Você está na página 1de 26

Apakah Inkompatibilitas Rhesus?

Inkompatibilitas Rhesus adalah kondisi medis dimana ibu dengan darah rhesus negatif (Rhnegatif) dan bayi dengan darah rhesus positif (Rh-positif) sewaktu kehamilan. Perbedaan
golongan darah yang ditandai dengan tipe protein yang ditemukan pada permukaan sel darah
merah. Apabila faktor protein Rh muncul, individu dikatakan Rh positif. Di sisi lain, tidak
ditemukannya faktor Rh mengindikasikan individu tersebut merupakan Rh-negatif.
Inkompatibilitas Rh hanya dapat terjadi ketika ibu dengan Rh-negatif dan janinnya dengan Rhpositif. Sistem kekebalan tubuh ibu menganggap sel-sel janin sebagai benda asing, menyebabkan
antibodi anti-Rh memasuki peredaran darah bayi dan menghancurkan sel-sel darah merah bayi.
Inkompatibilitas Rh sering tidak menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, akan tetapi,
risiko meningkat seiring dengan setiap kehamilan. Hal ini terjadi karena darah ibu berespon
terhadap antibodi anti-Rh yang dihasilkan terhadap sel darah merah Rh-positif (darah ibu
dikatakan tersensitasi) akibat percampuran darah setelah melahirkan anak pertama. Pada
kehamilan berikutnya dengan bayi Rh-positif, antibodi anti-Rh akan mengenali janin sebagai
benda asing dan menyerang sel-sel darah merah janin. Hal ini berpotensi menyebabkan
komplikasi yang mengancam jiwa pada bayi, seperti anemia, ikterus, kerusakan otak, kematian
prematur janin di dalam kandungan ibu.
INKOMPATIBILITAS RHESUS dan KEHAMILAN
INKOMPATIBILITAS RHESUS dan KEHAMILAN
Apa yang dimaksud dengan Rhesus ?

Permukaan sel darah merah manusia dapat atau tidak mengandung antigen
Rhesus (Rh-antigen). Bila ditemukan antigen Rh pada permukaan eritrosit
maka pasien disebut Rhesus [+] Positif. Bila seorang pasien dengan golongan
darah memiliki antigen Rhesus maka dia disebut sebagai A + ; bila tidak A

Setengah dari antigen pada janin berasal dari ayah dan setengahnya dari ibu.

Masalah sensitisasi Rhesus


Pasangan orang tua yang harus diperhatikan adalah bila : ibu Rhesus Negatif dan
ayah Rhesus Positif.

Bila ibu hamil Rhesus [-] dan anaknya Rhesus [+], maka ibu hamil akan
mengalami sensitisasi dengan antigen Rhesus antibodi Rhesus.

Antibodi tersebut akan melewati plasenta dan menyerang eritrosit janin


hemolisis eritrosit janin dengan segala akibatnya.

Sensitisasi

Sensitisasi dapat terjadi saat :


o

Amniosentesis.

Abortus iminen.

Perdarahan per vaginam.

Solusio plasenta / Plasenta praevia.

Trauma abdomen.

Seksio sesar.

Versi Luar.

Skenario bahaya pada janin


Ibu Rhesus [-] dengan janin Rhesus [+] akan mengalami sensitisasi pada awal
kehamilan.
Wanita terpapar dengan darah Rhesus [+] selama kehamilan dan atau persalinan
dan kemudian menghasilkan antibodi. Pada akhir kehamilan, sistem imunologi ibu
hamil yang sudah mengenal darah Rhesus [+] melewati plasenta dan menyerang
eritrosit janin yang Rhesus [+].
Skrining
Pada tiap kehamilan harus dilakukan pemeriksaan golongan darah berikut Faktor
Rhesus dan skrining antibodi dilakukan pada kunjungan pertama dengan tes COMB
indirect

RhoGAM :
Bila ibu Rhesus negatif terpapar dengan darah janin Rhesus [+], maka ibu harus
diberi RhoGAM ; RhoGam adalah RhIgG (iGG akan menempel pada antigen Rhesus)
dan mencegah terjadinya respon imunologi ibu.
Penatalaksanaan Ibu Rhesus [-] yang tidak tersensitisasi (pasien Rhesus
[-] dengan skrining antibodi [-])
1. Skrining antibodi dikerjakan pada kehamilan 0 24 28 minggu.
2. Bila negatif, berikan 300 g RhIgG untuk mencegah terbentuknya antibodi
dalam tubuh ibu.
3. Saat persalinan, tentukan status Rhesus neonatus, bila Rhesus (+) , berikan
RhIgG pasca persalinan.
RhoGAM diberikan pada ibu Rhesus [-] yang terpapar dengan darah janin
Pada kehamilan yang mengalami sensitisasi pertama kali, komplikasi terhadap janin
rendah

Penatalaksanaan Ibu rhesus Negatif yang tersensitisasi (bila pada


kunjungan pertama, hasil skrining antibodi Rhesus hasilnya positif):
1. Lakukan skrining antibodi pada kehamilan 0 12 20 minggu.
2. Tentukan titer antibodi :
o

Bila titer stabil pada angka < 1 : 16 , kemungkinan terjadinya penyakit


hemolitik pada neonatus sangat rendah.

Bila titer > 1 : 16 atau meningkat, kemungkinan terjadinya penyakit


hemolitik pada neonatus sangat besar

Amniosentesis pada kehamilan 16 20 minggu:

Analisa sel janin untuk menentukan status Rhesus.

Analisa cairan amnion dilakukan dengan memakai spektrofotometer


yang menentukan absorbsi cahaya oleh bilirubin. Hasil pengukuran
absorbsi di aplikasikan pada kurve Liley untuk meramalkan beratnya
penyakit.

- See more at: http://reproduksiumj.blogspot.com/2011/09/inkompatibilitas-rhesusdan-kehamilan.html#sthash.6ijte6rs.dpuf


Definisi

Inkompatibilitas Rh adalah suatu ketidaksesuaian Rh di dalam darah ibu hamil dan darah
bayinya. Akibat inkompatibilitas Rh, tubuh ibu akan membentuk antibodi terhadap sel-sel darah
merah bayi. Antibodi ini menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah bayi dan kadang
menyebabkan penyakit hemolitik (sejenis anemia) pada bayi.
PENYEBAB

Inkompatibilitas Rh terjadi jika ibu memiliki darah dengan Rh-negatif dan janin memiliki Rhpositif yang berasal dari ayahnya. Darah janin bisa bercampur dengan darah ibu melalui plasenta
(ari-ari), terutama pada akhir kehamilan dan selama persalinan.
Sel darah janin dianggap sebagai benda asing oleh tubuh ibunya, sehingga ibu
menghasilkan antibodi untuk menghancurkannya. Kadar antibodi pada tubuh ibu terus
bertambah selama kehamilan dan antibodi ini bisa melewati plasenta lalu masuk ke tubuh janin
dan menghancurkan sebagian sel darah merah janin. Akibatnya bisa terjadi penyakit hemolitik
pada janin (eritroblastosis fetalis) atau pada bayi baru lahir (eritroblastosis neonatorum).

