Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
EPIDEMIOLOGI
Menyerang semua umur tanpa terkecuali.
3.2.3
ETIOLOGI
1
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak, misalnya
tertembak peluru / benda tajam.
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan.
4. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu obyek.
5.
6.
7.
8.
9.
3.2.4
ventrikel adlaah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
ventrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan para simpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunya
stroke work dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf
simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan
penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah edema paru.
Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperpnoe dan bronkokontriksi. Pernapasan chyne stoke dihubungkan
dengan sensitivitas yang meningkat pada mekanisme terhadap karbon dioksida dan
episode pasca hiperventilasi apnea.
Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila PO2 rendah aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan
PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan vasokontriksi (arteri kecil) dan penurunan
CBF (cerebral blood fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan system pernapasan
akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal ini menyebabkan penambahan CBF,
yang kemudian menyebabkan terjadinya penambahan tingg inya tekanan intracranial
(TTIK).
Edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak, terjadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein eksudat
yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan.
Edema otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaringan sekitarnya.
Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang
dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.
Akibat penekanan daerah medulla oblongata dapat menyebabkan pernapasan ataksia
dimana ditandai dengan irama napas tidak teratur atau pola napas tidak efektif.
Faktor Metabolisme
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen.
Trauma
pelepasan ADH
retensi cairan
Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam
proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah 3-4 hari
tidak perlu pemberian hidrasi dilihat dari haluaran urin. Pemberian cairan harus hati-hati
untuk mencegah TTIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan pemeriksaan serum
elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelainan kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolic terhadap
trauma, karena dengan adanya trauma, tubuh memerlukan energy untuk menangani
perubahan-perubahan seluruh system organ tubuh. Namun masukan makanan yang
kurang maka akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama. Hal
ini menambah terjadinya asidosis metabolic karena adanya metabolism anaerob glukosa.
Maka dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan
metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma kepala harus
mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan melakukan reflex
menelan.
Faktor gastro-intestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi system gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3
hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal.
Hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Hipotalamus merangsang anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal
ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun pengaruhnya
terhadap lambung adalah peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan
hiperasiditas. Selain itu hiperasiditas juga terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran
katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi lambung.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung.
4
Dilihat dari seluruh proses patofisiologi yang terjadi pada trauma kepala, maka dapat
diduga dampak masalah yang terjadi pada kasus ini. Pada trauma kepala ringan tidak
ditemukan perubahan neurologis yang serius karena tidak terjadi perubahan struktur dan
fungsi. Namun pada trauma kepala berat seperti kontusio dan laserasio, kemungkinan
akan ditemukan gejala-gejala perubahan neurologis seperti penurunan kesadaran dan
disfungsi senso-motoris. Pengaruh lainnya adalah perubahan system kardiovaskuler,
pernapasan, metabolism tubuh, gastrointestinal atau system urinariusm dan lain-lain.
Faktor psikologis
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien
adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pasca trauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga.
3.2.5
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Agus Purwadianto dan Budi Sampurna, ada beberapa jenis manifestasi klinis
pada klien dengan trauma kepala,
1. Komosio serebri
a) Pingsan tidak lebih dari 10 menit
b) Tanda-tanda vital dapat normal atau menurun
c) Sesudah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperti nyeri kepala, pusing
muntah.
d) Terdapat amnesia retrograde, pada pemeriksaan tidak terdapat gejala kelainan
neurologic lainnya.
(Agus Purwadianto & Budi Sampurna, 2000).
2. Edem Serebri Traumatik
Gejala serupa dengan komosio serebri yang sifatnya lebih berat dengan
pingsannya yang lamanya dapat berjam-jam. Tekanan darah naik dan nadi turun. Pada
pemeriksaaan tidak terdapat gejala kelainan neurologic lainnya.
3. Kontusio Serebri
Pada Kontusio serebri terdapat perdarahan otak tanpa gangguan kontinuitas jaringan.
Tanda dan gejalanya sebagai berikut:
a) Pingsan berlangsung lama, dapat beberapa hari sampai berminggu-minggu.
pergerakan kepala.
Pada susunan motorik terdapat rigiditas dekortikalis yaitu kaku pada
kedua tungkai dalam sikap ekstensi dan lengan dalam sikap fleksi.
KOMPLIKASI
1. Peningkatan tekanan intra cranial
2. Iskemia
3. Perdarahan otak
4. Kejang pasca trauma
5. Demam dan menggigil
6. Hidrosefalus
7. Spasisitas
8. Angitasi
9. Mood,tingkah laku dan kognitif
10. Sindroma post kontusio
3.2.7
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
1. CT scan (dengan/tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2. MRI :Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif.
