Você está na página 1de 28

AKUNTANSI MANAJEMEN LINGKUNGAN

OLEH
ENDANG TRI PRATIWI

(NIM: 2014240925)

SRI APRIYANTI HUSAIN

(NIM: 2014240926)

MATERI KELOMPOK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
Akuntansi Manajemen Lanjutan

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

AKUNTANSI MANAJEMEN LINGKUNGAN


PENDAHULUAN
Saat populasi dunia berkembang, memperluas kegiatan usaha, dan dunia yang
tampaknya menyusut, jutaan orang di seluruh dunia lebih sadar akan sangat pentingnya
melestarikan lingkungan kita untuk diri kita dan keturunan kita. Masalah-masalah
seperti kualitas udara dan air, karsinogen tersembunyi, pemanasan global, dan konsumsi
berlebihan sumber energi tak terbarukan merupakan berita utama setiap hari. Para
pemimpin bisnis telah berbicara tentang keinginan pembangunan berkelanjutan, yang
berarti kegiatan usaha yang menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan di masa kini
tanpa membatasi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Banyak perusahaan yang berjuang untuk ecoefficiency lebih besar, yang berarti
meningkatkan produksi barang dan jasa, sementara pada saat yang sama mengurangi
efek merusak pada lingkungan produksi yang sayangnya, tidak semua perusahaan samasama berusaha keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.
Untuk memaksa perusahaan memperhatikan isu-isu lingkungan, di Amerika
Serikat memiliki undang-undang lingkungan, seperti US Clean Air Act dan AS U.S.
Superfund Act, serta badan pengawas federal, inisiatif lingkungan juga, seperti Protokol
Kyoto, yang berusaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang dipercaya banyak
ilmuwan berkontribusi pada pemanasan global. Sedangkan di Indonesia, pemerintah
mengeluarkan Undang-undang Lingkungan Hidup yang mewajibkan industri-industri
untuk melakukan pengelolaan lingkungan sehubungan dengan aktivitas usahanya.
Suatu industri perlu mengukur dampak lingkungan dari aktivitas produksi baik
dampak lingkungan secara fisik dan juga dampak lingkungan secara finansial bagi
perusahaan. Pendekatan Environmental Management Accounting (EMA) tepat untuk
dipakai dalam masalah ini, karena melalui EMA didapatkan informasi mengenai aliran
material atau energi, dan dampak ke lingkungan berdasarkan biaya lingkungan yang
dikeluarkan.
Biaya lingkungan ini mengambil banyak bentuk, seperti menginstal scrubber pada
cerobong asap untuk mematuhi peraturan EPA, meningkatkan proses produksi untuk
mengurangi atau menghilangkan polutan tertentu, atau membersihkan sungai yang
terkontaminasi. Pada bagian berikutnya, kita secara sistematis akan mengeksplorasi

biaya ini dengan tujuan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
mengelolanya.
A. ENVIRONMENTAL COST OF QUALITY.
1) Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting/EA)
Praktek-praktek akuntansi tradisional seringkali melihat biaya lingkungan sebagai
biaya mengoperasikan bisnis, meskipun biaya-biaya tersebut signifikan, meliputi: biaya
sumberdaya, yaitu mereka yang secara langsung berhubungan dengan produksi dan
mereka yang terlibat dalam operasi bisnis umum, pengolahan limbah, dan biaya
pembuangan. Biaya reputasi lingkungan, dan biaya membayar premi asuransi resiko
lingkungan.
Dalam banyak kasus, biaya-biaya lingkungan seperti yang berkaitan dengan
sumberdaya alam (energi, udara, air) dimasukkan ke dalam satu jalur biaya operasi
atau biaya administrasi yang diperlakukan independen dengan proses produksi. Juga
biaya lingkungan sering didefinisikan secara sempit sebagai biaya yang terjadi dalam
upaya pemenuhan dengan atau kaitan dengan hukum atau peraturan lingkungan. Hal ini
karena sistem akuntansi cenderung berfokus pada biaya bisnis yang teridentifikasi
secara jelas, bukan pada biaya dan manfaat pilihan alternatif.
Akuntansi Lingkungan (Environment Accounting) adalah biaya-biaya lingkungan
yang dimasukkannya ke dalam praktik akuntansi perusahaan atau lembaga pemerintah.
Sedangkan, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau United
States Environment Protection Agency (US EPA), akuntansi lingkungan merupakan
fungsi yang menggambarkan biaya-biaya lingkungan yang harus diperhatikan oleh
pemangku kepentingan perusahaan di dalam pengidentifikasian cara-cara yang dapat
mengurangi atau menghindari biaya-biaya pada waktu yang bersamaan dengan usaha
memperbaiki kualitas lingkungan. Oleh karena itu, akuntansi lingkungan mempunyai
pengertian yang sama dengan akuntansi biaya lingkungan yaitu sebagai penggabungan
informasi manfaat dan biaya lingkungan kedalam praktik akuntansi perusahaan atau
pemerintah dengan mengidentifikasikan cara-cara yang dapat mengurangi atau
menghindari biaya perbaikan
Akuntansi Lingkungan secara spesifik mendefinisikan dan menggabungkan
semua biaya lingkungan ke dalam laporan keuangan perusahaan. Bila biaya-biaya
tersebut secara jelas teridentifikasi, perusahaan akan cenderung mengambil keuntungan

dari peluang-peluang untuk mengurangi dampak lingkungan. Manfaat-manfaat dari


mengadopsi akuntansi lingkungan dapat meliputi:
a) Perkiraan yang lebih baik dari biaya sebenarnya pada perusahaan untuk
memproduksi produk atau jasa. Ini bermuara memperbaiki harga dan profitabilitas
b) Mengidentifikasi biaya-biaya sebenarnya dari produk, proses, sistem, atau fasilitas
c)

dan menjabarkan biaya-biaya tersebut pada tanggungjawab manajer


Membantu manajer untuk menargetkan area operasi bagi pengurangan biaya dan

perbaikan dalam ukuran lingkungan dan kualitas


d) Membantu dengan penanganan keefektifan biaya lingkungan atau ukuran perbaikan
e)

kualitas
Memotivasi staf untuk mencari cara yang kreatif untuk mengurangi biaya-biaya

f)

lingkungan.
Mendorong perubahan dalam proses untuk mengurangi penggunaan sumberdaya

dan mengurangi, mendaur ulang, atau mengidentifikasi pasar bagi limbah


g) Meningkatkan kepedulian staf terhadap isu -isu lingkungan, kesehatan dan
keselamatan kerja
h) Meningkatkan penerimaan konsumen pada produk atau jasa perusahaan dan
sekaligus meningkatkan daya kompetitif.
2) Konsep Ekoefisensi
Konsep ini mengandung tiga hal penting. Pertama, perbaikan kinerja ekologi dan
ekonomi dapat dan sudah seharusnya saling melengkapi. Kedua, perbaikan kinerja
lingkungan seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai amal dan derma, tetapi juga
sebagai persaingan (competitiveness). Ketiga, ekoefisiensi adalah suatu pelengkap dan
pendukung pengembangan yang berkesinambungan (sustainable development).
Pengembangan yang berkesinambungan didefinisikan sebagai pengembangan yang
memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Ekoefisiensi mengimplikasikan peningkatan efisiensi yang berasal dari perbaikan
kinerja lingkungan. Ada sejumlah sumber dari insentif dan penyebab peningkatan
efisiensi.
a)

Pelanggan menginginkan produk yang lebih bersih, yaitu produk yang diproduksi
tanpa merusak lingkungan serta penggunaan dan pembuangannya ramah

lingkungan.
b) Para pegawai lebih suka bekerja di perusahaan yang bertanggungjawab terhadap
lingkungan dan akan menghasilkan produktivitas yang lebih besar.

c)

Perusahaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan cenderung memperoleh


keuntungan eksternal, seperti biaya modal yang lebih rendah dan tingkat asuransi

yang lebih rendah.


d) Kinerja lingkungan yang lebih baik dapat menghasilkan keuntungan sosial yang
e)

signifikan, seperti keuntungan bagi kesehatan manusia.


