Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN
MARET 2015
UNIVERSITAS HASANUDDIN
OLEH:
NUR JANNAH NASIR
C 111 10 003
PEMBIMBING:
dr. MOH. GUNTUR MERTOSONO
LEMBAR PENGESAHAN
NIM
C111 10 003
Universitas
Hasanuddin
Judul
Makassar,
Pembimbing,
Maret 2015
Coass,
Pembimbing Baca,
dr. Asriani
BAB I
PENDAHULUAN
fisik/jasmani,
pemeriksaan
bakteriologik,
radiologik
dan
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. J.P.
Umur
: 32 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Papua
Pekerjaan
: PNS
Agama
: Protestan
Nomor RM
: 034679
Tanggal Pemeriksaan
: 15/02/2015
Ruangan
: Sesak Napas
Batuk disertai lendir warna putih. Batuk darah pernah satu kali saat
batuk keras, berupa bercak darah.
Pasien mengeluh adanya penurunan nafsu makan dan penurunan berat
badan dalam 2 bulan terakhir sekitar 10 kg. Pasien juga mengeluh lemas dan
pegal-pegal di otot sehingga pasien berobat ke dokter praktik saat masih di
papua karena khawatir menderita malaria. Setelah minum obat malaria, pegalpegal otot hilang namun keluhan lemas dan demam masih sering ada.
Anamnesi Sistematis :
Demam ada, menggigil tidak ada, nyeri kepala ada. Nyeri dada tidak
ada, jantung berdebar-debar tidak ada. Mual dan muntah tidak ada, nyeri ulu
hati tidak ada. Buang air besar (BAB) biasa, warna kuning. Riwayat BAB
hitam, berdarah, seperti dempul, atau encer tidak ada. Buang air kecil (BAK)
lancar, warna kuning muda. Riwayat BAK seperti teh, nyeri, berpasir dan
kencing batu tidak ada.
Riwayat dari daerah endemis malaria ada, riawayat malaria tidak ada.
Riwayat Keluarga
Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai PNS dan mengaku kalau di tempat kerja ada
teman yang sering batuk-batuk.
Riwayat Alergi
C. OBJEKTIF
1.
Status Present
Sakit sedang/ Gizi Kurang/ Composmentis
BB= 48 kg; TB= 167 cm; IMT= 17,21 kg/m2
Tanda Vital :
o
Tensi
: 120/80
mmHg
Nadi
: 92
Pernapasan : 26
kali/menit (thoracoabdominal)
Suhu
: 37,7
C (axilla)
Kepala
o
Ekspresi
: biasa
Simetris muka
Deformitas
: (-)
Rambut
Mata
o
Eksoptalmus/Enoptalmus
: (-)
Gerakan
: ke segala arah
Kelopak Mata
Konjungtiva
: anemis (-)
Sklera
: ikterus (-)
Kornea
: jernih
Pupil
Telinga
o
Pendengaran
Tophi
: (-)
Hidung
o
Perdarahan
: (-)
Sekret
: (-)
Mulut
o
Bibir
Lidah
Tonsil
Faring
: hiperemis (-)
Gigi geligi
: caries (-)
Gusi
: perdarahan (-)
Leher
o
Kelenjar gondok
DVS
: R+0 cm H2O
Pembuluh darah
Kaku kuduk
: (-)
Tumor
: (-)
Thorax
o
Inspeksi
Bentuk
Pembuluh darah
Buah dada
Sela iga
Lain-lain
Palpasi
Fremitus raba
Nyeri tekan
: (-)
Perkusi
Paru kiri
: sonor
Paru kanan
Batas paru-hepar
: sulit dinilai
: sulit dinilai
Auskultasi
Bunyi pernapasan
Bunyi tambahan
Ronkhi
:
- -
Wheezing
- -
- -
- -
Jantung:
o
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: pekak
: sulit dinilai
Auskultasi
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Hati
: tidak teraba
Limpa
: tidak teraba
Ginjal
: ballotement (-)
Lain-lain
: ascites (-)
Perkusi
: timpani (+)
Alat Kelamin
Punggung
o
Palpasi
Nyeri ketok
: (-)
Auskultasi
Gerakan
Lain lain
: (-)
Ekstremitas
Superior
Inferior
2.
Laboratorium
: 10.020/cm
Eritrosit
: 4.760.000 /cm
Hemoglobin
: 13,2 g/dL
Platelet
: 239.000/cm
Hematokrit
: 40,3
Monosit
: 12,3 ()
Eosinofil
: 3,3 ()
LED I/II
: 20/59 ()
10
3.
: 13 U/l
SGPT
: 12 U/l
: 23 g/dl
Kreatinin
: 0,9 md/dL
: kuning keruh
BJ
: 8,0 ()
Rivalta
: psotif
Glukosa
: 299 ()
Protein
: 5,0 ()
LDH
: 281 ()
Sel
D. RESUME
Seorang laki-laki umur 32 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
sesak napas sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan memberat 1
minggu terakhir. Sesak dirasakan terus-menerus, terasa seperti penuh di dada
terutama dada kanan sehingga pasien mengeluh sulit menarik napas. Sesak
tidak dipengaruhi aktivitas dan posisi tidur. Sesak tidak dipengaruhi cuaca
dan musim. Tidak ada riwayat terbangun malam hari karena sesak.
