui, tidak dapat mencegah penularan dari ibu ke bayi
*Didanosin
Tidak toksik terhadap sel-sel hematopoietik / limfosit pd dosis terapi
Absorbsi 35-45% << 50% jika ada makanan / fluroquinolon/tetrasiklin
kelat (rentang waktu min 2 jam), Biovaibilitas oral 35-45%, ekskresi: ginjal
Efek Samping Mayor : neuropati perifer (parestesia, nyeri extremitas bwh) &
pakreatitis dlm 3-6 bln terapi & terkait dosis. Rash, diare, headache, kejang,
insomnia, aminotransferase & asam urat
Indikasi
: terapi HIV/AIDS untuk pasien yang tidak tahan terhadap
zidovudin
*Stavudin
Kurang toksik thdp sel-sel hematopoitik dibandingkan zidovodin
Biovaibilitas oral 70-86%, tidak tergantung makanan, kadar dlm CSS 55%,
bersihan melalui ginjal
ES: neuropati sensoris perifer (nyeri) yg reversibel (hindari diberikan
bersamaan didanosin, zalsitabin), rash, pankreatitis, anemia, atralgia, demam
Infeksi AIDS yg tdk tahan obat lain perbaikan yg bermakna jumlah CD4 &
kadar antigen p24 serta gejala klinis
*Zalsitabin
Potensi = zidovudin, > aktif pd monosit / makrofag & sel yg istirahat
Biovailabilitas oral 88%, kadar obat jk ada makanan/antasid, T intrasel
10 jam
Efek Samping : neuropati perifer, mual, rash, demam, ulserasi oral &
esofagus, pankreatitis
26

Zidovudin
: < efektif dlm survival & infeksi oportunistik, mencegah
perkembangan penyakit
b. NtRTI
*Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari (obat baru)
NtRTI hanya mengalami 2 tahap fosforilasi obat bekerja lebih cepat dan
konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna
Indikasi : HIV-1 & HIV-2, hepatitis B
Terapi HIV dalam kombinasi. Efek Samping : mual, muntah, flatulens, diare
c. Non-nucleoside RTI (NNRTI)
Hambat aktivitas enzim reverse transcriptase dgn cara berikatan di tempat yg
dekat dgn tempat aktif enzim
Tidak mengalami fosforilasi utk menjadi bentuk aktif
*Efavirenz (EFV)600 mg sekali sehari
Interaksi obat :
kadar retonafir & nelfinavir
kadar amprenavir, indinavir, klaritromisin
Kera: teratogenik kontraindikasi pada kehamilan
*Nevirapine (NPV)
Indikasi: diberikan sebagai terapi kombinasi utk HIV/AIDS
Dosis awal 200mg selama 14 hari pertama tidak ada efek samping dosis
ditingkatkan. Dosis tunggal 200mg + zidovudin efektif cegah transmisi HIV
dr ibu ke bayi jika diberikan awal persalinan & 3 hari pd neonatus
*Delavirdin
Interaksi obat: antasid, didanosin, fenitoin, fenobarbital,
karbamazepin, nelfinavir,saquinavir kadar delavirdin
Teratogenik pd tikus

rifampisin,

Protease Inhibitor (PI)


PI menghambat pelepasan polipeptida prekursor virus hambat maturasi virus
sel akan hasilkan virus yg immatur dan tidak virulen
PI menyebabkan gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare; intoleransi
glukosa, diabetes, hiperkolesterolemia & hipertrigliserida

Indinavir/ritronavir (IDV/r) 800 mg/100 mg setiap 12 jam


Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam
Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam
Sequinavir/r (SQV/r) 1000 mg/100 mg setiap 12 jam
Ritonavir (RTV, r) 100 mg

Pilihan pengobatan adalah kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI:


27

1.
2.
3.
4.

