Você está na página 1de 12

Pendahuluan

Poliuria biasanya didefinisikan sebagai jumlah urin lebih dari 125 ml per jam atau 3 liter
per hari. Penyebab poliuria terlazim disebabkan oleh penggunaan cairan melalui mulut yang
berlebihan, atau pemberian cairan parenteral yang terlalu banyak atau mobilisasi ruang ketiga.
Poliuria dapat juga disebabkan oleh diuresis osmotik, diuresis karena obat, diuresis pasca
penyumbatan, diabetes insipidus dan gagal ginjal bila pemberian cairan tidak mengimbangi
jumlah yang dikeluarkan. Jadi penting agar semua proses ini diketahui sebelum poliuria
dianggap hipervolemia dan pemberian cairan dikurangi, keadaan ini biasanya ditentukan dari
riwayat klinik dan pemeriksaan pasien yang teliti.
A. Definisi Poliuria
Poliuria menurut Leung dkk. (1991) adalah jika jumlah urin > 900 ml/m2LPB/hari,
menurut Bock (1994), jika jumlah urin > 2 ml/kgBB/jam, menurut Tune dkk. (1994), jika
jumlah urin > 2000 ml/1,73 m2LPB/24 jam, dan menurut Manalaysay (1994) jika jumlah
urin > 3 ml/kgBB/jam atau > 2000 ml/24 jam. Menurut Savage dan Postletwhaite (1994),
dikatakan poliuria jika jumlah urin 1 liter/24 jam pada anak prasekolah, 2 liter/24 jam
pada anak umur sekolah, dan 3 liter/24 jam pada dewasa. Menurut Baylis dan
Cheetham (1998), poliuria pada anak besar dan dewasa adalah jumlah urin > 2
liter/m2LPB/24 jam atau 40 ml/kgBB/24 jam. Meskipun banyak definisi tentang poliuria,
tetapi pada umumnya poliuria diartikan bila jumlah urin > 3 ml/kgBB/jam.
B. Etiologi Poliuria
Poliuria dapat disebabkan oleh diuresis (water diuresis), diuresis osmotik atau solut
(osmotic or solute diuresisi), atau diuresis campuran (mixed diuresis). Pada poliuria
karena diuresis air, air mengandung solut yang relatif sedikit dan osmolalitas urin < 150
mOsm/liter. Pada poliuria karena diuresis solut, urin mengandung solut yang relatif
banyak dengan osmolalitas urin 300-500 mOsm/liter, dan pada diuresis campuran
osmolalitas urin antara 150-300 mOsm/liter.
Pada diuresis solut, osmolalitas urin biasanya mendekati osmolalitas plasma dengan
berat jenis urin 1.010. diuresis solut dapat disebabkan elektrolit dan non elektrolit.
Diuresis solut elektrolit (inorganik) dapat disebabkan oleh garam Na, K, garam amonium
dengan anion khlorida atau bikarbonat seperti pada pemberian NaCl intravena, pemberian
1

garam dalam jumlah banyak, pemberian loop diuretic, dan penyakit ginjal sodium
wasting. Diuresis solut non elektrolit (organik) dapat disebabkan oleh glukosa, ureum, dan
manitol. Diuresis solut karena glukosa sering ditemukan pada ketoasidosis diabetik dan
sindrom hiperosmolar hiperglikemik. Diuresis solut oleh ureum dapat terjadi pada
pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak, obstruksi saluran kemih yang
mengalami perbaikan, dan nekrosis tubular akut stadium penyembuhan. Diuresis solut
oleh manitol dapat terjadi pada pemberian manitol sebagai diuretik.
Diuresis air terjadi karena solut diekskresi dalam jumlah normal (30-40 mOsm/jam)
dalam urin dengan osmolalitas < 300 mOsm/liter. Tiga penyebab utama diuresis air yaitu :
-

Defisiensi sekresi vasopresin yang disebut sebagai diabetes insipidus sentral (diabetes

insipidus neurogenik, diabetes insipidus kranial atau hipotalamik)


Menurunnya respons ginjal atau ginjal tidak responsif terhadap vasopresin dalam
sirkulasi yang disebut sebagai dibetes insipidus nefrogenik (diabetes insipidus renal,

diabetes insipidus resisten ADH)


Defisiensi vasopresin fisiologis seperti pada polidipsi primer atau diabetes insipidus
dipsogenik dan pemberian cairan hipotonik dalam jumlah banyak. Kombinasi diuresis
solut dan diuresis air dapat terjadi pada terapi cairan dan solut yang berlebih, gagal
ginjal kronik, dan obstruksi saluran kemih kronik yang mengalami perbaikan.

