Você está na página 1de 27

Jurnal Akuntansi & Bisnis

(Journal of Accounting & Business)


Volume 14, No1, Februari 2013

Tjiptohadi Sawarjuwono dan Devi Kalajanti


Menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus
Hartina Husein

Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan Pangsa Pasar Relatif terhadap


Discretionary Revenue
Yulia Sandra Nur Fitriana
Fraud Risk Factor (Opportunity) dan Fraudulent Financial Statements
(Empirical Study on Non Financial Firm in Indonesia)
Isna Putri Rahmawati dan Bambang Riyanto
Perilaku Manajemen Laba: Pengaruh Jenis Profesi, Love of Money,
Sikap Skeptis, dan Komitmen Profesional
Ferda Puspitaningrum
Pengaruh Kualitas Audit dan Perusahaan Suspect Terhadap Real
Earnings Management
Annisa Perdany dan Sri Suranta
Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas
Audit Investigatif Pada Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta
Rowland Bismark Fernando Pasaribu dan Dionysia Kowanda
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia

Jurnal
Akuntansi dan Bisnis

Vol.14

No.1

Hal.
1-112

Surakarta
Februari 2013

ISSN
1412-0852

Jurnal Akuntansi & Bisnis


(Journal of Accounting & Business)
Volume 14, No1, Februari 2013
ISSN: 1412-0852
Chairman
Head of Accounting Department
Universitas Sebelas Maret
Editor in-Chief:
Sulardi
Editorial Board
Bandi
Universitas Sebelas Maret
Y Anni Aryani
Universitas Sebelas Maret
Rahmawati
Universitas Sebelas Maret
Djoko Suhardjanto
Universitas Sebelas Maret

Editorial Staff
Isna Putri Rahmawati
Halim Dedy Perdana

Editorial Office
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126

Jurnal Akuntansi dan Bisnis (JAB) is published by Accounting Department, Faculty EconomicsUniversitas Sebelas Maret. Published two times a year, February and August, JAB Is a media of
communications and reply forum for scientific work especially concerning the fields of economics
studies, business and accounting. Papers presented in JAB are solely that of author. Editorial staff
may edit the papers, as long as not change its meaning.

ISSN: 1412-0852

Jurnal Akuntansi & Bisnis


(Journal of Accounting & Business)
Volume 14, No1, Februari 2013

Tjiptohadi Sawarjuwono dan Devi Kalajanti


Menumbuhkan Cinta Profesi Akuntan Publik Bagi Generasi Penerus

1-15

Hartina Husein

Pengaruh Pertumbuhan Penjualan dan Pangsa Pasar Relatif terhadap


Discretionary Revenue
Yulia Sandra Nur Fitriana
Fraud Risk Factor (Opportunity) dan Fraudulent Financial Statements
(Empirical Study on Non Financial Firm in Indonesia)
Isna Putri Rahmawati dan Bambang Riyanto
Perilaku Manajemen Laba: Pengaruh Jenis Profesi, Love of Money,
Sikap Skeptis, dan Komitmen Profesional
Ferda Puspitaningrum
Pengaruh Kualitas Audit dan Perusahaan Suspect Terhadap Real
Earnings Management
Annisa Perdany dan Sri Suranta
Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor Terhadap Kualitas
Audit Investigatif Pada Kantor Perwakilan BPK-RI Yogyakarta
Rowland Bismark Fernando Pasaribu dan Dionysia Kowanda
Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia

17-26

27-43

45-60

61-74

75-87

89-112

Jurnal Akuntansi dan Bisnis


Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112
www.fe.uns.ac.id

Universitas Gunadarma

Dengan
semakin
terintegrasinya
perekonomian dunia, hampir semua negara
(termasuk Indonesia) tidak dapat lepas dari
pengaruh aliran modal antarnegara. Salah
satu karakteristik pemodal di pasar modal
adalah memperkecil risiko investasi. Pada
masa lalu, ketika sistem keuangan dunia
1

rowland.pasaribu@gmail.com

masih tertutup, pemodal melakukan investasi pada banyak jenis saham (yang pola
pergerakannya berbeda) pada pasar modal
dalam negeri. Namun dengan semakin terbukanya sistem finansial dunia, pemodal
dapat
mengurangi
risiko
dengan
melakukan investasi di beberapa negara.
Pemodal berharap jika investasi hanya pada satu negara dimana jika terjadi kondisi
89

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


yang buruk, maka investasi di negara yang
lain diharapkan lebih baik dan dapat menjadi kompensasi. Dengan demikian investasi pemodal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi satu negara saja.
Perihal pengaruh ini pun semakin
menjadi rancu batasannya, yakni mana
yang dapat dikontrol dan mana yang diluar
kendali. Sebagai contoh, pada akhir tahun
2003 indeks pada posisi 691,895, kemudian naik turun, bahkan sempat mencapai
puncaknya pada level 818,159 tanggal 27
April 2004. Level ini merupakan level yang
tertinggi dan selanjutnya jatuh berfluktuasi
ke level 700. Fluktuasi IHSG ini tidak terlepas dari berbagai faktor internal, seperti
pemilu dan adanya terror bom. Demikian
juga fenomena suku bunga, pelemahan rupiah, yang juga berkorelasi dan menimbulkan dampak terhadap pergerakan
harga saham. Faktor eksternal antara lain
menguatnya dollar AS, China memperlambat pertumbuhan ekonomi, harga minyak
melonjak tak keruan, serta bank sentral AS
menaikkan tingkat bunga yang kini 1,5 persen. Investor yang masuk berinvestasi ke
bursa ketika IHSG pada level tertinggi akan
memiliki potensi kerugian setelah indeks
jatuh.
Fluktuasi indeks bursa saham suatu
negara juga tak lepas dari dinamika
perekonomian global, hal ini terlihat jelas
pada saat terjadinya krisis di Amerika Serikat pada 2006-2007 yang lalu. Pada Awal
Agustus 2007, indeks bursa saham Amerika Serikat anjlok. Akibatnya terasa di seluruh dunia. Kurs rupiah melemah dari Rp
9.000 ke Rp 9.300, imbal hasil surat utang
negara melejit 30 basis poin ke 9,3 persen,
imbal hasil surat utang negara (dollar) naik
24 basis poin ke 6,8 persen dan indeks bursa saham Jakarta jatuh. Gejolak itu
disebabkan oleh jatuhnya pasar surat
di Amerika Seriutang
kat. Untuk memudahkan penjelasan, subprime mortgage securities adalah surat
utang yang ditopang jaminan kredit
kepemilikan rumah (KPR) yang profil debitornya memiliki kemampuan membayar
yang rendah. Melemahnya ekonomi Amerika Serikat menyebabkan meningkatnya persentase gagal bayar debitor KPR segmen
tersebut. Akibatnya, harga surat utang
90

jatuh. Kejatuhan harga


membawa
surat utang
kerugian bagi bank dan perusahaan pengel) yang membeli
ola dana (
surat utang tersebut. Akibatnya, harga saham perbankan di Amerika Serikat tergerus. Lalu mengapa kesalahan yang dilakukan investor di Amerika Serikat, tetapi
pasar keuangan Indonesia terkena dampaknya. Sudah sering kita alami gejolak pasar
keuangan di negara sedang berkembang
hampir selalu berdampak negatif ke Indonesia, tetapi kali ini gejolak di pasar keuangan negara maju juga berdampak negatif
ke Indonesia. Mengapa nasib bursa efek
Indonesia seperti tersandera oleh pasar
keuangan internasional? Inilah dampak
dari globalisasi pasar keuangan, ternyata
yang memiliki surat utang
bukan hanya perbankan di Amerika
Serikat, tetapi ada juga perbankan di Australia, Singapura, Taiwan, China, atau di
India. Perbankan di benua lain pasti juga
memiliki eksposur ke surat utang
. Akibatnya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Berhubung
psikologi pasar selalu cenderung ekstrem,
banyak pelaku pasar percaya bahwa meruginya perbankan besar akan berdampak
kepada pelambatan laju pertumbuhan
kredit, pelambatan kegiatan ekonomi, dan
seterusnya. Akibatnya, harga saham nonperbankan di seluruh dunia pun jatuh.
Telah
banyak
model
struktural
ekonomi memasukkan harga aset sebagai
bagian mekanisme transmisi kebijakan
moneter. Sebagai contoh, Modigliani (1971)
dan Mishkin (1977) mendiskusikan saluransaluran di mana kebijakan moneter
mempengaruhi output perekonomian melalui perubahan harga saham. Teori
ekonomi menyarankan bahwa kebijakan
moneter yang ekspansif seringkali diasosiasikan dengan tingkat pengembalian saham yang lebih tinggi dan sebaliknya bila
kebijakan moneter tersebut bersifat restriktif yang berimplikasi dengan rendahnya
tingkat pengembalian saham. Fluktuasi
tingkat suku bunga yang merefleksikan perubahan kebijakan moneter dapat secara
langsung mempengaruhi biaya modal sebagaimana halnya ekspektasi tingkat keuntungan perusahaan, yang karenanya me-

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

nyebabkan fluktuasi dalam harga saham


(Durham, 2001). Studi lainnya mengacu pada alasan-alasan tambahan untuk hubungan antara kebijakan moneter dan tingkat pengembalian saham. Patellis (1997)
berpendapat bahwa kebijakan moneter
dapat merepresentasikan sumber penting
dari
siklus
bisnis
dan
karenanya
mempengaruhi tingkat pengembalian saham. Berdasarkan Chami, et.al (1999), kenaikan pada jumlah uang beredar, yang
meningkatkan ekspektasi inflasioner, menyebabkan penurunan pada nilai riil dividen mendatang yang dibayarkan terhadap
para pemegang saham, menjadikan saham
kurang menarik dan karenanya mengurangi
harga saham. Gilchrist and Leahy (2002)
berpendapat bahwa perubahan pada harga
aset dapat mempengaruhi pandangan para
pembuat
kebijakan
akan
kondisi
perekonomian dan kebijakan yang diperlukan. Studi mereka ini mengindikasikan
bahwa pengaruh kebijakan moneter terhadap harga aset memiliki implikasi yang
penting terhadap manajer investasi, investor dan bank sentral.
Dengan menggunakan data negaranegara G-7, Lastrapes (1998) menunjukkan
kejutan moneter mempengaruhi tingkat
pengembalian saham, sementara Kaen et.al
(1997) menemukan bahwa perubahan pada
kebijakan Bundesbank mempengaruhi saham-saham bank Jerman. Hasil penelitian
Conover et.al (1999) juga menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kebijakan moneter dan fluktuasi indeks
bursa di negara-negara maju tersebut. Sementara Durham (2001), melaporkan hubungan yang semakin lemah antara indikator-indikator kebijkan moneter yang berbeda-beda dengan kinerja saham jangka
panjang.
Risiko tingkat suku bunga dan nilai
tukar valas adalah dua faktor ekonomi dan
keuangan
yang
penting
yang
mempengaruhi nilai saham. Tingkat suku
bunga yang merefleksikan harga uang,
memiliki pengaruh terhadap variabelvariabel lainnya di pasar uang dan pasar
modal. Tingkat suku bunga secara tidak
langsung mempengaruhi valuasi harga saham dan juga volatilitasnya menciptakan
pergeseran antara instrumen pasar uang

