Você está na página 1de 11

BAB I

PENDAHULUAN
Kejang merupakan masalah neurologic yang relative sering dijumpai. Diperkirakan
bahwa satu dari sepuluh orang akan mengalami kejang pada suatu saat dalam hidup mereka.
Dua puncak insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun.
Seperti sudah disebutkan diatas, kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang
berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu sehingga mengganggu
fungsi normal otak. Kejang juga terjadi dari jaringan otak normal dibawah kondisi patologis
tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang jika terjadi dalam
waktu singkat sebenarnya jarang mengakibatkan kerusakan, tetapi kejang yang berlangsung
lama dapat menimbulkan kerusakan otak. Epilepsi identik dengan orang yang mengalami
kejang tetapi ternyata manifestasi epilepsi tidak hanya kejang saja, sering melamun juga
merupakan salah satu manifestasi dari jenis epilepsi yaitu Absence seizure atau yang sering
dikatakan Petite Mal. (1)
Kejadian kejang ini sering kali salah diduga sebagai suatu sifat yang tidak
memberikan perhatian dan kejadian ini sendiri dapat berlangsung sekitar 50-100 kali dalam
satu hari. Karena sulitnya kelainan ini dideteksi, sehingga beberapa orang dapat terkena
penyakit ini dan tidak terdiagnosis hingga beberapa bulan hingga tahun. Tidak diketahui
adanya efek yang terjadi sebelum dan sesudah serangan kejang ini. Dari salah satu literatur
dikatakan bahwa sekitar 10 % dari keseluruhan kejang yang terjadi pada anak-anak adalah
absence seizures. Kejang ini menimbulkan efek yang signifikan didalam kehidupan anak
sehari-harinya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa kejang ini akan mempengaruhi kualitas
hidup dari anak itu sendiri.(2)
Ada banyak pengobatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang, namun obat
yang cocok untuk mengatasi kejang absence ini dan terutama aman dan efektif untuk
digunakan pada anak-anak yang menderita penyakit ini harus diperhatikan. Banyak penelitian
yang secara terpisah-pisah meneliti bagaimana efek obat antiepilepsi terhadap penyakit ini
dan keamanannya untuk penggunaan pada pasien anak-anak. Oleh karena banyaknya hal
tersebut dan terpisah-pisahnya penelitian itu, sehingga sulit sekali bagi kita untuk mengetahui
obat apakah yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang ini pada anak-anak dan
bagaimana efek dari obat ini terhadap anak-anak.(2)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kejang adalah lepas muatan abnormal dan berlebihan secara sinkron dari
neuron-neuron di dalam sistem saraf pusat yang disebabkan oleh suatu instabilitas
dari membrane neuron oleh karena kelebihan dari mekanisme yang merangsang
(eksitasi ) atau oleh karena berkurangnya dari mekanisme yang menghambat (normal
inhibitory mechanism). (3)
Kejang Absence merupakan salah satu bentuk dari epilepsi umum
(generalized seizure). Ditandai dengan hilangnya kesadaran selama beberapa saat, dan
kemudian kembali seperti biasa. Kejang Absence terjadi pada epilepsi general
idiopatik atau simptomatik (2).
Petit mal adalah serangan epileptic yang berupa hilang kesadaran sejenak.
serangan tersebut biasanya timbul pada anak-anak berumur antara 4 sampai 8 tahun.
Pada waktu kesadaran hilang untuk beberapa detik itu, tonus otot-otot skeletal tidak
hilang, sehingga penederita tidak jatuh. (4)
Epilepsi sendiri berarti suatu keadaan klinis pada penderita yang cenderung
(continous tendency) mendapat serangan kejang epileptic berupa serangan
paroksismal berulang. Oleh karena itu, jika penderita hanya 1 kali konvulsi bukan
berarti menderita epilepsy, tetapi kejang lebih dari 2 sampai tiga kali berarti epilepsy
(3)

B. Epidemiologi
3 4% gangguan kejang merupakan absence seizure. Di Amerika Serikat, dari
100.000 orang, terjadi 2 8 kasus kejang Absence. Dua pertiga dari penderita adalah
perempuan. Penderita kebanyakan merupakan anak kecil yang berusia 4 8 tahun,
dengan onset puncak pada usia 6 -7 tahun (1). Kejang Absence tidak menimbulkan
kematian secara langsung, melainkan penyakit yang mendasari-nyalah yang
mengakibatkan kematian, kecuali pada seseorang yang mengalami kejang Absence
saat berkendara (2).

