Você está na página 1de 42

1

REFERAT
MENINGITIS BAKTERIAL

Disusun oleh:
Khulaida Fatila Hayati
102011101055

Dokter Pembimbing:
dr. Eddy Aryo, Sp.S

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSUD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

DAFTAR ISI

Daftar Isi 2
BAB 1 PENDAHULUAN 3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Definisi................ 4
2.2 Etiologi........................................................................................ 10
2.3 Epidemiologi.......... 13
2.4 Cara Penularan 15
2.5 Patofisiologi................................................................................ 16
2.6 Klasifikasi....... 25
2.7 Gejala Klinis................................... 26
2.8 Pemeriksaan Penunjang.............................................................. 28
2.10 Diagnosis .................... 31
2.11 Penatalaksanaan......................................................................... 35
2.12Komplikasi

43

2.14 Prognosis.............. 43
BAB 3 PENUTUP.... 44
Daftar Pustaka................. 46

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi di beberapa tempat.

Bagian SSP yang sering terinfeksi adalah otak sistem saraf pusat sebenarnya tidak
hanya karena adanya mikroorganisme, tetapi lebih diakibatkan oleh proses
inflamasi sebagai respon adanya mikroorganisme tersebut. Penyakit meningitis
dapat terjadi pada semua tingkat usia,namun kalangan usia muda lebih rentan
terserang penyakit ini.

Data dari salah satu rumah sakit di Surabaya pada tahun 2000 hingga
pertengahan tahun 2001 menunjukkan jumlah 31 penderita meningitis. Usia
kurang dari satu tahun 22,6%; usia 1-5 tahun 3,2%; usia 5-15 tahun 6,4%; usia 1525 tahun 32%; usia 25-45 tahun 16,1%; usia 45-65 tahun 16;1%; usia lebih dari
65 tahun 3,2%. Dari 31 penderita tersebut sebanyak delapan orarng (25,8%)
meninggal dunia.

Penelitian potong lintang menggunakan data rekam medis penderita


meningitis yang dirawat di bangsal Neurologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta
dari Januari 1997 - Desember 2005. Penelitian ini mengikutsertakan 273
penderita, yang terdiri dari 81 wanila dan 192 pria, dengan usia antara 12 sampai
78 tahun. Seratuis empat belas penderita meninggal dan 159 hidup. Penurunan
kesadaran, terutama sopor (OR 10.44, p 0.000) dun koma (OR 53.333, p 0.000),
dan adanya himaparesis (OR 2.068, p 0.009) berhubungan dengan keluaran.
Angka kematian meningitis masih tinggi (41.8%). Dari penelitian ini didapatkan
tingkat kesadaran dan heiniparesis berhubungan dengan angka kematian. (Med J
Indones 2006)

Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) dalam


jaringan tubuh. Yang dimaksud dengan kuman adalah bakteri spiroketa,riketsia
,protozoa, metazoan dan virus. Invasi atau penetrasi berarti penembusan,halangan
terbesar kuman adalah epithelium permukaan tubuh luar dan dalam, yang kita
kenal sebagai kulit, konjungtiva, dan mukosa.setelah penetrasi berhasil, kuman
dapat tumbuh dan berbiak tergantung dari kondisi ruang lingkupnya,pada
penderita dengan gizi buruk, hygiene kurang, dan depresi system imun, kuman
yang sudah masuk dapat berbiak dan menyebar.

Proses multiplikasi ini tidak berlalu tanpa pergulatan antara kuman dan
unsur sel dan zat biokimia tubuh

yang dikerahkan untuk mempertahankan

keutuhan tubuh. Aksi kuman dan reaksi tubuh setempat menghasilkan runtuhan
kuman dan unsur-unsur tubuh,yang merupakan racun (toksin) bagi tubuh. Racun
tersebut diserap aliran darah dan menimbulkan keadaan yang disbut sebagai
toksemia. Gejala-gejala yang mencerminkan toksemia itu biasanya terdiri dari
demam, perasaan tidak enak badan,anoreksia, salesma, batuk dan sebagainya,yang
disebut sebagai predorm. Masa antara penetrasi dan mula timbulnya predorm
dikenal sebagai masa inkubasi. Pergulatan antara kuman dan unsure-unsue tubuh
setempat dapat dimenangkan oleh tubuh dan multiplikasi kuman selanjutnya
dapat diberantas sehingga infeksi hanya menimbulkan gejala predorm saja. Infeksi
tersebut dapat berlalu setengah jalan dan dinamakan infeksi abortif. Jika
peperangan dimenangakan pihak kuman, maka kuman-kuman berbiak pesat dan
berusaha masuk ke aliran darah. Keadaan dimana kuman sudah berada di aliran
darah dinamkan septicemia.