dan pasar modal. Volatilitas suku bunga


valuasi saham dengan cara mempengaruhi
nilai dasar perusahaan, seperti pendapatan
bersih suku bunga, penjualan, dan seterusnya. Kenaikan pada suku bunga berpengaruh negatif terhadap nilai aset melalui tingkat pengembalian yang diperlukan. Selanjutnya, kenaikan pada tingkat
suku bunga mengarahkan para investor
untuk mengubah stuktur investasinya dari
pasar modal kepada pasar uang pendapatan tetap (Surat Utang Negara, Obligasi).
Sebaliknya, penurunan suku bunga akan
menyebabkan kenaikan pada nilai saat ini
dari
dividen
masa
mendatang
(Hashemzadeh dan Taylor, 1988). Tingkat
suku bunga dianggap sebagai salah satu
faktor yang sangat berpengaruh terhadap
harga saham (Modigliani and Chon, 1979).
Volatilitas nilai tukar valas adalah salah
satu sumber utama pada ketidakpastian
makroekonomi yang mempengaruhi perusahaan. Setelah liberalisasi keuangan dan
deregulasi serta adopsi rezim nilai tukar
mengambang,
banyak
negara-negara
dihadapkan pada permasalahan volatilitas
nilai tukar valuta asing.
Di sisi lain, nilai tukar valas
mempengaruhi nilai perusahaan terutama
karena arus kas mendatang perusahaan
akan berubah-ubah sesuai dengan fluktuasi
nilai tukar valas. Luehrman (1991) menyatakan bahwa depresiasi mata uang suatu
negara mempengaruhi tingkat kompetitif
perusahaan-perusahaan dalam kompetisi
internasional perihal kenaikan dalam permintaan bahan baku ekspornya. Adler dan
Dumas (1984) menyatakan bahwa meski
operasional perusahaan tersebut di dalam
negeri, ia dapat dipengaruhi oleh fluktuasi
nilai tukar valas baik pada harga input dan
output-nya. Pada saat yang sama, apabila
terjadi denominasi nilai tukar pada negara
tujuan impor, semakin lemah nilai tukar
mata uang negara pengimpor secara langsung berpengaruh negatif terhadap kenaikan biaya impor barangnya. Namun sudut
pandang tersebut diatas pun tidak selalu
mutlak sifatnya, bila dikaitkan dengan
dinamika pasar modal karena kenyataannya, pergerakan antara indeks harga saham
gabungan dan SBI pun tidak selalu berlawanan arah. Pada periode Juni 2004 hingga
91

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


Juni 2006 misalnya, terlihat anomali bahwa
kedua indikator ini bergerak searah.
Dengan kata lain kenaikan pada SBI juga
tidak selalu direspon negatif oleh para
pelaku di pasar saham.
Di sisi lain, secara teoretis, investasi
pada saham dapat memberikan perlindungan nilai yang baik dari pengaruh
inflasi karena saham merupakan klaim terhadap sejumlah aset riil. Teori tersebut
dikemukakan antara lain oleh Bodie (1976)
serta Fama dan Schwert (1977). Berdasarkan teori tersebut, tingkat pengembalian
riil dari saham seharusnya tidak terpengaruh oleh perubahan harga barang
dan jasa. Berlawanan dengan harapan dari
teori tersebut, kenyataan empiris di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa inflasi
dan tingkat pengembalian investasi pada
saham berkorelasi secara negatif dalam arti
inflasi yang sangat tinggi cenderung disertai dengan tingkat pengembalian investasi pada saham yang rendah. Kenyataan
empiris di AS pada periode 1953-1971 tersebut dikemukakan Fama (1981) dengan
)
menggunakan hipotesa pendekatan (
yang menjelaskan bahwa karena tingkat
pengembalian investasi pada saham berkorelasi positif dengan aktivitas ekonomi riil
dan aktivitas ekonomi riil berkorelasi
negatif dengan perubahan harga-harga barang dan jasa (inflasi), maka tingkat
pengembalian investasi pada saham berkorelasi negatif dengan inflasi. Hipotesa tersebut menyiratkan bahwa tingkat pengembalian investasi pada saham lebih erat
terkait dengan aktivitas ekonomi riil daripada dengan inflasi.
Terkait dengan hal ini, studi yang dilakukan oleh Spyrou (2004) menyimpulkan
bahwa di beberapa negara berkembang,
selain
Indonesia,
kenyataan
empiris
menunjukkan bahwa inflasi berkorelasi
secara positif dengan tingkat pengembalian
investasi pada saham. Temuan tersebut
mengindikasikan bahwa dengan tingkat
inflasi yang tinggi dapat diharapkan tingkat pengembalian investasi pada saham
yang tinggi pula. Menurut Spyrou (2004),
indikasi tersebut kemungkinan disebabkan
oleh korelasi positif antara inflasi dan aktivitas ekonomi riil di banyak negara
berkembang serta kemungkinan adanya
92

keterkaitan erat antara kebijakan moneter


dengan kebijakan sektor riil di negaranegara tersebut.
Pola interaksi antar aktivitas ekonomi
global pun juga seringkali memunculkan
gambaran anomali bila dihadapkan kausalitas teoritis dan fakta. Contoh hal ini terjadi
pada awal tahun 2009 dimana nilai tukar
kurs rupiah terhadap dolar Amerika yang
terus mengalami penurunan mulai dari kisaran Rp 10.800 per awal Januari hingga
mencapai Rp 12.000 USD1 per awal Februari. Meski fenomena pelemahan kurs ini
juga praktis terjadi pada hampir semua
mata uang dunia terhadap dollar AS, tetap
saja ini menimbulkan kekhawatiran. Dunia
usaha masih dihinggapi trauma pelemahan
rupiah sebagaimana terjadi pada krisis
1998. Menurut Prasetiantono (2009), setidaknya bisa dipetakan adanya lima faktor
penyebabnya:
, dalam setahun terakhir terjadi penurunan hebat arus modal
masuk dari negara-negara maju ke negaranegara pasar sedang berkembang di Asia.
Pada Januari-Agustus 2008, modal masuk
terpangkas 40 persen, dari 100 miliar dollar AS menjadi 60 miliar dollar AS (World
Bank, Global Economic Prospects 2009:
Commodities at the Crossroads). Modal
asing yang masuk dapat dikategorikan
menjadi tiga jenis, yakni penerbitan obligasi, penjualan saham, dan pinjaman perbankan. Ini belum termasuk penurunan
modal asing langsung. Situasi kian memburuk sejak 15 September 2008 ketika Lehman Brothers bangkrut. Investor di New
York, Amerika Serikat, pun kemudian
melakukan konsolidasi. Mereka menarik
dananya dari seluruh dunia untuk menata
ulang portofolionya. Kondisi pasar sedang
berkembang bahkan diperkirakan mengalami defisit aliran modal, berarti lebih banyak modal keluar daripada modal masuk.
Dalam kasus Indonesia, hal itu dapat
dideteksi dari merosotnya cadangan devisa
dari level tertinggi 57 miliar (Juli 2008)
menjadi 51 miliar dollar AS. Repatriasi
modal menyebabkan naiknya permintaan
terhadap dollar AS sehingga kurs dollar AS
menguat. Inilah penjelasan, mengapa dollar
AS justru menguat ketika perekonomian AS
memburuk? Kedua, surplus perdagangan
Indonesia menurun tajam, dari 40 miliar

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

dollar AS (2007 dan 2006) menjadi hanya


11 miliar dollar AS (2008). Surplus 2008
berasal dari ekspor 136 miliar dollar AS
dikurangi impor 125 miliar dollar AS. Ekspor mulai melemah sejak Oktober 2008
ketika AS dan seluruh dunia sudah memasuki periode krisis. Hal ini juga diikuti
oleh menurunnya impor, seiring dengan
kian mahalnya dollar AS. Menipisnya surplus perdagangan menghilangkan peluang
untuk menambah cadangan devisa. Ketiga,
euforia stimulus fiskal AS. Keputusan untuk menginjeksi stimulus fiskal 787 miliar
dollar AS juga berkorelasi dengan kenaikan
kurs dollar AS. Keempat, sebelum 15 September 2008, banyak mata uang dunia
) tercenderung terlalu mahal (
hadap dollar AS. Akibatnya, neraca
perdagangan tertekan hebat (defisit). Indonesia kurang lebih punya masalah mirip.
Karena kurs dollar AS terlalu murah
), impor melonjak sangat be(
sar. Pada Juli 2008, impor kita mencapai
rekor tertinggi 12,82 miliar dollar AS, padahal ekspor cuma 12,55 miliar dollar AS.
Akibatnya, terjadi defisit perdagangan
hampir 300 juta dollar AS. kami menduga
hal ini terjadi karena dollar AS underval.
ued, atau sebaliknya rupiah
Koreksi yang diperlukan adalah kombinasi
antara dollar AS menguat dan rupiah
melemah.
Kelima,
Bank
Indonesia

menurunkan suku bunganya terlalu cepat.


Kebijakan ini memang sangat diperlukan
untuk memacu sektor riil. Namun,
penurunan BI Rate yang terakhir dari 8,75
persen ke 8,25 persen justru dilakukan pada saat rupiah lemah, yakni Rp 11.700 per
dollar AS.
Anomali interaksi antara indikator
moneter dan indeks harga saham gabungan
adalah konsekuensi bagi para pelaku pasar
(sektor riil dan keuangan) dalam menyikapi
dinamika aktivitas perekonomian yang ada,
terlebih bila dikaitkan dengan konteks liberalisasi
ekonomi
yang
seringkali
menghasilkan output yang bertentangan
dengan kausalitas definisi antar indikator.
Pemetaan pada pola pergerakan dinamis
indikator yang dimaksud adalah suatu tantangan dan peluang baik bagi kalangan
akademisi dan praktisi guna menghasilkan
estimasi yang sekomprehensif mungkin
dalam menjelaskan interaksi tersebut.

Berdasarkan pemaparan singkat diatas, penelitian ini bertujuan untuk:


1. Melihat perkembangan indeks harga saham gabungan, tingkat inflasi, cadangan
devisa, tingkat suku bunga SBI, jumlah
uang beredar, kurs rupiah terhadap
Dolar Amerika Serikat, kurs rupiah terhadap Euro, dan bursa saham asing
93

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


(KLSE, STI, PSEI, dan SSE)
2. Mengetahui pengaruh masing-masing
variabel tersebut baik secara simultan
maupun secara parsial terhadap indeks
harga saham gabungan (IHSG).

Globalisasi secara sederhana diartikan


sebagai integrasi perekonomian suatu
negara ke dalam perekonomian dunia
(global). Proses integrasi perekonomian
global itu sendiri, antara lain dicerminkan
oleh adanya liberalisasi perdagangan dan
investasi (ekonomi) (Darwin, 2005).
Gejala
globalisasi
terjadi
dalam
kegiatan finansial, produksi, investasi dan
perdagangan
yang
kemudian
mempengaruhi tata hubungan ekonomi
antarbangsa. Proses globalisasi itu telah
meningkatkan kadar hubungan saling
ketergantungan antarnegara, bahkan menimbulkan proses menyatunya ekonomi
dunia, sehingga batas-batas antarnegara
dalam berbagai praktik dunia usaha atau
bisnis seakanakan dianggap tidak berlaku
lagi (Halwani, 2005). Lebih lanjut Halwani
(2005) menjelaskan bahwa globalisasi
ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas investasi atau pasar
secara nasional, regional ataupun internasional. Hal itu disebabkan oleh adanya
hal-hal berikut ini.
1. Komunikasi dan transportasi yang semakin canggih.
2. Lalu lintas devisa yang semakin bebas.
3. Ekonomi negara yang makin terbuka.
4. Penggunaan secara penuh keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif
tiap-tiap negara.
5. Metode produksi dan perakitan dengan
organisasi manajemen yang makin
efisien.
6. Semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seluruh
dunia.
Dua kata kunci di dalam globalisasi
adalah interaksi dan integrasi, yakni interaksi ekonomi antar negara dan tingkat
integrasinya. Interaksi ekonomi antar negara mencakup arus perdagangan, produksi
dan keuangan, sedangkan integrasi berarti
bahwa perekonomian lokal atau nasional
94

setiap negara secara efektif merupakan bagian yang tidak otonom dari satu
perekonomian
tunggal
dunia.
Jadi
pengertian integrasi lebih tegas dibandingkan interaksi. Berdasarkan kedua kata
kunci tersebut pengertian globalisasi
ekonomi adalah bahwa suatu kondisi dimana perekonomian nasional dan lokal terintegrasi kedalam satu perekonomian tunggal yang bersifat global (Thoha, 2001).