C. Etiologi
Absence seizure merupakan kelompok epilepsi umum idiopatik. Tentu saja
penyebabnya bukan karena adanya kerusakan struktural pada otak dan sifatnya
2

idiopatik. Namun kini para peneliti melakukan pendekatan secara genetik. Pasien
dengan epilepsi Absence anak (childhood absence epilepsy) dapat memiliki riwayat
keluarga yang menurun secara autosomal dominant

(5)

. Mutasi genetik yang terjadi

dapat menimbulkan gangguan pada kanal ion, terutama kanal T-kalsium (6).
D. Patofisiologi
Salah satu mekanisme patofisiologi pada kejang general adalah interaksi
thalamokortikal yang dapat mendasari typical absence seizure. Sirkuit thalamokortikal
merupakan penghubung utama antara sistem sensoris perifer dan korteks serebri.
Sirkuit ini berperan sebagai regulator keadaan otak seperti kesadaran dan kesiagaan
serta tidur NREM tahap 3 dan 4, yang mana merupakan tanda khas dari osilasi sirkuit
thalamocortical. Sirkuit thalamokortikal memiliki ritme osilatori dengan periode
eksitasi dan penghambatan yang relatif meningkat sehingga menghasilkan osilasi
thalamokortikal dapat terdeteksi. Rangkaian sirkuit terdiri atas neuron piramidal
nonkorteks, neuron relay thalamus, dan neuron dalam nukleus retikularis pada
thalamus. Pada saat terjadi serangan, ritme sirkuit thalamokortikal berubah menjadi
gelombang paku atau spike-wave discharge (SWD) (5).
Selama terjadi serangan, fungsi normal dari jalur thalamokortikal terganggu
sehingga menyebabkan munculnya spike-wave discharge. Voltage-gated calcium
channel ber peran penting dalam proses timbulnya spike-wave discharge pada
manusia. Voltage-gated calcium channel adalah mediator kunci pada masuknya
kalsium ke dalam neuron sebagai respon atas terjadinya depolarisasi membran. Sistem
saraf manusia memiliki beberapa jenis kanal kalsium. Diantaranya adalah low
voltage-activated calcium channel (contohnya T-type channel), dan high voltageactivated (HVA) calcium channel. Kanal LVA diaktifkan oleh depolarisasi kecil dan
merupakan kontributor rangsangan neuronal, sedangkan kanal HVA membutuhkan
depolarisasi membran yang lebih besar untuk membuka(5) . T-type channel berperan
penting pada osilasi pada neuron relay thalamus, yang dapat meningkatkan aktifitas
sinkronisasi pada neuron piramidal neokortikal. Kunci dari osilasi tersebut adalah
ambang batas bawah kanal kalsium yang tidak tetap, yang dikenal juga sebagai arus T
kalsium. Percobaan pada binatang coba, penghambatan dari nukleus retikular
thalamus mengontrol aktifitas saraf-saraf relay thalamus. Saraf-saraf nukleus retikular
thalamus merupakan inhibitori dan berisi gamma aminobutyric acid (GABA) sebagai
neurotransmiter utamanya. Neurotransmiter itu meregulasi aktifasi dari kanal Tkalsium

(5)

. Kanal T-calcium memiliki 3 keadaan fungsional: terbuka, tertutup, dan


3

tidak aktif. Kalsium masuk ke sel ketika kanal T-kalsium terbuka. Beberapa saat
setelah tertutup, kanal itu tidak dapat terbuka lagi sampai mencapai keadaan
inaktifasi. Neuron relay thalamus memiliki reseptor GABA-B pada badan sel dan
menerima aktifasi tonus oleh keluarnya GABA dari nukleus retikularis thalamus
menuju neuron relay thalamus. Hasilnya, terjadi hiperpolarisasi yang mengubah
keadaan kanal T kalsium menjadi aktif, sehingga menyebabkan kanal T-calcium
terbuka dan tersinkronisasi setiap 100 milidetik

(7)