Pada tahap bakterimia dan septicemia, kuman disebar ke seluruh tubuh


berikut organ-organya. Setibanya di sebuah organ ia menimbulkan kerusakan
(radang) sehingga timbul disfungsi organ yang bersangkutan. Setelah kuman

berhasil menerobos permukaan tubuh dalam dan luar, ia dapat tiba di susunan
saraf pusat.Kuman yang bersarang di mastoid dapat juga menjalar secara
perkontunitatum,sutura memberikan kesempatan untuk invasi semacam itu.
Sedangakan invasi secara hematogenik merupakan penyebaran ke otak melalui
arteri serebral secara langsung. Penyebaran hematogen tak langsung dapat
dijumpai, misalnya arteri meningel yang terkena radang lebih dahulu, setelah itu
kuman menyebar ke liquor dan invasi ke dalam otak dapat terjadi melalui
penerobosan dari piamater. Hal ini dipermudah pada keadaan septicemia atau
bakterimia dimana sawar darah otak blood brain barier terganggu fungsinya.
Infeksi di sekitar otak jarang disebabkan oleh bakterimia saja, karena jaringan
otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi, kecuali jumlah kuman yang
cukup besar atau sebelumnya telah terjadi nekrosis terlebih dahulu.

Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak ini sangat protektif,
namun ia menghambat penetrasi fagosit antibodi dan antibiotik.lagipula
jaringan otak tidak memiliki fungsi fagosit yang efektif dan tidak mempunyai
lintasan pembuangan limfatik untuk pemberantasan infeksi.(2)

Pembahasan kali menerangkan beberapa macam meningitis menurut causanya :


1. Meningitis Bakteri
2. Meningitis Virus
3. Meningitis Tuberkulosa
4. Meningitis Fungus
Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh
infeksi, adalah Tuberkulosis (TB). TB merupakan ancaman bagi penduduk
Indonesia, pada tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah penderita
baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB
adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan penyakit ini

merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.1
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly
Observed

Treatment

Shortcourse).

World

Health

Organization

(WHO)

merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni :


Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk

dukungan dana).
Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek

dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO).


Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.
Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni

pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 % dibandingkan


pencapaian 20 % pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003, juga penyediaan
obat-obat anti TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana pelayanan
kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di seluruh Indonesia,
TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus
meningkat. Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor,
yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat,
harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes
terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada,
meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi. Meskipun berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa peran serta masyarakat tentunya tidak
akan dicapai hasil yang optimal karena TB tidak hanya masalah kesehatan namun
juga merupakan masalah sosial. Keberhasilan penanggulangan TB sangat
bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu
perlu keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat, kalangan swasta,
organisasi profesi dan organisasi sosial serta LSM, Instalasi Farmasi Rumah Sakit

maupun tempat lain yang melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya


akan obat TB.1
1.2

Rumusan Masalah

1.
2.
3.
4.
5.

Bagaimana anatomi dan fisiologi meningen?


Apa definisi dari meningitis tuberkulosis?
Apa saja etiologi dari meningitis tuberkulosis?
Bagaimana epidemiologi dari meningitis tuberkulosis?
Bagaimana patofisiologi dari meningitis tuberkulosis?

6.

Apa saja manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis?

7.
8.
9.
10.
11.

Apa saja kriteria diagnosis dari meningitis tuberkulosis?


Apa saja pemeriksaan penunjang untuk meningitis tuberkulosis?
Bagaimana pengobatan untuk kasus meningitis tuberkulosis?
Apa saja komplikasi dari meningitis tuberkulosis?
Bagaimana prognosis dari meningitis tuberkulosis?

1.3

Tujuan

1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui bagaimana anatomi dan fisiologi meningen.


Mengetahui apa definisi dari meningitis tuberkulosis.
Mengetahui apa saja etiologi dari meningitis tuberkulosis.
Mengetahui bagaimana epidemiologi dari meningitis tuberkulosis.
Mengetahui bagaimana patofisiologi dari meningitis tuberkulosis.

6.

Mengetahui apa saja manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis.

7.
8.

Mengetahui apa saja kriteria diagnosis dari meningitis tuberkulosis.


Mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang untuk meningitis

tuberkulosis.
9. Mengetahui bagaimana pengobatan untuk kasus meningitis tuberkulosis.
10. Mengetahui apa saja komplikasi dari meningitis tuberkulosis.
11. Mengetahui bagaimana prognosis dari meningitis tuberkulosis.
1.4

Manfaat
Sebagai tambahan literatur mengenai tuberkulosis dan meningitis

tuberkulosis sebagai jenis lain dari manifestasi penyakit tuberkulosi pada anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi dan Fisiologi Meningen


Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang

belakang, melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah dan cairan
sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen
terdiri dari 3 lapisan, yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter. 2

Gambar 2.1. Anatomi Meningen 2

1. Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis. Sifat dari
durameter yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut, dan berwarna abu-abu. Bagian
pemisah dura : falx serebri yang memisahkan kedua hemisfer dibagian
longitudinal dan tentorium yang merupakan lipatan dari dura yang membentuk
jaring- jaring membran yang kuat. Jaring ini mendukung hemisfer dan
memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak (fossa posterir). 2
2. Arakhnoid

10

Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran yang bersifat tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, oleh karena itu disebut arakhnoid.
Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid
terdapat

flexus

khoroid

yang

bertanggung

jawab

memproduksi

cairan

serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai bentuk seperti jari tangan yang
disebut arakhnoid vili, yang mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS
diproduksi 500 cc dan diabsorbsi oleh vili 150 cc. 2
3. Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan, yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.
Piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang
disebut trabekel. Piameter merupakn selaput tipis yang melekat pada permukaan
otak yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-sulkus dan fisura- fisura,
juga melekat pada permukaan batang otak dan medula spinalis, terus ke kaudal
sampai ke ujung medula spinalis setinggi korpus vertebra. 2
2.2

Definisi Meningitis Tuberkulosis

Tuberkulosa yang menyerang SSS, merupakan komplikasi paling serius


pada anak dan mematikan tanpa pengobatan efektif. Meningitis tuberkelosa
biasanya berasal dari pembentukan lesi perkijuan metastatik didalam korteks
serebri atau meningen yang berkembang selama penyebaran limfohematogen
infeksi primer. Kadang-kadang focus tuberculosis dapat mengeluarkan masa kiju
ke dalam liquor serebrospinalis sehingga terjadi meningitis. Kadang-kadang focus
perekijuan mempunyai kapsul dan tetap tenang, disebut tuberkeloma. Apabila ada
trauma atau infeksi seperti morbili, maka focus ini dapat menjadi aktif dan masa
kiju dapat masuk ke liquor serebrospinal.(5) Hasilnya berupa eksudat gelatin yang

11

dapat menginfiltrasi pembuluh darh kortikomeningeal, menimbulkan radang,


obstruksi, dan selanjutnya infark korteks serebri.
Batang otak sering merupakan tempat ketrlibatan paling besar yang
menjelaskan seringnya keterkaitan disfungsi saraf III,VI, dan VII. Eksudat juga
mengganggu aliran normal CSS kedalam dan keluar system ventrikel pada
setinggi sisterna basilaris, menimbulkan hidrosefalus komunikan. Kombinasi
vaskulitis, edem otak, dan hidrosefalus dapat menyebabkan cedera berat yang
dapat terjadi secara perlahan-lahan atau cepat.
Meningitis tuberkelosa menyerang sekitar 0,3 % infeksi primer yang tidak
diobati pada anak. Meningitis ini paling sering pada anak umur 6 bulan -4 tahun.
Kadang-kadang meningitis tuberkelosa dapat terjadi beberapa tahun setelah
infeksi primer. Bila robekan satu atau lebih tuberkel subepindemal mengeluarkan
basil tuberkel kedalam ruang suarachnoid. Pemburukan klinis yang cepat lebih
sering terjadi pada bayi dan anak muda, yang dapat mengalami gejala hanya untuk
beberapa hari sebelum terjadinya hidrosefalus akut, kejang-kejang dan edem
otak.Tanda-tanda yang lebih sering yaitu pemburukan klinis yang terjadi perlahanlahan yang dapat berlangsung selama beberapa minggu dan dapat dibagi menjadi
3 stadium:
Stadium pertama, secara khas berakhir 1-2 minggu, ditandai oleh gejalagejala nonspesifik, seperti demam, nyeri kepala, iritabilitas, mengantuk dan
malaise.Tanda-tanda neurologist setempat tidak ada, tetapi bayi dapat mengalami
stagnasi dan kehilangan perkembangan kejadian yang penting.
Stadium kedua,biasanya mulai lebih mendadak, tanda-tanda yang lebih
sering adalah lesu, kaku kuduk dan kejang-kejang, tanda kernig dan Brudzinski
positif, hipertoni, kelumpuhan saraf cranial, muntah, dan tanda-tanda neurologist
setempat lainnya. Percepatan penyakit klinis biasanya berkorelasi dengan
perkembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan intrakranil,dan vaskulitis.
Beberapa anak tidak mempunyai bukti adanya iritasi meningel, tetapi dapat