Integrasi ekonomi adalah kebijakan


komersial atau perdagangan yang secara
diskriminatif mengurangi atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan
hanya di antara pihak tertentu saja, yakni
di negara-negara yang memutuskan untuk
bersatu membentuk integrasi ekonomi tersebut.
Menurut Djamalius dalam Hanie
(2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan
menghapuskan
semua
pembatasanpembatasan yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan
memasukkan semua bentuk bentuk kerja
sama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai
sebagai alat untuk mengakses pasar yang
lebih besar, menstimulasi pertumbuhan
ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional.
Dalam penelitian ini integrasi IHSG
dengan indeks bursa saham regional
mempunyai arti sebagai penyatuan bursabursa saham dengan menganalisis keterkaitan atau hubungannya dilihat dari harga
saham, suku bunga dan tingkat inflasi.
Adapun negara-negara yang akan diteliti
adalah Indonesia, Hongkong dan Singapura.
Suku bunga, tingkat inflasi dan harga
saham Indonesia memiliki keterkaitan
dengan suku bunga, tingkat inflasi, harga
saham Hongkong dan Singapura. Indeks
Bursa Saham (IHSG) berkorelasi positif dan
negatif dengan Indeks Bursa Regional
(Hangseng dan STI). Adanya penyatuan
atau integrasi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan pasar modal di masing-masing
negara. Saham di bursa-bursa Asia
melemah terpengaruh anjloknya saham

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

Wall Street. Di Hong Kong, indeks


Hangseng turun dan indeks STI mengalami
penurunan terendah dalam dua tahun terakhir mengikuti penurunan indeks Dow
Jones. Menurut para investor, penurunan
tingkat suku bunga bisa mengangkat
ekonomi karena bisa menurunkan harga
barang konsumen (Hariyanto, 2001). Contoh lain, menjelang akhir tahun 2006 lalu,
dapat dilihat bahwa Bursa Efek Jakarta bersama dengan bursa Shanghai China dan
Mumbai India merupakan trio bursa di Asia
dengan kinerja paling baik. Ketiganya bersama-sama memecahkan rekor indeksnya
masing-masing. Diketahui bahwa pertumbuhan indeks sebesar 57.25 persen dicapai
bursa Jakarta, 65.05 persen oleh bursa
Shanghai dan 48.64 persen oleh bursa
Mumbai. Memasuki masa peralihan semester pertama dan kedua sempat terjadi
penurunan indeks akibat ketidakpastian
tingkat suku bunga global. Tetapi, setelah
itu indeks di BEJ terus melaju dan sempat
mencapai level 1.800. Inflasi yang terkendali dan tingkat suku bunga yang terus
menurun membuat optimisme ke lantai
bursa. Dimana para investor tertarik untuk
membeli saham di bursa.

Globalisasi adalah salah satu penyebab


dari korelasi antara IHSG dengan berbagai
indeks yang ada di berbagai belahan dunia.
Investor, baik perseorangan maupun yang
tergabung dalam sebuah dana yang
dikelola oleh seorang manajer investasi,
bisa dengan bebas melakukan alokasi aset
tanpa melihat batas-batas negara. Secara
khusus, fund manager ini membuat IHSG
berhubungan dengan bursa yang lain.
Maraknya pembentukan fund regional yang
menggunakan indeks yang terdiri dari saham-saham yang ada dalam satu regional
, adalah penyebab dari
sebagai
semakin besarnya korelasi antara IHSG
dengan berbagai indeks regional. Manajer
investasi regional bisa dengan bebas memasukkan portofolio regionalnya dari satu
negara ke negara yang lain. Manajer investasi bisa saja keluar dari suatu negara untuk menginvestasikan dana yang dimilikinya selama kedua bursa tersebut masih berada dalam satu regional. Sebagai contoh,

untuk 2006, arus dana asing memang


cenderung untuk keluar dari bursa Korea
dan Taiwan, tapi masih masuk untuk bursa
Indonesia dan India.
Beberapa
manajer
investasi
menggunakan indeks regional sebagai
dari
prestasinya
dalam
melakukan investasi. Indeks regional ini
adalah indeks yang komponennya terdiri
dari saham-saham yang terdaftar di beberapa
negara.
Manajer
investasi
yang
menggunakan indeks regional sebagai
benchmark bisa jadi cenderung untuk
keluar dari seluruh region apabila terjadi
guncangan di satu negara yang menjadi
tujuan investasinya (Utomo, 2007). Contoh
indeks regional ini adalah MSCI Asia Ex Japan yang berisi saham-saham yang diperdagangkan di bursa utama Asia di luar
Jepang, atau FTSE atau ASEAN 40 Index
yang berisi saham-saham yang ada di bursa
ASEAN. Selain itu Nikkei-225 Bursa Saham
Jepang, Hangseng Bursa Saham Hongkong,
Strait Times Bursa Saham Singapura, SET
Bursa Saham Thailand dan lain-lain.

Variabel yang berhubungan dengan


harga saham adalah tingkat inflasi. Besar
kecilnya laju inflasi akan mempengaruhi
suku bunga riil. Hal ini cukup berpengaruh
bagi instrumen-instrumen pasar modal.
Bila inflasi mengalami kenaikan maka
pemerintah
akan
berusaha
untuk
menurunkannya dengan cara mengendalikan jumlah uang beredar. Hal ini menyebabkan meningkatnya tingkat suku
bunga riil. Dengan meningkatnya tingkat
suku bunga riil maka akan menyebabkan
investor cenderung untuk mengurangi
kegiatan investasinya. Dana investasi akan
cenderung untuk diendapkan dalam bentuk deposito karena tingkat pengembalian
yang ditawarkan deposito lebih besar
dibandingkan dengan tingkat pengembalian yang ditawarkan pasar saham.
Dengan berkurangnya transaksi di pasar
saham tersebut maka akan menyebabkan
turunnya harga saham (Vimala, 2005).

95

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


Hubungan antara suku bunga dengan
harga saham dapat dilihat dari hubungan
antara suku bunga dengan investasi. Investasi sangatlah dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Bila suku bunga mengalami kenaikan maka masyarakat cenderung untuk
tidak berinvestasi karena memilih untuk
menanamkan modalnya dalam tabungan
atau deposito. Hal ini dikarenakan dengan
tingkat suku bunga yang tinggi maka tingkat pengembalian yang akan diterima akan
lebih tinggi dibandingkan dengan berinvestasi dalam pasar modal. Ini menyebabkan
berkurangnya transaksi di pasar modal
terutama pasar saham sehingga akan menyebabkan penurunan harga saham.
Bila hal sebaliknya yang terjadi,
dengan menurunnya tingkat suku bunga
maka akan menyebabkan masyarakat tidak
menanamkan modalnya dalam tabungan
atau deposito. Masyarakat akan menginvestasikan modalnya pada instrumen investasi
dengan imbalan hasil yang lebih tinggi dan
salah satu pilihan adalah dengan berinvestasi dalam pasar modal. Hal ini menyebabkan transaksi pasar modal akan meningkat
dan menyebabkan harga saham ikut mengalami peningkatan.

Maysami dan Koh (2000) meneliti hubungan demikian di Singapura. Mereka


menemukan bahwa inflasi, pertumbuhan
jumlah uang beredar, perubahan jangka
pendek dan jangka panjang tingkat bunga
dan variasi dalam nilai tukar membentuk
hubungan kointegrasi dengan perubahan
indeks gabungan pasar saham Singapura.
Sementara Islam dan Watanapalachaikul
(2003) menunjukkan, hubungan jangka
panjang yang kuat dan signifikan antara
harga saham dan faktor makro ekonomi
(suku bunga, harga obligasi, kurs mata
, kapitalisasi
uang asing, rasio
pasar, dan indeks harga konsumen) selama
1992 sampai 2001 di Thailand.
Wongbangpo dan Sharma (2002)
mengkaji hubungan antara harga saham
dan beberapa faktor makroekonomi di lima
negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand). Temuan
penelitian menyatakan bahwa dalam
jangka panjang harga saham berhubungan
96

positif terhadap pertumbuhan output, sementara untuk jangka pendek, harga saham ternyata adalah fungsi masa lalu dan
saat ini dari variabel-variabel makroekonomi.
Maysami dan Sims (2002, 2001a,
2001b) menggunakan teknik pemodelan
untuk menjelaskan hubungan antar variabel makroekonomi dan
tingkat pengembalian saham di Hongkong
dan Singapura (Maysami dan Sim, 2002b)
Malaysia dan Thailand (Maysami dan Sim,
2001a), serta Jepang dan Korea (Maysami
dan Sim, 2001b). Dengan menggunakan
pendekatannya
Hendry
(1986)
yang
memungkinkan dilakukannya deduksi terhadap hubungan jangka pendek antara variabel makroekonomi sebagaimana halnya
penyesuaian jangka panjang terhadap tingkat keseimbangan. Mereka menganalisis
pengaruh suku bunga, inflasi, penawaran
uang, nilai tukar dan aktivitas riil secara
bersamaan dengan variabel dummi untuk
menangkap akibat dari krisis keuangan
Asia 1997. Hasil penelitiannya mengkonfirmasi pengaruh variabel makroekonomi terhadap indeks harga saham gabungan tiaptiap negara, meski terjadi perbedaan perihal tipe dan ukuran asosiasi mengacu pada
perbedaan struktur keuangan negara masing-masing.
Maghyereh (2002) meneliti hubungan
jangka panjang antara harga saham dan
variabel makroekonomi Yordania dipilih,
sekali lagi dengan menggunakan (1988)
kointegrasi Johansen analisis dan data seri
bulanan waktu untuk periode Januari 1987
sampai Desember 2000. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa variabel ekonomi
makro tercermin pada harga saham di
pasar modal Yordania.
Sementara penelitian Omran (2003)
difokuskan pada memeriksa dampak dari
suku bunga riil sebagai faktor kunci pada
kinerja pasar saham Mesir, baik dari segi
aktivitas pasar dan likuiditas. Analisis kointegrasi melalui mekanisme koreksi kesalahan (ECM) menunjukkan hubungan jangka
panjang dan jangka pendek yang signifikan
antara variabel-variabel, yang menyiratkan
bahwa suku bunga riil berdampak pada
kinerja pasar saham.
Hassan (2003) menggunakan teknik

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

kointegrasi multivariat Johansen (1988,


1991, 1992b) dan (1990) Johansen dan
'Juselius untuk menguji keberadaan hubungan jangka panjang antara harga saham
di kawasan Teluk Persia. Menggunakan
model vektor koreksi kesalahan, ia juga
meneliti jangka pendek dinamika harga
dengan menguji keberadaan dan arah
antarwaktu Granger-kausalitas. Analisis
indeks harga mingguan di Kuwait, Bahrain,
Oman dan saham pasar menunjukkan bahwa: (1) harga saham telah berkointegrasi
dengan satu vektor kointegrasi dan dua
tren stokastik umum yang menunjukkan
adanya keseimbangan, stabil jangka panjang hubungan antara mereka, dan (2) harga tidak dipengaruhi oleh perubahan
jangka pendek tetapi bergerak sepanjang
nilai-nilai tren satu sama lain. Oleh karena
itu, informasi tentang tingkat harga akan
sangat membantu untuk memprediksi perubahan mereka.
Islam (2003) mereplikasi studinya
Maysami dan Sims dalam menjelaskan hubungan penyesuaian dinamik jangka pendek
dan hubungan keseimbangan jangka panjang antara empat variabel makroekonomi
(suku bunga, tingkat inflasi, nilai tukar, dan
produktivitas industri) dan indeks harga
gabungan saham Kuala Lumpur. Kesimpulan studinya hampir serupa. Terdapat
hubungan yang signifikan jangka pendek
(dinamik)
dan
jangka
panjang
(keseimbangan) secara statistik antara variabel makroekonomi dan tingkat pengembalian pasar saham Kuala Lumpur. Ibrahim
(1999) juga meneliti interaksi dinamis antara indeks gabungan KLSE, dan tujuh variabel makroekonomi (indeks produksi industri, jumlah uang beredar M1 dan M2, indeks harga konsumen, cadangan devisa,
kredit agregat dan nilai tukar). Hasil pengamatannya menyatakan bahwa variabel makroekonomi berpengaruh terhadap indeks
saham Malaysia, ia menyimpulkan bahwa
pasar saham Malaysia belum efisien secara
informasi. Hasil yang sama juga diperoleh
atas studi yang dilakukan Chong dan Koh
(2003). Mereka menunjukkan bahwa harga
saham, kegiatan ekonomi, suku bunga riil
dan keseimbangan uang riil di Malaysia itu
terkait dalam jangka panjang baik di pradan pasca periode kontrol modal.