AZT + 3TC + NVP


AZT + 3TC +EVP
d4T + 3TC + NVP
d4T +3TC + EFV

2. Regimen ARV Lini Kedua


Ini merupakan alternative pengobatan apabila yang pertama gagal:
1. AZT atau d4T diganti dengan TDF atau ABC
2. 3TC diganti dengan ddl
3. NVP atau EFV diganti dengan LPV/r atau SQV/r
Obat ARV menjadi pilihan terapi karena:
ARV memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang daya tahan
tubuh
Obat ini aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan sampai
mendekati nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif dan
pengelolaan klinis yang agresif
Imunisasi belum memuaskan

Tujuan Terapi ARV


Menurunkan angka kematian dan angka perawatan di rumah sakit
Menurunkan viral load
Meningkatkan CD4 (pemulihan respons imun)
Mengurangi resiko penularan
Meningkatkan kualitas hidup
Kriteria untuk memberikan terapi antiretrovirus sebagai berikut :
Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk
mendiagnosis HIV secara dini.
Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama
sedikitnya 1 tahun
Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang
ART, pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.
Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong
kepatuhan serta untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.
Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi
oportunistik akibat HIV
Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk
infeksi oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial,
dukungan sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok
dukungan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.
28

Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang


penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebar
luaskan informasi dan pedoman baru.

Indikasi pemberian terapi Anti Retro Virus


:
Akibat infeksi HIV sistem imun tubuh rusak
HIV menyerang sel CD4 yg merupakan bagian penting dari sistem imun sel CD4
<< sistem terlalu lemah utk melawan infeksi
Normal : sel CD4 500-1500, pd HIV menurun makin rendah, makin rusak sistem
imun
Sel CD4<200 infeksi oportunistik AIDS
Pemeriksaan sel CD4 mahal, tidak semua tersedia CD4 anggota limfosit jumlah
limfosit total/TLC dpt memberikan gambaran kondisi sistem imun
Normal:TLC 2000, TLC 1000-1250 sel CD4 200
ARV untuk koinfeksi TB
Pemberian ARV + obat TB (OAT):
Potensi interaksi obat dengan rifampisin
Aditif toksisisitas hepatotoksik & neuropati
IRIS
Standar terapi TB :
2 bulan : Isoniazid, rifampisin, pirazinamid, & / etambutol
4-7 bulan : isoniazid & rifampisin
Rifampisin merupakan inducer enzim sitokrom hati p450 meningkatkan
metabolisme ART Protease inhibitor, NNRTI kadar ART dalam tubuh menurun
Rifampisin bersifat hepatotoksik ARV jg hepatotoksik bahaya
IRIS sering pd HIV + TB: 8-43% termasuk penyebab kematian pada tahun pertama
terapi ARV
IRIS pasien merasa lebih sakit setelah minum obat penting konseling!!
Nevirapin hepatotoksik insiden tinggi, dapat berat & fatal
Kombinasi dgn rifampisin memperparah kerusakan hati kematian
Nevirapin diganti evafirenz
Evafirenz teratogenik bila pasien WUS harus memakai kontrasepsi yg adekuat
Regimen terapinya :
Zidovudin + lamivudin + evafirenz, atau
Stavudin + lamivudin + evafirenz

ART pada kehamilan


ODHA yg masih mungkin hamil, kehamilan belum dipastikan, hamil muda pilih
ARV yg aman utk trimester I evafirenz harus dihindari
29

ODHA yg sdg terapi ARV kemudian hamil harus meneruskan ARV bila mendapat
evafirenz, maka diganti nepiravin
ODHA hamil sebaiknya mendapat ARV setelah trimester I mencegah penularan
HIV pada janin
Kombinasi stavudin & didanosin tidak boleh diberikan risiko tinggi asidosis laktat
NRTI/NtRTI
Rekomendasi: zidovudin, lamivudin
Alternatif: didanosin, stavudin, emtricitabin, abacavir
Tidak boleh: zalsitabin
NNRTI
Rekomendasi: nevirapin
Tidak boleh: evafirenz, delavirdin
Protease Inhibitor
Rekomendasi: lopinavir, ritonavir,
Alternatif: indinavir, saquinavir
Tidak boleh: Atazanavir, darunavir, amprenavir

