Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Anamnesis
Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung
kepada pasien (autoanamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lain (alloanamnesis)
misalnya pada wali atau pengantar. Pada seorang pasien, terutama pasien anak, sebagian besar
data (diperkirakan sampai 80%) yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis diperoleh dari
anamnesis.3
Riwayat penyakit sekarang
-
apakah
Penilaian kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan terhadap umur, dapat
Riwayat imunisasi
-
Status imunisasi ditanyakan, khususnya imunisasi BCG, DPT, Polio, dan campak.
Imunisasi lain seperti Tipa, rubela, gondongan dan hepatitis juga ditanyakan.
Pada skenario 11 didapatkan hasil anamnesis yaitu pasien adalah seorang anak laki-laki
berusia 5 tahun menderita kejang kaku diseluruh tubuhnya dan berulang sejak 1 hari yang lalu.
Pasien juga menderita demam subfebris sejak 2 bulan yang lalu. Dalam 24 jam terdapat 3 kali
serangan kejang. Tiap episode kejang terjadi selama 5 menit. Riwayat imunisasi lengkap, kecuali
BCG.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi lokal. Pada inspeksi umum
dilihat perubahan yang terjadi secara umum sehingga dapat diperoleh kesan keadaan umum
anak. Sedangkan pada inspeksi lokal, yang dilakukan pada saat dilakukan pemeriksaan setempat,
dilihat perubahan-perubahan lokal sampai yang sekecil-kecilnya. Seringkali diperlukan
perbandingan dengan sisi lainnya.3
Palpasi
Palpasi dilakukan dengan meraba, mempergunakan telapak tangan dan memanfaatkan
alat peraba yang terdapat padatelapak tangan dan jari-jari tangan. Dengan palpasi dapat
ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan serta konsistensi suatu organ. Palpasi dilakukan
dengan menggunakan jari II, III, IV. Bila ada bagian yang sakit, perabaan selalu dimulai dari
bagian yang tidak sakit, baru kemudian ke bagian yang sakit.3
Perkusi
Tujuan perkusi ialah mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan batasbatas suatu organ. Perkusi dapat dilakukan dengan cara langsung dengan mengetukkan ujung jari
II atau III langsung pada daerah yang diperkusi. Cara ini dapat dilakukan misalnya pada waktu
melakukan perkusi pada kepala. Cara yang lain adalah perkusi tidak langsung. Pada cara ini jari
II atau III diletakkan lurus pada bagian tubuh yang akan diperiksa, sedangkan jari-jari lainnya
tidak menyentuh tubuh. Jari ini dipakai sebagai landasan untuk mengetuk. Ketuklah jari ini pada
falang bagian distal, proksimal dari kuku, dengan jari II atau III tangan kanan yang
membengkok. Suara perkusi dibagi 3 macam, sonor (suara yang terdengan pada perkusi paru
normal), pekak (suara yang terdengar pada perkusi otot, misalnya paha atau bahu), dan timpani
(suara yang terdengar pada perkusi abdomen bagian lambung). Tentu saja ada suara yang
terdapat di antara suara tersebut, misalnya redup (antara sonor dan pekak) dan hipersonor (antara
sonor dan timpani).3
Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan dengan mempergunakan stetoskop. Dengan auskultasi
dapat didengar suara pernapasan, bunyi dan bising jantung, peristaltik usus, dan aliran darah
dalam pembuluh darah. Terdapat 3 macam ukuran stetoskop yang sesuai untuk neonatus, anak,
dan dewasa. Pada anak, yang dipakai adalah stetoskop binaural.3
Refleks Patologik
Refleks Babinski adalah salah satu refleks patologis yang dilakukan dengan menggores
permukaan plantar kaki dengan alat yang sedikit runcing. Bila positif akan terjadi reaksi
berupa ekstensi ibu jari kaki disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain. Refleks
4
ini normal pada bayi sampai umur 18 bulan; bila masih terdapat pada umur 2-2 tahun,
lesi piramidal (upper motor neuron), tetapi tanda ini juga terdapat pada pasien tetani.3
Klonus pergelangan kaki diperiksa dengan melakukan dorsofleksi kaki pasien dengan
cepat dan kuat sementara sendi lutut diluruskan dengan tangan lain pemeriksa yang
diletakkan pada fosa poplitea. Bila klonus positif akan terjadi gerakan fleksi dan ejstensi
dan terdapat hambatan. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah umur 6
bulan.
