Você está na página 1de 20

AsuhanKeperawatan

GagalGinjalKronik
(CKD)

A. Pengertian
Berikut ini ada beberapa pengertian gagal
ginjal kronik menurut beberapa literatur yang
penulis gunakan, yaitu :
Gagal ginjal kronik adalah penurunan
semua fungsi yang bertahap diikuti
penimbunan sisa metabolisme protein dan
gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit (Mary E. Doengoes, 2000).
Gagal ginjal kronik adalah suatu proses
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan
pada umumnya pada suatu derajat
memerlukan terapi pengganti ginjal yang
tetap berupa dialisis dan transplantasi ginjal
(Aru A. Sudoyo, 2006).
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi
renal yang progresif dan reversible dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan
metabolisme
dan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang
menyebabkan uremia (Suzanne C.Smeltzer,
2001).
Dari beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa Gagal ginjal kronik
adalah gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversible, diikuti penimbunan sisa
metabolisme
protein
dan
gangguan

keseimbangan
cairan
menyebabkan uremia.

dan

elektrolit

B. Patofisiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronik biasanya
dipengaruhi oleh penyakit sistemik seperti
diabetes
melitus,
glumerulonefritis,
pielonefritis,
hipertensi
yang
tidak
dikontrol, obtruksi traktus urinarius, penyakit
ginjal polikistik, infeksi dan agen toksik.
fungsi renal menurun, produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya
dieksresikan kedalam urine) tertimbun
dalam
darah.
Terjadi
uremia
dan
mempengaruhi
setiap
sistem
tubuh,
semakin banyak yang timbunan produk
sampah, maka gejala akan semakin berarti
dan akan membaik setelah dialisis. Banyak
permasalahan yang muncul pada ginjal
sebagai akibat dari penurunan glomeruli
yang
berfungsi,
yang
menyebabkan
penurunan clearens substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Perjalanan
penyakitnya
dapat
dibagi
menjadi tiga stadium, yaitu :
- Stadium I (Penurunan cadangan ginjal).
Fungsi ginjal antara 40 % - 75 %, pada
stadiusm ini kreatinin serum dan kadar urea
dalam darah (BUN) normal, pasien
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya
dapat terdeteksi dengan memberi kerja yang
berat pda ginjal tersebut, seperti tes
pemekatan urine yang lama atau dengan
mengadakan tes Glomerolus Filtrasi Rate
(GFR) yang teliti.
- Stadium II (Insufisiensi ginjal)
Fungsi ginjal antara 20 50 %, pada tahap
ini kadar BUN baru mulai meningkat
melebihi kadar normal. Timbul gejala
gejala nokturia (pengeluaran urine pada
waktu malam hari yang menetap samapai
sebanyak 700 ml, dan poliuria (peningkatan
volume urine yang terus menerus). Poliuria
pada gagal ginjal lebih besar pada penyakit
terutama menyerang tubulus, meskipun

poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari


3 liter/hari.
- Stadium III (Uremi gagal ginjal).
Fungsi ginjal kurang dari 10 %, pada
stadium akhir sekitar 90 % dari massa
nefron telah hancur, taua hanya sekitar
200.000 nefron yang masih utuh. Nilai GFR
hanya 10 % dari keadaan normal, kreatinin
sebesar 5 10 ml per menit atau kurang.
Gejala gejala yang timbul cukup parah
anatara lain mual, muntah, nafsu makan
berkurang, sesak nafas, pusing atau sakit
kepala, air kemih berkurang, kurang tidur,
kejang kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma.
Penderita
akan
mengalami
oliguria
(pengeluaran urine kurang dari 500 ml)
karena kegagalan glomerulus meskipun
proses penyakit mula mula menyerang
tubulus ginjal.
Manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
adalah pada sistem gastrointestinal yaitu
anoreksia, nausea, vomitus, nafas bau
amonia, stomatitis, parotitis, cegukan,
gastritis erosif, ulkus peptik dan kolitis
uremik. Sistem kardiovaskuler : hipertensi,
myeri dada, dysritmia, udem, sesak nafas,
bibir cyanosis. Sistem neuromuskuler : rasa
pegal pada tungkai bawah, rasa semutan
dan seperti terbakar terutama pada telapak
kaki, gangguan tidur, tremor, kejang
kejang. Sistem endokrin : gangguan seksual
seperti libido, fertilitas, dan ereksi menurun,
amenorea, gagguan toleransi glukosa,
gangguan metabolisme lemak dan Vit. D.
Sistem hematologik : anemia, gangguan
trombosit, gagguan fungsi leukosit. Sistem
pernafasan : dsypneu, kusmaul. Komplikasi
yang sering terjadi pada klien dengan gagal
ginjal kronis adalah hiperkalemia, hipertensi,
anemis, asidosis metabolik, malnutrisi,
uremia, gagal jantung dan penyakit tulang.
C. Penatalaksanaan
Untuk
mendukung
pemulihan
dan
kesembuhan pada klien yang mengalami

CKD maka penatalaksanaan pada klien


CKD
terdiri
dari
penatalaksanan
medis/farmakologi,
penatalaksanan
keperawatan dan penatalaksanaan diet.
Dimana tujuan penatalaksaan adalah untuk
mempertahankan
fungsi
ginjal
dan
homeostasis selama mungkin.
Penatalaksanaan medis
a. Cairan yang diperbolehkan adalah 500
samapai 600 ml untuk 24 jam atau dengan
menjumlahkan urine yang keluar dalam 24
jam ditamnbah dengan IWL 500ml, maka air
yang masuk harus sesuai dengan
penjumlahan tersebut.
b. Pemberian vitamin untuk klien penting
karena diet rendah protein tidak cukup
memberikan komplemen vitamin yang
diperlukan.
c. Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani
dengan antasida mengandung alumunium
atau kalsium karbonat, keduanya harus
diberikan dengan makanan.
d. Hipertensi ditangani dengan berbagai
medikasi antihipertensif dan control volume
intravaskuler.
e. Asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik
biasanya
tampa
gejala
dan
tidak
memerlukan penanganan, namun demikian
suplemen makanan karbonat atau dialisis
mungkin diperlukan untuk mengoreksi
asidosis
metabolic
jika
kondisi
ini
memerlukan gejala.
f. Hiperkalemia biasanya dicegah dengan
penanganan dialisis yang adekuat disertai
pengambilan kalium dan pemantauan yang
cermat terhadap kandungan kalium pada
seluruh
medikasi
oral
maupun
intravena. Pasien harus diet rendah kalium
kadang kadang kayexelate sesuai
kebutuhan.
g. Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani
dengan epogen (eritropoetin manusia
rekombinan). Epogen diberikan secara
intravena atau subkutan tiga kali seminggu.
h. Dialisis.
i.
Transplantasi ginjal.

2.
a.

b.

3.

Penatalaksanaan Keperawatan
Hitung intake dan output yaitu cairan : 500
cc ditambah urine dan hilangnya cairan
dengan cara lain (kasat mata) dalam waktu
24 jam sebelumnya.
Elektrolit yang perlu diperhatikan yaitu
natrium dan kalium. Natrium dapat diberikan
sampai 500 mg dalam waktu 24 jam.

Penatalaksanaan Diet
a. Kalori harus cukup : 2000 3000 kalori
dalam waktu 24 jam.
b. Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk
mencegah terjadinya katabolisme protein
c. Lemak diberikan bebas.
d. Diet uremia dengan memberikan vitamin :
tiamin, riboflavin, niasin dan asam folat.
e. Diet rendah protein karena urea, asam urat
dan asam organik, hasil pemecahan
makanan dan protein jaringan akan
menumpuk secara cepat dalam darah jika
terdapat gagguan pada klirens ginjal.
Protein yang diberikan harus yang bernilai
biologis tinggi seperti telur, daging sebanyak
0,3 0,5 mg/kg/hari.
D. Pengkajian
Untuk mengetahui permasalahan yang ada
pada klien dengan CKD perlu dilakukan
pengkajian yang lebih menyeluruh dan
mendalam dari berbagai aspek yang ada
sehingga
dapat
ditemukan
masalahmasalah yang ada pada klien dengan CKD.
Pengkajian pada klien CKD menurut
Suzanne C. Smeltzer, Doenges (1999) dan
Susan Martin Tucker (1998).
1. Sistem Kardiovakuler
Tanda dan gejala : Hipertensi, pitting edema
(kaki, tangan, sacrum). Edema periorbital,
fiction rub pericardial, dan pembesaran vena
jugularis,
gagal
jantung,
perikardtis
takikardia dan disritmia.
2.