Fokus pada perbaikan kinerja lingkungan membangkitkan keinginan para manajer

f)

untuk melakukan inovasi dan mencari peluang baru.


Pengurangan biaya lingkungan dapat mempertahankan atau menciptakan
keunggulan bersaing.
Pengurangan biaya dan insentif kompetitif merupakan hal yang penting. Biaya

lingkungan dapat merupakan persentase yang signifikan dari biaya operasional total.
Pengetahuan mengenai biaya lingkungan dan penyebab-penyebabnya dapat mengarah
pada desain ulang proses yang dapat mengurangi bahan baku yang digunakan. Jadi,
biaya lingkungan saat ini dan di masa depan dikurangi sehingga perusahaan menjadi
lebih kompetitif.
3) Biaya Lingkungan Perusahaan
Biaya lingkungan adalah biaya yang ditimbulkan akibat adanya kualitas
lingkungan yang rendah, sebagai akibat dari proses produksi yang dilakukan
perusahaan. Biaya lingkungan juga diartikan sebagai dampak, baik moneter atau nonmoneter yang terjadi oleh hasil aktifitas perusahaan yang berpengaruh pada kualitas
lingkungan. Biaya lingkungan juga merupakan pengorbanan untuk menjaga kelestarian
perusahaan. Yang dimaksud lingkungan perusahaan adalah objek di luar perusahaan
yang terdiri dari:
a) Lingkungan alam : Polusi udara dan air, kerusakan alam, biaya kerusakan alam,
b) Lingkungan Ekonomi : Agraris subsistens, agraris komersial, perdagangan dan
c)

industry, biaya krisis ekonomi (buruh mogok, dsb),


Lingkungan Sosial : Pranata sosial, lembaga sosial, biaya krisis sosial (protes

masyarakat),
d) Lingkungan politik : Pajak dan pungutan lainnya, kebijakan fiskal dan moneter,
e)

ideology, biaya kebijakan politik (BBM, Pajak, dan sebagainya),


Lingkungan budaya : Adat-istiadat, kepercayaan, biaya kerusakan budaya
(dekadensi moral).
Kelima lingkungan itu harus dikelola oleh perusahaan agar dampaknya tidak

menimbulkan kerugian. Kerusakan lingkungan akan berdampak terhadap biaya


perusahaan, dan akhirnya akan mengakibatkan kerugian perusahaan. Misalnya,

lingkungan alam yang rusak (polusi udara, air, kerusakan tanah), mengakibatkan
naiknya biaya, lingkungan ekonomi yang rusak (kenaikan valuta asing) akan menaikkan
biaya, lingkungan social yang rusak (huru-hara) mengakibatkan biaya produksi naik,
lingkungan politik yang rusak karena adanya pungutan liar, mengakibatkan naiknya
biaya overhead perusahaan, dan lingkungan budaya yang rusak karena pengaruh
narkoba, mengakibatkan produktivitas kerja rendah. Semuanya itu berdampak pada
naiknya biaya dan penurunan pendapatan perusahaan, yang berakibat kerugian.
Bagaimana perusahaan menjelaskan biaya lingkungan tergantung pada bagaimana
perusahaan menggunakan informasi biaya tersebut (alokasi biaya, penganggaran modal,
desain proses/produk, keputusan manajemen lain), dan skala atau cakupan aplikasinya.
Tidak selalu jelas apakah biaya itu masuk lingkungan atau tidak, beberapa masuk zona
abu-abu atau mungkin diklasifikasikan sebagian lingkungan sebagian lagi tidak.
Terminologi akuntansi lingkungan menggunakan ungkapan seperti full, total, true,
dan life cycle untuk menegaskan bahwa pendekatan tradisional adalah tidak lengkap
cakupannya karena mereka mengabaikan biaya lingkungan penting (serta pendapatan
dan penghematan biaya).
4) Model Biaya Kualitas Lingkungan
Dalam model kualitas lingkungan total, keadaan yang ideal adalah tidak ada
kerusakan lingkungan. Kerusakan didefenisikan sebagai degradasi langsung dari
lingkungan, seperti emisi residu benda padat, cair, atau gas ke dalam lingkungan
(misalnya: pencemaran air dan polusi udara), atau degradasi tidak langsung seperti
penggunaan bahan baku dan energi yang tidak perlu.
Biaya lingkungan dapat diklasifikasikan dalam empat kategori:
a) Biaya Pencegahan Lingkungan (environmental prevention costs), adalah biayabiaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk mencegah diproduksinya limbah
dan/atau sampah yang dapat merusak lingkungan. Contoh: Evaluasi dan pemilihan
pemasok, evaluasi dan pemilihan alat untuk mengendalikan polusi, desain proses
dan produk untuk mengurangi dan menghapus limbah, melatih pegawai,
mempelajari dampak lingkungan, audit risiko lingkungan, daur ulang produk,
pemerolehan sertifikasi ISO 14001.3
b) Biaya Deteksi Lingkungan (environmental detection costs), adalah biaya-biaya
untuk aktivitas yang dilakukan untuk menentukan bahwa produk, proses, dan
aktivitas lain di perusahaan telah memenuhi standar lingkungan yang berlaku atau

tidak. Contoh: Audit aktivitas lingkungan, pemeriksaan produk dan proses,


pengembangan ukuran kinerja lingkungan, pelaksanaan pengujian pencemaran,
c)

verifikasi kinerja lingkungan dari pemasok, serta pengukuran tingkat pencemaran.


Biaya Kegagalan Internal Lingkungan (environmental internal failure costs), adalah
biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan karena diproduksinya limbah dan
sampah, tetapi tidak dibuang ke lingkungan luar. Contoh: Pengoperasian peralatan
untuk mengurangi atau menghilangkan polusi, pengolahan dan pembuangan limbah
beracun, pemeliharaan peralatan polusi, lisensi fasilitas untuk memproduksi limbah,

serta daur ulang sisa bahan.


d) Biaya Kegagalan Eksternal Lingkungan (environmental external failure), adalah
biaya-biaya untuk aktivitas yang dilakukan serta melepas limbah atau sampah ke
dalam lingkungan. Biaya ini terbagi menjadi dua yaitu Biaya kegagalan eksternal
yang direalisasi (realized external failure costs) adalah biaya yang dialami dan
dibayar oleh perusahaan. Biaya kegagalan eksternal yang tidak direalisasikan
(unrealized external failure costs) atau biaya sosial disebabkan oleh perusahaan,
tetapi dialami dan dibayar oleh pihak-pihak di luar perusahaan. Contoh biaya
kegagalan eksernal yang direalisasi adalah: pembersihan danau yang tercemar,
pembersihan minyak yang tumpah, pembersihan tanah yang tercemar, penggunaan
bahan baku dan energi secara tidak efisien, penyelesaian klaim kecelakaan pribadi
dari praktik kerja yang tidak ramah lingkungan, dll. Contoh biaya sosial adalah:
mencakup perawatan medis karena udara yang terpolusi (kesejahteraan individu),
hilangnya kegunaan danau sebagai tempat rekreasi karena pencemaran (degradasi),
hilangnya lapangan pekerjaan karena pencemaran (kesejahteraan individual), dan
rusaknya ekosistem karena pembuangan sampah padat (degradasi).
5) Klasifikasi Biaya Lingkungan
Ronald Hilton membagi jenis biaya lingkungan sebagai berikut:
a)

