Você está na página 1de 22

ANALISIS HUBUNGAN MANAJEMEN LABA DAN FRAUD

DALAM LAPORAN KEUANGAN


TIFANI PUSPATRISNANTI
tifanipuspatrisnanti@gmail.com
FITRIANY
fitri_any@yahoo.com
Departemen Akuntansi, Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara manajemen laba
dan fraud pada laporan keuangan. Manajemen laba diukur dengan
aggregated prior discretionary accruals, abnormal book-tax differences,
unexpected revenue per employee. Sampel penelitian terdiri dari 16
perusahaan yang melakukan fraud dan 16 perusahaan yang tidak melakukan
fraud. Pemilihan sampel menggunakan metode matching sample
berdasarkan industri dan ukuran perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa manajemen laba terdahulu dan dan unexpected revenue memiliki
hubungan positif dengan fraud. Sementara abnormal book-tax differences
memiliki hubungan negatif dengan fraud.

THE RELATION BETWEEN EARNINGS MANAGEMENT AND


FINANCIAL STATEMENT FRAUD
Abstract
The purpose of this research is to examine the relation between earnings
management and financial statement fraud. Earnings management is
measured by using aggregated prior discretionary accruals, abnormal
book-tax differences, unexpected revenue per employee. The research is
conducted by using samples of 16 fraud firms and 16 non fraud firms. The
samples are matched based on industry and company size. The results show
that prior discretionary accruals and unexpected revenue have positive
relation with fraud in financial statement. On the other hand, abnormal
book-tax differences have negative relation with fraud in financial
statement.
Keywords: Fraud, earnings management, aggregated prior discretionary
accruals, abnormal book-tax differences, unexpected revenue
per employee.

1
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Pendahuluan
Laporan keuangan merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban perusahaan
kepada stakeholders atas perolehan dan penggunaan sumber daya dalam aktivitas
operasionalnya. Setiap perusahaan yang terdaftar dalam PT Bursa Efek Indonesia (BEI)
tentu ingin memiliki laporan keuangan dalam kondisi yang terbaik sehingga publik
dapat menilai dan mempercayai perusahaan sebagai objek investasi saham yang
menguntungkan. Berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) No. KEP-134/BL/2006, setiap perusahaan publik
atau emiten yang terdaftar di BEI diwajibkan untuk mempublikasikan laporan keuangan
tahunan. Hal ini menjadi motivasi dan dorongan bagi manajemen untuk berusaha secara
maksimal dalam menjalankan aktivitas operasional perusahaan agar hasil yang
dilaporkan pada akhir periode tahun buku dapat memberikan gambaran bahwa
perusahaan dalam kondisi yang sehat. Namun di sisi lain, peraturan ini justru menjadi
motivasi dan dorongan bagi manajemen untuk melakukan fraud melalui manipulasi
laporan keuangan. Akibatnya laporan keuangan menjadi kurang handal karena
informasi yang disajikan tidak mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya dan
menjadi tidak relevan bagi pihak yang menggunakannya sebagai dasar pengambilan
keputusan karena intepretasi yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan tidak boleh ada kepentingan salah satu pihak karena
akan merugikan pihak yang lain. Untuk itu informasi dalam laporan keuangan harus
diarahkan untuk kepentingan umum dari berbagai pihak.

Kasus terkait dengan fraud dalam laporan keuangan marak terjadi pada awal tahun
2000. Enron merupakan contoh perusahaan yang melakukan manipulasi laporan
keuangan dengan tidak melaporkan hutangnya agar laba terlihat besar pada saat
diumumkan. Padahal laba yang terlihat besar belum tentu menjamin ketahanan dari laba
itu sendiri karena sesungguhnya menurut Yulianti (2005) laba yang berkualitas adalah
laba yang mencerminkan laba yang berkelanjutan (sustainable earnings) di masa depan.
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia salah satu diantaranya terjadi pada PT Kimia
Farma. Perusahaan farmasi tersebut terbukti melakukan kesalahan penyajian laporan
keuangan yang mengakibatkan penggelembungan laba pada akhir tahun buku 2001
(Bapepam, 2002).