Tetapi, pada kehamilan pertama, anak yang dilahirkan jarang mengalami kelainan ini karena
biasanya tidak terjadi kontak yang berarti antara darah janin dan darah ibu. Pada kehamilan
berikutnya, ibu menjadi lebih sensitif terhadap darah Rh-positif dan menghasilkan antibodi lebih
dini.

Gejala

Adanya inkompatibilitas rhesus menyebabkan terjadinya penghancuran sel-sel darah merah pada
tubuh janin, sehingga bisa menyebabkan anemia dan peningkatan kadar bilirubin (limbah hasil
penghancuran sel darah merah). Jika kadar bilirubin ini sangat tinggi, maka bisa terjadi
kerusakan otak.

Diagnosa

Pada pemeriksaan kehamilan biasanya dilakukan penyaringan untuk menentukan golongan darah
ibu. Jika ibu memiliki Rh-negatif, dilakukan pemeriksaan golongan darah ayah. Jika ayah
memiliki Rh-positif, dilakukan pengukuran kadar antibodi Rh pada ibu.

Pengobatan

Dengan mengukur kadar antibodi Rh pada ibu secara periodik, bisa diambil tindakan untuk
mengantisipasi gangguan pada janin. Jika kadar antibodi Rh terlalu tinggi, maka dilakukan
amniosentesis (pengambilan contoh cairan ketuban untuk dianalisa). Kadar bilirubin pada contoh
cairan ketuban diukur. Jika kadarnya terlalu tinggi, maka kemungkinan terjadi anemia pada
janin. Jika dicurigai terdapat anemia, maka janin perlu diberikan transfusi darah. Biasanya,
transfusi tambahan diberikan sampai janin siap untuk dilahirkan. Proses persalinan kemudian
diinduksi dan setelah janin lahir dapat diberikan transfusi tambahan. Terkadang transfusi tidak
lagi diperlukan setelah janin lahir.
PENCEGAHAN

Darah ibu dan darah bayi bisa mengadakan kontak selama persalinan sehingga tubuh ibu
membentuk antibodi. Karena itu sebagai tindakan pencegahan, diberikan suntikan
immunoglobulin Rh0(D) kepada ibu yang darahnya memiliki Rh-negatif dalam waktu 72 jam
setelah melahirkan bayi dengan Rh-positif (bahkan juga setelah mengalami keguguran atau
aborsi). Pemberian suntikan ini menyebabkan hancurnya sel-sel dari bayi yang mungkin
mensensitisasi ibu, sehingga biasanya kehamilan berikutnya tidak berbahaya. Tetapi sekitar 1-2%
ibu yang mendapatkan suntikan ini tetap mengalami sensitisasi, kemungkinan karena sensitisasi
terjadi lebih dini. Untuk mencegah terjadinya sensitisasi dini, suntikan bisa diberikan pada
kehamilan 28 minggu dan setelah persalinan.

Ibu Hamil Rhesus Negatif, Berdampak Buruk Pada Bayi


Posted on Maret 21, 2011 by The Children Indonesia
Masing-masing individu manusia mempunyai variasi golongan darah seperti A, B, AB,
atau O dan faktor Rh positif (+) atau negatif (-). Faktor Ras juga sangat berpengaruh,
orang Asia dan Afrika sekitar 90% mempunyai Rh (+). Sebaliknya orang kulit putih atau
orang Eropa dan Amerika kebanyakan memiliki Rh (-). Kasus Rh negatif lebih banyak
ditemui pada orang-orang asing atau mereka yang memiliki garis keturunan asing, seperti
Eropa dan Arab. Meski di Indonesia jarang ditemuai tetap masih ada saja terjadi.
Dampak buruk bagi kesehatan menjadi timbul jika ibu hamil memiliki Rh (-) sementara ayah Rh
(+). Dalam kondisi seperti ini, si bayi bisa saja memiliki darah dengan Rh (+) atau Rh (-).
Namun, biasanya bayi akan mewarisi Rh (+) karena lebih bersifat dominan. Janin bisa memunyai
Rh yang berbeda dengan Rh ibunya. Bila ini terjadi akan terjadi ketidakcocokan Rh bayi dengan
ibu atau disebut erythoblastosis foetalis.
Ketidakcocokan atau inkompatibilitas Rh

Ketidakcocokan atau inkompatibilitas Rh ini bisa berakibat gangguan pada janin berupa
keguguran berulang atau kematian janin.

Perbedaan Rh antara ibu dengan bayi membuat tubuh ibu memproduksi antirhesus untuk
melindungi tubuh ibu tetapu sebaliknya bisa menggangu bayi. Rh darah janin akan masuk
melalui plasenta menuju aliran darah ibu. Melalui plasenta itu juga, antirhesus yang
diproduksi ibu akan menyerang si calon bayi. Antirhesus lalu akan menghancurkan selsel darah merah calon bayi.

Kerusakan sel darah merah bisa mengakibatkan kuning tinggi (hiperbilirubin) yang
mengakibatkan kerusakan otak, gagal jantung, dan anemia dalam kandungan maupun
setelah lahir.

Pada kehamilan pertama, antirhesus kemungkinan hanya akan menyebabkan bayi terlahir
kuning. Hal ini lantaran proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang
menyebabkan warna kuning pada bayi.

Pada kehamilan selanjutnya gangguan yang terjadi lebih berat. Antirhesus ibu akan
semakin tinggi pada kehamilan kedua.

Penanganan Kehamilan dengan Kelainan Rh

Bila jenis Rh ibu negatif dan sudah terjadi antibodi pada ibu harus dilakukan penanganan
dan pengamatan khusus pada janin atau bayi yang akan dilahirkan. Jika antirhesus itu
belum terbentuk, pada usia kehamilan 28 minggu dan 72 jam setelah persalinan, ibu akan
diberi injeksi anti-D immunoglobulin (RhoGam).

Jika antirhesus sudah timbul maka harus dilakukan monitoring dan pengamatan lebih
cermat pada pekembangan janin khususn fungsi pernafasan dan peredaran darah, cairan
paru-paru, atau pembesaran hati yang merupakan gejala-gejala akibat rendahnya sel
darah merah.

Gangguan ketidakcocokan rhesus yang paling sering terjadi adalah kuning pada bayi baru
lahir. Kuning atau jaundice pada bayi yang diakibatkan karena ketidakcocokan rhesus ini
biasanya mengakibatkan npemecahan sel darah merah sehingga nilai bilirubin sangat
tinggi. Kuning yang sangat tinggi atau biasanya nilai bilirubin di atas 20 mg% bisa
berdampak terjadi hiperbilirubinemia ensefalopati. Gangguan ini mengakibatkan
gangguan pada otak bayi dengan gejala kejang, bayi tidak menangis dan tidak mau
minum. Bila bayi bisa diselamatkan maka bisa berdampak buruk pada tumbuhb
kembangnya saat dewasa nanti seperti gangguan pendengaran, kecacatan dan gangguan
perkembangan lainnya.

