Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Absorpsi
merupakan perpindahan obat atau molekul obat dari tempat aplikasinya untuk menuju ke
sirkulasi sistemik. Agar obat dapat diabsorpsi, zat bahan aktif obat harus dilepas dari bentuk
sediaannya, dalam hal ini faktor disolusi obat merupakan hal yang penting. Contohnya pada
sediaan tablet, kaplet, dll. Pada Tablet dan Kaplet, obat pertama akan pecah menjadi granulgranul kemudian zat aktifnya lepas. Selain itu pelepasan obat dari bentuk sediaannya juga
dipengaruhi oleh faktor fisika kimia dari obat itu sendiri.
Proses absorpsi obat dapat terjadi pada berbagai tempat dalam tubuh, contohnya
seperti bagian bukal (pipi bagian dalam), sublingual (bawah lidah), gastrointestinal (lambung
dan usus), kulit (kutan), muskular (otot),peritoneal (rongga perut), okular (mata), nasal
(hidung), paru-paru, dan rektal. Mekanisme absorpsi bisa secara difusi pasif, transpor aktif,
transpor konvektif, difusi terfasilitasi, transpor pasangan ion, dan pinositosis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat meliputi :
1. Kecepatan disolusi obat
Seperti yang telah tertulis sebelumnya, dalam pelepasan zat aktif dari suatu obat
dibutuhkan parameter Disolusi obat. Kecepatan disolusi obat ini berbanding lurus oleh luas
permukaan, jadi setelah obat utuh pecah menjadi granul-granul dalam saluran pencernaan/
organ pencernaan, maka luas permukaannya juga akan semakin besar maka disolusi obat juga
semakin besar.
2. Ukuran partikel
Faktor Ukuran partikel ini sangat penting, karena semakin kecil ukuran partikel obat,
maka obat tersebut juga semakin mudah larut dalam cairan daripada obat dengan ukuran
partikel yang besar.
3. Kelarutan dalam lipid atau air
Dalam faktor ini dipengaruhi oleh koefisien partisi obat. Koefisien partisi merupakan
perbandingan obat dalam fase air (polar) dan fase minyak (non polar). Telah diketahui bahwa
medium pelarutan obat merupakan zat polar, sedangkan tempat absorbsi contohnya dinding
usus sebagian besar adalah non polar. Jadi koefisien partisi ini sangat penting dalam
menentukan absorbsi obat. Semakin besar koefisien partisi, maka semakin besar pula
kekuatan partikel obat tersebut untuk menembus membran/ dinding usus. Sebaliknya obat
yang memiliki koefisien partisi yang kecil, berarti obat tersebut lebih mudah larut dalam zat
polar, telah diketahui sebelumnya bahwa tempat untuk absorpsi obat sebagian besar adalah
non polar, maka obat-obatan yang seperti ini sulit untuk diabsorpsi.
4. Ionisasi
Sebagian obat merupakan elektrolit lemah sehingga ionisasinya dipengaruhi oleh pH
medium. Dalam hal ini terdapat dua bentuk obat, yaitu obat yang terion dan obat yang tek
terion. Obat yang terion lebih mudah larut dalam air, sedangkan obat dalam bentuk tak terion
lebih mudah larut dalam lipid serta lebih mudah untukkelaru diabsorpsi. Hal ini bisa
diterapkan contohnya pada obat yang bersifat asam, obat yang bersifat asam tersebut akan
terionisasi pada pH basa dan kita ketahui bahwa pada lambung pHnya asam dan pada usus
pHnya basa. Obat-obatan yang bersifat asam ini akan terionisasi pada usus (basa), maka obat
yang telah terionisasi ini akan sulit menembus dinding usus yang sebagian besar
komponennya adalah lipid/ zat non polar, maka obat-obatan asam ini lebih mudah diabsorpsi
pada gaster/ lambung karena pada lambung pH-nya asam, maka obat tidak akan terionisasi.
Untuk obat-obatan yang bersifat basa dianalogikan sebaliknya, secara singkat obat-obatan
basa akan terionisasi pada lambung (asam) dan tak terionisasi pada usus (basa), maka akan
lebih mudah diabsorpsi oleh dinding usus.
