Você está na página 1de 9

ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT ILMU

( Problem Epistemologis )
Bahan Ajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu :
Ahmad Jazuli Abdillah, M.Si.

A.

Akal Sebagai Sumber Pengetahuan

Di kalangan kaum rasionalis, hanya akal yang menjadi sumber


pengetahuan, sedangkan yang lainnya hanya memperkuat atau membantu
memberi bahan-bahan pemikiran bagi akal. Intuisi yang datang kepada
manusia lebih banyak tidak rasional, baik itu berupa wahyu maupun ilham
dan jenis-jenis lainnya. Intuisi sifatnya personal, karena orang lain yang
tidak mengalaminya, tidak dapat dikatakan sebagai pemegang
pengetahuan intuitif. Demikian pula dengan wahyu, sifatnya personal.
Apabila wahyu tersebut disampaikan kepada orang lain yang tidak
mengalaminya, tentu orang yang dimaksud tidak mengenalnya. Dengan
demikian, diterima-tidaknya berita dan penjelasan yang ditransferkan
kepada orang lain oleh penerima wahyu, bergantung pada rasionalitas si
penerima. Oleh karena itu, tidak sedikit pada masa jahiliyah ketika
Muhammad SAW menyampaikan Al-Quran, ada yang berpandangan
sebagai hal yang tidak masuk akal, bahkan dianggapnya sebagai cerita
biasa atau dongeng-dongeng di masa lalu. Keyakinan terhadap firman
tuhan tidak semudah yang dialami umat Islam kultural, yang lahir dari
keluarga muslim pada masa nabi dan para sahabat, ajaran wahyu Al-Quran
berhadapan dengan masyarakat yang benar-benar buta pengetahuan
tentang Islam.
Dalam konteks filsafat ilmu pengagum rasio tetap bersikukuh bahwa
rasio-lah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan sehingga
melahirkan madzhab atau aliran rasionalisme. Rasionalisme merupakan
paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting dalam
memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan (Prof.DR.Ahmad
Tafsir, 2005:127) menurut Ahmad Tafsir, rasionalisme mengajarkan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir ialah
kaidah-kaidah logis (sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bagaimana
logika bekerja untuk menemukan kesimpulan tentang kebenaran
pengetahuan). Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh utama
rasionalisme yang menciptakan metode keraguan terhadap segala
sesuatu dalam filsafat. Ia meragukan semua objek yang dapat dilihat oleh
panca indra bahkan pada tubuhnya sendiri, karena apa yang dilihatnya
ketika sedang tersadar tidak berbeda dengan yang dilihatnya ketika mimpi,
berhalusinasi dan berilusi, sehingga yang sebenarnya ada yang mana?
1

Apa yang sedang tertidur atau terbangun, lalu mengapa objek yang
dilihatnya sama?

