Você está na página 1de 15

AUDIT EXPECTATION GAP: PERBEDAAN PERSEPSI DALAM

TANGGUNG JAWAB, KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR,


SERTA PELAPORAN AUDIT

Made Winda Senitasari


Jurusan Akuntansi Program S1
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pendidikan Ganesha

ABSTRACT
The main purpose of this article was to identify the presence of audit expectation
gap caused by different perception between the user and the auditor. Difference in
perception covers responsibility, competence and independence of the auditor;
and audit reporting. Audit expectation gap refers to discrepancy between the
expectation of user and the work of the auditor. Most studies show that users had
higher expectation than the auditor in terms of responsibility, competence and
independence of the auditor; and audit reporting. These results indicate the
presence of audit expectation gap. Different results was shown in some studies in
the public sector organizations; Where audit expectation gap in terms of
responsibility, independence, and audit reporting was absent due to user
understanding of the issues and usage of value-for-money system in government
organization.
Keywords: audit expectation gap, responsibility, independence, competence,
audit reporting
ABSTRAK
Tujuan utama dari artikel ini adalah untuk mengidentifikasi adanya audit
expectation gap yang disebabkan oleh perbedaan persepsi antara pengguna
laporan keuangan dan auditor. Perbedaan persepsi tersebut mencakup isu-isu
tanggung jawab auditor, kompetensi dan independensi auditor, serta pelaporan
audit. Audit expectation gap mengacu pada kesenjangan yang terjadi antara
harapan masyarakat/pengguna laporan keuangan dengan apa yang sesungguhnya
dilaksanakan oleh auditor. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa
masyarakat/pengguna laporan keuangan memiliki harapan yang lebih tinggi dari
apa yang dilakukan auditor dalam hal tanggung jawab, kompetensi dan
independensi auditor, serta pelaporan audit. Hal tersebut mengindikasikan
terjadinya audit expectation gap. Hasil penelitian audit expectation gap pada
beberapa organisasi sektor publik menunjukkan hasil yang berbeda. Dimana tidak
terdapat audit expectation gap dalam isu tanggung jawab, independensi auditor
dan pelaporan audit, yang disebabkan oleh faktor pemahaman pengguna laporan
keuangan mengenai isu-isu tersebut serta diterapkannya value for money dalam
organisasi pemerintah.
Kata Kunci: audit expectation gap, tanggung jawab, independensi,
kompetensi, pelaporan audit
1

I. PENDAHULUAN
Akuntan publik dijelaskan oleh Ramdhani (2012) sebagai seorang praktisi
dan gelar professional yang diberikan kepada akuntan di Indonesia yang telah
mendapatkan izin dari Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk memberikan
jasa audit umum dan review atas Laporan Keuangan, audit kinerja dan audit
khusus serta jasa dalam bidang non-atestasi lainnya seperti jasa konsultasi, jasa
kompilasi, dan jasa-jasa lainnya yang berhubungan dengan akuntansi dan
keuangan.
Profesi akuntan publik akhir-akhir ini menunjukkan perkembangannya. Hal
ini disebabkan makin meningkatnya kesadaran masyarakat usaha akan pentingnya
jasa akuntan dan semakin tumbuhnya usaha-usaha swata. Hal ini seperti
dikemukakan oleh Hartadi (1987:6) bahwa perkembangan profesi akuntan saat ini
juga didorong oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah. Dimana perusahaan
yang akan mengadakan emisi (go public) di pasar modal harus memiliki laporan
keuangan yang telah diperiksa oleh akuntan publik dua tahun terakhir berturt-turut
dengan pendapat wajar.
Pemeriksaan laporan keuangan dilakukan oleh Akuntan Publik Bersertifikat
(Certified Public Accountant), seperti diatur oleh Menteri Keuangan. Akuntan
Publik bersertifikat ialah seseorang yang telah memenuhi persyaratan, termasuk
lulus ujian CPA, yang memikul tanggung jawab utama untuk melakukan fungsi
audit atas laporan keuangan historis yang diterbitkan entitas-entitas keuangan
yang bersifat komersial maupun nonkomersial (Elder et al., 2011:22).
Secara umum, pemeriksaan atau auditing merupakan proses investigasi
independen terhadap beberapa aktivitas khusus. Pengujian atas laporan keuangan
oleh auditor independen bertujuan untuk menyatakan suatu opini yang jujur
mengenai posisi keuangan, hasil operasi, dan arus kas yang disesuaikam dengan
prinsip yang berlaku umum (Bastian, 2011).
Tidak terbatas pada perusahaan swasta, akuntan publik juga berperan
penting dalam pelaksanaan pertanggungjawaban keuangan organisasi sektor
publik. Audit sektor publik disebut sebagai suatu mekanisme yang dapat
menggerakkan makna akuntabilitas dalam pengelolaan sektor pemerintahan,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau instansi pengelola asset Negara, serta