5. Aliran darah pada tempat absorpsi
Aliran darah akan membantu pada proses absorpsi obat yaitu mengambil obat menuju ke
sirkulasi sistemik. Semakin besar aliran darah maka semakin besar pula obat untuk
diabsorpsi.
6. Kecepatan pengosongan lambung
Obat yang diabsorpsi di usus akan meningkat proses absorpsinya jika kecepatan
pengosongan lambung besar dan sebaliknya.
7. Motilitas usus
Motilitas dapat diartikan pergerakan, dalam hal ini merupakan pergerakan usus. Jika
kecepatan motilitas usus ini besar maka akan mengurangi absorpsi obat karena kontak antara
obat dengan absorpsinya adalah pendek. Motilitas usus ini besar contohnya adalah pada saat
diare.
8. Pengaruh makanan atau obat lainnya
Beberapa makanan atau obat dapat mempengaruhi absorpsi obat lainnya.
9. Cara pemberian
Pada cara pemberian ini dibedakan menjadi dua, yaitu obat yang diberikan secara enteral
dan secara parental. Pada pemberian enteral ini contohnya seperti pemberian secara oral,
sublingual, dan secara perrektal. Sedangkan pada pemberian parental contohnya seperti
injeksi dan inhalasi. Pada pemberian secara parental pastinya memberikan efek lebih cepat
daripada pemberian secara enteral.
Referensi : Nugroho, Agung Endro. 2012. Prinsip Aksi & Nasib Obat Dalam Tubuh. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta
Keasaman cairan gastro intestinal yang berbea-beda di lambung (pH 1-2) duodenum (pH
4-6) sifat-sifat dan kecepatan berbeda dalam absorpsi suatu obat.
Menurut teori umum absorpsi : obat-obat golongan asam lemah organic lebih baik di
absorpsi di dalam lambung dari pada di intestinum karena fraksi non ionic dari zatnya
yang larut dalam lipid lebih besar dari pada kalau berada di dalam usus yang pHnya lebih
tinggi.
Absorpsi basa-basa lemah seperti antihistamin dan anti depressant lebih berarti
atau mudah di dalam usus halus karena lebih berada dalam bentuk non ionic
daripada bentuk ionik. Sebaliknya sifat asam cairan lambung bertendensi
melambatkan atau mencegah absorpsi obat bersifat basa lemah.
Obat-obat anti spasmodic seperti atropine, dan anti histamine H2 bloker seperti
cimetidin dan ranitidin pengurangan sekresi asam lambung
Perfusi atau kecepatan aliran darah didalam barrier GI membawa zat terdifus ke
hati
mengiritasi lambung.
Ex : Asetosal ( dapat menyebabkan iritasi karena bersifat asam).
Kecepatan absorpsi kebanyakan obat akan berkurang bila diberikan bersama
makanan.
Ex : Digoksin, Paracetamol, Phenobarbital (obat sukar larut)
Pemakaian antibiotika setelah makan seringkali penurunan bioavailabilitasnya
Antibiotik penisilin
Penisilin oral bisa diformulasikan sebagai asam bebas yang bersifat sukar larut, atau
dalam bentuk garam yang mudah larut.
Jika penisilin dalam bentuk garam kalium diberikan, maka obat tersebut akan
mengendap sbg asam bebas setelah mencapai lambung, dimana pH nya rendah,
membentuk suatu suspensi dengan partikel-partikel halus dan diabsorpsi dengan cepat.
Tetapi bila diberikan dalam bentuk asam, maka penisilin bentuk asam ini sukar larut
dalam lambung dan absorpsinya jauh lebih lambat, sebab partikel-partikel yng terbentuk
adalah besar.
Antibiotik Tetrasiklin
Tetrasiklin mengikat ion-ion Ca dengan kuat, dan makanan yang kaya kalsium (terutama
susu) dapat mencegah absorpsi tetrasiklin
Kecepatan absorbs injeksi dapat diturunkan dengan menggunakan suspense atau emulsi,
untuk obat yang sukar larut.
