Você está na página 1de 8

11 Hukum Fifth Discipline dari Peter Senge

(Complexity Laws)
Untuk menjelaskan lebih dalam tentang berpikir sistem (system thinking) dalam organisasi
belajar, Peter Senge menguraikannya dalam 11 hukum disiplin kelima dalam satu bab khusus.
Kesebelas hukum disiplin kelima tersebut diuraikan sebagai berikut berdasarkan pandangan saya
setelah membaca The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization (Peter
Senge, 1996). Berikut kajian saya atas 11 Hukum Disiplin Kelima Peter Senge.
1. Masalah Hari Ini Datang dari Solusi Masa Lalu
Hukum pertama dari sistem kelima ini menyimpulkan, bahwa kita sering terjebak mencari
solusi atas sebuah permasalahan hanya memandang kepada pemecahan masalah saat itu saja.
Kesannya adalah, bahwa pada saat itu kita memang dapat memberikan solusi atas pemasalahan
yang muncul saat itu juga. Tetapi, tanpa kita sadari bahwa solusi yang hanya berdasarkan kepada
permasalahan saat itu suatu saat akan muncul menjadi permasalahan baru di lain waktu. Sebagai
contoh, beberapa tahun lalu pemerintah meluncurkan program bantuan langsung tunai (BLT).
Kelihatannya program ini akan berhasil dengan memberikan uang tunai Rp.300.000,- kepada
setiap KK miskin yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada tahun 2006-2007 berkisar antar 27
juta KK. Tetapi, ternyata program BLT ini seperti kita melemparkan bumerang yang siap
menyerang balik, ternyata program BLT tidak menjadikan solusi untuk mengatasi kemiskinan
yang ada di republik ini. Dampak dari program BLT ini tak lebih dari sebuah pemiskinan
secara sistemik yang tidak serta merta membuat orang bangkit untuk berusaha keluar dari
kemiskinan, karena bagi mereka uang Rp.300.000,- di zaman sekarang tak bisa membantu lebih
banyak untuk membuka peluang usaha. Singkatnya, program ini hanya menghamur-hamburkan
uang saja dan memberikan peluang baru bagi pelaksana yang berwatak kotor. Akibatnya
sekarang, adalah ketika pemerintah akan mencabut subsidi BBM dengan sosialisasi yang minim,
masyarakat belum siap, karena mereka menganggap, bahwa mereka tidak akan mendapatkan
perhatian dari pemerintah. Arti dari contoh ini, bahwa solusi pemecahan masalah bagi
masyarakat miskin saat diputuskan, tidak menjadikan solusi beberapa waktu kemudian, justru
menimbulkan masyalah baru dengan bertambahnya jumlah KK miskin yang hampir mencapai 30
juta KK.
Jika dilihat dalam berpikir sistem (system thinking/ST), maka proses pemecahan masalah
seharusnya mempertimbangkan dampak/akibat dari solusi yang diambil secara komprehensif.
Masalah adalah sebuah hambatan yang harus dicarikan jalan keluarnya/solusi dengan melihat
subsistem-subsistem yang berhubungan dengan masalah tersebut. Pemecahan masalah tidak bisa
hanya dilakukan dengan solusi yang berdasarkan satu subsistem saja. Tetapi, lebih dari itu
seluruh subsistem yang berkaitan dengan sebab-akibat permasalahan tersebut harus menjadi
solusi. Dengan demikian, solusi yang ditemukan akan menuntaskan suatu permasalahan dengan
baik dan tidak memunculkan masalah baru di kemudian hari. Dengan kata lain, seharusnya

penanganan kemiskinan di Indonesia tidak dengan memberikan ikan, tetapi memberikan