Biaya lingkungan Private vs Sosial. Satu perbedaan penting antara biaya privat
dan sosial (atau biaya publik). Biaya lingkungan private yang ditanggung oleh
perusahaan atau individu. Contohnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan
untuk mematuhi peraturan EPA atau untuk membersihkan danau yang tercemar.
Biaya lingkungan sosial yang ditanggung oleh masyarakat luas. Contoh ini meliputi
biaya-biaya yang ditanggung oleh pembayar pajak kepada staf EPA, biaya
ditanggung oleh pembayar pajak untuk membersihkan sebuah danau atau sungai

tercemar, biaya ditanggung oleh individu, perusahaan asuransi dan Medicare karena
masalah

kesehatan

yang

disebabkan

oleh

polutan,

dan

kualitas

hidup

unquantifiable, kita menanggung semua biaya dari lingkungan yang rusak.


Sementara biaya-biaya lingkungan sosial penting bagi kita semua, kita akan
memusatkan perhatian pada manajemen biaya lingkungan (environmental cost
management),

yang

merupakan

upaya

sistematis

untuk

mengukur

dan

mengendalikan atau mengurangi biaya lingkungan private yang ditanggung oleh


perusahaan atau organisasi lainnya.
b) Biaya Lingkungan Terlihat (Visible ) vs Tersembunyi (Hidden). Biaya lingkungan
sosial dan private dapat terlihat atau tersembunyi. Biaya lingkungan sosial terlihat
(Visible) adalah yang dikenal dan diidentifikasi dengan jelas terkait dengan isu-isu
lingkungan, seperti biaya pembayar pajak dari staf EPA atau membersihkan danau
yang tercemar. Biaya lingkungan sosial tersembunyi (hidden) termasuk yang
disebabkan oleh isu-isu lingkungan tetapi belum begitu diidentifikasi, seperti biaya
yang ditanggung oleh individu, perusahaan asuransi, atau Medicare karena kanker
yang disebabkan oleh polusi, tetapi tidak diidentifikasi dengan jelas seperti itu.
Sebagai contoh, adalah melanoma (jenis kanker kulit serius) yang disebabkan oleh
kecenderungan keturunan, kegagalan dalam menggunakan sun block, atau
penipisan lapisan ozon yang dihasilkan dari emisi industri chlorofluorocarbons?
Tidak ada yang tahu pasti.
6) Mengelola Biaya Lingkungan
Mari kita memfokuskan perhatian kita sekarang pada manajemen biaya
lingkungan, atau pengukuran dan pengendalian atau pengurangan biaya lingkungan
private.
Biaya Lingkungan Private Terlihat (Visible ) vs Tersembunyi (Hidden). Sekali
lagi, kita perlu membedakan antara biaya terlihat (visible) dan tersembunyi (hidden).
Biaya lingkungan private terlihat (visible) adalah yang terukur dan telah diidentifikasi
dengan jelas isu-isu lingkungan terkait. Biaya lingkungan private tersembunyi (hidden)
adalah yang disebabkan oleh isu-isu lingkungan tetapi belum begitu diidentifikasi oleh
sistem akuntansi. diklasifikasikan lebih lanjut sebagai berikut:

a)

Memonitor biaya (Monitoring costs). Memonitor biaya proses produksi untuk


menentukan polusi yang dihasilkan (misalnya, biaya pengujian untuk kontaminan

air limbah).
b) Pengurangan biaya (Abatement costs). Biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi
atau

menghilangkan

polusi

(misalnya,

mengubah

desain

produk

untuk

menggunakan bahan yang lebih mahal yang tidak menghasilkan pencemaran


c)

lingkungan).
Perbaikan biaya (Remediation costs) (yaitu, pembersihan biaya). Pemulihan di
lokasi (On-site remediation). Biaya untuk mengurangi atau mencegah keluarnya
polutan yang telah dihasilkan dalam proses produksi ke lingkungan (misalnya,
biaya pemasangan scrubber pada cerobong asap untuk menghilangkan polutan
udara tertentu dalam asap). Pemulihan di luar lokasi (Off-site remediation). Biaya
untuk mengurangi atau menghilangkan polutan dari lingkungan setelah mereka
habis (misalnya, biaya pembersihan sungai yang tercemar oleh operasi perusahaan).
Perbedaan antara biaya yang terlihat (visible) dan tersembunyi (hidden) yang

tercantum dalam Tabel 1 adalah salah satu yang penting tapi samar. Perhatikan,
misalnya biaya tambahan (Incremental cost) menggunakan bahan lebih mahal karena itu
menyebabkan kurangnya (atau tidak) ada dampak negatif terhadap lingkungan. Apakah
ini biaya yang terlihat atau tersembunyi? Jawabannya adalah tergantung pada apakah
sistem akuntansi biaya ini telah diukur dan diidentifikasi sebagai biaya lingkungan.
Studi menunjukkan bahwa biaya lingkungan banyak yang tersembunyi, karena sistem
akuntansi tidak mengukur dan mengidentifikasi mereka sebagai biaya lingkungan.
"Kebanyakan sistem akuntansi biaya yang terlihat menumpuk ke dalam kolam biaya
lingkungan, terpisah dari kolam biaya overhead yang lain. Misalnya, banyak pabrik baja
kolam kompilasi biaya terpisah untuk pengolahan air limbah, pemulihan, pembuangan
limbah berbahaya, pengeluaran pengurangan polusi modal, dan penyusutan pada
peralatan pengurangan polusi". Namun, biaya tambahan pabrik bahan baja disebabkan
oleh perubahan dari Sinter untuk mengurangi polusi, dalam menanggapi peraturan
lingkungan yang lebih ketat, biasanya tidak dilaporkan tersendiri oleh sistem akuntansi
sebagai biaya lingkungan. Oleh karena itu, tetap merupakan biaya lingkungan
tersembunyi (hidden).
Mengapa pada titik ini mengenai biaya yang terlihat (visible) dibandingkan
tersembunyi (hidden) begitu penting? Karena banyak pengamat percaya bahwa biaya
yang terlihat dilaporkan oleh sistem akuntansi yang paling mungkin hanya sebagian

kecil dari biaya tersembunyi. Sebuah studi pada industri baja, menyimpulkan bahwa
biaya tersembunyi hampir 10 kali biaya terlihat.
Tabel 1.2 Private Environment Costs
Monitoring

Pengurangan

Perbaikan
Di lokasi (Onsite)

Di luar lokasi
(Off-site)

Visible costs
1.
Memeriksa produk
terkontaminasi
2.
Mengukur kontaminasi
terhadap proses atau mesin
3.
Memverifikasi kepatuhan
vendor dengan standar lingkungan.

Hidden Costs
1.
Inspeksi produk
2.
Tambahan biaya staf
pengadaan untuk memastikan
kepatuhan vendor dengan
standar lingkungan.