Pemeriksaan Saraf Otak III, IV, VI (Nn. okulomotorius, troklearis, dan abdusen)
Uji yang sederhana dan mudah dilakukan ialah uji gerakan kedua mata, uji akomodasi
dan refleks cahaya. Pemeriksaan dilakukan dengan menggerakkan mainan, baterai atau alat
pengukur lingkaran kepala yang digoyang-goyangkan ke samping, ke atas dan ke bawah di garis
tengah, kemudian juga diagonal. Hal ini dilakukan pada masing-massing mata dengan menutup
mata yang lain.3
Uji akomodasidilakukan dengan menyuruh pasien melihat benda yang digerakkan
mendekat dan manjauh; diperhatikan pupil penderita apakah mengecil bila melihat dekat serta
membesar bila melihat jauh. Uji diplopia dilakukan dengan menanyakan kepada pasien apakah
melihat satu atau lebih mainan yang digerakkan di depan pasien ke atas kiri, atas kanan, bawah
kiri dan bawah kanan.3
Paralisis saraf otak IIIakan menyebabkan mata yang terkena akan deviasi ke lateral
bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta hilangnya refleks cahaya dan akomodasi.
Paralisis saraf otak IV jarang terjadi; pada keadaan ini waktu melihat ke bawah terjadi sedikit
strabismus konvergens dan diplopia. Pasien tidak mampu melihat ke bawah sehingga mengalami
kesukaran pada waktu menuruni tangga. Paralisis saraf otak VI paling sering terjadi, ditandai
oleh strabismus konvergens dan diplopia.3
Pada skenario 11, didapatkan hasil pemeriksaan fisik yaitu, pada sela-sela periode kejang
pasien tampak lemah dan sering tidur, Kaku kuduk (+), Babinski (+), Brudzinski (+), berat badan
15 kg, pungsi lumbal berwarna kuning jernih, prodormal limfosit 30l, glukosa 20mg/dl, protein
150mg/dl, fungsi N. III, IV dan VI abnormal.
Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium rutin pada meningitis tuberkulosis jarang yang khas, bisa ditemui leukosit
meningkat, normal atau rendah dan diff. count bergeser ke kiri kadang-kadang ditemukan
hiponatremia akibat SIADH.2
2) Pemeriksaan CSS
Terdapat peningkatan tekanan pada lumbal pungsi 40-75% pada anak. Warna jernih atau
xantokhorm terdapat peningkatan protein dari 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa
pada cairan serebrospinal. Terdapat penurunan klorida, ditemukan pleiositosis, jumlah sel
meningkat biasanya tidak melebihi 300 cel/mm2,4
3) Mikrobiologi
Ditemukan Mycobacterium tuberculosis pada kultur cairan serebrospinal merupakan baku
emas tetapi sangat sulit, lebih dari 90% hasilnya negatif.2
4) PCR (Polymerase chain reaction) spesifitas tinggi tetapi sensitivitas moderat.2
5) Pada pemeriksaan foto rontgen toraks ditemukan tuberkulosis aktif pada paru dan dapat
sembuh sampai 90% pada anak.2,4
6) Hasil tes PPD tuberkulin negatif pada 10-15% anak-anak.2,4
7) CT Scan dan MRI
Pemeriksaan CT scan dengan kontras ditemukan penebalan meningen di daerah basal,
imfark, hidrosefalus, lesi granulomatosa. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dari CT Scan ,
tetapi spesifitas juga masih terbatas.2
Working Diagnose
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer.
Secara histologis meningitis tuberkulosis merupakan meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan
invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat.2
Differential Diagnose
Meningitis Purulenta
Meningitis purulenta ialah radang selaput otak (araknoidea dan piamater) yang
menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik dan nonvirus. Sebagai
kuman penyebab ialah jenis Pneumococcus, Haemophilus influenza, Staphylococcus,
Streptococcus, E.coli, Meningococcus, dan Salmonella. Di Jakarta penyebab terbanyak ialah
Pneumococcus dan Haemophilus influenza. Angka kejadian tertinggi pada umur antara 2 bulan
2 tahun. Meningitis purulenta pada umunya sebagai akibat komplikasi penyakit lain. Kuman
secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit faringotonsilitis, pneumonia,
bronkopneumonia, endokarditis dan lain-lain.4
Gejala klinis terbagi dalam 3 tahap. (1) Gejala infeksi akut; anak menjadi lesu, mudah
terangsang, panas, muntah, anoreksia, pada anak yang beasr mungkin didapatkan sakit kepala.