Sistem Integument
Tanda dan gejala : Warna kulit abu abu
mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus,
echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis

dan kasar, turgor kulit buruk, dan gatal


gatal pada kulit.
3.

Sistem Pulmoner
Tanda dan gejala : Sputum kental , nafas
dangkal, pernafasan kusmaul, udem paru,
gangguan pernafasan, asidosis metabolic,
pneumonia, nafas berbau amoniak, sesak
nafas.

4.

Sistem Gastrointestinal
Tanda dan gejala : Nafas berbau amoniak,
ulserasi dan perdarahan pada mulut,
anoreksia, mual, muntah, konstipasi dan
diare,
perdarahan
dari
saluran
gastrointestinal, sto,atitis dan pankreatitis.

5.

Sistem Neurologi
Tanda dan gejala : Kelemahan dan
keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
penurunan konsentrasi, kelemahan pada
tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan
perubahan
perilaku,
malaise
serta
penurunan kesadaran.

6.

Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot
hilang,
fraktur
tulang,
foot
drop,
osteosklerosis, dan osteomalasia.

7.

Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia,
distropi renl, hematuria, proteinuria, anuria,
abdomen
kembung,
hipokalsemia,
hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik.

8.

Sistem Reproduktif
Tanda dan gejala : Amenore, atropi
testikuler, penurunan libido, infertilitas.

9.

Penyuluhan dan pembelajaran


Gejala : Riwayat keluarga DM (resiko tinggi
untuk gagal ginjal), penyakit polikistik,
nefritis
herediter,
kalkulus
urinaria,
malignasi, riwayat terpajan pada toksin,
contoh obat, racun lingkungan, penggunaan
antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang.

9.

1.

2.

3.
4.

5.

6.

7.

8.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada klien CKD untuk mengetahui
penyebab dan daerah yang terkena menurut
Doenges (1999), Suzanne C. Smeltzer
(2001) adalah sebagai berikut :
Urine : Volume kurang dari 40 ml / 24 jam
( oliguria ), warna keruh, berat jenis kurang
dari 1.015, osmolalitas kurang dari 350
m.osn/kg, klirens kreatinin agak menurun
kurang 10 ml / menit, natrium lebih dari 40
mEq/L, proteinuria.
Darah : BUN/kreatinin meningkat lebih dari
10 mg/dl, Ht menurun, Hb kurang dari 7 8
gr/dl, SDM waktu hidup menurun, AGD (pH
menurun dan terjadi asidosis metabolic
(kurang dari 7.2), natrium serum rendah,
kalium meningkat 6,5 mEq atau lebih besar,
magnesium/fosfat
meningkat,
kalsium
menurun, protein khususnya albumin
menurun.
Osmolalitas serum : Lebih besar dari 285
nOsm/kg, sering sama dengan urine.
KUB
Foto
:
Menunjukkan
ukuran
finjal/ureter/kandung kemih dan adanya
obstruksi (batu).
Elektrokardiografi (ECG) : Untuk melihat
kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda
tanda perikarditis, aritmia dan gangguan
elektrolit (hiperkalemia dan hipokalsemia).
Ultrasonografi (USG) : Menilai bentuk dan
besar ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan
paremkim ginjal, ureter proximal, kandung
kemih serta prostat. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mencari adanya faktor yang
reversibel, juga menilai apakah proses
sudah lanjut.
Foto polos abdomen : Sebaiknya tampa
puasa, karena dehidrasi akan memperburuk
fungsi ginjal, menilai bentuk dan besar ginjal
dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
Pielografi Intravena (PIV) : Pada PIV, untuk
CKD tak bermanfaat lagi olah karena ginjal
tidak dapat mengeluarkan kontras, saat ini
sudah jarang dilakukan.

Pemeriksaan
Pielografi
Retrograd
:
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang
reversibel.
10. Pemeriksaan Foto Dada : Dapat terlihat
tanda tanda bendungan paru akibat
kelebihan air (fluid overload), efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikardial.
11. Pemerikasaan Kardiologi tulang : Mencari
osteoditrofi (terutama tulang atau jari) dan
klasifikasi metastatik.
Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian yang telah
didapat atau terkaji, kemudian data
dikumpulkan maka dilanjutkan dengan
analisa data untuk menentukan diagnosa
keperawatan yang ada pada klien dengan
CKD. Menurut Doenges (1999), Lynda Juall
(1999), dan Suzanne C. Smeltzer (2001)
diagnosa keperawatan pada klien CKD
adalah sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan
dengan penurunan fungsi ginjal.
2. Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake kurang atau pembatasan nutrisi.
3. Resiko tinggi penurunan curah jantung
berhubungan dengan ketidakseimbangan
volume cairan.
4. Perubahan proses pikir berhubungan
dengan akumulasi toksin.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan gangguan status metabolisme.
6. Resiko
tinggi
terhadap
cidera
berhubungan
dengan
penekanan
produksi/sekresi eritropoetin.
7. Intoleransi
aktifitas
berhubungan
dengan keletihan, anemia, penurunan fungsi
ginjal.
8. Kurang pengetahuan tentang kondisi,
prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan tidak mengenal sumber
informasi.
Perencanaan Keperawatan
Setelah diagnosa keperawatan pada klien
dengan CKD ditemukan, maka dilanjutkan

a)
b)
c)
d)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

i)
j)
k)

dengan menyusun perencanaan untuk


masing-masing diagnosa yang meliputi
prioritas diagnosa keperawatan, penetapan
tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan
dengan penurunan fungsi ginjal.
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh
ideal tampa kelebihan cairan.
Kriteria Evaluasi :
Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil
lab mendekati normal.
BB stabil.
TTV dalam batas normal.
Tidak ada edema.
Intervensi :
Awasi denyut jantung TD dan CVP.
Catat pemasukan dan pengeluaran akurat..
Awasi berat jenis urine.
Timbang BB tiap hari dengan alat ukur dan
pakaian yang sama.
Batasi pemasukan cairan.
Kaji kulit, area tergantung edema, evaluasi
derajat edema.
Kaji tingkat kesadaran, selidiki perubahan
mental, adanya gelisah.
Kolaborasi
pemeriksaan
laboratorium
:
Kreatinin, ureum HB/Ht, kalium dan natrium
serum.
Kolaborasi foto dada, berikan/batasi cairan
sesuai indikasi.
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :
Diuretik, anti hipertensif
Kolaborasi untuk dialisis sesuai indikasi.

a)

b)
a)
b)

2. Perubahan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan
pembatasan nutrisi.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi
yang adekuat.
Kriteria Evaluasi :
Mempertahankan/meningkatkan
berat
badan seperti yang diindikasikan oleh situasi
individu.
Bebas edema.
Intervensi :
Kaji/catat pemasukan diet.
Beri makan sedikit tapi sering.

c)

d)
e)
f)
g)
h)

a)
b)
c)
a)

b)
c)

d)

e)
f)
g)

4.

Berikan pasien daftar makanan tatau cairan


yang diizinkan dan dorong terlibat pada
pemilihan menu.
Timbang BB tiap hari.
Kolaborasi pemeriksaan lab BUN, albumin
serum, transferin, natrium, kalium.
Kolaborasi dengan ahli gizi, berikan kalori
tinggi rendah protein.
Batasi kalsium, natrium dan pemasukan
fosfat sesuai indikasi.
Berikan obat sesuai indikasi, seperti zat
besi, kalsium, Vit D, Vit B Komplek, anti
emetik.
3. Resiko tinggi penurunan curah jantung
berhubungan dengan ketidakseimbangan
volume cairan.
Tujuan : Curah jantung adekuat.
Kriteria evaluasi :
TD dan frekuensi dalam batas normal.
Nadi perifer kuat dan waktu pengisian
kapiler vaskuler.
Dispneu tidak ada.
Intervensi :
Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi
adanya edema perifer/kongesti vaskuler dan
keluhan dyspneu.
Kaji adanya/derajat hipertensi : awasi TD,
perhatikan perubahan posturat.
Selidiki keluhan nyeri dada, beratnya (skala
1- 10) dan apakah tidak mantap dengan
inspirasi dalam posisi terlentang.
Evaluasi bunyi jantung, TD, nadi perifer,
pengisian kapiler, kongesti kapiler, suhu dan
sensori atau mental.
Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap
aktivitas.
Kolaborasi pemeriksaan lab : Elektrolit,
BUN, Foto dada.
Berikan obat antihipertensif, contoh : Prozin
(minipres), captopirl (capoten), klonodin
(catapres), hidralazin (apresolinie).