4.
Kualifikasi vendor untuk
3.
Incremental material
kepatuhan lingkungan.
costs yang dikeluarkan untuk
5.
Daur ulang bahan, wadah,
menggunakan bahan polusi
atau air.
yang kurang.
6.
Merancang produk dan proses 4.
Incremental direct-labor
untuk mengurangi atau
costs yang dikeluarkan untuk
menghilangkan dampak lingkungan melakukan tugas yang terkait
yang negatif.
untuk mengurangi polusi.
7.
Melakukan analisis dampak 5.
Incremental costs yang
lingkungan.
lebih mahal yang dipasang
semua atau sebagian untuk
mengurangi polusi.
6.
Incremental costs untuk
membeli hybrid kendaraan
(bertenaga listrik dan bensin)
untuk mengurangi polusi
udara.
8.
Instalasi pengurangan polusi 7.
Incremental directatau perangkat eliminasi
labor costs yang dikeluarkan
9.
Membuang limbah beracun untuk
mempertahankan
dengan cara yang ramah lingkungan pemulihan peralatan.
10. Pengobatan limbah beracun
8.
Incremental energy atau
biaya overhead lainnya yang
dikeluarkan
untuk
mengoperasikan
pemulihan
peralatan.
11. Membersihkan lokasi yang
tercemar (misalnya, air, tanah, atau 9.
Incremental directbangunan)
labor costs bagi para pekerja
12. Mempertahankan atau menata yang
digunakan
untuk
tuntutan hukum lingkungan
melakukan
pembersihan
13. Membayar denda EPA
lingkungan tugas.
10. Margin kontribusi yang
hilang pada penjualan yang

hilang
akibat
lingkungan
yang
menguntungkan
reputasinya.

catatan
kurang
atau

7) Strategi Biaya Lingkungan


Ada tiga strategi untuk mengelola biaya lingkungan.
a)

Strategi Akhir dari pipa (End of pipe strategy). Dalam pendekatan ini,
perusahaan menghasilkan limbah atau polutan, dan kemudian membersihkannya
sebelum dibuang ke lingkungan. Scrubber cerobong asap, pengolahan air limbah,

dan filter karbon udara adalah contoh-contoh strategi akhir pipa.


b) Strategi Proses perbaikan (Process improvement strategy). Dalam pendekatan
ini, perusahaan memodifikasi produk dan proses produksi untuk menghasilkan
polutan sedikit atau tidak ada, atau mencari cara untuk mendaur ulang limbah
c)

internal.
Strategi pencegahan (Prevention strategy). "Strategi utama untuk memaksimalkan
nilai dari kegiatan pencemaran yang berhubungan dengan melibatkan ... tidak
menghasilkan polutan apapun di tempat pertama. Dengan strategi ini, perusahaan
menghindari semua masalah dengan pihak berwenang dan dalam banyak kasus,
menghasilkan perbaikan laba yang signifikan.

8) Environmental Management Accounting (EMA)


Guna menanggulangi masalah pengelolaan lingkungan, kini telah mulai
dikembangkan Environmental Management Accounting (EMA) sebagai perangkat untuk
membantu usaha para manajer dalam meningkatkan performa finansial sekaligus kinerja
lingkungannya. Secara sistematis, EMA mengintegrasikan aspek lingkungan dari
perusahaan ke dalam akuntasi manajemen dan proses pengambilan keputusan.
Selanjutnya EMA membantu pelaku bisnis/manager untuk mengumpulkan, menganalisa
dan menghubungkan antara aspek lingkungan dengan informasi moneter maupun fisik.
Definisi Environmental Management Accounting (EMA) menurut The
International Federation of Accountants adalah manajemen lingkungan dan performansi
ekonomi melalui pengembangan dan implementasi sistem akuntansi yang berhubungan
dengan lingkungan dan prakteknya secara tepat. Hal ini dapat mencakup pelaporan dan
audit pada beberapa perusahaan, secara umum EMA meliputi LCC, full cost accounting,
benefit assessment, dan perencanaan strategis untuk manajemen lingkungan.

Fokus Environmental Management Accounting untuk suatu perusahaan berbedabeda, tergantung pada tujuannya, informasi apa yang hendak dicapai dalam penerapan
EMA, misalnya untuk manajer suatu departemen akan berfokus terhadap informasi
mengenai EMA yang diterapkan untuk departemennya saja, atau misalnya perusahaan
ingin mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan EMA dalam satu siklus hidup
sebuah produk (Life Cycle Analysis).
EMA yang dikembangkan oleh Burrit et.al mengintergrasikan dua komponen
lingkungan yaitu monetary environmental management accounting (MEMA) dan
physical environmental management accounting (PEMA), lihat Tabel 1.3. Pada Tabel
1.3, dapat dilihat bahwa EMA terbagi dalam dua dimensi waktu yaitu waktu lampau dan
waktu yang akan datang. Tiap dimensi waktu, terbagi lagi dalam informasi yang reguler
dan ad hoc.
EMA adalah kerangka yang komprehensif dalam membahas akuntansi
lingkungan. Dalam hubungan dengan akuntansi lingkungan, ada konsensus utama:
a) Dampak lingkungan terhadap finansial perusahaan (MEMA) dan
b) Dampak lingkungan terhadap sistem lingkungan (PEMA).
Dampak lingkungan pada sistem ekonomi dinyatakan dalam bentuk monetary
environmental information yaitu semua dampak masa lalu, sekarang dan pada waktu
yang akan datang dari aliran uang, misalnya: pengeluaran dan pendapatan karena
produksi bersih, denda karena melanggar aturan lingkungan.
Dampak lingkungan terhadap sistem lingkungan dinyatakan dalam physical
environmental

information.

Pada

tingkat

perusahaan,

physical

environmental

information termasuk semua material dan energi yang dikeluarkan pada masa lalu,
sekarang dan pada waktu yang akan datang yang mempengaruhi sistem ekologi.
Physical environmental information selalu dinyatakan dalam satuan fisik, misalnya:
kilogram atau Jules
Monetary Environmental Management Accounting (MEMA) berkenaan dengan
aspek lingkungan dari aktivitas perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk uang dan
digunakan untuk manajemen internal, misalnya: untuk biaya membayar denda karena
melanggar aturan lingkungan. Dalam bentuk metode, MEMA didasarkan atas akuntansi
manajemen konvensional yang diperluas untuk masalah lingkungan. Hal ini merupakan
alat utama untuk keputusan manajemen internal, juga untuk menelusuri dan
memperlakukan biaya dan pengeluaran yang terjadi karena tindakan perusahaan yang
mempengaruhi lingkungan. MEMA berkontribusi terhadap perencanaan strategis dan

operasional, menyediakan dasar untuk pengambilan keputusan tentang bagaimana


mencapai target yang diinginkan dan mengendalikan secara bertanggung-jawab.
Physical

Environmental

Management

Accounting

(PEMA)

menyediakan

informasi untuk pengambilan keputusan manajemen yang berfokus pada dampak


perusahaan terhadap lingkungan alam yang dinyatakan dalam satuan fisik seperti
kilogram.Ada tiga dimensi dari EMA yaitu:
1) Time frame yaitu waktu lampau, sekarang dan waktu yang akan datang. EMA
berorientasi pada waktu lampau dan waktu yang akan datang untuk PEMA dan
MEMA. Tabel 1.3 membedakan antara MEMA dan PEMA yang tersedia bagi
manajemen untuk membahas isu lingkungan dengan fokus pada pengukuran
transaksi masa lampau, transformasi atau bahkan prediksi hasil transaksi yang akan
dilakukan. Misalnya, akuntansi biaya lingkungan pada kiri atas secara rutin
menyediakan informasi jangka pendek tentang aktivitas yang telah terjadi terhadap
produk atau divisi di perusahaan.
2) Panjang dari time frame yaitu jangka pendek dan jangka panjang dan EMA juga
membahas isu jangka pendek dan jangka panjang. Panjangnya waktu berkaitan
dengan panjangnya horison perencanaan. Jika horison perencanaan panjang,
digunakan PEMA atau MEMA jangka panjang yang biasanya melibatkan investasi.
3) Rutinitas dari informasi yaitu informasi rutin dan ad hoc. Dari pandangan
pengambilan keputusan manajemen secara internal, waktu lampau dan waktu yang
akan datang dapat dibedakan menjadi informasi yang didapatkan secara rutin
maupun secara ad hoc.
Beberapa keuntungan yang dapat dicapai oleh usaha/kegiatan yang menerapkan
EMA antara lain :
a)