Akan tetapi Descartes berusaha menemukan kebenaran yang benarbenar meyakinkan, sehingga dengan memakai metode deduktif, semua
pengetahuan dapat disimpulkan. Ia memahami rasio sebagai sejenis
peratara khusus untuk mengenal kebenaran. Kebenaran pengetahuan
ditelusuri dengan penalaran logis. Selain Descartes penganut rasionalisme
adalah Spinoza ia berpandangan bahwa argumen-argumen ilmu ukur
merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi.
Menurut paham relativisme setiap akal pikiran manusia menghasilkan
jawaban atas pertanyaan yang berbeda-beda dan klaim kebenaran atas
jawaban masing-masing terus berlanjut. Selanjutnya, ada Zeno yang
memapankan relativisme kebenaran. Lalu, Protagoras yang menyatakan
bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Kebenaran itu personalistik,
sehingga tidak ada ukuran absolut dalam etika, metafisika, maupun agama
dan berbagai teorinya.
Socrates adalah filosof yang ingin menyadarkan filosof lainnya
tentang kebenaran. Jika semua relatif pengetahuan yang mapan pun akan
hancur, bahkan kan mengguncangkan keyakinan agama. Ia berpendirian
bahwa tidak semua kebenaran itu relatif. Dia menggunakan metode
dialektika tentang jawaban atas jawaban atau dialog. Socrates yang
menemukan deduksi dan definisi, lanjutnya dikembangkan oleh muridnya
yakni Plato.
Plato berpendapat kebenaran umum bukan dibuat dengan cara dialog
yang induktif. Pengertian umum telah ada di dalam alam ide, kemudian
pemikiran Plato ini dilanjutkan oleh muridnya yaitu Aristoteles,
menurutnya matter dan form itu bersatu. Matter memberikan substansi
sesuatu, sedangkan form memberikan pembungkusnya.
Adapun aliran-aliran yang muncul dengan perkembangan filsafat
yunani kuno antara lain:
1. Aliran natural phylosophy, tokohnya Democritus dan para filosof
Lonia, yang menghargai alam dan wujud benda setinggi-tingginya.
Aliran ini berpandangan bahwa alam ini bersifat abadi. Dalam filsafat
Islam, aliran ini dinamai degan aliran tabii.
2. Aliran ketuhanan (theisme), yang mengakui zat-zat yang metafisik,
diwakili oleh aliran Elea dan Socrates, yang mengatakan bahwa
sumber alam indra adalah sesuatu yang berada secara eksternal.
3. Aliran mistik, tokohnya Phythagoras, yang bermaksud memperkecil
atau mengingkari nilai-nilai alam indrawi, aliran ini menganjurkan
kepada manusia untuk meninggalkan alam indrawi dan menjangkau
alam yang sempurna untuk membebaskan diri dari keterbelengguan
di alam indrawi.
2

4. Aliran kemanusiaan (humanisme), yang menghargai manusia setinggi


mungkin, mengakui kesanggupan manusia untuk mencapai
pengetahuan. Manusia adalah alat dan ukuran satu-satunya
kebenaran. Aliran inilah yang diwakili oleh Socrates dan kaum Sopis,
meskipun keduanya memiliki perbedaan pandangan.
Adapun kaitannya dengan epistemologi adalah karena epistemologi
berkaitan erat dengan persoalan ide (akal) sebagai sumber pengetahuan.
Adapun epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pegetahuan dan
cara memperolehnya.
Menurut Plato pengetahuan tidak lain adalah pengingatan kembali,
artinya apabila panca indra kita berhadapan dengan sesuatu, teringatlah
akan contoh-contohnya sehingga muncul kembali pengetahuan yang telah
diperoleh sewaktu masih hidup dalam suatu alam, ketika dapat melihat ide
yang azali dengan jalan peng-abstrak-kan terhadap gambaran-gambaran
dari wujud indrawi.

B.

Pengalaman Sebagai Sumber pengetahuan

John Locke (1632-1304), salah seorang penganut empirisme


mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan bersih ibarat kertas
kosong yang belum bertuliskan apapun (tabularasa). Pengetahuan baru
muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat
dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai
bertuliskan berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide
yang diperoleh dari pengindraan serta refleksi yang pertama dan sederhana
(Juhaya S. Pradja, 1997:18). Akal semacam tempat penampungan secara
pasif menerima hasil-hasil pengindraan. Hal ini berarti bahwa semua
pengetahuan manusia betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai
pada pengalaman-pengalam indrawi yang telah tersimpan rapi di dalam
akal.
Menurut George Barkeley (1685-1753). Berpandangan bahwa seluruh
batasan dalam pikiran atau ide datang dari pengalaman dan tidak ada jatah
ruang bagi gagasan yang lepas begitu saja dari pengalaman. Oleh karena
itu ide tidak bersifat independen, penalaran bersifat abstrak dan
membutuhkan rangsangan dari pengalaman. Dengan demikian fungsi akal
tidak sekedar menjelaskan dalam bentuk-bentuk khayali semata, meliankan
dalam konteks yang realistik.
Empirisme dan rasionalisme berkembang pesat hingga melahirkan
posotifisme. Menurut positifisme, pengetahuan tidak boleh melebihi faktafakta, dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa
dalam bidang pengetahuan. Bagi positifisme hanya pengalam indra yang
benar-benar sebagai sumber pengetahuan yang faktual, sedangkan yang
lainnya tidak berarti apa-apa.
3

C.