pancing. Artinya, pemberian Rp.300.000,- kepada KK miskin tidak memberikan solusi yang
sesungguhnya. Akan lebih baik, jika dana yang dimiliki pemerintah dibuatkan program untuk
memberikan peluang kerja dan peluang usaha, maka program tersebut akan memberikan solusi
cerdas dalam penanganan kemiskinan yang ada.
2. Semakin Keras Anda Menekan, Semakin Kencang Sistem Mendorong Kembali
Hukum kedua dari ST Senge menyebutkan, bahwa semakin besar usaha yang kita lakukan untuk
memperbaiki kesalahan, maka tanpa atau dengan kita sadari akan semakin kuat pula masalah
tersebut menekan kita. Dalam kondisi ini, Senge menekankan perlunya ST. Jika kita mengatasi
atau menekan permasalahan yang kita hadapi tanpa pikiran jernih, maka kita akan terjebak ke
dalam situasi serangan balik yang siap dilancarkan dan membahayakan pertahanan kita yang
dilakukan oleh situasi yang kita tekan. ST dengan memperhatikan setiap subsistem yang muncul
dalam setiap permasalahan yang kita tekan adalah hal yang perlu dilakukan.
Ilustrasi pemberian BLT sebenarnya dapat dijadikan contoh untuk kasus ini. Di mana pemberian
BLT yang dianggap solusi dan suatu tindakan untuk menekan permasalahan kemiskinan yang
ada, ternyata telah menyerang balik dengan makin bertambahnya jumlah KK miskin. Masyarakat
dininabobokkan dan dimalaskan dengan memberikan uang tunai yang hanya dapat mengatasi
kemiskinan mereka 1 atau 2 hari saja.
Contoh lain dari hukum ini adalah, kasus sesorang pimpinan baru yang berusaha menerapkan
suatu program dengan menekankan kepada seluruh komponen yang ada dalam organisasinya.
Padahal, sebagai pimpinan baru ia seharusnya memperhatikan subsistem yang ada dalam
lingkungannya dengan menerima kritik, saran atau anjuran. Tetapi dengan kemampuannya
menekan situasi tersebut, tanpa ia sadari bahwa ia melakukan blunder dan tekanan balik dari
masyarakat organisasinya. Bisa jadi sang pemimpin akan mendapat cap pemimpin otoriter.
Lebih konkret untuk contoh ini adalah, kasus yang dialami oleh Wamen Depkum & Ham.
Langkah penekanan terhadap permasalahan yang ia lakukan di jajarannya untuk memberantas
setiap kasus mapia hukum sebenarnya cukup baik. Penekanan-penekanan yang dilakukan
awalnya cukup efektif sebagai upaya terapi dan preventif terhadap kasus yang terjadi. Akan
tetapi, tanpa ia sadari, semakin ia menekan persoalan yang ada dengan tanpa berpikir sistem
yang jernih, maka yang terjadi adalah permasalahan yang di tekannya ternyata menekan balik.
Hal ini terjadi karena penekanan yang dilakukan oleh Wamen tidak dilakukan secara
komprehensif. Akibatnya, pimpinan arogan atau tukang pukul menjadi icon bagi dirinya.
3. Perilaku Tumbuh Lebih Baik Sebelum Tumbuh Lebih Buruk
Hukum ketiga ini jika saya boleh mengistilahkan adalah hukum sesaat (temporary law).
Kenapa demikian, langkah apa yang sebenarnya kita lakukan untuk menyelesaikan suatu