EMA dapat menghemat pengeluaran usaha. Dampak dari isu-isu lingkungan dalam
biaya produksi seringkali tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini digambarkan
sebagai gunung es (ice-berg) yang bisa menenggelamkan laju kapal. EMA dapat
membantu untuk mengidentifikasi dan menganalisa biaya tersembunyi (hidden
cost), misalnya biaya minimisasi limbah yang hanya memasukkan biaya insenerasi
dan pembuangan limbah, namun juga memasukkan biaya material, opearsional,

buruh dan administrasi.


b) EMA dapat membantu pengambilan keputusan. Keputusan yang menguntungkan
harus didasarkan pada berbagai informasi penting. EMA membantu pengambil

keputusan dengan informasi penting tentang biaya tambahan yang disebabkan oleh
isu-isu lingkungan. EMA membuka kembali biaya produk dan proses spesifik yang
c)

seringkali tersembunyi dalam bagian overhead cost usaha/kegiatan.


EMA meningkatkan performa ekonomi dan lingkungan usaha. Ada banyak cara
positif untuk meningkatkan performa usaha/kegiatan atau organisasi, seperti
investasi teknologi bersih, kampanye minimalisasi limbah, pengenalan sistem
pengendalian pencemaran udara, dll. Dari sekian banyak cara tersebut, mana yang
menguntungkan? Guna mengidentifikasi perangkat-perangkat tersebut dalam
meningkatkan pembagian tingkat keuntungan usaha/kegiatan dengan menurunkan
dampak lingkungan dari produk dan proses produksi, EMA memberikan solusi
saling menguntungkan (win-win situations). Usaha/kegiatan diharapkan akan

mempunyai performa lebih baik baik pada sisi ekonomi maupun sisi lingkungan.
d) EMA akan mampu memuaskan semua pihak terkait. Penerapan EMA pada
usaha/kegiatan secara simultan dapat meningkatkan performa ekonomi dan kinerja
lingkungan. Oleh karena itu akan berimplikasi pada kepuasan pelanggan dan
investor, hubungan baik antara Pemerintah Daerah dan masyarakat sekitar, serta
memenuhi ketentuan regulasi. Usaha/kegiatan berpeluang untuk memenuhi
keuntungan usaha, mengurangi resiko dari berbagai pelanggaran hukum dan
e)

meningkatkan hubungan baik secara menyeluruh dengan stakeholders laiinya.


EMA memberikan keunggulan usaha/kegiatan. EMA meningkatkan keseluruhan
berbagai

metoda

dan

perangkat

yang

membantu

usaha/kegiatan

dalam

meningkatkan laba usaha dan pengambilan keputusan. Sangat mudah dalam


penerapannya baik pada usaha menengah keatas maupun usaha kecil. EMA
membantu salah satu pengambilan keputusan penting seperti investasi baru dalam
fungsi pengelolaan usaha seperti akuntasi biaya. Hal ini sangat memungkinkan
diaplikasikan pada semua jenis sector industri dan kegiatan.
Para pengambil keputusan di perusahaan dapat menggunakan informasi dan data
yang diperoleh dari EMA sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik,
dengan mempertimbangkan perhitungan fisik (dari material dan energi) dan juga kinerja
finansial. Jika perusahaan berupaya untuk meminimalkan biaya berbarengan dengan
meningkatkan kinerja lingkungan (misalnya mengurangi limbah), EMA dapat
memberikan informasi penting yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.

Data dan informasi yang diperoleh dengan melakukan EMA di perusahaan dapat
memberikan keuntungan untuk kegiatan-kegiatan pro-lingkungan sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

Pencegahan Pencemaran
Design for Environment
Penilaian / Pembiayaan / Desain Daur Hidup Lingkungan
Manajemen Supply Chain
Pembelian dengan pertimbangan lingkungan
Sistem Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
Evaluasi Kinerja Lingkungan & Benchmarking
Reporting (CSR Reporting maupun Environmental Performance Reporting)

PELAPORAN BIAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN


1) Pengukuran Biaya Lingkungan
Biaya lingkungan harus dikelola dengan efektif dan efisien agar: 1) produk harus
lebih berdaya guna, dan 2) perusahaan dalam melakukan pengurangan biaya dengan
cara: a) mengurangi dampak negatif lingkungan, b) mengkonsumsi sumber daya alam
secara efektif. Biaya lingkungan perlu dilaporkan secara terpisah berdasarkan klasifikasi
biayanya. Hal ini dilakukan supaya laporan biaya lingkungan dapat dijadikan informasi
yang informatif untuk mengevaluasi kinerja operasional perusahaan terutama yang
berdampak pada lingkungan.
Pelaporan biaya lingkungan adalah penting jika sebuah organisasi serius
memperbaiki kinerja lingkungannnya dan mengendalikan biaya lingkungannya.
Langkah pertama yang baik adalah laporan yang memberikan perincian biaya
lingkungan menurut kategori.
Pelaporan biaya lingkungan menurut kategori memberikan dua hasil yang
penting:
a) Dampak biaya lingkungan terhadap profitabilitas perusahaan, dan
b) Jumlah relatif yang dihabiskan untuk setiap kategori.
Dengan mengelola lingkungan perusahaan secara efektif dan efisien, perusahaan
dapat membantu pembangunan secara berkesinambungan sehingga pelanggan dapat
mengkonsumsi produk yang ramah lingkungan. Di samping itu karyawan dapat bekerja
dalam situasi kondusif, biaya modal perusahaan rendah, biaya asuransi kesehatan
rendah, dan masyarakat dapat hidup sehat.
Biaya lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam biaya gagal eksternal dalam
dimensi biaya mutu yang besarnya dapat dihitung dari total biaya produksi. Makin

tinggi biaya lingkungan, makin tinggi beban biaya perusahaan dan menurunkan laba,
atau mungkin dapat mengakibatkan kerugian. Perhitungan biaya lingkungan disajikan
dalam tabel 1.4, 1.5, dan 1.6.

