Você está na página 1de 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari
biasanya. Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap
lingkungan yang tidak menguntungkan.
Pada era di mana semakin banyak penelitian dan publikasi ilmiah didedikasikan
terhadap bahaya kerja dan polutan udara, suatu pemahaman mendasar mengenai anatomi
dan fisiologi hidung adalah penting.
Hidung mempunyai beberapa fungsi di antaranya sebagai indera penghidu,
menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks
tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara.
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung
perlu diketahui terlebih dahulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta
persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di
dalam hidung perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung dan sinus
paranasal.

1.2 Tujuan Penulisan


Penyusunan refreshing ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik
Stase Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Islam Jakarta
Sukapura, Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta Periode 19 November 2012 23 Desember 2012
dan sebagai bahan informasi bagi para pembaca umumnya.
1.3 Teknik Pengumpulan Referensi
Dalam penyusunan refreshing ini, metode pengumpulan referensi yang digunakan
adalah secara tidak langsung melalui kepustakaan yaitu buku-buku referensi dan pustaka

elektronik yang berhubungan dengan judul dari refreshing ini yaitu embriologi, anatomi,
fisiologi, cara pemeriksaan dan dua penyakit terbanyak pada hidung dan sinus paranasal.
1.4 Sistematika Penulisan
Refreshing ini disusun secara sistematis mulai dari bab pendahuluan yang
membahas latar belakang, ruang lingkup penulisan, tujuan penulisan, teknik
pengumpulan referensi dan sistematika penulisan. Kemudian diikuti bab pembahasan
yang akan menjelaskan tentang embriologi, anatomi, fisiologi, cara pemeriksaan dan dua
penyakit terbanyak pada hidung dan sinus paranasal. Terakhir bab III yang merupakan
bab penutup yang akan disimpulkan mengenai pembahasan pada bab II serta kritik dan
saran juga akan disampaikan pada bab III tersebut.

BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN HIDUNG

2.1 Anatomi
2.1.1 Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan
6) lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi hidung luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis),
2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa
pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.

Ada dua pengatur otot-otot alar ; dilator (dilator naris, m. Procerus, caput angulare)
dan konstriktor (m. Nasalis, depressor septi). Semua menerima innervasi persarafan dari
saraf kranial VII.2

Gambar 2. Anatomi tulang hidung

Gambar 3. Hidung tampak ventral

Gambar 4. Hidung tampak inferior


2.1.2 Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan
dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konkakonka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan
sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Gambar 5. Anatomi Hidung Dalam


2.1.3 Batas Rongga Hidung
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
6

lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lemoeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubanglubang (kribrosa= saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.
Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Gambar 6. Rongga hidung


2.1.4

Kompleks Ostiomeatal (KOM)


Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang

berupa celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina
papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
ressus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior, yaitu sinus maksila, etmoid
anterior dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.

Gambar 7. Kompleks Osteomeatal

2.1.5 Suplai Darah (Vaskularisasi Hidung)


Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. Etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.

Gambar 8. Pembuluh Darah Hidung


2.1.6

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Gambar 9. Persarafan Hidung


Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2.1.7

Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan

palut lendir di atasnya. di dalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan
lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran ttanspor mukosiliar dari sinus. Lendir
yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid
dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke
nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung.
2.1.8 Sistem Limfatik
Suplai limfatik hidung sangat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh
anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di
sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir
seluruh bagian anterior hidung vestibulum dan daerah prekonka.
Jaringan

limfatik

posterior

mengurus

mayoritas

anatomi

hidung,

menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung belakang saluran superior,


10

media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka media dan superior dan
bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba eustachius dan bermuara
pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan di bawah tuba
eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung dan
menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal dari septum dan
sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh
jugularis interna.
2.1.9 Sinus Paranasal