3. Cerebral angiografi: Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan
jaringan otak skundre menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
4. Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
5. Sinar X: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
6.
7.
8.
9.
intracranial.
10. Screen toxicology: Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
11. Analisa gas darah: adalah salah satu tes diaknostik untuk menentukan status status
respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
status oksigenisasi dan status asam basa.
(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)
3.2.8
PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksaan keperawatan
1. Observasi selama 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
b. Penatalaksanaan Medis
1. Dexamethason / kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi
3. Pemberian analgetik
4. Pengobatan anti edema dengan laruitan hipertonis yaitu manitol 20% glukosa
40% atau gliserol.
5. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
7. Pembedahan
(Smeltzer, 2001; Long, 1996)
Trauma tumpul
Kerusakan
menyebar
karena
kekuatan
benturan,
Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik
disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.
Kontak benturan (Gonjatan langsung): Terjadi benturan
atau tertabrak sesuatu obyek.
Kecelakaan lalu lintas
Jatuh
Kecelakaan industri
Serangan yang disebabkan karena olah raga
Perkelahian
(Smeltzer, 2001 : 2210; Long, 1996 : 203)
DIAGNOSA
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral b.d peningkatan intracranial.
2. Resiko tinggi peningkatan tekanan intracranial b.d desak ruang sekunder dari
kompresi korteks cerebri .
3. Gangguan pola pernapasan b.d depresi pusat pernapasan.
4. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan disfungsi
hormonal.
5. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular yang
3.3.3
perfusi
jaringan
cerebral
b.d
peningkatan
intracranial.
Tidak kejang
Tidak mual , muntah
Tingkat kesadarana normal
Intervensi
1) Ubah posisi klien secara bertahap
Rasional : Klien dengan paraplegia beresiko menglami luka tekan
(dekubitus). Perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai respons klien
mencegah terjadinya luka tekan akibat tekanan yang lama karena jaringan
tersebut akan kekurangan nutrisi dan oksigen dibawa oleh darah.
2) Jaga
suasana
Rasional
mencegah ketegangan
3) Kurangi
Rasional
tenang
cahaya
ruangan
Rasional
mengkaji
status
neurologis
untuk
menentukan
perawatan
sistemik,
penurunan
dari
autoregulator
kebanyakan
pada vena jigularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat drainase
pada vena cerebral) untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.
3. Gangguan pola pernapasan b.d depresi pusat pernapasan.
DS:
Kien
mengatakan
sulit
bernapas
dan
sesak
napas
DO:
Gangguan visual
Penurunan karbondioksida
Takikardia
Tidak dapat istirhat
Somnolen
Irritabilitas
Hipoksia
Bingung
Dispnea
Perubahan warna kulit (pucat , sianosis)
Hipoksemia
Intervensi:
1) berikan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat
tidur. Balik ke posisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.
11
Rasional
dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/ faktor pencetus adanya sesak
atau kolaps paru
Rasional :Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi
ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
terapeutik
4. Kekurangan volume cairan yang b.d penurunan kesadaran dan disfungsi
hormonal.
DS:
DO:
Intervensi
1) Pantau keseimbangan cairan
Rasioanal : Kerusakan otak dapat menghasilkan disfungsi
hormonal dan metabolic.
2) Pemeriksaan serial elektrolit darah atau urine dan osmolaritas
Rasional : Hal ini dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium. Retensi natrium dapat terjadi beberapa hari, diikuti
dengan dieresis natrium. Peningkatan letargi, konfusi, dan kejang
akibat ketidakseimbangan elektrolit.
12
3) Evaluasi elektrolit
Rasional : Fungsi elektrolit dievaluasi dengan memantau elektrolit,
glukosa serum, serta intake dan output.
5. Gangguan atau kerusakan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular.
DS: klien mengeluh kesulitan dalam melakukan aktivitas
DO:
Kelemahan
Parestesia
Paralisis
Ketidakmampuan
Kerusakan koordinasi
Keterbatasan rentang gerak
Penurunan kekuatan otot
Intervensi
1) Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan mengobservasi setiap
ekstermitas
Rasional
3.3.4 EVALUASI
13
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart.2002. Keperewatan Medikal Bedah (Brunner & Suddarth edisi 8,
vol.1). Jakarta: EGC.
Purwadianto, Agus & Sampurna Agus. 2000. Kedaruratan Medik, Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara.
14