Tabel 1.4
Laporan Biaya Lingkungan
Biaya Produksi Rp. 20.000, diproduksi 1.000 unit
Jenis Biaya
Biaya Pencegahan :
Pelatihan
Desain produk
Pemilihan peralatan

Rp
60
180
40
280

Biaya Pemeriksaan :
Pemeriksaan proses
Pemeriksaan bahan
Biaya gagal internal :
Biaya produk rusak atau cacat
Biaya pemeliharaan peralatan
Biaya gagal eksternal :
Biaya lingkungan alam (polusi udara, air)
Biaya lingkungan ekonomi ( kerugian valas)
Biaya lingkungan social (huru-hara,
pemogokan)
Biaya lingkungan politik (pungutan liar)
Biaya lingkungan budaya (narkoba)
Biaya kebersihan
Biaya penataan lahan
Biaya klaim kerusakan
Total

1,4

240
80
320

1,6

400
200
600

200
200
200
200
200
200
200
400
1.800
3.000

9
15

Tabel 1.5
Pembebanan Biaya Lingkungan
Jenis Biaya
Biaya produksi per unit (20.000/1.000 unit)
Biaya pencegahan (280/1.000 unit)
Biaya pemeriksaan (320/1.000 unit)
Biaya gagal internal (600/1.000 unit)
Biaya gagal eksternal (1.800/1000 unit )

Biaya Per Unit


20
0,028
0,032
0,60
0,180

Total biaya produksi

23

Tabel 1.6
Perhitungan Laba-Rugi Berbasis Biaya Lingkungan
(Harga per unit Rp 25, biaya pemasaran dan administrasi 10% dari penjualan)
Keterangan
Pendapatan atas penjualan
Biaya produksi per unit (20.000/1.000 unit) = 20
Biaya pencegahan (280/1.000 unit) = 0,028
Biaya pemeriksaan (320/1.000 unit) = 0,032
Biaya gagal internal (600/1.000 unit) = 0,06
Biaya gagal eksternal ( 1800/1000 unit) = 0,18
Laba Kotor
Biaya pemasaran dan administrasi 10 % x 25.000
Laba (rugi) operasi

Ada Biaya
Lingkungan (Rp)
25.000
20.000
280
320
600
1.800
2.000
2.500
(500)

Tidak Ada Biaya


Lingkungan (Rp)
25.000
20.000
0
0
0
0
5.000
2.500
2.500

Keterangan Tabel 1.6: Jika perusahaan tidak membayar biaya lingkungan, maka ia
memperoleh laba operasi Rp 2.500, dan jika ia membayar biaya lingkungan ia
menderita kerugian Rp 500. Oleh sebab itu perusahaan harus mengelola biaya
lingkungan serendah-rendahnya agar tidak menderita kerugian.
B. TRIPLE BOTTOM LINE
Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya
konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR
ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi
pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan
hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar
keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet) (Yusuf wibisono, 2007).
1) Profit (Keuntungan)

Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan
usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk
tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas
yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan
produktivitas dan melakukan efiisensi biaya.Peningkatan produktivitas bisa diperoleh
dengan memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi
aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan
efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin
dan memangkas biaya serendah mungkin (Yusuf wibisono, 2007).
2) People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)
People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi
perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu
berkomitmen

untuk

berupaya

memberikan

manfaat

sebesar-besarnya

kepada

masyarakat. Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi
dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai
kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat (Yusuf wibisono, 2007).
3) Planet (Lingkungan)
Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara
yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan.
Namun sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar.
Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil
didalamnya.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan

memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di


samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya (Yusuf
wibisono, 2007).
PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM LINE
Dalam era globalisasi peursahaan tidak hanya mementingkan aspek ekonomi saja,
tetapi harus memperhatikan aspek sosial dan ekonomi. Oleh karena

itu, setiap

perusahaan berusaha untuk memenuhi kegiatan yang berkaitan dengan memperhatikan


kepentingan sosial dan lingkungan. Seperti penelitian Sandra (2011) menyatakan bahwa
perusahaan yang berkelanjutan bukan hanya mengejar keuntungan financial, bukan
hanya peningkatan nilai pemegang saham. Namun yang paling baik adalah dicapai
melalui kerangka kerja yang luas di bidang ekonomi, sosial, lingkungan dan nilai-nilai
etika serta tujuan bersama yang melibatkan interaksi antara perusahaan dan berbagai
pemangku kepentingan.
Selanjutnya, konsep ini dikembangkan seperti penelitian Zu (2009) dalam Sandra
(2011) mengungkapkan tentang teori triple bottom line dengan tiga aspek utama yaitu,
ekonomis, sosial dan lingkungan. Triple bottom line menangkap spektrum yang lebih
luas dari nilai-nilai dan kriteria untuk mengukur kesuksesan organisasi yaitu ekonomi,
lingkungan dan sosial. Hal ini berarti memperluas kerangka kerja pelaporan sederhana
untuk memperhitungkan kinerja sosial dan lingkungan disamping kinerja keuangan. Ini
juga menangkap esensi pembangunan berkelanjutan (sustainability development)
dengan mengukur dampak ketiga aspek tersebut dari kegiatan operasi perusahaan.
Konsep disampaikan oleh Solihin (2008) menyatakan bahwa pengenalan konsep
sustainability development memberi dampak besar kepada perkembangan konsep triple
bottom line selanjutnya. Sebagai contoh the organization for economic cooperation and
development (OECD merumuskankontribusi bisnis bagi pembangunan berkelanjutan
serta adanya perilaku korporasi yang tidak semata-mata menjamin adanya
pengembalian kepada para pemegang saham, upah bagi karyawan dan pembuatan
produk serta jasa bagi para pelanggan melainkan perusahaan bisnis juga harus memberi
perhatian terhadap berbagai hal yang dianggap penting serta nilai-nilai masyarakat.
Solihin (2008) juga menyatakan paparan tentang triple bottom line. Yaitu
menyatakan bahwa semua konsep ini sebagai adopsi dari atas konsep sustainability

development, saat ini perusahaan secara sukarela menyusun laporan setiap tahun yang
dikenal dengan sustainability report. Laporan tersebut menguraikan dampak organisasi
perusahaan terhadap ekonomi, sosial, lingkungan. Salah satu model awal yang
digunakan oleh perusahaan dalam menyusun suistanability report mereka adalah
dengan mengadopsi metode akuntansi yang dinakaman triple bottom line. Menurut John
Elkington (1997) dalam Solihin (2008) konsep triple bottom line merupakan perluasan
dari konsep akuntansi tradisional yang hanya membuat single bottom line tunggal yakni
hasil-hasil keuangan dari aktivitas ekonomi perusahaan. Secara lebih rinci, Elkington
menjelaskan triple bottom line sebagai berikut.
The three lines of the triple bottom line represent society , the economy and the
environment. Societ depend on the global ecosystem, whose hearh represents ultimate
bottom line. The three line are not stable; they are in constant flux, due to social,
political, economic and environmental pressures, cycle and conflicts.
Dari pengertian dan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa aktivitas
perusahaan yang berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkaitan
dengan masyarakat. Terutama pada aktivitas sosial dan lingkungan sesuai dengan
definisi OCED dan dari John Elkington (1997) dalam Sandra (2011) tersebut bahwa
tidak ada pengembalian secara langsung yang dapat dirasakan oleh perusahaan. Oleh
karena itu pengungkapan TBL sangat penting diungkapkan dalam laporan tahunan
perusahaan.
TRIPLE BOTTOM LINE: Lebih dari Sekadar Profit
Baru-baru ini, Burger King, Unilever, Nestle dan Kraft Foods memutuskan
menghentikan pembelian minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Grup Sinar Mas.
Alasan mereka adalah dugaan adanya perusakan hutan tropis yang membahayakan
kehidupan satwa, mengurangi kemampuan penyerapan karbon dioksida yang
merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim global yang lebih dikenal
dengan global warming.
Di luar negeri, Timberland, salah satu produsen pakaian dan sepatu outdoor juga
didera hal yang sama (Harvard Business Review, September 2010). Pagi hari 1 Juni
2009, Jeff Swartz, menerima e-mail dari 65 ribu aktivis dan pelanggan yang marah.
Mereka menuduh Timberland membeli materialnya dari hutan yang ditebang secara
ilegal di Amazon. Parahnya, awalnya Timberland tidak mengetahui apakah material