. Pada absence seizure, terjadi

mutasi genetik pada kanal kalsium tipe T, dimana terjadi peningkatan aktifitas kanal
kalsium tipe T itu. Peningkatan aktifitas tersebut menyebabkan meningkatkan burstmode firing pada thalamus dan meningkatkan aktifitas osilasi pada sistem
thalamokortikal. Akibatnya, terjadi fase tidur non-REM yang sebenarnya merupakan
aktifitas fisiologis dari sistem thalamokortikal pada saat manusia sedang tidur. Namun
pada kejadian ini, fase non-REM terjadi pada saat pasien sedang sadar penuh. Hal ini
mungkin bisa menjelaskan klinis dari absence seizure dimana pasien menjadi tidak
sadar atau bengong pada saat sedang sadar penuh

(5)

. Temuan di beberapa hewan

coba untuk peneitian absence seizure, telah menunjukkan bahwa antagonis reseptor
GABA-B mensupresi kejang Absence, sedangkan agonis GABA-B memperburuk
kejang. Antikonvulsan yang mencegah absence seizure, seperti valproic acid dan
ethosuximide, mensupresi arus T-calcium sehingga kanalnya tertutup (5).

E. Klasifikasi
Secara umum, kejang dapat dibagi menjadi 2 kategori besar, yaitu kejang fokal
(parsial) yang hanya melibatkan suatu bagian kecil dari otak pada satu hemisfer saja,
dan yang kedua adalah kejang umum (general), yang melibatkan kedua hemisfer otak.
Sindrom epilepsi umum dapat dibedakan lagi menjadi epilepsi umum simptomatik
dan idiopatik. Pada epilepsi umum idiopatik, dapat ditemukan jenis kejang Absence.
Kejang Absence terdiri dari dua macam, yaitu typical absence seizure dan atypical
absence seizures. Sedangkan typical absence dibedakan lagi menjadi dua, yaitu
simple dan complex (6).
F. Tanda dan Gejala Klinis
4

Pada waktu kesadaran hilang untuk beberapa detik saat serangan kejang, tonus
otot-otot skeletal tidak hilang, sehingga penederita tidak jatuh. Lamanya serangan
petit mal adalah antara 5 sampai 10 detik. Serangan yang berlangsung sampai 30 detik
jarang dijumpai. Adakalanya dapat timbul gerakan otot setempat pada wajah ( facial
twitching ). Pada waktu serangan petit mal berlangsung, kedua mata dapat menatap
secara hampa ke depan atau kedua mata berputar ke atas sambil melepaskan benda
yang sedang dipegangnya atau berhenti berbicara. Setelah sadar kembali penderita
sama sekali lupa akan apa yang terjadi pada dirinya. Juga pembicaraan yang
dihentikan sewaktu petit mal bangkit tidak dapat diingat kembali.(4)
Typical absence seizures memiliki ciri khusus seperti hilangnya fungsi mental,
khususnya hilangnya perhatian, respons terhadap lingkungan sekitar, serta hilangnya
memori saat kejang terjadi. Kejang berlangsung sangat mendadak, tanpa adanya aura,
dan terjadi beberapa detik sampai lebih dari 1 menit. Aktifitas yang sedang
berlangsung tiba-tiba terhenti, ekspresi wajah anak juga berubah dan terlihat seperti
patung. Pada typical absence seizure tipe simple, pasien seperti memandang ke tempat
yang jauh tanpa ada gerakan. Saat kejang berakhir, pasien segera melanjutkan aktifitas
yang tadi sempat terhenti. Kelelahan pada fase postictal tidak terjadi, namun pasien
terkadang merasa bingung karena mereka seperti melewatkan waktu beberapa saat
(time loss). Time loss inilah yang bisa menjadi petunjuk bahwa telah terjadi kejang
Absence. Pada typical absence tipe complex, automatism sering terjadi, seperti
menjilat bibir, mengunyah, menggaruk, atau meraba-raba pakaian. Semakin panjang
kejang, maka automatism akan hampir pasti terjadi. Atypical absence seizure
merupakan Absence dengan onset yang munculnya perlahan dan tidak mendadak.
Namun kejang yang terjadi berlangsung lebih lama daripada typical absence seizure
dan jarang didapatkan automatism seperti pada typical absence seizure (6).
G. Diagnosis
Anamnesa
Untuk mengetahui apa yang terjadi pada pasien, kita harus mengetahui
keadaan yang terjadi pada saat serangan. Dokter harus mengetahui kejang apa yang
paling sering terjadi pada anak-anak. Selain itu dokter harus mewawancarai saksi
mata (keluarga, kerabat) agar mengetahui kondisi pasien ketika serangan. Hasil yang
dokter peroleh dari anamnesa akan menjadi acuan dan dasar pemeriksaan yang akan
dilakukan, baik itu pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Selain itu,
anamnesa juga bisa menjadi dasar pemberian terapi pada pasien.
5

