Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
SM adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi,
obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika
kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka
orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit makrovasculer.
Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh
kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin (RI), dislipidemia dan
hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM memiliki definisi
yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin
gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa
komplikasi 8,9
SM dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu pada
tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan
hiperglikemia. Yang kemudian SM pertama kali dijelaskan oleh Jean Vague pada
tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas
metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald Phillips
menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan
manifestasi klinis, yang sekarang disebut SM dan dihubungkan dengan penyakit
2.2 Epidemiologi
Prevalensi SM bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan
populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari The Third National Health and
Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi SM (dengan
menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki-laki kulit
hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi SM meningkat dengan
bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang
berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan
lebih atau gemuk, diperkirakan SM melebihi merokok sebagai faktor risiko primer
terhadap penyakit kardiovaskular. Di Indonesia sendiri dilakukan penelitian yang
dilakukan Semiardji pada pekerja PT. Krakatau steel didapatkan prevalensi
sebesar 15,8% pada tahun 2005 dan meningkat sebesar 19,7% pada tahun 2007.
Hal ini meningkat dengan adanya pengaruh gaya hidup yang cenderung kurang
dalam aktifitas fisik dan makanan siap saji dan berlemak12.
Gambar 1.
40%
African American
Mexican American
White
other
30%
20%
10%
0%
Gambar 2.
faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini. Pada tabel 1 dapat dilihat
beberapa prevalensi SM yang menggunakan kriteria WHO8.
Tabel 1. Prevalensi SM menggunakan kriteria WHO. (WHO. Obesity: Preventing
and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
Prevalensi (%)
Kelompok
Negara
Umur (Th)
Pria
Wanita
India
20-75
36,4
46,5
Iran
>20
24,0
42,0
Mexico
20-69
Total 26,6
Skotlandia
45-64
26,2
Turki
>31
27,0
38,6
Australia
>24
19,5
17,2
Maunitius
>24
10,6
14,7
Perancis
30-64
10,0
7,0
Amerika Serikat
45-49
43,6
56,7
(Amerika asli)
Amerika Serikat
50-69
34,5
(Filipina Amerika)
Amerika serikat
>19
24,2
23,5
(Ford, dkk)
Amerika Serikat
30-79
26,9
21,4
(meigs, dkk)
Amerika Serikat
30-79
24,7
21,3
(Non-hispanic)
Amerika serikat
30-79
29,0
32,8
(Meksiko-Amerika)
Di Indonesia, prevalensi SM terus meningkat seiring dengan perubahan
pola dan taraf hidup. Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI)
menunjukkan prevalensi SM sebesar 13,13%. Penelitian di Makassar yang
melibatkan 330 orang pria berusia antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria
NCEP ATP III dengan ukuran lingkar
Asia (menurut klasifikasi usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu 90 cm untuk
pria dan 80 cm untuk wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9 %. Prevalensi
lebih tinggi yaitu sebesar 62,0 %, ditemukan pada subyek dengan obesitas
sentral4,13.
Tabel 2. Prevalensi SM menggunakan kriteria NCEP ATP III. (WHO. Obesity:
Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
Kelompok
Prevalensi (%)
Negara
Umur (Th)
Pria
Wanita
Australia
>35
25,2
16,7
Inggris (Balkau, dkk)
40-65
>44,8
>33,9
Inggris (Balkau, dkk)
40-75
>12,6
>13,3
Perancis (Balkau, dkk)
30-65
>23,5
>9,6
Perancis (Marques-Vidal, dkk)
35-64
23,0
12,0
Belanda
20-60
>19,2
>7,6
Mauritius
>24
20,9
17,6
Amerika serikat (Ford, dkk)
40-74
41,3
32,7
Amerika Serikat (meigs, dkk)
30-79
30,3
18,1
Amerika Serikat (Non-hispanic)
30-79
24,7
17,2
Amerika serikat (Meksiko30-79
32,0
28,3
Amerika)
2.3 Etiologi
Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan
bahwa penyebab primer dari SM adalah RI14.