yang mereka beli benar berasal dari Amazon atau tidak, yang mengimplikasikan
mungkin saja tuduhan tersebut benar.Bukan itu saja, di bulan Mei 2010, seluruh dunia
gempar dengan kasus bunuh diri di pabrik FoxConn, Cina. Delapan pegawainya mati
karena bunuh diri dalam waktu lima bulan.
Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan dengan jelas bahwa
perusahaan masa kini tidak bisa sekadar memperhatikan profit lagi. John Elkington
tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL). Atau juga 3P
People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang mengukur
nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring
perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak
digunakan oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan
tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu
bentuk implementasi TBL.
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan
kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan
yang dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).
Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu
program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa
perusahaan menerapkan program ini karena terpaksa untuk mengantisipasi penolakan
dari masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan,
hambatan lainnya dari sisi eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan
profesi akuntansi tentang penyajian pelaporannonfinansial.
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya
yang berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and
Corporate Social Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah
melakukan riset dan mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari
strategi perusahaan. Strategi perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab
sosial. Perusahaan tidak akan menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski
dilanda krisis, kecuali ingin mengubah strateginya secara mendasar. Sementara pada
kasus program tanggung jawab dipotong lebih dulu.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUNGKAPAN TRIPLE BOTTOM


LINE
Faktor yang mempengaruhi pengungkapan triple bottom line dalam penelitian
dapat dianalisa dari 3 sisi yaitu: karaktristik perusahaan, struktur kepemilikan, dan good
corporate governance. Dalam analisa mengenai pengaruh kerakteristik perusahaan
terhadap pengungkapan TBL diukur dengan beberapa variabel antara lain, leverage,
profitabilitas, likuiditas, dan jenis industri. Dan pada masing-masing variabel jenis
pengukurannya juga berbeda-beda. Sehingga masing-masing variabel diharapakan bisa
menjelaskan keterkaitan antara karakteristik perusahaan dan pengungkapan TBL.
Pengungkapan TBL selanjutnya juga dipengaruhi oleh struktur kepemilikan
perusahaan. Dan bagaimanapun juga struktur kepemilikan perusahaan berhubungan
langsung dengan aktivitas perusahaan, salah satunya adalah dalam pengungkapan TBL
dilaporan tahunan perusahaan. Karakteristik kepemilikan perusahaan dapat diukur
dengan beberapa variabel yaitu, kepemilikan asing, kepemilikan manajemen, dan
kepemilikan institusional.
1) Leverage dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Bahwa perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi beresiko memiliki biaya
monitoring yang tinggi pula. Sehingga manajemen secara konsisten mengungkapkan
untuk tujuan monitoring agar memastikan kepada kreditor kemampuan untuk
membayar. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya agensi. Jika perusahaan
mempunyai tingkat utang yang tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk melakukan
kegiatan dalam rangka penungkapan triple bottom line menjadi sulit. Oleh karena itu,
perusahaan yang memiliki tingkat leverage yang tinggi cenderung untuk menurunkan
pelaporan pengungkapan triple bottom line. Faktor tingkat leverage berpengaruh negatif
terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial.
2) Profitabilitas dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan, sehingga
perusahaan dapat bertahan selama-lamanya. Sehingga besar kecilnya suatu perusahaan
itu dinilai dari profit yang dihasilkan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban dari agen
yang memegang kendali pada perusahaan maka perusahaan pasti melakukan
pengungkapan ekonomi, sosial dan lingkungan serta pelaporannya. Hal ini sesuai

dengan penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) yang menyatakan bahwa profitabilitas
mendukung

keyakinan

kepada

perusahaan

agar

melakukan

pengungkapan

tanggungjawab sosial. Hubungan profitabilitas dalam kinerja keuangan dengan


tanggung jawab sosial saling berkaitan.
Investor menangkap setiap informasi yang disampaikan dapat membandingkan
kegiatan dan pengungkapan triple bottom line yang sudah dilakukan oleh perusahaan
dengan profit yang dimilikinya. Konsep legitimasi juga menghubungkan antara laba
yang dihasilkan perusahaan dengan pengungkapan triple bottom line. Jika perusahaan
memiliki laba yang tinggi, manajemen juga harus memberikan akstifitas sosial dan
lingkungannya sebagai perwujudan kontrak sosial yang terjadi dalam interaksi
dimasyarakat.
3) Likuiditas`dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Likuiditas perusahaan adalah faktor utama penting bagi pengungkapan yang
dilakukan perusahaan, karena investor, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya
sangat memperhatikan status going concern perusahaan. Sesuai konsep agensi, manajer
perusahaan sebagai agen berusaha untuk memenuhi kepentingan para investor
(prinsipal) antara lain dengan meningkatkan nilai perusahaan dan menjaga
kelangsungan operasi perusahaan dengan menjaga likuiditasnya agar perusahaan dapat
bertahan lama. Perusahaan dengan tingkat likuiditas yang tinggi selalu menciptakan
nilai berupa image positif terhadap prinsipalnya. Oleh karena itu, perusahaan berusaha
untuk memperluas pegungkapkan seluruh informasi tentang perusahaan, terutama
tentang triple bottom line. Perusahaan sangat likuid mungkin memiliki insentif yang
kuat untuk memberikan rincian lebih lanjut dalam pengungkapan perusahaan mereka
tentang kemampuan mereka untuk memenuhi kewajiban jangka pendek keuangan.
Sehingga semakin tinggi tingkat likuiditasnya maka semakin luas pula pengungkapan
triple bottom line perusahaan.
4) Jenis Industri dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Perusahaan pada jenis industri yang sejenis mempengaruhi penuh kebijakan
pengungkapan informasi dan informasi yang disampaikan cenderung serupa, baik isi
dan pengungkapannya. Jenis industri dikategorikan berdasarkan low profile dan high
profile. Perusahaan dengan kategori high profile berusaha memberikan pengungkapan
informasi yang cenderung lebih luas. Hal ini dilakukan perusahaan untuk melegitimasi

kegiatan usahanya agar mengurangi tekanan dari masyarakat. Senada dengan


pernyataan tersebut Anggraini (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa jenis
industri berpengaruh terhadap pengungkapan triple bottom line.
5) Kepemilikan Asing dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Hubungan pengungkapan triple bottom line di Indonesia dengan kepemilikan
asing adalah untuk menjamin bagaimana kepercayaan yang diberikan oleh prinsipal
yaitu investor asing dipertanggungjawabkan oleh maanajemen yang bersangkutan.
Dalam penelitian indah (2009) menyebutkan bahwa kepemilikan asing tak berpengaruh
terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial atau triple bottom line, padahal dalam
fakta sekarang banyak investor yang mensayaratkan adanya laporan sosial pada
perusahaannya. Selanjutnya investor asing sebagai pemegang saham dihadapkan pada
besarnya tingkat informasi asimentri, sehingga untuk menghindari potensi kerugian
yang ditimbulkan dengan adanya asimetri informasi, berlandaskan teori agensi maka
perusahaan juga harus memperhatikan faktor ini.
6) Kepemilikan manajemen dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Semakin tinggi tingkat kepemilikan manajemen, semakin tinggi pula untuk
melakukan program tanggung jawab sosial perusahaan. Rawi (2010) juga mengatakan
bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh positif terhadap pengeluaran program
tanggungjawab sosial dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan. Namun pada suatu
titik yang mana mengurangi nilai perusahaan dan batasan yang telah dicapai ditemukan
hubungan negatif. Hal ini berhubungan dengan kepemilikan saham perusahaan. Akan
berbeda jika prinsipalnya adalah orang-orang yang duduk dalam manajemen perusahaan
itu sendiri. Bila dihubungkan dengan konsep agensi, jadi prinsipal dan agen menjadi
satu pihak yang tidak terpisahkan. Sehingga manajemen cenderung untuk berbuat
semaunya sendiri. Oleh karena itu, luas pengungkapan triple bottom line pasti rendah.
Informasi pengungkapan yang disampaikan juga berbeda bila penerima informasi bukan
orang yang menyampaikan informasi tersebut.
7) Kepemilikan Institusional dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Persentase saham institusional menyebabkan tingkat monitor lebih efektif. Oleh
karena itu, semakin tinggi kepemilikan institusi, maka untuk program tanggungjawab
sosial dan lingkungan semakin luas. Monitor yang ketat yang dilakukan oleh prinsipal
dalam hal ini dilakukan untuk meminimalkan biaya agensi yang terjadi. Sehingga

