Você está na página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya respon
tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Guntur,
2008). Sepsis masih menjadi penyebab utama kematian di sejumlah Intensive
Care Unit (ICU). Selama Januari 2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta, terdapat angka kejadian
sepsis 33,5% dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2% (Pudjiastuti, 2008).
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks. Hal tersebut
dapat ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai
respon terhadap faktor-faktor proinflamasi. Overproduksi sitokin inflamasi akan
menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus,
dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan,

Multi

Organ Dysfunction (MOD), syok septik, serta kematian.


Perkembangan terapi sepsis dengan obat-obatan akan berdampak secara
mendasar pada morbiditas dan mortalitas sepsis. Konsep modulasi respon
inflamasi sistemik menuju sepsis berat menyebabkan banyak obat-obatan
antiinflamasi digunakan dalam uji coba klinis. Berdasarkan hasil penelitian tahap
Randomized Control Trials (RCTs), berbagai intervensi antilipopolisakarida (antiendotoksin), anti-CD14, anti-LBP, anti-TNF, interleukin-1-receptor antagonist,
ibuprofen, kortikosteroid dosis tinggi, bradikinin antagonist, platelet-activating
factor acetyl hydrolase, elastase inhibitor, nitric oxide synthase inhibitor tidak
memperlihatkan perbaikan kelangsungan hidup penderita sepsis (Russel, 2006;
Guntur, 2008)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992
mengajukan konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
mengenali perubahan patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif.
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan
panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan
gangguan sirkulasi darah.
Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari
konferensi konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical
Care Medicine :
-

Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)


Tachypneu (respiratory rate >20/menit) atau PCO2 <32 mmHg atau
membutuhkan ventilasi mekanik

Tachycardia (pulse >100/menit)

Leukosit >12.000/mm3 ATAU <4000/mm3 atau >10% bentuk cell imature

Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein
(CrP).
Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional memodifikasi model

SIRS dan mengembangkan sebuah pandangan luas mengenai sepsis. Konferensi


ini mengembangkan konsep sistem penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat
karakteristik terpisah yang disebut sebagai PIRO. Huruf P mewakili predisposisi,
mengindikasikan kondisi-kondisi ko-morbid yang akan menurunkan kesintasan.
Huruf I mewakili infeksi, yang merefleksikan pengetahuan klinis bahwa beberapa
organisme patogen lebih letal dibandingkan yang lainnya. Huruf R mewakili
respons terhadap adanya infeksi, termasuk timbulnya SIRS. Huruf terakhir yakni
O mewakili disfungsi organ dan termasuk kegagalan organ, termasuk kegagalan
sistem seperti sistem koagulasi.

Tabel 1. Konsep PIRO


Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 (dua)
gejala sebagai berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan
anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg
atau penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi
cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).

Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis


3

Sindroma sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m

Syok Sepsis
Sindroma sepsis ditambah dengan

Takikardi 90x/m

gejala:

Hipertermi 38 C

Hipotensi 90 mmHg

Hipotermi 35,6 C

Tensi menurun sampai 40 mmHg dari

Hipoksemia

baseline dalam waktu 1 jam

Peningkatan laktat plasma

Membaik dengan pemberian cairan

Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1 jam

Dan penyakit shock hipovolemik, infark


miokard dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan
(Dikutip ari Glauser, 1991)

Tabel 2. Perbedaan sindroma sepsis dan syok sepsis


B. Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram
negatif di AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang
insiden ini meningkat antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root
1991). Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada infeksi
yang serius. Walaupun insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dalam
beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor
predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirosis hati,
alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan,
nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS
syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang ICU.

C. Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon
sistemik dapat disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam
darah atau hanya disebabkan produk toksik dari mikroorganisme atau produk
reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal (anonim, 2008).

Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara


lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat
sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat
invasive seperti kateter intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan
infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatnya infeksi yang disebabkan
organisme yang resisten terhadap antibiotik (Anonim, 2001).
D. Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu
protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding
protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor
inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan
dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat
ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal
intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein
kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA
sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi
intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram
positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai
superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen
berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vchains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar
untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra, 2003).

Peran sitokin pada sepsis

Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap


infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi
mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal
maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan
sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan
proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator
proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin antiinflamasi,
reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai
hormon (Widodo, 2004).
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan
IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF- dan IL-1 pada endotel
menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi
trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul
adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA,
PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-, IL-1, IL-6, IL-8
yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder
seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor
(PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif
peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan
yang berasal dari sistem komplemen (Nelwan, 2004).
Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi
pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi antiinflamasi (Hotckin,
2003).
Peran komplemen pada sepsis
Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk
inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui
jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen
yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel
menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi

pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas


kapiler dan ekspresi faktor jaringan (Widodo, 2004).
Peran NO pada sepsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan
gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan
reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi,
ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis
NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan
vasopresor (Widodo, 2004).
Peran netrofil pada sepsis
Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan
pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam
sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat
menurun. (Widodo, 2004). Netrofil seperti pedang bermata dua pada sepsis.
Walaupun netrofil penting dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan
berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil dipercaya bertanggungjawab
terhadap kerusakan organ. (Hotckin, 2003). Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi
sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil
pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif (Hotckin, 2003).
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer.
Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas
vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia relatif,
sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan
intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai edema.