Gambar 10. Sinus Paranasal


Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung.
Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium highmore) dan sinus sfenoid kanan dan
kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung,
berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada
meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka inferior rongga
hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari sinus
maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
Sinus paranasal terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan
tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran jika pada foto rontgen
anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum terbentuk. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus ethmoid
posterior dan sinus sfenoid.
11

a. Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasalis yang terbesar. Sinus ini sudah ada
sejak lahir dan mencapa ukuran maksimum (+ 15 ml) pada saat dewasa. Dari segi klinis
yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxilla adalah:
1.
Dasar sinus maksilaris berhubungan dengan gigi P1, P2, M1, dan M2
2.
Ostium sinus maksilaris lebih tinggi dari dasarnya
Sinus maksilaris (antrum of highmore) adalah sinus yang pertama berkembang.
Struktur ini pada umumnya berisi cairan pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini
adalah bifasik dengan pertumbuhan selama 0-3 tahun dan 7-12 tahun.Sepanjang
pneumatisasi kemudian menyebar ke tempat yang rendah dimana gigi yang permanen
mengambil tempat mereka. Pneumatisasinya dapat sangat luas sampaiakar gigi hanya
satu lapisan yang tipis dari jaringan halus yang mencakup mereka.
Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida dan mempunyai volume kirakira 15 ml (34 x 33 x 23 mm). dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak
yang menunjuk ke arah processus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai foramen
intraorbital yang berada pada bagian midsuperior dimana nervus intraorbital berjalan di
atas atap sinus dan keluar melalui foramen ini. Bagian tertipis dari dinding anterior
adalah sedikit diatas fossa canina. Atap dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh
n.infraorbita. dinding posterior tidak bisa ditandai. Di belakang dari dinding ini adalah
fossa pterygomaxillaris dengan a.maksilaris interna, ganglion sfenopalatina dan saluran
vidian, n.palatina mayor dan foramen rotundum.
Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya. Sejak lahir sampai umur 9 tahun dasar
dari sinus adalah di atas rongga hidung. Pada umur 9 tahun dasar dari sinus secara umum
samadengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris.
Oleh karena itu berhubungan dengan penyakit gigi di sekitar gigi rahang atas,
yaitu premolar dan molar.
Cabang dari a. maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk infraorbita,
cabang a. sfenopalatina, a. palatina mayor, v. aksilaris dan v. jugularis system duralsinus.
Sedangkan persarafan sinus maksila oleh cabang dari n.V.2 yaitu n. palatina mayor dan
cabang dari n. infraorbita.
Ostium sinus maksilaris terletak di bagian superior dari dinding medial sinus.
Intranasal biasanya terletak pada pertengahan posterior infundibulum etmoid, atau
12

disamping 1/3 bawah processus uncinatus. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tapi dapat
bervariasi. 88% dari ostium sinus maksilaris bersembunyi di belakang processus
uncinatus sehingga tidak bisa dilihat secara endoskopi.
b. Sinus Ethmoidalis
Sinus etmoid adalah struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan.
Selama masih janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel
tumbuh secara berangsur-angsur sampai usia 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan
sinar x sampai usia 1 tahun. Septa yang ada secara berangsur-angsur menipis dan
pneumatisasi berkembang sesuai usia. Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas
orbita, sfenoid lateral, ke atap maksila dan sebelah anterior diatas sinus frontal.
Peyebaran sel etmoid ke konka disebut konka bullosa.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14mm).
Bentuk ethmoid seperti piramid dan dibagi menjadi sel multipel oleh sekat yang tipis.
Atap dari ethmoid dibentuk oleh berbagai struktur yang penting. Sebelah anterior
posterior agak miring (15). 2/3 anterior tebal dan kuat dibentuk oleh os frontal dan
foveola etmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan sebelahmedial agak
miring ke bawah ke arah lamina kribiformis. Perbedaan berat antara atapmedial dan
lateral bervariasi antara 15-17 mm. sel etmoid posterior berbatasandengan sinus sfenoid.
Sinus etmoid mendapat aliran darah dari a.karotis eksterna dan interna dimana
a.sfenopalatina dan a.oftalmika mendarahi sinus dan pembuluh venanya mengikuti
arterinya. Sinus etmoid dipersarafi oleh n V.1 dan V.2, n V.1 mensarafi bagiansuperior
sedangkan sebelah inferior oleh n V.2. Persarafan parasimpatis melaluin.vidianus,
sedangkan persarafan simpatis melalui ganglion servikal. Sel di bagian anterior menuju
lamela basal. Pengalirannya ke meatus mediamelalui infundibulum etmoid. Sel yang
posterior bermuara ke meatus superior dan berbatasan dengan sinus sfenoid. Sel bagian
posterior umumnya lebih sedikit dalam jumlah namun lebih besar dalam ukuran
dibandingkan dengan sel bagian anterior. Bula etmoid terletak diatas infundibulum dan
permukaan lateral inferiornya, dan tepi superior prosesus uncinatus membentuk hiatus
semilunaris. Ini merupakan sel etmoid anterior yang terbesar. Infundibulum etmoid
perkembanganya mendahului sinus.