Menurut pendapat Tenebaum penyebab SM adalah15:
a. Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi
resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(Misalnya komplikasi jantung)
b. Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (Misalnya nephropathy diabetica).
10
SM, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan
aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stres17.
11
12
13
14
pada usia 8 tahun dan yang paling tertua 50 tahun. Jumlah rokok yang
dikonsumsi mulai dari 1-9 batang sampai lebih dari 36 batang perhari. Rokok
kretek merupakan pilihan pertama dibandingkan dengan jenis rokok lainnya.
Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar
pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok,
dan juga 3 kali lebih besar pada orang yang merokok kretek22.
Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap,
bukan lamanya waktu seseorang telah merokok. Orang yang merokok > 20
batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama
risiko (hipertensi dan hiperkolesterol)21.
Hasil penelitian Neunteufl et al (2002) menunjukkan bahwa nikotin
meyebabkan disfungsi endotel akut pada perokok jangka panjang. 1 mg
nikotin menyebabkan disfungsi endotel di arteri brachial pada perokok kronis.
Merokok sigaret menyebabkan konstriksi immediate arteri koroner epicardial
dan peningkatan resistensi vessel tone di arteri koroner meskipun kebutuhan
oksigen miokardial meningkat. Mekanisme merokok menyebabkan disfungsi
endotel terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang baik dari
rokok yang mengandung banyak radikal bebas seperti radikal superoxide
anion dan hidroksil yang menurunkan NO (nitrit oksida) yang dilepaskan dari
endotelium. Nikotin menyebabkan disfungsi endotel dengan peningkatan
oksidatif stress21.
15
16
17
penelitian
yang
berhubungan
dengan
gen
obesitas
LDLR, TNFRSFI B,
POMC, APOB,APOD25.
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 70%. Pada beberapa
orang faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain
faktor lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan
obesitas tidak timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi
berbagai gen obesitas. Hasil penelitian Mayers menunjukkan bahwa
18
kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya
obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika
kedua orangtuanya tidak obesitas25.
4.2.3 Sosial ekonomi
Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang
dengan sosial ekonomi rendah. Di negara-negara maju seperti Amerika dan
Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial
ekonomi rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka
dengan sosial ekonomi tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144
penelitian yang menghubungkan antara sosial economic status (SES) dan
obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di negara maju kelompok
wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi26.
Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas
lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah
pedesaan artinya kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan
sosial ekonomi tinggi.
dengan kejadian di Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48% pria
mengalami overweight dan obesitas. Penelitian efek obesitas terhadap
penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di Afrika Utara
dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih berpendidikan
dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air daripada di
Senegal dengan gula darah puasa (GDP) perkapita di Afrika Utara lebih besar
19
6,6 kali dibandingkan di Senegal. Rata-rata body mass index (BMI) di Afrika
Utara adalah 27,3 dan di Senegal 22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika
Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal hanya 6,5%26.
Fernald (2007), dalam penelitiannya menyatakan terdapat hubungan
antara BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan di
negara sedang berkembang. Untuk negara maju, tingginya obesitas
berhubungan secara terbalik dengan status sosio-ekonomi, terutama untuk
wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau anak. Namun bagi negara sedang
berkembang tidak demikian terdapat hubungan positif antara status sosioekonomi dengan obesitas bagi kedua gender26.
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah
penderita kegemukan dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia,
masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada
awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok
sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya
perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya
peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas26.
Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui
bahwa masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan
harapan dapat mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya
mereka bermukim di daerah kumuh dan bekerja serabutan. Hal ini
menyebabkan perubahan pada pola makan, terpaparnya stress, dan
menurunnya akivitas fisik, meningkatnya kegiatan merokok dan konsumsi
20
alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor resiko terjadinya obesitas.