Berdasarkan jenis diuresis, penyebab poliuria terdiri dari :


a. Diuresis air (water diuresis)
1. Polidipsi primer atau diabetes insipidus dipsogenik
a) Polidipsi psikogenik atau compulsive water drinking
b) Iatrogenik : terapi cairan dalam jumlah banyak
c) Kelainan pusat haus atau polidipsi hipotalamik
d) Hiperangiostensinisme, hiperreninemia
2. Diabetes insipidus
a) Diabetes insipidus sentral
1) Primer
: idiopatik dan familial
2) Sekunder
:
- Trauma kepala, fraktur basis kranii
- Tindakan bedah syaraf, pasca hiposektomi
- Infeksi intrakranial
- Tumor otak, tumor infra atau supraselar, leukimia
- Penyakit granulomatosa susunan saraf pusat
- Perdarahan intrakranial
- Hipoksia
- Obat-obatan
b) Diabetes insipidus nefrogenik
1) Kongenital
2

2) Didapat :
- Hipokalemia
- Hiperkalsemia
- Obat-obatan
- Kelainan parenkim ginjal
- Penyakit sickle cell
c) Excessive vassopressinase
b. Diuresis solut atau osmotik
1. Diuresis solut organik
a) Glukosa
Diabetes mellitus, glukosuria renal, pemberian glukosa intravena dalam jumlah
banyak, sindrom hiperosmolar hiperglikemik, enteral tube feeding.
b) Ureum
Masukan protein atau asam amino yang banyak, keadaan hiperkatabolisme
misalnya luka bakar, pemberian ureum dalam jumlah banyak (urea loading),
postabdomiolisis, reabsorbsi hematom masif atau perdarahan saluran cerna,
fase diuresis pasca nekrosis tubular akut, diuresis obstruktif, gagal ginjal
kronik sebagai kelanjutan transplantasi ginjal.
c) Alkohol gula
Pemberian manitol dan gliserol
2. Diuresis solut inorganik
a) Natrium klorida
1) Pemberian per oral atau IV
2) Penyakit ginjal salt losing
3) Defisiensi mineralokortikoid
b) Kalium klorida
c) Amonium klorida (dengan asidosis metabolik kronik)
d) Bentuk anion
1) Klorida
: pemberian loop diuretic, sindrom bartter
2) Bikarbonat : loading bikarbonat, penghambat karbonik anhidrase
3) Ketoanion : ketoasidosis diabetik
C. Insidensi Poliuria
Polidipsia dan poliuria dengan dilusi urin, hipernatremia, dan dehidrasi adalah tanda
khas dari diabetes insipidus pada bayi dan anak-anak. Pasien yang menderita diabetes
insipidus tidak dapat menghemat air dan dapat menjadi sangat dehidrasi bila kekurangan
air. Poliuria melebihi 5 ml/kg per jam encer urin, dengan berat jenis kurang dari 1.010.
Hipernatremia ini dibuktikan dengan konsentrasi natrium serum lebih dari 145 mmol / L
( 145 mEq/L ) .
Tiga kondisi menimbulkan polidipsia dan poliuria. Kondisi yang paling umum adalah
diabetes insipidus central atau neurogenik yang berkaitan dengan kekurangan vasopressin.
Kondisi yang jarang adalah diabetes insipidus nefrogenik, termasuk X-linked resesif,