Pencegahan

Deteksi dini faktor Rhesus, sebelum kehamilan atau saat kehamilan awal sangat
bermanfaat dan penting. Selain ibu hamil, calon ayah pun harus dilibatkan dalam
pemeriksaan Rhesus.

Bila golongan darah ibu dan ayah diketahui pasti maka resiko komplikasi bahaya
kesehatan bagi janin bisa diminimalkan.

Mengandung, melahirkan dan membesarkan anak merupakan salah satu kebahagiaan yang besar
bagi wanita. Banyak pasangan yang mengharapkan keturunan, kalau bisa lebih dari satu, karena
Rasulullah SAW membanggakan banyaknya jumlah ummatnya.
Namun tak jarang beberapa wanita mengalami keguguran berulang atau bayi lahir mati, sehingga
sang buah hati urung ditimang.
Penyebab keguguran berulang dan bayi lahir mati sangat banyak, salah satunya ialah ketidak
cocokan rhesus (rhesus inkompatibilita).
Di dunia medis dikenal banyak sekali cara penggolongan darah. Namun yang biasanya
dipertimbangkan hanya dua cara penggolongan, yaitu sistem ABO dan faktor rhesus.
Biasanya masyarakat Indonesia cukup akrab dengan sistem ABO. Yaitu penggolongan darah
yang terdiri dari golongan darah A, B, AB dan O. Tapi mengenai faktor rhesus, sepertinya sedikit
sekali masyarakat kita yang mengetahuinya, walaupun rhesus sangat penting dalam masalah
darah.
Rhesus, merupakan penggolongan atas ada atau tidak adanya antigen-D. Antigen-D pertama
dijumpai pada sejenis kera yang disebut Rhesus pada tahun 1937, dari kera inilah sebutan rhesus
diambil. Orang yang dalam darahnya mempunyai antigen-D disebut rhesus positif, sedang orang
yang dalam darahnya tidak dijumpai antigen-D, disebut rhesus negatif. Pada jaman dahulu dalam
transfusi darah, asal golonganya sama, tidak dianggap ada masalah lagi. Padahal, bila terjadi
ketidak cocokan rhesus, bisa terjadi pembekuan darah yang berakibat fatal, yaitu kematian
penerima darah.
Dengan kemajuan teknologi screening darah, maka sekarang ketidak cocokan rhesus dalam
transfusi hampir bisa dibilang tidak ada lagi.

Orang-orang dengan rhesus negatif mempunyai sejumlah kesulitan karena diseluruh dunia ini,
memang orang dengan rhesus negatif relatif lebih sedikit jumlahnya. Pada orang kulit putih,
rhesus negatif hanya sekitar 15%, pada orang kulit hitam sekitar 8%, dan pada orang asia bahkan
hampir seluruhnya merupakan orang dengan rhesus positif.
Di Indonesia, kasus kehamilan dengan rhesus negatif ternyata cukup banyak dijumpai.
Umumnya dijumpai pada orang-orang asing atau orang yang mempunyai garis keturunan asing
seperti Eropa dan Arab, walaupun tidak langsung. Ada juga orang yang tidak mempunyai
riwayat keturunan asing, namun jumlahnya lebih sedikit.

KEHAMILAN DENGAN RHESUS NEGATIF


Mengapa dalam kehamilan faktor rhesus sangat penting? Ada atau tidaknya antigen-D dalam
darah seseorang sangat berpengaruh pada kehamilan. Bila seorang wanita dengan rhesus negatif
mengandung bayi dari pasangan yang mempunyai rhesus positif, maka ada kemungkinan sang
bayi mewarisi rhesus sang ayah yang positif. Dengan demikian akan terjadi kehamilan rhesus
negatif dengan bayi rhesus positif. Hal ini disebut kehamilan dengan ketidak cocokan rhesus.
Efek ketidak cocokan bisa mengakibatkan kerusakan besar-besaran pada sel darah merah bayi
yang disebut erytroblastosis foetalis dan hemolisis. Hemolisis ini pada jaman dahulu merupakan
penyebab umum kematian janin dalam rahim, disamping hydrop fetalis, yaitu bayi yang baru
lahir dengan keadaan hati yang bengkak, anemia dan paru-paru penuh cairan yang dapat
mengakibatkan kematian.
Selain itu kerusakan sel darah merah bisa juga memicu kern ikterus (kerusakan otak) dan
jaundice (bayi kuning/hiperbilirubinimia), gagal jantung dan anemia dalam kandungan maupun
setelah lahir.
Karena hati bayi yang baru lahir belum cukup matang, maka ia tak dapat mengolah sel darah
merah yang rusak (bilirubin) ini dengan baik untuk dikeluarkan oleh tubuhnya, sehingga terjadi
hiper bilirubin/bayi kuning. Selain itu sang hati pun akan bekerja terlalu keras sehingga
mengakibatkan pembengkakkan hati dan dibanjirinya paru-paru dengan cairan. Karena produk
perusakan sel darah merah adalah racun bagi otak maka terjadi kernicterus (kerusakan otak).
Selain itu sumsum bayi yang belum matang tak dapat mengganti sel darah merah dengan cukup
cepat, maka ia akan kembali melepaskan sel darah merah yang belum matang dalam sirkulasi
darah (reticulocytes dan erythroblast).
Dalam kondisi ini sang ibu tetap aman karena bilirubin yang masuk dalam sirkulasi darahnya
lewat plasenta akan dikeluarkan oleh sistem metabolismenya.

APA PENYEBAB KETIDAK COCOKAN RHESUS?

Ibu dan bayi mempunyai sirkulasi darah masing-masing yang terpisah. Aliran darah bertemu
sangat dekat di plasenta, yang hanya dipisahkan oleh sehelai sel tipis. Hal ini memungkinkan
adanya kebocoran kecil darah janin kedalam sirkulasi darah ibu, sehingga darah ibu tercampur
sedikit darah janin.
Bila seorang wanita dengan rhesus negatif mengandung bayi dengan rhesus positif, hal ini berarti
darah janin yang mengandung antigen-D, masuk dalam darah ibu yang tidak mengandung
antigen-D. Karena perbedaan ini, tubuh ibu mengisyaratkan adanya benda asing yang masuk
dalam darah. Karena itu tubuh ibu kemudian memproduksi antibodi untuk menghancurkan
mahluk asing yang beredar dalam darah tersebut. Produksi antibodi ini sama seperti produksi
antibodi kebanyakan manusia bila ada zat asing dalam tubuh, seperti misalnya produksi antibodi
ketika seseorang diimunisasi cacar. Sehingga sekali antibodi tercipta, maka antibodi ini akan ada
seumur hidup.
Produksi antibodi ini untuk melindungi ibu agar bila zat asing itu muncul kembali, maka tubuh
ibu dapat menyerang dan menghancurkanya, hal ini untuk keselamatan sang ibu sendiri.
Produksi antibodi ini sangat lambat, karena itu masalah ketidak cocokan rhesus sangat jarang
dijumpai pada kehamilan pertama, karena antibodi belum terbentuk kecuali pada kasus tertentu.
Misalnya ibu sudah mempunyai antibodi akibat dari transfusi darah yang mengandung antigen-D
sebelumnya.
Kalaupun telah terjadi kebocoran darah janin, maka jumlah antibodi tersebut belum cukup
membahayakan si janin. Paling jauh dari kebocoran pada kehamilan pertama terhadap bayi
tersebut sang bayi akan menjadi kuning setelah dilahirkan.
Pada kehamilan kedua dan berikutnya, bila ibu kembali mengandung bayi dengan rhesus positif,
antibodi yang telah terbentuk akan mengenali darah bayi sebagai zat asing. Mereka menjalankan
tugasnya dengan menyerang zat tersebut, yang mengakibatkan perusakan sel darah merah bayi.
Sel pembatas plasenta yang memisahkan sirkulasi darah ibu dan janin memiliki pori yang
teramat kecil, sehingga darah tak dapat melaluinya, karena ukuran sel darah yang lebih besar. hal
ini mencegah mengalirnya darah ibu ke janin, atau sebaliknya. Namun karena ukuran antibodi
yang teramat kecil, antibodi dapat melewati sel pembatas ini dan memasuki sirkulasi darah bayi,
dan menjalankan tugasnya.