Pada syok sepsis hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan
perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan
oksigen karena toksin kuman (anonim, 2008).
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ
multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat
seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai
akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain
yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial
depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Khei Chen,
2006).

Gambar 1. Model untuk disregulasi rekrutmen netrofil terhadap infeksi


bakterial dalam jarungan non-pulmonar pada keadaan normal (kiri) dan pada
sepsis (kanan). Faktor-faktor stimulasi koloni (granulocyte colony stimulating
factor G-CSF dan granulocyte macrophage colony stimulating factor GM-CSF)
menginduksi pelepasan netrofil dari sumsum tulang. Pada keadaan normal,
sejumlah besar netrofil darah tepi memasuki daerah infeksi bakterial dengan
pertama menempel pada sel endotel dan kemudian bermigrasi seiring dengan
gradien faktor-faktor kemotaktik. Faktor-faktor kemotaktik ini dihasilkan pada
lokasi patogen. Netrofil menggunakan TLR 2 atau 4 untuk berinteraksi dengan
pola

molekular terkait

patogen

pada bakteria

untuk memfagosit dan

mengeliminasi patogen. Sebaliknya, netrofil pada pasien sepsis mempunyai


peningkatan ekspresi integrin permukaan, yang menyebabkan pengikatan kuat
pada sel endotel. Sebagai akibatnya, netrofil tetap terikat pada sel endotel dan
gagal untuk bermigrasi secara adekuat ke dalam lokasi infeksi bakterial.

Gambar 2. Imbalans antara aktivasi koagulasi dan fibrinolisis serta penurunan


mekanisme antikoagulan dapat dilihat pada gambar di atas.

Mekanisme Kegagalan Organ


Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah kegagalan organ
multipel. Terdapat hubungan erat antara derajat keberatan disfungsi organ
terhadap perawatan intensif dan kemungkinan kesintasan serta antara jumlah
organ yang gagal dengan risiko kematian. Mekanisme ini melibatkan deposisi
fibrin luas yang menyebabkan oklusi mikrovaskular, timbulnya eksudat jaringan
yang kemudian menganggu oksigenasi adekuat dan gangguan hemostasis
mikrovaskular yang timbul dari elaborasi zat-zat vasoaktif seperti PAF, histamin
dan prostanoid. Inflitrat selular, terutama netrofil, merusak jaringan secara
langsung dengan melepaskan enzim lisosomal dan radikal-radikal bebas turunan
superoksida. TNF- dan sitokin-sitokin lainnya meningkatkan ekspresi sintase
oksida nitrat terinduksi dan peningkatan produksi oksida nitrat lebih lanjut akan
menyebabkan instabilitas vaskular dan juga berkontribusi terhadap depresi
miokardial yang timbul pada sepsis.
E. Gejala Klinik
1) Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan
kering.
2)

Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi


keras dengan tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi,
dan ekstremitas hangat.

3) Disertai tanda-tanda sepsis.


4) Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari,
perubahan status mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan
tersangka sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau
lekopenia, trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP
(+), LED meningkat dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).

10

Kedaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tandatanda syok (nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan
produksi urin, dan penurunan tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan
syok hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5
cc/kgBB/jam, tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi).
Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal,
mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan
tekanan nadi yang melebar. (anonim, 2008)
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah
hipovolemia, baik relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh
karena transudasi cairan). Kejadian ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu
curah jantung rendah, sehingga apabila volume intravaskule adekuat, curah
jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi otot jantung
melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik)
terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada
peningkatan volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status
hemodinamika pada sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik
(vasodilatasi dan meningkatnya aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya
lebih mirip status hipodinamik (vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan
ekstraksi oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah
perifer, sehingga kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer
terganggu, akibatnya VO2 (pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang.
Kerusakan ini pada syok septic dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya
gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik

lain

sepsis

berat

dan

syok

septik

adalah

terjadinya

hiperlaktataemia, mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat,

11

bukan karena dys-oxia jaringan (produksi energi dalam keterbatasan oksigen)


(Guntur, 2008).
DIC

Multiple Organ Failure


FDP 1:40 atau D-dimers 2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan

Respirotary Distr.Syndrome

Hipoksemia

Acute Renal Failure

Kreatinin > 2,0 ug/dl


Na. Urin 40 mmol/L
Kelainan prerenal sudah disingkirkan

Hepatobilier disfunction

Bil.>34 umol/L (2,0 mg/dL)


Harga alk. Fosfatase, SGOT, SGPt dua kali
harga
normal

Central Nervous System Disf..

