Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling
terbuka saat jima’ (bersenggama) , padahal sebelum menikah hal itu adalah
sesuatu yang diharamkan. Maka hakikatnya keterbukaan itu pun harus
diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran (fikrah), dan
sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat
secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri- nya dan dapat
memupuk sikap saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal
menyangkut perasaan dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan
kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang suami/isteri memendam
perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang
demikian terjadi hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera
introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi penyebab masalah atas
dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka
dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan
potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan
pengalaman hidup bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan
terjadinya perbedaan-perbedaan dalam cara berfikir, memandang suatu
permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan, pakaian,
dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena
itu masing-masing suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan
dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan
yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian (seperti
yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187) , maka suami/isteri harus
mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang
ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya
meminimalisir kelemahan/kekuranga n yang ada.
4. Komunikasi (Musyawarah)
Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam
kehidupan rumah tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis. Komunikasi sangat penting, disamping akan meningkatkan
jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya kesalahfahaman.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi
yang timbal balik antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan
bahasa dialog yaitu meminta pendapat pada Ismail bukan menetapkan
keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya sikap
tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal
kepada Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut
dapat terlaksana dengan kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan
seekor kibas yang sehat dan besar.
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan
berumah tangga. Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni
neraka adalah kaum wanita, disebabkan mereka tidak bersyukur kepada
suaminya.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau
Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan
shalat.
Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang
sifat-sifat (muwashshofat) ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan,
sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS. Al-Furqon:74; QS.
Ash-Shaafaat: 100 ; QS.Al-Imran: 38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40).
Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap
dipandang mata (Qurrota a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat
penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih),
diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya (wali
radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat) .
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam
interaksi kehidupan berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman
dan indah. Suasana yang demikian sangat penting untuk perkembangan
kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana untuk betah
tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata
dapat diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal,
akan tetapi lebih disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri
dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana, sehingga tercipta
kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang
mapan. Ketika kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia
akan bersikap emosional dan marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah
mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw mengingatkan secara
berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah
karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar
dan mohon perlindungan Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah
hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena
sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah ma’af,
karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena
sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/ suami, segeralah
minta ma’af dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah
bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi
jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.
Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah
tangga, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di
dunia, boleh jadi tidak selalu identik dengan kehidupan yang mewah
dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu tenang
(muthma’innah) , fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk
kebahagiaan yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan
dengan 4 (empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1)
Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman,
dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang
nyaman tanpa harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar,
silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan dinas. Paling tidak
keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan
syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba- Nya
yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai
cobaan.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari
kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan kedalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. “
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan
mereka (di syurga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala
amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.
(QS. Ath-Thuur:21) .