Pemeriksaan Fisik
Temuan fisik dan neurologi pada anak dengan kejang Absence masih dalam
batas normal. Dengan menyuruh pasien bernafas dengan pola hiperventilasi selama 3
5 menit dapat menyebabkan kejang Absence. Prosedur ini dapat dengan mudah
dilakukan

(2)

. Pada pemeriksaan klinis, typical absence seizure muncul dengan

terhentinya bicara pasien secara tiba-tiba dan hamya berlangsung singkat. Pasien tidak
memiliki gejala awal atau fase postictal, dan bila mereka sedang melakukan aktifitas
motorik yang besar seperti berjalan, mereka dapat berhenti dan berdiri tanpa adanya
gerakan, dan kemudian mereka dapat melanjutkan jalannya kembali. Anak-anak tidak
merespon apapun di sekitarnya selama kejang dan tidak memiliki ingatan akan apa
yang telah terjadi selama serangan. Mereka secara umum tidak sadar bahwa kejang
sudah terjadi

(2)

. Atypical absence seizure yang terjadi pada pasien dengan epilepsi

simptomatik general biasanya berlangsung lebih lama daripada typical absence, dan
onset serta resolusinya selalu gradual. Pada epilepsi simptomatik general, temuan fisik
dan neurologi bisa abnormal, sesuai dengan gangguan yang mendasari. Pemeriksaan
fisik dapat menimbulkan dugaan penyakit genetik, seperti gangguan neurokutaneus
(misalnya tuberous sclerosis) atau gangguan metabolisme sejak lahir. Pemeriksaan
neurologis dapat menunjukkan tanda-tanda keterlambatan pertumbuhan atau tandatanda yang lebih spesifik, seperti parese spastik pada cerebral palsy (2).
Pemeriksaan laboratorium
Ketika mengevaluasi anak dengan tatapan kosong, tes laboratorium yang
diindikasikan adalah tes untuk mengevaluasi abnormalitas metabolit atau adanya
ingesti obat atau toksik (terutama pada anak yang lebih tua). Apabila diperoleh
riwayat yang jelas tentang sifat episodik serangan, maka EEG bisa diagnostik dan tes
laboratorium tidak perlu dilakukan. Saat mengevaluasi anak dengan keterlambatan
pertumbuhan dan jika pada EEG didapatkan atypical absence, maka pemeriksaan
untuk penyebab yang mendasari sangat dibutuhkan (2).
Pemeriksaan Neuroimaging
Temuan neuroimaging pada epilepsi idiopatik adalah normal, namun
neuroimaging tidak diindikasikan jika ada pola typical. Neuroimaging sering
dilakukan pada anak dengan kejang tonik klonik general untuk menyingkirkan
penyebab struktural pada kejang. Hasil normal pada temuan neuroimaging membantu
diagnosa epilepsi idiopatik. Untuk epilepsi cryptogenik general dan simptomatik
6

general, neuroimaging dapat membantu diagnosa pada semua gangguan struktural


yang mendasari. MRI lebih sensitif untuk beberapa kelainan anatomis tertentu
dibandingkan dengan CT scan.
Electroencephalography (EEG)
Satu-satunya test diagnostik untuk kejang Absence adalah EEG. Pada anak
dengan kejang Absence, rekaman EEG rutin ketika anak terjaga sering patogmonis.
Semburan frontal dominan, gelombang paku 3 Hz yang tergeneralisasi nampak saat
kejang. Pada sindrom dengan kejang Absence yang jarang (juvenile absence epilepsy
atau juvenile myoclonic epilepsy), rekaman saat terjaga bisa normal, rekaman saat
terjaga dan tidur mungkin juga diperlukan.