organisasi sektor publik lainnya seperti Yayasan, LSM, dan Partai Politik
(Bastian, 2010).
Winarna dan Suparno (2003) menjelaskan bahwa kasus-kasus tuntutan
terhadap auditor yang sampai ke meja hijau semakin meningkat. Kalaupun tidak
sampai ke pengadilan, maka masyarakat memberi penilaian terhadap auditor,
bahwa auditor tidak mampu melaksanakan tugasnya dan tidak dapat diharapkan
untuk membantu publik. Kasus-kasus tersebut telah banyak terjadi di luar negeri
dan juga banyak terjadi di Indonesia, seperti kasus beberapa likuidasi bank pada
awal pertengahan krisis ekonomi di Indonesia, kasus kejanggalan audit tender di
BPPN, kasus pemilihan calon pembeli pada beberapa kali privatisasi BUMN, dan
terakhir adalah kasus kebarngkrutan Enron.
Kasus-kasus tersebut merupakan wujud fenomena audit expextation gap.
Expectation gap didefinisikan sebagai perbedaan Antara harapan pengguna atas
pendeteksian kecurangan dan kesediaan auditor dalam menerima tanggung jawab
untuk mendeteksi kecurangan (Gramling et al., 2012:486). Menurut Han (2002)
dalam (Yuliati, et al., 2007) Expectation gap terjadi ketika ada perbedaan antara
apa yang masyarakat atau pemakai laporan keuangan harapkan dari auditor dan
apa yang sebenarnya dilakukan oleh auditor. Menurut Lowers et al (2008:69)
perbedaan pandangan antara auditor dan pengguna merupakan salah satu
fenomena audit expectation gap yang terjadi terus menerus.
Fenomena expectation gap jika mengacu pada Guy & Sullivan (1988) dalam
Mirdah (2007) fokus pada adanya perbedaan persepsi mengenai tanggung jawab
yang diyakini oleh auditor dengan yang diyakini oleh pengguna laporan keuangan,
karena itu perlu pula kajian tertentu yang ditekankan pada pemahaman tentang
tanggung jawab itu sendiri. Dalam Thoha (2012:141) Persepsi merupakan proses
kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang
lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan,
maupun penciuman. Adanya audit expectation gap sangat genting dalam profesi
audit karena semakin besar harapan yang tak terpenuhi dari masyarakat, semakin
rendah kredibilitas, potensi penghasilan dan prestise yang terkait dengan
pekerjaan auditor (Lee et al., 2009) dalam (Fowzia, 2010)