Perubahan proses fikir berhubungan


dengan akumulasi toksin.
Tujuan : Tingkat mental meningkat

a)
b)
c)
d)

e)
f)

g)

h)
i)

j)
5.

Kriteria evaluasi : Dapat mengeidentifikasi


cara untuk mengkompensasi gangguan
kognitif/deficit memori.
Intervensi :
Kaji luarnya gangguan kemampuan berfikir,
memori, dan orientasi.
Pastikan dari orang terdekat tingkat mental
pasien biasanya.
Berikan orang terdekat informasi tentang
status pasien.
Berikan lingkungan tenang dan izinkan
menggunakan
televise,
radio,
dan
kunjungan.
Orientasikan kembali terhadap lingkungan,
orang dan sebagainya.
Hadirkan
kenyataan
secara
singkat,
ringkas, dan jarang menantang dan
pemikiran tidak logis.
Komunikasikan informasi/instruksi dalam
kalimat pendek dan sederhana. Tanyakan
pertanyaan ya/tidak, ulangi penjelasan
sesuai kebutuhan.
Buat jadwal teratur untuk aktivitas yang
diharapkan.
Kolaborasi : awasi pemeriksaan lab
BUN/kreatinin, elektrolit serum, kadar
glukosa, AGD.
Hindari penggunaan barbiturate dan opiad.

Kerusakan integritas kulit berhubungan


dengan gangguan status metabolik.
Tujuan : Mempertahankan kulit utuh.
Kriteria Evaluasi : Menunjukkan prilaku/teknik
untuk mencegah erusakan atau cedera
kulit.
Intervensi :
a) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna,
turgor, vaskuler.
b) Pertahankan
kemerahan,
eskoriasi,
observasi terhadap ekimosis, purpura.
c) Pantau masukan cairan dan hidrasi kuli dan
membran mukosa.
d) Inspeksi area tergantung terhadap edema.
e) Ubah posisi sering, gerakan pasiaen
dengan berlahan, beri bantalan pada
tonjolan tulang dengan kulit domba,
pelindung siku tumit.

f)
g)
h)
i)
j)

Berikan perawatan kulit.


Barikan salap atau krim(analin, aquaphor).
Pertahanan linen kering dan bebas keriput.
Selidiki keluhan gatal.
Anjurkan pasienm menggunakan kompres
lembab dan dingin untuk memberikan
tekanan pada area pruritus, pertahankan
kuku pendek.
k) Anjurkan menggunakan pakaian katun dan
longgar
6.

Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan


dengan penekanan produksi atau sekresi
eritropoetin.
Tujuan : Cedera tidak terjadi.
Kriteria Evaluasi :
a) Tidak mengalami tanda atau gejala
perdarahan.
b) Mempertahankan
atau
menunjukkan
perbaikan nilai laboratorium.
Intervensi :
a) Perhatikan keluhan peningkatan kelelahan,
kelemahan.
b) Observasi takikardia, kulit atau membrane
mukosa pucat, dispneu dan nyeri dada.
c) Awasi tingkat kesadaran klien.
d) Evaluasi
respon
terhadap
aktivitas,
kemampuan untuk melakukan tugas.
e) Batasi contoh vaskuler, kombinasikan tes
laboratorium bila mungkin.
f) Observasi perdarahan terus menerus dari
tempat penusukan, perdarahan area
ekimosis karena trauma kecil, ptechie,
pembengkakan sendi atau membran
mukosa.
g) Hematemesis sekresi Gastrointestinal atau
darah feses.
h) Berikan sikat gigi halus, pencukur elektrik,
gunakan jarum kecil bila mungkin dan
lakukan penekanan lebih lama setelah
penyuntikan atau penusukan vaskuler.
i) Kolaborasi
:
awasi
pemeriksaan
laboratorium : jumlah trombosit, faktor
pembekuan darah.
j) Kolaborasi: berikan obat sesuai indikasi
contoh sediaan besi, asam fosfat (folvite),
sianokobalamin
(betaun),
simetidin

(tegamert), ranitidine (zartoc), anatasiad,


pelunak feses, laxative bulk (metamucit).

ANEMIA PADA
PENYAKIT GINJAL
KRONIK
ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL
KRONIK

A. Pendahuluan
Fungsi ginjal adalah ikut mengatur agar
volume dan kadar bahan dalam cairan
ektraseluler tetap dalam batas normal.
Hal ini dicapai dengan cara:1
1. Mengatur pengeluaran sisa metabolisme
den mempertahankan bahan yang
berguna
2. Mengatur
keseimbangan
cairan,
eletrolit, dan asam basa tubuh.
Disamping itu ginjal juga berperan
dalam pengaturan tekanan darah,
eritropoiesis, metabolisme vitamin D
dan beberapa fungsi endokrin yan lain.
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi
kerusakan pada jaringan ginjal sehingga
lama kelamaan fungsi diatas mulai
terganggu. Penyakit ginjal kronik secara
garis besar adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan
fugsi ginjal yang progresif, danpada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal.1
Anemia sering terjadi pada pasienpasien dengan penyakit ginjal kronis. 80-

90% pasien penyakit ginjal kronik


mengalami anemia. Anemia pada
penyakit
ginjal
kronik
terutama
disebabkan
oleh
defisiensi
eritropoietin. World
Health
Organization (WHO)
mendefinisikan
anemia dengan komsentrasi hemoglobin
< 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita
postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada
wanita lainnya. The European Best
Practice
Guidelines untuk
penatalaksanaan anemia pada pasienpasien
penyakit
ginjal
kronik
mengatakan bahwa batas bawah
hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl
pada wanita dan 13,5 gr/dl pada laki-laki
70 tahun dan 12,0 gr/dl pada laki-laki
> 70 tahun. The National Kidney
Foundations Kidney Dialysis Outcomes
Quality
Initiative(K/DOQI)
merekomendasikan anemia pada pasien
penyakit ginjal kronik jika kadar
hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit <
33%) pada wanita premonopause dan
pasien prepubertas, dan <12,0 gr/dl
(hematocrit < 37%) pada laki-laki
dewasa dan wanita postmeopause.
Sedangkan menurut Pernefri 2011,
dikatan anemia pada penyakit ginjal jika
Hb 10 gr/dl dan Ht 30%.1,2
Klinisi harus memikirkan keadaan
anemia jika tingkat Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) pasien menurun ke
60 ml/menit/1,73 m2 atau lebih rendah.
Saat LGF mengalami penurunan tigkat
sedang seperti ini, akan labih timbul
komplikasi seperti hiperfosfatemia,
hipokalsemia, hiperparatiroid, hipertensi,
hiperhomosistinemia, dan termasuk juga
anemia.2
B. Etiologi
Anemia pada penyakit ginjal kronik
adalah
jenis
anemia
normositik

normokrom, yang khas selalu terjadi


pada
sindrom
uremia.
Bisanya
hematokrit menurun hingga 20-30%
sesuai derajat azotemia. Komplikasi ini
biasa ditemukan pada penyakit ginjal
kronik stadium 4, tapi kadang juga
ditemukan sejak awal stadium 3. Lebih
jelasnya perhatikan Gambar 1 dan Tabel
2. 1,3
Tabel 2. Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik1

Der Penjelas LFG


Komplikasi
ajat
an (ml/mn
t)
1
Kerusaka 90
n ginjal
dengan
LGF
normal
2
Kerusaka 60-89 Tekanan darah
n ginjal
mulai naik
dengan
penuruna
n LGF
ringan
3
Penuruna 30-59 Hiperfosfatemia
n LGF
Hipokalsemia
sedang
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistin
emia
4
Penuruna 15-29 Malnutrisi
n LGF
Asidosis
berat
metabolik
Cenderung
hiperkalemia
Dislipidemia
5
Gagal
<15 Gagal jantung
ginjal
Uremia
Penyebab utama anemia pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik adalah
kurangnya produksi eritropoietin (EPO)

karena penyakit ginjalnya. Faktor


tambahan termasuk kekurangan zat besi,
peradangan akut dan kronik dengan
gangguan penggunaan zat besi (anemia
penyakit kronik), hiperparatiroid berat
dengan konsekuensi fibrosis sumsum
tulang, pendeknya masa hidup eritrosit
akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi
komorbiditas seperti hemoglobinopati
dapat memperburuk anemia. Untuk lebih
lengkapnya, perhatikan Tabel 3.1,3,4
Tabel 3. Etiologi Anemia Pada Penyakit
Ginjal Kronik3