7
(2) Gejala tekanan intrakranial meninggi; anak sering muntah, nyeri kepala (pada anak besar),
moaningncry (pada neonatus) yaitu yangis yang merintih. Kesadaran bayi/anak menurun dari
apatis sampai koma. Kejang yang terjadi dapat bersifat umum, fokal, atau twitching. Ubun-ubun
besar menonjol dan tegang, terdapat gejala kelainan serebral lainnya seperti paresis atau
paralisis, strabismus. Crack pot sign dan pernafasan Cheyne Stokes. Kadang-kadang pada anak
besar terdapat hipertensi dan Chocked disc dari papila nervus optikus. (3) Gejala rangsangan
meningeal; terdapat kaku kuduk, Kernig, Brudzinski (+). Bila terdapat gejala diatas, selanjtunya
dilakukan pungsi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal. Umumnya cairan
serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh. Kadar protein dalam likuor meninggi. Kadar gula
menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang
merendah. Komplikasi yang mungkin timbul ialah efusi subdural, empiema subdural,
ventrikulitis, abses serebri, sekuele neurologis berupa paresis atau paralisis sampai deserebrasi,
hidrosefalus akibat sumbatan pada jalannya atau resorbsi atau produksi likuor serebrospinalis
yang berlebihan.4
Penatalaksanaan pada penderita meningitis purulenta, yang pertama adalah koreksi cairan
dan elektrolit. Bila anak masuk dalam status konvulsiv, berikan diazepam 0,5 mg/kgbb/kali.
Setelah kejang diatasi, berikan fenobarbital dosis awal untuk neonatus 30 mg, anak kurang dari 1
tahun 50 mg, dan di atas 1 tahun 75 mg. Berikan ampisilin intravena sebanyak 400 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 6 dosis ditambah kloramfenikol 100 mg/kgbb/hari intravena dibagi dalam 4 dosis
untuk Haemophilus influenza dan Pneumococcus. Mortalitas tergantung pada virulensi kuman
penyebab, daya tahan tubuh penderita, terlambat atau cepatnya mendapat pengobatan yang tepat
dan pada cara pengobatan dan perawatan yang diberikan.4
Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran, gerakan involunter,
fenomena sensorik abnormal, serta kenaikan aktivitas otonom.5
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neuronneuron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang
yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar kebagian tubuh/anggota gerak yang lain
pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian
akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi
juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang
seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.5
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi
pada:Trauma lahir, Asphyxia neonatorum, Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf, intoksikasi
obat/alkohol, tumor, dan kelainan vaskular.
Epilepsi secara umum diklasifikasikan menurut bentuk kejangnya, yaitu: kejang parsial,
kejang umum, dan kejang tidak terklasifikasi. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran pasien
tidak terganggu. Terjadi gerakan otomatis sederhana seperti hanya jari atau tangan yang bergetar;
atau mulut yang bergerak tak terkontrol; bicara tidak dapat dimengerti. Pada kejang parsial
kompleks, terjadi gerakan secara otomatis dan berulang-ulang tapi tidak bertujuan seperti
mengunyah, menggigit bibir atau bergumam. Terjadi gangguan kesadaran sehingga pasien tidak
mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.Pada kejang umum (grand mal) biasanya
melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan terjadinya kekauan intens pada seluruh
tubuh (tonik) yang diikuti dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot
(Klonik) serta disertai dengan penurunan kesadaran.5
Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal anti konvulsan termasuk
karbamazepin, primidon, fenitoin, fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.Cegah terjadinya
hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang menyeluruh, perawatan gigi teratur, dan masase
gusi teratur untuk pasien yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).Pembedahan diindikasikan bila
epilepsy diakibatkan oleh tumor intrakranial, abses, kista, atau kelainan vaskuler.Pengangkatan
9
secara pembedahan pada focus epileptogenik dilakukan untuk kejang yang berasal dari area otak
yang terkelilingi dengan baik yang dapat dieksisi tanpa menghasilkan kelainan neurologis yang
signifikan.5
Kejang Demam
Kejang demam kompleks
Kejang tidak umum tetapi hanya mengenai sebagian tubuh mis. tangan saja.
Kejang demam kompleks menunjukkan ada kelainan di sistem saraf, keadaan ini kelak
berpotensi berkembang jadi epilepsi sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut.
