Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
Pendahuluan
Laporan keuangan merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban perusahaan
kepada stakeholders atas perolehan dan penggunaan sumber daya dalam aktivitas
operasionalnya. Setiap perusahaan yang terdaftar dalam PT Bursa Efek Indonesia (BEI)
tentu ingin memiliki laporan keuangan dalam kondisi yang terbaik sehingga publik
dapat menilai dan mempercayai perusahaan sebagai objek investasi saham yang
menguntungkan. Berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) No. KEP-134/BL/2006, setiap perusahaan publik
atau emiten yang terdaftar di BEI diwajibkan untuk mempublikasikan laporan keuangan
tahunan. Hal ini menjadi motivasi dan dorongan bagi manajemen untuk berusaha secara
maksimal dalam menjalankan aktivitas operasional perusahaan agar hasil yang
dilaporkan pada akhir periode tahun buku dapat memberikan gambaran bahwa
perusahaan dalam kondisi yang sehat. Namun di sisi lain, peraturan ini justru menjadi
motivasi dan dorongan bagi manajemen untuk melakukan fraud melalui manipulasi
laporan keuangan. Akibatnya laporan keuangan menjadi kurang handal karena
informasi yang disajikan tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya dan
menjadi tidak relevan bagi pihak yang menggunakannya sebagai dasar pengambilan
keputusan karena intepretasi yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan tidak boleh ada kepentingan salah satu pihak karena
akan merugikan pihak yang lain. Untuk itu informasi dalam laporan keuangan harus
diarahkan untuk kepentingan umum dari berbagai pihak.
Kasus terkait dengan fraud dalam laporan keuangan marak terjadi pada awal tahun
2000. Enron merupakan contoh perusahaan yang melakukan manipulasi laporan
keuangan dengan tidak melaporkan hutangnya agar laba terlihat besar pada saat
diumumkan. Padahal laba yang terlihat besar belum tentu menjamin ketahanan dari laba
itu sendiri karena sesungguhnya menurut Yulianti (2005) laba yang berkualitas adalah
laba yang mencerminkan laba yang berkelanjutan (sustainable earnings) di masa depan.
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia salah satu diantaranya terjadi pada PT Kimia
Farma. Perusahaan farmasi tersebut terbukti melakukan kesalahan penyajian laporan
keuangan yang mengakibatkan penggelembungan laba pada akhir tahun buku 2001
(Bapepam, 2002).
2
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
Martin et al. (2002) menjelaskan bahwa sebagian besar fraud yang terjadi turut
melibatkan top management. Tone at the top merupakan salah satu tindakan kecurangan
yang dilakukan dari atasan (Institute of Internal Auditor, 2003). Adanya tekanan dari
tingkatan manajerial dapat menyebabkan bawahan berbuat tidak sesuai dengan aturan
yang ada. Fraud dalam laporan keuangan biasanya diawali dengan salah saji atau
manajemen laba dari laporan keuangan kuartal yang dianggap tidak material tetapi pada
akhirnya berkembang menjadi kecurangan secara besar-besaran dan menghasilkan
laporan keuangan tahunan yang menyesatkan secara material (Rezaee, 2005). Menurut
Healy and Wahlens (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan baik untuk
menyesatkan interpretasi beberapa stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau
untuk mempengaruhi kontrak yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang
dilaporkan pada laporan keuangan.
Fraud memiliki objektif yang sama dengan manajemen laba yaitu memanipulasi
laporan keuangan tetapi memiliki definisi yang berbeda. Fraud berada di luar lingkup
GAAP sementara manajemen laba berada dalam ruang lingkup GAAP (Erickson et al.
2006). Ini artinya perusahaan dapat melakukan manipulasi laporan keuangan dengan
menggunakan praktik akuntansi baik di dalam ataupun di luar lingkup peraturan
akuntansi yang ada. Fraud merupakan tindakan ekstrem dari manajemen laba. Menurut
Ratnaningdyah (2012) manajemen laba memanfaatkan kelemahan inheren dari
kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi, Tindakan
ini masih dapat dikategorikan legal sementara bila dilakukan diluar standar akuntansi
yang ada maka tindakan tersebut dapat dikategorikan pelanggaran.
