Você está na página 1de 17

Cholangitis

ANATOMI
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Kandung empedu merupakan
kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati.
Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus
bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian
terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah

bagian yang sempit dari kandung

empedu.
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu
yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran
yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis.
Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.

Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,


karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil
dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan
melalui membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

I. Definisi

Kolangitis adalah salah satu dari dua komplikasi utama batu choledochal, yang
lainnya adalah batu empedu pankreatitis. Kolangitis akut adalah infeksi bakteri yang
berkaitan dengan sumbatan sebagian atau seluruh dari saluran-saluran empedu.
Empedu hati adalah dalam kondisi steril, dan di dalam saluran empedu disimpan
secara steril oleh aliran empedu terus menerus dan dengan adanya zat antibakteri dari
dalam empedu, seperti imunoglobulin. Sumbatan

mekanik

aliran empedu

memfasilitasi kontaminasi bakteri. Biakan positif empedu adalah hal yang biasa,
adanya batu di duktus empedu serta penyebab lain dari sumbatan.
Batu empedu adalah penyebab paling umum dari obstruksi di kolangitis;
Penyebab lainnya adalah striktur jinak dan ganas, parasit, instrumentasi dari saluransaluran dan sebagian sumbatan biliary-enteric anastomosis. Organisme yang paling
umum dari cairan empedu pada pasien dengan cholangitis adalah Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Streptococcus faecalis, Enterobacter, dan Bacteroides fragilis.

II. Etiologi

Kholangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya


akan berakhir dengan stasis aliran cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh
bakteri akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada sistem bilier. Berbagai jenis
etiologi dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 1. : Etiologi Kholangitis
Choledocholithiasis
Striktur sistem bilier
Neoplasma pada sistem bilier
Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)
Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis
Pankreatitis kronis
Pseudokista atau tumor pankreas
Stenosis ampulla
3

Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli


Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi
Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian
disusul oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier. Di negara-negara Asia
Tenggara dan Cina cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun jenis
cacing yang ditemukan berbeda-beda.

III. Patofisiologi

Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kholangitis
terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria
yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu "CBD" ,
striktur, stenosis, atau tumor , serta manipulasi endoskopik "CBD". Dengan demikian
pasase empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah
mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun
langsung dari duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen
menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier
yang tinggi dan melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran
balik empedu yang berakibat terjadinya infeksi

pada kanalikuli biliaris,

vena

hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia
yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%).
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kholangitis yaitu :
1. Kholangitis dengan cholecystitis : Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi
pada sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal.
Keadaan ini sering disebabkan oleh batu "CBD" yang kecil, kompresi oleh vesica

felea / kelenjar getah bening / inflamasi pankreas, edema/spasme sphincter Oddi,


edema mukosa "CBD", atau hepatitis.
2. "Acute Non Suppurative Cholangitis" : Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem
bilier yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. "cute suppurative cholangitis" : "CBD" berisi pus dan terdapat bakteria, namun
tidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. "Obstructive Acute Suppurative Cholangitis" : Di sini terjadi obstruksi total sistem
bilier sehingga melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250
mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertai
dengan influks bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.
5. Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis
berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal
yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel)
dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya
menjadi lebih buruk. Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis adalah
sebagai berikut
Tabel 2. : Faktor yang meningkatkan mortalitas
Umur
Febris
Lekositosis
Syok Septik
Kultur darah (+)
Gangguan sistem phagositosis
Immunosuppresi
Adanya Neoplasma hepar
Obstruksi intrahepatal multipel
Penyakit hepar kronis
Abses hepar

IV. Bakteriologi

Adanya infeksi bakteri merupakan hal yang penting di dalam patogenesis


Kholangitis. Sesuai dengan rute infeksi yang telah diuraikan sebelumnya, maka jenis
bakteri yang dapat ditemukan pada kultur cairan empedu maupun darah adalah yang
terbanyak berturut-turut yaitu bakteri gram negatif, anaerob dan gram positif yang
terutama berasal dari usus halus. Tabel 2. Memperlihatkan berbagai jenis bakteri yang
dapat ditemukan pada kultur empedu maupun darah.