Wanita dengan rhesus negatif yang mendapat pasangan pria dengan rhesus positif kemungkinan
akan mengandung bayi dengan rhesus positif. Darah janin yang mengandung rhesus positif
memasuki sirkulasi darah ibu yang memiliki rhesus negatif. Darah janin yang memasuki
sirkulasi darah ibu tanpa injeksi RhoGam akan memicu terciptanya antibodi dalam tubuh ibu.
Antibodi menyeberang ke sirkulasi darah janin dan menghancurkan sel darah merah janin, yang
mengakibatkan serangkaian penderiataan bagi janin.

PEMICU TERBENTUKNYA ANTIBODI TERHADAP ANTIGEN-D


Kebocoran darah janin. Kebocoran darah janin kedalam sirkulasi darah ibu terjadi pada hampir
75% persalinan. Karena pada saat persalinan rahim yang berkontraksi akan mengganggu sel
pembatas yang tipis tersebut. Selain itu terkadang pada usia kehamilan 28 minggu bisa juga
terjadi kebocoran darah janin ke sirkulasi darah ibu. Selain pada persalinan, bisa juga pada kasus
keguguran dan aborsi serta terminasi. Transfusi darah yang mengandung antigen-D pada
penerima yang merupakan orang dengan rhesus negatif. Pada proses amniosentesis.

PENANGANGAN KEHAMILAN DENGAN RHESUS NEGATIF


Karena begitu jarangnya orang dengan rhesus negatif, maka sangat sedikit rumah sakit yang
dapat menanganinya. Begitu pula dengan dokter kandungan, ternyata banyak sekali yang masih
tidak mengerti masalah kehamilan dengan rhesus negatif ini. Maka itu bila Anda mengetahui
rhesus darah Anda adalah negatif, segera cari informasi rumah sakit dan dokter mana yang bisa
menangani kehamilan Anda.
Walaupun tidak selalu ada masalah, dokter biasanya akan tetap menangani kehamilan dengan
rhesus negatif secara khusus. Seorang wanita dengan rhesus negatif pada pemeriksaan kehamilan
pertama akan diperiksa darahnya untuk memastikan jenis rhesus darah dan melihat apakah telah
tercipta antibodi.
Bila belum tercipta antibodi, maka pada usia kehamilan 28 minggu dan dalam 72 jam setelah
persalinan akan diberikan injeksi anti-D (Rho) immunoglobulin. Bila kehamilan tanpa injeksi
mempunyai peluang untuk selamat hanya 5%, Injeksi ini akan mengurangi resiko hingga 1%.
Bahkan bila digunakan dengan tepat, bisa mengurangi resiko hingga 0.07% (yang berarti peluang
selamat meningkat hingga 99.93%). Pada kasus keguguran, aborsi dan terminasi pun injeksi ini
perlu diberikan.
Rho Immunoglobulin ini akan menghancurkan sel darah merah janin yang beredar dalam darah
ibu, sebelum sel darah merah itu memicu pembentukan antibodi yang dapat menyeberang ke
dalam sirkulasi darah janin. Dengan demikian sang janin akan terlindung dari serangan antibodi.
Tidak seperti antibodi yang akan bertahan seumur hidup, Rho Immunoglobulin akan habis dalam
12 minggu, karena itu, ia cukup aman bagi janin.
Pada kehamilan-kehamilan berikutnya, dokter akan terus memantau apakan telah terjadi
kebocoran darah janin ke dalam sirkulasi darah ibu, untuk menghindari telah terbentuknya
antibodi.
Rhesus Anti-D-immunoglobulin tersedia dalam ampul 2ml yang mengandung 1000 unit. Untuk
kehamilan 8-12 minggu 375 unit sudah cukup, tapi untuk kehamilan lebih lanjut, harus diberikan
1000 unit. Karena langkanya kehamilan dengan rhesus negatif, maka hanya apotik tertentu saja
yang menyediakan rho immunoglobulin ini, biasanya harus dipesan terlebih dahulu minimal 5-7
hari sebelum dibeli.

Injeksi ini tidak lagi diperlukan dalam kasus berikut:


1. Kehamilan muda dibawah 7 minggu, kecuali dalam kondisi tertentu.
2. Janin juga memiliki rhesus negatif, hal ini dipastikan bila ayah janin juga memiliki rhesus
negatif.
3. Tubuh ibu telah memproduksi antibodi.
4. Ibu pasti tidak akan hamil atau melahirkan lagi.

PENANGANAN BAYI PADA IBU YANG TELAH MEMPUNYAI ANTIBODI


Bila ibu menunjukkan kadar antibodi yang sangat tinggi dalam darahnya, maka akan dilakukan
penanganan khusus terhadap janin yang dikandung, yaitu dengan monitoring secara reguler
dengan scanner ultrasonografi. Dokter akan memantau masalah pada pernafasan dan peredaran
darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati, yang merupakan gejala-gejala penderitaan bayi
akibat rendahnya sel darah merah.
Tindakan lain yang biasanya diambil ialah dengan melakukan pengecekan amniosentesis secara
berkala untuk mengecek level anemia dalam darah bayi. Akan tetapi tindakan ini beresiko untuk
terjadinya kebocoran darah janin dan menyebabkan pencampuran darah ibu dan janin, sehingga
setelah dilakukan tindakan amniosentesis ini dianjurkan untuk dilakukan penyuntikan Rho
Immunoglobulin.
Pada kasus tertentu, kadang diputuskan untuk melakukan persalinan lebih dini, sejauh usia janin
sudah cukup kuat untuk dibesarkan diluar rahim. Tindakan ini akan segera diikuti dengan
penggantian darah janin dari donor yang tepat. Induksi persalinan juga akan dilakukan pada ibu
yang belum mempunyai antibodi bila kehamilannya telah lewat dari waktu persalinan yang
diperkirakan sebelumnya, untuk mencegah kebocoran yang tak terduga.
Pada kasus yang lebih gawat, dan janin belum cukup kuat untuk dibesarkan diluar, akan
dilakukan transfusi darah terhadap janin yang masih dalam kandungan (transfusi ganti intrauterin). Biasanya bila usia kandungan belum mencapai 30 minggu. Proses transfusi ini akan
diawasi secara ketat dengan scanner ultrasonografi dan bisa diulang beberapa kali hingga janin
mencapai ukuran dan usia yang cukup kuat untuk diinduksi.
Setelah bayi lahir, ia akan mendapat beberapa pemeriksaan darah secara teratur untuk memantau
kadar bilirubin dalam darahnya. Bila diperlukan akan dilakukan phototerapi. Bila kadar bilirubin
benar-benar berbahaya akan dilakukan penggantian darah dengan transfusi.
Kadar cairan dalam paru-paru dan jantungnya juga akan diawasi dengan ketat, demikian juga
dengan kemungkinan anemia.