13

Dinding anterior dibentuk oleh prosesus uncinatus, dinding medial dibentuk oleh
prosesus frontalis os maksila dan lamina papyracea.
c. Sinus Frontalis
Sinus frontalis sepertinya dibentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar selsel etmoid anterior. Os frontal masih merupakan membran pada saatkelahiran dan mulai
mengeras sekitar usia 2 tahun. Perkembangan sinus mulai usia 5tahun dan berlanjut
sampai usia belasan tahun.
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Anatomi sinus frontalis sangat
bervariasi tetapi secara umum ada dua sinus yang terbentuk seperti corong. Dinding
posterior sinus yang memisahkan sinus frontalis dari fosa kranium anterior lebih tipis dan
dasar sinus ini juga berfungsi sebagai bagian dari atap rongga mata.
Sinus frontalis mendapatkan perdarahan dari a.oftalmika melalui a.supraorbitadan
supratrochlear.

Aliran

pembuluh

vena

melalui

v.oftalmica

superior

menuju

sinuskavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir
kesinus dural. Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang n V.1. secara khusus, nervus-nervus
ini meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear.
d. Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoidalis sangat unik karena tidak terbentuk dari kantong ronggahidung.
Sinus ini dibentuk dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin. Tidak berkembang
sampai usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi telah mencapai sela turcica. Sinus
mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun.
Usia belasan tahun, sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml
(23 x 20 x 17 mm). Pneumatisasi sinus ini, seperti sinus frontalis, sangat bervariasi.
Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari rongga
hidung. Dinding sinus sphenoid bervariasi ketebalannya, dinding anterosuperior dan
dasar sinus paling tipis (1-1,5 mm). Dinding yang lain lebih tebal. Letak dari sinus oleh
karena hubungan anatominya tergantung dengan tingkat pneumatisasi. Ostium sinus
sfenoidalis bermuara ke recessus sfenoetmoidalis. Ukurannya sangat kecil (0,5 -4 mm)
dan letaknya 10 mm di atas dasar sinus.
14

Atap sinus sfenoid diperdarahi oleh a.ethmoid posterior, sedangkan bagian lainnya
mendapat aliran darah dari a.sfenopalatina. Aliran vena melalui v.maksilaris ke
v.jugularis dan pleksus pterigoid. sinus sfenoid dipersarafi oleh cabang n V.1 danV.2.
n.nasociliaris berjalan menuju n.etmoid posterior dan mempersarafi atap sinus. Cabangcabang n.sfenopalatina mempersarafi dasar sinus.
2.2 Fisiologi
2.2.1 Fisiologi Hidung
Fungsi hidung ialah untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut
membantu proses bicara dan refleks nasal.
a. Sebagai Jalan Napas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.

Gambar 11. Proses Inspirasi


b. Pengatur Kondisi Udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara
mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
15

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous
blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan
ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37 oC.
c. Sebagai Penyaring Dan Pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri
dandilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut lendir
(mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikelpartikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
d. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik napas dengan kuat.
e. Resonansi Suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
f. Proses Bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah.
g. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
16

2.2.2 Fisiologi Sinus Paranasal


Berbagai

teori

sinus paranasal.