Jumlah dan sifat bahn pengikat serta bahan penghacur, tekanan tablet akan mempenggaruhi
absorbs obat dalam bentuk tablet,
Melalui sublingual (dibawah lidah) atau buccal (antara gusi dan pipi)
Melalui rectal
Melalui parental
HOME
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
MATERI KULIAH FARMASI
FREE DOWNLOAD EBOOK
I. Tujuan
Mempelajari pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro.
II.
Prinsip
1. Absorpsi
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat kedalam tubuh
atau menuju keperedaran darah tubuh setelah melewati sawar biologik (Aiache, et al., 1993).
Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat
(Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat
tersebut harus melewati berbagai membran sel.
2. Derajat Ionisasi
Derajat Ionisasi yaitu perbandingan jumlah mol zat yang terionisasi dengan jumlah mol zat
mula-mula.Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti terlihat pada
persamaan Henderson-Hasselbalch
3. Persamaan Henderson-Hasselbalch
III.
Teori Dasar
Proses absorpsi merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis
obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorpsi akan mempengaruhi efek obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan. Faktor mempengaruhi kecepatan dan besarnya
absorbsi, termasuk bentuk dosis, jalur/rute masuk obat, aliran darah ketempat pemberian,
fungsi saluran pencernaan (Gastrointestinal), adanya makanan atau obat lain, dan variable
lainnya (Abrams, 2005).
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat ke dalam
tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar biologic. Absorpsi obat
adalah peran yang terpenting untuk akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002).
Agar suatu obat dapat mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membran sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai struktur
lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel and Yu, 1988).
Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan biologis. Kelarutan serta
cepat-lambatnya melarut menentukan banyaknya obat terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat
per oral, cairan biologis utama adalah cairan gastrointestinal, dari sini melalui membrane
biologis obat masuk keperedaran sistemik (Joenoes, 2002).
Obat pada umumnya diabsorpsi dari saluran pencernaan secara difusi pasif melalui
membrane selular. Obat-obat yang ditranspor secara difusi pasif hanyalah yang larut dalam
lipid. Makin baik kelarutannya dalam lipid, maka baik absorpsinya sampai suatu absorpsi
optimum
tercapai.
Obat-obat yang digunakan
sebagian besar bersifat asam
atau
basa organik lemah.
Absorpsi obat
dipengaruhi
derajat ionisasinya pada waktu zat tersebut berhadapan dengan membran. Membran sel lebih
permeable terhadap bentuk obat yang tidak terionkan dari pada bentuk obat yang terionkan.
Derajat ionisasi tergantung pada pH larutan dan pKa obat seperti terlihat pada
persamaan Henderson-Hasselbach sebagai berikut :
(Watson, 2007).
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari
sistemLADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila pembebasan obat
dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi dan juga absorpsinya lama,
sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara keseluruhan (Joenoes, 2002).
Faktor-faktoryang mempengaruhi absorpsi obat
a.
Difusi terfasilitasi
Difusi ini merupakan cara perlintasan membran yang memerlukan suatu pembawa
dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif). Pembawa tersebut
bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi pada transpor ini perlintasan terjadi akibat
gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi (Syukri, 2002).
e.
Pinositosis
Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-molekul besar
dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi dengan pembentukan vesikula
(bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).
f. Transpor oleh pasangan ion
Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari suatu
senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan terjadi dengan
pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan senyawa endogen seperti musin,
dengan demikian memungkinkan terjadinya difusi pasif kompleks tersebut melalui membran
(Syukri, 2002).
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Tikus
(Rattusnor vegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan
merupakan hewan yang relative sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri
morfologiRattusnor vegicus antara lain memiliki berat 150-600 gram, hidung tumpul dan
badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta
telinga relative kecil dan tidak
lebih dari 20-23 mm.
Usus Halus
Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada manusia
memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen dan sebagian besar
emerian
IV.
: hablur putih, umumnya seperti jarum atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih;
tidak berbau atau berbau lemah. Stabil di udara kering, di dalam udara lembab secara
bertahap terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Kelarutan
: sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, larut dalam kloroform dan
eter.
(Depkes RI, 1995).