Tabel 3. :Bakteriologi Kholangitis Akut


EMPEDU
Cholecystitis

Kholangitis

Keduanya Darah

Escherichia coli

31%

26%

44%

26 %

Enterococcus

18%

11%

13%

9%

Klebsiella spp

15%

12%

11%

14%

Pseudomonas spp

6%

5%

5%

9%

Enterobacter spp

2%

5%

4%

1%

Staphylococcus

0.3%

3%

3%

9%

Bacteriodes spp

3%

4%

4%

2%

Clostridium spp

2%

4%

3%

0.3%

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995

Terdapat berbagai faktor yang dapat dijadikan prediktor terjadinya baktibilia


sebagaimana tercantum pada tabel3.
Tabel 4. : Faktor-faktor prediktor terjadinya baktibilia.

Umur > 60 tahun

Febris > 37.30 C

Bilirubin Total > 8.6 mol/L

Lekositosis > 14.000/mm3

Episode cholecystitis akuta atau Kholangitis yang baru lalu

Kanulasi bilier atau prosedur by pass

Diabetes mellitus

Hyperamylasemia

Obesitas

Toloza EM & Wilson SF. In: Fry DE (ed). Surgical Infections 1995

V. Diagnosis

Diagnosis kholangitis akut dapat ditegakkan secara klinis yaitu dengan


ditemukannya "Charcots Triad " yang terdiri dari nyeri di kuadran kanan atas, ikterus
dan febris yang dengan/tanpa menggigil. Namun demikian, kurang dari 50 % kasus
ditemukan ketiganya secara bersamaan. Adapun frekuensi gejala-gejala dan tandatanda yang dapat ditemukan adalah :
Febris > 38 C

: 87 - 90 %

Nyeri abdomen

: 40 %

Ikterus

: 65 %

Tidak ditemukannya ketiga tanda tersebut secara bersamaan terutama


disebabkan oleh obstruksi saluran empedu yang tidak komplit. Apabila keadaan
7

penyakit menjadi lebih berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan
"Reynolds Pentad" yang ditandai oleh Charcots triad ditambah dengan "Mental
confusion / Lethargy" dan syok. Keadaan ini terjadi pada 10 - 23 % pasien. Perubahan
tersebut disebabkan oleh obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang
meningkat menyebabkan refluks aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai
sistem pebuluh darah sistemik dan terjadi sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini
perlu segera dilakukan drainase untuk mengadakan dekompresi dan pengendalian
terhadap sumber infeksi.
Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi
Kholangitis yang sangat menentukan jenis terapi yang harus dilakukan sebagai terapi
pembedahan definitif maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah:

USG hepatobilier dan pankreas :

Dapat ditemukan "CBD" yang berdilatasi.

Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".

CT.Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :

Batu "CBD".

Tumor sistem bilier atau pankreas

Batu pada sistem bilier intrahepatal

Adanya atrofi pada hepar

Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)

MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat,
yaitu masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non
invasif, dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu
cholesterol dari jenis lainnya secara jelas.

Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh


karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang
dilakukan bersama-sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde

Choalngio

Pancreatography)

ataupun

PTC

(Percutanues

Transhepatic

Cholangiography).

Cholescintigraphy dengan HIDA :


-

Menunjukkan "Liver uptake"

Tidak terdapat visualisasi kandung empedu, CBD, maupun usus halus oleh
karena adanya obstruksi total.

Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :

Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80%

Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 %

Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%

C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan

VI. Penatalaksanaan :

Mengingat mortalitas yang tinggi jika terapi bedah dilakukan pada saat emergensi,
maka langkah awal pengobatan Kholangitis akut adalah sebagai berikut :

Perbaikan keadaan umum :

Pasien dipuasakan

Dekompressi dengan NGT ("Naso Gastric Tube")

Pemasangan infus dan dilakukan rehidrasi

Dilakukan koreksi kelainan elektrolit

Pemberian antibiotika parenteral

Dengan melakukan tindakan tersebut,

80-85 % pasien akan mengalami

perbaikan, sehingga dalam periode berikutnya (dalam 48 - 72 jam) dapat dilakukan


pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan diagnosis penyebabnya dan menentukan
jenis operasi definitifnya.