Teori

telah
ini

dikembangkan

meliputi

fungsi

untuk
dari

menjelaskan

kelembaban

fungsi

udara

dari

inspirasi,

membantu pengaturan tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan
imunitas, meningkatkan area permukaan mukosa, meringankan volume tengkorak,
membantu resonansi suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan muka.
a. Mengatur Kelembaban Udara Inspirasi
Menurut

beberapa

teori

walaupun

mukosa

hidung

telah

beradaptasi

untuk melakukan fungsi ini, sinus tetap berperan pada area permukaan mukosa
dankemampuannya
bahwa bernafas

untuk

dengan

menghangatkan.

mulut

dapat

Beberapa

menurunkan

peneliti

volume

memperlihatkan

akhir

CO2

yang

dapatmeningkatkan kadar CO2 serum dan berperan pada sleep apnea.


Meskipun

sinus

dianggap

dapat

berfungsi

sebagai

ruang

tambahan

untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi, namun teori ini memiliki
kelemahan karena tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus danrongga
hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara
total dalam sinus. Selain itu mukosa sinus juga tidak memilikivaskularisasi dan kelenjar
yang sebanyak mukosa hidung.
b. Penyaringan Udara
Oleh karena produksi mukosa sinus, mereka berperan pada pertahanan imunatau
penyaringan udara yang dilakukan oleh hidung. Hidung dan mukosa sinus terdiridari sel
silia yang berfungsi untuk menggerakan mukosa ke koana. Penelitian yang paling terbaru
pada fungsi sinus berfokus pada molekul Nitrous Oxide (NO). studimenunjukkan bahwa
produksi NO intranasal adalah secara primer pada sinus. Telahkita ketahui bahwa NO
bersifat racun terhadap bakteri, jamur dan virus pada tingkatan sama rendah 100 ppb.
Konsentrasi ini dapat menjangkau 30.000 ppbdimana beberapa peneliti sudah berteori
tentang sterilisasi sinus. NO juga meningkatkan pergerakan silia.

17

Mukus

yang

dihasilkan

oleh

sinus

paranasal

jumlahnya

kecil

dibandingkandengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan


partikel yangturut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius,merupakan tempat yang paling strategis.
c.

Fungsi Sinus Lainnya


Sinus diyakini dapat membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat

tulang muka, namun bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebanyak 1% dari berat kepala, sehingga dianggap tidak
bermakna. Sinus juga dianggap berfungsi sebagai peredam perubahan tekanan udara
apabila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak seperti pada saat bersin atau
membuang ingus. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Beberapa peneliti
mendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan
memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sinus etmoidalis.
Namun menurut penelitian lainnya, etmokonka manusia telah menghilang selama proses
evolusi. Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan
mempengaruhi kualitas suara. Namun ada teori yang menyatakan bahwa posisi sinus dan
ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Fungsi
sebagai peredam perubahan tekanan udara ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang
besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. Mukus yang
dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus
dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling
strategis.
2.3 Pemeriksaan Hidung
2.3.1 Pemeriksaan hidung dan Sinus Paranasal
Ada 8 cara yang dapat kita lakukan untuk memeriksa keadaan hidung dan sinus
paranasalis, yaitu :Pemeriksaan dari luar : inspeksi, palpasi, & perkusi.
o Rinoskopia anterior.
o Rinoskopia posterior.
o Transiluminasi (diaphanoscopia).
18

o X-photo rontgen.
o Pungsi percobaan.
o Biopsi.
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin, bakteriologi, serologi, & sitologi.
2.3.2 Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung
& sinus paranasalis, yaitu :
o Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
o Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
o Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan
pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

- Lorgnet pada abses septum nasi.


- Saddle nose pada lues.
19

- Miring pada fraktur.