Alat dan Bahan
A. ALAT
1. Tabung Crane dan Wilson yang dimodifikasi
2. Spektrofotometer
3. Water-Bath
4. TimbanganAnalitik
5. pH Meter
7. Alat-alatgelas
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Bahan
Hewan percobaan (Tikus putih jantan)
Cairan lambung buatan tanpa pepsin (pH 1,2), Cairan usus buatan tanpa pankreatin (pH 7,5)
Larutan NaCl 0,9% b/v
AsamSalisilat
Eter
Gas Oksigen
Alkohol
Seng Sulfat dan Barium Hidroksida
V.
Prosedur
5.1
Pembuatan Kurva Baku
0,18 g asetosal standar ditambahkan etanol hingga 100 mL. Kemudian dibuat menjadi
konsentrasi 120 ppm, 140 ppm, 160 ppm, 180 ppm, dan 200 ppm. Masing-masing larutan
dimasukkan ke dalam kuvet dan dimasukkan ke alat spektrofotometer uv-vis di panjang
gelombang 297 nm. Lalu diukur masing-masing absorbansinya. Setelah itu dilakukan
perhitungan dan dibuat kurva kalibrasinya.
5.2
Hewan percobaan dipuasakan selama 20-24 jam, tetapi diberi minum air masak. Lalu
tikus dibunuh dengan eter, kemudian dibuka perutnya di sepanjang linea mediana dan usus
dikeluarkan. Setelah itu, usus sepanjang 15 cm di bawah pylorus dibuang dan 20 cm di
bawahnya dipotong untuk percobaan. Lalu usus dibagi dua sama panjang dan dibersihkan.
Bagian anal digunakan sebagai kontrol sedangkan ujung anal dari potongan usus tersebut
diikat dengan benang. Kemudian dengan menggunakan pinset usus tersebut dibalik sehingga
bagian mukosa terletak di luar.
Usus diisi dengan larutan NaCl 0,9% b/v sebanyak 1,4 ml. Lalu usus yang sudah diisi
NaCl dan diikat, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi cairan mukosal pH 1,2 sebanyak
75 ml (yang mengandung bahan obat) pada suhu 37oC. Perlakuan ini diulangi dengan tabung
yang berisi cairan mukosal pH 7,4 (yang mengandung bahan obat) dan untuk kontrol
menggunakan cairan mukosal pH 1,2 dan pH 7,4 juga tetapi tanpa bahan obat. Obat yang
akan diuji dalam percobaan ini adalah asetosal. Selama percobaan berlangsung, seluruh
bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen
dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit. Untuk larutan uji (berisi asetosal) tiap
5, 10, dan 15 menit, cairan serosal diambil melalui kanula yang dimasukkan ke dalam vial
kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml NaCl 0,9% b/v. Untuk kontrol (tanpa asetosal), setelah 5
menit cairan serosal diambil melalui kanula dan dimasukkan ke dalam vial. Melalui
percobaan ini akan dihasilkan 8 vial berisi sampel yang akan dianalisis.
5.3
Sebanyak 1 ml dari tiap vial diambil kemudian ditambahkan dengan 2 ml larutan seng
sulfat 5% dan 2 ml barium hidroksida 0,3 N. Larutan dikocok dan disentrifugasi selama 5
menit. Lalu, bagian yang jernih diambil dan dibaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 297 nm. Setelah itu, dibuat grafik hubungan
antara jumlah dan kadar obat yang ditranspor, dihitung permeabilitas dan lag timenya serta
dihitung tetapan kecepatan absorpsi (Ka) nya.
VI. Data pengamatan dan Hasil
I.