autosomal resesif, autosomal dan jenis dominan karena resistensi tubulus ginjal terhadap
vasopresin. Akhirnya , kondisi ini dapat terjadi pada peminum air kompulsif yang
menunjukkan penghambatan fisiologis sekresi vasopresin.
Insiden diabetes insipidus pada populasi umum adalah 3 dalam 100.000 populasi,
dengan kejadian yang sedikit lebih tinggi pada laki-laki (60%). X-linked diabetes insipidus
nefrogenik sangat jarang, dengan mutasi gen arginine vasopressin receptor 2 (AVPR2)
pada laki-laki diperkirakan 4 dalam 1.000.000 populasi. Insiden Compulsive water
drinking tidak diketahui, tetapi tampaknya ada kecenderungan pada perempuan (80%).
Meskipun compulsive water drinking biasanya nampak pada dekade ketiga kehidupan,
kasus telah digambarkan pada pasien 8-18 tahun. Compulsive water drinking ditemui pada
10% sampai 40 % dari pasien yang memiliki skizofrenia.
D. Patofisiologi poliuria dengan gangguan natrium
Natrium merupakan kation dominan pada cairan ekstrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di
cairan ekstrasel ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk
natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium.
Pemasukan natrium melalui epitel mukosa saluran cerna. Natrium masuk melalui proses
difusi dan sistem transport media. Rasio absorbsi sangat bervariasi tergantung pada
kandungan natrium dalam diet, eksresi natrium di ginjal dan keringat di kulit.
Pemasukan dan pengeluaran natrium per hari mencapai 48-144mEq (1,1 3,3 g). Bila
pemasukan natrium berlebuhan (diet mengandng tinggi garam tanpa disertai pemasukan air
yang adekuat) tidak terjadi perubahan konsentrasi natrium cairan ekstrasel. Hal tersebut
disebabkan adanya mekanisme pengaturan pemasukan dan pengeluaran cairan yang
mempertahankan konsentrasi natrium tetap konstan. Ginjal merupakan organ terpenting
dalam pengaturan konsentrasi natrium. Di cairan ekstrasel konsentrasi natrium berkisar 136
142 mEq/L, sedangkan di cairan intrasel berkisar 10 mEq/L. Sedangkan di cairan intrasel
berkisat 10 mEq/L. Konsentras jumlah total di cairan ekstrasel mencerminkan keseimbangan
dua faktor, yaitu:
a. Pemasukan natrium melalui epitel mukosa saluran cerna. Natrium masuk melalui
proses difusi dan sistem transport media. Rasio absorbsi sangat bervariasi tergantung

kadar natrium dalam diet. Eksresi nantrium di ginjal dan perspirasi di tempat lain.
Dalam hal ini, ginjal merupakan organ terpenting dalam pengaturan.
b. Peningkatan konsentrasi natrium cairan ekstrasel yang diperoleh dari pemasukan
tinggi natrium menyebabkan kandungan natrium di cairan ekstrasel meningkat.
Peningkatan kandungan natrium akan diikuti peningkatan konsentrasi natrium plasma
secara temporer. Selanjutnya terjadi peningkatan volume ceiran ekstrasel. Terjadi
perubahan osmosis yang diikuti penarikan cairan intrasel sehingga volume cairan
ekstrasel bertambah dan konsentrasi natrium kembali normal. Sekresi Anti Diuretik
Hormon (ADH) meningkat dan menyebabkan restriksi pengeluaran air, akibatnya
timbul rangsang haus yang akan meningkatkan konsumsi/pemasukan air. Dengan
adanya inhibisi reseptor air yang terletak di faring, sekresi ADH sudah dimulai
meskipun absorbsi Na+ belum berlangsung; kemudian disusul dengan meningkatnya
kecepatan sekresi setelah absobsi Na+ karena timbulnya rangsang pada osmoreseptor.
Bila pengeluaran natrium melebihi pemasukannya (misal minum banyak air yang
tidak mengandung natrium), vokume cairan ekstrasel berkurang dan terjadi tanpa
perubahan tekanan osmosis. Konsentrasi dan tekanan osmotik cairan ekstrasel akan
berkurang dengan cepat. Penurunan sebesar >2% akan mengurangi sekresi ADH
diikuti peningkatan produksi urin. Saat cairan ekstrasel terbuang bersama urin,
tekanan osmotik kembali normal.
Pengaturan keseimbangan air di dalam tubuh dipengaruhi oleh dua sistem regulasi, yaitu
regulasi osmotik dan regulasi volume.
-

Regulasi osmotik aktifitasnya dipicu oleh tinggi-rendahnya osmolalitas plasma. Sensor


regulasi osmotik terletak di hipotalamus (supra optic neuron atau SON, nukleus
paraventrikuler dan organum vasculosum laminae terminalis atau OVLT) serta pusat

rasa haus di hipotalamus.