persoalan hanya dapat dirasakan saat itu saja. Padahal, kita seperti dikatakan Senge, bahwa solusi
jangka pendek memberikan kita istirahat sejenak dan perbaikan sementara, tetapi tidak
menghilangkan masalah mendasar. Masalah-masalah ini akan membuat situasi lebih buruk dalam
jangka panjang. Seharusnya perilaku yang tumbuh adalah lebih baik dan bersifat permanen serta
tidak berdampak buruk atau bahkan lebih buruk di kemudian hari.
Untuk memberikan gambaran terhadap situasi ini, saya akan memberikan contoh seseorang yang
meminjam uang/menghutang pada rentenir. Kelihatannya, seseorang yang sedang mengalami
kesulitan keuangan lalu ia meminjam uang kepada seorang rentenir dapat mengatasi masalahnya
pada saat itu. Padahal, tanpa ia sadari perilaku yang tumbuh pada dirinya dengan gali lobang
tutup lobang tidak menyelesaikan masalah mendasar, bahkan menumbuhkan suatu perilaku
yang lebih buruk. Di saat tertentu ia dapat pinjaman uang untuk memenuhi kebutuhan sesaat, di
waktu yang lain kesulitan muncul dan ia akan melakukan hal yang sama pada orang/rentenir
yang berbeda. Perilaku ini justru lebih buruk dalam proses penyelesaian masalah.
Hal yang perlu dilakukan dalam hukum ini adalah dengan tetap melakukan proses berpikir
sistem dengan beradaptasi dengan segala persoalan yang dihadapi. Tidak hanya berhenti di situ,
seseorang juga harus secara generatif (proaktif) menumbuhkan perilaku yang baik secara
kontinuitas sehingga tidak akan tumbuh perilaku yang buruk di kemudian hari. Sederhananya,
sesuatu perilaku tumbuh dengan baik diharapkan akan selalu tumbuh perilaku yang baik untuk
masa yang lebih lama. Untuk menumbuhkan perilaku tersebut, maka berpikir sistem harus
mewadahi keinginan-keinginan untuk memecahkan masalah yang ada.
4. Cara yang Mudah Biasanya akan Membawa Kita kembali kepada Permasalahan
Hukum keempat dari ST memberikan gambaran, bahwa kita sering terjebak kepada penyelesaian
masalah yang kita anggap mudah padahal sebenarnya itu tidak relevan dengan pemecahan
masalah yang sesungguhnya. Pada akhirnya, yang terjadi adalah justru sama dengan dampak
seperti hukum-huium sebelumnya. Hukum ini menghendaki, bahwa setiap penyelesaian
persoalan yang ada harus harus dilihat kesesuaiannya. Apakah jalan yang keluar yang diambil
sesuai dengan permasalahan yang ada atau tidak. Dalam konteks ini, maka prinsip keefektifan
dan keefisienan harus diperhatikan.
Sebagai contoh, jika kita hendak membunuh seekor nyamuk, apakah kita harus menggunakan
meriam atau hanya cukup dengan jari telunjuk saja. Sering kita melakukannya dengan
menembakkan meriam yang menurut kita efektif tetapi sangat tidak efisien, sehingga dampaknya
akan muncul permasalahan baru sebagai akibat dari tembakan meriam. Padahal untuk
membunuh seekor nyamuk kita hanya membutuhkan satu jari telunjuk saja.
Contoh lain dalam dunia pendidikan adalah ketika kita menghadapi situasi dimana banyak
terdapat siswa yang tidak lulus UN, maka diluncurkanlah program yang dapat membuat siswa

bisa lulus. Misalnya dengan paket B atau C atau bahkan ramai-ramai melakukan ketidakjujuran.
Sesaat cara ini sepertinya dapat menyelesaikan masalah dengan membuat siswa dapat lulus.
Padahal, sesungguhnya kita telah ditarik kepada persoalan baru yang justru jauh lebih besar,
seperti membengkaknya pembiayaan, degradasi mental dan moral karena ketidakjujuran baik
dari siswa maupun penyelenggara, belum lagi persoalan-persoalan lain. Sejatinya, penyelesaian
pembelajaran harus diselesaikan dengan pembelajaran. Mengapa siswa banyak tidak lulus? Jika
jawabannya persoalan kesulitan belajar, maka solusinya adalah memperbaiki sistem
pembelajaran sehingga siswa dapat dengan mudah belajar. Bukan dengan jalan memberikan
ujian paket atau membantu mereka dalam ujian.
Oleh sebab itu, dalam penghadapi hukum ini, maka ST harus dijalankan secara komprehensif
untuk melihat persoalan yang ada dan mencari jalan keluar yang relevan. Dengan demikian,
solusi yang ada tidak menarik kita kepada persoalan baru yang lebih buruk dari persoalan
sebelumnya. Solusi yang diambil harus benar-benar memperhitungkan prinsip-prinsip efektif dan
efisien secara menyeluruh.
5. Obatnya Bisa Lebih Buruk daripada Penyakitnya
Sejatinya, obat adalah sesuatu yang terbaik untuk mengatasi penyakit. Akan tetapi, jika obat
tidak tepat untuk mengobati penyakit, maka yang terjadi adalah bahwa obatnya akan lebih buruk
dari penyakitnya. Untuk memberikan ilustrasi dari pemikiran ini, sebenarnya pada bagian
terdahulu telah diberikan contoh tentang program BLT. Program tersebut tidak serta-merta
membuat orang naik derajatnya dari kemiskinan. Justeru, masyarakat lebih miskin lagi karena
merasa ketergantungan dengan berbagai bantuan instan dari pemerintah. Contoh dalam dunia
pendidikan saat ini adalah, untuk mengangkat derajat kesejahteraan guru dibuatlah program
sertifikasi guru. Dari satu sisi, program ini dapat mengobati kesejahteraan finansial guru. Guru
saat ini lebih baik dengan memiliki rumah yang bagus dan kendaraan yang bagus juga karena
memiliki kemampuan untuk membeli itu. Tetapi, dampak lain adalah bukannya mengobati
masalah keprofesionalismean guru yang berdampak pada cara pembelajaran. Banyak guru yang
sakit dan kelelahan karena harus memenuhi 24 jam tatap muka. Lebih parah lagi, jam mengajar
tersebut tidak di satu sekolah tetapi mereka harus mencari ke sekolah-sekolah lain. Akibatnya,
pembelajaran menjadi tidak terencana dengan baik, siswa tidak mendapat perhatian serius,
evaluasi tidak berjalan dengan semestinya dan lebih buruk lagi, penyakit yang muncul adalah
mengajar asal-asalan.
Dalam konsep berpikir sistem, maka mengobati suatu penyakit harus benar-benar
memperhatikan side efeck atau dampak sampingan dari obat yang diberikan. Ibarat kita minum
obat, maka kita harus membaca terlebih dahulu petunjuk dan kontra indikasi dari penggunaan
obat tersebut. Berpikir sistem menghendaki, bahwa dalam mengobati suatu persoalan/penyakit
perlu dilakukan proses berpikir sebab-akibat. Jika tidak, maka kita bukan mengobati, tetapi
membuat penyakit baru yang jauh lebih kronis.