EEG typical absence seizure dengan aliran gelombang paku 3 HZ EEG pada
typical absence memiliki aktifitas latar belakang yang normal. Pada typical absence
seizure dapat ditemukan gelombang paku 3Hz. Frekuensinya sering lebih cepat pada
saat onset dengan sedikit perlambatan pada fase akhirnya. Onset dan fase akhir dari
kejang ini bersifat mendadak, dan tidak ditemukan perlambatan pada EEG postictal.
Hiperventilasi juga sering memicu kejang Absence dan harus menjadi bagian rutin
dalam pelaksanaan EEG pada anak. Atypical absence seizure ditandai dengan
gelombang paku paroksimal lambat, biasanya 2,5Hz. Onsetnya sangat sulit untuk
7

dipahami, dan perlambatan EEG postictal dapat dijumpai. EEG pada atypical absence
seizure dapat dijumpai ketidaknormalan pada aktifitas latar belakangnya. Korelasi
klinis antara kompleks gelombang paku yang tergeneralisasi dengan klinis kejang
tidak jelas seperti yang ada pada typical absence seizure. Gelombang paku yang
lambat dapat muncul sebagai pola interictal seperti pada sindroma Lennox-Gastout

H. Diagnosis Banding
Absence seizure memiliki beberapa diagnosis banding:
1. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2. Complex Partial Seizures
3. Confusional States and Acute Memory Disorders
4. Febrile Seizures
5. First Pediatric Seizure
6. Migraine
7. Psychogenic Nonepileptic Seizures
8. Reflex Epilepsy
9. Shuddering Attacks
10. Status Epileptikus
Kejang Absence dapat rancu dengan kejang parsial kompleks, terutama pada kasus
kejang memanjang dengan automatism, tabel di bawah ini dapat membantu untuk
membedakan

kejang Absence

dengan

parsial

kompleks, serta

membantu

membedakan antara typical absence dan atypical absence (1).


I. Komplikasi
Beberapa orang yang memiliki absence seizure, selanjutnya akan mengalami
kejang tonik klonik atau grand mal. Selain itu, bisa saja pada pasien absence seizure
dapat mengalami kesulitan belajar dan mengalami absence status epileptikus (2) (8).
J. Terapi
Obat pilihan utama untuk pemberantasan petite mal adalah Ethosuximide.
Ethosuximide (ESM) adalah garam kristal bewarna putih yang larut dalam air dan
alkohol. Obat ini memberikan blokade yang tergantung pada tegangan dari nilai
8

ambang-batas tegangan kalsium tipe T pada thalamus. Blokade itu merupakan


mekanisme kerja dalam menghentikan proses kejang Absence. Obat ini juga
meningkatkan GABA post-sinaps, namun hal itu nampaknya tidak berperan dalam
proses anti-epilepsi. Penggunaan obat ini sangatlah terbatas karena hanya digunakan
untuk terapi absence seizure. (10)(12)
Dosis yang dipergunakan sehari ialah 20-40 mg/kgBB dan diberikan dalam 23 kali. Dosis permulaan (20 mg/kgBB/hari) dapat dinaikan secara bertahap setiap
minggu sampai bebas serangan atau sampai gejala efek samping muncul. Adapun
gejala efek samping yang timbul adalah mual, ataxia dan mengantuk. Ethosuximide
memiliki kecenderungan untuk membangkitkan serangan grand mal. Bila serangan
grand mal timbul, maka orang sakit dapat diberi obat tambahan yang dapat
memberantas serangan grand mal yaitu luminal.(4)
Valproate (VPA) merupakan obat yang paling sering digunakan untuk kejang
Absence. Mekanisme kerjanya masih belum jelas. VPA banyak mempengaruhi
reseptor GABA-A, dan mekanisme inilah yang diduga menjadi efek antiepilepsi
utama. VPA meningkatkan konsentrasi GABA sinaptosomal dengan aktifasi enzim
sintesa GABA asam glutamat dekarboksilase. Selain itu juga menghambat
katabolisme GABA transaminase. Pada area hipokampal, VPA menurunkan ambang
batas konduktansi kalsium dan potassium. Obat ini telah dilaporkan memiliki potensi
teratogenik (10)(12).
Antikonvulsan lain yang dapat digunakan untuk penberantasan petit mal
adalah clonazepam dalam dosis 0,01-0,03mg/kgbb/hari, atau sodium valproate dengan
dosis 20 mg/kgbb/hari. Bilamana obat obatan tersebut masih belum sempurna, maka
acetazolamide dalam dosis 10-25 mg/kgbb/hari dapat dipertimbangkan sebagai obat
tambahan. Jangan dilupakan untuk meneliti factor-faktor di luar obat bilamana
serangan epileptic masih belum dapat diatasi.(4)
Monoterapi dengan Lamotrigine kurang efektif jika dilihat dari pasien yang
bebas kejang hanya kurang dari 50%. Bila monoterapi gagal atau terjadi efek
samping, penggantian dengan obat yang lain menjadi alternatif. Menambahkan
lamotrigine dosis kecil pada sodium valproat dapat menjadi kombinasi yang bagus
untuk kasus resistensi. Namun sebuah penelitian menegaskan bahwa ethosuximide
dan valproic acid merupakan obat yang paling efektif dibandingkan dengan
lamotrigine pada terapi kejang Absence pada anak (9).