Data Pengamatan
1. Absorbansi Asetosal (Pelarut air, 274 nm)
[ ppm ]
200
180
160
140
120
1
0,5186
0,5103
0,4624
0,3778
0,3307
2
0,5188
0,5104
0,4628
0,3777
0,3305
3
0,5187
0,5099
0,4626
0,3777
0,3308
Rata-rata A
0,5187
0,5102
0,4626
0,3773
0,33067
Wakt
u
Absorba
nsi
0,0633
10
0,1757
15
-0,0096
Absorba
nsi
-1,164600
10
-1,2372
15
-1,0886
Waktu
(Menit)
A/Y
C/X
Qb'
Fk
Qb
0,0633
12
16,8
16,8
33,6
10
0,1757
56,19
78,67
78,67
112,38
15
-0,0096
-16,65
-23,31
-23,31
-46,62
A/Y
C/X
Qb'
Fk
Qb
-1,1646
-1,2372
1,0886
-470,66
-499,2
-415,03
-658,924
-698,88
581,04
-658,924
-698,88
581,04
-1317,85
-1397,76
1162,08
Tabel
Percobaan
pH 1.2
pH 7.4
Ka
-8,022
247,993
Pm
-802,2
24799,3
Lag Time
14,12
12,09
Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi asetosal secara in vitro dengan
menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH
terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan
turunan salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau
nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi (peradangan) dan juga
memiliki efek antikoagulan untuk mencegah serangan jantung dengan rumus struktur sebagai
berikut :
Struktur asetosal
Konsentrasi asetosal yang digunakan adalah sebesar 0,1M. Pembuatan asetosal 0,1 M
dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,18 gram asetosal kemudian dimasukkan ke dalam
labu ukur 100 ml dan dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol karena menurut
Farmakope Indonesia, asetosal agak sukar larut dalam air, dan mudah larut dalam
etanol(95%) P. Pembuatan asetosal ini dilakukan secara kuantitatif karena akan digunakan
untuk pembuatan kurva baku dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS.
Asam asetil salisilat dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UVVisible karena berdasarkan strukturnya asam asetil salisilat memiliki gugus
kromofor benzena cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang
dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Visible.
Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan dengan membuat larutan asetosal dengan
lima seri konsentrasi. Pertama, dibuat larutan stok asam asetil salisilat 1000 ppm dalam
pelarut etanol. Pelarut etanol digunakan agar kondisi pengukuran sampel dengan baku adalah
sama. Dibuat larutan dengan konsentrasi bertingkat dengan melakukan pengenceran terhadap
larutan stok asam asetil salisilat, yaitu 120, 140, 160, 180 dan 200 ppm. Masing-masing
konsentrasi larutan tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran
absorbansi dari asetosal dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang gelombang
maksimum karena pada panjang gelombang maksimum, kepekaannya juga maksimum karena
pada panjang gelombang maksimum tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan
konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang gelombang maksimum juga, bentuk
kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert Beer terpenuhi. Selain itu,
jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang
panjang gelombang akan kecil sekali ketika digunakan panjang gelombang maksimul
(Gholib, 2007). Panjang gelombang maksimum yang didapat dari percobaan dan digunakan
untuk pengukuran asetosal adalah 297 nm.
Setelah kelima seri konsentrasi tersebut diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva
yang merupakan hubungan antara absorbansi (sumbu y) dengan konsentrasi (sumbu x).
Pada konsentrasi 120 ppm, absorbansi sampel rata-rata adalah 0,33067 , pada
konsentrasi 140 ppm, absorbansinya 0,3773 , pada konsentrasi 160 ppm, absorbansi sampel
0,4626 , pada konsentrasi 180 ppm, absorbansi 0,5102 dan pada konsentrasi 200 ppm,
absorbansinya 0,5187. Dari data absorbansi dan konsentrasi asetosal, didapatkan persamaan
kurva yaitu :
y= 0,0025448 x + 0,032726
dimana y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi. Nilai r dari kurva yaitu 0,970.
Persamaan yang didapatkan dari kurva baku ini digunakan selanjutnya dalam menghitung
konsentrasi sampel.
Pada percobaan ini hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan. Tikus
putih biasa digunakan dalam percobaan laboratorium karena mudah dikembangbiakkan dan
mudah dalam perawatannya, hewan ini juga memiliki struktur anatomi fisiologi yang hampir
sama dengan manusia. Sehingga hasil uji yang dicobakan pada tikus putih yang menyangkut
struktur fisiologi anatomi dapat diaplikasikan pada manusia.
Sebelumnya, tikus percobaan dipuasakan dari makanan selama 20-24 jam, tapi diberi
minum air masak. Tujuan dari tikus dipuasakan agar tidak ada faktor makanan lain yang
mengganggu saat dilakukan percobaan serta untuk mengosongkan lambung dan usus.