- Lebar pada polip nasi.
- Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di
tempat tersebut.
Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi
hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis
dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi
hidung & sinus paranasalis, yaitu :
-

Dorsum nasi (batang hidung).

Ala nasi.

Regio frontalis sinus frontalis.

Fossa kanina.

Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita


temukan pada palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan
tanda terjadinya fraktur os nasalis.

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini
dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi. Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada
regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah
mediosuperior dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis
kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang
berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis. Kita menekan
dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari
menekan foramen supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis
sehingga juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara
pertama diatas.
maksilaris.

Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus

Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis.

Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.

20

Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila
palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syaratsyarat palpasi.
2.3.3

Rinoskopi Anterior
Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
-

Cermin rinoskopi posterior.

Pipa penghisap.

Aplikator.

Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).

Spekulum hidung Hartmann.

Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik.

Cara kita memakainya juga unik meliputi cara memegang, memasukkan dan
mengeluarkan.

21

Cara kita memegang spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan


kiri dalam posisi horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan
mulutnya di medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi
(lubang hidung) pasien.
Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup
kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya
pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien.
Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi
(lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut
spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar.
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan,
yaitu :
- Pemeriksaan vestibulum nasi.
- Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
- Fenomena palatum mole.
- Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
- Pemeriksaan septum nasi.
- Pemeriksaan Vestibulum Nasi pada Rinoskopia Anterior
Sebelum menggunakan spekulum hidung pada pemeriksaan vestibulum nasi, kita
melakukan pemeriksaan pendahuluan lebih dahulu. Ada 3 hal yang penting kita perhatikan
pada pemeriksaan pendahuluan ini, yaitu :
- Posisi septum nasi.
- Pinggir lubang hidung. Ada-tidaknya krusta dan adanya warna merah.
- Bibir atas. Adanya maserasi terutama pada anak-anak.
- Cara kita memeriksa posisi septum nasi adalah mendorong ujung hidung pasien dengan
menggunakan ibu jari.

22

Spekulum hidung kita gunakan pada pemeriksaan vestibulum nasi berguna untuk
melihat keadaan sisi medial, lateral, superior dan inferior vestibulum nasi. Sisi medial
vestibulum nasi dapat kita periksa dengan cara mendorong spekulum ke arah medial. Untuk
melihat sisi lateral vestibulum nasi, kita mendorong spekulum ke arah lateral. Sisi superior
vestibulum nasi dapat terlihat lebih baik setelah kita mendorong spekulum ke arah superior.
Kita mendorong spekulum ke arah inferior untuk melihat lebih jelas sisi inferior vestibulum
nasi.
Saat melakukan pemeriksaan vestibulum nasi menggunakan spekulum hidung, kita
perhatikan ada tidaknya sekret, krusta, bisul-bisul, atau raghaden.
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah pada rinoskopia anterior.

Cara kita

memeriksa kavum nasi (lubang hidung) bagian bawah yaitu dengan mengarahkan cahaya
lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) yang searah dengan konka nasi media.
Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan

kavum nasi (lubang

hidung) bagian bawah, yaitu :

Warna mukosa dan konka nasi inferior.

Besar lumen lubang hidung.

Lantai lubang hidung.

Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.

Fenomena Palatum Mole Pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu dengan
mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang nasofaring secara tegak lurus.
Normalnya kita akan melihat cahaya lampu yang terang benderang. Kemudian pasien kita
minta untuk mengucapkan iii.
Selain perubahan dinding belakang nasofaring menjadi lebih gelap akibat gerakan
palatum mole, bayangan gelap dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala tidak tegak lurus
masuk ke dalam dinding belakang nasofaring.
Setelah pasien mengucapkan iii, palatum mole akan kembali bergerak ke bawah
sehingga benda gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan terang
kembali.

23

Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole bergerak saat pasien
mengucapkan iii dimana akan tampak adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan
dinding belakang nasofaring berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena palatum
mole negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak adanya benda gelap
yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring tetap terang benderang.
Fenomena palatum mole negatif dapat kita temukan pada 4 kelainan, yaitu:

Paralisis palatum mole pada post difteri.