Etiologi
Penyebab
utama
Penyebab
tambahan

Penjabaran etiologi
Defisiensi relatif dari
eritropoietin
Kekurangan zat besi
Inflamasi akut dan kronik
Pendeknya masa hidup
eritrosit
Bleeding diathesis

Hiperparatiroidisme/
fibrosis sumsum tulang
Kondisi
Hemoglobinopati,
komorbiditas hipotiroid,
hipertiroid,
kehamilan, penyakit HIV,
penyakit autoimun, obat
imunosupresif
C. Patofisiologi
Pandangan Umum
Ketika terjadi gangguan pada glomerulus
maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk
fungsi endokrinnya (Gambar 4). Anemia
pada penyakit ginjal kronik dikaitkan
dengan konsekuensi patofisiologik yang
merugikan, termasuk berkurangnya transfer
oksigen ke jaringan dan penggunaannya,
peningkatan
curah
jantung,
dilatasi
3
ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.

Hemolisis sedang yang disebabkan


hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain
yang memperberat seharusnya tidak
menyebabkan
anemia
jika
respon
eritropoesis mencukupi tetapi proses
eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.
Alasan yang paling utama dari fenomena ini
adalah penurunan produksi eritropoetin
pada pasien dengan penyakit ginjal yang
berat. Defisiensi eritropoetin merupakan
penyebab utama anemia pada pasien-pasien
penyakit
ginjal
kronik. Para
peneliti
mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang
menghasilkan eritropoetin rusak sebagian
atau
seluruhnya
seiring
dengan
progresivitas
penyakit
ginjalnya.
Selanjutnya pada penelitian terdahulu
menggunakan
teknik
bio-assay
menunjukkan bahwa dalam perbandingan
dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal,
pasien anemia dengan penyakit ginjal
menunjukkan peningkatan konsentrasi
serum eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel
darah merah dengan efek tambahan terjadi
defisiensi erotropoetin. Proses inflamasi
seperti
glomerulonefritis,
penyakit
reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang
biasanya merupakan akibat pada gagal
ginjal terminal, pasien dialisis terancam
inflamasi
yang
timbul
akibat
efek
imunosupresif. Defisiensi eritropoetin relatif
pada penyakit ginjal kronik dapat berespon
terhadap penurunan fungsi glomerulus. Satu
studi
mengatakan
bahwa
untuk
mempertahankan
kemampuan
untuk
meningkatkan kadar eritropoetin dengan
cara tinggal pada daerah yang tinggi. Selain
itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik
juga dapat menginaktifkan eritopoietin atau
menekan respon sumsum tulangterhadap
eritropoietin.2,5
Dalam hal pengurangan jumlah
eritropoetin, penghambatan respon sel

prekursor eritrosit terhadap eritropoetin


dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis
yang tidak adekuat pada pasien uremia.
Terdapat
toksin-toksin
uremia
yang
menekan proses ertropoesis yang dapat
dilihat pada proses hematologi pada pasien
dengan gagal ginjal terminal setelah terapi
reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan
produksi sel darah merah yang diukur
dengan kadar Fe yang meningkat pada
eritrosit,
karena
penurunan
kadar
eritropetin
serum.
Substansi
yang
menghambat eritropoesis ini antara lain
poliamin, spermin, spermidin, dan PTH.
Spermin dan spermidin yang kadar
serumnya meningkat pada gagal ginjal
kronik yang tidak hanya memberi efek
penghambatan pada eritropoesis tetapi juga
menghambat
granulopoesis
dan
trombopoesis. Karena ketidakspesifikkan,
leukopenia, dan trombositopenia bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah
disimpulkan bahwa spermin dan spermidin
tidak memiliki fungsi yang signifikan pada
patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada
uremia karena hiperparatiroidsm sekunder,
tetapi hal ini masih kontroversi jika
dikatakan bahwa PTH memberikan efek
penghambatan pada eritropoesis. Walaupun
menurut
penelitian,
dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan
dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti
lain mengatakan tidak ada hubungan antara
kadar PTH dengan derajat anemia pada
pasien uremia. Walaupun efek langsung
penghambatan PTH pada eritropoesis
belum dibuktikan secara final, akibat yang
lain dari peningkatan PTH seperti fibrosis
sumsum tulang dan penurunan masa hidup
eritrosit ikut bertanggung jawab dalam
hubungan antara hiperparatiroid dan
anemia pada gagal ginjal.6

Pasien-pasien dengan penyakit ginjal


kronis memiliki risiko kehilangan darah oleh
karena
terjadinya
disfungsi
platelet.
Penyebab utama kehilangan darah pada
pasien-pasien ini adalah dari hemodialisis.
Pada suatu penelitian, dibuktikan pasienpasien hemodialisis dapat kehilangan darah
rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah
melalui saluran cerna, sering diambil untuk
pemeriksaan laboratorium dan defisiensi
asam folat juga dapat menyebabkan anemia.
Kekurangan asam folat bisa bersamaan
dengan
uremia,
dan
bila
pasien
mendapatkan terapi hemodialisis, maka
vitamin yang larut dalam air akan hilang
melalui membran dialisis. Kecendrungan
terjadi perdarahan pada uremia agaknya
disebabkan
oleh
gangguan
kualitatif
trombosit
dan
dengan
demikian
menyebabkan gangguan adhesi.5,6
Kekurangan zat besi dapat disebabkan
karena kehilangan darah dan absorbsi
saluran cerna yang buruk (antasida yang
diberikan
pada
hiperfosfatemia
juga
mengikat besi dalam usus). Selain itu,
proses hemodialisis dapat menyebabkan
kehilangan 3 -5 gr besi per tahun.
Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per
hari (Gambar 3), sehingga kehilangan besi
pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih
banyak.5,6
Homeostasis
besi
tampaknya
terganggu pada penyakit ginjal kronik.
Untuk alasan yang masih belum diketahui
(kemungkinan karena malnutrisi), kadar
transferin pada penyakit ginjal kronik
setengah atau sepertiga dari kadar normal,
menghilangkan kapasitas sistem transport
besi. Situasi ini yang kemudian mengganggu
kemampuan untuk mengeluarkan cadangan
besi dari makrofag dan hepatosit pada
penyakit ginjal kronik.6

Masa hidup eritrosit pada pasien gagal


ginjal hanya sekitar separuh dari masa
hidup
eritrosit
normal.
Peningkatan
hemolisis
eritrosit
ini
tampaknya
disebabkan oleh kelainan lingkungan kimia
plasma dan bukan karena cacat pada sel
darah itu sendiri. Hemolisis pada gagal
ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada
pasien hemodialisis kronik, masa hidup
eritrosit
diukur
menggunakan
51Cr
menunjukkan variasi dari sel darah merah
normal yang hidup tetapi rata-rata waktu
hidup berkurang 25-30%.
Penyebab
hemolisis
terjadi
di
ekstraseluler karena sel darah merah normal
yang ditransfusikan kepada pasien uremia
memiliki waktu hidup yang memendek,
ketika sel darah merah dari pasien dengan
gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien
yang sehat memiliki waktu hidup yang
normal. Efek faktor yang terkandung pada
uremic plasma pada Na-ATPase membran
dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada
eritrosit
diperkirakan
merupakan
mekanisme yang menyebabkan terjadinya
hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa
phospat shunt mengurangi ketersediaan
dari glutation reduktase, dan oleh karena itu
mengartikan kematian eritrosit menjadi
oksidasi Hb dengan proses hemolisisis.
Kerusakan ini menjadi semakin parah
apabila oksidan dari luar masuk melalui
dialisat
atau
sebagai
obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah
akibat sekunder hiperparatioidsm juga
menyebabkan penurunan sel darah merah
yang hidup pada uremia, sejak PTH yang
utuh atau normal terminal fragmen
meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh
karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism
dapat
menekan
produksi sel darah merah melalui 2
mekanisme.yang pertama, efek langsung