Etiologi
Penyebab utama dari meningitis Tb adalah Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis
adalah bakteri batang gram (+) yang memberikan hasil kurang baik bila diwarnai dengan
pewarnaan HE karena dinding selnya sangat tebal dan mengandung lipid, peptidoglycan, dan
aribomannan. Tetapi bakteri ini dapat diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau yang
disebut juga pewarnaan tahan asam yang menghasilkan warna merah terang dengan latar
berwarna kebiruan.6
Epidemiologi
Pada tahun 2010, meningitis Tb merupakan 2,1% dari total kasus pediatri di rumah sakit
dan 9,1% dari kasus Tb ekstrapulmonar. Tiap tahunnya pada negara berkembang, dilaporkan
adanya 1,3 juta kasus Tb baru pada anak-anak dan 40.000 kematian pada anak di bawah 15 tahun
yang disebabkan oleh Tb. 1 dari 300 kasus Tb pada anak yang tidak ditangani dapat
berkomplikasi menjadi meningitis Tb.
Meningitis Tb lebih sering menyerang kelompok anak usia di bawah 5 tahun dan
perbandingan kasus antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1.7
Patofisiologi
10
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberkulosis primer di luar
otak. Focus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, tulang,
sinus nasalis, traktus gastro-intestinalis, atau ginjal. Terjadinya meningitis dimulai dari terjadinya
bakteremia yang menyebabkan basil Tb mencapai meninges atau parenkim otak. Selanjutnya
akan terbentuk tuberkel-tuberkel kecil (beberapa mm sampai 1 cm). Tuberkel tadi kemudian
melunak, pecah dan masuk ke ruang subarachnoid dan ventrikulus sehingga terjadi peradangan
yang difus. Secara mikroskopik tuberkel-tuberkel ini sama dengan tuberkel pada umumnya
dimana terdapat pengijuan sentral dan dikelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit, sel-sel plasma dan
dibungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul.
Eksudat dari tuberkel yang pecah tadi akan menyumbat pembuluh darah meningeal dan
kortikal sehingga terjadi peradangan, obstruksi atau infark. Eksudat tersebut juga dapat
menyumbat akuaduktus Sylvii, foramen Magendi, foramen Luschka dan mengakibatkan
terjadinya hidrosefalus, edema papil dan peningkatan tekanan intrakranial.1,6,7
Gejala Klinis
Meningitis Tb timbul bertahap sehingga biasanya terdapat panas yang tidak terlalu tinggi,
nyeri kepala dan nyeri kuduk. Disamping itu juga terdapat riwayat penurunan berat badan, nyeri
otot, nyeri punggung, dan anoreksia. Setelah beberapa hari, bukti adanya keterlibatan meningen
ditandai dengan adanya letargi, iritabilitas, dan pada pemeriksaan akan dijumpai tanda-tanda
rangsangan selaput otak seperti kaku kuduk, tanda Kernig dan tanda Brudzinsky. Jika diagnosis
tidak ditegakkan pada tahap ini akan terjadi kejang, tanda fokal dan gangguan kesadaran.
Terdapat peningkatan jumlah limfosit dengan peningkatan protein dan glukosa yang rendah pada
LCS.7
Meningitis Tb di bagi dalam 3 stadium:
1. Stadium pertama (prodromal)
Stadium prodromal berlangsung antara 2 minggu 3 bulan. Pada anak yang masih kecil
awal penyakit bersifat subakut, sering tanpa panas atau hanya kenaikan suhu yang ringan
atau hanya dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tidak ada nafsu makan,
murung, berat badan turun, lemas, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan
11
gangguan kesadaran berupa apatis. Anak yang lebih besar mengeluh nyeri kepala, tidak
ada nafsu makan, muntah-muntah, pola tidur terganggu. Pada orang dewasa terdapat
panas yang hilang timbul, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri
punggung, dan mudah tersinggung.6,7
2. Stadium kedua
Gejala terlihat lebih berat. Pada anak kecil dan bayi terdapat kejang umum atau fokal.
Tanda-tanda rangsang meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah
lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif menyebabkan anak
berteriak dan menangis dengan nada yang khas yaitu meningeal cry. Kesadaran makin
menurun. Refleks tendon meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela
dan pergelangan kaki. Terdapat gangguan saraf kranial antara lain N.III, IV, VI, dan VII.
Dalam stadium ini dapat terjadi defisit neurologik fokal seperti hemiparesis, hemiplegia,
afasia dan tetraparesis.6,7
3. Stadium ketiga
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernapasan dan nadi juga tak teratur dan
terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk Cheyne-Stokes atau Kussmaul serta spasme
klonik. Gangguan miksi berupa retensi atau inkotinensia urin. Didapatkan pula adanya
penurunan kesadaran yang makin parah sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat
meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan yang
adekuat.6,7
Penatalaksanaan Medika Mentosa
1. Isolasi :
Anak ditempatkan dalam ruang isolasi sedikitnya selama 24-48 jam setelah mendapatkan
antibiotik IV yang sensitif terhadap organisme penyebab.