Spasme palatum mole pada abses peritonsil.

hipertrofi adenoid

Tumor nasofaring : karsinoma nasofaring, abses retrofaring, dan


adenoid.

Pemeriksaan Kavum Nasi Bagian Atas pada Rinoskopia Anterior

Cara kita memeriksa kavum nasi

(lubang hidung)

bagian atas yaitu dengan

mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam kavum nasi (lubang hidung) bagian atas pasien.
Ada 4 hal yang penting kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi (lubang
hidung) bagian atas, yaitu :

Kaput konka nasi media.

Meatus nasi medius : pus dan polip.

Septum nasi bagian atas : mukosa dan deviasi septi.

Fissura olfaktorius.

Deviasi septi pada septum nasi bagian atas bisa kita temukan
sampai menekan konka nasi media pasien.

Pemeriksaan Septum Nasi pada Rinoskopia Anterior


Kita dapat menemukan septum nadi berbentuk krista, spina dan huruf S.

2.3.4

Rinoskopi Posterior

24

Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan
dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam
nasofaring.
Syarat-syarat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
Penempatan cermin. Harus ada ruangan yang cukup luas dalam nasofaring untuk
menempatkan cermin yang kita masukkan melalui mulut pasien. Lidah pasien tetap berada
dalam mulutnya. Kita juga menekan lidah pasien ke bawah dengan bantuan spatula (spatel).
Penempatan cahaya harus ada jarak yang cukup lebar antara uvula dan faring milik pasien
sehingga cahaya lampu yang terpantul melalui cermin dapat masuk dan menerangi
nasofaring.
Cara bernapas. Hendaknya pasien tetap bernapas melalui hidung.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Cermin kecil.

Spatula.

Lampu spritus.

Solusio tetrakain (- efedrin 1%).

Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan.

Sebelum memasukkan dan

menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan punggung


cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan. Minta pasien membuka mulutnya lebarlebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui
hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri.

Ujung spatula kita tempatkan pada

punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di paramedian
kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk menempatkan cermin kecil
dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring
dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya lampu
kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu
tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu 5 menit.
25

Ada 4 tahap pemeriksaan yang akan kita lalui saat melakukan rinoskopia posterior, yaitu :
Tahap 1 : Pemeriksaan Tuba Kanan. Posisi awal cermin berada di paramedian yang
akan memperlihatkan kepada kita keadaan kauda konka nasi media kanan pasien. Tangkai
cermin kita putar kemudian ke medial dan akan tampak margo posterior septum nasi.
Selanjutnya tangkai cermin kita putar ke kanan, berturut-turut akan tampak konka nasi
terutama kauda konka nasi inferior (terbesar), kauda konka nasi superior, meatus nasi medius,
ostium dan dinding tuba.
Tahap 2 : Pemeriksaan Tuba Kiri. Tangkai cermin kita putar ke medial, akan tampak
kembali margo posterior septum nasi pasien. Tangkai cermin terus kita putar ke kiri, akan
tampak kauda konka nasi media kanan dan tuba kanan.
Tahap 3 : Pemeriksaan Atap Nasofaring. Kembali kita putar tangkai cermin ke
medial. Tampak kembali margo posterior septum nasi pasien. Setelah itu kita memeriksa atap
nasofaring dengan cara memasukkan tangkai cermin sedikit lebih dalam atau cermin agak
lebih kita rendahkan.
Tahap 4 : Pemeriksaan Kauda Konka Nasi Inferior. Kita memeriksa kauda konka
nasi inferior dengan cara cermin sedikit ditinggikan atau tangkai cermin sedikit direndahkan.
Kauda konka nasi inferior biasanya tidak kelihatan kecuali mengalami hipertrofi yang akan
tampak seperti murbei (berdungkul-dungkul).
Ada 2 kelainan yang penting kita perhatikan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Peradangan. Misalnya pus pada meatus nasi medius & meatus nasi
superior, adenoiditis, dan ulkus pada dinding nasofaring (tanda TBC).