Kritisisme Atas Rasionalisme dan Empirisme

Menurut Immanuel Kant dalam membentuk argumen-argumen apa


yang dipandu oelh tiga ide transendental yaitu ide psikologis yang disebut
jiwa, yakni ide yang menyatukan segala gejala lahiriyah, ide dunia dan ide
tentang tuhan. Ketiga ide tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu ide
jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniyah, merupakan citacita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis. Ide
dunia menyatakan segala gejala jasmaniyah, sedangkan ide tuhan
mendasari segala gejala, segala yang ada, baik yang batiniyah maupun
yang lahiriyah (Ahmad Tafsir 2005:150-151)
Demikian Immanuel kant yang menjadi penggagas kritisisme. Filsafat
ini memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan
rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Immanuel Kant mengutarakan
teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan tersebut didasarkan pada
tiga pertanyaan yaitu: (1) apa yang saya dapat ketahui? (2) apa yang harus
saya lakukan? (3) apa yang boleh saya harapkan?. Tiga pertanyaan
tersebut tercirikan pada tiga pandanagn Kant yaitu:
1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek
dan bukan pada objek.
2. Pengenalan manusia atau sesuatu, itu diperoleh atas dasar apriori.
3. Menegaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu
diperoleh atas perpaduan antara unsur apriori yang berasal dari
rasio
serta
berupa
ruang
dan
waktu
dan
peranan
unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa
materi (Juhaya S Pradja, 1997: 76-77).
Dengan kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant hubungan
antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan
yang benar bukan hanya apriorinya tetapi juga aposteriori bukan hanya
pada rasio, melainkan juga pada hasil indrawi. Immanuel Kant memastikan
adanya pengetahuan yang benar-benar pasti, artinya ia menolak aliran
skpetisisme yang menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
D. Intuisi dan Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan
Akal berfungsi melakukan penalaran terhadap berbagai kejadian dari
pengalaman dan pengetahuan indrawinya. Penalaran yang valid adalah
wahyu yang ditransmisi oleh akal sehingga akal yang sesuai dengan wahyu.
Kesahihan transmisi data otoritatif melahirkan ilmu pengetahuan yang
kemudian menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya dan landasan filsafat Islam.
Namun, sehebat apapun akal manusia tidak berarti bahwa akal dapat
memperoleh seluruh pengetahuan yang wajib baginya tentang Tuhan dan
tentang alam gaib, akal akal manusia memiliki keterbatasan. Akal manusia
4