Bagaimanapun juga, di negara-negara berkembang, kelangkaan dan
kekurangan pangan masih menjadi masalah, namun kecenderungan akan
kejadian penyakit tidak menular pada masyarakat miskin perlu menjadi
perhatian. Pada penelitian Sawaya di Brazil melaporkan kejadian obesitas
sebesar 6,4% pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan dari 2411
subyek
kurang gizi, dan 78-90% anak stunting, namun secara bersamaan diketahui
bahwa prevalensi overweight dan obesitas cukup tinggi yakni masing-masing
16,7% dan 14,1%26.
Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES
rendah adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih
modern yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya
bekerja menjadi petani dengan tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah
menjadi pedagang kaki lima dengn aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain
yang
mempengaruhi
yakni
adalah
aktivitas
hypothalamus
pituitary
dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat badan
21
22
23
Tabel 4. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III. (WHO. Obesity:
Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
24
1. Obesitas sentral
Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga
dapat menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit.
Obesitas dapat disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama
yaitu ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energi
yang dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun
dalam jaringan lemak28.
Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada obesitas
sentral terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di daerah
abdomen. Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah
gluteofemoral. Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam
mencetuskan terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya resistensi insulin, antara lain28:
a. Lipotoksisitas
Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas
meningkatkan pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang
disebabkan oleh glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat
ekspresi insulin pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki
apoptosis sel beta pankreas.
Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk
menghambat penghasilan glukosa hepatik dan menghambat pemasokan glukosa
ke dalam otot skelet, juga menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal
ini menyebabkan resistensi insulin pada organ hati dan otot.
25
b. Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti tumor necrosis factor (TNF-), interleukin-6 (IL-6) dan resistin dapat mencetuskan terjadinya RI
karena adanya efek proinflamasi. Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT4 sebagai transporter glukosa sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam
sel.
Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid ternyata
mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-, leptin,
IL-6, resistin. TNF, IL-6 dan resitin menyebabkan RI sedang adiponektin dan
leptin menghambat RI.
c. Adinopektin
Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh
sel lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat
badan. adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas insulin,
anti-inflamasi dan anti-aterogenik.
26
Gambar 4.
sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di
hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran
energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis
trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan
sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan nafsu makan dan
meningkatkan penggunaan energi.
e. Interleukin-6 (IL-6)
Interleukin-6
peningkatan kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak.
IL-6 disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan
lemak subkutan pada orang yang obes berat. Interleukin-6 memiliki sifat proinflamasi yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin.
Interleukin-6 diperkirakan dapat mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin khususnya sel hati.
f. Resistin
Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak.
Ekspresi gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin
diperkirakan memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.
27
28
ROS
Obesity
Oxidative Stress
in WAT
NADPH Oxidase
Antioxidative
Dysregulation of
adipocytokines
Enzymes
ROS
Oxidative Stress to
remote tissues
Insulin Resistace
Diabetes
Atherosclerosis
METABOLIC SINDROME
29
Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres
oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi
sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada
sel adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa
dkk (2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan
stres oksidatif secara sistemik.
2. Resistensi insulin (RI)
Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik disebabkan oleh
banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang dengan obesitas
sentral28.
30
- Jaringan otot
Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)
- Hati
Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)
- Pankreas
Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel- pankreas
- Pembuluh darah
Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah akibat
penurunan Nitrit oxide.
Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan
asam lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai
kofaktor dari trigliserid dan Very LDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi
penurunan isi ester kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan penurunan isi
kolesterol HDL dengan peningkatan beragam trigliserida menjadikan partikel
kecil dan padat. Hal ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di sirkulasi28.
31
Gambar 7.