Boucher (2004) mempertimbangkan


perspektif baru pada hubungan antara harga saham dan inflasi, dengan memperkirakan tren jangka panjang pada harga
saham riil, sebagaimana tercermin dalam
rasio laba-harga, dan keduanya: ekpektasi
inflasi dan inflasi riil. Mereka mempelajari
peran penyimpangan sementara dari kecenderungan umum dalam rasio laba-harga
dan inflasi riil untuk memprediksi fluktuasi pasar saham. Secara khusus, mereka
menemukan bahwa deviasi ini menunjukkan kemampuan peramalan yang substansial dalam sampel dan di luar sampel untuk keduanya, baik ekspektasi tingkat
pengembalian
dan
realisasi
tingkat
pengembalian serta ekses tingkat pengembalian. Selain itu, mereka menemukan bahwa variabel ini memberikan informasi tentang tingkat pengembalian saham di masa
depan periode pendek dan menengah yang
tidak ditangkap oleh variabel peramalan
lain yang populer.
Chuang et al. (2007) mengkaji apakah
variabel-variabel
makroekonomi,
khususnya jumlah uang beredar, dan defisit
APBN yang dianggap memiliki fungsi penting guna memprediksi harga saham di Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Korea Selatan. Data yang digunakan adalah indeks
harga saham, jumlah penawaran uang, dan
besarnya defisit APBN. Hasil penelitiannya
secara umum konsisten dengan literatur
mengenai makroekonomi. Temuan lainnya
menyatakan bahwa terjadi hubungan keseimbangan jangka panjang antara kebijakan
makroekonomi dan harga saham atas
keempat negara tersebut, sementara untuk
periode jangka pendek, harga saham tidak
otomatis langsung menyesuaikan atas perubahan kebijakan moneter dan fiskal yang
terjadi.
Chen (2008) meneliti apakah variabelvariabel makroekonomi dapat memprediksi
resesi di pasar saham. Variabel yang
tingkat
digunakannya antara lain,
suku bunga, tingkat inflasi, jumlah uang
beredar, agregat output, dan tingkat
pengangguran. Bukti empiris dari data bulanan indeks harga S&P 500 menyatakan
bahwa diantara variabel makroekonomi
yang dipertimbangkan sebagai prediktor
yang memiliki daya penjelas yang memadai
97

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


adalah spread kurva imbal hasil dan tingkat inflasi berdasarkan kinerja peramalan
sampel yang dilakukan.
Kumar
(2008)
membangun
dan
memvalidasi hubungan jangka panjang
harga saham dengan nilai tukar dan inflasi
dalam
konteks
India.
Ada
banyak
penelitian tentang hubungan antara indeks
saham dengan variabel makroekonomi. Hal
ini memberikan latar belakang subyektif
yang kuat untuk menguji adanya hubungan
seperti di India. Penelitian ini terutama ditangani dengan metode empiris dengan
menggabungkan teknik statistik yang berbeda untuk memeriksa adanya kointegrasi
antara indeks saham (Sensex) dan variabel
lainnya. Ko-integrasi merupakan indikator
yang diterima dengan baik untuk konteks
penjelasan hubungan jangka panjang anta.
ra lebih dari satu variabel
Penelitian ini mengambil pertimbangan
sepuluh tahun pengalaman ekonomi India
masa lalu yang tercermin ke dalam indeks
saham, indeks harga grosir dan nilai tukar.
Sebuah hubungan kausal tidak dapat ditentukan tanpa adanya ko-integrasi antara variabel ekonomi makro yang dipilih.
Gilbert (2008) menganalisis hubungan
antara
kejutan
pengumuman
makroekonomi, tingkat pengembalian intraday
pada indeks S&P 500, dan revisi terhadap
data yang diumumkan. Informasi ini tidak
berhubungan dengan kejutan pengumuman awal dan memprediksi revisi masa
depan: Harga meningkat ketika revisi berikutnya akan positif. Pengamatan ini sangat
baik untuk kegiatan nyata dan variabel investasi seperti gaji non-pertanian, produksi
industri, dan pesanan pabrik. Hasilnya menunjukkan bahwa pelepasan informasi publik memang berpotensi dalam memicu
agregasi informasi swasta yang lebih
akurat.
Adam dan Tweneboah (2008) meneliti
dampak dari variabel makroekonomi terhadap harga saham dalam indeks saham
Databank. Untuk mewakili pasar saham
dan (a) mengarahkan ke dalam investasi
asing, (b) suku bunga T-Bill (sebagai ukuran
tingkat suku bunga), (c) indeks harga konsumen (sebagai ukuran inflasi), (d) harga
minyak mentah, dan (e) nilai tukar yang
digunakan sebagai variabel makroekonomi.
98

Mereka menganalisis data kuartalan 19912007 untuk variabel-variabel di atas


dengan menggunakan model co-integrasi,
model vektor koreksi uji kesalahan (VECM).
Hasil penelitiannya menetapkan bahwa kointegrasi yang terjadi diantara variabel
makroekonomi dan harga saham di Ghana
menunjukkan adanya hubungan jangka
panjang. Analisis VECM menunjukkan bahwa nilai lag dari suku bunga dan inflasi
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pasar saham. Sementara investasi
langsung asing, harga minyak, dan nilai
tukar menunjukkan pengaruh yang lemah
pada perubahan harga.

Manurung
(1996)
melakukan
penelitian tentang pengaruh variabel makro, investor asing, bursa yang, telah maju
terhadap indeks BEI. Variabel makro
ekonomi yang dimasukkan ke dalam model
yaitu, tingkat bunga deposito, kurs dolar
Amerika Serikat, defisit transaksi berjalan,
tingkat inflasi, penawaran uang yang
diukur
dengan
M2,
pengeluaran
pemerintah dan produk domestik bruto.
Hasilnya, variabel inflasi tiga bulan, pengeluaran pemerintah, dan produk domestik
bruto
tidak
signifikan
dalam
mempengaruhi indeks di Bursa Efek Indonesia.
Sedangkan,
sisanya
terbukti
mempengaruhi indeks di Bursa Efek Indonesia.
Pemerintah pun menganggap interaksi
aliran modal yang masuk dan keluar melalui pasar modal dan perdagangan valuta
asing adalah penting, sehingga melalui
BAPEPAM melakukan kajian terhada pola
hubungan interaksi secara jangka pendek
dan jangka panjang. Penelitian yang dilakukan BAPEPAM ini bertujuan untuk menguji hubungan kointegrasi dan hubungan
kausalitas antara aliran modal asing, pergerakan indeks harga saham dan pergerakan
nilai tukar rupiah serta untuk mengetahui
hubungan dinamis diantara ketiga variabel
penelitian tersebut periode 2000-2007. Data yang digunakan adalah data time series
harian berasal dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK), Kustodian Efek Indonesia (KSEI) dan
Bank Indonesia (BI). Teknik analisis

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

menggunakan metode
dan
).
dalam rerangka VAR (
Variabel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG), Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar
. Hasil
(Kurs) dan
penelitian menunjukkan secara empiris
) dengan
bahwa uji akar unit (
metode
(ADF)
menunjukkan bahwa ketiga variabel mematau tidak stasioner pada dailiki
ta level, namun stasioner pada tingkat
yaitu variabel-variabel tersebut
mempunyai derajat integrasi yang sama
pada I(1). Dari hasil uji Kointegrasi menunjukkan bahwa ketiga variabel penelitian
mempunyai hubungan kointegrasi atau
keseimbangan jangka panjang. Dari hasil
uji kausalitas menunjukkan bahwa IHSG
lebih mampu menjelaskan pengaruhnya
terhadap aliran modal asing yang masuk ke
Indonesia, sedangkan aliran modal asing
mampu menjelaskan pengaruhnya terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Dengan menggunakan multivariate VECM
yang ditunjukkan oleh
maupun
memberikan hasil bahwa aliran modal asing yang masuk ke Indonesia pada periode
penelitian memberikan pengaruh yang positif terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan, dan juga memberikan
pengaruh yang positif terhadap perubahan
nilai tukar rupiah. Perubahan nilai tukar
rupiah yang menguat/melemah memberikan pengaruh yang positif/negatif terhadap pergerakan indeks harga saham
gabungan. Disamping itu, masing-masing
variabel dapat saling menjelaskan apabila
terjadi kejutan terhadap salah satu variabel.
Menurut Hajiji (2008) perkembangan
nilai indeks harga saham gabungan (IHSG)
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam
sistem pasar keuangan di Indonesia. IHSG
selama periode penelitian mengalami fluktuasi namun secara umum mengalami kenaikan. Suku bunga SBI dan tingkat inflasi
selama periode penelitian mengalami fluktuasi. Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika
juga berfluktuasi namun pergerakannya
cukup stabil. Perkembangan nilai indeks

harga saham gabungan (IHSG) secara simultan dipengaruhi oleh instrumen pasar keuangan seperti suku bunga SBI, inflasi dan
kurs Rupiah terhadap Dolar AS. Kurs berpengaruh negatif dan signifikan secara
statistik terhadap IHSG sedangkan suku
bunga SBI dan inflasi juga berpengaruh
negatif tetapi tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa investor
selama periode penelitian tidak terlalu
memperhatikan pergerakan SBI dan inflasi
namun cenderung lebih memperhatikan
pergerakan Rupiah terhadap Dolar AS. Perubahan dalam IHSG dapat dijelaskan oleh
kurs Dolar Amerika, suku bunga SBI dan
inflasi sebesar 26,5 persen. Kecilnya
pengaruh faktor-faktor pasar keuangan di
atas dalam mempengaruhi nilai IHSG karena banyak informasi dan faktor-faktor lain
yang juga dijadikan bahan pertimbangan
oleh para investor dalam menanamkan investasinya di bursa saham.
Penelitian Mansur (2009) bertujuan
untuk menguji pengaruh tingkat suku bunga SBI dan kurs dolar AS terhadap Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) di Busa Efek
Jakarta (BEJ). Analisis model yang menunjukkan besarnya pengaruh dari dalam
negeri memberikan hasil bahwa secara bersama-sama tingkat suku bunga SBI dan
kurs dolar AS memberikan pengaruh yang
signifikan. Tetapi secara individual menyimpulkan bahwa tingkat suku bunga SBI
dalam periode tahun 2000 sampai 2002
ternyata tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan di BEJ. Pengaruh yang signifikan
diberikan oleh kurs dolar AS dan besarnya
pengaruh kurs dolar AS tehadap IHSG Bursa Efek Jakarta sebesar 51,55 % dengan
arah pengaruh negatif. Artinya apabila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS maka
IHSG cenderung akan melemah dan begitu
juga sebaliknya, apabila rupiah terapresiasi
terhadap dolar AS maka IHSG akan mengalami penguatan. Tidak signifikannya
tingkat suku bunga SBI terjadi karena pada
periode penelitian, yaitu tahun 2000 sampai tahun 2002 terjadi banyak sentimen
diluar variabel yang diteliti. Faktor sentimen tersebut berasal dari situasi politik,
ekonomi dan keamanan dalam negeri serta
faktor kebijakan-kebijakan investasi. Misal99