tidak dapat mengetahui keadaan dan hakikat hidupnya di alam gaib nanti.
Oleh karena itu, manusia berhajat kepada wahyu yang akan membantunya
memperoleh pengetahuan lebih luas tentang tuhan dan masa depannya di
alam gaib.
Apabila intuisi berhajat pada akal untuk memahami dirinya, akal
berhajat kepada produk intuisi, baik sebagai pengetahuan informasi
maupun pengetahuan konfirmatif karena keduanya saling berhubungan.
Islam merupakan agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal,
bahkan agam yang didasarkan atas akal. Muhammad Abduh berpendapat
bahwa iman seseorang belum sempurna jika tidak didasarkan pada akal;
keimanan harus berdasarkan keyakinan, bukan pada pendapat, dan akallah
yang menjadi sumber keyakinan kepada tuhan, ilmu serta kemahakuasaanNya dan pada Rasul.
Kitab suci al Quran adalah wahyu yang memberikan fungsi informatif
dan konfirmatif bagi akal, sedangkan as Sunnah merupakan sumber hukum
Islam yang mempermudah dalam memahami al Quran dan sebagai tradisi
pelaksanaan perintah-perintah Tuhan melalui keteladanan Muhammad.
Wahyu dalam hal sifat-sifat yang diwahyukan berfungsi sebagai informasi
bagi akal dalam hal fisikal maupun metafisikal, sedang dalam hal sifat=sifat
yang dapat diketahui oleh akal adalah konfirmasi. Oleh karena itu,
kebenaran aqliyah harus
relevan
dengan
kebenaran naqliyah. Hasil
pemikiran akal dengan berbagai pendekatan yang harus dilegalisasi oleh
wahyu. (Harun Nasution, 1987:57).
Wahyu dalam konteks di atas justru melebihi fungsi akal, kebenaran
wahyu seluruhnya diakui oleh akal, justru sebaliknya akal memiliki
keterbatasan mengungkap kenyataan-kenyataan yang digambarkan oleh
wahyu. Dari situlah, pengakuan akal tentang kebenaran absolut dari wahyu.
Selain wahyu ada yang disebut intuisi. Sebenarnya intuisi bisa berupa
wahyu, ilham, dan mungkin wangsit kata orang jawa. Intuisi adalah
pengetahuan yang diperoleh tanpa penalaran, yang disebut sebagai
pengalaman personal.
Wahyu, dalam hal ini pembahasannya menitik beratkan pada al
Quran karena diyakini sebagai mukjizat yang tidak ada perubahan
sedikitpun di dalamnya sebagai sumber pengetahuan yang sangat penting,
yang fungsinya bukan hanya informasi bagi akal namu sekaligus sebagai
konfirmasi, sehingga wahyu memberikan leglisasi bagi setiap hasil pikiran
manusia atau sebaliknya, wahyu memagari semua bentuk pikiran manusia
yang dapat berakibat buruk bagi kehidupan manusia.
Secara realitas tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan
mengandalkan potensi akal atau dengan pengalaman, pemecahan masalah
kemanusiaan juga dilakukan dengan mengambil pelajaran dari wahyu atau
kitab suci yang diyakini oleh pelbagai pemeluk agama. Al Quran
menyuguhkan berbagai ayat yang dapat dijadikan ide dasar untuk
5

pemecahan masalah, yang diajukan oleh para sahabat. Hal itu


menunjukkan bahwa pemecahan masalah kemanusiaan dapat dilakukan
dengan mendasarkan diri kepada wahyu, misalnya berkaitan dengan
pertanyaan kaum perempuan tentang kehadiran darah setiap bulannya,
yang kemudian dijawab secara langsung oleh al Quran yang kemudian
disebut dengan haidh.
E.

Kriteria Kebenaran Epistemologis

Ilmu pengetahuan yang paling utama membicarakan berbagai macam


kriteria kebenaran, dalam hal ini terdiri atas jenis-jenis kebenaran sebagai
berikut:
1. Kebenaran absolut, yaitu kebenaran mutlak. Ciri kebenaran mutlak
adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah
dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapapun supaya menjadi
benar.
2. Kebenaran relatif, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua
hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut
mempunyai alasan yang logis.
3. Kebenaran spekulatif yaitu kebenaran yang menjadi ciri khas filsafat.
Kebenaran ini bersifat kebetulan dengan landasan rasional dna logis.
4. Kebenaran korespondensi, kebenaran yang bertumpu pada realitas
objektif. Kriteria kebenaran jorespondensi dicirikan oleh adanya relevansi
pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik.
5. Kebenaran pragmatis, kebenaran yang diukur oelh adanya manfaat
suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia baik sebagai individu
maupun kelompok. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan.
Aliran bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang
terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.
6. Kebenaran normatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada sistem
sosial yang sudah baku.
7. Kebenaran religius, kebenaran yang didasarkan pada ajaran dan nilainilai agama. Kebenaran diperoleh bukan hany aoleh penafsira ajaran
secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang
dimaksudkan.
8. Kebenaran filosofis, ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran
refleksi ahli filsafat yang disebut habitat (the nature), meskipun
subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial,
bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata. (Sutardjo
Wiramihardja, 2006: 33).
9. Kebenaran estetis, adalah kebenaran yang didasarkan pada pandangan
tentang keindahan dan keburukan.
10. Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya
syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan
hasil penelitian di lapangan.
11. Kebenaran Theologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada
firman-firman tuhan sebagai pesan-pesan moral yang filosofis.
6

