Você está na página 1de 14

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA TRAUMA KEPALA

3.1 KONSEP DASAR PENYAKIT


3.1.1 PENGERTIAN
Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak.
(Brunner & Suddarth, 2001 : 2010).
Cedera kepala adalah cedera kepala (terbuka dan tertutup) yang terjadi karena:
fraktur tengkorak, komusio (gegar serebri), kontusio (memar /laserasi) dan perdarahan
serebral (subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). (Doenges, 1999 :
270).
Cedera kepala adalah trauma yang terjadi karena adanya pukulan /benturan
mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran.(Tucker, 1998).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. (Price,
1995 : 1015).
Cedera kepala gangguan traumatik yang menyebabkan gangguan fungsi otak
disertai / tanpa disertai perdarahan interstisial dan tidak mengganggu jaringan otak.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun
tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
bahkan dapat menyebabkan kematian.
3.2.2

EPIDEMIOLOGI
Menyerang semua umur tanpa terkecuali.

3.2.3

ETIOLOGI
1

1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya
tertembak peluru / benda tajam.
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan.
4. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
5.
6.
7.
8.
9.
3.2.4

Kecelakaan lalu lintas


Jatuh
Kecelakaan industri
Serangan yang disebabkan karena olah raga
Perkelahian
(Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)
PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik apabila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energy yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20mg
%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25mg% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan timbulnya metabolic asidosis.
Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr
jaringan otak, yang merupakan 15% dari curah jantung (CO).
Faktor kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal
miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan otonom pada fungsi
2

ventrikel adlaah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan para simpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunya
stroke work dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan
penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah edema paru.
Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperpnoe dan bronkokontriksi. Pernapasan chyne stoke dihubungkan
dengan sensitivitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbon dioksida dan
episode pasca hiperventilasi apnea.
Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila PO2 rendah aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan
PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokontriksi (arteri kecil) dan penurunan
CBF (cerebral blood fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan system pernapasan
akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan penambahan CBF,
yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingg inya tekanan intracranial
(TTIK).
Edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak, terjadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein eksudat
yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan.
Edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya.
Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang
dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
Akibat penekanan daerah medulla oblongata dapat menyebabkan pernapasan ataksia
dimana ditandai dengan irama napas tidak teratur atau pola napas tidak efektif.

Faktor Metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen.
Trauma

pelepasan ADH

retensi cairan

Haluaran urin sedikit


Meningkatnya konsentrasi elektrolit

Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam
proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah 3-4 hari
tidak perlu pemberian hidrasi dilihat dari haluaran urin. Pemberian cairan harus hati-hati
untuk mencegah TTIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan pemeriksaan serum
elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelainan kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolic terhadap
trauma, karena dengan adanya trauma, tubuh memerlukan energy untuk menangani
perubahan-perubahan seluruh system organ tubuh. Namun masukan makanan yang
kurang maka akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama. Hal
ini menambah terjadinya asidosis metabolic karena adanya metabolism anaerob glukosa.
Maka dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan
metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma kepala harus
mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan melakukan reflex
menelan.
Faktor gastro-intestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi system gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3
hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal.
Hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal
ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun pengaruhnya
terhadap lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan
hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas juga terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran
katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi lambung.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung.
4

Dilihat dari seluruh proses patofisiologi yang terjadi pada trauma kepala, maka dapat
diduga dampak masalah yang terjadi pada kasus ini. Pada trauma kepala ringan tidak
ditemukan perubahan neurologis yang serius karena tidak terjadi perubahan struktur dan
fungsi. Namun pada trauma kepala berat seperti kontusio dan laserasio, kemungkinan
akan ditemukan gejala-gejala perubahan neurologis seperti penurunan kesadaran dan
disfungsi senso-motoris. Pengaruh lainnya adalah perubahan system kardiovaskuler,
pernapasan, metabolism tubuh, gastrointestinal atau system urinariusm dan lain-lain.
Faktor psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien
adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pasca trauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga.
3.2.5