K. Prognosis
Kebanyakan pasien berespon positif atau sembuh total pada medikasi yang
tepat, dan kira-kira dua pertiga pasien mengalami penurunan intensitas kejang pada
masa pubertas. Faktor positif untuk kesembuhan termasuk berkurangnya kejang tonus
klonus, tidak ada riwayat pada keluarga, dan tidak ada riwayat status epileptikus
nonkonvulsif general

(2) (9)

. Jika kognisi dan status tidak normal, prognosisnya buruk

(9)

.
Serangan petit mal dapat berhenti untuk seterusnya setelah penderita berusia

20 tahun atau selambat-lambatnya pada umur menjelang 30 tahun. Tetapi ada


kemungkinan dimana petit mal berkembang menjadi grand mal pada umur 20 tahun.
Petit mal yang berhenti dapat diramalkan berdasarkan 4 kriteria, yaitu :
1. Mulai timbul pada umur 4 8 tahun pada anak dengan taraf inteligensi yang
normal.
2. Serangan petit mal harus hanya terdiri dari hilang kesadaran sejenak saja, tanpa
gejala motorik, seperti facial twitching, bibir yang berkomat-kamit atau tonus
postural yang hilang
3. Serangan petit malnya mudah terkelola dengan satu jenis obat saja
4. Pola EEGnya harus berupa kompleks spike wave yang tepat 3 siklus per detik,
tanpa adanya pola abnormal lainnya.
Petit mal yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas cenderung menjadi
grandma pada perkembangan selanjutnya.(4)
Pasien yang kemungkinan memiliki resiko untuk terjadinya rekurensi
walaupun pengobatan sudah dihentikan:
o Frekuensi kejang yang tinggi sebelum pengobatan
o Abnormalitas neurologis
o Retardasi mental
o Abnormalitas EEG yang terus menerus (11)

10

DAFTAR PUSTAKA
1. Browne, Thomas R and Holmes, Gregory L. Handbook of Epilepsy. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins, 2008
2. Segan, Scott. Absence Seizure. Medscape Reference. [Online] March 28, 2013. [Cited:
March 2, 2014.] http://reference.medscape.com/article/1183858-overviewB
3. Chandra Prof Dr dr. Neurologi Klinik. Surabaya : Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD
dr Soetomo, 1994
4. Sidartha Priguna Prof Dr. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit
Dian Rakyat. 2012. Hal 307-308
5. Voltage-Gated Calcium Channels and Idiopathic Generalized Epilepsies. Khosravani,
Houman and Zamponi, Gerald W. 86, Calgary : Physiological Reviews, 2006.
6. Samuels, Martin A. Manual of Neurologic Therapeutics, 7th Edition. Boston :
Lippincott Williams & Wilkins, 2004.
7. Panayiotopoulos, C P. Absence Status Epilepticus. International League Against
Epilepsy. [Online] January 18, 2011. [Cited: March 1, 2014.] http://www.ilaeepilepsy.org/Visitors/Centre/ctf/absence_status.cfm.
8. Mayo Clinic. Absence seizure (petit mal seizure). Mayo Clinic. [Online] Jun. 23,
2013. [Cited: March 4. 2014] http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/petitmal-seizure/basics/definition/con-20021252
9. Roth, Julie L. Status Epilepticus. Medscape Reference. [Online] May 26, 2013.
[Cited:

27

February,

2014.]

http://emedicine.medscape.com/article/1164462-

overview#showall.
10. Shorvon, Simon D. Handbook of Epilepsy Treatment: Forms, Causes and Therapy in
Children and Adults, 2nd ed. Massachusetts : Blackwell Publishing, 2005.
11. Rolak, Loren A. Neurology Secrets. Philadelphia : Mosby, Inc, 2010.
12. The New Antiepileptic Drugs: Clinical Application. LaRoche, Suzette M and Helmers,
Sandra L. 5, s.l. : JAMA, 2004, Vol. 291.

11

Você também pode gostar