12. Kebenaran ideologis, adalah kebenaran karena tidka menyimpang


dari cita-cita kehidupan suatu bangsa.
13. Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undangundang, sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undangundang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangakan yang menentang
undang-undang disebut sebagau inkonstitusional.
14. Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berpikir. Kebenaran
ini dicirikan oleh bentuk pemberian pengertian dan definisi. Jika premis
mayor dan premis minor saling menghubungkan, dan konsklusinya tepat
serta akurat, pernyataan yang demikian dikategorikan sebagai
kebenaran logis.
KESIMPULAN
Pengetahuan dapat diperoleh melalui beberapa hal yaitu:
1. Pengetahuan diperoleh dari akal, yakni pengetahuan yang didapatkan
melalui proses berpikir yang logis sehingga dapat diterima oleh akal.
Dari sini memunculkan aliran rasionalisme.
2. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman, yakni pengetahuan baru
muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat
dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan, jadi ketika manusia
lahir benar-benar dalam keadaan yang bersih dan suci dari apapun.
Aliran yang mempunyai paham ini adalah aliran empirisme.
3. Pengetahuan diperoleh dari wahyu dan intuisi, yakni pengetahuan yang
bersifat personal, dan hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan
pengetahuan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi. 1982. Filsafat Islam. Semarang. Toha Putra.
Abubakar Aceh, 1982. Sejarah Filsafat Islam, Surakarta. Ramadhani Sala
Achmad Charris Zubair. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia.
Yogyakarta. LESFI.
Ahmad Fuad Al Ahwani, 1985. Filsafat Islam. Jakarta. Pustaka Firdaus.
Ahmad Syadali & Mudzakir, 1997. Filsafat Umum, Bandung. Pustaka Setia
Ahmad Tafsir.1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Al Ghazali, 1986. Tahafut Al Falasifah, Kerancuan Para Filosuf. Jakarta. Pustaka Panjimas.
(terj. Ahmadie Thaha)
-----------, tt. Miyarul Ilmi, Beirut. Darul Fikri
-----------,1978. Al Munqidzu Min Addolal, Jakarta. Tintamas. (terj. Abdulah Bin Nuh
A. Epping O.F.M. et al. 1983. Filsafat Ensie. Bandung Jemmar.
Ahmad Daudy. 1984. Segi-segi Pemikiran Filsafi dalam Islam, Jakarta. Bulan Bintang.
A. Sonny Keraf, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius.
Abubakar Aceh. 1982. Sejarah Filsafat Islam, Sala. Ramadhani
Bertrand Russel. 2002. Persoalan-persoalan seputar Filsafat. Yogyakarta. IKON, (terj.
Ahmad Asnawi)
Anton Bakker, A.C. Zubair, 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta. Kanisius.