11
12
dextra. Bunyi pernapasan vesikuler dan menurun di dada kanan bawah, tidak
ada rhonki dan wheezing. Pada abdomen didapatkan abdomen tampak datar
dan ikut gerak napas, dengan peristaltik yang kesan normal, hepar dan lien
tidak teraba. Pada ekstremitas tidak ditemukan kelainan.
Dari hasil laboratorium darah rutin ditemukan Monositosis dengan
jumlah monosit 12,3 % dan Eosinofil 3,3 %. Ada pemanjangan LED II yaitu
59 menit. Pada hasil pemeriksaan foto Thorax PA ditemukan TB Paru Duplex
lama aktif dan efusi pleura dextra. Pemeriksaan sputum BTA 1 kali negatif.
Hasil analisa cairan pleura menunjukkan adanya peningkatan BJ : 80, uji
Riwalta positif, protein 5,0, LDH 281.
Berdasarkan
anamnesis,
pemeriksaan
fisis,
dan
pemeriksaan
penunjang maka pasien didiagnosis sebagai Efusi Pleura Dextra dan TB Paru
Kasus Baru.
E. ASSESSMENT
1.
2.
F. PLANNING
1.
Penatalaksanaan Awal
Farmakologi:
Non- Farmakologi:
Diet biasa
2.
Rencana Pemeriksaan
Darah rutin
Pemeriksaan sputum : BTA 3x, gram, dan jamur
Uji sensitivitas antibiotik, OAT
USG Thorax Marker
Punksi Pleura Kultur cairan pleura
Uji
Widal
Salmonella,
Malaria
mikrositik,
dan
(Leptodipstick)
Foto Thorax PA pada akhir pengobatan OAT fase intensif.
Konsul subdivisi Pulmonology
G. PROGNOSIS
o Ad Functionam
: Dubia ad bonam
o Ad Sanationam
: Dubia ad bonam
o Ad Vitam
: Dubia ad bonam
14
Leptosipra
BAB III
DISKUSI
fisik/jasmani,
pemeriksaan
bakteriologik,
radiologik
dan
15
16
jam/oral untuk menekan batuk sehingga resiko batuk darah dan penularan ke
orang lain menurun.
Untuk terapi kausatif diberi OAT kategori I yaitu 4RHZE/2RH. Pasien ini
mendapat obat kombinasi dosis tetap OAT Kategori I fase intensif yaitu Rimstar
4FDC 3 tablet/24 jam/oral selama 2 bulan. Tiap 1 tablet Rimstar berisi
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275
mg. Bila diberi terpisah, OAT dapat diberikan berupa Isoniazid (INH (tab 300 mg
: 1x1 ) ; Rifampicin (tab 450 mg : 1x1); Etambutol (tab 500 mg : 1x 1 1/2);
Pirazinamid 1125 mg (tab 500 mg : 1x 2 ).
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam. Ini disebabkan karena
diagnosis dan penanganan yang cepat, terapi yang tepat, adanya pengawas minum
obat (PMO) yang mendampingi pasien, lingkungan perawatan yang bersih, dan
makanan yang bergizi serta tidak adanya ko-infeksi HIV. Namun penyakit ini
dapat relaps jika tidak minum obat teratur sampai tuntas dan jika adanya
penurunan sistem kekebalan pada infeksi berulang ataupun imunodefisiensi. Oleh
karena itu keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh pasien sendiri terutama
kepatuhan untuk konsumsi obat OAT.
17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Penyakit ini dapat menular antarmanusia melalui udara. Paru-paru
merupakan organ pertama yang terinfeksi tetapi infeksi dapat menyebar dari fokus
primer menuju ke tempat lain didalam tubuh. Resistensi terhadap tuberkulosis
dipengaruhi oleh fungsi sel T, penyakit ini dapat menjadi reaktif ketika sistem
imun melemah. Respon imun oleh karena penyakit ini dapat mengakibatkan
destruksi jaringan sekitar (cavitas pada paru) dan dapat pula menyebabkan efek
sistemik yang dimediasi oleh sitokin-sitokin (demam dan penurunan berat badan).
(4)
B. INSIDEN
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun
2014 (WHO Global Tuberculosis Report 2014) menyatakan bahwa terdapat 9 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2013, termasuk 1,1 juta kasus tuberkulosis
disertai infeksi HIV. Setengah juta dari kasus tersebut merupakan TB MDR yang
mana lebih sulit untuk diterapi. Angka kematian akibat tuberkulosis pada tahun
2013 sebanyak 1,5 juta orang, 306.000 diantaranya disertai infeksi HIV.