Tumor. Misalnya poliposis dan karsinoma.

Ada 3 sumber masalah pada rinoskopia posterior, yaitu :


-

Pihak pemeriksa : tekanan, posisi, dan fiksasi spatula.

Pihak pasien : cara bernapas dan refleks muntah.

Alat-alat : bahan spatula dan suhu & posisi cermin.

Tekanan spatula yang kita berikan terhadap punggung lidah pasien haruslah
seoptimal mungkin. Tekanan yang terlalu kuat akan menimbulkan sensasi nyeri pada diri
pasien. Sebaliknya tekanan yang terlalu lemah menyebabkan faring tidak terlihat jelas oleh
pemeriksa.
26

Posisi spatula hendaknya kita pertahankan pada tempat semula. Gerakan kepala
pasien berpotensi menggeser posisi spatula. Posisi spatula yang terlalu jauh ke pangkal lidah
apalagi sampai menyentuh dinding faring dapat menimbulkan refleks muntah.
Cara fiksasi spatula memiliki keunikan tersendiri. Ibu jari pemeriksa berada
dibawah spatula. Jari II dan III berada diatas spatula. Jari IV kita tempatkan diatas dagu
sedangkan jari V dibawah dagu pasien.
Kesulitan yang menjadi tantangan buat kita dari pemeriksaan rinoskopia posterior
ini terletak pada koordinasi yang kita jaga antara tangan kanan yang memegang cermin kecil,
tangan kiri yang memegang spatula, kepala dan posisi cahaya dari lampu kepala yang akan
menyinari cermin dalam faring, dan kejelian mata kita melihat bayangan pada cermin kecil
dalam faring.
Cara bernapas yang tidak seperti biasa menjadi kendala tersendiri bagi pasien.
Mereka harus bernapas melalui hidung dengan posisi mulut yang terbuka. Ada beberapa
pasien yang memiliki refleks yang kuat terhadap perlakuan yang kita buat. Kita bisa
memberikannya tetrakain dan efedrin untuk mencegahnya.
Bahan spatula yang terbuat dari logam dapat menimbulkan refleks pada beberapa
pasien karena rasa logam yang agak mengganggu di lidah.
Suhu cermin jangan terlalu panas dan terlalu dingin. Cermin yang terlalu panas
menimbulkan rasa nyeri sedangkan cermin yang terlalu dingin menimbulkan kekaburan pada
cermin yang mengganggu penglihatan kita.
Posisi cermin jangan terlalu jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring
pasien. Refleks muntah dapat timbul akibat kecerobohan kita ini.
2.3.5

Transiluminasi (Diaphanoscopia).
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya

ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt dan
bertangkai panjang (Heyman).
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati sinus
frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja berbeda.

27

Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita
menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior. Cahaya yang memancar ke
depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan
sinus frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus
maksilaris, yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo
inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan
kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita tutup.
Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri.
Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya
perbedaan sinus kiri dan sinus kanan.
keduanya normal.

Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan

karena tipisnya tulang mereka.


normal.

Jika kedua sinus tampak terang, menandakan

Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan keduanya

Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang

mereka.
2.3.6

X-Photo Rontgen
Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo

rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau
tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.
2.3.7

Pungsi Percobaan
Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan menggunakan

troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya jika keluar nanah atau
sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan irigasi sinus maksilaris.

2.3.8

Biopsi

28

Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di meatus
nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.
2.3.9

Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop

dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania. Dengan
sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi,
massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.

BAB III
PENUTUP
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung dan sinus paranasal, misalnya
rinitis alergi, sumbatan hidung, dan terjadinya sinusitis maka perlu diketahui terlebih
dahulu tentang anatomi dari hidung dan sinus paranasal. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta
persarafannya, serta fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di
dalam hidung dan sinus paranasal perlu diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan
hidung dan sinus paranasal yang sudah dijelaskan pada bab pembahasan.