Ayn Rand. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Yogyakarta. Bentang Budaya (terj.
Cuk Ananta Wijaya)
Beerling, et.al. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Tiara Wacana.
C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta. Gramedia
Descartes, 2003. Diskursus Metode, terj. A.F. Maruf, Yogyakarta, IRCiSoD.
Donny Gahral Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Teraju.
Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu,
Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti)
Fuad Hasan. 1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta. Pustaka Jaya.
----------,1986. Apologia, Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato (saduran).
Jakarta. Bulan Bintang
----------. 1977. Heteronomia. Jakarta. Pustaka Jaya
Harun Nasution, 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta. Bulan Bintang
----------. 1979. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta. UI Press
H.C. Webb, 1960. Sejarah Filsafat, Jogjakarta, Terban Taman 12.
H.M. Rasjidi, 1970. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
Harold H Titus. 1959, Living issues in philosophy, New York, American Book
Harry Hamersma. 1984. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta. Gramedia.
Husain Heriyanto. 2003. Paradigma Holistik. Bandung. Teraju
Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2), Bandung. UPI
Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar
Harapan,
----------,1996. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta. Yayasan Obor
JWM. Bakker, SY. 1978. Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta. Kanisius.
K. Berten, 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. Kanisius
----------, 1990. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta. Knisius
Keith Wilkes, 1977. Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka.
Koentjaraningrat. et. al 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia
Lengeveld. Tt. Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, Jakarta, PT Pembangunan.
Louis Leahy. 1984. Manusia Sebuah Misteri. Sintesis Filosofis tentang Makhluk
Paradoksal. Jakarta. Gramedia
Mahdi Ghulsyani. 1995. Filsafat Sains menurut Al Quran. Bandung. Mizan (terj. Agus
Effendi)
M. Arifin. 1995. Agama, Ilmu dan Teknologi. Jakarta. Golden Terayon Press.
Mohamud Hamid Zaqzuq. 1987. Al Ghazali. Sang Sufi Sang Filosof. Bandung. Pustaka.
(terj. Ahmad Rofi Utsmani)
Maurice Mandelbaum, et al. 1958, Philosophic Problems, New York,Mc Millan Co,
M.A.W. Brouwer. 1983. Psikologi Fenomenologis. Jakarta. Gramedia
Mehdi Hairi Yazdi.1994. Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam.
Bandung. Mizan
Mohammad Hatta. 1964. Alam Pikiran Yunani (Jilid 1 dan 2). Jakarta. Tintamas
M.T. Zen (ed). Sains, 1981 Teknologi dan Hari depan Manusia. Jakarta. Gramesia
Muhammad Baqir Ash Shadr. Falsafatuna, Bandung. Mizan. (terj. M. Nur Mufid Bin Ali)
Murthadho Muthahhari, 2002. Filsafat Hikmah, Bandung. Mizan
Nurcholis Madjid. 1978. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta. Bulan Bintang
Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat Islam. Jakarta. Bulan Bintang
Osman Bakar. 1998. Hierarki Ilmu. Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung.
Mizan (terj. Purwanto)
Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung. Putra Bardin.
Pervez Hoodbhoy. 1997. Islam dan Sains. Pertarungan menegakan Rasionalitas.
Bandung. Pustaka. (trj.Luqman)
Poedjawijatna, 1980. Pembimbing ke arah Alam Filsafat, Jakarta. PT Pembangunan.
----------,1975. Filsafat Sana Sini (jilid 1 dan 2). Yogyakarta. Yayasan Kanisius
Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia
Sidi Gazalba, 1976. Sistimatika Filsafat (Jilid 1 sampai 4), Jakarta. Bulan Bintang
----------,1978. Ilmu, Filsafat dan Islam, tentang Manusia dan Agama. Jakarta. Bulan
Bintang
Sindhunata.1982. Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta. Gramedia.

Siti Handaroh. et.al. 1998. The Quran and Philosophic Reflections. Yogyakarta. Titian
Ilahi Press.
Soerjanto & K. Bertens. 1983. Sekitar Manusia. Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia.
Jakarta. Gramedia
Sudarto, 1996. Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta. RajaGrafindo.
Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat, Jakarta, Dian Rakyat.
----------- et al. 2001. Sumbangan Islam kepada Sains dan Peradaban Dunia, Jakarta.
Nuansa.
-----------, 1986. Antropologi Baru, Jakarta, Dian Rakyat.
Whitehead. Alfred North. 1960. Science and The Modern World.New York. The New
American Library of World Literature.

Você também pode gostar