LO 2.10

Komplikasi Infeksi HIV

Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari surpresi sel T. Karena sel T
yang diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat terjadi infeksi oportunistik.
Komplikasi-komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat
anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART),
sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini
membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien
hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik.
Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan
resistensi.
Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat infeksi oportunistik:
Tuberkulosis (TB)
Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling umum yang
terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di antara orang yang hidup
dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan banyak ahli
menganggap bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.
Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah
terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut dan,
kadang-kadang, muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat menjadi
sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIV-positif.
30

Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh seperti air
liur, darah, urine, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat
menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman (tertidur) di
dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi aktif kembali dan
dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan, paru-paru atau organ
tubuh lainnya.
Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan peradangan
dan timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut, kerongkongan atau
vagina. Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama di mulut atau
kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.
Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf
pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada dalam tanah
dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.
Toxoplasmolisis
Infeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Penularan
parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja kucing yang
terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.
Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan.
Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang
terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang menyebabkan
diare kronis pada orang dengan AIDS.

Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:


Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun jarang
terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada orang dengan
HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah muda, merah atau
ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap, lesi mungkin terlihat
hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat mempengaruhi organ-organ
internal, termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.
Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal dari
kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan
pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.

Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun masih
tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan sebagai
31

penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai dengan diare,
kelemahan kronis dan demam.
Komlikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS bisa
menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan dan
kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling umum adalah
demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan perilaku dan fungsi
mental berkurang.

LO 2.11 Prognosis Infeksi HIV


Tanpa pengobatan, waktu hidup bersih rata-rata setelah terinfeksi HIV diperkirakan 9
sampai 11 tahun, tergantung pada subtipe HIV, di daerah-daerah dimana banyak tersedia,
pengembangan ARV sebagai terapi efektif untuk infeksi HIV dan AIDS mengurangi kematian
tingkat dari penyakit dengan 80%, dan meningkatkan harapan hidup untuk orang yang
terinfeksi HIV baru didiagnosis sekitar 20 tahun.
Tanpa terapi antiretroviral, kematian biasanya terjadi dalam waktu satu tahun. Laju
perkembangan penyakit klinis sangat bervariasi antara individu dan telah terbukti dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti kerentanan host dan fungsi kekebalan tubuh.

LO 2.12
Pencegahan Infeksi HIV
Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks
yang tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini
memungkinkan penularan HIV)
Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua
resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan
bayinya, sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa
dipertimbangkan.
Abstinensi ( puasa, tidak melakukan hubungan seks)
Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia
kepada pasangannya
Untuk yang melakukan hubungan seksual yang mengandung risiko, dianjurkan
melakukan seks aman termasuk menggunakan kondom
o Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau
cukur) harus disterilisasi dengan benar
Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan
orang lain

LI.3

Memahami dan Menjelaskan Dilema Etik

32

LO 3.1

Kaidah Kode etik kedokteran

Etika Medis adalah kepedulian dan tanggungjawab moral dokter terhadap


hidup dan kesehatan pasiennya. Sejak jaman Hipokrates, bahkan sebelum jaman
tersebut hubungan dokter pasien sudah diatur oleh kaidah-kaidah moral dan etika.
Hal yang berkaitan dengan etika kedokteran berkembang sejalan dengan kemajuan
jaman dan ilmu kedokteran. Sebagai contoh salahsatu butir kode etik kedokteran
Amerika; The American Medical Association (1874) yang dikutip oleh Samsi
Jacobalisi; The obidience of a patient to the prescriptions of his physician should be
prompt and implicit.He should never permit his own crude opinions as to their fitness,
to influence his attention to them. yang pada intinya berarti bahwa pasien harus
patuh kepada dokteranya secara mutlak; dan yang dikutip dari American Medical
Associaion Bulletin, (1909)2, yang menyatakan; No one should be permitted to
practice medicine who is not suffucuently trained to recognize disease, since a proper
diagnoses is essential for any treatment regardless of methods employed. Pada
konteks ini dan dalam bacaan lebih lanjut tidak membahas tentang hak hak pasien,
tetapi masih banyak mengulas tentang pembelajaran Ilmu dasar, diagnosis dan
penatalaksanaan pasien semata.