Dechow et al. (1996) memberikan bukti bahwa perusahaan memilih melakukan fraud
dalam pelaporan keuangan ketika mereka memiliki kesempatan untuk melakukan
manajemen laba dengan tujuan agar kinerja mereka terlihat sukses di depan para
pemegang saham. Dari penelitian tersebut terlihat adanya relasi positif antara
manajemen laba dengan tindakan fraud. Perols dan Barbara (2011) melakukan
penelitian senada dengan memproksikan manajemen laba menggunakan aggregated
prior discretionary accruals, analyst forecast dan unexpected revenue per employee.
Dalam penelitian ditemukan bahwa perusahaan yang melakukan fraud terasosiasi
dengan ketiga variabel manajemen laba.
3
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai hubungan manajemen laba
dengan fraud dalam laporan keuangan pada perusahaan yang terdaftar di BEI. Penelitian
ini merujuk pada penelitian Perols dan Barbara (2011) sebagai referensi utama dengan
mengganti salah satu variabel independennya, yaitu analyst forecast menjadi abnormal
book-tax difference (ABTD) dengan mengacu pada penelitian Tang dan Firth (2011).
Selain ABTD, manajemen laba akan diproksikan dengan aggregated prior
discretionary accrual dan unexpected revenue per employee. Sementara untuk fraud
dalam laporan keuangan diproksikan dengan perusahaan yang pernah terkena sanksi
Bapepam akibat pelanggaran terkait dengan penyajian laporan keuangan. Periode
pengamatan juga akan diperpanjang dari tahun 2002 hingga 2012 agar didapatkan
sampel perusahaan yang lebih banyak.
Tinjauan Teoritis
I. Manajemen Laba
Pada dasarnya manajemen laba memiliki arti yang serupa yaitu suatu upaya dari
manajemen perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi
dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008). Namun lain halnya
dengan Ronen dan Yaari (2008) dalam Permatasari (2011) yang memberikan definisi
4
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
alternatif dengan membedakan manajemen laba ke dalam tiga area, yaitu putih, abu-abu
dan hitam.
Burgstahler and Eames (2006) menyebutkan bahwa manajer memiliki insentif untuk
memanipulasi laporan keuangan ketika mengetahui bahwa ternyata hasilnya tidak sesuai
dengan prediksi yang diberikan oleh analis. Pemanipulasian ini bertujuan agar laporan
keuangan perusahaan tampak menjadi lebih baik. Menurut Healy dan Wahlen (1999)
ada tiga motivasi bagi manajer untuk melakukan manajemen laba yaitu motivasi pasar
modal, motivasi kontraktual dan motivasi regulasi. Dalam motivasi pasar modal,
manajer perusahaan merekayasa informasi agar laporan keuangan yang disajikan
mampu menarik minat investor untuk merespon penawaran perusahaan secara positif.
Motivasi kontraktual muncul karena adanya perjanjian manajer dengan pihak lain yang
berdasar pada kompensasi manajerial dan perjanjian utang. Motivasi regulasi timbul
karena manajer berperilaku oportunis dengan memanfaatkan kelemahan akuntansi yang
menggunakan estimasi akrual dan mencari celah dari peraturan pemerintah yang ada.
Terdapat berbagai teknik dalam melakukan manajemen laba. Secara spesifik Arthur
Levvit (1998) mengemukakan lima teknik manajemen laba, yaitu Taking a bath,
Creative acquisition accounting, Cookie jar reserves, Abusing the materiality concept,
Improper revenue recognition
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari manipulasi laporan keuangan adalah
melaporkan pendapatan yang besar sehingga publik dapat menilai bahwa perusahaan
dalam keadaan yang sehat dan menguntungkan sebagai objek investasi. Perusahaan
yang sudah terbiasa melakukan pengelolaan laba kemungkinan memiliki pendapatan
yang besar dengan tindakan fraud. Maka dari itu diperlukan analisis dan identifikasi
hubungan yang tidak lazim terkait dengan akun pendapatan, salah satunya hubungan
antara pendapatan dan produktivitas karyawan. Sales to asset, yang biasa digunakan
sebagai ukuran produktivitas, lebih dominan menggambarkan perubahan aset daripada
pendapatan sehingga dikembangkanlah ukuran lain oleh Perrols dan Barbara (2011)
berdasarkan produktivitas tenaga kerja yaitu unexpected revenue per employee untuk
mendeteksi fraud yang berdampak langsung terhadap pendapatan, terutama pendapatan
yang menggelembung.