II. PEMBAHASAN
2.1 Audit Expectation Gap dalam Isu Tanggung Jawab Auditor
Auditor memiliki tanggung jawab untuk memberikan suatu peringatan
kepada para pengguna tentang apakah laporan keuangan telah disajikan secara
tepat atau tidak. Jika auditor meyakini bahwa laporan keuangan tidak disajikan
secara wajar atau tidak mampu memperoleh suatu kesimpulan karena tidak dapat
memperoleh bukti audit yang cukup atau karena berbagai kondisi yang tidak
terpenuhi, maka auditor memiliki tanggung jawab untuk memberikan peringatan
kepada para pengguna laporan keuangan melalui laporan auditnya (Arens et al.,
2003: 200).
Badan Pemeriksa Keuangan sebagai auditor sektor publik bertugas dalam
melakukan audit atau pemeriksaan terhadap organisasi-organisasi sektor publik
mengenai kewajaran keuangan maupun kinerja organisasi. Menurut Bastian
(2014:26), auditor sektor publik bertanggung jawab untuk merencanakan dan
melaksanakan audit untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah
laporan keuangan organisasi bebas dari salah saji material baik yang disebabkan
oleh kekeliruan atau kecurangan.
Alhaq (2013) melakukan penelitian mengenai tanggung jawab auditor dalam
persepsi pengguna laporan keuangan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
dan auditor BKM. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan persepsi antara auditor Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM)
dengan pemakai laporan BKM dalam hal peran dan tanggung jawab auditor.
Perbedaan persepsi dalam hal tanggung jawab auditor juga ditemukan dalam
penelitian Djamil (2008). Perbedaan persepsi tersebut khususnya terjadi antara
auditor dengan bankir, auditor dengan manajemen, serta auditor dengan investor.
Djamil menyebutkan bahwa adanya perbedaan persepsi yang signifikan dalam hal
tanggung jawab auditor merupakan salah satu penyebab adanya kesenjangan
harapan audit atau audit expectation gap.
Di Ghana, audit expectation gap yang disebabkan oleh perbedaan persepsi
auditor dengan pengguna laporan keuangan ditemukan mengenai tanggung jawab
auditor. Penelitian terhadap hal tersebut dilakukan oleh Agyei et al. (2013) yang

menemukan adanya perbedaan persepsi antara auditor dengan pengguna laporan


keuangan.
Berdasarkan penelitian Agyei, tanggung jawab auditor terhadap deteksi
penipuan dalam laporan keuangan melihat 45% auditor tidak setuju dengan
pernyataan itu dan 45% juga menyetujui pernyataan itu. Oleh karena itu hal ini
menunjukkan bahwa di antara auditor, tidak jelas apakah auditor tahu pasti bahwa
itu bukan tujuan utama mereka untuk mendeteksi kecurangan dalam laporan
keuangan. Di sisi lain, dalam kaitannya dengan pialang saham, jelas bahwa
mereka percaya auditor bertanggung jawab untuk mendeteksi semua penipuan
dalam laporan keuangan yang disetujui oleh 65% dari pialang saham. Hal ini
menunjukkan bahwa ada kesenjangan harapan dalam kaitannya dengan deteksi
kecurangan oleh auditor.
Selain itu, ditemukan bahwa 45% dari auditor tidak setuju bahwa auditor
bertanggung jawab untuk kesehatan struktur pengendalian intern entitas sebagai
terhadap 50% yang setuju. Ini berarti bahwa auditor percaya bahwa mereka
bertanggung jawab atas kesehatan struktur pengendalian internal entitas mereka
mengaudit. Sehubungan dengan pialang saham, itu adalah respon split 35% setuju
bahwa auditor bertanggung jawab untuk kesehatan struktur pengendalian intern
sesekali lain 35% tidak setuju. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terdapat
kesenjangan antara harapan auditor.
Dalam penelitian yang dilakukan Ramdhani (2012), terdapat persepsi yang
hampir sama antar responden mengenai peran auditor yang dijalankan cukup
sesuai standar akuntansi keuangan, konsisten dengan praktek akuntansi yang
berlaku, tidak melakukan sengaja penyimpangan material, tidak melakukan
sengaja kesalahan material, mengetahui semua kecurangan material yang dapat
dideteksi, mampu mengenali sistem pengendalian internal perusahaan klien
berjalan baik, mampu mengenali kelangsungan masa depan perusahaan klien,
mampu mengenali perusahaan klien berjalan efisien, dan semua tindakan salah
klien telah dikonfirmasikan secara signifikan terhadap lembaga berwenang.
Dalam audit sektor publik, penelitian Yuliati (2007) membuktikan bahwa
terdapat expectation gap antara pemakai laporan keuangan pemerintah dan auditor
pemerintah terhadap peran dan tanggung jawab auditor pemerintah. Akan tetapi