Regulasi volume aktifitasnya dipengaruhi oleh volume arteri efektif atau tekanan
arteri. Sensor regulasi volume terletak di otot atrium dan ventrikel, sinus karotis, dan
arteri aferen glomerulus.

Sensor di hipotalamus aktifitasnya terpicu oleh pengerutan sel SON dan OVLT karena
peningkatan osmolalitas plasma; terjadi pelepasan vasopresin dan atau ADH. ADH melalui
reseptornya di duktus koligentes (reseptor V2) akan menggeser saluran air AQP2 (aquaporin2) dari sitoplasma ke arah membran daerah lumen sel duktud koligentes yang memungkinkan
air dari lumen masuk ke dalam sel akibat perbedaan tekanan osmotik dan akhirnya masuk ke

dalam sirkulasi. Besaran osmolalitas plasma juga akan mempengaruhi pusat rasa haus di
hipotalamus.
Sensor regulasi volume di atrium dan ventrikel terpicu oleh peningkatan volume arteri
efektif; dikeluarkanlah ANP atau B-type natriuretic peptide (BNP). Peptida-peptida natriuretik
ini kan menghambat reabsobsi natrium di duktus koligentes, menghambat pelepasan renin,
menghambat sekresi aldosteron dari korteks adrenal dan meningkatkan laju filtrasi
glomerulus. Peptida-peptida natriuretik ini juga menyebabkan peningkatan ekskresi natrium
melalui urin.
Hiponatremia adalah kelebihan cairan relatif yang terjadi bila:
- Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan eksresi
- Ketidakmampuan menekan sekresi ADH
Sekresi ADH meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif seperti muntah, diare,
perdarahan, poliuria. Respon fisiologik dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran
ADH dari hipotalamus sehingga eksresi urin meningkat karena saluran air (AQP2A) di daerah
apikal duktus koligentes berkurang.
Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif. Hipernatremia jarang
terjadi, umumnya disebabkan resusitasi cairan menggunakan larutan NaCl 0,9% dalam jumlah
besar. Hipernatremia juga dijumpai pada kasus dehidrasi dengan gangguan rasa haus.
Hipernatremia terjadi apabila:
- Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan
air yang kurang.
- Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh
- Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel.
Respon

fisiologik

yang

timbul

pada

hipernatremia

adalah

meningkatnya

pengeluaranADH dari hipotalamus sehingga eksresi urin berkurang, karena saluran air
(AQO2) di bagian apikal duktus koligentes bertambah. Tapi pada beberapa kasus seperti pada
diabetes insipidus yang terjadi kekurangan ADH, hipernatremia disertai dengan poliuria.
E. Gejala klinis
Gejala klinis yang terjadi pada poliuria adalah volume urin yang berlebihan lebih dari
3L/ hari. Meningkatnya volume urin ini dapat disertai gejala seringnya buang air kecil,

nokturia, haus dan polidipsia. Gangguan natrium seperti pada hipernatremia dapat
menimbulkan gejala klinis seperti lethargi, lemas, twitcing, kejang atau koma. Hal ini
disebabkan mengecilnya volume otak karena air keluar dari sel. Pengecilan ini menimbulkan
robekan pada vena yang menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan subarachnoid.
Di klinik bila ditemukan kasus hiponatremia dengan gejala berat (kesadaran menurun, kejang)
maka dikategorikan hiponatremia akut. Hiponatremia tanpa gejala berat (lemas, mengantuk)
digolongkan dalam kategori kronik.
F. Komplikasi
Komposisi urin meliputi air (95%) serta urea, kreatin, asam urat, hormon, ion :
natrium, kalium, chlorida, magnesium. Pada poliuria terjadi pengeluaran urin yang berlebihan
sehingga dapat menyebabkan dehidrasi, hiponatrmia, hipernatremia, dan hipokalium.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus poliuria adalah urinalisis, osmolalitas dan
berat jenis urin, biakan urin, ureum dan kreatinin darah, laju filtrasi glomerulus, elektrolit
plasma, uji deprivasi air, uji pitresin, dan pemeriksaan radiologis. Berat jenis dan
osmolaltas urin merupakan pemeriksaan yang sangat penting