II. Fraud
Fraud atau kecurangan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat
dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal organisasi dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan pribadi atau suatu kelompok dengan merugikan pihak lainnya
(ACFE, 2012). ACFE mengelompokkan kecurangan dalam tiga jenis, yaitu
penyalahangunaan aset, korupsi dan kecurangan dalam laporan keuangan. Secara
6
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
spesifik Rezaee (2005) mendefinisikan fraud dalam laporan keuangan sebagai upaya
yang disengaja oleh perusahaan untuk menipu atau menyesatkan pengguna laporan
keuangan, terutama investor dan kreditor, dengan menyusun dan mempublikasikan
laporan keuangan yang memililki salah saji material. Di Indonesia, kecurangan dalam
laporan keuangan dibahas pada SPAP SA Seksi 316 dan Pernyataan Standard Auditing
(PSA) No.70. Dalam standar audit tersebut dikatakan bahwa salah saji yang timbul dari
kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara
sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai
laporan keuangan.
Dalam penelitian Cressey (1953) dijelaskan bahwa faktor tekanan, peluang dan
rasionalisasi selalu hadir dalam tindakan fraud. Konsep ini kita kenal dengan Fraud
Triangle. Konsep Fraud Triangle telah digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu
seperti Lou and Wang (2009) dan Skousen et al. (2009) untuk mendeteksi adanya fraud
dalam laporan keuangan dengan mengacu pada beberapa faktor yang tercantum dalam
Standard Auditing Statement No.99. Faktor peluang identik dengan tindakan
oportunistik manajemen untuk melakukan manajemen laba dalam rangka memanipulasi
laporan keuangan agar sesuai dengan kepentingan manajer atau perusahaan.
Beneish (1997) menemukan adanya hubungan positif antara fraud dan akrual pada satu
tahun sebelum terjadinya fraud. Lee et al. (1999) juga menemukan hal serupa, yaitu
adanya hubungan positif antara fraud dan akrual pada satu tahun sebelum fraud sampai
satu tahun sesudah fraud terjadi. Sementara Jones et al. (2008) mengungkapakan
penemuan senada dengan Beneish. Ini artinya fraud dapat dideteksi melalui manajemen
laba pada tahun sebelum terjadinya fraud. Hal ini didukung dengan pembuktian
7
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
Dechow (1996) yang berpendapat bahwa perusahaan yang melakukan fraud memiliki
discretionary accruals, yaitu komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai
dengan kebijakan manajerial, yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak
melakukan fraud pada periode tiga tahun sebelum terjadinya fraud.
H1
terindikasi fraud memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan fraud pada
laporan keuangan.
Ettredge et al. (2008) meneliti tentang hubungan antara fraud dengan DTE (Deferred
Tax Expense) atau BTD (Book Tax Differences). Hasilnya menunjukkan adanya
hubungan DTE dengan fraud pada tahun saat terjadinya kecurangan sementara BTD
tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Ratnaningdyah (2012)
melakukan penelitian serupa dengan Ettredge et al. (2008) namun hanya menguji
perbedaan DTE dan BTD antara fraud firm dengan non-fraud firm. Hasil yang
didapatkan tidak signifikan dikarenakan keterbatasan sampel perusahaan dan pendeknya
periode pengamatan.
Phillips et al. (2003) menemukan bahwa DTE dan akrual secara signifikan dapat
mendeteksi manajemen laba yang dilakukan perusahaan untuk mencapai dua tujuan
pelaporan yaitu menghindari penurunan laba dan menghindari pelaporan kerugian laba.
Yulianti (2005) meneliti hal serupa di Indonesia dan mendapat hasil yang konsisten
dengan Phillips et al. (2003) yaitu DTE dan akrual memiliki pengaruh positif dan
signifikan namun hanya mampu mendeteksi manajemen laba untuk menghindari
kerugian. Selain itu Yulianti (2005) juga menemukan bahwa beberapa faktor penyebab
manajemen laba dapat menjelaskan variasi dalam ketiga model akrual (total akrual,
modified Jones dan forward looking) secara signifikan, tetapi tidak dapat menjelaskan
variabel DTE. Akibatnya DTE masih diragukan kehandalannya untuk dijadikan sebagai
proksi dari manajemen laba.