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


nya di dalam bidang keamanan adanya
konflik di Aceh, Ambon dan Papua, serta
peristiwa bom Bali yang terjadi pada akhir
tahun 2002. Dibidang politik terjadinya
pergantian pimpinan nasional atau presiden. Di bidang ekonomi adalah proses restrukturisasi dan privatisasi yang terus berjalan sepanjang tahun 2000 sampai tahun
2002. Pengaruh dari variabel-variabel lain
diluar variabel yang diteliti (variabel residu)
tersebut cukup besar kepada IHSG, yaitu
sekitar 48,45%.
Penelitian Frensidy (2009) berusaha
untuk mengetahui pengaruh aliran bersih
asing, kurs dolar Amerika, dan indeks regional (dengan proxy indeks Hang Seng)
terhadap pergerakan IHSG periode Januari
2006 Oktober 2007. Selain itu, penelitian
ini juga mencoba untuk mencari model
yang paling tepat untuk menjelaskan hubungan variabel-variabel independen di atas
dan perubahan IHSG. Dari hasil perhitungan diperoleh temuan bahwa Aliran bersih dana asing (NFF) mempengaruhi perubahan IHSG secara positif dan signifikan.
Sementara itu, hubungan antara perubahan
kurs dengan perubahan IHSG adalah
negatif dan koefisien hubungan antara perubahan indeks Hang Seng dengan perubahan IHSG adalah positif. Secara keseluruhan, variasi variabel bebas seperti aliran bersih dana asing, perubahan kurs, dan
perubahan
indeks
Hang
Seng
menyumbangkan 56,9% variasi variabel perubahan IHSG, cukup signifikan. Semua varabel independen signifikan pada = 1%. Begitu juga dengan nilai F-stastitik untuk
keseluruhan model yang juga signifikan
pada = 1%.
Studi yang dilakukan Endri (2009) bertujuan untuk menginvestigasi hubungan
dinamis jangka panjang dan jangka pendek
faktor-faktor makroekonomi yang terdiri
dari suku bunga, jumlah uang beredar, nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan tingkat inflasi dengan pergerakan
tingkat pengembalian Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan uji kointegrasi data awal
(level) menunjukkan bahwa variabel tingkat
pengembalian IHSG terkointegrasi dengan
variabel bebas makro ekonomi. Atau
dengan kata lain, analisis dari hasil uji sta100

sioneritas terhadap nilai residu membuktikan bahwa antara variabel makro


ekonomi yang terdiri dari suku bunga deposito satu bulan, suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia, jumlah uang beredar, nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan tingkat inflasi dengan pergerakan
tingkat pengembalian IHSG terdapat keseimbangan hubungan jangka. Jadi, variabel
makro ekonomi dapat dikatakan memiliki
pengaruh signifikan terhadap tingkat
pengembalian IHSG atau setiap perubahan
pada variabel makro ekonomi akan
berdampak
pada
perubahan
tingkat
pengembalian IHSG dalam jangka panjang.
Sementara berdasarkan pengujian dengan
menggunakan metode mekanisme koreksi
kesalahan (ECM) menunjukkan bahwa terdapat keseimbangan jangka pendek antara
variabel makro ekonomi dan tingkat
pengembalian IHSG. Implikasinya, variabel
makro
ekonomi
signifikan
dalam
mempengaruhi tingkat pengembalian IHSG
atau setiap perubahan pada variabel makro
ekonomi akan berdampak pada perubahan
tingkat pengembalian IHSG dalam jangka
pendek. Selain itu, dalam jangka pendek
variabel tingkat pengembalian IHSG akan
menurun dan mampu menyesuaikan perubahan variabel makro ekonomi pada satu
periode berikutnya untuk mengoreksi
kesalahan dan menuju keseimbangan
jangka panjang sebesar 91,10%.
Penelitian Witjaksono (2010) bertujuan
untuk mengetahui Pengaruh Tingkat Suku
Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga
Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks Nikkei
225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG
selama periode 2000-2009. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa variabel
Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah
berpengaruh negatif terhadap IHSG. Sementara variabel Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225 dan Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap IHSG. Selain itu diperoleh bahwa
nilai adjusted R square adalah 96.1 persen.
Ini berarti 96.1 persen pergerakan IHSG
dapat diprediksi dari pergerakan ketujuh
variabel independen tersebut.
Penelitian yang dilakukan Novianto
(2011) bertujuan untuk menganalisis
bagaimana pengaruh variabel nilai tukar

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

(kurs) dolar Amerika, tingkat suku bunga


SBI, inflasi, dan jumlah uang beredar terhadap variabel IHSG (Indeks Harga Saham
Gabungan) di Bursa Efek Indonesia secara
parsial dan simultan. Berdasarkan hasil,
diperoleh hasil bahwa secara simultan
keempat variabel berpengaruh signifikan
terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Secara
parsial variabel nilai tukar (kurs) rupiah
dan jumlah uang beredar (M2) berpengaruh
signifikan. Sedangkan variabel inflasi dan
tingkat suku bunga SBI tidak signifikan.
Studi yang dilakukan Aso (2011) bertujuan untuk mencoba meneliti tentang
keterkaitan antara indikator ekonomi makro terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta
(BEJ). Dari hasil uji empiris diperoleh kesimpulan bahwa indikator ekonomi makro
(tingkat suku bunga SBI, tingkat inflasi,
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan
jumlah uang beredar dalam arti luas) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
IHSG. Temuan penelitian lainnya, yakni: a)
dalam jangka pendek seluruh variabel indikator ekonomi makro berpengaruh signifikan terhadap IHSG. Untuk variabel tingkat
suku bunga SBI, tingkat inflasi, nilai tukar
rupiah terhadap dolar memiliki hubungan
negatif terhadap IHSG dalam jangka pendek. Sedangkan untuk variabel jumlah
uang beredar berpengaruh terhadap IHSG
dalam arah positif; b) dalam jangka panjang, variabel jumlah uang beredar dalam
arti luas tidak berpengaruh terhadap IHSG.
Sedangkan variabel tingkat suku bunga SBI
dan tingkat inflasi memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap IHSG dengan arah yang
serupa pada jangka pendek. Variabel nilai
tukar rupiah berpengaruh signifikan terhadap IHSG dengan arah yang berbeda seperti pada jangka pendek, arah pengaruh
variabel nilai tukar rupiah dalam jangka
panjang adalah positif.
Perumusan
hipotesis
dalam
uji
penelitian ini adalah sebagai berikut.
H1 Tingkat inflasi berpengaruh negatif
dengan IHSG
H2 Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia
berpengaruh negatif dengan IHSG
H3 Jumlah uang yang beredar berpengaruh positif dengan IHSG

H4 Nilai tukar rupiah terhadap dolar


Amerika Serikat berpengaruh negatif
dengan IHSG
H5 Nilai tukar rupiah terhadap euro UniEropa berpengaruh positif dengan
IHSG
H6 Cadangan devisa berpengaruh positif
dengan IHSG
H7 Indeks pasar Kuala Lumpur berpengaruh negatif dengan IHSG
H8 Indeks pasar Singapura berpengaruh
negatif dengan IHSG
H9 Indeks pasar Filipina berpengaruh positif dengan IHSG
H10 Indeks pasar Shanghai berpengaruh
positif dengan IHSG

Populasi
dalam
penelitian
ini
menggunakan indikator moneter Indonesia
dan indeks gabungan pasar modal Negaranegara asia-pasifik perusahaan. Adapun
pengambilan sampel menggunakan metode
judgment sampling, yaitu pemilihan sampel berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu.
Penelitian
dilakukan
dengan
menggunakan data sekunder berupa data
bulanan periode Januari 2003 sampai
dengan Desember
2010. Data makro
ekonomi diperoleh dari Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia yang dipublikasikan
oleh Bank Indonesia. Sedangkan, data IHSG,
indeks pasar Kuala Lumpur (KLSE), indeks
pasar Singapura (STI), indeks pasar Filipina
(PSEI), dan indeks pasar Shanghai-RRC (SSE)
diperoleh dari website bursa efek Indonesia
(BEI), dan yahoo.finance.com.

Uji akar-unit digunakan untuk mengetahui proses stasioner variabel yang


digunakan. Metode analisis data yang
digunakan
dalam
penelitian
adalah
menggunakan model persamaan kointe.
grasi dan

Karena yang digunakan adalah data


runtun waktu, maka penting diketahui
apakah setiap variabel yang digunakan
merupakan sebuah proses yang stasioner
). Yaitu, apakah kovarian
(
101

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


antara dua elemen dalam variabel hanya
tergantung pada perbedaan jarak waktu
antara
keduanya,
sehingga
variabel
tersebut mempunyai rataan yang konstan
) dan varian yang tertentu /
(
(
). Hal ini dikarenakan
seringkali dijumpai hasil persamaan regresi
yang memiliki nilai
tinggi, akan tetapi
sesungguhnya tidak terdapat hubungan
antara variabel bebas dan variabel tak
bebasnya. Oleh karena itu, perlu diuji
stationaritas dari variabel-variabel yang
terlibat. Untuk mengetahui stasionaritas
dilakukan dengan uji akar unit (
). Data runtun waktu disebut tidak
stasioner jika mempunyai akar unit. Uji
stasioneritas ini juga dipakai sebagai dasar
,
untuk menentukan perlu tidaknya
serta lamanya
tersebut. Pengujian
akar unit dilakukan dengan menggunakan
. Pendekatan
ADF mengontrol korelasi dengan orde lebih
tinggi dengan cara menambahkan
dari variable tak bebas
pada sisi kanan regresi yang hasilnya
sebagaimana persamaan di bawah ini:
k

yt . yt 1 j yt j t
j 1

.. (1)
adalah runtun waktu yang akan di
uji.
dihitung dari
, dimana
merupakan jumlah observasi. Runtun
waktu yang tidak stasioner (menggandung
sebuah akar unit), sebelum diintegrasikan
harus diuji derajat integrasinya lebih
dahulu untuk melihat pada tingkat berapa
variable-variable tersebut akan terjadi
stasioner. Untuk menguji persamaan (3.5)
digunakan nilai kritis
(ADF) dibandingkan hasil t-statistik.
Jika nilai negatif dan signifikan, serta nilai
absolute t-statistik masih lebih besar dari
nilai ADF berarti runtun waktu tersebut
dikatakan stasioner I(0). Sedangkan jika
runtun waktu belum stasioner maka
dilakukan uji akar unit pada perbedaan
tingkat
kedua
dengan
menggunakan
persamaan:

berdaan tingkat kedua maka variable


integrasi pada I. Dalam proses pengujian,
proses dengan menggunakan persamaan 1
, sedisebut proses uji pada
dangkan proses dengan menggunakan persamaan 2 disebut proses uji
.