32
Pengaruh genetik
Resistensi Insulin
Pengaruh lingkungan
Defisiensi zat-zat gizi
Intake kalori yang berlebihan
Aktivitas fisik rendah
Hyperinsulinemia
Peningkatan
Trygliserida
Peningkatan
kolesterol
LDL
Aterosklerosis
Penurunan
kolesterol
HDL
Peningkatan
asam urat
Gout
Intoleransi
glukosa
Diabetes
Peningkatan
lipogenesis
Obesitas
Peningkatan
tekanan darah
Hipertensi
33
34
2. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap SM adalah menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database mendukung
peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Buktibukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat
membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil dari studi klinis,
diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna
dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total32.
Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension
(DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi
karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun
tanpa disertai penurunan berat badan32.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau
mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the
Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa
konsumsi produk-produk rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan
risiko SM yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat
meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga
memperberat
dislipidemia.
Untuk
menurunkan
hipertrigliseridemia
atau
meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak,
asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang
mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan
karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola
35
diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas PKV. Suatu studi
menunjukkan adanya korelasi antara PKV dan asupan biji-bijian dan kentang.
Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan
dan sayuran untuk menurunkan risiko PKV. Efek jangka panjang dari diet rendah
karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti
dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan
menurunkan berat badan. Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah
dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan
indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks
glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin32.
3. Medikamentosa
Obat-obatan dapat dipakai sebagai bagian pengaturan berat badan. Obat
yang dapat diberikan adalah sibutramin dan orlistat. Sibutramin bekerja disentral
memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek memberikan rasa
kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Demikian pula dengan efek
metabolik, sebagai efek penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24
minggu yang disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki kolesterol HDL
dan kadar trigliserida33.
Untuk hipertensi pada SM, dapat digunakan golongan ACE-inhibitor yang
memiliki makna dalam meregresi hipertrofi ventrikel. Selain itu, valsartan sebagai
penghambat reseptor angiotensin dapat mengurangi albuminuria yang diketahui
sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Tiazolidindion juga memilki
pengaru persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.
36
Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan kadar asam lemak bebas.
Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat mengurangi
progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas33.
Pilihan terapi untuk dislipidemia selain dengan modifikasi gaya hidup
adalah dengan pemberian obat. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya
memperbaiki profil lipid tapi juga menurunkan risiko kardiovaskuler. Fenofibrat
juga secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL, telah meningkatkan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan
mengurangi risiko kardiovaskular33.
37
BAB III
PENUTUP
38
inaktifitas fisik dan usia. Prinsip pengobatan SM adalah perubahan pola hidup,
dengan meningkatkan aktifitas/latihan fisik dan diet rendah garam, rendah lemak
jenuh dan kaya sayur/buah, sehingga dapat menurunkan berat badan, memperbaiki
resistensi insulin dan menurunkan TG, serta menaikkan HDL. Pengobatan
medikamentosa yang dianjurkan ditujukan terutama untuk memperbaiki kadar
glukosa pada DM dan meningkatkan resistensi insulin, yaitu dengan OHO saja
atau kombinasi OHO dengan insulin. Anti hipertensi golongan ACEI atau ARB
merupakan pilihan utama dan dapat dikombinasi dengan calcium channel blocker,
carvedilol atau beta selektif lainnya, serta diuretik bila target tekanan darah belum
tercapai. Obat obatan lain untuk menurunkan TG dan menaikkan HDL seperti
golongan statin, dapat diberikan untuk membantu menurunkan faktor resiko
kardiovaskular.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Haffner S, Taegtmeyer H. Epidemic obesity and the metabolic syndrome.
Circulation 2003; 108: 1541-1545.
2. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic
Syndrome.(online) (www.idf.org, diakses 27 Oktober 2013)
3. Expert panel on detection, evaluation, and treatment of High Blood
Cholesterol in adults. Executive summary of the third report of the
national cholesterol education program (NCEP) expert panel on detection
of detection, evaluation and treat ment of high cholesterol in aduls (adult
treatment panel III). JAMA 2001; 285: 2486-2497.
4. Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the metabolic syndrome
among US adults; finding from the third National Health and Nutrition
Examination Survey. JAMA 2002; 287: 356-359.