6. Semakin Cepat Justru Semakin Lambat


Hukum ini menjelaskan, bahwa segala sesuatu memiliki tingkat pertumbuhan sesuai
kapasitasnya, baik itu dalam dunia alam maupun organisasi. Hukum ini mengindikasikan, bahwa
organisasi yang akan bertahan adalah organisasi yang tumbuh dan berkembang dengan wajar
atau tidak instan. Artinya, terdapat pertumbuhan dan perkembangan yang berimbang, baik dari
dalam organisasi maupun pengaruh dari luar. Setiap dampak yang muncul sebagai akibat
perkembangan dari luar dapat disikapi secara baik dengan mengadaptasi diri dan proaktif untuk
kelangsungan organisasi. Akan tetapi, jika organisasi tidak melakukan hal ini, sesaat mungkin
akan berjalan seperti sangat cepat dan maju, tetapi sesungguhnya itu akan membuat sesuatu
kemunduran dan berjalan lebih lama. Hal ini disebabkan, karena internal organisasi belum siap
untuk beradaptasi dan proaktif terhadap pekrkembangan eksternal organisasi yang jauh lebih
cepat.
Sebagai contoh, kasus collapnya TPI. Pada awalnya TPI berkembang sangat luar biasa dan jauh
melampaui TVRI yang sudah tumbuh lebih lama. Tetapi, karena tidak dapat mengadaptasi diri
dan proaktif dengan kemajuan dan perkembangan yang begitu pesat, akirnya TPI terjatuh dan
memulai dengan sangat lama, bahkan tak dapat bangkit lagi. Agaknya pepatah lama alon-alon
asal kelakon ada pembenarannya. Filosofi dari pepatah ini bukan berarti pelan tetapi tidak ada
kemajuan, tetapi sesuatu yang dilakukan dengan pelan/wajar tetap memperhatikan kehati-hatian
dan kejelian akan membuahkan sesuatu yang baik.
7. Sebab dan Akibat tidak Muncul Berdampingan
Kita selalu menyandingkan kata sebab akibat sebagai sesuatu yang muncul secara bersamaan
dalam ruang dan waktu. Hal ini selalu kita benarkan, ketika kita menemukan suatu akibat selalu
kita mencari penyebabnya. Jika kita menghadapi suatu persoalan di tempat kerja kita, selalu saja
kita mencari penyebabnya di luar diri kita. Jika seorang kepala sekolah menghadapi persoalan
dengan anjloknya nilai hasil ujian para siswa, ia selalu berusaha mencari penyebabnya kepada
guru-guru atau faktor lain dari luar dirinya.
Sebenarnya, sebagaimana yang dikatakan Senge bahwa kita selalu terjebak ke dalam paradigma
musuh ada di luar sana. Cara pandang ini memperlihatkan kepada kita akan kelemahan
seseorang yang tidak memandang sesuatu dengan sistematis dan memposisikan diri saya ada
dalam posiusi saya. Fenomena sebab akibat memberikan gambaran, bahwa seseorang selalu
mencari kambing hitam atas akibat yang ada. Telunjuk selalu diarahkan kepada orang
lain,bukan kepada diri sendiri dan mencari posisi aman untuk diri sendiri. Padahal sebenarnya
adalah, setiap persoalan dalam bentuk akibat yang ada bukanlah masalah yang sulit dipecahkan
jika kita mau mengoreksi diri sendiri. Seharusnya atas persoalan yang ada kita tidak serta-merta
menyalahkan orang lain, tetapi bagaimana kita harus berpikir sistem atas apa yang terjadi atas
persoalan yang dihadapi. Bisa jadi persoalan yang muncul adalah penyebabnya adalah diri kita