Hal hal yang mengatur tentang hak pasien baru diatur pada tahun 1975, pada A
Patients Bill of Rights Hal yang memuat 12 butir hak dasar pasien
termasuk Informed Consent. A Patients Bill of Rights (1975) berbunyi: The patient
has the right to refuse treatment to the extent permitted by law and to be informed of
the medical consequences of his actionyang bila diterjemahkan bebas artinya adalah
Pasien memiliki hak untuk menolak pengobatan sejauh diizinkan oleh hukum dan
untuk diberitahu tentang konsekuensi medis dari tindakannya
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai
infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang
terinfeksi HIV. Stadium IV adalah stadium akhir dimana penderita HIV/ aids tidak
dapat tertolong lagi nyawanya. Dan pada saat ini adalah puncaknya penderita
HIV/AIDS mendapatkan stigma dan diskriminasi dari masyarakat. Padahal mereka
sangat membutuhkan dukungan untuk tetap semangat dan melanjutkan hidupnya yang
tinggal dihitung jari . Seorang dokter memegang peranan penting dalam hal ini.
Santunan dokter terhadap penderita HIV/AIDS merupakan penyemangat hidup bagi
mereka. Dukungan tersebut bisa pula diperoleh penderita HIV/AIDS dari pihak lain
dan lingkungan, seperti keluarga dan masyarakat. Namun , seorang dokter lebih
paham akan menyikapi penderita HIV/AIDS agar tidak tertekan oleh stigma dan
diskriminasi yang mereka peroleh dari masyarakat dan lingkungan yang tidak
mengerti dan memahami akan keadaan penderita HIV/AIDS. Banyak metode yang
dapat dilakukan oleh seorang dokter untuk menyikapi penderita HIV/AIDS yang
sudah tidak dapat tertolong lagi nyawanya.
Dari uraian diatas dr. Asrul Sani mengatakan, sampai saat ini biasanya AIDS berakhir
dengan kematian Karena penyakit HIV/AIDS ini belum ditemukan obat medisnya,
33

