Você está na página 1de 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan akhlak merupakan permasalahan utama yang
selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya.
Sejarah bangsa-bangsa yang diabadikan dalam Al-Quran seperti
kaum Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang didapat
dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa suatu bangsa
akan kokoh apabila akhlaqnya kokoh dan sebaliknya suatu
bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Nabi Muhammad
SAW yang diyakini oleh umat Islam sebagai pembawa risalah
Tuhan yang terakhir, sudah sejak awal abad ke 7 Masehi secara
tegas telah menyatakan bahwa tugas utamanya adalah sebagai
penyempurna akhlak manusia. Dalam Al-Quran terdapat pula
pernyataan bahwa, ia adalah seorang yang berakhlak agung,
karena itu ia patut dijadikan contoh.
Kebesaran Nabi Muhammad tentunya disebabkan oleh
ketinggian akhlaknya. Karena itu tujuan pendidikan akhlak Islam
harus diarahkan kepada terciptanya manusia yang berakhlak
agung seperti Nabi Muhammad SAW. Hanya saja pemahaman
dan cara yang ditempuh untuk mencapai akhlak mulia tersebut,
antara satu orang dengan lainnya bisa berbeda. Diantara
pentingnya pemikiran Ibnu Miskawaih dibidang pendidikan
akhlak tidak merintangi, tetapi mungkin memberikan motivasi
bagi adanya pemikiran pembaharuan dalam Islam.
Kalau diperbandingkan dengan mazhab pemikiran di
bidang pendidikan akhlak, maka secara umum pendidikan
akhlak juga dapat dibagi dua, yaitu pendidikan akhlak mistik

dan pendidikan akhlak rasional. Pembedaan pendidikan akhlak


mistik

dan

konsekuensi
rasional

rasional

sebagaimana

dapat

kreativitas

tersebut

dan

dalam

membawa
inisiatif

bukannya

tidak

teologi

konsekuensi

sedangkan

mempunyai

rasional,

bagi

akhlak

akhlak

pertumbuhan
mistik

kurang

mendorong manusia untuk dinamis. Yang kedua ini dalam


teologi dimasukkan ke dalam teologi tradisional.
Dari uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa
antara pendidikan akhlak rasional dan mistik disebabkan adanya
perbedaan

pendekatan

tentang

Islam.

Pendidikan

akhlak

rasional melakukan pendekatan ajaran Islam bukan semata


sebagai

doktrin

yang

absolut

(pendekatan

kemanusiaan).

Sementara pendidikan akhlak mistik melakukan pendekatan


terhadap ajaran Islam sebagai ajaran absolut (pendekatan
ketuhanan).

Pendekatan

kemanusiaan

memiliki

indikasi

manusia bersifat otonom, sedangkan pendekatan ketuhanan


menempatkan manusia pada makhluk heteronom.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Miskawaih dan karya-karyanya?
2. Bagaimana konsep manusia menurut Ibnu Miskawaih?
3. Apa saja pokok keutamaan pendidikan akhlaq menurut Ibnu
Miskawaih?
4. Apa semangat (spiritualitas) pendidikan akhlak menurut
pemikiran Ibnu Miskawaih?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Miskawaih dan Karya-Karyanya


Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Yaqub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy
dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16
Februari

1030

M,

Ibnu

Miskawaih

hidup

pada

masa

pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M)


yang besar pemukanya bermazhab Syiah.
Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci,
cuma sebagian antara lain terkenal memepelajari sejarah dari
Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari
Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama
Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan,
dan

pendidik

anak

para

pemuka

dinasti

Buwaihiyyah.

Selanjutnya, Ibnu Misakawaih juga dikenal sebagai dokter,


penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan
dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu
Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari

kepentingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara


karyanya adalah:
1. Al-Fauz al-Akbar
2. Al-Fauz al-Asghar
3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang
ditulis pada tahun 369 H/979 M)
4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan katakata mutiara).
5. Tartib al-Saadah (tentang akhlak dan politik)
6. Al-Musthafa (syair-syair pillihan).
7. Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak)
8. Al-jami
9. Al-Syiar (tentang aturan hidup)
10. Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran)
11. Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667).
12. Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak)
13. Kitab al-Asyribah (mengenai minuman).
14. Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq)
15. Majmuah no. 1463, lembar 57a-59a)
16. Ajwibah wa Asilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmuah
tersebut diatas dalam raghib majmuah di Istanbul)
17. Al-Jawab fi al-Masail al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist
Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).
18. Risalah fi Jawab fi sual Ali bin Muhammad Abu Hayyan alShufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43
(137).
Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir Al-Araq, secara umum buku
ini membahas tentang jiwa, keutamaan akhlak, dan pendidikan
akhlak bagi anak dan remaja serta orang tua. Selain itu berisi
pembahasan tentang sumber-sumber perilaku buruk dan cara
pengobatannya.