2. Terapi antimikroba
Terapi anti mikroba pada meningitis bakteri terdiri dari ampisilin dan sefotaksim atau ampisilin
dan gentamisin. antibiotik yang diberikan didasarkan pada hasil kultur dan diberikan dengan
12
dosis tinggi.
3. Mempertahankan hidrasi optimum
mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan cairan yang dapat menyebabkan edema
serebral (pembengkakan otak). Pemberian plasma perinfus mungkin diperlukan untuk rejatan
dan untuk memperbaiki hidrasinya
4. Mencegah dan mengobati komplikasi.
aspirasi efusi subdural dan terapi heparin
5. Mengontrol kejang
pemberian anti epilepsy atau anti konvulsan untuk anak yang kejang-kejang.
Diazepam = 0,5 mg/kg BB/ iv
Fenobarbital = 5-6 mg/kg BB/hari secara oral
Difenilhidantoin = 5-9 mg/kgBB/hari secara oral
6. Pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin
kesembuhan serta mengurangi atau menghindari resiko komplikasi.
Pada bakteri Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis antara lain Cephalosporin
(ceftriaxone atau cefotaxime) Sefalosporin (iv) : 2 gr tiap 4 jam dan bakteri Listeria
monocytogenes akan diberikan Ampisilin (iv) : 8-12 gr/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian,
Vancomycin dan Carbapenem (meropenem), Chloramphenicol (iv) : 4-8 gr/ hari
7. Bila gelisah diberi sedativ seperti fenobarbital (penenang)
8. Nyeri kepala diatasi dengan analgetik dan Fisioterapi diberikan untuk mencegah dan
mengurangi cacat.
9. Panas diturunkan dengan: Kompres, parasetamol, asam salisilat, pada anak dosisnya 10 mg/kg
13
14
Dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian.
Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam
bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2
jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek
toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak,
biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan piridoksin
dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan
dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum
makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari
Dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari.
Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB /
hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan
daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah
mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk
kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg .
15
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan
tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan
suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna.
Dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2
jam.
Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada
anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan
basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting
pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistenttuberculosis).
Maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati
selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan
pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin
16
dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita
hamil karena dapat merudak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika diberikan dengan
dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu
24 jam.
Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis
satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya.Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25
mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB
resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai terapi ajuvan.
Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial
dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB /
hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off)
selama 4-6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan,
pasien harus tirah baring total.
Non Medika Mentosa
17
Baringkan anak pada tempat yang rata, kepala di miringkan dan pasangkan gagang
sendok yang dibungkus kain atau sapu tangan bersih dalam mulutnya. Dengan tujuan
untuk mencegah lidah tergigit.
Jangan memberi minuman atau makanan apapun pada anak saat kejang.
Bila dengan tindakan ini kejang belum berhenti atau kondisi nya semakin parah, segera
bawa anak ke dokter atau rumah sakit.
Pencegahan
Meningitis dapat dicegah dengan cara mengenali dan mengerti dengan baik faktor
predisposisi (pendukung) seperti otitis media atau infeksi saluran napas (seperti TBC) dimana
dapat menyebabkan meningitis serosa. Dalam hal ini yang paling penting adalah pengobatan
18
19
1. Umur
a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang terjadi pada
anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian menurun dengan
bertambahnya umur.
2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan
2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki.
3. Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada
saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap
anak, berkisar antara 38,3C 41,4C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan
mengapa pada seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi
sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu
tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih
sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.
4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam. Beberapa penulis
mendapatkan bahwa 25 50% anak yang mengalami kejang demam memiliki anggota keluarga (
orang tua, saudara kandung ) yang pernah mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam cenderung
timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau pada waktu demam tinggi.7
20
21
Daftar Pustaka
1. Wahab AS, Trastotenojo M, Pendit BU, Prasetyo A, Sugiarto. Buku ajar pediatri rudolph.
Jakarta: EGC.2006.h.692-4.
2. Sudewi RAA. Infeksi pada sistem saraf. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair.2011.h.14-9.
3. Wahidiyat HI, Matondang CS, Sastroasmoro HS. Diagnosis fisis pada anak. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.2011.h.3-25, 144-52.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
kuliah ilmu kesehatan anak 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2010.h.558-64.
5. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Ed.3. Jakarta: EGC.2008.h.277-80.
6. Ramachandran TS. Tuberculous meningitis. Edisi April 2013. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a0104, 13 Desember 2013.
7. Prober CG. Central nervous system infections. In: Kliegman RM et all. Nelson textbook
of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders.2011.p.872-8.
22