Sementara penelitian lain terkait BTD dilakukan oleh Tang dan Firth (2011) dengan
membagi BTD menjadi dua komponen yaitu normal dan abnormal. Komponen
abnormal BTD terbukti dapat mendeteksi adanya manajemen laba karena mengandung
unsur oportunistik manajemen. Maka dari itu pada penelitian ini akan digunakan
8
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
variabel ABTD sebagai proksi manajemen laba dalam mendeteksi fraud dalam laporan
keuangan. Maka hipotesis yang diajukan adalah:
H 2 Perusahaan yang melakukan penghindaran pajak memiliki kemungkinan
lebih besar untuk melakukan fraud pada laporan keuangan.
Tingkat perubahan pendapatan yang tidak biasa dapat menjadi indikasi adanya fraud
dalam akun pendapatan. Namun unadjusted revenue atau pendapatan murni perusahaan
yang terbawa dari tahun ke tahun menjadi ukuran yang kurang valid dalam mendeteksi
fraud sehingga perlu dimodifikasi. Modifikasi dapat dilakukan dengan penggunaan
sumber daya seperti aset (produktivitas modal) dan karyawan (produktivitas tenaga
kerja) yang dapat memberi sinyal kemungkinan terjadinya fraud (Perols dan Barbara,
2011).
Dengan modifikasi menggunakan aset, Fanning and Coger (1998) dalam Perol dan
Barbara (2011) menemukan bahwa adanya relasi negatif antara sales to asset dan fraud.
Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian Kaminski et al. (1994) yang
menemukan adanya hubungan positif antara keduanya. Sales to asset lebih dominan
menggambarkan perubahan aset daripada pendapatan sehingga dikembangkanlah
ukuran lain berdasarkan produktivitas tenaga kerja yaitu unexpected revenue per
employee untuk mendeteksi fraud yang berdampak langsung terhadap pendapatan,
terutama pendapatan yang menggelembung. Dalam penelitian Perrols dan Barbara
(2011) ditemukan adanya relasi positif antara penggelembungan pendapatan dan
kemungkinan terjadinya fraud.
yang
melakukan
penggelembungan
pendapatan
memiliki
Metode Penelitian
I. Model Penelitian
Dalam menguji hipotesis, penelitian ini menggunakan model yang juga digunakan oleh
Perols dan Barbara (2011) untuk mengetahui bagaimana hubungan antara manajemen
laba dan fraud dalam laporan keuangan. Model ini dimodifikasi dengan menghilangkan
variabel analyst forecast dan menggantinya dengan abnormal book-tax differences.
Perubahan variabel dikarenakan keterbatasan data analyst forecast di beberapa
perusahaan di Indonesia sehingga bila tidak diganti akan membuat model menjadi tidak
signifikan. Model tersebut adalah sebagai berikut.
P_FRAUD = 0 + 1 PRIOR_DAC+ 2 ABTD + 3 REV_EMP + 4 SALES_ASSET +
5 GRW_SALES + 6 ROA +
Keterangan:
0
= konstanta
1, 2 ,. n
P_FRAUD
= Abnormal
book-tax
penghindaran
REV_EMP
= Unexpected
differences
merupakan
pengukuran
per
employee
merupakan
pengukuran
ke t 0
= Error
10
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
10
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fraud dalam laporan keuangan. Di dalam
penelitian ini menggunakan variabel dummy yang dikategorikan menjadi dua, yaitu
kode 1 untuk perusahaan-perusahaan yang terbukti telah melakukan fraud dalam
laporan keuangan dan kode 0 untuk perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan
fraud. Perusahaan yang dikategorikan melakukan fraud dalam laporan keuangan dilihat
berdasarkan laporan keuangan tahunan yang mendapat sanksi dari Bapepam-LK dalam
periode tahun 2002-2012.
DA j,t merupakan perbedaan antara total accruals TA j,t dan estimated accruals yang
biasanya mengacu pada nondiscretionary accruals.
(2)
, / ,1
, / ,1 = , / ,1
(3) , / ,1 = 0 / ,1 + 1 ( , , )/ ,1
+ 3 , / ,1
+ 2 , / ,1
, / ,1 = 0, / ,1 + 1, ( , , )/ ,1 + 2, , / ,1
(4)
+ 3, , / ,1
11
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
11
Untuk menderivasikan NDA j,t , parameter regresi dalam model (3) untuk perusahaan j
diestimasikan dengan menggunakan semua perusahaan J, dimana J merupakan
perusahaan j dalam dua digit industri kode SIC.