2
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Martin et al. (2002) menjelaskan bahwa sebagian besar fraud yang terjadi turut
melibatkan top management. Tone at the top merupakan salah satu tindakan kecurangan
yang dilakukan dari atasan (Institute of Internal Auditor, 2003). Adanya tekanan dari
tingkatan manajerial dapat menyebabkan bawahan berbuat tidak sesuai dengan aturan
yang ada. Fraud dalam laporan keuangan biasanya diawali dengan salah saji atau
manajemen laba dari laporan keuangan kuartal yang dianggap tidak material tetapi pada
akhirnya berkembang menjadi kecurangan secara besar-besaran dan menghasilkan
laporan keuangan tahunan yang menyesatkan secara material (Rezaee, 2005). Menurut
Healy and Wahlens (1999) manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan dan struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan baik untuk
menyesatkan interpretasi beberapa stakeholder tentang kinerja ekonomi perusahaan atau
untuk mempengaruhi kontrak yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang
dilaporkan pada laporan keuangan.

Fraud memiliki objektif yang sama dengan manajemen laba yaitu memanipulasi
laporan keuangan tetapi memiliki definisi yang berbeda. Fraud berada di luar lingkup
GAAP sementara manajemen laba berada dalam ruang lingkup GAAP (Erickson et al.
2006). Ini artinya perusahaan dapat melakukan manipulasi laporan keuangan dengan
menggunakan praktik akuntansi baik di dalam ataupun di luar lingkup peraturan
akuntansi yang ada. Fraud merupakan tindakan ekstrem dari manajemen laba. Menurut
Ratnaningdyah (2012) manajemen laba memanfaatkan kelemahan inheren dari
kebijakan akuntansi akrual dan masih berada dalam koridor prinsip akuntansi, Tindakan
ini masih dapat dikategorikan legal sementara bila dilakukan diluar standar akuntansi
yang ada maka tindakan tersebut dapat dikategorikan pelanggaran.

Dechow et al. (1996) memberikan bukti bahwa perusahaan memilih melakukan fraud
dalam pelaporan keuangan ketika mereka memiliki kesempatan untuk melakukan
manajemen laba dengan tujuan agar kinerja mereka terlihat sukses di depan para
pemegang saham. Dari penelitian tersebut terlihat adanya relasi positif antara
manajemen laba dengan tindakan fraud. Perols dan Barbara (2011) melakukan
penelitian senada dengan memproksikan manajemen laba menggunakan aggregated
prior discretionary accruals, analyst forecast dan unexpected revenue per employee.
Dalam penelitian ditemukan bahwa perusahaan yang melakukan fraud terasosiasi
dengan ketiga variabel manajemen laba.
3
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Di Indonesia belum banyak penelitian yang membahas hubungan antara manajemen


laba dan fraud dalam laporan keuangan. Ratnaningdyah (2012) melakukan penelitian
serupa dengan Ettredge et al. (2008) namun hanya menguji perbedaan DTE dan BTD
antara fraud firm dengan non-fraud firm. Hasil yang didapatkan tidak signifikan
dikarenakan keterbatasan sampel perusahaan dan pendeknya periode pengamatan.
Selain itu variabel manajemen laba yang digunakan hanya variabel yang terkait dengan
pajak. Penelitian lainnya dilakukan oleh Ansar (2011). Dengan menggunakan
discretionary accrual yang dikembangkan Kothari et al. (2005) sebagai proksi
manajemen laba, Ansar (2011) meneliti hubungan antara fraud dan manajemen laba
namun hasilnya secara signifikan berpengaruh negatif terhadap fraud dalam pelaporan
keuangan.