12

mempunyai gejala-gejala dan tanda encephalitis seperti disorientasi, gangguan


gerakan, atau gangguan bicara.
Stadium ketiga,ditandai dengan koma, hemiplegi atau paraplegi,
hipertensi, sikap deserbasi, kemunduran tanda-tanda vital dan akhirnya kematian.
Berbagai penyakit dapat menyerang susunan saraf pusat. Salah satunya
adalah peradangan pada selaput otak, yang sering disebut meningitis. Meningitis
merupakan penyakit susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua orang.
Bayi, anak-anak, dan dewasa muda merupakan golongan usia yang mempunyai
resiko tinggi untuk terkena meningitis. 3
Pengetahuan yang benar mengenai meningitis tuberkulosis dapat
membantu untuk mengurangi angka kematian penderita akibat meningitis,
mengingat bahwa insiden kematian akibat meningitis masih cukup tinggi. 4
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru-paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. 3
2.3

Etiologi Meningitis Tuberkulosis


Mycobacterium

tuberkulosis

merupakan

bakteri

berbentuk

batang

pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3m mempunyai sifat tahan asam, dapat
hidup

selama

berminggu-minggu

dalam

keadaan

kering,

serta

lambat

bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis
bakteri yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain
Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan
tuberkulosis

adalah

Mycobacterium

Mycobacterium microti. 4

bovis,

Mycobacterium

africanum,

13

Gambar 2.2. Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis 4

2.4

Epidemiologi Meningitis Tuberkulosis


Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam

tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya


sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa
meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus
tuberkulosis. 5
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak

14

diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%.


Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali
normal secara neurologis dan intelektual. 6
2.5

Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran

tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak
ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat
menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan
beberapa fokus metastase yang biasanya tenang. 7
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun
1951. Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di
otak, selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara
hematogen selama masa inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan
tuberkulosis kronik walaupun jarang. 6 Bila penyebaran hematogen terjadi dalam
jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer
seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu
pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala. 6
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi
radang yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang
menyeluruh akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis
tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif

15

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan


massa fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomening ini ditandai dengan
adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis otak. Secara
mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan.
Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis
yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena
adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa
buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial
VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
6,7

2. Vaskulitis
Vaskulitis yang terjadi disertai dengan dengan trombosis dan infark
pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau
berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi

dan

selanjutnya

infark

serebri.

Kelainan

inilah

yang

meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark


terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna,
maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi
quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan
adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis
perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel
yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima
berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan

16

perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior
serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat
mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis
tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin. 6,7
3. Hidrosefalus Komunikans
Hidrosefalus komunikans terjadi akibat perluasan inflamasi ke
sisterna basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis. 6,7
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla
spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.

Gambaran

patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:


1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis.
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks.
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid.
4. Meningitis proliferatif.
Terlokalisasi, pada selaput otak.
Difus dengan gambaran tidak jelas.
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan
pada setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon
pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor
yang mempengaruhi. 6,7
Patogenesis terjadinya meningitis tuberkulosis secara skematis, dapat
diamati sebagai berikut:

17

BTA masuk tubuh

Tersering melalui inhalasi


Jarang pada kulit, saluran cerna

Multiplikasi

Infeksi paru / fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

BTA tidak aktif / dormain

Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS TUBERKULOSA

18

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti


dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis
bagian atas. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian
tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena
meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di
dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga
menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak),
edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum
terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal,
kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada
sindromWaterhouse-Friderichssen)

sebagai

akibat

terjadinya

kerusakan

endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.