sehingga seseorang yang menderita HIV/AIDS tidak bisa di obati, namun hanya bisa
di beri dukungan, saran, dan pengobatan alternatif umtuk mengindari penularan dan
memberi semangat hidup kepada meraka. Sehingga mereka dapat melakukan
aktifitasnya sebagaimana sebelumnya. Fenomena tersebut akan semakin
menghilangkan potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh Pengidap HIV/AIDS.
Berbagai potensi (strength) yang dimiliki dalam proses pendidikan, pekerjaan dan
kegiatan
lain
akan
berangsur
menurun.
Selain
itu
berbagai
kesempatan (opportunity) yang
berupa
dukungan
keluarga,
kesempatan
pengembangan terkalahkan oleh adanya diskriminasi dan stigma tersebut. Seorang
dokter mempunyai tanggung jawab besar dalam menghadapi pasien penderita
HIV/AIDS. Dengan demikian dokter harus mampu menyikapi pasien penderita
HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong lagi dengan caranya sebagai dokter.
Selain cara diatas, seorang dokter dapat menyikapi penderita HIV/AIDS dengan
metode Appreciative Inquiry, merupakan suatu metode untuk memaksimalkan
kekuatan (strength
dan
Opportunity) yang
dimiliki
oleh
Pengidap
HIV/AIDS. Menurut Dion, Metode ini lebih memfokuskan terhadap kekuatan dan
terlepas dari berbagai kelemahan. Kelemahan yang dihadapi oleh Pengidap
HIV/AIDS berupa diskriminasi, stigma, perasaan rendah diri dan sebagainya.
Fenomena yang terjadi adalah sebagian besar seseorang khususnya Pengidap
HIV/AIDS hanya berfokus pada kelemahan tersebut. Namun Appreciative
Inquiry lebih menganjurkan agar setiap Pengidap HIV/AIDS lebih memfokuskan
perhatian pada kekuatan yang dimiliki dan memaksimalkannya. Dengan demikian, hal
ini akan membangun citra positif secara pribadi dan bermanfaat bagi
lingkungan. Metode ini diharapkan mampu menjadikan Pengidap HIV/AIDS untuk
menjalani hidup sebagaimana manusia seutuhnya. Tidak terlalu memikirkan penyakit
yang dideritanya, karena seorang dokter selalu berusaha untuk mengarahkannya pada
kekuatan dan kepribadian yang dimilkinya, sehingga penderita HIV/AIDS akan lebih
percaya diri dan dapat beraktifitas sebagaimana sebelumnya.
Selain itu dalam Buku PMI Pelatihan Remaja Sebaya tentang Kesehatan dan
Kesejahteraan Remaja tertulis, seorang dokter harus bersikap biasa ( tanpa
membedakan) seperti sikap terhadap orang sehat atau penderita penyakit lain. Seorang
dokter harus dapat menghindari sikap membedakan, apalagi memusuhi, karena akan
menyebabkan penderita tertekan. Karena penderita HIV/AIDS membutuhkan
dukungan agar mereka memiliki kepercayaan diri dan mampu berbuat banyak bagi
masyarakat, yaitu dengan membangkitkan kepercayaan mereka dan dokter dapat
memberilah dukungan serta kasih sayang. Dokter harus mampu memberilah
pemahaman terhadap permasalahan yang mereka hadapi dan cara mengatasinya.
Menasehati, agar jangan merasa tertekan secaraberlebihan karena semua orang pasti
diberi cobaan. Menurut dr.Lita, cara merawat penderita HIV dan AIDS itu pertama
kita coba untuk membayangkan diri kita sendiri sebagai pengidap penyakit tersebut.
Dengan mengetahui mana aktifitas yang berisiko menularkan HIV dan AIDS dan
mana yang tidak , kita dapat memperlakukan penderita secara wajar. Dan kita tetap
harus memperhatikan prosedur P3K ketika melakukan perawatan kepada penderita.
Berdasarkan cara cara dokter menyikapi Penderit HIV/AIDS diatas, seorang dokter
tidak lupa pula akan etika, hukum dan hak asasi yang dimilki oleh penderita
HIV/AIDS. Hak asasi dan hak kesehatan adalah yang utama diterapkan oleh seorang
34