Keterangan:
DA j,t
A j,t-1
TA j,t
REV j,t
REC j,t
CFO j,t
PPE j,t
Abnormal book-tax differences merupakan nilai residual dari hasil regresi book-tax
differences dan normal book-tax differences. Untuk mendapatkan hasil ABTD perlu
dilakukan regresi terlebih dahulu pada model BTD dan NBTD. BTD merupakan selisih
antara laba akuntansi dan laba fiskal. Sementara pengukuran NBTD menurut Manzon
dan Plesko (2002) dalam Tang dan Firth (2011) dapat dijelaskan dengan beberapa item
yaitu, perubahan pendapatan, gross property, PPE dan intangible asset, kerugian
operasi dan kerugian pajak. Berikut model pengukuran BTD dan NBTD.
Book-Tax Difference j,t = 0 + 1 INVj ,t + 2 REVj ,t + 3 NOL j,t + 4 TLU j,t + j,t
Keterangan:
INV j,t
REV j,t
NOLj,t
TLU j,t
12
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
12
Revenue per employee, RE, didefinisikan sebagai total pendapatan terhadap total
karyawan, yang diukur untuk perusahaan j dan perusahaan j dalam industri J pada tahun
t 0 dan t -1 .
Unexpected Revenue per Employee j,t = %RE j,t - % RE J,t
Terdapat tiga variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sales to asset,
growth sales, return on asset. Sales terhadap aset menggambarkan capital productivity
dengan menghitung jumlah penjualan bersih dibagi dengan total aset pada t 0 . Fanning
dan Coger (1998) menemukan bahwa sales to asset yang rendah lebih tepat
menggambarkan financial distress. Financial distress ini nantinya akan mengarah dan
mengindikasikan adanya revenue fraud. Namun hubungan antara sales to asset
merupakan hubungan yang tidak langsung terhadap fraud karena pengaruh aset bisa jadi
lebih dominan daripada penjualan sehingga lebih tepat menggambarkan financial
distress. Selain itu adanya double-entry basis dari sistem informasi akuntansi dapat
mengurangi manfaat dari ukuran ini untuk mengukur fraud.
Variabel ini dijadikan pembanding dengan unexpected revenue per employee untuk
memastikan bahwa unexpected revenue per employee merupakan prediktor revenue
fraud yang lebih baik daripada sales to asset. Maka dari itu sales to asset diprediksi
memiliki hubungan yang negatif dengan fraud. Dalam Perols dan Barbara (2011)
prediksi hubungan tersebut sejalan namun hasilnya tidak signifikan.
Return on asset mengukur tingkat pengembalian laba bersih setelah pajak terhadap total
aset. Dalam Perols dan Barbara (2011) diprediksi ROA memiliki hubungan negatif
dengan fraud. Perusahaan yang melakukan fraud memiliki kinerja yang buruk dan
13
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
13
kinerja yang buruk cenderung menurunkan rasio ROA. Dalam Perols dan Barbara
(2011) prediksi hubungan tersebut sejalan dan hasilnya signifikan pada tingkat marjinal.
Pembahasan
I. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk melihat persebaran data variabel yang digunakan
dalam penelitian. Data dianggap outlier bila memiliki rata-rata diatas 3 atau dibawah -3
standar deviasi (tiga kali standar deviasi) masing-masing variabel. Namun data outlier
dalam penelitian ini tetap digunakan dengan melakukan winsorization. Winsorization
merupakan perlakuan terhadap data outlier dengan menurunkan atau menaikkan nilai
data outlier ke nilai terdekat di masing-masing variabel. Winsorization ini dilakukan
karena keterbatasan jumlah sampel yang diperoleh. Tabel 1 yang tersaji di lampiran
merupakan statistik deskriptif yang telah diberikan perlakuan winsorization.
14
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
14
Dalam penelitian ini digunakan 32 sampel perusahaan yang terdiri dari 16 sampel
perusahaan fraud dalam laporan keuangan dan 16 sampel perusahaan non-fraud dalam
laporan keuangan sebagai matching sample. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.2 pada variabel P_FRAUD yang memiliki mean 0.50, yang artinya terdapat
perbandingan 1:1 antara perusahaan fraud dan matching sample. Sebagai salah satu alat
untuk mendeteksi fraud dalam laporan keuangan,
Abnormal book tax differences merupakan bagian residual dari book-tax differences
sebagai salah satu variabel untuk mengukur tingkat pengelolaan pajak memiliki nilai
tertinggi 9.35 sementara nilai terendahnya ialah -11.385. Perusahaan yang memiliki
nilai terendah ABTD yaitu PT Fortune Mate Indonesia dan nilai tertingggi adalah PT
Intraco Penta. Keduanya termasuk dalam matching sample. Secara praktik perbedaan
antara laba akuntansi dan laba fiskal pada perusahaan yang melakukan fraud dalam
laporan keuangan tidak selalu melambung tinggi. Dengan rentang yang cukup jauh
antara nilai tertinggi dan nilai terendah maka dapat dijelaskan bahwa persebaran data
dalam variabel ini cukup luas.