Pada 15 % kasus terapi medikamentosa tidak berhasil memperbaiki keadaan umum


penderita, sehingga tindakan dekompresi emergensi diperlukan dan dapat dilakukan
dengan cara :

Pembedahan terbuka

Drainase secara endoskopik

Drainase perkutan sistem bilier

Setelah terapi medikamentosa dan suportif lainnya berhasil memperbaiki keadaan


umum, maka tindakan bedah untuk dekompresi dapat dilakukan secara elektif dan
pada umumnya yang dilakukan adalah :
Cholecystectomy + Eksplorasi CBD +/- Drainase T-tube , +/- choledochoenterostomy

Mortalitas pada berbagai tindakan baik bedah maupun non bedah adalah sebagai
berikut :

Terapi konservatif tanpa drainase menimbulkan angka mortalitas antara 40-100


%.

Tindakan dekompresi secara bedah secara keseluruhan akan menunjukkan angka


mortalitas antara 2 13 % dan morbiditasnya adalah 12 21 %.

Drainase secara endoskopik akan disertai oleh tingkat mortalitas antara 1 13


%, dan morbiditas 4 24 %.

Terapi

invasif

minimal

dengan

teknik

Percutaneus

Transhepatic

Cholangiography Drainage (PTCD) menunjukkan mortalitas yang rendah yaitu


0.05 7.00 %, namun morbiditasnya sangat bervariasi yaitu 4 80 %.

Jika penyebabnya adalah neoplasma maligna primer maka :

10

Angka mortalitas tindakan pembedahan adalah sampai dengan 40 %, namun


jika sudah terdapat metastasis yang ekstensif maka akan meningkat menjadi
59 %.

Drainase endoskopik akan memberikan tingkat mortalitas sampai dengan 46


%.

Terapi

antibiotika parenteral adalah merupakan hal yang penting pula, sehingga

pemilihan jenis antibiotika yang tepat secara empirik adalah sebagai berikut :
Tabel 5. Jenis antibiotika parenteral pilihan secara empirik .

Cholecystitis Akuta :
- Aminoglikosida - penicillin
- Penicillin spektrum luas
- Cephalosporin generasi ketiga

Kholangitis Akuta :
-

Penicillin spektrum luas

Aminoglikosida penicillin

Cephalosporin generasi ke-tiga

Imipenem-cilastatin

Cephalosporin generasi ke-dua

Prophylaxis :
-

Cephalosporin generasi ke-dua

Penicillin spektrum luas

Hadirnya cephalosporin generasi ke-tiga adalah suatu langkah maju di dalam


terapi infeksi bakteri, namun demikian penggunaannya harus tepat. Jenis ini
mempunyai spektrum antibakteri yang kuat terhadap Eschericia coli, Klebsiela,
enterococci dan bakteri anaerob seperti Bacteroides yang merupakan bakteri yang

11

paling sering ditemukan di dalam cairan empedu dan menyebabkan peningkatan


pembentukan batu pada sistem saluran empedu. Yang dimasukkan ke dalam
kelompok ini adalah Cefotaxime, Ceftriaxone, dan Ceftizoxine karena memiliki
indikasi klinis dan spektrum antibiotika yang sama.
Dari ketiga cephalosporin tersebut di atas, tampaknya Ceftriaxone merupakan pilihan
terbaik mengingat beberapa keuntungan sebagai berikut :
1. Penetrasi jaringan 24 jam dan konsentrasi bilier cukup tinggi.
2. Proteksi 24 jam dengan dosis 1 gram sekali pemberian /hari.
3. Dual Excretion yaitu pada renal dan hepar, menambah keamanan.
4. Aktifitas bakterisidal cukup luas.
5. Keuntungan farmakoekonomik dari segi biaya keseluruhan dan beban kerja staf
rumah sakit.
6. Efek samping yang rendah.
7. Dosis 1 kali sehari terbukti efektif secara klinis.
Pada kasus yang disertai oleh peningkatan bilirubin yang melebihi 5.0 mg/dl ,
penggunaan Aminoglikosida harus dihindari karena resiko nephrotoksik yang semakin
meningkat. Hal ini disebabkan oleh sensitasi ginjal oleh karena perfusi ginjal yang
menurun, peningkatan bilirubin dan garam empedu lainnya, dan adanya endotoksemia
bakteri gram negatif.Baktibilia dapat tetap bertahan walaupun obstruksi telah berhasil
diatasi. Keadaan ini dapat disebabkan oleh bakteri jenis anaerob, bakteri yang resisten
terhadap antibiotika, bakteri gram negatif, dan jamur.Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, penyebab terbanyak adalah choledocholitihiasis, dan oleh karena itu
pengelolaannya akan dibahas lebih mendalam sebagaimana tercantum pada gambar 5.
di bawah ini.