dokter terhadap pasien penderita HIV/AIDS. Walaupun kenyataannya penderita


HIV/AIDS tidak ada obatnya dan tidak dapat tertolong nyawanya, atau biasanya
berahir dengan kematian. Namun, kadua hak tersebut harus tetap diberikan oleh
sorang dokter kepada pasien penderita HIV/AIDSnya. Menurut Herkutanto, ini dapat
diterapkan melalui pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan individual maupun
pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, keduax tidak dapat dilakukan secara
bersamaan atau harus dibedakan, karena dapat saja menimbulkan konflik antara
pemberi pelayanan kesehatan ( dokter ) dengan penerima pelayanan kesehatan (pasien
penderita HIV/AIDS).
Dari uraian pelayanan kesehatan diatas, dapat dilakukan dalam empat bentuk
pelayanan kesehatan, yaitu dengan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Namun,untuk perawatan penderita HIV/AIDS yang tidak dapat tertolong nyawanya
seorang dokter cukup melakukannya dengan kegiatan preventif dan kuratif. Karena
kegiatan preventif ini bertujuan untuk pencegahan penularan dan penyebaran
HIV/AIDS dari penderita HIV/AIDS tersebut kepada masyarakat. Selain itu juga
dilakukan interverensi oleh dokter kepada masyarakat untuk menghapus pandangan
negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Terhadap penderita HIV/AIDS seorang dokter
memberikannya edukasi agar tidak melakukan penularan kepada orang lain dan
konseling agar merasa lebih berarti dalam kehidupanya. Sedangkan kegiatan kuratif
disini bukanlah penyembuhan dalam arti kata sebenarnya, karena HIV/AIDS termasuk
yangincureble. Namun, tindakan perawatan ini dilakukan di sarana kesehatan lebih
bersifat care daripada curenya.
Dikarenakan penyakit HIV/AIDS belum ada obatnya, maka seorang dokter dapat pula
menerapkan suatu metode penanganan infeksi HIV/AIDS pada penderita HIV/AIDS,
yaitu dengan Terapi Antiretrovirus yang sangat aktif. Terapi ini telah sangat
bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996 yaitu setelah
ditemukannya
HAART (highly
active
antiretroviral
therapy )yang
menggunakan protease inhibitor. Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya
pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka seorang dokter akan
mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan serta kesiapan mental pasien,
saat memilih waktu memulai perawatan awal. Tetapi terapi ini juga menimbulkan efek
samping seperti penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular,
dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan. Terapi Antiretrovirus ini terbukti
efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS. Obat ini bekerja
menghambat replikasi / perbanyakan virus HIV. Walaupun demikian obat ini tidak
mampu membunuh HIV secara total dan berpotensi menimbulkan efek samping yang
berat dan pemakaiannya harus setiap hari seumur hidup. Jika kepatuhan penderita
kurang maka dapat menyebabkan resistensi obat.
Oleh karena terapi antiretrovirus dapat menimbulkan efek samping, maka sorang
dokter dapat menyarankan kepada penderita HIV/AIDS untuk melakukan
olahraga. Olahraga membantu banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha)
untuk merasa lebih sehat dan mungkin memperkuat sistem kekebalan tubuh. Olahraga
tidak dapat mengendalikan atau melawan penyakit HIV, tetapi dapat membantu kita
merasa lebih sehat dan melawan berbagai dampak dari HIV dan efek samping obatobatan yang dipakai oleh Odha tersebut. Olahraga dapat meningkatkan energi,
35

melawan kelelahan dan depresi, meningkatkan daya tahan dan kesehatan


kardiovaskular, membantu mengurangi stres dan mendorong kekuatan otot.
Jadi seorang dokter harus mampu memberikan saran, dukungan, dan lain sebaginya
agar seorang pasien penderita HIV AIDS mempunyai semangat hidup dan
kepercayaan diri kembali.