29

30

Você também pode gostar

  • Laporan Kasus BPH
    Laporan Kasus BPH
    Documento42 páginas
    Laporan Kasus BPH
    Eko Nur Febrianto
    100% (1)
  • Kolangitis
    Kolangitis
    Documento17 páginas
    Kolangitis
    Eko Nur Febrianto
    50% (2)
  • Parkinson
    Parkinson
    Documento20 páginas
    Parkinson
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Parkinson Iqbal
    Parkinson Iqbal
    Documento21 páginas
    Parkinson Iqbal
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Farmakologi Obat Anestesi
    Farmakologi Obat Anestesi
    Documento36 páginas
    Farmakologi Obat Anestesi
    Eko Nur Febrianto
    100% (2)
  • Diplo Pia
    Diplo Pia
    Documento30 páginas
    Diplo Pia
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Melena
    Melena
    Documento22 páginas
    Melena
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Lapkas BPH Eko
    Lapkas BPH Eko
    Documento28 páginas
    Lapkas BPH Eko
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Presus Saraf Eko-Randi
    Presus Saraf Eko-Randi
    Documento42 páginas
    Presus Saraf Eko-Randi
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Kasus Stroke Hemmoragik
    Laporan Kasus Stroke Hemmoragik
    Documento28 páginas
    Laporan Kasus Stroke Hemmoragik
    Lita Al Amudi
    Ainda não há avaliações
  • Lapsus Melena Versi Beta
    Lapsus Melena Versi Beta
    Documento11 páginas
    Lapsus Melena Versi Beta
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Herpes Zoster
    Herpes Zoster
    Documento16 páginas
    Herpes Zoster
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Tinjauan Pustaka
    Tinjauan Pustaka
    Documento11 páginas
    Tinjauan Pustaka
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Hernia Pada Otak
    Hernia Pada Otak
    Documento38 páginas
    Hernia Pada Otak
    R Adhe Masyhuroh Sofyan
    Ainda não há avaliações
  • Hemoroid
    Hemoroid
    Documento25 páginas
    Hemoroid
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Refreshing
    Refreshing
    Documento21 páginas
    Refreshing
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Kolangitis
    Kolangitis
    Documento18 páginas
    Kolangitis
    hendra cipta
    100% (2)
  • Ca Recti
    Ca Recti
    Documento32 páginas
    Ca Recti
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • TINDAK_LANJUT_TINEA_CRURIS
    TINDAK_LANJUT_TINEA_CRURIS
    Documento18 páginas
    TINDAK_LANJUT_TINEA_CRURIS
    Syandri Agus Rizky
    Ainda não há avaliações
  • Lapkas Hernia
    Lapkas Hernia
    Documento38 páginas
    Lapkas Hernia
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Tutorial Corpal
    Tutorial Corpal
    Documento25 páginas
    Tutorial Corpal
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Kasus Stroke Hemmoragik
    Laporan Kasus Stroke Hemmoragik
    Documento28 páginas
    Laporan Kasus Stroke Hemmoragik
    Lita Al Amudi
    Ainda não há avaliações
  • Psikomotor Hidung Acc
    Psikomotor Hidung Acc
    Documento10 páginas
    Psikomotor Hidung Acc
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Jurding Album
    Jurding Album
    Documento15 páginas
    Jurding Album
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Terbatasnya tatalaksana otorea akut
    Terbatasnya tatalaksana otorea akut
    Documento20 páginas
    Terbatasnya tatalaksana otorea akut
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Asma
    Asma
    Documento4 páginas
    Asma
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Refreshing
    Refreshing
    Documento21 páginas
    Refreshing
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Laporan Rinitis
    Laporan Rinitis
    Documento33 páginas
    Laporan Rinitis
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações
  • Otitis Media Akut Stadium Hiperemis: Laporan Kasus
    Otitis Media Akut Stadium Hiperemis: Laporan Kasus
    Documento15 páginas
    Otitis Media Akut Stadium Hiperemis: Laporan Kasus
    Eko Nur Febrianto
    Ainda não há avaliações