untuk menentukan

kemampuan pemekatan ginjal, tetapi osmolalitas urin lebih bermakna daripada berat
jenis sebab berat jenis urin dapat dipengaruhi oleh adanya protein, glukosa, dan zat kontras
dalam urin. Berat jenis > 1.010 atau osmolalitas urin > 400 mOsm/l didapatkan pada diuresis
solut atau anak normal, sedangkan berat jenis < 1.010 atau osmolalitas urin < 100
mOsml/l mengindikasikan diuresis air. Jika berat jenis urin >1.020 pada urin sewaktu atau
pagi hari, maka biasanya tidak ada gangguan pemekatan urin. Peningkatan berat jenis dan
osmolalitas urin disertai glukosuria meng-gambarkan diabetes melitus. Sedangkan
adanya elemen selular pada urinalisis menggambarkan kerusakan parenkim ginjal.
Uji deprivasi air bertujuan untuk meningkatkan natrium (> 145 mEq/l) atau
osmolalitas plasma ke titik tertentu. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengevaluasi
kemampuan pasien memekatkan urin sebagai respons terhadap hipernatremia dan
penurunan volume cairan ekstraselular. Hipernatemia dan penurunan volume cairan
ekstraselular akan meningkatkan

sekresi vasopresin oleh kelenjar hipofisis dan

menyebabkan urin dengan konsentrasi maksimal. Meskipun ada beberapa protokol cara
uji deprivasi air, pada umumnya pemeriksaan ini dilakukan pagi hari selama 6-8 jam.

Berikut ini adalah salah satu tata cara uji deprivasi air. Setelah mendapat hidrasi yang
adekuat yaitu minum air sesuai dengan kebutuhan selama 24 jam, dilakukan pemeriksaan
kadar natrium dan osmolalitas plasma, berat jenis dan osmolalitas

urin, pengukuran

jumlah urin, dan berat badan. Selama pemeriksaan, pasien tidak boleh makan dan
minum; berat badan, tanda vital, dan berat jenis urin diperiksa setiap jam. Pemeriksaan
jumlah urin, osmolalitas urin, osmolalitas plasma, dan natrium plasma dilakukan setiap 2
jam. Uji deprivasi air dilanjutkan sampai osmolalitas plasma mencapai 300 mOsm/l atau
lebih tinggi dan berat badan turun 3-4% dari berat badan awal pemeriksaan. Uji deprivasi
air harus diawasi karena dengan compulsive water drinking akan mencari air untuk
diminum, sedangkan pada diabetes insipidus akan terjadi penurunan volume cairan
intraselular. Pada pasien dengan kelainan yang berat, penurunan berat badan ini biasanya
terjadi dalam 5-7 jam. Pada akhir uji deprivasi air, perlu diambil sampel urin dan plasma
untuk pengukuran osmolalitas. Uji deprivasi air tidak dapat dilakukan pada keadaan
hipernatremia atau pada isostenuria dengan peningkatan osmolalitas plasma. Uji deprivasi air
dihentikan jika terdapat penurunan berat badan > 5%, atau berat jenis urin > 1.020,
atau osmolalitas urin > 600 mOsm/l, atau Na serum > 145 mEq/L.

1,10

Jika pada uji

deprivasi air didapatkan jumlah urin berkurang, berat jenis dan osmolalitas urin
meningkat, maka didiagnosis sebagai polidipsi psikogenik, tetapi jika jumlah urin
tidak meningkat, berat jenis dan osmolalitas urin tetap atau tidak meningkat, maka
didiagnosis sebagai diabetes insipidus.
H. Penatalaksanaan
Secara garis besar tata laksana poliuria terdiri dari pemberian cairan yang
adekuat untuk mencegah dehidrasi, mengurangi kelebihan solut yang diekskresi ginjal,
mengoreksi kelainan elektrolit, mencari penyebab dan mengobati penyakit yang
mendasarinya, misalnya mengatasi hipernatremia dan hiponatremia, mengatasi hipokalemia
dan hiperkalsemia, mengobati diabetes melitus atau penyakit ginjal, dan menghentikan obatobatan yang dapat menyebabkan poliuria. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
konseling genetik.
Tatalaksana hiponatremia
1. Pasien dengan hiponatremia simptomatik dan urin encer (osmolalitas < 200 mOsm/kg)
namun dengan gejala ringan biasanya hanya memerlukan restriksi air dan pemantauan
ketat.