LO 3.2

UUD

Sejalan dengan perkembangan epidemi HIV/ AIDS baik skala global maupun skala
nasional, maka sejak tahun 1994, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1994 tanggal 30 Mei 1994 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS. Berdasarkan Keppres tersebut, dibentuklah Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) yang bertujuan untuk:
1. Melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau strategi global pencegahan dan
penanggulangan AIDS yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2. Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya AIDS dan meningkatkan
pencegahan dan/atau penanggulangan AIDS secara lintas sektor, menyeluruh, terpadu dan
terkoordinasi.
Untuk mengejawantahkan tujuan Keppres 36 Tahun 1994 maka Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat yang ditunjuk sebagai Ketua Komisi Penanggulangan AIDS,
menerbitkan Keputusan Nomor: 9/KEP/MENKO/KESRA/VI/1994 tanggal 16 Juni 1994
tentang Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan AIDS di Indonesia. Adapun tujuan
yang diusung STRANAS dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah:
1. Mencegah penularan virus HIV dan AIDS.
2. Mengurangi sebanyak mungkin penderitaan perorangan serta dampak sosial dan
ekonomis dari HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.
3. Menghimpun dan menyatukan upaya-upaya nasional untuk penanggulangan HIV dan
AIDS.
Seiring pergerakan dan kecendrungan epidemi HIV dan AIDS maka pada tahun 2003,
Komisi Penanggulangan AIDS menerbitkan STRANAS Pencegahan dan Penanggulangan
HIV tahun 2003-2007 yang dirancang untuk sedapat mungkin mengakomodir seluruh
perkembangan yang ada di dunia, terutama perkembangan dalam pertemuan Sidang Umum
PBB, dikenal dengan Unitetd Nation General Assembly Special Session (UNGASS) yaitu
satu pertemuan negara-negara anggota PBB dalam rangka membahas upaya global
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, tanggal 25-27 Juni tahun 2001. Hasil dari
pertemuan tersebut didokumentasikan sebagai Deklarasi Komitmen Sidang Umum PBB
tentang HIV dan AIDS dan Pemerintah Indonesia ikut menandatanganinya.
Segera setelah itu, pada bulan Maret tahun 2002, dilaksanakan Rapat Kabinet yang
khusus membahas laju perkembangan epidemi HIV dan AIDS di dunia umumnya dan di
Indonesia khususnya sekaligus merekomendasikan langkah-langkah strategis yang harus
dilaksanakan dalam rangka menekan laju epidemi global ini. Langkah-langkah strategis
sebagaimana dimaksud di atas, dituangkan dalam STRANAS 2003-2007.
36

Strategi Nasional 2003-2007 disusun dengan memperhatikan kecenderungan epidemi


HIV dan AIDS, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang pengobatan, dan
perubahan sistem pemerintahan ke arah desentralisasi. Secara umum Strategi Nasional yang
baru telah menggambarkan secara komprehensif segala hal yang diperlukan demi suksesnya
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Hal ini terlihat jelas
dalam penetapan area prioritas yang meliputi: (1) Pencegahan HIV dan AIDS, (2) Perawatan,
Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA, (3) Surveilans HIV dan AIDS dan IMS, (4)
Penelitian, (5) Lingkungan Kondusif, (6) Koordinasi Multipihak dan (7) Kesinambungan
Penanggulangan (Simplexius Asa, dkk, 2009).
Perlindungan Hukum dan HAM terhadap Pengidap HIV/AIDS
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat dipisahkan dari
aspek hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan pokok yang menyangkut hukum
berkaitan dengan maraknya kasus HIV/ AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara
perlindungan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu pengidap HIV dan penderita
AIDS (Indar, 2010).
Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat penting dan ikut
berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang dilaksanakan. Telah
diketahui bahwa salah satu sifat utama dari fenomena HIV & AIDS terletak pada keunikan
dalam penularan dan pencegahannya. Berbeda dengan beberapa penyakit menular lainnya
yang penularannya dibantu serta dipengaruhi oleh alam sekitar, pada HIV & AIDS justeru
penularan dan pencegahannya berhubungan dengan dan atau tergantung pada perilaku
manusia.
Perilaku manusia selalu bersentuhan dengan hukum dan HAM. Hukum adalah suatu
alat dengan dua fungsi utama, yakni sebagai social control dan social engineering.
Sebagai social control, hukum dipakai sebagai alat untuk mengontrol perilaku tertentu dalam
masyarakat sehingga perilaku tersebut tidak merugikan diri sendiri dan anggota masyarakat
lainnya.
Sebagai social engineering, hukum dijadikan sebagai alat yang dapat merekayasa sebuah
masyarakat sesuai keinginan dan cita-cita hukum (Asa, Simplexius, 2009).
Pada banyak kasus, penderita akhirnya bisa berdamai dengan kenyataan bahwa
mereka memang mengidap HIV dan mungkin akan meninggal dengan dan karena AIDS.
Akan tetapi penderitaan yang lebih parah justru dialami karena adanya stereotype yang
dikenakan kepada mereka. Orang terinfeksi acap kali dihubungkan dengan orang terkutuk
(amoral) karena perilakunya yang menyimpang dan memang harus menanggung penderitaan
sebagai karma atas dosa-dosanya. Tidak hanya dalam bentuk stereotip tetapi di banyak
tempat ditemukan pula berbagai pelanggaran HAM berupa stigmatisasi dan diskriminasi,
bahkan juga penganiayaan dan penyiksaan. Pelbagai pelanggaran HAM dan hukum sebagai
yang tergambar di atas pada akhirnya merupakan fakta sosial yang menjadi bagian dari
penderitaan orang terinfeksi bahkan merupakan penyebab sekunder/non medis bagi kematian
mereka.
Dalam pasal 4 UU Kesehatan No. 36/2009 dinyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kesehatan. Permasalahan HIV dan AIDS sangat terkait dengan hak atas kesehatan. Hak
atas kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait dengan kepastian
37