hal yang menarik adalah hasil penelitiannya menunjukkan mean auditor


pemerintah lebih besar dibandingkan dengan mean pengguna laporan keuangan.
Jadi persepsi auditor tentang peran dan tanggung jawab auditor pemerintah lebih
baik dibandingkan dengan pengguna laporan keuangan pemerintah (dalam hal ini
adalah BPKD dan anggota Komisi C dan Panitia Anggaran DPRD). Hal ini
berbeda dengan expectation gap yang terjadi di sektor swasta di mana harapan
pengguna laporan keuangan lebih besar dibandingkan dengan auditor (Pany 1993,
Noviningtyas 2002). Argumentasi yang bisa diajukan terkait dengan persepsi
auditor pemerintah yang lebih baik dibandingkan dengan pengguna laporan
keuangan pemerintahan adalah faktor pengalaman dan pengetahuan. Pegawai
BPKD telah bekerja dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 11 tahun) sehingga
mereka lebih memahami peran dan tanggung jawab auditor pemerintah. Selain itu
sampel penelitian yang berasal dari DPRD tidak ada yang mempunyai latar
belakang akuntansi dan mereka rata-rata mempunyai pengalaman antara 1 sampai
5 tahun, sehingga pemahaman mereka tentang peran dan tanggung jawab auditor
terbatas. Di lain pihak, auditor BPK mempunyai pengalaman dan memperoleh
pendidikan yang memadai di bidang audit sehingga mereka mempunyai
pengetahuan yang memadai. Dengan kombinasi ini maka dapat dimungkinkan
persepsi auditor BPK lebih baik dibandingkan dengan pengguna laporan
keuangan.
Hasil

pengujian

penelitian Yuliati

terhadap

masing-masing faktor

menunjukkan tidak ada perbedaan ekspektasi antara auditor pemerintah dan


pengguna laporan keuangan pemerintah dalam hal: (1) mendeteksi dan
melaporkan kecurangan dan (2) tanggung jawab mempertahankan sikap
independensi. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan persepsi antara auditor
pemerintah dan pengguna laporan keuangan. Hal ini berlawanan dengan
penelitian yang dilakukan Alhaq, Djamil dan Agyei et al, yang menemukan
bahwa terdapat audit expectation gap antara auditor dan pengguna laporan
keuangan. Hasil ini juga menunjukkan hal yang menarik yaitu pihak pengguna
dan auditor pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam hal peran dan
tanggung jawab auditor untuk mendeteksi dan melaporkan kecurangan, mengingat
audit di sektor publik juga dituntut untuk melakukan value for money audit.

Kedua responden sama-sama mempunyai harapan yang sama dalam hal peran
auditor sektor pemerintah untuk mendeteksi dan melaporkan keurangan dan
menjaga independensi.
Pengujian terhadap masing-masing faktor penelitian tersebut juga
menunjukkan expectation gap terjadi pada faktor: (1) tanggung jawab
mengkomunikasikan hasil audit dan (2) tanggung jawab memperbaiki keefektifan
audit. Rata-rata auditor pemerintah pada kedua faktor tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan pengguna laporan keuangan pemerintah. Dengan kata lain
auditor pemerintah mempunyai persepsi yang lebih baik dibandingkan dengan
pengguna laporan keuangan dalam rangka melaporkan dan mengkomunikasikan
hasil audit.
Hasil-hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Louwers et al. (2008:589) bahwa pengguna laporan keuangan mengharapkan
auditor untuk mendeteksi dan melaporkan kecurangan, pencurian, aksi illegal,
meski kenyataannya audit dalam Generally Accepted Auditing Standards tidak
bisa diharapkan untuk mengidentifikasi semua sifat-sifat tersebut. Harapan
beberapa pengguna laporan keuangan cenderung lebih tinggi untuk alasan ini,
expectation gap sering terdapat antara ketentuan yang diharapkan pengguna
dengan ketentuan yang dapat diberikan auditor. Namun tampaknya hal yang
berlawanan bisa saja terjadi, dimana persepsi auditor tentang peran dan tanggung
jawab auditor pemerintah lebih baik dibandingkan dengan pengguna laporan
keuangan pemerintah. Di samping itu, tidak ditemukannya perbedaan persepsi
antara auditor dengan pengguna laporan keuangan dalam hal tanggung jawab
auditor

mengindikasikan

bahwa

pengguna

laporan

keuangan

memiliki

pengetahuan yang cukup dalam memahami tanggung jawab auditor.