12

No jaundice
Suspicion of CBD stones
Routine per-op
cholangiogram

selective per-op cholangiogram

CBD stones
open
expl

laparosc
chole

failure

pre-op ERCP

No stones
laparosc
expl BCD
failure

laparosc
cholecystec

CBD stones
endoscopic sphinct
and duct clearance
success

failure

post-op
ERCP

open
laparosc
expl CBD
expl CBD
failure
Algorithm showing available strategies for CBD stone.
Hepatobil Panc Surg 1999

Gambar 5. : Algoritme sebagai strategi pada penanganan batu CBD.


Dengan demikian, sesuai dengan skema tersebut di atas maka pilihan di dalam
pengelolaanya terdapat dua jenis tindakan yaitu One Step Approach dan Two Step
Approach Tindakan mana yang dipilih, haruslah berdasarkan pertimbangan
ketersediaan fasilitas yang ada, ketrampilan ahli bedah yang menanganinya dan
tentunya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengelolaannya. Terdapat keuntungan
maupun kerugian dua teknik tersebut .

13

Tabel 6. : Perbandingan keuntungan dan kerugian dengan dua teknik.


One-step approach

Two-step approach

LC+LTCDCBDE

LC + pre/post-op ERS

Advantages

Advantages

- Lower costs

- Shorter operating time

- Shorter hospital stay

- Less technically

demanding
- Potentially decreased morbidity

- Requires less equipment

Disadvantages

Disadvantages

- More technically demanding

- Longer hospital stay

- Requires expensive equipment

- Increased total costs

- Longer operative time

- Potentially increased

morbidity
- Increased operating room cost

- Two separate procedure

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

One step approach to suspected


choledocholithiasis
Patient with suspected choledocholithiasis
Intraoperative cholangiography
No CBD stone
Laparoscopic
cholecystectomy

CBD stone
Stone < 0.9 mm

LC + Lap transcystic
CBD exploration
Succesful

Laparoscopic
choledochotomy

Stone > 0.9 mm

Open CBD
exploration

Retained stones
Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Gambar 6. : Teknik Pengelolaan batu CBD satu tahap

14

Pada teknik pengelolaan satu tahap, setelah mengalami perbaikan keadaan


umum pasien dilakukan operasi cholecystectomy per laparoskopi dan kholangiografi
intraoperatif. Jika tidak ditemukan batu CBD atau hambatan dalam aliran zat kontras
ke dalam duodenum maka cholecystectomy saja telah cukup. Namun jika ditemukan
batu CBD maka tindakan selanjutnya bergantung pada ukuran batu yang ditemukan.
Jika batu ditemukan berukuran kecil yaitu < 0,9 mm maka dapat dilakukan eksplorasi
saluran empedu trancystic dengan laparoskopi jika sarana dan keahlian tersedia.
Apabila batu berukuran > 0,9 mm maka dilakukan choledochotomy perlaparoskopi
atau eksplorasi saluran empedu secara terbuka. Keuntungan cara ini adalah lama
rawat yang pendek, biaya yang rendah, dan morbiditas yang lebih rendah, namun
memerlukan ketrampilan laparoskopi yang tinggi dan peralatan yang lengkap dan
mahal, serta waktu operasi yang lebih lama.