MANIFESTASI KLINIS
Menurut Agus Purwadianto dan Budi Sampurna, ada beberapa jenis manifestasi klinis
pada klien dengan trauma kepala,
1. Komosio serebri
a) Pingsan tidak lebih dari 10 menit
b) Tanda-tanda vital dapat normal atau menurun
c) Sesudah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperti nyeri kepala, pusing
muntah.
d) Terdapat amnesia retrograde, pada pemeriksaan tidak terdapat gejala kelainan
neurologic lainnya.
(Agus Purwadianto & Budi Sampurna, 2000).
2. Edem Serebri Traumatik
Gejala serupa dengan komosio serebri yang sifatnya lebih berat dengan
pingsannya yang lamanya dapat berjam-jam. Tekanan darah naik dan nadi turun. Pada
pemeriksaaan tidak terdapat gejala kelainan neurologic lainnya.
3. Kontusio Serebri
Pada Kontusio serebri terdapat perdarahan otak tanpa gangguan kontinuitas jaringan.
Tanda dan gejalanya sebagai berikut:
a) Pingsan berlangsung lama, dapat beberapa hari sampai berminggu-minggu.

b) Kelainan neurologic. Kelainan neurologic yang timbul bergantung pada


lokalisasi dan luasnya lesi. Lesi pada batang otak dapat berakibat fatal. Pada
gangguan diensefalon:
Pernapasan biasa atau seperti Cheyne Stokes.
Pupil mengecil dan refleks cahaya baik
Gerakan mata seperti mata boneka yaitu mata tetap di tengah pada

pergerakan kepala.
Pada susunan motorik terdapat rigiditas dekortikalis yaitu kaku pada
kedua tungkai dalam sikap ekstensi dan lengan dalam sikap fleksi.

Pada gangguan mesensefalon dan pons:


Penurunan kesadaran hingga koma
Hiperventilasi
Pupil melebar dan refleks cahaya tidak ada
Pergerakan bola mata tidak teratur
Sikap desebrasi tungkai dan lengan (dalam sikap ekstensi)
Pada medulla oblongata:
Pernapasan tersengal-sengal, tak teratur kemudian berhenti.
Pada pemeriksaan pungsi lumbal, cairan serebrospinal berdarah.
4. Hematom epidural
Pada hematom epidural terjadi perdarahan di antara tengkorak dan
durameter akibat robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Tanda
dan gejalanya sebagai berikut:
Penurunan kesadaran atau nyeri kepala sebentar, kemudian membaik.
Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan sifatnya
progresif seperti nyeri kepala hebat, pusing dengan disertai penurunan
kesadaran. Masa antara siuman dari pingsan setelah kecelakaan dan
menurunnya kembali kesadaran disebut interval lusid.
5. Hematom Subdural
Pada hematom subdural, perdarahan terjadi di rongga antara durameter
dan arachnoid. Tanda dan gejalanya sebagai berikut:
Nyeri kepala hebat
Gangguan penglihatan karena edem dari papil N II.
Pada sisi kontralateral hematom terdapat gangguan traktus piramidalis.
6. Hematom subarachnoid
6

Perdarahan terjadi dalam rongga subarachnoid; sering menyertai kontusio


serebri. Papa pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah. Cairan
serebrospinal yang berdarah tersebut dapat merangsang selaput otak sehingga
timbul kaku kuduk. Penatalaksanaan seperti pada kontusio serebri.
3.2.6

KOMPLIKASI
1. Peningkatan tekanan intra cranial
2. Iskemia
3. Perdarahan otak
4. Kejang pasca trauma
5. Demam dan menggigil
6. Hidrosefalus
7. Spasisitas
8. Angitasi
9. Mood,tingkah laku dan kognitif
10. Sindroma post kontusio

3.2.7

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
1. CT scan (dengan/tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2. MRI :Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif.
3. Cerebral angiografi: Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan
jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5. Sinar X: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
6.
7.
8.
9.