2.2 Audit Expectation Gap dalam Isu Kompetensi dan Independensi


Menurut Ramdhani (2012) isu kompetensi dan independensi auditor adalah
segala isu yang berkaitan dengan keyakinan akan adanya pengetahuan dan
ketrampilan khusus yang dimiliki oleh auditor yang mendukung tugas-tugas atau
jasa-jasanya, serta suatu cara pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan
pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit. Isu

kompetensi meliputi kemampuan yang meliputi memberikan pendapat melalui


bahasa lisan maupun tertulis, berinteraksi dengan beragam orang, berpikir secara
sistematis

dan

kronologis,

memimpin

dan

mengorganisasi

orang lain;

pengetahuan yang baik dalam hal tanggung jawab profesional, standar profesional
akuntan publik, praktek jasa atestasi, standar akuntansi keuangan, analisis laporan
keuangan; tanggung jawab moral; bersikap sesuai persistensi/kemauan diri; serta
ketrampilan yang memadai dalam hal keahlian teknik bidang akuntansi, dan
bidang pemeriksaan.
Sedangkan isu independensi meliputi dapat diintervensi oleh klien, seperti
auditor memberikan pendapat sesuai keinginan klien, klien ikut campur tangan
dalam penyusunan program-program pemeriksaan, klien membatasi ruang
lingkung pemeriksaan akuntan publik; tanggung jawab auditor yang meliputi
tanggung jawab profesi, mengetahui tanggung jawab hukum atas profesinya,
mengutamakan kepentingan umum, tidak menjadi pengurus dari perusahaan klien,
tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan perusahaan klien, pemilik
perusahaan yang diaudit, tidak memiliki piutang dengan perusahaan klien, tidak
mengaudit perusahaan sahabat, dan tidak menerima fee di luar kontrak yang sudah
disepakati, serta nilai fee dari auditor yang ditetapkan berdasarkan manfaat yang
akan atau telah diterima oleh klien.
Menurut Elder (2011) independensi dalam audit berarti mengambil sudut
pandang yang tidak bias dalam melakukan pengujian audit, evaluasi atas hasil
pengujian dan penerbitan audit. Auditor tidak hanya diharuskan menjaga sikap
mental independen dalam melaksanakan tanggung jawabnya, tetapi juga penting
bagi pengguna laporan keuangan untuk memiliki kepercayaan terhadap
independensi auditor. Kedua unsur independensi ini sering disebut sebagai
independen dalam penampilan dan independen dalam fakta. Kenyataan dalam
lapangan menunjukkan bahwa pengguna laporan keuangan sering kali memiliki
pandangan berbeda mengenai independensi auditor dalam melaksanakan tugas
auditnya.
Dalam penelitian mengenai persepsi pemakai laporan keuangan dan auditor
mengenai expectation gap, Ramdhani (2012) menemukan perbedaan persepsi
antara Staff Perbankan, auditor, akuntan pendidik, dan mahasiswa akuntansi

terhadap expectation gap dalam isu kompetensi dan independensi secara sangat
signifikan. Auditor memiliki persepsi yang lebih positif mengenai isu kompetensi
dan independensi, dibandingkan oleh pemakai laporan keuangan yang antara lain
disebabkan faktor pendidikan dan pengalaman.
Penelitian yang dilakukan oleh Suhardi (2012) mengenai persepsi pemakai
laporan keuangan pemerintah daerah terhadap independensi auditor pemerintah
dengan menginvestigasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi independensi
penampilan auditor BPK. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah lamanya
penugasan audit, biaya pemeriksaan, hubungan kekeluargaan, akses terhadap
informasi tanpa hambatan, adanya kecenderungan untuk memihak, karena
keyakinan politik atau sosial, serta kebebasan menentukan sendiri materi laporan
dan waktu melaporkan serta kebebasan menerbitkan dan menyebarluaskan
laporan-laporan pemeriksaan.
a. Lamanya penugasan audit
Rotasi terhadap auditor perlu dilakukan BPK secara berkala, lamanya
penugasan audit berpengaruh terhadap independensi auditor BPK.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, pemakai laporan keuangan
mempersepsikan bahwa lamanya penugasan audit lebih dari lima tahun akan
berpengaruh atau dapat merusak independensi penampilan auditor BPK.
Sedangkan lamanya penugasan audit kurang yang kurang dari lima tahun
tidak berpengaruh terhadap independensi auditor BPK.
b. Independensi dalam Biaya Pemeriksaan
Alokasi anggaran yang minim dan berada di tangan pemerintah dan
DPR menjadi salah satu penghambat independensi BPK. Pada masa orde
baru, sebagian biaya pemeriksaan bersumber dari pihak yang diaudit.
Namun setelah reformasi, anggaran pemeriksaan BPK dialokasikan
langsung dari APBN.
Pemakai informasi keuangan mempersepsikan bahwa Anggaran BPK
yang bersumber dari APBN tidak akan merusak independensi auditor BPK.
Reposisi anggaran ini berpengaruh baik terhadap aspek independensi BPK,
walaupun sebenarnya anggaran tersebut masih relatif minim bila
dibandingkan dengan lingkup pemeriksaan yang cukup luas.