Lalu tikus dibunuh dengan eter. Eter biasa digunakan sebagai obat bius yang
diberikan melalui pernapasan. Kemudian dibuka perutnya di sepanjang linea mediana (linea
mediana adalah garis yang melintas tepat ditengah tubuh dengan arah lintasan atas
bawah/vertikal) dan usus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus (pilorus adalah
daerah atau bagian lambung bawah yang berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus
duabelas jari) dibuang dan 20 cm dibawahnya dipotong untuk percobaan. Usus dibagi dua
bagian sama panjang, kemudian dibersihkan. Ujung dari potongan usus tersebut diikat
dengan benang, kemudian dengan menggunakan pinset kecil usus tersebut dibalik secara
perlahan agar usus tidak sobek, sehingga bagian mukosa terletak diluar. Tujuan dari peletakan
mukosa usus diluar karena ingin menyamakan pengondisian seperti dalam tubuh manusia,
dimana mukosa usus adalah bagian yang lipofil, sehingga diharapkan nantinya akan dapat
diukur seberapa besar kadar zat aktif obat yang bersifat lipofil yang dapat diabsorpsi oleh
mukosa usus. Kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus yang belum terikat. Usus diukur
dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan serosal 1,4 ml yang terdiri
dari larutan natrium klorida 0,9% b/v. Kantong usus yang sudah berisi cairan serosal ini
dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi cairan mukosal 75 ml (yang mengandung
bahan obat yaitu asetosal) pada suhu 37C. Kantong usus untuk kontrol dilakukan dengan
cara yang sama, tetapi dengan menggunakan cairan mukosal tanpa obat.
Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam
cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per
menit.
Pada waktu tertentu kadar obat dalam cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini
seluruh cairan serosal diambil melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan 0,9% b/v
natrium klorida, kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml larutan 0,9% b/v natrium klorida.
Usus tikus yang telah didapatkan direndam dalam larutan NaCl fisiologis 0,9% yang
bersifat isotonis agar tidak kering dan rusak. Kemudian usus dipotong 20 cm dari bagian
ujung dekat pilori (lambung) untuk dibuang, dan diambil 7 cm dari sisa usus untuk
dibersihkan lalu dibalik sehingga bagian dalam usus berada diluar dan bagian luar usus
berada didalam dengan pinset. Usus harus dibalik karena percobaan ini bertujuan untuk
mengetahui kadar absorpsi obat oleh filia bagian dalam usus pada perbedaan pH yang diatur
sesuai pH lambung dan pH usus secara in vitro (menggunakan instrumen yang menyerupai
bagian dalam tubuh).
Setelah itu, salah satu ujung usus disambungkan ke pipa B pada instrument modifikasi
crane&Wilson dan diikat dengan benang agar tidak mudah lepas sehingga instrument tersebut
menjadi seperti gambar dibawah ini :
Kemudian, ujung usus yang lain diikat dengan benang dan dikaitkan ke ujung pipa
C, lalu larutan NaCl fisiologis dimasukkan kedalam usus sebanyak 1,4 ml melalui pipa B
agar usus tetap basah dan tidak rusak, digunakan larutan NaCl fisiologis yang isotonis karena
menyerupai cairan tubuh tikus/ mamalia. Selanjutnya, kedalam tabung instrument
dimasukkan larutan dapar pH 1,2 melalui pipa A sebanyak 75 ml menggunakan syringe,
larutan dibuat pada pH 1,2 agar menyerupai kondisi dalam lambung tikus/ mamalia.
Instument dipanaskan diatas water bathhingga mencapai suhu 37oC agar menyerupai suhu
didalam tubuh tikus/ mamalia. Larutan asam salisilat 0,01 M kemudian dimasukkan sebanyak
10 ml melalui pipa A kedalam larutan dapar sehingga bercampur dan didiamkan dengan
selalu diberikan oksigen melalui pipa C. Oksigen diberikan agar sel-sel usus tetap hidup.