akan adanya pemenuhan atas hak yang lain, seperti pendidikan dan pekerjaan. Secara garis
besar di dalam UU Kesehatan perlindungan hukum terhadap penderita HIV/ AIDS diatur
mengenai :
Hak atas pelayanan kesehatan
Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh
masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5 UU Kesehatan
dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber
daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas
pemerintah dalam hal ini untuk menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan
lainnya yang cukup dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan
menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan ketersediaan obat dan alat
kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga bagi penderita HIV/AIDS.
Hak atas informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan
informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8.
Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman masyarakat
mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS, misalnya melalui
penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan informasi
mengenaiHIV/AIDS.
Hak atas kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana setiap
orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No. 29/2004 juga mengatur
mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan 4 tentang rekam medis
dan rahasia kedokteran.
Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter - pasien. Ini
berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang
dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV / AIDS banyak
sangkut pautnya dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya.
Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan kepentingan
mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, hak asasi seseorang harus
diindahkan, namun hak asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak. Pembatasan dari hak asasi
seseorang adalah hak asasi orang lain didalam masyarakat itu. Jika ada pertentangan
kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap kepentingan masyarakat banyak.
Hak atas persetujuan tindakan medis
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis atau
informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed Consent.
Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang
penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping
wajib merahasiakannya. Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.
Semua tes HIV harus mendapatkan informed consent dari pasien setelah pasien
diberikan informasi yang cukup tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes positif ataupun
negatif yang berupa konseling prates.

38

LI.4
HIV/AIDS

Memahami

dan

Menjelaskan

Pandangan

Islam

pada

Penderita

Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks
bebas. Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas
tersebut. Hal ini meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempattempat prostitusi, club-club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
1. Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukanmuhrim
berkholwat (berduaan/pacaran).
Sabda Rasulullah Saw:Laa yakhluwanna rojulun bi imroatin Fa inna tsalisuha
syaithanartinya: Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi (bukan
muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga. (HR. Baihaqy)
2. Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya.
Allah Swt berfirman:

Janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan
seburuk-buruknya jalan (QS al Isra[17]:32)
3. Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain homoseks (laki-laki
dengan laki-laki) dan lesbian (perempuan dengan perempuan ).
Firman Allah Swt dalam surat al Araf ayat 80-81 : Dan (kami juga telah mengutus)
Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun
manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungghnya kamu mendatangi lelaki untuk
melepaskan nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada wanita, Bahkan kamu ini adalah
kaum yang melampaui batas. ( TQS. Al Araf : 80-81)

39

Daftar Pustaka
Dewi, Alexandra I. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher
Djoerban Z, Djauzi S. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, vol III Jakarta : Departemen
Penyakit Dalam FKUI.
Baratawidjaja Garna Karnen, Rengganis Iris. 2012. Imunologi Dasar. Edisi Ke-10. Jakarta :
Badan Penerbit FKUI
Baratawidjaja Garna Karnen, Renggaris Iris. 2010. Imunologi Dasar. Edisi Ke-9, Jakarta :
Badan Penerbit FKUI
Kresno, Siti Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta :
FKUI
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis, edisi 2. Jakarta. Erlangga

40

Você também pode gostar