sendiri. Oleh sebab itu, dalam berpikir sistem kita tak boleh mendampingkan cara berpikir sebabakibat, karena segala sesuatunya dipikirkan berdasarkan bagian atau subsistem yang ada. Dalam
konteks ini, penerapan system thinking mutlak dilakukan agar tidak selalu menyalahkan orang
lain dalam setiap persoalan.
8. Perubahan Kecil Dapat Menghasilkan Hasil yang Besar
Dalam bahasa yang sederhana, hukum ke delapan ini adalah jangan pernah meremehkan hal-hal
yang kecil. Karena dalam posisi yang benar dan tepat hal yang kecil tersebut akan berdampak
besar dan memegang kendali. Konsep ini menjelaskan kepada kita, bahwa untuk melakukan
perubahan besar kita tidak dapat melakukannya dengan hal yang besar pula. Justru untuk
melakukan perubahan besar awalilah dengan hal-hal kecil dan berdampak besar. Inilah esensi
dari pengungkit yang efektif. Saya yakin betul dengan prinsip, bahwa untuk melakukan
perubahan besar harus dilakukan dari hal yang kecil.
Kalau dalam buku Senge (1996: 62)memberikan prinsip prinsip trim tab yang diilustrasikan
oleh Buckminster Fuller, sebagai sesuatu yang sangat kecil tapi berdampak besar karena
fungsinya untuk mengendalikan haluan pada kapal tanker atau sayap apada pesawat terbang,
maka saya akan memberikan contoh seorang cleaning sevice(CS) dalam sebuah organisasi. Bagi
sebagian orang, kehadiran seorang CS mungkin dianggap sepele, karena mungkin bidang
tugasnya yang tidak terlalu menarik perhatian orang. Tetapi ketahuilah, bagaimana jika dalam
sebuah rumah/organisasi/kantor tanpa kehadiran seorang CS, maka saya pikir akan mengganggu
kelancaran sistem untuk berjalan. Profesi CS mungkin sangat kecil, tetapi daya ungkitnya untuk
mempengaruhi kelancaran kinerja yang lain sangat besar. Ruangan yang kotor dan berantakan,
debu, tumpukan kertas, meja tak beraturan, gelas kotor dan lainnya yang tak terurus akan
mengganggu suasana kerja yang pada akhirnya akan berpengaruh kepada kinerja individu atau
kelompok dalam organisasi. Dengan demikian, perubahan sekecil apapun yang dilakukan
seorang CS akan berdampak besar.
Dalam konteks ini, maka berpikir sistem adalah kunci untuk menacapai kesuksesan organisasi
belajar. Orang tidak dapat langsung berpikir suprasistem untuk menyelesaikan suatu persoalan
atau berbuat sesuatu. Tetapi, harus terlebih dahulu dimulai dari subsistem-subsistem atau hal-hal
yang kecil terlebih dahulu sebagai pengungkit. Jika itu dilakukan dengan benar dan sistematis,
maka hal yang besar akan dapat dilakukan. Gunung tidak langsung terjadi dari gumpalan tanah
yang besar, tetapi terbentuk dari tumpukan tanah yang kecil.
9. Anda Bisa Memiliki Kue Anda dan Memakannya Juga, tetapi Tidak Sekaligus
Ketamakan adalah suatu sifat buruk yang akan menghancurkan. Dalam kehidupan sehari-hari,
ketamakan adalah sifat yang sangat tidak disukai banyak orang. Oleh sebab itu, ketamakan
bersifat deskruptif (perusak). Hukum kesembilan ini merupakan Senge yang menyatakan, bahwa