Tartib

al-Saadah,

buku

ini

berisi

uraian

mengenai petunjuk bagi manusia yang diperoleh dari pendapat


Islam, Hindia, Persi, dan Yunani. Al-Fauz al-Asghar, buku ini berisi
uraian filosofi antara lain mengenai kejadian alam, daya jiwa

manusia, hubungan manusia dengan pencipta, hingga konsep


kenabian. Ajwibah wa Asilah fi al-Nafs wal-Aql, artikel ini
mengupas secara lebih detil dan filosofis tentang daya-daya
jiwa. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs, dalam
artikel ini dijumpai uraian flosofis tentang kesempurnaan hidup
manusia.

B. Konsep Manusia Menurut Ibnu Miskawaih


Pemikiran

pendidikan

Ibnu

Miskawaih

tidak

dapat

dilepaskan dari konsepnya tentang manusia dan akhlak. Untuk


kedua ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Jiwa jasad dan Hubungan Keduanya
Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik
tradisional

Plato dan Aristoteles

dengan kecenderungan

Platonis. Pada tulisan awalnya Ibnu Miskawaihi menyatakan


keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan
dan ilmu jiwa. Katanya "Tujuan kami menyusun kitab ini
(Tahzi-bul Akhlak) adalah untuk menghasiikan bagi diri kita
suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang baik
seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa
kesulitan (maksudnya perilaku yang baik lahir dari watak itu
secara otomatis). Hal demikian diperoleh melalui proses
pendidikan

dan

untuk

memperoleh

yang

lebih

dahulu

mempelajari ilmu jiwa. "Jiwa itu menurut Ibnu Miskawaih


adalah zat pada diri kita yang bukan berupa jasad, bukan pula
bagian dari jasad, bukan pula aradh (sifat peserta pada
substansi) wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi dia
jauhar basith (substansi yang tidak berdiri atas unsur-unsur)

tak dapat diindra oleh pengindraan". Jiwa itu mempunyai


aktifitas yang berlainan dengan aktifitas jasad serta bagianbagiannya

dengan

segala

sifat-sifatnya

hingga

tidak

menyertainya dalam segala hal. Tegasnya jiwa itu bukan


jasad, bukan pula bagian dari jasad. Jiwa itu tidak mengambil
ruang, tidak berobah. Dia (jiwa) dapat menanggapi segala
sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak mengalami
penyusutan, rusak atau berkurang.
Penggerak jasad manusia bukanlah jiwa malainkan
natur materi itu sendiri. Oleh sebab itu, gerak jasad manusia
bukanlah gerak melingkar tetapi berupa gerakan materi.
Namun demikian, pada diri manusia terdapat jiwa al-nathiqat
(berfikir). Jiwa ini hakikatnya adalah akal yang berasal dari
pancaran Tuhan. Jiwa yang oleh bahasa Al-Quran disebut alruh ditiupkan oleh Allah SWT tatkala janin sudah ada dalam
rahim selama empat bulan. Karena itu, jiwa yang demikian
asal kejadiannya sama dengan asal kejadian malaikat. Jiwa
pancaran Tuhan ini, menurut Ibnu Miskawaih bukan menjadi
sebab tumbuh dan berkembangnya jasad janin manusia.
Jasad janin manusia sudah tumbuh dan berkembang karena
naturnya sendiri sebelum al-ruh ditiupkan Tuhan. Hakekatnya
manusia memiliki dua unsur, yaitu jiwa sebagai wawasan
spiritual berasal dari pancaran Tuhan dan jasad sebagai
wawasan materialnya bermula dari alam materi. Paham dualis
jiwa sebagai unsur ruhani dan jasad sebagai unsur materi
ini diterapkan juga oleh Ibnu Miskawaih terhadap setiap al
maujudat. Yang dimaksud Ibnu Miskawaih tentang unsur
ruhani dalam al- maujudat di luar manusia adalah daya gerak