Menurut Nachrowi dan Usman (2006)


model
persamaan
kointegrasi
(Cointegration) dapat digunakan jika dalam
pengujian kointegrasi masing-masing variabel Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG),
tingkat inflasi (INFLASI), Sertifikat Bank Indonesia (SBI3M), jumlah uang beredar
(JUBM2), nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat (IDRUSD), nilai tukar rupiah
terhadap euro Uni-Eropa (IDREUR), cadangan
devisa (CadDev), Indeks Harga Saham
Gabungan Kuala Lumpur (KLSE), Indeks
Harga Saham Gabungan Singapura (STI),
Indeks Harga Saham Gabungan Manila
(PSEI), dan Indeks Harga Saham Gabungan
Shanghai (SSE) saling terintegrasi pada ordo 0 atau dinotasikan I(0). Dalam
ekonometrika variabel yang saling terkointegrasi dikatakan dalam kondisi memiliki
keseimbangan jangka panjang (
) (Gujarati 2003). Bila kita dapat
membuktikan bahwa seluruhnya terkointegrasi, maka kita dapat menyimpulkan bahwa regresi tersebut bukanlah regresi palsu,
tetapi regresi yang terkointegrasi. Dengan
demikian,
interprestasi
dengan
menggunakan model di atas tidak akan menyesatkan khususnya untuk analisis jangka
panjang.
Model
persamaan
kointegrasi
digunakan untuk mengestimasi keseimbangan antara variabel makro ekonomi dan
IHSG dalam jangka panjang. Berikut ini
disajikan model persamaan kointegrasi antar variabel makro ekonomi (variabel independen) dan IHSG (variabel dependen) yaitu:

2 yt . yt 1 j 2 yt j t
j 1

Jika variable
102

.. (2)
stasioner pada perbe-

(3)

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

Persamaan tersebut dapat dituliskan


kembali sebagai berikut.

.. (4)
Jika 1 stasioner, maka IHSG, INFLASI,
SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR, CadDev, KLSE,
STI, PSEI, dan SSE dikatakan terkointegrasi.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena trend
IHSG, INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR,
CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE saling
menghilangkan, sehingga variabel yang tidak stasioner tersebut dapat menghasilkan
residual yang stasioner. Parameter yang
didapat disebut dengan parameter kointegrasi dan regresi yang didapat disebut
dengan parameter kointegrasi dan regresi
yang didapat disebut dengan regresi kointegrasi.

Pada model koreksi kesalahan ini,


pergerakan jangka pendek variabel-variabel
dalam sistem dipengaruhi oleh deviasi dari
keseimbangan. Koreksi kesalahan ini merupakan hasil yang diperoleh dari residual
estimasi persamaan kointegrasi.
Model ECM untuk melihat hubungan
jangka pendek antara variabel makro
ekonomi dan return IHSG yang dihasilkan
dari model persamaan kointegrasi (6) adalah sebagai berikut.

i-1 adalah kesalahan kointegrasi lag


1, atau secara matematis dituliskan, sebagai berikut.

Dari model yang terbentuk diatas


dapat terlihat bahwa hubungan perubahan

INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD, IDREUR, CadDev,


KLSE, STI, PSEI, dan SSE terhadap RIHSG
dalam jangka panjang akan diseimbangkan
oleh
sebelumnya. Dari persamaan
diatas, INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD,
IDREUR, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan
SSE menggambarkan gangguan jangka
pendek dari INFLASI, SBI3M, JUBM2, IDRUSD,
IDREUR, CadDev, KLSE, STI, PSEI, dan SSE,
dan
error
kointegrasi
merupakan
penyesuaian menuju keseimbangan jangka
panjang. Dengan demikian, jika koefisien
11 signifikan, maka koefisien tersebut akan
menjadi penyesuaian bila terjadi fluktuasi
variabel-variabel yang diamati menyimpang
dari hubungan jangka panjangnya.

Indonesia sebagai salah satu negara


dalam kelompok
memiliki kaitan antara inflasi bulanan dan
kinerja bulanan indeks harga saham gabungan yang menarik untuk dikaji. Grafik 2
menunjukkan pola kaitan tersebut dengan
inflasi bulanan untuk setiap bulan yang
diurutkan secara naik dalam periode Januari 2003 sampai dengan Desember 2010.
Dalam periode bulan ketika harga-harga
barang dan jasa naik dengan laju yang tinggi, tingkat pengembalian tahunan dari investasi pada saham cenderung memburuk
hingga mencapai kerugian sebesar 18,38
persen persen ketika inflasi bulanan mencapai titik tertinggi di bulan November
2005. Secara keseluruhan dalam periode
Januari 2003 sampai dengan Desember
2010. Rata-rata tingkat pengembalian investasi saham dan tingkat inflasi bulanan
dalam periode tersebut adalah berturutturut sebesar 2,66%, dan 7,91 persen.
Menariknya investasi dalam bursa saham
juga didorong oleh rendahnya suku bunga
penyimpanan di perbankan. Suku bunga
penyimpanan tersebut dapat dilihat dari
dua aspek, yaitu nominal dan riil. Suku
bunga penyimpanan nominal adalah suku
bunga penyimpanan per tahun yang dipublikasikan oleh bank-bank setiap harinya,
sedangkan suku bunga penyimpanan riil
adalah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi pada saat yang bersangkutan. Secara teoretis, apabila suku bunga
103

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112

penyimpanan riil di suatu negara mengalami penurunan, maka investasi di bursa saham menjadi lebih menarik karena investor
cenderung untuk mencari tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Contoh hubungan antara inflasi, suku bunga penyimpanan riil perbankan, dan tingkat pengembalian investasi pada bursa saham dapat dilihat secara kronologis dari Januari 2003
sampai dengan Desember 2010. Hal yang
menarik untuk diamati adalah ketika suku
bunga bank Indonesia berada pada tingkat
yang sangat rendah dalam area positifnya
(6,26%) dan laju inflasi berada di bawah
angka enam persen (Juni 2009, 3,65%), investasi pada saham memberikan tingkat
pengembalian yang sangat menarik. Hal
lain yang juga menarik adalah ketika suku
bunga bank indonesia melebihi laju inflasi,
investasi di bursa saham juga memberikan
tingkat pengembalian yang sangat menarik
(Januari 2003 Februari 2005), kecuali pada periode Maret-April 2005 dimana tingkat inflasi lebih tinggi dibanding tingkat
SBI. Pola tersebut kembali terjadi pada MeiSeptember 2005, Oktober 2006-Februari
2008 (rata-rata tingkat pengembalian bulanan sebesar 3,55%), dan Desember 2008November 2010 (rata-rata tingkat pengembalian bulanan sebesar 4,65%). Keterkaitan
inflasi, SBI dan kinerja IHSG dalam periode
Januari 2003 sampai dengan Desember
104

2010 mengindikasikan bahwa investasi pada saham dapat diharapkan untuk memberikan tingkat pengembalian yang lebih
menarik dibandingkan dengan penyimpanan uang di bank. Namun, perlu diingat
bahwa investasi di bursa saham adalah investasi yang mengandung risiko, Sebagai
contoh, IHSG yang ditutup di level tertinggi
pada Desember 2010 (3703,51) mengalami
peningkatan tingkat pengembalian sebesar
4,88 persen dibanding bulan November
yang sebesar 3531,12, meski pada saat
yang sama, terjadi kenaikan laju inflasi
(11,64 basis point) dan SBI (0,78 basis
point).

Berdasarkan pengujian stasioner terhadap


seluruh
variabel
dengan
menggunakan unit root ADF-test memberikan hasil bahwa kecuali variabel M2
dan SSE (baru stasioner pada perbedaan
kedua), seluruh variabel stasioner pada
tingkat perbedaan pertama..

Pengujian
kointegrasi
dilakukan
dengan menggunakan prosedur EngelGranger. Dimana sebelum dilakukan pengujian dilakukan estimasi terhadap model
dengan menggunakan regresi linier biasa
(OLS). Residu dari hasil estimasi akan dil-

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

Tabel 1. Hasil Uji Stasioner


VARIABEL
IHSG
SBI-3M
INFLASI
JUB (M2)
IDR-USD
IDR-EURO
CAD.DEVISA
KLSE
STI
PSEI
SSE-CHINA
Perbedaan II
JUB (M2)
SSE-CHINA

Tingkat Level
t-Stat
Prob
0.27
0.9754
-1.98
0.2949
-1.60
0.4767
2.43
1.0000
-2.37
0.1541
-1.27
0.6375
2.33
1.0000
1.3
0.9984
0.87
0.9945
1.08
0.9971
-1.16
0.6863
t-Stat
Prob
-8.72
0.0000
-10.04
0.0000

Tk. Perbedaan I
t-Stat
Prob
-6.46
0.0000
-3.36
0.0157
-6.89
0.0000
0.2886
-6.49
0.0000
-6.77
0.0000
-6.94
0.0000
-8.38
0.0000
-7.76
0.0000
-8.93
0.0000
0.6347

Tabel 2. Estimasi OLS


C
INFLASI
SBI_3M
JUB-M2
IDR_USD
IDR_EUR
CADDEV
KLSE
STI
PSEI
SSE-CHINA
R-squared
Adjusted R-squared
Log likelihood
Durbin-Watson stat

1165.837
0.946714
-47.04367
0.000813
-0.307341
0.117301
0.036370
2.127860
-1.207955
0.010481
0.037415
0.951765
0.946091
-638.8501
0.832409

akukan dengan menggunakan teknik kointegrasi.


Dari estimasi OLS diperoleh residunya
untuk dilakukan pengujian kointegrasi
dengan menggunakan unit root ADF-test.
Hasilnya menunjukkan bahwa residual
model estimasi adalah stasioner, yang
artinya diantara variabel-variabel yang dimasukkan ke dalam model adalah terkointegrasi, sehingga hasil OLS sebelumnya
(tabel 2) merupakan persamaan jangka
panjangnya. Selanjutnya untuk memperoleh persamaan jangka pendek dari persamaan jangka panjangnya, maka dilakukan dengan
(ECM). Estimasi terhadap ECM dilakukan
dengan cara memasukkan variabel ke dalam model dalam bentuk perbedaan pertama dan memasukkan residual periode
sebelumnya dari hasil model estimasi OLS.

615.0530
1.895506
12.69646
0.074565
30.16168
-1.559716
0.000285
2.850453
0.082619
-3.719971
0.057817
2.028826
0.009982
3.643418
0.444980
4.781919
0.221114
-5.463035
0.214953
0.048761
0.071065
0.526495
Mean dependent var
S.D. dependent var
F-statistic
Prob(F-statistic)

0.0614
0.9407
0.1225
0.0055
0.0004
0.0456
0.0005
0.0000
0.0000
0.9612
0.5999
1657.919
859.9068
167.7216
0.000000

Hasil ECM merupakan pergerakan dalam


jangka pendeknya, namun tetap dalam
kerangka alur jangka panjangnya. Atau
dengan kata lain, analisis dari hasil uji stasioneritas terhadap nilai residu membuktikan bahwa antara variabel makro
ekonomi yang terdiri dari tingkat inlasi D
(INFLASI), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia 3 bulan D(SBI-3M), jumlah uang
beredar D(JUB-M2), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat D(IDR_USD),
dan nilai tukar rupiah terhadap euro UniEropa tingkat inflasi D(IDR_EUR), cadangan
devisa, bursa asing (D(KLSE), D(STI), D
(PSEI), D(SSE-CHINA)) (lihat tabel 4) dengan
pergerakan IHSG, D(IHSG) terdapat hubungan atau keseimbangan jangka panjang
pada pengujian dengan data bentuk level.
Dengan demikian, hasil uji kointegrasi
dengan bentuk level sesuai dengan pern105

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112

Augmented Dickey-Fuller test statistic


Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Variable
C
D(INFLASI)
D(SBI_3M)
D(JUB-M2)
D(IDR_USD)
D(IDR_EUR)
D(CAD-DEV)
D(KLSE)
D(STI)
D(PSEI)
D(SSE-CHINA)
RESID01(-1)
R-squared
Adjusted R-squared
Log likelihood
Durbin-Watson stat