- See more at: http://www.rhesusnegatif.com/article_detail.php?id=156#sthash.NSWgp9Dg.dpuf


Inkompatibilitas Rhesus Dan Penanganannya
Senin 26 November 2012 - 17:07 WIB
34 6
40

Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali tumbuhan) tingkat tinggi
yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh untuk
mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap
virus atau bakteri.
Komponen darah manusia terdiri atas 2 bagian besar, yaitu:
1. Plasma darah
Plasma darah adalah cairan tempat sel-sel darah berada yang kaya dengan protein, albumin,
bahan pembeku darah, hormon, garam, dan immunoglobulin.
2. Sel darah

Sel darah merah atau eritrosit (sekitar 99%).

Eritrosit tidak mempunyai inti, mengandung hemoglobin (Hb) dan berfungsi mengedarkan
oksigen. Sel darah merah juga berperan dalam penentuan golongan darah. Orang yang
kekurangan eritrosit akan menderita penyakit anemia.

Keping-keping darah atau trombosit (0,6 - 1,0%)


Trombosit bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah.

Sel darah putih atau leukosit (0,2%)

Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan
benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Leukosit
bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tetap. Orang yang kelebihan leukosit akan
menderita penyakit leukimia, sedangkan orang yang kekurangan leukosit akan menderita
penyakit leukopenia.

GOLONGAN DARAH
Sistem penggolongan darah yang dikenal saat ini adalah:
1. Sistem ABO
2. Sistem Rhesus
Faktor Rhesus sangat penting terutama pada:
1. Transfusi darah
Dalam proses transfusi darah Rh menjadi faktor yang sangat penting, mengingat:

Darah Rh- bisa ditransfusikan kepada darah Rh+ jika dalam uji silang (crossmatch) cocok

Darah Rh+ tidak bisa ditransfusikan kepada darah Rh- walaupun cocok dalam uji silang
(crossmatch) karena dalam tubuh pemilik darah Rh- akan segera terbentuk antibodi Rh+
yang menyebabkan darah Rh- tersebut tidak bisa lagi digunakan untuk transfusi ke Rhlain

2. Wanita Rh- hamil dengan janin Rh+

KEHAMILAN DENGAN RHESUS NEGATIF


Di dalam rahim, yang berfungsi sebagai penghubung ibu dan bayi adalah plasenta. Plasenta
berperan dalam mengangkut oksigen dan sari-sari makanan dari ibu ke bayinya. Selain itu
plasenta juga berfungsi sebagai barrier pelindung) agar darah ibu dan bayi tidak tercampur.
Maka pada kehamilan normal ibu dengan Rh- tidak perlu cemas atau khawatir karena ibu dan
bayi masing-masing mempunyai sitem peredaran darah sendiri dan tidak akan mengganggu satu
dengan lainnya.
Namun yang perlu menjadi perhatian disini adalah:

1. Darah ibu dapat tercampur dengan darah janin dalam beberapa kondisi, seperti tindakan
amniosentesis, trauma pada ibu, kebocoran darah bayi melalui tali pusat (perdarahan), selama
proses persalinan, dan keguguran
2. Antibodi dalam darah dapat menembus plasenta dan masuk ke sistem peredaran darah janin
Apabila terjadi pencampuran darah Rh- dengan Rh+ maka secara otomatis tubuh si ibu Rh- akan
membentuk antibodi Rh+ karena Rh+ dianggap sebagai benda asing di tubuh ibu.
Pada kehamilan pertama, jika terbentuk antibodi Rh+ dalam tubuh ibu tidak akan memberikan
efek apapun kepada bayi. Biasanya bayi lahir normal dengan anemia ringan.

DAMPAK PADA JANIN


Pada kehamilan selanjutnya, jika si bayi mempunyai Rh+ juga maka antibodi Rh+ dalam darah
ibu akan menyerang Rh+ dalam darah bayi yang mengakibatkan:
1. Penghancuran besar-besaran sel darah merah bayi sehingga sumsum tulang bayi aktif terus
memproduksi sel darah merah untuk mengimbangi penghancuran tersebut. Akibatnya banyak
sel-sel darah muda yang beredar dalam pembuluh darah bayi (ERYTHROBLASTOSIS
FETALIS)
2. Terjadi juga penghancuran sel darah merah di organ hati dan limpa yang mengakibatkan organ
hati dan limpa membesar
3. Fungsi hati tidak normal, produksi albumin menurun, tubuh bayi menjadi bengkak dan
melepuh (HYDROPS FETALIS)

DAMPAK PADA BAYI


Apabila kadar antibodi Rh+ dalam darah ibu tidak terlalu tinggi maka penghancuran darah merah
bayi tidak terlalu besar. Bilirubin yang dihasilkan dari penghancuran darah bayi akan masuk ke
dalam sistem peredaran darah ibu dan dinetralisir dalam tubuh ibu sehingga BAYI DAPAT
LAHIR SEHAT DAN NORMAL.
Sisa bilirubin yang tetap ada dalam tubuh bayi saat bayi lahir akan menumpuk di jaringan bayi
dan memberikan warna kuning pada bayi. Hal ini perlu segera ditindaklanjuti, karena jika tidak
antibodi Rh+ yang masih ada dalam tubuh bayi akan terus memecah sel darah bayi dan
menyebabkan bilirubin terus naik. Apabila sudah mencapai kadar toksik (18-20 mg/dl) maka
akan menyebabkan kerusakan otak permanen (KERN IKTERUS).