dari natur suatu benda. Kalau pernyataan ini benar, maka


unsur ruhani yang ada pada manusia memiliki dua segi.
Pertama, unsur ruhani yang memang sudah ada pada natur
jasad sebagai daya gerak dan berfungsi bagi tumbuh dan
berkembangnya badan. Kedua, unsur ruhani yang berasal dari
Tuhan yang datang setelah janin berumur empat bulan dalam
kandungan ibu.
2. Sumber Perilaku dan Kualitas Mental
Yang dimaksud sumber perilaku disini adalah unsur
pokok manusia yang menjadi sumber perilaku jasmani.
Adapun kualitas mental yang dimaksud adalah unsur pokok
manusia yang merupakan asas semua sifat batin (spiritual).
Menurut Ibnu Misawaih, unsur-unsur pokok yang
menjadi sumber perilaku dan kualitas mental manusia tidak
berkembang secara serempak. Daya yang pertama kali
tampak

pada

diri

manusia

adalah

daya

bernafsu

(al-

bahimiyyat). Daya ini terwujud dalam aktifitas jasmani untuk


makan-minum), tumbuh, dan berkembang biak.
Daya yang muncul sesudah itu adalah

daya

kebuasan/keberanian (al-ghadabiyyat). Daya ini melahirkan


isyarat-isyarat gerak dan menangkap (melalui indra luar atau
indra dalam) yang berguna bagi terpeliharanya hidup seperti
bersuara kalau lapar dan meraba-raba untuk memperoleh
makanan.

Dengan

daya

ini

manusia

memiliki

perilaku

binatang, berupa kecenderungan untuk mengusir segala yang


merugikan tubuh.
Adapun daya yang terakhir adalah daya berfikir (alnathiqat). Daya ini merupakan daya kemanusiaan yang
membedakannya

dengan makhluk

lain.

Daya

ini

seara

bertahap bisa mencapai kesempurnaan yang disebut oleh


Ibnu

Miskawaih

dengan

aqil.

Seperti

telah

disinggung

sebelumnua, tingkat tertinggi daya ini adalah daya kerinduan


kepada

kebajikan

mutlak

(al-khair

al-muthlaq)

sehingga

mampu menerima pancaran al-hikmat dari Tuhan. Daya


seperti ini dapat juga dikatakan sebagai daya kemalaikatan
dan ketuhanan. Karena daya ini merupakan sumber sifat cinta
akan semua kebajikan dan pengetahuan.
Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa, daya berfikir yang
muncul pertama kali adalah daya malu. Di antara tanda
datangnya

masa

ini

ialah

seseorang

mulai

memiliki

kemampuan untuk membedakan yang baik dari yang buruk.


Dari uraian di atas dapat di pahami bahwa mekanisme
kerja daya manusia bermula dari daya yang berpusat di perut
dada kemudian disusul dengan berfungsinya daya yang
berpusat di kepala.
Manusia yang mempunyai derajad paling tinggi yang
dekat pada Allah adalah manusia yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan (manusia yang memiliki pengetahuan
yang menyeluruh). Untuk meraih derajat manusia ideal harus
dimulai dari kecintaan akan ilmu pengetahuan.
C. Pokok

Keutamaan

Pendidikan

Akhlak

Menurut

Ibnu

Miskawaih
1. Doktrin Jalan Tengah (Akhlak Moderasi)
Pemikiran

Ibn

Miskawaih

dalam

bidang

akhlak

termasuk salah satu yang mendasari konsepnya dalam


bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya
berdasar pada doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara
umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah)

tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi


tengah antara dua ekstrim, akan tetapi Ibn Miskawaih
cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara
umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim
kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa
manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa
manusia ada tiga yaitu jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa
berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah)
Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (albahimmiyah)

adalah

al-iffah

yaitu

menjaga

diri

dari

perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya


posisi tengah jiwa berani adalah pewira atau keberanian
yang

diperhitungkan

Sedangkan

posisi

dengan

tengah

masak

untung

jiwa

pemikiran

dari

ruginya.
adalah

kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah


tersebut

adalah

keadilan

atau

keseimbangan.