c. Terbatasnya Waktu Penugasan dan Sumberdaya yang disediakan Bagi


Auditor BPK
Pemenuhan terhadap fasilitas yang maksimal guna mendukung auditor
BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan penting diperhatikan.
Tersedianya fasilitas yang baik diharapkan dapat meningkatkan kinerja
auditor BPK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakai informasi
keuangan mempersepsikan keterbatasan sumber daya yang disediakan bagi
auditor BPK akan merusak independensi auditor BPK. Sedangkan, sebagian
besar pemakai laporan keuangan menyatakan bahwa keterbatasan waktu
yang tersedia untuk menyelesaikan penugasan audit akan merusak
independensi auditor BPK, hanya kelompok akademisi yang berpendapat
berbeda.
d. Hubungan Kekeluargaan
Pemakai laporan keuangan menyatakan bahwa memiliki hubungan
pertalian darah atau semenda dengan jajaran manajemen entitas akan
merusak independensi auditor BPK. Pemakai laporan keuangan mempunyai
pendapat bahwa faktor Pernah bekerja atau memberikan jasa kepada entitas
atau program yang diperiksa berpengaruh terhadap independensi BPK,
kecuali kelompok pemda.
Kelompok Anggota DPRD dan Akademisi menyatakan bahwa faktor
ini dapat merusak independensi Auditor BPK, sedangkan kelompok
Pemda/PNS 50% menyatakan bahwa faktor ini dapat merusak independensi
auditor BPK, sedangkan 50% lagi berpendapat faktor ini tidak akan merusak
independensi auditor BPK, pendapat yang agak berbeda dinyatakan oleh
masyarakat umum, menurut kelompok ini 70% menyatakan faktor ini tidak
merusak indepedensi auditor BPK, sedangkan 30% menyatakan faktor ini
akan merusak independensi auditor BPK.
Analisis terhadap setiap kelompok responden menunjukkan bahwa
semua pemakai laporan keuangan mempunyai pendapat yang sama bahwa
faktor memiliki kepentingan keuangan baik secara langsung atau tidak
langsung pada program atau entitas yang diperiksa merusak independensi.

10

Namun, proporsi perbedaan dalam kelompok agak variatif, Anggota


DPRD 100% menyatakan faktor ini dapat merusak indepedensi auditor
BPK, sedangkan kelompok Akademisi 94% menyatakan bahwa faktor ini
merusak independensi Auditor BPK, dan hanya 6% yang menyatakan faktor
ini tidak merusak independensi auditor BPK, sedangkan kelompok
Pemda/PNS 57% menyatakan bahwa faktor ini dapat merusak independensi
auditor BPK, sedangkan 43% lagi berpendapat faktor ini tidak akan merusak
independensi auditor BPK, pendapat yang agak berbeda dinyatakan oleh
masyarakat umum, menurut kelompok ini 33% menyatakan faktor ini tidak
merusak indepedensi auditor BPK, sedangkan 67% menyatakan faktor ini
akan merusak independensi auditor BPK.
e. Adanya kecenderungan untuk memihak, karena keyakinan politik atau
sosial
Pemakai laporan keuangan menyatakan bahwa Adanya kecenderungan
untuk memihak, karena keyakinan politik atau sosial akan merusak
independensi auditor BPK.
f. Akses terhadap informasi tanpa hambatan
Pemakai laporan keuangan menyatakan bahwa campur tangan atau
pengaruh pihak eksternal yang membatasi atau mengubah lingkup
pemeriksaan secara tidak semestinya dapat memengaruhi independensi
auditor BPK. Pemakai laporan keuangan menyatakan bahwa Campur tangan
pihak ekstern terhadap pemilihan dan penerapan prosedur pemeriksaan atau
pemilihan sampel pemeriksaan dapat memengaruhi independensi auditor
BPK.
g. Kebebasan menentukan sendiri materi laporan dan waktu melaporkan serta
kebebasan menerbitkan dan menyebarluaskan laporan-laporan pemeriksaan
Pemakai laporan keuangan menyatakan bahwa wewenang untuk
menolak atau memengaruhi pertimbangan pemeriksa terhadap isi suatu
laporan hasil pemeriksaan dapat memengaruhi independensi auditor BPK.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Adanya ancaman penggantian
petugas pemeriksa