penekanan
sumsum
tulang
akibat
peningkatan kadar PTH, telah banyak
dibuktikan melalui percobaan pada hewan.
Yang kedua, efek langsung pada osteitis
fibrosa, yang mengurangi respon sumsum
tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat
laporan penelitian yang menyatakan adanya
peningkatan
Hb
setelah
dilakukan
paratiroidektomi pada pasien dengan
uremia.2,6
Mekanisme
lainnya
yang
menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit
yang mengakibatkan hemolisis pada gagal
ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler
(hipofosfatemia) akibat pengobatan yang
berlebihan dengan pengikat fosfat oral,
dengan penurunan intracellular adenine
nucleotides dan2,3diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat
timbul akibat kompliksai dari prosedur
dialisis atau dari interinsik imunologi dan
kelainan eritrosit. Kemurnian air yang
digunakan untuk menyiapkan dialisat dan
kesalahan teknik selama proses rekonstitusi
dapat menurunkan jumlah sel darah merah
yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter
karbon bebas kloramin yang tidak adekuat
akibat saturasi filter dan ukuran filter yang
tidak mencukupi, dapat mengakibatkan
denaturasi hemoglobin, penghambatan
hexose
monophosphate
shunt,
dan
hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat
disebabkan tercemarnya dialisat oleh
copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun
dan kelainan biokomia dapat menyebabkan
pemendekan
waktu
hidup
eritrosit.
Hipersplenisme merupakan gejala sisa
akibat transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis sumsum
tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati
kronis dapat mengurangi sel darah merah
yang hidup sebanyak 75% pada pasien
dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa
mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat

menyebabkan hemolisis seperti kelebihan


besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau
karena pemanasan berlebih. Perburukan
hemolisis pada gagal ginjal juga dapat
disebabkan karena proses patologik lainnya
seperti splenomegali atau mikroangiopati
yang berhubungan dengan periarteritis
nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.2,6
Penyebab lain yang mempengaruhi
eritropoiesis pada pasien dengan gagal
ginjal terminal dengan reguler hemodialisis
adalah intoksikasi aluminium akibat
terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat
alumunium dan atau asupan pengikat fosfat
yang mengandung aluminium. Aluminium
menyebabkan anemia mikrositik yang kadar
feritin serumnya meningkat atau normal
pada pasien hemodialisis, menandakan
anemia pada pasien tersebut kemungkinan
diperparah oleh intoksikasi alumnium.
Patogenesisnya
belum
sepenuhnya
dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat
yang menyatakan bahwa efek toksik
aluminium pada eritropoesis menyebabkan
hambatan sintesis dan ferrochelation
hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat
mempengaruhi
eritropoesis
melalui
penghambatan metabolisme besi normal
dengan mengikat transferin, melalui
terganggunya sintesis porfirin, melalui
terganggunya sirkulasi besi antara prekursor
sel darah merah pada sumsum tulang.2,6
Inflamasi

Anemia pada inflamasi juga ditandai


dengan kadar besi serum yang rendah,
saturasi transferin yang rendah dan
gangguan pengeluaran cadangan besi
yang bermanifestasi dengan tingginya
serum feritin. Peningkatan jumlah
sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi
seperti interleukin 6 berhubungan
dengan respon yang buruk terhadap

pemberian eritropoetin pada pasienpasien gagal ginjal terminal.7


Feritin pada Penyakit ginjal kronik
Struktur dan Fungsi Feritin
Feritin merupakan protein cadangan besi
utama yang dijumpai pada jaringan tubuh
manusia. Feritin terdiri dari 24 subunit
dengan 2 tipe yaitu di hati (L) dan jantung
(H), dengan berat molekul 19 dan 21 kDa.
Subunit H memiliki peranan yang penting
dalam mendetoksifikasi besi secara cepat
oleh karena aktivitas feroksidasenya,
dimana oksidasi besi menjadi bentuk
Fe(III). Sedangkan subunit L memfasilitasi
nukleasi besi, mineralisasi dan cadangan
besi jangka panjang.7
Feritin
merupakan
tempat
penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh.
Fungsi feritin adalah sebagai penyimpanan
zat besi terutama di dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Zat besi yang berlebihan
akan disimpan dan bila diperlukan dapat
dimobilisasi kembali. Hati merupakan
tempat penyimpanan feritin terbesar di
dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi
feritin serum. Pada penyakit hati akut
maupun kronik kadar feritin serum
meningkat, hal ini disebabkan pengambilan
feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat
pelepasan feritin dari sel hati yang rusak.
Pada penyakit keganasan sel darah merah,
kadar feritin serum meningkat disebabkan
meningkatnya sintesis feritin oleh sel
leukemia. Pada keadaan infeksi dan
inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat
besi dari sel retikuloendotelial dan
disekresikan ke dalam plasma. Sintesis
feritin
dipengaruhi
oleh
konsentrasi
cadangan besi intrasel dan berkaitan pula
dengan cadangan zat besi intrasel
(hemosiderin).7,8
2. Ferritin pada keadaan inflamasi
1.

Kadar C-Reactive
Protein (CRP)
akan
meningkat cepat pada infeksi, disebut
respon fase akut. Peningkatan CRP
berhubungan
dengan
peningkatan
konsentrasi interleukin-6 (IL-6) di dalam
plasma yang sebagian besar diproduksi oleh
makrofag. Makrofag merupakan sel imun
yang berperan langsung dengan kadar besi
dalam
tubuh
manusia.
Makrofag
membutuhkan
zat
besi
untuk
memproduksi highly toxic hydroxyl radical,
juga merupakan tempat penyimpanan besi
yang utama pada saat terjadi proses
inflamasi. Sitokin, radikal bebas, serta
protein fase akut yang dihasilkan oleh hati
akan mempengaruhi homeostasis besi oleh
makrofag dengan cara mengatur ambilan
dan keluaran besi sehingga akan memicu
peningkatan retensi besi dalam makrofag
pada saat terjadi inflamasi. Besi juga
mengatur aktivitas sitokin, proliferasi, dan
aktivitas limfosit sehingga diferensiasi dan
aktivasi makrofag akan terpengaruh. 8,9
Protein fase akut memegang peran
dalam proses inflamasi yang kompleks.
Konsentrasi protein fase akut meningkat
secara signifikan selama proses inflamasi
akut karena tindakan pembedahan, infark
miokard, infeksi, dan tumor. Peningkatan
disebabkan oleh sintesis di hati, namun
tidak dapat digunakan untuk menentukan
penyebab inflamasi. Pengukuran protein
fase akut dapat digunakan untuk mengamati
progresivitas dari inflamasi serta melihat
respon terapi dengan melihat nilai protein
fase akut saat mulai meningkat dan kadar
yang tertinggi. Kadar feritin serum tidak
dapat menggambarkan indeks cadangan
besi dalam tubuh pada saat terjadi
kerusakan sel tubuh. Feritin diproduksi oleh
sistem reticulo endotelial, yang berperan
penting dalam proses metabolisme zat besi
saat pembentukan hemoglobin dari sel
darah merah senescent. Proses inflamasi

dan infeksi akut akan memicu blokade


pelepasan
zat
besi
sehingga
akan
9
menurunkan kadar zat besi serum.
3. Hiperferitinemia
Pada
Penyakit
Ginjal Kronik
Kadar feritin serum tinggi yang ekstrim,
>2000 ng/ml, biasanya menandakan
adanya kelebihan besi yang juga dikenal
dengan hemosiderosis. Kebanyakan laporan
kasus mengenai kelebihan besi dijumpai
pada masa belum digunakannya ESA, ketika
transfusi darah lebih sering digunakan
dalam mengatasi anemia.9
Peningkatan serum feritin selama
inflamasi, infeksi, penyakit hati dan kondisikondisi lain yang tidak berhubungan dengan
besi dapat menghalangi kemampuan dalam
menilai status besi pada pasien GGK yang
berada dalam kondisi-kondisi tersebut.
Feritin serum merupakan penanda adanya
malignansi,
seperti
pada
neuroblastoma, renal cell carcinoma dan
limfoma Hodgkin. Hiperferitinemia juga
berhubungan
dengan
disfungsi
hati.
Inflamasi kronik sering terjadi pada pasienpasien dengan penyakit ginjal kronik dan
lebih dari 40-70% pasien dengan penyakit
ginjal kronik dapat mengalami peningkatan
kadar
CRP.
Sehingga,
inflamasi
kemungkinan keadaan yang sering terjadi
pada hiperferitinemia pada penyakit ginjal
kronik.9,10
4. Inflamasi Dan Anemia Pada Penyakit
ginjal kronik
Inflamasi dan respon fase akut berkaitan
dengan sistem hematopoetik. Selama
periode awal respon fase akut, konsentrasi
hemoglobin selalu menurun secara drastis.
Hal ini disebabkan oleh pengrusakan
eritrosit yang meningkat oleh makrofag
retikuloendotelial inflamasi yang teraktivasi
yang membersihkan sirkulasi dari eritrosit
yang dilapisi dengan imunoglobulin atau
kompleks imun. Pada pasien-pasien dengan