pengungkapan triple bottom line menjadi lebih luas. Investor konstitusional memiliki
kekuatan dan pengalaman serta bertanggungjawab dalam menerapkan konsep good
corporate governance untuk mengkomodasi hak dan kepentingan seluruh pemegang
saham sehingga mereka menuntut perusahaan melakukan komunikasi secara transparan
oleh manajemen. Oleh karena itu, kepemilikan institusional dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengungkapan triple bottom line. Hal ini berarti kepemilikan
institusional dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan pengungkapan triple
bottom line.
8) Ukuran dewan komisaris dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Sandra (2011) menyatakan bahwa dari konsep teori legitimasi, adanya direktur
independen dalam komposisi dewan perusahaan dapat memperkuat pandangan publik
terhadap legitimasi perusahaan. Masyarakat menganggap dan menilai tinggi suatu
perusahaan jika memiliki independen direktur yang seimbang atau banyak dalam dewan
perusahaan, karena kondisi seperti ini menandakan lebih efektifnya pengawasan dalam
aktivitas managemen perusahaan.
Sementara itu dalam teori agensi menyatakan bahwa dewan komisaris bertugas
melakukan mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang muncul dari tindakantindakan yang dilakukan oleh manajemen selaku agen. Karena mungkin fungsi
pengawasan dan pemonitoran dewan komisaris sangat efektif dilakukan.
9) Ukuran komite audit dan Pengungkapan Triple Bottom Line.
Dalam pelaksanaan good corporate governance banyak aspek yang dapat
dilakukan oleh manajemen sebagai pelaku utama dalam melakukan mekanisme
perusahaan. Salah satu aspek dari pelaksanaan good corporate governance adalah
pembentukan komite audit. Dasar pembentukan komite audit juga berdasarkan atas
keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5
disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga
orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota komisaris
independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik.
Setelah adanya komite audit dalam struktur organisasi perusahaan, pengawasan
manajemen menjadi lebih baik dan terperinci. Komite audit sebagai wakil dari dewan
komisaris yang langsung mengawasi operasi perusahaan, sehingga shareholder dalam
hal ini diwakili oleh dewan komisaris menjadi lebih mudah dalam mengontrol

manajemen. Sehingga biaya agensi yang ditimbulkan oleh adanya moral hazard lebih
dapat diminimalkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Sembiring (2005) yang
menyatakan bahwa ukuran komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan triple
bottom line.
Dunia usaha merupakan bagian dari komunitas masyarakat dan memiliki
tanggung jawab sosial yang sama dengan masyarakat. Istilah triple bottom line pertama
kali diperkenalkan oleh John Elkington (1998) dalam bukunya yang berjudul Cannibals
With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business. Elkington menganjurkan
agar dunia usaha perlu mengukur sukses (atau kinerja) tak hanya dengan kinerja
keuangan (berapa besar deviden atau bottom line yang dihasilkan), namun juga dengan
pengaruh terhadap perekonomian secara luas, lingkungan dan masyarakat di mana
mereka beroperasi. Disebut triple sebab konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja
sekaligus: Economic, Environmental, Social (EES) atau istilah umumnya 3P: ProfitPlanet-People.
Pada tahapan selanjutnya, wujud nyata Triple Bottom Line ini diistilahkan menjadi
Corporate Social Responsibility (CSR: tanggung jawab sosial perusahaan). CSR
berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di
mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus
mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya
keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan
lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang. Secara tegas dapat dikatakan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, dunia
usaha, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
CSR menjadi hal penting penting dalam menjamin kelangsungan hidup dunia
usaha saat ini. Adapun manfaat dan motivasi yang didapat perusahaan dengan
melakukan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Ambadar (2008) meliputi: (1)
perusahaan terhindar dari reputasi negatif perusak lingkungan yang hanya mengejar
keuntungan jangka pendek tanpa memperdulikan akibat dari perilaku buruk perusahaan,
(2) kerangka kerja etis yang kokoh dapat membantu para manajer dan karyawan
menghadapi masalah seperti permintaan lapangan kerja di lingkungan dimana
perusahaan bekerja, (3) perusahaan mendapat rasa hormat dari kelompok inti

masyarakat yang membutuhkan keberadaan perusahaan khususnya dalam hal


penyediaan lapangan pekerjaan, (4) perilaku etis perusahaan aman dari gangguan
lingkungan sekitar sehingga dapat beroperasi secara lancar.
Berdasarkan pendapat di atas, pelaksanaan CSR menjadi suatu keharusan bagi
perusahaan dalam mendukung aktivitas dunia usahanya, bukan hanya sekedar
pelaksanaan tanggung jawab tetapi menjadi suatu kewajiban bagi dunia usaha. Dalam
megimplemetasikan CSR, oreantasi perusahaan bukan hanya pada pencapaian laba
maksimal tetapi juga menjadi suatu organisasi pembelajaran, dimana setiap individu
yang terlibat di dalamnya memiliki kesadaran sosial dan rasa memiliki tidak hanya pada
lingkungan organisasi melainkan juga pada lingkungan sosial dimana perusahaan
berada. Meskipun kegiatan tampak sederhana dan cakupan masalah sempit tetapi
memiliki dampak positif yang sangat besar bagi masyarakat sekitar perusahaan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa untuk meraih sustainability, perusahaan perlu peduli
terhadap

lingkungan

alam

sekitar

(natural

environment),

hak-hak

pegawai,

perlindungan konsumen, corporate governance, dan pengaruh perilaku bisnis terhadap


isu-isu sosial pada umumnya seperti kekurangan pangan, kemiskinan, pendidikan,
perawatan kesehatan, HAM, yang semuanya dihubungkan dengan profit.
Berangkat dari perspektif CSR di atas ada pertanyaan tantangan yang harus
dijawab yaitu bagaimana perusahaan meraih profit semakin banyak dengan
mengerjakan hal-hal yang benar termasuk memberi perhatian besar terhadap lingkungan
(environmental) dan sosial kemasyarakatan dengan lebih baik lagi?

DAFTAR REFERENSI
Ambadar, J., 2008. Corporate Social Responsibility dalam Praktik di Indonesia.
Jakarta: Elex Media Computindo.
Elkington, John. 1998. Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers
Don R. Hansen, Maryanne M. Mowen, Liming Guan (2009). Cost Management, 6 th
edition. South-Western Cengage Learning. (Hansen, Mowen & Guan)
http://swa.co.id/2010/10/triple-bottom-line-lebih-dari-sekadar-profit/
Pengaruh Karakteristik Perusahaan, Struktur Kepemilikan, Dan Good Corporate
Governance Terhadap Pengungkapan Triple Bottom Line Di Indonesia Oleh Adhy
Karyo Nugroho

Você também pode gostar