atas

ketidaksetujuan dengan isi

laporan hasil

11

pemeriksaan, simpulan pemeriksa, atau penerapan suatu prinsip akuntansi


atau kriteria lainnya dapat memengaruhi independensi auditor BPK.
Penelitian yang dilakukan Jeremy (2013) menunjukkan adanya perbedaan
persepsi yang signifikan antara para auditor Inspektorat dan para kepala SKPD /
kepala dinas atas kompetensi auditor oleh para auditor inspektorat dengan
persepsi oleh para kepala SKPD / kepala dinas. Kesenjangan harapan audit dari
sisi kompetensi audit terjadi jika persepsi para auditor Inspektorat terhadap
kualitas pelaporan auditnya lebih baik daripada persepsi para kepala SKPD.
Dalam hasil penelitian ini angka mean respon dari para kepala SKPD lebih kecil
dari mean respon para auditor Inspektorat, yang berarti persepsi para kepala
SKPD terhadap kualitas kompetensi audit Inspektorat lebih baik daripada persepsi
para auditor Inspektorat sendiri. Jika persepsi para kepala SKPD terhadap kualitas
kompetensi audit lebih baik daripada persepsi para auditor Inspektorat, maka tidak
terjadi kesenjangan harapan di antara kedua pihak dari sisi kompetensi audit.
Dengan demikian terdapat kesenjangan harapan audit atau audit expectation gap
antara auditor inspektorat dan kepala SKPD / kepala dinas dari sisi kompetensi
auditor.
Dari penelitian yang dilakukannya, Jeremy menjelaskan tidak ada perbedaan
persepsi yang signifikan antara para auditor Inspektorat dan para kepala SKPD
atas independensi auditor. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat kesenjangan
harapan audit atau audit expectation gap antara para auditor inspektorat dan para
kepala SKPD / kepala dinas dari sisi independensi auditor.
Bertolak belakang dengan Jeremy, Rusliyawati (2009) dengan penelitiannya
mengenai

penginvestigasian

audit

expectation

gap

pada sektor publik

menjelaskan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara auditor


BPK dan pengguna laporan keuangan daerah yang diwakili oleh anggota DPRD,
pemda dan masyarakat berkaitan dengan dimensi kompetensi auditor. Hasil ini
memberikan bukti bahwa terdapat audit expectation gap antara auditor BPK dan
pengguna laporan keuangan daerah berkaitan dengan dimensi kompetensi auditor.
Ruslyawati juga menemukan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan antara auditor BPK dan pengguna laporan keuangan daerah yang
diwakili oleh anggota DPRD, pemda dan masyarakat berkaitan dengan dimensi

12

independensi auditor. Hasil ini memberikan bukti bahwa terdapat audit


expectation gap antara auditor BPK dan pengguna laporan keuangan daerah
berkaitan dengan dimensi independensi auditor.
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa fenomena audit
expectation gap tidak sepenuhnya ditemukan dalam isu independensi dan
kompetensi auditor. Tidak ditemukannya kesenjangan antara pengguna laporan
keuangan dengan auditor mengenai independensi auditor bisa disebabkan karena
pengguna laporan keuangan memiliki ekspektasi bahwa auditor tidak bias dalam
melaksanakan tugasnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Elder (2011) bahwa jika
pengguna laporan keuangan bersedia mengandalkan laporan audit eksternal
terhadap kewajaran laporan keuangan, menandakan ekspektasi mereka atas sudut
pandang yang tidak bias dari auditor. Sedangkan adanya kesenjangan harapan
antara pengguna laporan keuangan dengan auditor disebabkan oleh faktor
pendidikan dan pengalaman. Dimana pendidikan dan pengalaman yang sudah
ditempuh auditor akan menyebabkan auditor memiliki perseps yang lebih tinggi
mengenai kompetensi dan independensinya ketimbang persepsi yang dimiliki
pengguna laporan keuangan.