fungsi ginjal yang normal, penurunan


hemoglobin yang tiba-tiba merangsang
sekresi eritropoetin selama 4-10 hari.
Ternyata,
sekresi
eritropoetin
yang
meningkat ini dihambat oleh sitokin-sitokin
proinflamasi pada pasien-pasien yang
mengalami respon fase akut.10
Faktor
pertumbuhan
seperti
eritropoetin dan beberapa sitokin penting
untuk pertumbuhan dan diferensiasi
progenitor eritrosit pada sumsum tulang.
Pada konsentrasi rendah, sitokin-sitokin
proinflamasi TNF- dan IL-1 menstimulasi
pertumbuhan
awal
progenitor.
Efek
inflamasi yang mensupresi eritropoesis
terutama disebabkan oleh peningkatan
aktivitas sitokin-sitokin proinflamasi pada
sel-sel prekursor pada berbagai tingkatan
eritropoesis. Dikatakan bahwa efek inhibisi
pada prekursor eritroid ini terutama
disebabkan oleh perubahan sensitivitas
terhadap eritropoetin. Efek inhibisi TNF-
dan IL-1 pada eritropoesis dapat diatasi
dengan pemberian dosis tinggi ESA. Pada
pasien-pasien dengan gagal ginjal terminal,
resistensi ESA berhubungan dengan respon
inflamasi seperti pada pasien dengan
peningkatan CRP atau fibrinogen kurang
respon
terhadap
ESA.
Gunell
dkk
melaporkan bahwa albumin serum yang
rendah dan kadar CRP yang meningkat juga
memprediksi resistensi terhadap ESA pada
pasien-pasien hemodialisis dan peritoneal
dialisis, yang mendukung konsep bahwa
respon
inflamasi
menyebabkan
hipoalbuminemia dan anemia pada pasienpasien gagal ginjal terminal.10
D. Manifestasi Klinis dan Temuan Fisik
Manifestasi klinis yang biasa ditemukan:11
Kelemahan umum/malaise, mudah lelah
Nyeri seluruh tubuh/mialgia
Gejala ortostatik ( misalnya pusing, dll )
Sinkop atau hampir sincope

Penurunan toleransi latihan


Dada terasa tidak nyaman
Palpitasi
Intoleransi dingin
Gangguan tidur
Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi
Kehilangan nafsu makan
Temuan fisik:11
Kulit (pucat)
Neurovaskular (penurunan kemampuan
kognitif)
Mata (konjungtiva pucat)
Kardiovaskular
(hipotensi
ortostatik,
takiaritmia)
Pulmonary (takipnea)
Abdomen (asites, hepatosplenomegali)

E. Diagnosis
Pada penyakit ginjal kronik, keadaan
anemia yang terjadi tidak sepenuhnya
berkaitan dengan penyakit ginjalnya.
Anemia pada penyakit ginjal kronik dapat
dijadikan
diagnosis
setelah
mengeksklusikan adanya defisiensi besi dan
kelainan eritrosit lainnya. Evaluasi terhadap
anemia dimulai saat kadar hemoglobin
10% atau hematokrit 30%.1,2,3,12
Beberapa poin harus diperiksa dahulu
sebelum dilakukan pemberian terapi
penambah eritrosit, yaitu : 1,2,3,12
Darah lengkap
Pemeriksaan darah tepi
Hitung retikulosit
Pemeriksaan besi (serum iron, total iron
binding capacity, saturasi transferin, serum
feritin)
Pemeriksaan darah tersamar pada tinja
Kadar vitamin B12
Hormon paratiroid
Anamnesis pada anemia dengan gagal
ginjal ditanyakan tentang riwayat penyakit
terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi
pemeriksaan
darah
lengkap
dan
pemeriksaan
apus
darah
perifer.

Kebanyakan pasien yang tidak memiliki


komplikasi,
anemia
ini
bersifat
hipoproliferatif normositik normokrom,
apus darah tepi menunjukkan burr cell.
Perubahan morfologi sel darah merah
menampilkan proses hemolitik primer,
mikroangiopati
atau
hemoglobinopati.
Jumlah total retikulosit secara umum
menurun. Mean
corpuscular
volume meningkat pada defisiensi asam
folat, defisiensi B 12 dan pasien dengan
kelebihan
besi. Mean
corpuscular
volume menurun pada pasien dengan
thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan
intosikasi aluminium yang berat.3,12
Pada era penggunaan rekombinant
human eritropoetin (rHuEPO), penilaian
terhadap
simpanan
besi
melalui
perhitungan feritin serum, transferin, dan
besi sangat diperlukan. Pada keadaan
dimana tidak ada faktor yang memperberat
seperti penyakit inflamasi , penyakit hati,
atau respons yang buruk dari rHuEPO,
feritin serum merupakan indikator yang
tepat dari simpanan besi tubuh. Jika
simpanan menurun, nilai feritin serum
menurun sebelum saturasi transferin.
Walaupun
penyakit
kronik
dapat
menurunkan besi dan transferin, pasien
dengan saturasi transferin kurang dari 20%
dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat
dianggap terjadi defisiensi besi. Di sisi lain
pasien memiliki saturasi lebih dari 20%
yang gagal berespons terhadap replacement
besi
harus
diperkirakan
mengalami
intoksikasi
aluminium
atau
hemoglobinopati. Walaupun serologi dapat
mengidentifikasi defisiensi besi dengan
spesifisitas, untuk memastikan penyebabnya
membutuhkan berbagai jalur kehilangan
besi pada pasien tersebut termasuk saluran
gastro intestinal (4-5 ml blood loss / hari
atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur
dialisis (4-50 ml/ terapi dimana mungkin

disebabkan karena antikoagulan yang


inadequat dan teknik penggunaan kembali
dialister yang buruk), flebotomi yang rutin
untuk kimia darah dan konsumsi besi pada
terapi rHuEPO.12
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk
pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht >
30%, baik dengan pengelolaan konservatif
maupun dengan EPO. Bila dengan terapi
konservatif, target Hb dan Ht belum
tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO.
Dampak anemia pada gagal ginjal terhadap
kemampuan fisik dan mental dianggap dan
menggambarkan halangan yang besar
terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal
ginjal. Walaupun demikian efek anemia
pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang
pada pasien uremia dengan penurunan
afinitas oksigen dan peningkatan cardiac
output saat hematokrit dibawah 25 %.
Walaupun demikian banyak pasien uremia
memiliki hipertensi dan miokardiopati.
Karena tubuh memiliki kemampuan untuk
mengkompensasi
turunnya
kadar
hemoglobine dengan meningkatnya cardiac
output. Selain itu banyak pasien memiliki
penyakit jantung koroner yang berat dan
walaupun anemia dalam derajat sedang
dapat disertai dengan miokardial iskemik
dan angina. Terapi anemia pada gagal ginjal
bervariasi dari pengobatan simptomatik
melalui transfusi sel darah merah sampai ke
penyembuhan dengan transplantasi ginjal.
Transfusi
darah
hanya
memberikan
keuntungan sementara dan beresiko
terhadap infeksi (virus hepatitis dan HIV)
dan hemokromatosis sekunder. Peran dari
transfusi sebagai pengobatan anemi primer
pada pasien gagal ginjal terminal telah
berubah saat dialisis dan penelitian
serologic telah menjadi lebih canggih.
Transplantasi ginjal pada banyak kasus,

1.
2.