15
diindikasikan fraud. Pendapatan popular digunakan sebagai indikasi fraud karena paling
rentan dimanipulasi. Salah satu perusahaan dengan unexpected revenue per employee
terbesar ialah PT Bakrie & Brothers. Di variabel ini data PT Bakrie & Brothers
termasuk data outlier sehingga di-winsorization.
16
17
sesuai dengan prediksi. Ini artinya sales to asset memang memiliki hubungan yang
negatif signifikan terhadap kemungkinan terjadinya fraud dalam laporan keuangan. Ini
membuktikan bahwa Sales to asset bukan prediktor yang baik untuk mengindikasikan
fraud dalam laporan keuangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Fanning dan Coger
(1998) yang menyebutkan bahwa adanya hubungan negatif antara sales to asset yang
rendah dengan fraud. Pengaruh aset bisa jadi lebih dominan daripada penjualan
sehingga sales to asset lebih tepat menggambarkan financial distress maka dari itu
hubungan yang terjadi antara sales to asset dan fraud dalam laporan keuangan terjadi
tidak secara langsung atau dapat dikatakan tidak terdapat hubungan secara langsung
antara keduanya. Selain itu sales to asset memiliki double-entry effect sehingga dapat
mengurangi keakuratanya dalam memprediksi fraud.
Hubungan Growth Sales Terhadap Fraud
Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada GRW_SALES menunjukkan hasil
negatif, yaitu -3.201, sementara nilai signifikannya sebesar 0.144. Nilai negatif pada B
tidak sesuai dengan prediksi. Ini artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pertumbuhan penjualan terhadap kemungkinan terjadinya fraud. Hal ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian Erickson et al. (2006) serta Perols dan Barbara (2011) yang
menyebutkan bahwa pertumbuhan penjualan memiliki hubungan positif dengan fraud.
Namun Brazel, Jones and Zimbelman (2009) menemukan adanya hubungan positif dan
negatif antara growth sales dan fraud. Perusahaan yang meningkatkan pendapatan
secara curang akan memiliki tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi namun tidak
normal. Di lain sisi perusahaan tersebut sebenarnya memiliki tingkat pertumbuhan
penjualan yang rendah.
Hubungan Return on Asset Terhadap Fraud
Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada ROA menunjukkan hasil positif yaitu 0.0612, sementara nilai signifikannya sebesar 0.667. Nilai negatif pada B sesuai dengan
prediksi. Ini artinya terdapat hubungan negatif antara return on asset terhadap
kemungkinan terjadinya fraud. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Perols dan
Barbara (2011) yang menyebutkan bahwa ROA yang rendah dapat mengindikasikan
terjadinya fraud dalam laporan keuangan.
18
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
18
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan memberikan bukti empiris mengenai hubungan manajemen laba
terhadap kemungkinan terjadinya fraud pada laporan keuangan. Faktor-faktor yang diuji
diantaranya pengelolaan laba sebelum terjadinya fraud, penghindaran pajak dan
penggelembungan pendapatan. Pengelolaan laba tiga tahun sebelum terjadinya fraud (t 3)
terbukti memiliki hubungan positif dengan fraud dalam laporan keuangan secara
marginally significance. Hal yang sama juga terjadi pada penggelembungan pendapatan
yang juga terbukti memiliki hubungan positif signifikan dengan fraud dalam laporan
keuangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengelolaan laba
terdahulu dan penggelembungan pendapatan, maka semakin besar kemungkinan adanya
fraud dalam laporan keuangan. Sebaliknya, abnormal book tax differences justru
memiliki hubungan negatif dengan fraud dalam laporan keuangan. Hal ini kemungkinan
karena ada beberapa sampel perusahaan yang tergolong pada industry yang dikenakan
pajak khusus, pajak final dan memiliki regulasi perpajakan yang ketat.