Setiap 5 menit, larutan NaCl fisiologis didalam usus diambil melalui pipa B menggunakan
syringe dan dimasukkan kedalam vial yang telah diberi label, kemudian diganti dengan 1,4
ml larutan NaCl fisiologis yang baru. Hal ini dilakukan sampai 15 menit berlangsung.
Larutan NaCl fisiologis diambil dari usus setiap rentang waktu 5 menit karena akan dihitung
kadar asam salisilat yang terabsorpsi melalui filia usus dan masuk kedalam larutan untuk
mengetahui absoprsi optimal dari asam salisilat pada perbedaan pengaturan pH yang
disesuaikan kondisi dalam tubuh mamalia.
Percobaan ini juga dilakukan dengan tabung instrumen diisi larutan dapar pH 7,4
yang disesuaikan dengan kondisi didalam usus, dengan ditambahkan pula 10 ml larutan asam
salisilat 0,01 M. Kemudian dilakukan percobaan control negatif dengan prosedur yang sama
menggunakan larutan dapar pH 1,2 dan pH 7,4 tanpa ditambahkan obat. Setelah itu, semua
vial yang telah berisi larutanNaCl fisiologis diberi perlakuan awal untuk dianalisis
menngunakan spektrofotometer UV.
Setelah dilakukan pengambilan cuplikan dari setiap rentang waktu 5 menit(5, 10 dan
15 menit) pada masing-masing pH 1,2 dan 7,4 dari masing-masing tabung, maka masingmasing cuplikan tersebut dianalisis menggunakan spektrofotometri UV untuk menetapkan
konsentrasi asetosal selama proses absorpsi di dalam usus hewan percobaan. Adapun panjang
gelombang maksimum yang digunakan adalah 274 nm. Alasan memilih panjang gelombang
(BM= 315,47) (FI IV, 1995 hal 1137) dan dilarutkan kedalam air panas sebanyak 100 ml.
Sedangkan sengsulfat (ZnSO4. H2O) ditimbang sebanyak 5 gram dan dilarutkan kedalam 100
ml air (BM= 179,46) (FI IV, 1995 hal 836). Barium hidroksida agak sukar larut dalam air
dingin, sehingga butuh pemanasan untuk melarutkannya, namun pada saat percobaan, barium
hidroksida masih belum larut sempurna sekalipun dilarutkan dalam air panas sambil
dipanaskan, sedangkan sengsulfat sangat larut dalam air. Setelah itu, sebanyak 2 ml dari
larutan barium hidroksida dan 2 ml sengsulfat dicampurkan kedalam masing-masing 1 ml
cuplikan, kemudian campuran larutan tersebut disentrifugasi untuk memisahkan endapan
dengan filtratnya. Dimana filtrat yang berupa cairan jernih tersebut yang mengandung
asetosal.Pada saat sentrifugasi, campuran larutan tersebut dimasukkan kedalam tabung
sentrifugasi lalu tabungnya ditempatkan kedalam alat sentrifugasi secara berseberangan dan
dengan jumlah yang sama, setelah itu diatur kecepatan pemutarannya, yaitu 3000 RPM
(Revolutions Per Minute) (angka 30 dilayar dikali faktor pengali 100) selama 10 menit.Hasil
sentrifugasi berupa larutan jernih di bagian atas dan endapan di bagian bawah. Bagian atas
yang berupa larutan jernih diambil menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam kuvet.
Sebelum sampel diukur, alat spektrofotometer terlebih dahulu di-reference kedalam panjang
gelombang yang sesuai menggunakan blanko yaitu blanko dari pH 1,2 dan 7,4 pada waktu =
0 menit. Selanjutnya masing-masing sampel cuplikan diukur absorbansinya. Adapun jumlah
cuplikan yang diukur ada 6 buah (3 buah cuplikan (pada pengambilan 5, 10 dan 15 menit)
pada pH 1,2dan 3 buah cuplikan dari pH 7,4. Absorbansi yang diperoleh dicatat.