Coefficient
2.743766
-5.668488
-47.45460
0.000236
-0.154878
0.051037
0.029200
-0.070766
-0.090534
0.277384
0.029294
-0.092754
0.470250
0.400042
-567.2464
1.800011

yataan yang dikemukakan oleh Gujarati


(2003); Nachrowi dan Usman (2006) bahwasanya kombinasi linear yang bersifat stasioner dapat terjadi diantara dua variabel
yang masing-masing tidak stasioner atau
mengikuti pola
. Apabila hal
yang demikian terjadi kesepuluh variabel
tersebut dikatakan saling terintegrasi.
Hasil regresi sebelumnya pada data
awal menunjukkan hubungan positif terjadi antara inflasi, jumlah uang beredar
(M2), nilai tukar rupiah terhadap euro, cadangan devisa, bursa saham Malaysia, bursa saham Filipina, bursa saham Shanghai
dan IHSG dan hubungan negatif terjadi antara nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, bursa saham Singapura, dan
IHSG. Dari hasil perhitungan empiris juga
diperoleh temuan bahwa, jumlah uang
beredar (M2), nilai tukar rupiah terhadap
euro, cadangan devisa, bursa saham Malaysia memiliki pengaruh signifikan yang positif terhadap IHSG. Sementara nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika, indeks
gabungan bursa saham Singapura berpengaruh negatif terhadap IHSG Indonesia.
Kemudian, hasil penelitian menggunakan
106

t-Statistic
1.828761
-3.500669
-2.892200
-2.583192

Std. Error
12.89911
8.538134
31.63361
0.000392
0.059372
0.039838
0.007081
0.313749
0.138599
0.115090
0.053198
0.068386
Mean dependent var
S.D. dependent var
F-statistic
Prob(F-statistic)

t-Statistic
0.212710
-0.663902
-1.500132
0.603571
-2.608620
1.281111
4.123887
-0.225551
-0.653211
2.410155
0.550673
-1.356332

Prob.*
0.0001

Prob.
0.8321
0.5086
0.1374
0.5478
0.0108
0.2037
0.0001
0.8221
0.5154
0.0182
0.5833
0.1787
34.89547
130.9796
6.697968
0.000000

metode ECM hanya menghasilkan tiga variabel yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap indeks harga saham gabungan,
yakni: nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, cadangan devisa, dan indeks harga saham gabungan Filipina.

Inflasi adalah ukuran ekonomi yang


memberikan gambaran tentang peningkatan harga rata-rata barang dan jasa yang
diproduksi oleh sistem perekonomian.
Inflasi yang tinggi akan mengakibatkan
daya beli masyarakat menurun dan dapat
mendorong timbulnya resesi. Meningkatnya inflasi secara relatif adalah sinyal
negatif bagi investor di pasar modal. Hal
tersebut karena inflasi akan meningkatkan
pendapatan dan biaya perusahaan. Jika
peningkatan biaya faktor-faktor produksi
lebih tinggi dari peningkatan harga yang
dapat dinikmati oleh perusahaan, maka
profitabilitas akan menurun. Meningkatnya
laju inflasi akan menyebabkan para investor
enggan
untuk
menginvestasikan
dananya dalam bentuk saham, mereka
cenderung untuk memilih investasi dalam

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

C
INFLASI
SBI_3M
JUB-M2
IDR_USD
IDR_EUR
CADDEV
KLSE
STI
PSEI
SSE-CHINA
Adj.R2
Sig.F

1165.84
0.9467
-47.0437
0.0008
-0.3073
0.1173
0.0364
2.1279
-1.2080
0.0105
0.0374
94.61%
0.000

bentuk logam mulia atau real estate, jenis


ini dapat melindungi investor dari kerugian
yang disebabkan inflasi. Dari hasil empiris,
diperoleh hasil bahwa memang secara
jangka pendek, meningkatnya inflasi akan
menyebabkan penurunan angka indeks
harga saham gabungan, namun dalam
jangka panjang, justru kenaikan inflasi,
, justru akan meningkatkan
indeks harga saham gabungan. Secara parsial tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks harga saham
gabungan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Dari hasil tersebut
penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Manurung
(1996), Novianto (2011), dan Hajiji (2008)
serta Aso (2011) untuk hasil empiris jangka
pendek, sedang pada hasil empiris jangka
panjang, penelitian berbeda dengan studi
yang dilakukannya. Dengan kata lain, pada
jangka panjang, kenaikan inflasi akan
menurunkan capital gain yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang diperoleh investor. Di sisi perusahaan, terjadinya peningkatan inflasi, dimana peningkatannya tidak dapat dibebankan kepada konsumen, dapat menurunkan tingkat
pendapatan perusahaan. Hal ini berarti risiko yang akan dihadapi perusahaan akan
lebih besar untuk tetap berinvestasi dalam
bentuk saham, sehingga permintaan terhadap saham menurun. Inflasi dapat
menurunkan keuntungan suatu perusahaan
sehingga sekuritas di pasar modal menjadi
komoditi yang tidak menarik. Dalam

0.061
0.941
0.123
0.006
0.000
0.046
0.001
0.000
0.000
0.961
0.600

2.74
-5.6685
-47.4546
0.0002
-0.1549
0.0510
0.0292
-0.0708
-0.0905
0.2774
0.0293
40.00%
0.000

0.832
0.509
0.137
0.548
0.011
0.204
0.000
0.822
0.515
0.018
0.583

jangka pendek, hubungan negatif inflasi


dengan harga saham berarti terdapat peluang bagi perusahaan untuk memperoleh
profitabilitas lebih besar karena harga bahan baku menjadi lebih murah dengan
asumsi harga penjualan tetap atau bahkan
naik.
Perubahan tingkat suku bunga SBI
akan memberikan pengaruh bagi pasar
modal dan pasar keuangan. Apabila tingkat
suku bunga naik maka secara langsung
akan meningkatkan beban bunga. Perusahaan yang mempunyai
yang tinggi akan mendapatkan dampak yang sangat
berat terhadap kenaikan tingkat bunga. Kenaikan tingkat bunga ini dapat mengurangi
profitabilitas perusahaan sehingga dapat
memberikan pengaruh terhadap harga saham perusahaan yang bersangkutan. Selain
kenaikan beban bunga, tingkat suku bunga
SBI yang tinggi dapat menyebabkan investor tertarik untuk memindahkan dananya
ke deposito. Hal ini terjadi karena kenaikan
tingkat suku bunga SBI akan diikuti oleh
bank-bank komersial untuk menaikkan
tingkat suku bunga simpanan. Apabila tingkat suku bunga deposito lebih tinggi dari
tingkat pengembalian yang diharapkan
oleh investor, tentu investor akan mengalihkan dananya ke deposito. Terlebih lagi
investasi di deposito sendiri merupakan
salah satu jenis investasi yang bebas risiko.
Pengalihan dana oleh investor dari pasar
modal ke deposito tentu akan mengakibatkan penjualan saham besar-besaran sehingga akan menyebabkan penurunan indeks
107

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


harga saham. Bagi masyarakat sendiri, tingkat suku bunga yang tinggi berarti tingkat
inflasi di negara tersebut cukup tinggi.
Dengan adanya inflasi yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya tingkat konsumsi
riil masyarakat sebab nilai uang yang dipegang masyarakat berkurang. Ini akan menyebabkan konsumsi masyarakat atas barang yang dihasilkan perusahaan akan
menurun pula. Hal ini tentu akan mengurangi tingkat pendapatan perusahaan sehingga akan mempengaruhi tingkat keuntungan perusahaan, yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap harga saham
perusahaan tersebut. Dari hasil empiris,
diperoleh hasil bahwa tingkat SBI-3 bulan
berpengaruh negatif, namun tidak signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Ini berarti jika tingkat SBI (3M)
mengalami kenaikan, otomatis menyebabkan suku bunga bank naik. Hal ini cenderung mendorong investor untuk menyimpan
uangnya di bank daripada menginvestasikan uangnya dalam pasar modal (membeli
saham). Meski hasil empiris juga menyatakan bahwa naik turunnya SBI-3M ini tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap IHSG baik secara jangka pendek atau
jangka panjang. Hasil penelitian ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan
Novianto (2011), Hajiji (2008), dan Mansur
(2009) .
Dalam pengertian luas uang yang
beredar (M2) meliputi mata uang dalam
peredaran, uang giral, uang kuasi. Uang
kuasi terdiri dari deposito berjangka, tabungan dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. Uang beredar
menurut pengertian luas ini dinamakan
juga likuiditas perekonomian. Berdasarkan
hasil empiris diperoleh hasil bahwa kenaikan jumlah uang beredar secara jangka
, akan meningkatkan
pendek
indeks harga saham gabungan sebesar
0,024%, dimana dalam jangka panjang peningkatannya bertambah menjadi sekitar
0,081%. Dalam jangka pendek berpengaruh
perubahan jumlah uang yang beredar tidak
signifikan terhadap fluktuasi indeks harga
saham gabungan. Baru pada jangka panjang, perubahan tersebut berpengaruh signifikan. Hasil empiris ini mendukung
108

penelitian yang dilakukan Manurung


(1996), Endri (2009), Novianto (2011).
Nilai kurs dollar merupakan salah satu
faktor yang cukup berpengaruh terhadap
naik turunnya IHSG. Jika nilai kurs dollar
tinggi maka investor akan lebih menyukai
investasi
dalam
bentuk
Dollar
AS
dibandingkan dengan investasi pada suratsurat berharga karena investasi pada suratsurat berharga merupakan investasi jangka
panjang. Demikian pula sebaliknya, jika
nilai kurs dollar AS turun maka investor
akan lebih menyukai investasi pada suratsurat
berharga
sehingga
akan
mempengaruhi nilai transaksi saham yang
akan berpengaruh kepada IHSG. Berdasarkan hasil empiris baik secara jangka pendek maupun jangka panjang, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
indeks harga saham gabungan. Artinya apabila rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS
maka IHSG cenderung akan melemah dan
begitu juga sebaliknya, apabila rupiah
terapresiasi terhadap dolar AS maka IHSG
akan mengalami penguatan. Hasil empiris
ini mendukung hasil penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Manurung (1996),
BAPEPAM (2008), Frensidy (2009), Novianto
(2011), Hajiji (2008), Mansur (2009), dan
studinya Aso (2011) untuk hasil bahasan
jangka pendek. Sementara untuk nilai tukar
rupiah terhadap mata uang euro, fluktuasi
yang terjadi malah justru meningkatkan
indeks harga saham gabungan. Jika tidak
terjadi perubahan nilai kurs, pada periode
jangka pendek akan meningkatkan indeks
sebesar 0,05 sementara dalam jangka panjang kenaikan tersebut meningkat menjadi
sebesar 0,11. Pengaruh apresiasi atau
depresiasi rupiah terhadap euro tidak signifikan dalam periode jangka pendek. Perubahan tersebut baru berpengaruh signifikan pada jangka panjang. Untuk cadangan
devisa negara, setiap kenaikan yang terjadi
justru meningkatkan indeks harga saham
gabungan. Pada jangka pendek, kenaikan
ini adalah sebesar 0.029, sementara untuk
jangka panjang, kenaikan cadangan devisa
yang terjadi
, akan meningkatkan nilai indeks sebesar 0.036. Dengan
kata lain, cadangan devisa negara berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