Meningitis Tuberkulosa timbul sebagai akibat invasi kuman ke
jaringan sel otak (meningen). Penyebaran kuman ke otak melalui penjalaran
hematogen pada saat terjadinya Tuberkulosa millier. Meningitis tuberkulosa
merupakan akibat komplikasi penyebaran tuberculosis primer, biasanya dari
paru. Terjadinya mengitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak
langsung oleh penyebaran hematogen,melainkan biasanya sekunder melalui
pembentuklan tuberkel pada permukaan otak, sum-sum tulang belakang atau
vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga arakhnoid.
Pada

pemeriksaan

histologis,

merupakan

meningoensefalitis.Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak,


terutama pada batang otak tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat

19

yang serofibrinosa dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna


basalis dan mengakibatkan hidrosefalus serta kelainan pada syaraf otak.
Oleh karena itu seseorang yang telah mendapat vaksinasi BCG
sewaktu masih anak-anak, masih mungkin menderita Meningitis Tuberkulosa
apabila sebelum vaksinasi telah terkena infeksi oleh bakteri mycobakterium
tuberkulosa. Kuman yang tersangkut didaerah subarachnoid ini terus hidup
dan berkembang biak. Tetapi dengan adanya imunitas tubuh kuman terkurung
didaerah tuberkel, apabila oelh suatu sebab daya tahan tubuh menurun fokus
ini melebar dan pecah ke dalam rongga subarachnoid.
Disamping fokus rich pecah dapat timbul pada saat tuberkulose paru
sudah menghilang atau memang lesinya sangat kecil, sehingga tidak tampak
pada pemeriksaan radiologik.
Meningitis Tuberkulosa yang timbul akibat pecahnya fokus rick
biasanya timbul secara akut, bahkan kadang-kadang dengan cepat klien jatuh
ke stadium terminal. Hal ini disebabkan oleh karena dngan pecahnya fokus
rich, sejumlah besar kuman dari tuberkel dalam waktu yang singkat tertuang
ke dalam rongga subarachnoid.

2.6

Manifestasi Klinis Meningitis Tuberkulosis

20

Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dapat


dikelompokkan dalam tiga stadium, yaitu:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal berlangsung 1 - 3 minggu.
Biasanya gejalanya tidak khas.
Timbul perlahan-lahan.
Tanpa kelainan neurologis.
Gejala yang biasa muncul:
o Demam (tidak terlalu tinggi).
o Rasa lemah.
o Nafsu makan menurun (anorexia).
o Nyeri perut.
o Sakit kepala.
o Tidur terganggu.
o Mual.
o Muntah.
o Konstipasi.
o Apatis.
o Irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun-ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan, sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan
suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin

21

saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum
dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I
akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai
oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung
serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali
pada bayi.

Gambar 2.3. Kaku kuduk pada penderita meningitis

Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu)


di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat
yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan
hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di
koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla
spinalis.

Hemiparesis

yang

timbul

disebabkan

karena

infark/

iskemia,

quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat.

22

Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang
lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin
menurun.

Gejala yang dapat muncul, yaitu antara lain:


Akibat rangsang meningen sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama).
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak, antara lain:
o disorientasi
o bingung
o kejang
o tremor
o hemibalismus / hemikorea
o hemiparesis / quadriparesis
o penurunan kesadaran
o Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial: saraf kranial
yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
- strabismus
- diplopia
- ptosis
- reaksi pupil lambat
- gangguan penglihatan kabur

3. Stadium III (koma / fase paralitik)


Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu. Pada
stadium ini gangguan fungsi otak semakin tampak jelas. Hal ini terjadi akibat
infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang
mengalami organisasi. Gejala-gejala yang dapat timbul, antara lain:
pernapasan irregular
demam tinggi
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun
irritable dan apatik
mengantuk
stupor
koma
otot ekstensor menjadi kaku dan spasme

23

opistotonus
pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali
nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
hiperpireksia
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu

dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu
sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung
selama 1 minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. 6,7,8
2.7

Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosis


Diagnosis pasien ditegakan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pasien anak laki-laki berusia 3 tahun datang dengan


keluhan yang darurat yaitu kejang bersamaan dengan demam. Demamnya tidak
begitu tinggi, naik turun secara perlahan dengan pemberian obat. Melalui
anamnesa, pasien selama dirumah Pasien kejang sudah 5 kali, semuanya diawali
pada saat demam. Pasien batuk-pilek dan mencret-mencret. Karena kejangnya
berulang orang tua pasien membawanya ke RS.
Sampai di RS, pasien mengalami kejang seluruh badan lebih dari 30
menit, dan baru berhenti setelah diberikan fenitoin bolus dan stesolid IM. Setelah
itu pasien tidak sadar dan masuk ke dalam masa kritis. Perburukan yang dialami
pasien ini hanya dalam waktu <24 jam. dari kronologis perjalanan penyakitnya,
pasien ini dikategorikan kedalam meningitis akut,dan biasanya disebabkan oleh
infeksi bakteri, namun penyebab lain seperti virus belum dapat disingkirkan
mengingat riwayat pasien yang tidak pernah mendapat imunisasi. Dugaan
meningitis tuberkulosas juga harus dipikirkan, sehingga untuk memperkuat
diagnosa, dilakukan pemeriksaan penunjang.