2.
3.
4.
5.

Gejala berat (misal, kejang atau coma) membutuhkan infus NaCl hipertonik.
Kebanyakan pasien dengan hipovolemia bisa diatasi dengan NS.
Tidak ada konsensus tentang tatalaksana optimal hiponatremia simptomatik.
Kejang yang disebabkan hiponatremia bisa dihentikan cepat dengan menaikkan secara

cepat kadar Na+ serum sebesar rata-rata hanya 3 sampai 7 mmol/L.


6. Kebanyakan komplikasi demielinisasi terjadi jika laju koreksi melebihi 12
mmol/L/hari. Namun pernah dilaporkan setelah koreksi hanya 9 sampai 10 mmol/L
dalam 24 jam atau 19 mmol dalam 48 jam.
7. Rekomendasi : laju koreksi tidak melebihi 8 mmol/L/hari.
8. Namun koreksi awal masih bisa dilakukan 1 -2 mmol/L/jam untuk beberapa jam
pertama pada kasus berat.
9. Indikasi menghentikan koreksi akut dari gejala adalah berhentinya manifestasi yang
mengancam jiwa atau kadar serum sudah mencapai 125 atau 130 mmol/L
Tata laksana hipernatrium
Dasar dari terapi pada penderita hypernatremia adalah pemberian air bebas untuk
mengoreksi defisit air relatif. Air dapat digantikan secara oral atau intravena . Air saja tidak
dapat diberikan sebagai infus (karena masalah osmolaritas) bukan dapat diberikan dengan
tambahan larutan infus dekstrosa atau salin. Namun jika koreksi terlalu cepat sebagai
hipernatremia juga berpotensi sangat berbahaya. Tubuh khususnya otak

menyesuaikan

dengan konsentrasi natrium tinggi. Cepat menurunkan konsentrasi natrium dengan pemberian
air, sekali adaptasi ini telah terjadi, menyebabkan air mengalir ke sel-sel otak dan dapat
menyebabkan sel-sel otak membengkak. Hal ini dapat menyebabkan edema serebral ,
berpotensi mengakibatkan kejang, kerusakan otak permanen , atau kematian. Oleh karena itu,
hipernatremia signifikan harus diperlakukan hati-hati oleh dokter atau profesional medis
lainnya dengan pengalaman dalam pengobatan ketidakseimbangan elektrolit. Pasien dengan
hipernatremia biasanya memiliki kondisi serius lain yang menyebabkan mereka tidak
mempunyai kemampuan untuk merespon terhadap perasaan haus atau kekurangan cairan.
Akibatnya, banyak pasien harus di rawat inap di rumah sakit.
Tujuan dari manajemen dalam hipernatremia adalah (1) mengetahui gejala yang terjadi
(2) identifikasi penyebab yang mendasari terjadinya hypernatremia (3) koreksi gangguan
volume Dan (4) koreksi hipertonisitas
Diperlukan kehati-hatian dalam mengoreksi hipertonisitas untuk menurunkan serum
natrium dan osmolalitas plasma dengan penggantian air bebas, baik secara oral atau secara

parenteral. Tingkat koreksi natrium tergantung pada seberapa akut hipernatremia dan pada
beratnya gejala.
Hipernatremia gejala akut harus diobati dengan cepat. Hipernatremia kronis,
bagaimanapun,

harus

dikoreksi

lebih

lambat

karena

risiko edema

otak

selama

pengobatan. Otak menyesuaikan dan meringankan hipernatremia kronis dengan meningkatkan


konten intraselular osmolytes organik. Jika tonisitas ekstraselular cepat turun, air akan
bergerak ke dalam sel otak, menghasilkan edema otak (herniasi, defisit neurologis permanen,
mielinolisis).
Pedoman pengobatan dari gejala hipernatremia
1. Memperbaiki natrium serum pada tingkat awal 1-2 mEq / L / jam
2. Pengobatan hipernatremia hipovolemik harus