PENANGANAN
Penanganan yang cepat dan tepat akan menyelamatkan bayi :
1. Transfusi ganti intra uterin (transfusi ganti dalam kandungan)
2. Segera lahirkan bayi setelah paru-paru bayi matang (32 minggu)
3. Transfusi ganti segera setelah lahir dengan darah Rh4. Foto terapi (terapi sinar)
- See more at: http://www.rhesusnegatif.com/article_detail.php?id=138#sthash.ATHZXz7v.dpuf

INKOMPTABILITAS ABO
*dr. Dikara WS Maulidy
1. Golongan Darah ABO
Ada banyak golongan darah, tetapi yang terkenal di bidang medis adalah golongan darah ABO
dan Rhesus. Kedua golongan darah ini ditemukan oleh Dr. Karl Landsteiner, seorang dokter dari
Austria, pada tahun 1900. Semula Landsteiner menemukan golongan darah A, B, dan C.
Golongan C ini kemudian dinamakan golongan O. Pada tahun 1902 kolega Landsteiner, yaitu
Alfred Decastello dan Adriano Sturli menemukan golongan ke empat yaitu golongan AB.
Dasar penggolongan darah ABO adalah adanya aglutinogen (antigen) pada eritrosit, dan adanya
aglutinin (antibodi) di dalam plasma darah. Aglutinogen berarti antigen yang digumpalkan,
sedangkan aglutinin adalah jenis antibodi yang menggumpalkan.
Menurut sistem ABO darah manusia terbagi atas 4 golongan, yaitu:
Golongan
Darah

Genotip

Antigen
(aglutinogen)

Antibody
(agglutinin)

frekuensi

OO

Anti-A dan anti-B

40%

AA / AO

Anti-B

26%

BB / BO

Anti-A

27%

AB

AB

AB

7%

Pemahaman mengenai aglutinogen dan aglutinin inilah yang mendasari teknik transfusi darah.
Dalam transfusi darah, orang yang memberikan darah disebut donor, sedangkan yang menerima
disebut resipien. Transfusi (pindahtuang darah) ini harus memperhatikan masalah aglutininaglutinogen, sebab jika terjadi inkompatibilitas (ketakcocokan) golongan darah, maka akan
menyebabkan terjadinya aglutinasi (penggumpalan) darah, dan bisa menyebabkan kematian sang
resipien.
Jika aglutinin a bertemu dengan aglutinogen A, atau aglutinin b bertemu
dengan aglutinogen B akan menyebabkan aglutinasi (penggumpalan)
Secara umum dalam proses transfusi darah prinsip ini yang dipegang:
2.

Inkompatibilitas ABO

Inkompatibilitas sel darah merah (inkompatibilitas ABO) dapat disebabkan oleh dua hal, yang
pertama akibat ketidakcocokan (Inkompatibilitas) golongan darah ABO saat melakukan transfusi
sehingga terjadi reaksi hemolisis intravaskular akut dan juga dapat disebabkan oleh reaksi
imunitas antara antigen dan antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan.
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel
darah merah (inkompatibilitas ABO). Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel
darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50
ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak reaksi hemolisis
intravaskular akut adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan
dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum
diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa
identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi
dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO)
dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal
transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak
sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin
merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi.
Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah. Dapat terjadi lisis
eritrosit donor karena antibodi resipien. Bila terjadi cepat (segera setelah transfusi 50 ml
darah) atau lambat (beberapa jam beberapa hari). Dapat juga terjadi lisis eritrosit resipien

akibat antibodi donor, biasanya bersifat ringan, dan sering terjadi pada transfusi dengan donor
universal.
Tanda-tanda klinis :
1. Segera : nyeri lumbal, nyeri sternal dan nyeri di tempat masuknya darah,
demam disertai menggigil dan kekakuan, gelisah, mual, muntah, urtikaria,
dispnea, dan hipotensi.
2. Lanjut : perdarahan yang tidak dapat diatasi, hemoglobinuria, oliguria sampai
anuria, ikterus dan anemia. Reaksi hemolitik dapat juga terjadi akibat
penyimpanan darah yan kurang baik, darah kadaluwars atau darah yang
sudah hemolisis karena terlalu dipanaskan/terlalu didinginkan

Peyebab kedua yang mengakibatkan Inkompatibilitas pada golongan darah ABO adalah
reaksi imunitas antara antigen dan antibody pada ibu dan janin yang dikandungnya.
Inkompatibilitas pada golongan darah ABO terjadi jika Ibu golongan darah O mengandung janin
golongan darah A atau B.
Ibu yang golongan darah O secara alamiah mempunyai antibody anti-A dan anti-B pada
sirkulasinya. Jika janin mempunyai golongan darah A atau B, eritroblastosis dapat terjadi.
Sebagian besar secara alamiah, membentuk anti-A atau anti-B berupa antibody IgM yang tidak
melewati plasenta. Beberapa ibu juga relative mempunyai kadar IgG anti-A atau anti-B yang
tinggi yang potensial menyebabkan eritroblastosis karena melewati sawar plasenta.
Ibu golongan darah O mempunyai kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah
B dan mempunyai kadar IgG anti-B lebih tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah
A. Dengan demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit jarang
terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Kehamilan pertama sering terkena
sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui kontak dengan antigen A dan B. Penyakit
tidak memburuk pada kehamilan berikutnya yang juga terkena dan jika ada penyakitnya
cenderung menajdi lebih ringan.
Sekitar sepertiga bayi golongan A atau B dari ibu golongan darah O akan mempunyai
antibody ibu yang dapat dideteksi pada eritrositnya. Ini lebih sering terjadi pada bayi golongan
darah B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit putih dengan
golongan darah A atau B. Hanya sebagian kecil dari bayi ini yang akan mengalami gejala klinis.
Pada mereka dengan penyakit klinis, terdapat jauh lebih sedikit antibody ibu yang melekat pada
tempat antigen pada eritrosis daripa yang ada pada penyakit Rhesus klinis. Akibatnya penyakit
klinis sangat ringan dengan reaksi antiglobulin langsung bervariasi dari hanya positif secara
mikroskopis sampai 2+. Ada sedikit atau tidak ada anemia dan bilirubinemia dapat dikendalikan
dengan dengan fototerapi atau pada kebanyakan diatasi dengan satu transfuse tukar. Namun, IgG
anti-A atau IgG anti-B tampaknya lebih banyak menyebabakan hemolisis daripada anti-Rh dalam

jumlah yang sama. Dengan demikian bayi dengan reaksi antiglobulin direk 2+ dengan penyakit
ABO biasanya akan menderita bilirubinemia lebih berat daripada bayi dengan 2+ karena
penyakit Rh.
Ringannya Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO dapat dijelaskan sebagian oleh
antigen A dan Antigen B yang belum sepenuhnya berkembang pada saat lahir dan karena
netralisir sebagian antibody IgG ibu oleh antigen A dan B pada sel-sel lain yang terjadi dalam
plasma dan cairan jaringan. HDN ABO dapat ditemukan pada kehamilan pertama dan dapat atau
tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya. Pemeriksaan sediaan hapus darah memperlihatkan
autoaglutinasi dan sferositosis polikromasi dan eritroblastosis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan hemolisis sistem ABO : Ibu golongan
darah O dapat membentuk anti-A dan anti-B. Destruksi pada eritrosit janin bergolongan darah A
atau B tergantung dari kekuatan antigen A dalam eritrosit. Hemolisis pada sistem ABO terjadi
pada bayi baru lahir. Bayi berwarna kuning, karena bilirubin manifes ke kulit. Berat ringannya
bayi kuning tergantung dari kadar IgG. Ciri khas destruksi: Mikro sferositosis menyebabkan
fragil osmotik, volume sel kecil, protein lipid membran sedikit sehingga aglutinasi mudah
terjadi.
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti bahwa serum ibu
mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin mengandung antigen respective.
Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir
dimana terdapat lebih dari 60% dari seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika
dibandingkan dengan akibat Rh, ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia
neonatus ringan sampai sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar.
Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab hemolisis dan
secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding masalah kebidanan.
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama (40% menurut Mollison), dan
anak-anak berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran klinis penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan dimana ibu
mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup masing-masing menghasilkan anti A dan anti B
yang termasuk kelas IgG yang dapat melewati plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin.
Pada beberapa kasus, penyakit hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang
selama 24-48 jam pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan.
Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus preterm.
Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang mungkin
diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis fetalis akibat
inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.
3. Patofisiologi

Patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya reaksi hemolitik pada inkompatibilas ABO
akibat kesalahan transfusi adalah akibat antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel
darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50
ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko
Sedangkan patofisologi yang dapat menjelaskan timbulnya penyakit inkompabilitas Rh dan
ABO adalah terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah
merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden
dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila
ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi
untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan
kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti
(coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian
akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh
tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang
berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara
berlebihan.1,8,9,11,12,13
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang
selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas ini
melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk
pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat
pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab
penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi
jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat
transfusi atau berbahaya bagi janin. 4,9,11,12,14
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah
Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya. 2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah merah
dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan
bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh
dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat menyebabkan
hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi. Bayi dapat berkembang
menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan kadar gula
darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis ditujukkan oleh

adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran membengkak (swollen).
Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru tidak dapat mengembang
maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini berlanjut untuk jangka waktu
tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis dan anemia dapat menimbulkan
masalah jantung.
Gambar 1. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.3
Gambar 2. Reaksi hipersensitivitas
4.

Diagnosis

Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan
antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan anti
IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui
mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit dicuci. Suatu
substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang
penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan dan jika
imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan
evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan
sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali
pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan
kelainan pada pemeriksaan darah tepi. 11
1. 5.

Penatalaksanaan

Penatalaksaan terbagi menjadi dua bagian yaitu tergantung penyebab dari inkompatibilas ABO
itu sendiri. Inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh karena reaksi transfusi, yang dimaksud
dengan reaksi transfusi disini adalah reaksi hemolitik, inkompatibilitas, dan reaksi alergi yang
berat maka penatalaksanaan yang seharusnya segera dilakukan adalah:
1. Transfusi segera dihentikan, diambil lagi contoh darah pasien dan darah
donor untuk pemeriksaan ulang.
2.

Perbaiki keadaan hipovolemia dengan plasma atau cairan kristaloid.


Tekanan vena sentral dipantau.

3. Koreksi keadaan asidosis, dan kemih dibuat menjadi sedikit alkalis. (pH = 8).

4. Setelah volume cukup, berikan manitol 12,5 50 g selama 15 menit, Bila


belum terjadi diuresis berikan furosemid 20 40 mg. Bila belum terjadi
diuresis, segera dilakukan dialisis peritoneal (bila mungkin, lakukan
hemodialisis).
5. Hitung jumlah trombosit, partial tromboplastin time dan kadar fibrinogen
serum.
6. Bila terjadi koagulasi intra vaskuler yang menyeluruh (disseminated intra
vasculer coagulation = DIC), segera dimulai terapi dengan heparin.
7. Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif, agar pemantauan dan
berbagai tindakan dapat dilakukan dengan baik

Penatalaksanaan inkompatibilas ABO yang disebabkan oleh reaksi imunitas antara antigen dan
antibody yang sering terjadi pada ibu dan janin yang akan dilahirkan dalam bentuk ringan tidak
memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk
sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah
ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan
dengan darah Rhesus positif sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi
dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang
disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap
pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.
5.1 Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit
normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa simpannya 3 hari untuk menghindari kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi dan Rhesus negatif (D-)
c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk Packed red cells

d. bila keadaan sangat mendesak, sedangkan persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia maka
untuk sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh positif) untuk transfusi tukar
pertama, kemudian transfusi tukar diulangi kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif
yang kompatibel.
e. pada anemia berat sebaiknya diberikan packed red cells
f. darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170 ml/kgBBbayi dengan lama
pemberian transfusi 90 menit
g. lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan darah bayi, bila tidak
memungkinkan untuk transfusi tukar pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk
transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. sebelum ditransfusikan, hangatkan darah tersebut pada suhu 37C
i. pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan darah donor sebanyak 50
ml. Lakukan sengan cara diatas hingga semua darah donor ditransfusikan.
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1
GOLONGAN DARAH IBU

GOLONGAN

AB

AB

AB

DARAH
BAYI

Gambar 3. Transfusi tukar pada Rh atau ABO inkompatibilitas


5.2 Transfusi intra uterin :
Pada tahun 1963, Liley memperkenalkan transfusi intrauterin. Sel eritrosit donor
ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan masuk kedalam
sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin masih belum matur, transfusi
intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi Rhesus (D) negatif tak akan mengganggu
antigen D dan karena itu tak akan merangsang sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap
antibodi yang sudah ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Namun harus menjadi

perhatian bahwa risiko transfusi intrauterin sangat besar sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk
itu para ahli lebih memilih intravasal transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi
tali pusat perkutan). Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 2634 dengan
menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak 50100 ml. Induksi
partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi dibantu dengan transfusi tukar 1x
setelah partus. Induksi pada kehamilan 32 minggu dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak
60%.
Gambar 4. Transfusi intra uterin
5.3 Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat sebagian
bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya overloading sangat
besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.
5.4 Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.
Gambar 5. Foto terapi pada bayi dengan Rh Inkompatibilitas. 3

1. 6.

Prognosis

Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati
dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat dipertahankan
dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan kemungkinan
adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami sensitisasi dalam
kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32,
maka prognosis janin diperkirakan baik.
6.1 Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini

2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang
tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang diarahkan
secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di dalam
rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel
darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera
setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.
6.2 Perkembangan anak selanjutnya.
Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami
tranfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18
bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak mengalami
gangguan tumbuh kembang.
Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada kuli yang disebabkan oleh penumpukan
bilirubin. Biasanya mulai tampak pada sclera, wajah dan kemudian meluas secara sefalokaudal
kea rah dada, perut dan ekstrimitas. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM).
Sel darah merah ftus dan neonates berbeda engan SDM pada anak yang lebih besar, memiliki
jenis Hb yang berbeda, sifat membrane yang berbeda dan usia yang lebih singkat. Hemoglobin
(Hb) yang berada dalam SDM akan dipecah menjadi bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan
34 mg bilirubin. Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek dank an diangkut ke hati dalam ikatan
dengan albumin. Di dalam hati bilirubin dikonjugasi oelh enzim glukoronid transferase menjadi
bilirubin direk yag kemudian akan disalurkan melalui saluran empedu di dalam dan di luar hati
ke usus. Di dalam usus bilirubin direk ini akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan sebagai
sterkobilin melalui dubur. Apabila tidak ada makanan dalam usus, bilirubin direk akan diubah
oleh enzim di dalam usus beta-glukoronidase menjadi bilirubin indirek yang akan diserap
kembali ke dalam aliran darah, diikat oleh albumin kembali ke hati. Mekanisme ini disebut
sirkulasi enterohepatik.
Ikterus pada neonatus
Ikterus pada neonates dibagi menjadi ikterus fisiologis dan ikterus nonfisiologis. Ikterus
fisiologis mempunyai sifat :
- Timbul setelah 24 jam
- Berlangsung kurang lebih 7 -14 hari
- Terutama terdiri dari bilirubin indirek
- kadar tertinggi bilirubin total < 15 mg% dan bilirubin direk < 2 mg%
- Tidak ada keadaan patologis lain
Ikterus fisiologis terdapat pada kurang lebih 60% neonates dan disebabkan oleh :
- bilirubin selama masa janin dieksresi melalui plasenta ibu sekarang harus dieksresi sendiri
- jumlah eritrosit lebih banayak pada neonates