Berdasarkan data pengamatan, nilai absorbansi yang didapatkan tidak sesuai dengan
hukumLambert Beer, yaitu konsentrasi yang baik itu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8
yang terdeteksi dengan spektro UV. Pada saat pengukuran, nilai absorbansi yang diperoleh
yaitu kebanyakan bernilai minus yaitu pada pH 1,2: -0,0096 (15 menit), sedangkan pada pH
7,4: -1,164600 (5 menit), -1,2372 (10 menit) dan -1,0886 (15 menit), artinya larutan yang
dianalisis tidak terbaca serapannya oleh alat spektrofotometer UV. Dan ada 2 nilai absorbansi
yang bernilai positif yaitu pada pH 1,2 : 0,0633 (5 menit) dan 0,1757 (10 menit) namun nilai
absorbansi ini tetap tidak memenuhi hukumLambert Beer yaitu rentang absorbansi yang
diizinkan adalah 0,2-0,8. Hal ini terjadi karena kemungkinan waktu yang tidak cukup bagi
obat asetosal untuk terabsorpsi. Kemungkinan asetosal akan terabsorpsi pada rentang waktu
setelah 15 menit. Hasil absorbansi dimasukkan kedalam perhitungan untuk mencari
konsentrasinya. Nilai absorbansinya dimasukkan kedalam persamaan regresi linier dari kurva
baku asetosal. Dari data pengamatan terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut
menyimpang dari yang seharusnya, misalnya seperti, hasil absorbansi yang dihasilkan sangat
aneh, nilai absorbansinya menurun pada pertambahan waktu. Seharusnya semakin lama,
maka absorbansinya semakin tinggi, karena seharusnya semakin banyak obat yang
terabsorpsi. Namun data nilai absorbansi yang dihasilkan pada pH 1,2 lebih tinggi
dibandingkan dengan pada pH 7,4 itu adalah benar dan sesuai dengan teori, yaitu bahwa
suatu obat yang bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH asam (lambung) dan obat yang
bersifat basa terabsorpsi optimum di pH basa(usus). Pada percobaan kali ini, senyawa obat
yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat), dimana senyawa obat ini bersifat asam,
sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH asam. Setelah dilakukan perhitungan
konsentrasi berdasarkan persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal, maka data-data
absorbansi dan konsentrasi di plotkan kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya adalah waktu
dan sumbu y nya adalah konsentrasi. Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik konsentrasi
terhadap waktu. Dari grafik terlihat bahwa, pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi adalah pada
waktu ke-10 menit, sedangkan pada pH 7,4 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke -15
menit.
VIII.
Kesimpulan
Jadi, perbedaan variasi pH 1,2 dan pH 7,4 pada absorpsi obat melalui saluran pencernaan
secara in vitro dengan interval waktu yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan konsentrasi
yang berbeda-beda dengan konsentrasi tertinggi pada pH 1,2 terdapat pada interval waktu ke10 menit sedangkan konsentrasi tertinggi pH 7,4 terdapat pada interval waktu ke-15.
Daftar Pustaka
Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy. US. Wolters Kluwer Health,
Lippincott Williams Wilkins.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia IV. Jakarta. Departemen Kesehatan.
Familiamedika.
2013.
Asetosal/Aspirin.
Tersedia
di http://familiamedika.net/obatkeluarga/asetosal.html#.UlCL--iyBCY [diakses tanggal 06 Oktober 2013]
Joenoes, Z. N. 2002. Ars Prescribendi Jilid 3.Surabaya. Airlangga University Press.
Keperawatan, A. 2011. Absorpsi obat. Tersedia di http://www.artikelkeperawatan.info/ materikuliah-studi-absorbsi-obat-159.html [diakses tanggal 05 Oktober 2013]
Leeson, C.R., T.S. Lesson, dan A.A. Paparo. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Shargel, L and yu, A. B. C. 1988. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya.
Airlangga University Press.
Syukri, S. 2002. KIMIA DASAR 1. Bandung. Penerbit ITB.
Watson, D.G., 2007. Analisis Farmasi. EGC. Jakarta.
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Posting LamaBeranda
SOCIAL PROFILES
Popular
Tags
Blog Archives
GOOGLE+ FOLLOWERS
ARSIP BLOG
2013 (54)
Oktober (2)
Juli (27)
Juni (25)
2012 (10)
BLOG STATISTICS