dimulai

dengan salin

0.9

%. Setelah stabilitas hemodinamik dipulihkan dan volume intravaskular diganti, defisit air
bebas dapat diganti dengan dekstrosa 5% atau 0,45% saline solution.
3. Pergantian 50% dari defisit air dihitung selama 12-24 jam pertama
4. Mengganti defisit yang tersisa selama 24 jam berikutnya
5. Melakukan pengukuran elektrolit serum dan urin setiap jam 1-2
6. Lakukan pemeriksaan neurologis serial dan menurunkan laju koreksi dengan perbaikan
gejala
7. Tingkat koreksi harus sekitar 1 mEq / L / jam untuk hipernatremia yang berkembang
selama beberapa jam dan 0,5 mEq / L / jam untuk hipernatremia yang berkembang lebih
lambat.
8. Jika terjadi defisit volume dan hipernatremia , volume intravaskular harus dikembalikan
dengan natrium klorida isotonik sebelum pemberian air bebas.
9. Pasien dengan diabetes insipidus biasanya diobati dengan desmopressin intranasal,
mulai dengan 10 mcg / hari dan dititrasi sesuai kebutuhan,biasanya sampai 10 mcg dua kali
sehari-hari.
10.Pasien dengan nephrogenic diabetes insipidus harus mengurangi volume ECF mereka
dengan

thiazide diuretik

dan pembatasan diet

sodium (2.000 mg

hari),

yang

sering mengurangi volume urin sebanyak 50%.


11. Pasien

dengan kelebihan natrium harus

ditangani

dengan diuretik

loop

(Furosemide, 20 sampai 40 mg IV setiap 6 jam) dan dekstrosa 5%pada tingkat yang


natrium serum menurun sekitar 0,5 jam mEq / L / atau, jika hipernatremia berkembang
pesat, 1 mEq / L / jam.

10

12. Pasien dengan hipernatremia sebagian besar sudah berusia lanjut. Hal ini dapat
disebabkan karena DI ( diabetes insipidus ) , keracunan garam, atau karena perubahan
status mental akut , maka serum natrium harus dikoreksi perlahan (dengan tidak lebih dari
10 meq / L per hari) .

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
1. Asman Boedi Santoso. Diabetes Insipidus. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta, FK
UI, hal 816
2. National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse. 2009.

Diabetes

insipidus. from http://www.niddk.org. Diakses 20 Oktober 2009


3. Askep Diabetes Insipidus.2009. from http: //www.medikastore.com. Diakses 20 Oktober
2009
4. Mahmud. 2009. Diabetes Insipidus Nefrogenik. From http://www.perisaihusada.net.
Diakses 20 Oktober 2009
5. C.B. Pender dan Clarke Fraser. 2009. Dominant Inheritance Of Diabetes Insipidus: A
Family Study. American Academy of Pediatrics ournal, 15 : 246-254
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Endokrinologi Anak. Dalam Buku
Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak 1985. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI;
cetakan kesebelas.
7. Endokrinologi Anak. Dalam : Manual textbook of Nelsons Pediatrics.
8. Sands, Jeff M., Bichet, Daniel G. Nephrogenic Diabetes Insipidus. Ann Intern Med.
2006; 144:186-194.
9. Abdelazis Elamin. 2009. Diabetes Insipidus. Departement of Child Health

11

and Pediatric Endocrinologist Sultan Qaboos University.


10. Jamest R West dan James G. Kramer.

Nephrogenic Diabetes Insipidus. American

Academy of Pediatrics Journal, 15 ;424-432


11. Saborio

P.,

Tipton

GA.,

Chan

JCM

(2000).

Diabetes

insipidus.

http://pedsinreview.aappublications.org/content/21/4/122.extract diunduh tanggal 13


Feb 2014-02-13
12. Sjarifuddin A., Hegar B., (2008). Gangguan keseimbangan air-elektrolit dan asambasa. Unit pendidikan Kedokteran- Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. FK UI.
13. Pardede SO (2003). Poliuria pada anak. Sari pediatri vol 5 no 3 hal 103-110

12

Você também pode gostar