2.3 Audit Expectation Gap dalam Isu Pelaporan Audit


Tahap akhir dari pelaksanaan audit adalah tahap pelaporan dari berbagai
temuan. Laporan merupakan hal yang sangat penting dalam audit dan assurance
karena menjadi sarana komunikasi bagi para auditor atas temuan mereka.
Pengguna laporan keuangan bergantung pada laporan auditor untuk mendapatkan
keyakinan atas laporan keuangan perusahaan. (Elder et al., 2011: 370)
Pelaporan audit kontemporer, seperti halnya dengan jenis pelaporanpelaporan lainnya, merupakan suatu alat komunikasi yang esensial. Melalui
pelaporan audit ini, auditor menyampaikan dalam bentuk ringkasan suatu
pertimbangan atau pendapat yang merepresentasikan laporan keuangan klien.
Tugas auditor adalah menjelaskan dan meringkas suatu subjek teknis kepada
berbagai pihak yang berkepentingan (Indra Bastian, 2007:186)
Penelitian yang dilakukan Jeremy (2013) menemukan bahwa ada perbedaan
yang signifikan dari persepsi atas pelaporan audit oleh Inspektorat dengan pesepsi

13

para kepala SKPD. Kesenjangan harapan audit dari sisi pelaporan audit terjadi
jika persepsi para auditor Inspektorat terhadap kualitas pelaporan auditnya lebih
baik daripada persepsi para kepala SKPD. Dalam hasil penelitian ini angka mean
respon dari para kepala SKPD lebih kecil dari mean respon para auditor
Inspektorat, yang berarti persepsi para kepala SKPD terhadap kualitas pelaporan
audit Inspektorat lebih baik daripada persepsi para auditor Inspektorat sendiri. Jika
persepsi para kepala SKPD terhadap kualitas pelaporan audit lebih baik daripada
persepsi para auditor Inspektorat, maka tidak terjadi kesenjangan harapan di
antara kedua pihak dari sisi pelaporan audit. Dengan demikian tidak terdapat
kesenjangan audit atau audit expectation gap antara auditor Inspektorat dan
kepala SKPD / kepala dinas dari sisi pelaporan.
Ruslyawati (2009) menyatakan hasil penelitiannya bahwa terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan antara auditor BPK dan pengguna laporan
keuangan daerah yang diwakili oleh anggota DPRD, pemda dan masyarakat
berkaitan dengan dimensi pelaporan. Hasil ini memberikan bukti bahwa terdapat
audit expectation gap antara auditor BPK dan pengguna laporan keuangan daerah
berkaitan dengan pelaporan hasil audit.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut, terdapat kemungkinan terjadinya
audit expectation gap pada sektor publik dilihat dari sisi pelaporan audit.
Kesenjangan harapan umunya terjadi karena pengguna laporan keuangan
memiliki persepsi yang rendah terhadap pelaporan audit yang diterbitkan auditor.

III. KESIMPULAN
Fenomena audit expectation gap pada umumnya terjadi akibat perbedaan
persepsi antara pengguna laporan keuangan dengan auditor. Harapan beberapa
pengguna laporan keuangan auditor cenderung lebih tinggi, untuk alasan ini
expectation gap sering terdapat antara ketentuan yang diharapkan pengguna
dengan ketentuan yang dapat diberikan auditor. Audit expectation gap dapat
terjadi pada audit atas organisasi sektor swasta maupun sektor publik.
Kesenjangan harapan cenderung terjadi pada audit atas laporan keuangan sektor
swasta. Dimana audit expectation gap pada sektor publik dapat tidak terjadi

14

karena faktor pendidikan dan pemahaman mengenai audit yang dimiliki oleh
pengguna laporan keuangan sektor publik.

15

Você também pode gostar