Ketiga

keutamaan akhlak tersebut merupakan poko atau induk


akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak mulia lainnya seperti jujur,
ikhlas, kasih sayang, hemat, dan sebagainya merupakan
cabang dari ketiga induk ahklak tersebut.
Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak
tersebut, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari
al-Quran dan tidak pula membawa dalil dari hadits akan
tetapi spirit doktrin ajaran tengah ini sejalan dengan ajaran
islam. Hal ini karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Quran
yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh boros
tetapi juga tidak boleh kikir melainkan harus bersifat
diantara kikir dan boros.

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu dalam gerak


dinamis

mengikuti

gerak

zaman.

Perkembangan

ilmu

pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya


merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah
selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim
kekurangan

dan

ekstrim

kelebihan.

Ukuran

tingkat

kesederhanaan di bidang materi misalnya, pada masyarakat


desa dan kota tidak dapat disamakan.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin
jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis
tetapi juga flexibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat
terus menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya
tanpa menghilangkan pokok keutamaan akhlak.
2. Konsep Pendidikan Akhlak
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang
bertumpu pada pendidikan akhlak. Karena dasar pendidikan
Ibn

Miskawaih

dalam

bidang

akhlak,

maka

konsep

pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak.


Konsep pendidikan akhlak dari Ibn Miskawaih dikemukakan
sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn
Miskawaih adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu
mendorong serta

spontan untuk

perbuatan

bernilai

yang

baik

melahirkan semua
sehingga

mencapai

kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.


b. Fungsi Pendidikan
1) Memanusiakan manusia
2) Sosialisasi individu manusia

3) Menanamkan rasa malu


c. Materi Pendidikan Ahlak
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan
agar

semua

sisi

kemanusiaan

mendapatkan

materi

didikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan


pendidikan. Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula
sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Ibnu
Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami
sebagai materi pendidikan akhlaknya yaitu:
1) Hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia
2) Hal-hal yang wajib bagi jiwa
3) Hal-hal yang wajib bagi hubungannya
Materi

pendidikan

akhlak

yang

wajib

bagi

kebutuhan tubuh manusia antara lain shalat, puasa dan


sai. selanjutnya materi pendidikan ahklak yang wajib
dipelajari bagi kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn
Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar,
mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta
motivasi senang kepada ilmu dan materi yang terkait
dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan
dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling
menasehati, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn
Miskawaih

memang

terlihat

mengarah

kepada

terciptanya manusia agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn


Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu
yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu
tersebut ialah:
1)

Matematika

2)
3)

Logika
Ilmu kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa

berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih


dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan
semata-mata

karena

ilmu

itu

sendiri

atau

tujuan

akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu


akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu
membawa misi akhlak yang mulia dan bukan sematamata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang
maka akan semakin tinggi pula akhlaknya.
d. Pendidikan dan anak didik
Pendidik

dan

anak

didik

mendapat

perhatian

khusus dari Ibn Miskawaih. Menurutnya, orang tua tetap


merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya
karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam
kegiatan pendidikan, maka perlu adanya hubungan yang
harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan
pada cinta kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya
menurut

Ibn

Miskawaih

disamakan

kedudukannya

dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi


karena tidak ada yang sanggup melakukannya maka Ibn
Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap gurunya
berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan
kecintaan terhadap Tuhan.
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap
lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam
mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang

dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah


kebaikan illahi. Dengan demikian bahwa guru yang tidak
mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih
anak didik terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan
seorang teman atau saudara, karena dari mereka itu
dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati
posisi lebih tinggi daripada cinta anak terhadap orang
tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap
guru idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diproleh ilmu
dan adab.
Adapun

yang

dimaksud

guru

biasa

oleh

Ibn

Miskawaih adalah bukan dalam arti guru formal karena


jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan
antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah
hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan menjadi
cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari
orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid
dipandang demikian penting, karena terkait dengan
keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar
mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru
dan

murid

dapat

memberi

dampak

positif

bagi

keberhasilan pendidikan.
e. Lingkungan pendidikan
Ibnu
mencapai

Miskawaih
kebahagiaan

berpendapat
(as-saadah)