(perdarahan/edema) fragmen tulang.


BAER: Mengeroksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
PET: Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak.
CSS: Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
Kadar elektrolit: Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan

intracranial.
10. Screen toxicology: Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
11. Analisa gas darah: adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status
respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
status oksigenisasi dan status asam basa.
(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)

3.2.8

PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksaan keperawatan
1. Observasi selama 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
b. Penatalaksanaan Medis
1. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
3. Pemberian analgetik
4. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa
40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan
(Smeltzer, 2001; Long, 1996)

3.3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


3.3.1 PENGKAJIAN
Anamneses
Identitas
o Nama
o Umur : terjadi pada semua umur
o Jenis kelamin : terjadi pada pria dan wanita
o Riwayat pentakit dahulu :
Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana
itu merobek otak, misalnya tertembak peluru / benda tajam.

Trauma tumpul
Kerusakan

menyebar

karena

kekuatan

benturan,

biasanya lebih berat sifatnya.

Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik
disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.
Kontak benturan (Gonjatan langsung): Terjadi benturan
atau tertabrak sesuatu obyek.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh
Kecelakaan industri
Serangan yang disebabkan karena olah raga
Perkelahian
(Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)

o Riwayat penyakit sekarang : tingkat kesadaran menurun (GCS <


15 ), muntah, dipsneu sakit kepala, lemah, luka dikepala,
akumulasi sputum pada saluran napas,
3.3.2

DIAGNOSA
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d peningkatan intracranial.
2. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d desak ruang sekunder dari
kompresi korteks cerebri .
3. Gangguan pola pernapasan b.d depresi pusat pernapasan.
4. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan disfungsi
hormonal.
5. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular yang

3.3.3

RENCANA TINDAKAN/ INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Gangguan

perfusi

jaringan

cerebral

b.d

peningkatan

intracranial.

DS: Mengatakan kejang


DO:
Perubahan tingkat kesadaran
Gangguan atau kehilangan memori
Defisit sensori
Perubahan tanda vital
Perubahan pola istirahat
Retensi urine
Gangguan berkemih
Nyeri akut atau kronis.
Demam
Mual , muntah
Outcomes : Dalam waktu 1x 24 jam klien mengatakan :
9

Tidak kejang
Tidak mual , muntah
Tingkat kesadarana normal

Intervensi
1) Ubah posisi klien secara bertahap
Rasional : Klien dengan paraplegia beresiko menglami luka tekan
(dekubitus). Perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai respons klien
mencegah terjadinya luka tekan akibat tekanan yang lama karena jaringan
tersebut akan kekurangan nutrisi dan oksigen dibawa oleh darah.
2) Jaga
suasana
Rasional

: Suasana tenang akan memberikan rasa nyama pda klien dan

mencegah ketegangan
3) Kurangi
Rasional

tenang

cahaya

ruangan

: Cahaya merupakan salah satu rangsangan yang beresiko

terhadap peningkatan TIK


2. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d desak ruang sekunder dari
kompresi korteks cerebri.
DS:
DO :
GCS 12 (blackout, post trepanasi)
TD : 67/42 mmHg
N : 76x / menit
Pupil anisocor
Outcomes : Dalam waktu 1 x 24 jam klien mengatakan :
GCS 15
Pupil isokor
TD : 110/ 70 mmHg
Intervensi
1) Kaji faktor penyebab dari situasi kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.
10

Rasional

: deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi,

mengkaji

status

neurologis

untuk

menentukan

perawatan

kegawatan atau tindakan pembedahan.