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, terbatasnya sampel
penelitian karena tidak mendapat data dari Bapepam sehingga menggunakan pencarian
di koran dan berita nasional. Untuk penelitian berikutnya diharapkan dapat memperluas
sampel dan juga dapat mengikutsertakan perusahaan yang melakukan restatement
karena kesalahan penyajian dalam laporan keuangan. Selain itu dapat juga memasukkan
perusahaan non Tbk. Kedua, sampel hanya terbatas pada perusahaan yang melakukan
fraud atas laporan keuangan, penelitian selanjutnya dapat memasukkan juga perusahaan
yang melakukan fraud karena penyalahgunaan aset atau korupsi. Ketiga, Pengukuran
manajemen laba dengan menggunakan discretionary accruals juga memiliki beberapa
kelemahan sehingga penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode pengukuran
manajemen laba lainnya seperti aktivitas riil dari Roychowdhury (2006) karena dinilai
lebih mampu mendeteksi manajemen laba dibanding model akrual. Keempat, penelitian
selanjutnya dapat memasukkan variabel analyst forecast karena dari beberapa penelitian
terdahulu, variabel tersebut memiliki hubungan positif dengan fraud dalam laporan
keuangan. Kelima, mengeluarkan sampel penelitian yang termasuk dalam industri
agriculture, mining, construction dan financial karena industri tersebut dikenakan pajak
khusus, pajak final dan memiliki regulasi pajak yang ketat.
19
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
19
Kepustakaan
20
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
20
Perols and Barbara. 2011. The Relation Between Earnings Management and Financial
Statement Fraud. Advances in Accounting in International Accounting 27 (2011)
30-53.
Phillips, J., Pincus, M., & Rego, S. O. 2003. Earnings management: New evidence
based on deferred tax expense. The Accounting Review, 78(2), 491521.
Ratnaningdyah, Renny. 2012. Perbandingan defered tax expense (DTE) dan book
income minus taxable income (BMT) antara fraud firms dengan non fraud firms.
Skripsi Program Studi Sarjana Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
2012
Rezaee, Zabihollah. 2005. Causes, consequences, and deterence of financial statement
fraud. Critical Perspectives on Accounting 16 (2005) 277298
Ronen dan Varda Yaari. 2008. Earnings management: Emerging insights in theory,
practice, and research. Springer, New York.
Roychowdhury, S. 2006. Earnings Management Through Real Activities Manipulation.
Journal of Accounting and Economics, 42(3), 335370. Salemba Empat.
Skousen, Christopher J. 2009. Detecting And Predicting Financial Statement Fraud:
The Effectiveness Of The Fraud Traingle And SAS No. 99. SSRN
Sulistyato, Sri. 2008. Manajemen Laba, Teori dan dan Model Empiris. Jakarta:
Grasindo.
Tang and Firth. 2011. Can booktax differences capture earnings management and tax
Management? Empirical evidence from China. The International Journal of
Accounting 46 (2011) 175204.
Waluyo. 2008. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Watts, R. L., & Zimmerman, J. L. 1986. Positive accounting theory. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall.
Yulianti. 2005. Kemampuan Beban Pajak Tanguhan Dalam Mendeteksi Manajemen
Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 107-129.
21
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014
21
Lampiran
Tabel 1 Statitik Deskriptif
Variabel
P_FRAUD
PRIOR_DAC
ABTD
REV_EMP
SALES_ASSET
GRW_SALES
ROA
Minimum
Maximum
Mean
Std. Dev
32
32
32
32
32
32
32
0.0000
-19.0509
-11.0385
-1.0153
0.0238
-0.8625
-56.3065
1.0000
28.3676
9.3471
10.4092
2.8387
0.4642
33.1496
0.5000
-0.7528
-1.3500
0.1457
0.6744
-0.1111
-1.0328
0.5080
7.0397
3.4376
1.9298
0.6305
0.3732
17.1652
Prediksi
Sig.
Exp(B)
10.895
1.148
0.935
349.02
0,118
0.041
0.984
0.267
0.038
2.388
Constant
0.138
PRIOR_DAC
+
-0.067
ABTD
+
5.855
REV_EMP
+
-2.138
SALES_ASSET
-3.201
GRW_SALES
+
-.0162
ROA
Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit
Omnibus Test of Model Coefficients
0.040
0.081**
0.719
0.036*
0.079**
0.144
0.667
Sig.
Sig.
Nagelkerke R Square
Keakurasian Model
R2
Overall %
0.454
78.1
22