GCS < 15

F. Penatalaksanaan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan syok sepsis diperlukan tindakan
yang agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk
memperbaiki perfusi dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk
mengukur secara akurat volume cairan, cardiac output, dan resistensi perifer
sehingga dapat dimonitor pemberian cairan dan tekanan darah (Root, 1991).

12

Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab. Pasien


yang dapat imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan
diturunkan atau dihentikan. Pada pasen dengan netropeni atau disfungsi netropil
mungkin memerlukan transfusi granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah
penggantian kateter intra vena, kateter Folley. Sedangkan untuk fungsi respirasi
perlu dimonitor saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika terjadi respiratory
failure perlu dipasang intubasi.
Untuk pengobatan shock sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial
(hemodinamik, antibiotik, vasopressor), kontroversial (kortikosteroid, heparin dan
opiat antagonis), masa mendatang (antibodi monoklonal).
Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasen shock sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai
respon pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah.
Cairan koloid maupun kristaloid dapat diberikan. Jika disertai anemia berat perlu
transfusi darah dan CVP dipelihara antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam
waktu 1-2 jam. Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka
perlu dipertimbangkan pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10
ug/kgBB/menit
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP
60mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg
BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat
di tingkatkan sampai 20 g/ KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine
dikembalikan pada 2-5 mg/Kg BB/menit, tetapi di kombinasi dengan
levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal,
berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasokonstriktor lain
(fenilefrin atau epinefrin) (Mansjoer, 2001).
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana
sebelumnya harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian

13

antibiotik tak perlu menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik


diperhatikan dari mana kuman masuk dan dimana lokasi infeksi, dan diberikan
terapi kombinasi untuk gram positif dan gram negatif.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
1. Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
2. Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
3.Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen
(pseudomonas aureginosa, enterokokus)
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat
menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam
sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas
(Root, 1991).
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat
memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas
(Sprung,1984; Bone, 1987; Hinshaw 1987; Cohen, 1991).
Nalokson suatu opiat antagonis diberikan pada binatang percobaan untuk
mencegah syok karena diinduksi oleh endotoksin (Robert 1988; Root, 1991;
Bone, 1992). Pada manusia dilakukan suatu studi prospektif dan didapatkan hasil
yaitu naloksan tidak menaikkan tekanan darah tetapi dapat mengurangi
penggunaan vasopressor (Robert, 1988).
DIC asimptomatik tidak membutuhkan terapi spesifik, jika terjadi perdarahan
berat diperlukan penggantian faktor pembekuan dan platelet, penggunaan heparin
dan fibrinolitik lainnya masih kontraversial. Untuk masa mendatang pengobatan
dengan antibodi monoklonal merupakan harapan dan diharapkan dapat
menurunkan biaya pengobatan dan dapat meningkatkan efektifitas. Pada binatang
percobaan pemberian TNF antibodi hanya efektif bila diberikan sebagai profilak.
Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat
digunakan sebagai profilak dan mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan
walaupun terapeutic window-nya sempit.

14

Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan


pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram negative, terutama
pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang sering disebabkan
kuman Gram negatuf (Mansjoer, 2001).
Memperbaiki asidosis metabolik dengan natrium bikarbonat sampai pH
normal dan memperbaiki gangguan elektrolit dengan pemberian elektrolit
(Mansjoer, 2001).
Penelitian baru melibatkan pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok
sepsis untuk membandingkan resusitasi hemodinamik sampai parameter fisiologik
dengan terapi dini berdasarkan target (EGDT-early goal directed therapy)
menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik (16,5%).
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi (gambar
10) yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan
kebutuhan oksigen pada kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam
pertama rawat gawat darurat. Strategi ini mentargetkan tercapainya hantaran
oksigen adekuat dengan optimalisasi volume intravaskular (preload) dengan
pemantauan tekanan vena sentral (CVP central venous pressure), tekanan darah
(afterload) dengan pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure
MAP), kontraktilitas dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan
pemulihan keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen
(dipandu dengan pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global.
Komponen-komponen EGDT diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh
Society of Critical Care Medicine untuk dukungan hemodinamik pada sepsis.

15

Gambar 3. Algoritma EGDT


G. Progosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan
sekarang rata-rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien).

16

Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya,
dalam waktu 6 jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan
asidosis metabolik decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya
dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

17

Você também pode gostar