24

Dari pemeriksaan hematology dapat dilihat adanya leukositosis dengan


angka yang sangat tinggi, dan pergeseran kekiri yang menunjukan adanya infeksi
akut, dengan lebih banyak jumlah polimorfonuklear dibanding dengan
mononuclear.Pemeriksaan penunjang yang terpenting yaitu Lumbal Pungsi,
namun ini tidak dilakukan karena tidak didapatkan izin dari orang tua pasien.
Namun dari klinis didapatkan kecurigaan pasien adalah suspek meningitis dan
memerlukan perawatan intensif dan segera.

Pencegahan penyakit ini yaitu dengan pemberian vaksin. Beberapa


vaksin,baik untuk bakteri maupun virus telah ditemukan dan telah banyak
mengurangi angka morbiditas meningitis.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini malam, karena penyakit ini selalu
ada kemungkinan kearah perburukan, dan dapat mengancam jiwa penderita.
Prognosis ad functionam pasien ini malam, karena kemungkinan akan
meninggalkan gejala sisa yang sifatnya permanent. Prognosis ad sanationam
pasien ini malam, karena masih ada peluang untuk kambuh lagi jika imunitas
pasien menurun, dan terdapatnya factor-faktor yang meningkatkan transmisi agen
penyebab.
Meningitis tuberkelosa mungkin sukar pada permulaan perjalananya yang
memerlukan tingkat kecurigaan yang tinggi pada pihak klinis. Uji kulit tuberculin
yang tidak reaktif pada 50% kasus, dan 20-50% anak mempunyai radiografi dada
yang normal. Uji laboratorium yang paling penting untuk mendiagnosa meningitis
tuberkelosa adalah pemeriksaan dan biakan CSS lumbal. Angka leukosit biasanya
berkisar 10-500sel/m. leukosit polimofonuklear mungkin ada pada mulanya,
tetapi limfosit dominant pada sebagian kasus. Glukosa CSS khas <40 mg/dl, tetapi
jarang dibawah 20mg/dl,. Kadar protein naik dan mungkin sangat tinggi (4005000 mg/dl)akibat hidrosefalus dan blockade spinal. Keberhasilan pemerikasaan

25

mikroskop CSS yang diwarnai tahan asam dan biakan mikrobakterium terkait
secara langsung dengan ukuran sample CSS. Pemeriksaan atau biakan sejumlah
kecil CSS tidak mungkin memperlihatkan M Tubercelosa. Jika 5-10 ml CSS
lumbal dapat diambil, pewarnaan tahan asam sediment CSS positif sampai 30 %
kasus dan biakan positif pada 50-70% kasus. Biakan cairan lain seperti aspirat
lambung dan urin dapat membantu memperkuat diagnosis.
Pemeriksaan

radiogradi

dapat

membantu

dalam

mendiagnosa

meningitistuberkulosa, CT scan dan MRI otak penderita meningitis mungkin


normal pada stadium awal penyakit. Ketika penyakit memburuk, pembesaran
basiler dan hidrosefalus komunikan dengan tanda-tanda edem otak atau iskemia
setempat awal merupakan penemuan yang paling sering. Beberapa anak kecil
dengan meningitis tuberkelosa dapat mempunyai satu atau beberapa tuberkeloma
yang tenang secara klinis, yang terjadi pada korteks serebri atau daerah thalamus.
Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat kejang atau penurunan
kesadaran (tergantung stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien
tuberkulosis (baik yang menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya
gambaran klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium
meningitis tuberkulosis). Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat
menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus,
muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar
menonjol (pada 33,3% kasus).9
Dari pemeriksaan fisik dilihat berdasarkan stadium penyakit. Tanda
rangsang meningen seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak
berusia kurang dari 2 tahun. 9
Tabel 2.1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan TB

26

Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada
anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling
bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada anak
dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi hingga
saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian
uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi. 9
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :

27

1. Pembengkakan (indurasi)
: 0-4 mm uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosa.
2. Pembengkakan (indurasi)
: 3-9 mm uji mantoux meragukan.
Arti klinis : hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
Mycobacterium atypic atau setelah vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (indurasi)
: 10 mm uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosa.
Bila dalam penyuntikan vaksin BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari)
berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.
Dari pemeriksaan laboratorium biasa disapatkan anemia ringan dan
peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Pada pemeriksaan cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis
(dengan cara pungsi lumbal) didapatkan:
Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batangbatang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah

berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.


Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan
limfosit

sama

banyak

jumlahnya,

atau

kadang-kadang

sel

polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang

kadang, jumlah sel pada fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.
Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm 3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan
pada permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang

menunjukkan tingginya kadar fibrinogen.


Kadar glukosa: biasanya menurun (liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis

adalah 60% dari kadar glukosa darah.


Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman.
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi
lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa
menunggu hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.

28

Dari pemeriksaan radiologi:

Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.

Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan

kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di

daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.


Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis tuberkulosis
adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya
penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di
daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai
dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini.
Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya
di daerah korteks serebri atau talamus.

2.8

Pemeriksaan Penunjang Meningitis Tuberkulosis

Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:


Darah lengkap
Uji tuberculin
Radiologi
Pungsi cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan
cara pungsi lumbal)

Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat


penting dalam menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak
perlu dilakukan bila penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik
terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke
dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah
lumbal (tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal.
Dalam pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan
meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan
protein akan terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat
ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran

29

yang khas yang disebut dengan pelikel , yakni hasil dari tingginya konsentrasi
fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. Tekanan pembuka
pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, pada meningitis
TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi
nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4

2.9

Pengobatan Meningitis Tuberkulosis


Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk

kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis.
dengan konsep baku tuberkulosis yakni:

6,7,8,9

Terapi diberikan sesuai

30

Tata laksana pada penderita meningitis, yaitu dengan:a. pemberien


antibiotic, walaupun belum diketahui Kausanya. b. Atasi adanya peningkatan
Tekanan Intracranial. c. Pengobatan simtomatis. 1. Menghentikan kejang:
dengan Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal
suppositoria. Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis. 2. Menurunkan
panas: Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10
mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari, Kompres air hangat/biasa dan
Pengobatan suportif: Cairan intravena dan Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O 2
berkisar antara 30-50%.
Bila penderita tidak sadar lama: Beri makanan melalui sonde, cegah
dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita sesering
mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam, Cegah kekeringan kornea
dengan boorwater/salep antibiotika, Bila mengalami inkontinensia urin lakukan
pemasangan kateter, Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement,
Pemantauan ketat:Tekanan darah,Pernafasan,Nadi,Produksi air kemih, Faal
hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC.
Dan setelah pasien membaik dan mulai sadar, dilakukan fisioterapi dan
rehabilitasi, karena angka kecacatan pada penderita meningitis sangat tinggi. Bila
pasien mengalami hipertoni otot, maka akan mempunyai resiko kontraktur,
diperlukan edukasi dan kerjasama yang baik antara orang tua dengan dokter.
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Terapi
dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin hingga
12 bulan.
Terapi untuk meningitis terbagi menjadi terapi umum dan terapi khusus,
yaitu:

Terapi Umum
Istirahat mutlak, bila perlu diberikan perawatan intensif

31

Pemberian gizi tinggi kalori tinggi protein


Posisi penderita dijaga agar tidak terjadi dekubitus.
Keseimbangan cairan tubuh
Perawatan kandung kemih dan defekasi
Mengatasi gejala demam, kejang.

Terapi Khusus
a. Penatalaksanaan meningitis serosa meliputi:
Rejimen terapi : 2RHZE - 7RH
Untuk 2 bulan pertama.
INH
: 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin
: 1 x 600 mg/hari, oral
Pirazinamid : 15-30 mg/kgBB/hari, oral
Etambutol
:15-20 mg/kgBB/hari, oral
Untuk 7-12 bulan selanjutnya.
INH
: 1 x 400 mg/hari, oral
Rifampisin
: 1 x 600 mg/hari, oral
Steroid, diberikan untuk :
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edem cerebri
Mencegah perlengketan arachnoid dan otak
Mencegah arteritis/ infark otak
Indikasi :
Kesadaran menurun
Defisit neurologi fokal
Dosis : Dosis Dexametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4-5 mg
intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1
bulan.
b. Penatalaksanaan meningitis Purulenta
Pemberian antibiotika harus cepat dan tepat sesuai dengan bakteri
penyebabnya dan dalam dosis yang cukup tinggi. Sambil menunggu hasil
biakan sebaiknya diberikan antibiotika dengan spektrum luas. Antibiotika
diberikan selama 10-14 hari atau sekurang-kurangnya 7 hari setelah bebas

demam.
Penisilin G dosis 1-2 juta unit setiap 2 jam untuk infeksi Pneumococcus,

Streptococcus, Meningiococcus.
Kloramphenicol dosis 4 x 1 g/hari atau ampisilin 4 x 3 g/hari untuk infeksi
Haemophilus.