kita tidak dapat memperoleh dua hal yang bagus dalam satu waktu atau kesempatan secara
bersamaan. Kalaupun itu dapat dilakukan pasti itu akan berdampak tidak baik. Kedua hal ini
hanya dapat diperoleh dengan jalan berproses sehingga kebaikan yang satu tidak akan merusak
kebaikan yang lainnya. Kedua hal ini dapat kita lakukan dengan perilaku berpikir sistem.
Perlunya berpikir sistem untuk memperoleh kebaikan dalam suatu proses adalah, untuk
memberikan suatu kesempatan kepada kita tentang dampak berkelanjutan dari pilihan yang
diambil. Karena jika tidak, maka akan berlaku hukum-hukum sebelumnya, bahwa pilihan yang
diambil akan menjadi permasalahan di kesempatan yang lain. Oleh sebab itu, berpikir sistem
adalah bagaimana mengarahkan kita atau seseorang untuk menentukan pilihan terbaik yang pada
akhirnya akan memperoleh kebaikan berikutnya di waktu yang berbeda. Dengan demikian tidak
akan ada kesan ketamakan jika kita selalu mengedepankan cara berpikir yang sistematis dan
tepola dengan baik. Untuk memperoleh kebaikan-kebaikan tersebut dibutuhkan sebuah proses.
Senge menggambarkan, bahwa untuk memperoleh produk yang berkualitas denga biaya yang
rendah sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan. Untuk melakukan kebijakan ini menurut
Senge berpikir sistem memegang peranan penting, sehingga ketika suatu keputusan diambil tidak
akan merugikan salah satu pihak. Justru dapat memberikan peluang untuk kebaikan yang lain.
10. Membelah Seekor Gajah Menjadi Dua Tidak Menghasilkan Dua Ekor Gajah Kecil
Menurut Senge sistem kehidupan memiliki integritas. Karakter mereka tergantung dari
keseluruhan. Hal yang sama berlaku untuk organisasi; guna memahami konteks manajerial yang
menantang membutuhkan keseluruhan sistem yang membangkitkan. Analogi Senge tentang
Membelah Seekor Gajah Menjadi Dua, Tidak Menghasilkan Dua Gajah yang Kecil,
mengggambarkan, bahwa untuk menyelesaikan suatu persoalan dalam suatu organisasi tidak
diperlukan membagi persoalan tersebut, sebab itu justru hanya akan menghasilkan masalah baru
dan berbuah kekacauan. Hal ini disebabkan tidak akan ditemukan pengungkit yang tepat untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Bagi Senge, melihat persoalan yang besar dalam sebuah organisasi bukan berarti harus melihat
gajah secara keseluruhan. Tetapi, Senge menyarankan bahwa untuk memahami persoalan yang
besar tersebut dapat dipahami dengan melihat bagaimana fungsi utama dari subsistem tersebut,
serta interaksinya dengan subsistem lain yang saling menunjang dalam suatu fungsional dan
dinamika. Dengan demikian dalam proses ini diperlukan cara berpikir sistem dalam
menyelesaikan suatu persoalan besar. Dengan kata lain, tidak perlu membelah seekor gajah,
untuk mendapatkan gajah lebih banyak. Prinsip ini disebut Senge dengan prinsip dari batasan
sistem, yaitu interaksi yang harus dipelajari yang paling penting terhadap masalah saat ini,
tidak peduli dari batas organisasi yang sempit.
Kunci dari hukum ini adalah interaksi. Jika bicara interaksi, maka diperlukan dialog. Oleh sebab
itu, dialog dalam organisasi harus didasari dari keinginan untuk berubah, membuka diri, mau
berbagi, dan belajar terus menerus untuk memperbaiki diri.

11.Tidak Menyalahkan
Menurut hukum ini, kesalahan bukan pada orang lain tetapi pada diri kita sendiri. Berpikir
sistem memandang, bahwa tidak ada orang luar, yang ada hanya bagaimana letak hubungan kita
dengan pihak luar. Kita dan masalah adalah bagian dari suatu sistem. Musuh kita adalah diri kita
sendiri. Jika kita menadang pihak luar sebagai potensi baik, maka organisasi akan berkembang.
Tetapi jika kita menadang pihak luar sebagai musuh, maka organisasi kita akan runtuh. Oleh
sebab itu, berpikir sistem merupakan solusi untuk tidak menyalahkan orang diluar sana. Musuh
kita adalah diri kita sendiri dan obatnya adalah menjaga hubungan antara kita dan musuh kita
bisa itu orang luardapat juga diri sendiri.

Você também pode gostar