Tingginya insidensi tuberkulosis menjadi masalah bagi perekonomian keluarga di
setiap negara. Hal ini menjadi dasar WHO untuk menyusun program baru pada
tanggal 19 Maret 2015 di Geneva untuk memperingati hari Tuberkulosis Dunia
(24 Maret). Program ini dinamakan WHO End TB Strategy
dengan target
menurunkan 95% kematian akibat TB dan 90% kasus TB baru sampai tahun
2025.(3,5,6)
18
19
C. ETIOLOGI
Mycobacterium
tuberculosis
berbentuk
batang
lurus
atau
sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3
0,6 m dan panjang 1 4 m. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan
dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60
C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding
sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri M.tuberculosis
bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis
20
21
D. PATOGENESIS
Penularan terjadi melalui droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas
atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. (2,9,10)
Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian
kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan
bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.( 2,9,10)
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
22
tuberkulin,
mengalami
perkembangan
sensitivitas.
Pada
saat
tersebut
ditandai
oleh
terbentuknya
hipersensitivitas
terhadap
23
24
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi. (2,7)
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. (2,7)
E. PATOLOGI
Untuk lebih memahami berbagai aspek tuberkulosis, perlu diketahui proses
patologik yang terjadi. Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru,
terjadi karena kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman
M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh
di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi.(2)
Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi
jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel
makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa
sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit
mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel
fagosit. Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk
agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman)
mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang
baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan
berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik,
sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel
tersebut berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun
tidak ada ikatan interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. (2)
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian
sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan
sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama
25
kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan
fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan
jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma
dapat mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang
akan terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama
kelamaan terjadi penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam
kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba
virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal,
terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma
membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang
dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh
cepat ekstrasel dan terjadi perluasan penyakit. (2)
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi
sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis
jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi
terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.
(2)
26
1.
2.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
27
3.
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
4.
Tipe Pasien
28
29
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik
G. DIAGNOSIS
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala klinik,
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan
radiologis.(2,12)
a.
respiratorik dan sistemik. Gejala respiratorik yakni batuk terus menerus dan
berdahak selama 3 minggu atau lebih, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri
dada.(2,13)
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar. (2)
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas &
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.(2)
30
Gejala sistemik yakni badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun,
rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
dan demam/meriang lebih dari sebulan.(2,13)
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik.
Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi
pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan
penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.(13)
c.
Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
31
Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian
tengahnya
Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong
plastik kecil.
Kantong
plastik
kemudian
ditutup
rapat
(kedap
udara)
dengan
32
pewarnaan Ziehl-Nielsen
pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens:
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu dengan
cara sebagai berikut :
o Masukkan dahak sebanyak 2 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan
tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
o Kocoklah tabung tersebut selam 5 10 menit atau sampai dahak mencair
sempurna
o Putar tabung tersebut selama 15 30 menit pada 3000 rpm
o Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada
sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah
o Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n
ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuningkuningan
o Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga
dipakai untuk biakan M.tuberculosis ).
33
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto thorax PA. Permintaan lain atas indikasi
adalah foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CTScan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).Pada kasus dimana pemeriksaan Sputum
BTA SPS posiitif, Foto thorax tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan
hapusan positif perlu dilakukan foto thorax bila: (2,13)
34
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
35
paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
o Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
-
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan
luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4
atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2009), sebagaimana
bisa dilihat di bawah ini: (11)
36
e.
Pemeriksaan Penunjang(2)
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
pembiakan
kuman
tuberkulosis
secara
konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini
adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak
dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
37
38
39
penyembuhan
penderita.
Demikian
pula
kadar
limfosit
bisa
F. PENGOBATAN
40
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.
OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg
BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg,
BB 40 -60 kg : 1000 mg, BB < 40 kg : 750 mg. Dosis intermiten 40 mg/
kgBB/ kali
42
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simtomatik ialah :
-
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman
TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan
kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan
disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang
terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi
bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali
seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
43
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko
tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.
Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan
kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka
kerusakan
alat
keseimbangan
makin
parah
dan
menetap
(kehilangan
44
Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik
Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti
tertulis di atas
Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian
dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan
perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa
dilakukan terhadap obat lainnya
Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
45
a.
46
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan
obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya
H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 2 tahun.
Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian
dilanjutkan sesuai uji resistensi
-
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)
47
5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan
diteruskan kembali sesuai jadual.
e. TB Paru kasus kronik
-
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil
uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan
H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid
Pertimbangkan
pembedahan
untuk
meningkatkan
penyembuhan
-
48
kemungkinan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rab T. Tuberkulosis Paru. In: Rab T, editor. Ilmu Penyakit Paru. 1st ed.
Jakarta: Trans Info Medika; 2010. p. 157-68.
2.
3.
4.
Gillespie SH, Bamford KB. Mycobacteria. In: Gillespie JP, editor. Medical
Microbiology and Infection at Glance. 1st ed. London: Blackwell Science;
2000. p. 32-3.
5.
6.
7.
Menteri
kesehatan
republik
Indonesia.Keputusan
Menteri
Kesehatan
9.
49
10. Daniel TM. Tuberkulosis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison : Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. 13th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 799-808.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Kedua. Jakarta : 13-33.
50