bahwa

usaha

tidak

dapat

dilakukan sendiri, tetapi harus berusaha atas dasar saling


menolong dan saling melengkapi dan Ibnu Miskawaih
juga

berpendapat

bahwa

sebagai

makhluk

sosial,

manusia kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya


ia menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah orang
yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang
yang

masih

ada

kaitannya

dengannya

mulai

dari

saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya


dengan saudara atau anak, kerabat, keturunan, rekan,
tetangga, kawan atau kekasih.
Selanjutnya Ibn Miskawaih berpendapat bahwa
salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri karena
itu manusia selalu berusaha untuk memperolehnya
bersama dengan makhluk sejenisnya. Diantara cara
untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu.
Manfaat dari hasil pertemuan diantaranya adalah akan
memperkuat akidah yang benar dan kestabilan cinta
kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan
melaksanakan kewajiban syariat. Shalat berjamaah
menurut Ibn Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya
kewajiban untuk saling bertemu, sekurang-kurang satu
minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan orangorang yang berada dalam lingkungan terdekat tetapi
sampai tingkat yang paling jauh.
Untuk

mencapai

keadaan

lingkungan

yang

demikian itu, menurut Ibn Miskawaih terkait dengan


politik pemerintahan. Kepala Negara berikut aparatnya
mempunyai kewajiban untuk menciptakannya.

Karena itu, Ibn Miskawaih berpendapat bahwa


agama dan negara ibarat dua saudara yang saling
melengkapi

satu

dengan

yang

lainnya

saling

menyempurnakan.
Lingkungan pendidikan selama ini dikenal ada tiga
lingkungan

pendidikan

yaitu

lingkungan

keluarga,

sekolah, dan masyarakat. Ibn Miskawaih secara eksplisit


tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut.
Ibnu Muskawaih membicarakan lingkungan pendidikan
dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan
sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid,
lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga
yang

meliputi

hubungan

orang

tua

dengan

anak.

Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap


terciptanya lingkungan pendidikan.
f. Metodologi Pendidikan
Metodologi

Ibn

Miskawaih

sasarannya

adalah

perbaikan akhlak, metode ini berkaitan dengan metode


pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa
masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan
atau warisan melainkan bahwa akhlak seorang dapat
diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan.
Maka

usaha-usaha

untuk

mengubahnya

diperlukan

adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal


dengan istilah metodologi.
Terdapat beberapa metode yang diajukan Ibn
Miskawaih

dalam

mencapai

akhlak

yang

baik. Pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh

untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-adat


wa

al-jihad)

untuk

memperoleh

keutamaan

dan

kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan


jiwa. Metode ini ditemui pula karya etika para filosof lain
seperti halnya yang dilakukan Imam Ghazali, Ibn Arabi,
dan Ibn Sina. Metode ini termasuk metode yang paling
efektif

untuk

memperoleh

keutamaan

jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan


pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.
Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud
dengan

pernyataan

ini

adalah

pengetahuan

dan

pengalaman berkenaan dengan hukum-hukum akhlak


yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan
keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seorang tidak
akan hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena
ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya
yang dialami orang lain. Manakala ia mengukur kejelekan
atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai
dirinya bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki
kekurangan seperti orang tersebut, lalu menyelidiki
dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang
ia akan selalu meninjau kembali semua perbuatannya
sehingga tidak satupun perbuatannya terhindar dari
perhatiannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih didasarkan pada
konsepnya tentang manusia. Tugas pendidikan akhlak adalah
memperkokoh daya-daya positif yang dimiliki manusia agar
mencapai
(al-adalat)

tingkatan
sehingga

manusia

yang

perbuatannya

seimbang/harmonis
mencapai

tingkat

perbuatan ketuhanan (afal ilahiy-yat). Perbuatan yang


demikian adalah perbuatan yang semata-mata baik dan
yang lahir secara spontan.
2. Pendekatan yang dipergunakan