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1)

harus menunggu dalam waktu yang tidak


tertentu dan tidak setiap pasien dialisis
memenuhi syarat.2,3,12-14
Variasi terapi anemia pada penyakit ginjal
kronik adalah sebagai berukut :
Suplementasi eritropoetin
Pembuangan eritropoesis inhibitor endogen
dan toksin hemolitik endogen dengan terapi
transplantasi ginjal ekstra korporeal atau
peritoneal dialisis.
Pembuangan kelebihan aluminium dengan
deferoxamine
Mengkoreksi hiperparatiroid
Terapi Androgen
Mengurangi iatrogenic blood loss
Suplementasi besi
Suplementasi asam folat
Transfuse darah
Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan
telah tersedia menggunakan recombinant
human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di
demonstrasikan dengan plasma kambing
uremia yang kaya eritropoetin, human
recombinant
eritropoetin
diberikan
intravena kepada pasien hemodialisa,telah
dibuktikan
menyebabkan
peningkatan
eritropoetin
yang
drastis.
Hal
ini
memungkinkan untuk mempertahankan
kadar Hb normal setelah transfusi darah
berakhir pada pasien bilateral nefrektomi
yang membutuhkan transfusi reguler.
Penelitian membuktikan bahwa, saat
sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x
seminggu setelah setiap dialisa, pasien
reguler hemodialisis merespon dengan
peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam
beberapa minggu. Percobaan menunjukkan
bahwa
AB
yang
melawan
materi
rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek
samping utamanya adalah meningkatkan

1.

tekanan darah dan memerlukan dosis


Heparin yang tinggi untuk mencegah
pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial
selama dialisis. Pada beberapa pasien,
trombosis pada pembuluh darah dapat
terlihat. 2,3,12-14
Peningkatan tekanan darah bukan
hanya akibat peningkatan viskositas darah
tetapi juga peningkatan tonus vaskular
perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan
dengan
tingginya
viskositas
darah
bagaimanapun sedikitnya satu kelompok
investigator terlihat peningkatan trombosit.
Penelitian in vitro menunjukkan efek
stimulasi human recombinant eritropoetin
pada diferensiasi murine megakariosit. Lalu
trombositosis
mungkin
mempengaruhi
hiperkoagubilitas.
Konsentrasi
serum
predialisis ureum kreatinin yang meningkat
dan hiperkalemia dapat mengakibatkan
berkurangnya efisiensi dializer karena
tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan
karena peningkatan keadaan umum.
Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi
oleh eritropoetin dapat menimbulkan
defisiensi besi khususnya pada pasien
dengan peningkatan blood loss. Seluruh
observasi ini mengindikasikan bahwa
recombinant human eritropoetin harus
digunakan dengan hati-hati. Hal ini juga
memungkinkan bahwa kebanyakan efek
samping ini dapat diminimalkan jika nilai
Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%. Produksi
recombinant
human
eritropoetin
merupakan manajemen yang utama pada
pasien uremia. 2,3,12-14
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO14
Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa
kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia
sudah disingkirkan. Syarat pemberian
adalah:

a.

Cadangan besi adekwat : feritin serum >


100 mcg/L, saturasi transferin > 20%
b. Tidak ada infeksi yang berat
2. Kontraindikasi:
a. Hipersensitivitas terhadap EPO
b. Keadaan yang perlu diperhatikan pada
terapi EPO, hati-hati pada keadaan:

Hipertensi tidak terkendali

Hiperkoagulasi

Beban cairan berlebih/fluid overload


Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat
yaitu status besi yang cukup. Terdapat
beberapa kriteria pengkajian status besi
pada Gagal ginjal Kronis:
a. Anemia dengan status besi cukup
b. Anemia defisiensi besi:
Anemia defisiensi besi absolut : Feritin
serum < 100 mcg/L
Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin
serum > 100 mcg/L
Saturasi Transferin < 20 %
1.1
Terapi
Eritropoietin
Fase
koreksi2,14
Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai
target Hb/Ht tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000
IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4
minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht
naik 2-4 % dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb, Ht tiap 4 minggu
d. Bila target respon tercapai: pertahankan
dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL)
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan
dosis 50%
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8%
dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status
besi, berikan suplemen sesuai dengan
panduan terapi besi.

a.
b.

a.
-

b.
-

a.
b.
c.
d.
e.
f.

1.2 Terapi EPO fase pemeliharaan2,14


Dilakukan bila target Hb sudah tercapai
(>12 g/dL).
Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu
Pantau Hb dan Ht setiap bulan
Periksa status besi setiap 3 bulan
Bila dengan terapi pemeliharaan Hb
mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup)
maka dosis EPO diturunkan 25%
Pemberian eritropoetin ternyata dapat
menimbulkan efek samping diantaranya:
Hipertensi:
Tekanan darah harus dipantau ketat
terutama selama terapi eritropoetin fase
koreksi
Pasien mungkin membutuhkan terapi
antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi
Peningkatan tekanan darah pada pasien
dengan
terapi
eritropoietin
tidak
berhubungan dengan kadar Hb.
Kejang:
Terutama terjadi pada masa terapi EPO
fase koreksi
Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang
cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol.
Terkadang pemberian EPO menghasilkan
respon yang tidak adekuat. Respon EPO
tidak adekuat bila pasien gagal mencapai
kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki setelah
pemberian EPO selama 4-8 minggu.
Terdapat beberapa penyebab respon EPO
yang tidak adekwat yaitu:
Defisiensi besi absolut dan fungsional
(merupakan penyebab tersering)
Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi,
TBC, SLE, AIDS)
Kehilangan darah kronik
Malnutrisi
Dialisis tidak adekwat
Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT
1 reseptor antagonis)

g.

Lain-lain
(hiperparatiroidisme/osteitis
fibrosa,
intoksikasi
alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan
sickle cell anemia, defisiensi asam folat dan
vitamin B12, multiple mioloma, dan
mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
Agar
pemberian
terapi
Eritropoietin
optimal, perlu diberikan terapi penunjang
yang berupa pemberian14:
a. Asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada
anemia defisiensi besi fungsional yang
mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung
terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi
stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi
intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
Dapat mengurangi kebutuhan EPO
Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati
pada pasien dengan gangguan fungsi hati
Tidak dianjurkan pada wanita
2)

Terapi transplantasi ginjal ekstra


korporeal atau peritoneal dialisis
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra
korporeal dan peritoneal dialisis pada
dasarnya
dapat
juga
mempengaruhi
patogenesis anemia pada gagal ginjal, sejak
prosedur ini dapat membuang toksin yang
menyebabkan hemolisis dan menghambat
eritropoesis. Selain itu, pengalaman klinis
membuktikan bahwa perkembangannya
lebih cepat daripada menggunakan terapi
eritropoetin. Ketidakefektivan pada terapi
pengganti
ginjal
merupakan
akibat
keterbatasan pengetahuan tentang toksin
dan cara terbaik untuk menghilangkannya.
Pendekatan sederhana untuk meningkatkan
terapi detoksifikasi pada uremia dengan
meningkatkan batas atas ukuran molekular

yang dibuang dengan difusi dan atau


transportasi konvektif tidak menghasilkan
hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada
data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi
yang mencakup pembuangan jangkauan
molekuler yang lebih besar dibanding
hemodialisis dengan membaran selulosa
yang kecil, merupakan dua terapi utama
dalam mengkoreksi anemia pada gagal
ginjal. Selain itu continious ambulatory
peritoneal dialysis (CAPD), juga merupakan
terapi dengan pembuangan jangkauan
molekuler yang besar, ini lebih baik
dibandingkan dengan hemodialisis standar
dengan membaran selulosa yang kecil. Hal
ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD
ini hanya karena pembuangan yang lebih
baik dari inhibitor eritropoesis. Beberapa
penelitian
mengindikasikan
CAPD
meningkatkan
produksi
eritropoetin,
mungkin juga diluar ginjal dan karena oleh
itu meningkatkan eritropoesis. Walaupun
mekanismenya belum diketahui.13,14
3)

Pembuangan kelebihan aluminium


dengan deferoxamine
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada
kasus intoksikasi aluminium, terapi dapat
selektif dan efektif efek aluminium yang
memperberat pada anemia dengan gagal
ginjal selalu harus diasumsikan ketika
terjadi anemia mikrositik dengan normal
atau peningkatan feritin serum pada pasien
reguler hemodialisis. Diagnosis ditegakkan
dengan peningkatan nilai aluminium serum,
riwayat terpapar aluminium baik oral
maupun
dialisat,
gejala
intoksikasi
aluminium seperti ensefalopati, penyakit
tulang aluminium, dan
keberhasilan
percobaan terapi. Terapi utama adalah
pemberian chelator deferoxamin (DFO) IV
selama satu sampai dua jam terakhir saat
hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD.
Range dosis 0,5 2,0 gr, 3 kali seminggu.