indeks harga saham gabungan baik dalam


jangka pendek ataupn jangka panjang.
Empat bursa asing yang digunakan
dalam penelitian ini memiliki dinamika implikasi terhadap fluktuasi indeks harga saham gabungan Indonesia. Pada periode
jangka pendek, kenaikan pada indeks
gabungan bursa saham Malaysia dan Singa, justru akan mengupura
rangi indeks saham di Indonesia masingmasing sebesar 0,07 dan 0,09. Sementara
untuk dua bursa lainnya, PSEI dan Shanghai, memiliki implikasi positif terhadap
fluktuasi IHSG Indonesia. Fluktuasi di
kedua bursa tersebut masing-masing akan
meningkatkan IHSG sebesar 0,2274 (PSEI)
dan 0,02 (SSE). Secara jangka panjang,
kecuali bursa saham Singapura, fluktuasi
yang terjadi di tiga bursa saham tersebut
akan meningkatkan IHSG. Secara simultan,
perkembangan indikator moneter dan bursa asing berpengaruh positif dan signifikan
terhadap indeks harga saham gabungan
baik secara jangka pendek dan jangka panjang. Sejumlah 40 persen variasi dari fluktuasi indeks harga saham gabungan dapat
dijelaskan oleh indikator moneter dan bursa asing tersebut, sementara dalam jangka
panjang kapasitas tersebut meningkat
menjadi 94,61 persen. Hal ini berarti
mengindikasikan bahwa indeks harga saham gabungan tersebut tidak serta merta
hanya cerminan penawaran dan permintaan saham semata oleh para agen saham di bursa, tapi sudah semakin kompleks. Dengan kata lain, terdapat dinamika
keterkaitan yang perlu dicermati dalam
berinvestasi saham di bursa efek Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat


perkembangan indeks harga saham gabungan, tingkat inflasi, cadangan devisa, tingkat suku bunga SBI, jumlah uang beredar,
kurs rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, kurs rupiah terhadap Euro, dan bursa
saham asing (KLSE, STI, PSEI, dan SSE)
mengetahui pengaruh masing-masing variabel tersebut baik secara simultan maupun
secara parsial terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG). Dari hasil empiris
diperoleh beberapa temuan sebagai beri-

kut: a) secara jangka pendek, meningkatnya


inflasi
akan
menyebabkan
penurunan angka indeks harga saham
gabungan, namun dalam jangka panjang,
justru kenaikan inflasi,
,
justru akan meningkatkan indeks harga
saham gabungan. Secara parsial tingkat
inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik
dalam jangka pendek ataupun jangka panjang; b) tingkat SBI-3 bulan berpengaruh
negatif, namun tidak signifikan terhadap
indeks harga saham gabungan baik dalam
jangka pendek dan jangka panjang; c) kenaikan jumlah uang beredar secara jangka
pendek, akan meningkatkan indeks harga
saham gabungan sebesar 0,024%, dimana
dalam jangka panjang peningkatannya bertambah menjadi sekitar 0,081%. Dalam
jangka pendek perubahan jumlah uang
yang beredar tidak berpengaruh signifikan
terhadap fluktuasi indeks harga saham
gabungan. Baru pada jangka panjang, perubahan tersebut berpengaruh signifikan; d)
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik
secara jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya, apabila rupiah terdepresiasi
terhadap dolar AS maka IHSG cenderung
akan melemah dan begitu juga sebaliknya,
apabila rupiah terapresiasi terhadap dolar
AS maka IHSG akan mengalami penguatan;
e) cadangan devisa negara berpengaruh
positif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang; f) Untuk bursa asing, pada periode jangka pendek, kenaikan pada indeks gabungan bursa saham
,
Malaysia dan Singapura
justru akan mengurangi indeks saham di
Indonesia, sementara untuk dua bursa
lainnya, PSEI dan Shanghai, memiliki implikasi positif terhadap fluktuasi IHSG Indonesia. Fluktuasi di kedua bursa tersebut
masing-masing akan meningkatkan IHSG.
Secara jangka panjang, kecuali bursa saham Singapura, fluktuasi yang terjadi di
tiga bursa saham tersebut akan meningkatkan IHSG; g) secara simultan, perkembangan indikator moneter dan bursa asing
berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan baik
109

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


secara jangka pendek dan jangka panjang.
Sejumlah 40 persen variasi dari fluktuasi
indeks harga saham gabungan dapat dijelaskan oleh indikator moneter dan bursa
asing tersebut, sementara dalam jangka
panjang kapasitas tersebut meningkat
menjadi 94,61 persen.

Stabilitas ekonomi makro dan perkembangan bursa asing merupakan hal yang
perlu mendapat perhatian investor karena
memiliki pengaruh terhadap perkembangan Indeks Harga Saham di Bursa Efek
Jakarta. Dengan rendahnya tingkat suku
bunga SBI dan tingkat inflasi, nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS yang stabil dan
keseimbangan jumlah uang beredar (M2)
dalam jangka pendek maupun jangka panjang akan dapat meningkatkan minat investasi di pasar modal Indonesia yang dapat
dilihat dari peningkatan IHSG. Dalam
jangka
pendek,
pemerintah
dapat
melakukan kebijakan penambahan jumlah
uang beredar dalam rangka meningkatkan
IHSG. Akan tetapi dalam jangka panjang
(dua bulan berikutnya) pemerintah hendaknya mempertimbangkan dan memperhatikan gejolak harga sebagai dampak dari
melonjaknya jumlah uang beredar. Pelemahan nilai tukar rupiah dalam jangka panjang hendaknya perlu disikapi dengan kebijakan yang intervensif. Hal ini dikarenakan pelemahan nilai tukar rupiah dalam
jangka pendek dan jangka panjang dipastikan mendorong penurunan investasi pada
pasar modal. Oleh karena itu, penurunan
IHSG sebagai dampak dari pelemahan nilai
tukar rupiah tidak boleh dianggap hanya
merupakan fenomena jangka pendek saja.
Pemerintah dapat menjadikan nilai tukar
rupiah sebagai instrumen kebijakan yang
dapat digunakan dalam menarik minat investor asing untuk masuk ke dalam negeri
melalui pasar modal melalui penyesuaian
kebijakan SBI dan jumlah uang beredar
yang ada

Adam AM, Tweneboah (2008). Macroeconomic Factors & Stock Market Movement: Evidences from Ghana,
112556, University library of Munich,
110

Germany.
Atje R, Javanovic (1993). Stock Market And
,
develoopment,
37: 632-640.
BAPEPAM. 2008. Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas Serta Hubungan
Dinamis Antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan
IHSG Di Pasar Modal.
Boucher C (2004). Stock Prices, Inflation
and Stock Returns Predictability,
, 70(1): 63-84.
Chong, C.S. and K.L. Goh, 2005. InterTemporal Linkages of Economic Activity,
StockPrices and Monetary Policy in Malaysia, The Asia Pacific Journal of Economics and Business9 (1), pp. 48-61
Endri. 2009. Keterkaitan Dinamis Faktor
Fundamental Makroekonomi dan Imbal
Hasil Saham.
, No. 2, Vol.11, Augustus.
Fama E (1970). Efficient Capital Markets: A
Review of Theory and Empirical Work,
25: 383-417.
Fama, Eugene F. 1981. Stock Returns, Real
Activity, Inflation and Money.
, 71, 545-565
Fama, Eugene F. and G William Schwert.
1977. Asset returns and inflation.
, 5, 115-146.
Frensidy, Budi. 2009. Analisis Pengaruh
Aksi Beli-Jual Asing, Kurs, dan Indeks
Hang Seng Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di BEJ dengan Model
, FEUI.
GARCH.
Gilbert T (2008). Information Aggregation
around Macroeconomic Announcements:
The Link between Revisions and Stock
Returns,
. 20: 56-89.
Granger CWJ (1986). Developments in the
study of co integrated economic variables, Oxford
, 48: 213-228.
Hajiji, Ajid. 2008. Pengaruh Kurs Dolar
Amerika Serikat, Suku Bunga SBI dan
Inflasi terhadap Perubahan Indeks Harga
Saham gabungan di Bursa Efek Jakarta.
Kertas Kerja, IPB.
Hassan, A. H. 2003. Financial integration of
stock markets in the Gulf: A multivariate
cointegration
analysis.
8(3).

Dinamika Bursa Saham Asing dan Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham (Pasaribu dan Kowanda)

Hendry DF (1986). Econometric modeling


with co integrated variables: An overview, Oxford Bull. Econ. Stat., 48(3): 201212.
Ibrahim MH (1999). Macroeconomic variables and stock prices in Malaysia: an empirical analysis,
, 13(2): 495-574
Islam M (2003). The Kuala Lumpur stock
market and economic factors: a generalto- specific error correction modeling
test,
, 30(2): 40-67.
Islam M, Watanapalachaikul S (2003). Time
series financial econometrics of the Thai
stock market: a multivariate error correction and valuation model,
, 10(5): 90-127.
Jaffe J, Mandelkar G (1976). The Fisher effect for risky assets: An empirical inves, 31: 447-456.
tigation,
Johansen S, Juselius K (1990). Maximum
likelihood estimation and inference on c
ointegration with application to the demand for money,
. 52: 169-210.
Johansen S, Juselius K (1990). Maximum
likelihood estimation and inference on
co integration with application to the
demand for money,
. 52: 169-210.
Maghyereh, A. I. 2002. Causal relations
among stock prices and macroeconomic
variables in the small, open economy of
Jordan. available at http://ssrn.com/
abstract=317539.
Mansur, Moh. 2009. Pengaruh Tingkat Suku
Bunga SBI dan Kurs Dolar AS Terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan Bursa
Efek Jakarta Periode Tahun 2000-2002.
Working Paper In Accounting and Finance, October, Department of Accounting, Padjadjaran University.
Manurung, A.H. 1996. Pengaruh Variabel
Makro, Investor Asing, Bursa Yang Telah
, ProMaju terhadap Indeks BEJ,
gram Pascasarjana Program Studi Ilmu
Ekonomi, UI, Jakarta, tidak dipublikasikan.
Maysami RC, Koh TS (2000). A vector error
correction model of the Singapore stock
, 9:
market,
79-96.

Maysami RC, Loo SW, Koh TK (2004). Comovement among sectoral stock market
indices and cointegration among dually
,
listed companies.
23:33-52.
Maysami RC, Sim HH (2001a). An empirical
investigation of the dynamic relations
between macroeconomics variable and
the stock markets of Malaysia and Thai, 20: 1-20.
land.
Maysami RC, Sim HH (2001b). Macroeconomic forces and stock returns: a general-to-specific ECM analysis of the Japanese and South Korean markets.
, 1
(1): 83-99.
Maysami RC, Sim HH (2002). Macroeconomics variables and their relationship with
stock returns: error correction evidence
from HongKong and Singapore.
., 44(1): 69-85.
McKinnon RI (1973). Money and Capital in
Economic Development, Brookings Institutions, Washington, DC.
Nelson CR (1976). Inflation and rates of
return on common stocks,
, 31(2): 471-483.
Novianto, Aditya. 2011. Analisis Pengaruh
Nilai Tukar (Kurs) Dollar AmerikaRupiah, Tingkat Suku Bunga SBI, Inflasi,
dan Jumlah Uang Beredar (M2) Terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa
, UNDIPEfek Indonesia.
Semarang.
Omran, M. M. 2003. Time series analysis of
the impact of real interest rates on stock
market activity and liquidity in Egypt:
Co-integration and error correction
model approach.
8(3).
Prasetiantono, A Tony. Mengapa Rupiah
, Senin,
Tak Kunjung Menguat?
16 Februari 2009.
Ross SA (1976). The arbitrage theory of
capital asset pricing,
, 13: 341-360.
Spyrou. 2004. Are Stocks a Good Hedge
Against Inflation? Evidence from Emerging Markets.
, 36, 41-48.
Sukarso, Aso. 2011. Pengaruh Perubahan
Indikator Ekonomi Makro Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Di Bursa
111

Vol. 14, No. 1, Februari 2013: 89-112


Efek Jakarta Tahun 2001-2006.
Vol 4, Nomor 2,
Juni.
Witjaksono, Ardian Agung. 2010. Analisis
Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Harga
Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs
Rupiah, Indeks Nikkei 225, dan Indeks
Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus

112

pada IHSG di BEI selama periode 20002009). Tesis, UNDIP, Semarang.


Wongbangpo P, Subhash CS (2002). Stock
Market and Macroeconomic Fundamental Dynamic Interactions: ASEAN-5
omics,
Countries,
13: 27-51

Você também pode gostar