- lama hidup eritrosit pada neonates lebih singkat


- jumlah albumin untuk mengikat bilirubinpada bayi premature atau bayi yang mengalami
gangguan
pertumbuhan intra-uterin kurang
- uptake dan konjugasi oleh hati belum sempurna
- sirkulasi enterohepatik meningkat
Ikterus nonfisiologis bisa disebabkan karena hemolisis berlebihan (biasanya yang meningkat
bilirubin indirek) dan ikterus karena gangguan eksresi bilirubin (biasanyua yang meningkat
bilirubin direk)
Bahaya peningkatan bilirubin
Bilirubin indirek yang larut dalam lemak bila menembus sawar darah otak akan terikat oleh sel
otak yang kemudian rusak sehingga bayi menderita kenikterus, anak bertumbuh tetapi tidak
berkembang. Bilirubin direk apabila bertumpuk di hati akan menyebabkan sirosis hepatis.
Ikterus karena inkompabilitas darah
Inkompabilitas ABO
Hemolisis akibat inkompabilitas ABO disebakan oleh adanya antibody anti A dan anti B yang
masuk ke dalam sirkulasi fetus dan bereaksi dengan antigen A atau B pada permukaan sel darah
merah. Pada mereka yang memiliki darah tipe A atau B secara alami terdapat anti A atau B dalam
bentuk moleku IgM sehingga tidak dapat melewati plasenta. Sebaliknya pada mereka
bergolongan darah O antibody terutama tediri dari molekul IgG. Dengan alasan ini maka
inkompabilitas ABO biasanya terbatas pada ibi golongan darah O dengan fetus bergolongan A
atau B. Adanya IgG anti A atau B pada ibu tipe O dapat menjelaskan hemolisis yang disebabakan
inkomapbilitas ABO sering terjadi pada kehamilan pertama tanpa diperlukan sensititasi terlebih
dahulu.
Inkompabilitas ABO jauh lebih ringan daripada inkompabilitas rhesus. Direct antiglobulin test
(DAT) seringkali negative dan gejala hiperbilirubinemia tidak berat. Bila memerlukan transfuse
darah yang digunakan adalah golongan darah O yang rhesus negative dan kalau mungkin dalam
plasma golongan AB.
Inkompabilitas rhesus
Terdapat 5 antigen rhesus yaitu RhD, RhC, Rhc, RhE dan Rhe. Yang paling sering menyebabkan
inkompabilitas adalah RhD dan RhC. Kelima antibody terdapat dalam 2 alel yaitu RHCE yag
mengkode C, c, E dan e. sedangkan RhD hanya mengkode D. Fenotip Rh(-) disebakan adanya
delesi dari RhD-RhD pada kedua kromosom. Dalam sebagian besar kasus, Fenotip Rh(-) juga
diasosiasikan dengan Rhc dan Rhe. Fenotip Rh(+) bisa terdapat pada homozigot dari DD dan
heterozigot Dd.
Patofisiologi
Jumalh darah fetus yang diperlukan untuk menyebabkan inkompabilitas rhesus bervariasi.
Kadang-kadang 1 ml darah dapat membuat sukarelawan dengan darah rhesus negative menjai
tersensititasi. Studi lain menunjukkan bahwa 30% dari individu dengan rhesus negative tidak
terjadi inkompabilitas rhesus walaupun diberikan jumlah darah rhesus positif yang cukup
banyak. Setelah tersensititasi diperlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk antibody rhesus yang

dibentuk ibu masuk ke dalam sirkualsi fetus. Pada 90% kasus sensitasi ini terjadi pada masa
persalinan. Oleh karena itu, anak pertama dengan rhesus positif dari ibu rhesus negative tidak
terpengaruh oleh karena paparan yang sangat singkat dari paparan persalinan sehingga tidak
cukup untuk membentuk antibody IgG ibu yang bermakna.
Resiko dari parahnya respons sensitisasi meningkat sesuai dengan kehamilan berikutnya bila
bayi rhesus positif. Pada waniata yang beresiko dengan inkompabilitas rhesuskehamilan kedua
dengan janin rhesus positif sering menyebabkan bai mengalami anemia ringan, namaun
kehamilan berikutnya (ketiga dst) dapat menyebabkan janin meninggal dalam kandugan akibat
anemia hemolitik.
Resiko terjadi sensitisasi tergantung dari 3 faktor berikut :
1. Volume perdarahan transplansental
2. Cakupan respons imun hormonal
3. Inkompabilitas ABO yang terjadi bersamaan
Kejadian inkompatibilitas Rh pada ibu Rh negatif dan dengan inkompatibilitas AO menururn
secara beakna menjadi 1-2% dan tetap terjadi karena serum ibu mengandung atibodi terhadap
golongan darah ABO janin. Beberapa sel darah merah janin yang bercampr dengan sirkulasi ibu
dihancurkan sebelum sensitisasi Rh terjadi. Untungnya inkompatibilitas ABObiasanya tidak
menyebabkan gejala sisa yang serius.
Diagnosis dapat dilakukan secara antenatal dengan cara melihat Optical Density (OD) dari cairan
amnion. Peningkatan IgG antiD ibu dapat menandakan ibu telah tersensitisasi tetapi tidak dapat
memperkirakan beratnya gejala yang kan timbul lebih baik memeriksa secara spektrofotometri
jumlah pigmen bilirubin dalam cairan amnion. Bila OD cairan amnion berada di zona 3 maka
bayi memiliki resiko yang besar untuk meninggal atau terjadi hidrops fetalis yang berat. Bial
berada di zona 2 menandakan ada hemolisis yang ringan atau sedang/ zona 1 menentukan bahwa
bayi tidak tersensitisasi atau hanya berupa hemolisis yang sangat ringan.
Hidrops fetalis dapat didiagnosa secara dini dengan menggunakan alat ultrasonografi dengan
resolusi tinggi. Pmberian RhoGAM pada 72 jam setelah kelahiran telah dapat menurunkan
kejadian hidrops fetalis.
Terapi untuk inkompatibilitas rhesus tergantung pada berat ringannya gejala yang terjadi. Pada
gejala berat dapat dilakukan transfusi intrauterine.

Você também pode gostar