DFO memobilisasi aluminium sebagai


larutan yang kompleks, dimana kemudian
dibuang dengan terapi dialisis atau prosedur
filtrasi. Efek samping utama adalah
hipotensi , toksisitas okular, komplikasi
neurologi seperti kejang dan mudah terkena
infeksi jamur. Efek samping ini berespons
terhadap pemberhentian terapi sementara
waktu,
pengurangan
dosis
atau
pemberhentian terapi. Efek DFO pada
anemia
dapat
berakibat
drastis
menyebabkan perubahan nilai hemoglobine,
feritin serum, dan konsentrasi aluminium,
MCV, MCH pada pasien dengan ostemalasia
yang berhubungan dengan aluminium. Pada
permulaan terapi pasien mengalami anemia
mikrositik peningkatan nilai aluminium
serum dan feritin. Setelah beberapa bulan
terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada
nilai diatas normal, hemoglobine meningkat
secara signifikan dan feritin serum dan
aluminium menurun.10,14
4)

Mengkoreksi hiperparatiroidisme
Sekunder hiperparatiroid pada anemia
dengan gagal ginjal, paratiroidektomi bukan
merupakan indikasi untuk terapi anemia.
Pengobatan supresi aktivitas kelenjar
paratiroid dengan 1,25- dihidroksi vitamin
D3
biasanya
berhubungan
dengan
10,14
peningkatan anemia.

5)

Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah
digunakan untuk terapi gagal ginjal. Efek
yang positif yaitu meningkatkan produksi
eritropoetin, meningkatkan sensitivitas
polifrasi eritropoetin yang sensitif terhadap
populasi stem cell. Testosteron ester
(testosteron
propionat,
enanthane,
cypionate), derivat 17-metil androstanes
(fluoxymesterone,
oxymetholone,
methyltestosterone), dan komponen 19
norterstosteron
(nandrolone
dekanoat,

nandrolone phenpropionate) telah sukses


digunakan pada terapi anemia dengan gagal
ginjal. Responnya lambat dan efek dari obat
ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi.
Nandrolone dekanoat cukup diberikan
dengan dosis 100-200 mg, 1 x seminggu.
Testosteron ester tidak mahal tetapi harus
dibatasi karena efek sterilitas yang besar.
Komponen 19-nortestosteron memiliki ratio
anabolik: androgenik yang paling tinggi dan
yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme
serta paling aman untuk pasien wanita.
Fluoksimesterone
dapat
menyebabkan
priapismus pada pasien pria. Penyakit
Hepatoseluler
kolestatik
dapat
menyebabkan komplikasi pada penggunaan
zat ini dan lebih sering pada 17 methylated
steroid. Pada keadaan meningkatnya
transaminase darah yang progesif dan
bilirubin serum yang meningkat, terapi
harus dihentikan. Namun, komponen 17methylated steroid ini memiliki ratio
anabolik/ androgen yang baik dan dapat
diberikan secara oral. Terapi dengan
androgen dapat menimbulkan gejala
prostatisme atau pertumbuhan yang cepat
dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara
seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah
efek samping lainnya pada terapi ini.2,3,10,14
6)

7)

Mengurangi iatrogenic blood loss


Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada
penyakit ginjal terminal juga termasuk
pencegahan dan koreksi terhadap faktor
iatrogenik yang memperberat. Kehilangan
darah ke sirkulasi darah ekstrakorporeal dan
dari pengambilan yang berlebihan haruslah
dalam kadar yang sekecil mungkin.10,14
Suplementasi besi
Penggunaan
pengikat
fosfat
dapat
mempengaruhi absorpsi besi pada usus.
Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan
determinasi ferritin serum satu atau dua kali

pertahun merupakan indikasi. Absorpsi besi


usus tidak dipengaruhi oleh uremia,
suplementasi besi oral lebih dipilih ketika
terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal
untuk
memperbaiki
defisiensi
besi,
penggantian besi secara parenteral harus
dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron
dextran atau interferon. Terapi IV lebih
aman dan nyaman dibanding injeksi intra
muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi
pada 1% pasien yang menerima terapi besi
parenteral. Untuk mengurangi kejadian
komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus
di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis
kecil dari total dosis. Jumlah yang
diperlukan untuk replinish penyimpanan
besi dapat diberikan dengan dosis terbagi
yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap
harinya atau dosis tunggal dicampur dengan
normal saline diberikan 5% iron dextran dan
diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.3,14
Terapi besi fase pemeliharaan3,10,14:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan
besi untuk eritropoiesis selama terapi EPO
b. Target terapi:
Feritin serum > 100 mcg/L < 500 mcg/L,
Saturasi transferin > 20 % < 40 %
c. Dosis

IV :

iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu


iron dextran : IV : 50 mg/minggu
iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari
Status besi diperiksa setiap 3 bulan
Bila status besi dalam batas target yang

dikehendaki lanjutkan terapi besi dosis


pemeliharaan.
Bila feritin serum > 500 mcg/L atau

saturasi transferin > 40%, suplementasi besi


distop selama 3 bulan.
Bila pemeriksaan setelah 3 bulan feritin
serum < 500 mcg/L dan saturasi transferun

< 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan


dengan dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
8)

Suplementasi asam folat


Asam folat hilang masuk ke dialisat dari
darah. Oleh karena itu, defisiensi asam folat
dan anemia makrositik dapat terjadi pada
pasien dengan asupan protein yang rendah
sejak diet dari pasien dialisis reguler yaitu
bebas dan biasanya mengandung asam folat
yang cukup, defisiensi asam folat dan
kebutuhan untuk suplementasi asam folat
oral tidak diperlukan. Akhirnya, dokter
harus lebih hati-hati dalam terapi darah
ekstrakorporeal yang membawa resiko
potensial yang didominasi oleh darah yang
terkontaminasi dan kompartemen dialisat
seperti logam dan kimia, yang dapat
menyebabkan kerusakkan sel darah merah
dan hemolisis.3,10,14

9)

Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada
keadaan khusus. Indikasi transfusi darah
adalah:
Perdarahan akut dengan gejala gangguan
hemodinamik
Tidak memungkinkan penggunaan EPO
dan Hb < 7 g /dL
Hb < 8 g/dL dengan gangguan
hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan
diprogram terapi EPO ataupun yang telah
mendapat EPO tetapi respon belum
adekuat, sementara preparat besi IV/IM
belum tersedia, dapat diberikan transfusi
darah dengan hati-hati.
Target
pencapaian
Hb
dengan
transfusi darah adalah: 7-9 g/dL (tidak sama
dengan target Hb pada terapi EPO).
Transfusi diberikan secara bertahap untuk
menghindari
bahaya
overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia.
Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian

transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL


berhubungan
dengan
peningkatan
mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat,
walaupun pada pasien dengan penyakut
jantung. Pada kelompok pasien yang
direncakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfusi darah sedapat mungkin
dihindari. Transfusi darah memiliki resiko
penularan Hepatitis virus B dan C, infeksi
HIV serta potensi terjadinya reaksi
transfusi.10,14
G. Resistensi ESA
Resistensi terhadap ESA bisa disebabkan
oleh terjadinya peningkatan aktivitas sel T
dan monisit, dan juga bersamaan dengan
terjadinya
produksi
sitokin-sitokin
proinflamasi di sumsum tulang. Sitokinsitokin ini dapat bereaksi secara lokal untuk
melawan kerja dari ESA pada tingkat
seluler, sehingga menyebabkan terjadinya
resistensi terhadap terapi ESA.
Peningkatan produksi sitokin pro
inflamasi oleh sel T yang teraktivasi dapat
menyebabkan respon yang rendah pada
ESA. Probabilitas yang rendah terhadap
respon awal ini dapat menjadi peringatan
terhadap klinisi untuk segera mengkoreksi
kegagalan terapi. Strategi yang potensial
terhadap terapi masa depan adalah
penggunaan terapi anti sitokin adjuvan yang
spesifik.10,14

Você também pode gostar