Ibnu

Miskawaih

untuk

mencapai manusia yang seimbang/harmonis adalah:


a. Daya bernafsu (al-bahimiyyat/al-syahwiyyat) diarahkan
agar mencapai tingkat mampu menjaga kesucian diri
(al-iffat), yakni tidak tenggelam dalam kenikmatan dan

melampaui batas, bukan pula tidak mau berusaha untuk


memperoleh kenikmatan sebatas yang diperlukan.
b. Daya berani (al-nafs al-ghadabiyyat) diarahkan untuk
mencapai tingkat keberanian (al-syajaat) yakni tidak
takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak ditakuti
dan

bukan

pula

berani

terhadap

seharusnya tidak diperlukan sikap ini.


c. Daya berfikir (al-nafs al-nathiqat)
mencapai

tingkat

kebijaksanaan

sesuatu

yang

diarahkan

untuk

(al-hikma),

yakni

memiliki kemampuan rasional untuk membuat keputusan


antara yang wajib dilakukan dan yang wajib ditinggalkan.
Berarti pula tidak membekukan dan mengesampingkan
daya pikir, padahal sebetulnya mempunyai kemampuan,
bukan pula menggunakan daya pikir yang tidak lurus.
Metode

yang

digunakan

untuk

memperoleh

keutamaan daya bernafsu dan daya berani adalah metode


taqlid, doktrine, dan keteladanan. Adapun metode yang
digunakan untuk memperoleh keutamaan daya berfikir
adalah metode liberal yang intinya mengarah kepada
kesadaran pribadi dan pengembangan nalar.
Materi utama untuk memperoleh keutamaan daya
bernafsu dan daya berani adalah syariat, sedangkan materi
utama untuk memperoleh keutamaan daya berfikir adalah
filsafat.
3. Nilai yang terkandung dalam konsep pendidikan akhlak
menurut Ibnu Miskawaih terletak pada penempatan syariat
dan falsafat. Syariat dan fasafat ditempatkan pada posisi
penting masing-masing. Syariat penting pada tempatnya dan
falsafat juga penting pada tempatnya. Agama bertolak dan

bersumber dari iman, sedangkan falsafat dari akal. Agama


ditaati

dan

tidak

diperdebatkan

segala

perintah

dan

larangannya, sedangkan cara pemecahan dalam falsafat


dilakukan atas dasar kebebasan pendapat dan menerima
perdebatan. Agama mendahului falsafat/ kepentingan utama
agama

adalah

untuk

pendidikan

manusia

pada

masa

awal/sejak kecil, sedangkan falsafat hanya cocok untuk


pendidikan orang dewasa/tua. Di antara manfaat falsafat
adalah untuk menyempurnakan akal, mengokohkan pikiran
dan memperkuat jiwa.
4. Spiritualitas pendidikan

akhlak

menurut

konsep

Ibnu

Miskawaih terletak pada akhlak moderasi (doktrin jalan


tengah). Akhlak moderasi intinya mengandung makna jalan
lurus, benar, selamat, adil, harmonis, seimbang, dan utama.
Akhlak yang demikian tidak hanya mengandung arti etos
kerja yang tinggi dan nuansa dinamika individu dan sosial
melainkan juga selalu relevan dengan tantangan zamannya,
tanpa

menggolangkan

nilai-nilai

esensial

dari

pokok

keutamaan akhlak. Hal ini dikarenakan setiap perkembangan


menuntut adanya tarik menarik antara kebutuhan, peluang,
kemampuan,

dan

efektivitas

individu

maupun

sosial.

Akhirnya, dapat ditegaskan bahwa dengan menggunakan


doktrin jalan tengah dalam akhlak, manusia tidak akan
kehilangan arah dalam kondisi apapun.
Daftar Pustaka
Terjemah Al-Quranul Karim pada 19 Oktober 2014

Harun Nasution.1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional


Mutazilah. Jakarta: UI Press, Cetakan 1
Suwito. 2004. Filfafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Jakarta:
Belukar,cet. I.
M.M.Syarif. 1996. Para Filosof Islam.Bandung: Mizan, cet.III, h.84
Ahmad Syar'I. 2005. Fisafat Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, h.92
MA, Nasution, Hasymsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, h.61
Musa Yusuf Muhammad. 1971. Bain al-Din wa al-Falsafah. Kairo: Dar al-Ma'Arif,
h.70
Nata Abuddin. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja
Grafindo ,h.94

Você também pode gostar