32

Gentamisin untuk infeksi E.coli. Klebsiella, Proteus, dan kuman-kuman


gram negatif.

Karakteristik Obat
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis
harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg
/ hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid
terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.7
Rifampisin

33

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki


semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan
dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis
satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/
kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan
warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye
kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300
mg, dan 450 mg.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500 mg. 7
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk

34

membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam


pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,
maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g /ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan
pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran
janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. 7
Steroid
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah
itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu
sesuai dengan lamanya pemberian regimen.
Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus tirah baring total.
Steroid diberikan untuk:
Menghambat reaksi inflamasi
Mencegah komplikasi infeksi
Menurunkan edema serebri
Mencegah perlekatan
Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :

Kesadaran menurun
Defisit neurologist fokal

35

Ethambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25
gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis
optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI
menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari
tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10
tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan
dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan. 7
Tabel 2.2. Efek samping ringan obat dan penatalaksanaannya.

Tabel 2.3. Efek samping berat obat dan penatalaksanaanya.

36

37

38

2.10

Komplikasi Meningitis Tuberkulosis


Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah

gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,
paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa
kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan
spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan.
Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau
oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien
yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang
berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental
subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh.
Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan
hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi
ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin. 6
2.11

Prognosis Meningitis Tuberkulosis


Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien

didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk


prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya. 6

39

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Tuberkulosis yang menyerang SSP (sistem saraf pusat)
ditemukan dalam tiga bentuk yaitu meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis
spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus
terbanyak adalah meningitis tuberkulosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, dan hampir
tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula
terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen
selama infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi pada TB
kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis terjadi akibat
terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permulaan di otak)
akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang subarakhnoid.
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk
kemoterapi yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan
tekanan intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada
kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis. Komplikasi yang paling
menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele).
Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan

40

sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus,
ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya.
3.2 Saran
Saran yang diberikan dalam makalah ini terkait dengan kasus adalah:
Pemberian pengobatan antituberkulosis dapat diberikan secara teratur dan
tanpa terputus untuk menghilangkan bakteri-bakteri penyebabnya.
Selalu memperhatikan adanya efek samping obat yang diberikan, dan
meminimalisir keadaan yang dapat memperoarah kondisi efek samping
obat tersebut.
Pemberian steroid harus diperhitungkan pada anak-anak, dalam indikasi
tertentu yang diperbolehkan baru bisa diberikan.
Gejala sisa dari meningitis harus dapat diminimalisir dengan pemberian
terapi OAT yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran
Edisi ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : 2000. h.11
2. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in :
www.emedicine.com

41

3. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial


Meningitis. Clinical Infectious Disease. Infectious Disease Society of
America. Phyladelpia. 2004.
4. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine.
2009. available in : www.medscapeemedicine.com/meningitis.
5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag.
Philladelphia, Pennsylvania. 2006.
6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD
Chalenge 2001.
7. Anonyme. Meningitis. 2010. Available in : www.wikipedia.com
8. Van de beek, D. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with
Bacterial Meningitis. NEJM.2004.
9. Scheld, M. Infection of the Central Nervous System third edition.
Lippincot William and Wilkins. 2004.h.443.Rahajoe N, Basir D, Makmuri,
Kartasasmita CB. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Unit Kerja
Pulmonologi PP IDAI. Jakarta. P. 54-56.
10. Koppel BS. 2009. Bacterial, Fungal, and Parasitic Infections of the
Nervous System in Current Diagnosis and Treatment Neurology. USA;
The McGraw-Hill Companies. p403-408, p421-423.
11. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika.
2008. Infeksi Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda
Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. p. 221-229.
12. Amin, Z., Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

42

13. Kemenkes RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB).


Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

364/Menkes/SK/V/2009.
14. Depkes RI. 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Gerakan
Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
15. Depkes RI. 2009. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
16. Scheld, M. 2009. Infection of the Central Nervous System third edition.
Lippincot William and Wilkins. p. 443.
17. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. 2008. Clinical Tuberculosis 2th
edition. IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. p. 160.
18. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak,Infeksi System Saraf Sentral edisi 15, EGC,
Jakarta 2000.
19. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, cetakan ke-6,
Dian Rakyat, Jakarta
20. Meningitis. Dr. ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian
BedahUniversitas Sumatera Utara.
21. Darto SaharsoDivisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
22. Meningitis

Kronik.

Available

from:

http://medicastore.com/penyakit/335/Meningitis_Kronis.html. visited at
August, 8th 2009.

Você também pode gostar