5. Budhiarta AAG, Aryana IGP, Saraswati MR, et al. Sindrom metabolik di
Bali. Naskah lengkap Surabaya Metabolic Syndrome Update-1. 2005;
139-147.
6. Suyono S, Kamso S, Oemardi M. Metabolic syndrome in the elderly
should it be treated?.Naskah lengkap Surabaya Metabolic Syndrome
Update-1. 2005; 9-20.
7. Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum
Diagnosticum. 4:1-16.
8. WHO. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva.
2000.
9. Gu D, Reynolds K, Wu X, Chen J, Duan X, Reynolds RF, Whelton PK,
He J. Prevalence of The Metabolic Syndrome and Overweight Among
Adults in China. Lancet. 2005; 365:13981405.
10. Isomaa B et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the
metabolic syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.
11. Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The
Review of Diabetic Studies: DOI 10. 1900?RDS.2006.3.118 (online),
(www. The-RDS.org, diakses 27 Oktober 2013).
12. Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic Syndrome. Current Cardiology
Review 2007 pg. 232-239.
13. Adrianjah, H dan Adam, J. Sindroma Metabolik:Pengertian, Epidemiologi,
dan Criteria Diagnosis. Informasi laboratorium prodia No.4/2006.
14. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan
dan Kedokteran. (online), (http:/ alwia.com, diakses 27 Oktober 2013)
15. Angraeni, D., 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolic. (Online).
(http://labcito.co.id., diakses 27 Oktober 2013)
16. Tjokroprawiro A.. New Approach in The Treatment of T2DM and
Metabolic Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 2006.
38:160-166.
40
17. Arief, I. 2008. mencegah obesitas dengan mengurangi waktu nonton tv.
artikel.(online) (www.pjnhk.go.id./view/808/31, diakses 27 Oktober 2013)
18. Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review.
Obesity Reviews (2003) 4, 9199
19. Lipoeto, N.,. Consumption of Minangkabau Traditional Food and
Cardiovascular Disease in west sumatra, indonesia. Monash university.
2002
20. Hayens, B., et al. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta: Ladang
pustaka & Intimedia. 2003
21. Soeharto, I. , 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung.
Jakarta: Gramedia
22. Kusmana, D., 2007. Rokok & kesehatan jantung. (online)
(http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=312 , diakses 27 Oktober
2013)
23. Targher, G., dkk., 1999. Cigarette Smoking and Insulin Resistance in
Patients with Noninsulin-Dependent Diabetes Mellitus. Journal of clinical
Endocrinology and metabolism. (online), (www.jcem.endojournals.org,
diakses 27 Oktober 2013)
24. Ceriello A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism
Underlying Insulin Resistance, Diabetes and CVD?, Arterioscler Thromb
Vac Bio 2004 ; 24 : 816-823.
25. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic Sindrome:
from Bench to Bedside. Springer Science.
26. Misra, A., et al. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia
in Urban Slum Population in Northern India. International Journal of
Obesity. Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729.
27. Stelmach et al. How income and education contribute to risk factors for
cardiovaskuler diseases in elderly in a former communist country. Public
Health (2004) 118, 439-449.
28. Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari
Sel ke Sistem hal. 661-667. 2006. EGC.
29. Majalah Farmacia, 2007. Stress Oksidatif, Faktor Penting Penyulit
Vascular. (online)( www.combiphar.com/ahp, diakses 27 Oktober 2013).
30. Sartika, Cyntia R. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi
Endotel pada Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. 2006. Prodia
Diagnostics Educational Services. No. 2.
31. Sugondo, Sidartawan. Sindrom Metabolik dalam Buku Ajar Penyakit
Dalam. 2006: pg 1871-1872.
32. Sutomo Kasiman. Pengaruh Makanan Pada Sindrom Metabolik. J Kardiol
Indones. 2011;32:24-26.
33. Scott M,G et al. Diagnosis and Management of the Metabolic Syndrome.
An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute
Scientific Statement. 2008:1823-1835.