Two-step approach to patient with


suspected choledocholithiasis
Patient with suspected choledocholithiasis
Nonresolving pancreatitis, Jaundice, Cholangitis, Poor operative risk
No
Laparoscopic intraoperative
cholangiography

Yes
ERCP / ERS
Stone Extraction
Retained stones
Stones cleared

Laparoscopic
cholecystectomy

Laparoscopic cholecystectomy

Yes
Postoperative
ERCP / ERS /
stone extraction
Open CBDE / percutan
stone extraction

Retained stones
No
Done

Rosenthal RJ et al. World J Surg 1998; 22: 1125-1132

Gambar 7. : Teknik Pengelolaan dua tahap


Pasien-pasien cholangitis yang disebabkan oleh choledocholithiasis tidak
jarang memiliki resiko tinggi operasi sehingga sering kali teknik dua tahap lebih tepat
dilakukan karena tindakan awal bisa berupa terapi bedah invasif yang minimal dan
15

tidak memerlukan waktu operasi yang lama. Jika setelah tindakan invasif menimal
seperti ERCP/ERS batu penyebab sumbatannya dapat dihilangkan maka tindakan
cholecystectomy dapat dilakukan setelah keadaan umum pasien menjadi lebih baik.
Terlebih lagi, jika setelah ekstraksi batu melalui teknik ERCP masih terdapat batu,
maka selanjutnya dilakukan eksplorasi saluran empedu secara terbuka untuk sekaligus
dilakukan cholecystectomy dan pengangkatan batu empedu yang tertinggal. Pilihan
tindakan yang lain adalah dilakukan terlebih dahulu cholecystectomy per laparoskopi
jika tidak terdapat resiko tinggi operasi, baru kemudian dilakukan ERCP untuk
mengambil batu saluran empedu yang tertinggal. Keuntungan pendekatan ini adalah
waktu operasi yang relatif lebih singkat, tidak membutuhkan peralatan dan keahlian
yang terlalu tinggi, namun terdapat kerugian yaitu memerlukan waktu rawat yang
lebih lama dan morbiditas yang lebih tinggi.

Pilihan pendekatan mana yang dipilih tentunya bergantung kepada terutama


sarana dan keahlian yang tersedia, serta perawatan yang intensif yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu yang terkait seperti ilmu bedah, penyakit dalam, radiologi, dan
anestesiologi.

16

Daftar Pustaka

1. FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principles of Surgery, 18 th Ed.


Mc Graww Hill Companies.
2. Benjamin I.S., Benign and Malignant Lesions of the Biliary Tract, in Garden O.J.
(Ed), Hepatobiliary and Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 :
201 - 219.
3. Csendes A., Burdiles P., Diaz J.C., Present Role of Classic Open
Choledochostomy in the Surgical Management of Patients with Common Bile
Duct Stones, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1167 - 1170.
4. Moston R.W., Menzies D., Gallstones in Garden O.J. (Ed), Hepatobiliary and
Pancreatic Surgery, W.B. Saunders Company Ltd.1999 : 175- 197.
5. Navarrete C.G., Castillo C.T., Castillo P.Y., Choledocholithiasis : Percutaneus
Treatment, World Journal of Surgery 1998; 22 : 1151 - 1154.
6. Pitt H.A., Longmire W.P., Suppurative Cholangitis, in Hardy J.D. (Ed), Critical
Surgical Illness, Second Edition, W.B. Saunders Company, 1980 : 380 - 408.
7. Raraty M.G.T., Finch M., Neoptolemos J.P., Acute Cholangitis and Pancreatitis
Secondary to Common bile Duct Stones : Management Update, World J Surg
1998; 22: 1151 - 1161.
8. Rosenthal R.J., Rossi R.L., Martin R.F., Options and Strategies for Management
of Choledocholithiasis, World J Surg 1998; 22: 1125-1132.
9. Toloza EM & Wilson SF. Cholecystitis and Cholangitis, In: Fry DE (ed). Surgical
Infections, 1995 : 251 - 260.
10. Thistle J.L., Pathophysiology of Bile Duct Stones, World Journal of Surgery 1998;
22 : 1114 - 1118.

17

Você também pode gostar