2) Memonitor TTV tiap 4 jam
Rasional

: suatu keadaan normal bila sirkulasi cerebral

terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan


darah

sistemik,

penurunan

dari

autoregulator

kebanyakan

merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah


cerebral.
Pertahankan kepala atau leher pada posisi yang netral, usahakan dengan
sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Rasional

: perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan

pada vena jigularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase
pada vena cerebral) untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.
3. Gangguan pola pernapasan b.d depresi pusat pernapasan.
DS:
Kien
mengatakan
sulit
bernapas
dan
sesak
napas
DO:

Gangguan visual
Penurunan karbondioksida
Takikardia
Tidak dapat istirhat
Somnolen
Irritabilitas
Hipoksia
Bingung
Dispnea
Perubahan warna kulit (pucat , sianosis)
Hipoksemia

Intervensi:
1) berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur. Balik ke posisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.

11

Rasional

:Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan

ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.


2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea,
atau perubahan tanda-tanda vital.
Rasional

:Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital

dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus adanya sesak
atau kolaps paru
Rasional :Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi
ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik
4. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan disfungsi
hormonal.
DS:
DO:

Perubahan turgor kulit


Perubahan tanda vital
Akral dingin
Penurunan BB mendadak
Perubahan nilai metabolism

Intervensi
1) Pantau keseimbangan cairan
Rasioanal : Kerusakan otak dapat menghasilkan disfungsi
hormonal dan metabolic.
2) Pemeriksaan serial elektrolit darah atau urine dan osmolaritas
Rasional : Hal ini dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium. Retensi natrium dapat terjadi beberapa hari, diikuti
dengan dieresis natrium. Peningkatan letargi, konfusi, dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
12

3) Evaluasi elektrolit
Rasional : Fungsi elektrolit dievaluasi dengan memantau elektrolit,
glukosa serum, serta intake dan output.
5. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular.
DS: klien mengeluh kesulitan dalam melakukan aktivitas
DO:
Kelemahan
Parestesia
Paralisis
Ketidakmampuan
Kerusakan koordinasi
Keterbatasan rentang gerak
Penurunan kekuatan otot
Intervensi
1) Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap
ekstermitas
Rasional

: Lobus frontal dan oxipital berisi saraf-saraf yang

mengatur fungsi motorik dan sensorik dan dapat dipengaruhi oleh


iskemia atau peningkatan tekanan.
2) Ubah posisi klien tiap 2 jam
Rasional : Mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur terlalu
lama pada satu posisi sehingga jaringan yang tertekan akan
kehilangan nutrisi yang dibawa darah melalui oksigen.
3) Lakukan latihan secara teratur dan letakan telapak kaki klien
dilantai saat duduk dikursi atau papan penyangga saat di tempat
tidur.
Rasional

: Mencegah deformitas dan komplikasi seperti footdrop.

3.3.4 EVALUASI

13

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart.2002. Keperewatan Medikal Bedah (Brunner & Suddarth edisi 8,
vol.1). Jakarta: EGC.
Purwadianto, Agus & Sampurna Agus. 2000. Kedaruratan Medik, Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara.

14

Você também pode gostar

  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Documento17 páginas
    Pemba Has An
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Kuisioner FIX (Ujian Riset 2015)
    Kuisioner FIX (Ujian Riset 2015)
    Documento5 páginas
    Kuisioner FIX (Ujian Riset 2015)
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Proposal-Penelitian (Ujian Riset 2015)
    Proposal-Penelitian (Ujian Riset 2015)
    Documento27 páginas
    Proposal-Penelitian (Ujian Riset 2015)
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Teori DLL
    Teori DLL
    Documento12 páginas
    Teori DLL
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Documento6 páginas
    Pemba Has An
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Documento6 páginas
    Pemba Has An
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Documento6 páginas
    Pemba Has An
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Documento6 páginas
    Pemba Has An
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Woc Syok
    Woc Syok
    Documento1 página
    Woc Syok
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Documento6 páginas
    Pemba Has An
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Woc Syok
    Woc Syok
    Documento2 páginas
    Woc Syok
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Konsep Teori CVC
    Konsep Teori CVC
    Documento3 páginas
    Konsep Teori CVC
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações
  • Post Matur
    Post Matur
    Documento7 páginas
    Post Matur
    Ephink Momank Uchuk
    Ainda não há avaliações