Hal ini menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai hubungan manajemen laba
dengan fraud dalam laporan keuangan pada perusahaan yang terdaftar di BEI. Penelitian
ini merujuk pada penelitian Perols dan Barbara (2011) sebagai referensi utama dengan
mengganti salah satu variabel independennya, yaitu analyst forecast menjadi abnormal
book-tax difference (ABTD) dengan mengacu pada penelitian Tang dan Firth (2011).
Selain ABTD, manajemen laba akan diproksikan dengan aggregated prior
discretionary accrual dan unexpected revenue per employee. Sementara untuk fraud
dalam laporan keuangan diproksikan dengan perusahaan yang pernah terkena sanksi
Bapepam akibat pelanggaran terkait dengan penyajian laporan keuangan. Periode
pengamatan juga akan diperpanjang dari tahun 2002 hingga 2012 agar didapatkan
sampel perusahaan yang lebih banyak.

Tinjauan Teoritis

I. Manajemen Laba
Pada dasarnya manajemen laba memiliki arti yang serupa yaitu suatu upaya dari
manajemen perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi
dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin
mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan (Sulistyanto, 2008). Namun lain halnya
dengan Ronen dan Yaari (2008) dalam Permatasari (2011) yang memberikan definisi

4
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

alternatif dengan membedakan manajemen laba ke dalam tiga area, yaitu putih, abu-abu
dan hitam.

Burgstahler and Eames (2006) menyebutkan bahwa manajer memiliki insentif untuk
memanipulasi laporan keuangan ketika mengetahui bahwa ternyata hasilnya tidak sesuai
dengan prediksi yang diberikan oleh analis. Pemanipulasian ini bertujuan agar laporan
keuangan perusahaan tampak menjadi lebih baik. Menurut Healy dan Wahlen (1999)
ada tiga motivasi bagi manajer untuk melakukan manajemen laba yaitu motivasi pasar
modal, motivasi kontraktual dan motivasi regulasi. Dalam motivasi pasar modal,
manajer perusahaan merekayasa informasi agar laporan keuangan yang disajikan
mampu menarik minat investor untuk merespon penawaran perusahaan secara positif.
Motivasi kontraktual muncul karena adanya perjanjian manajer dengan pihak lain yang
berdasar pada kompensasi manajerial dan perjanjian utang. Motivasi regulasi timbul
karena manajer berperilaku oportunis dengan memanfaatkan kelemahan akuntansi yang
menggunakan estimasi akrual dan mencari celah dari peraturan pemerintah yang ada.
Terdapat berbagai teknik dalam melakukan manajemen laba. Secara spesifik Arthur
Levvit (1998) mengemukakan lima teknik manajemen laba, yaitu Taking a bath,
Creative acquisition accounting, Cookie jar reserves, Abusing the materiality concept,
Improper revenue recognition

Mc Nichols (2000) dalam Sulistyanto (2008) mengelompokkan tiga basis pengukuran


menajemen laba yang digunakan oleh para peneliti, yaitu model berbasis aggregate
accruals, specific accruals dan distribution of earnings. Dalam penelitian ini ada tiga
pengukuran yang digunakan sebagai proksi manajemen laba, yaitu aggregated prior
discretionary accruals, abnormal book-tax differences dan unexpected revenue per
employee. Pengukuran discretionary accruals menggunakan metode yang diajukan oleh
Kaznik (1999) dengan mengakumulasi discretionary accruals selama tiga tahun
sebelum terjadinya fraud. Perhitungan hingga tiga tahun ke belakang ini didasarkan
pada penelitian Dechow et al. (1996) yang menyatakan bahwa perusahaan yang
melakukan fraud memiliki discretionary accruals yang lebih besar daripada perusahaan
yang tidak melakukan fraud, terdeteksi sejak tiga tahun sebelum fraud terjadi.

Laporan keuangan disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi para


stakeholder baik dari internal maupun eksternal. Pemerintah sebagai salah satu
5
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

pengguna laporan keuangan yang bertindak sebagai regulator memerlukan laporan


keuangan, juga memerlukan laporan keuangan yang disesuaikan dengan peraturan
perpajakan (Waluyo, 2008). Tujuan laporan keuangan menurut pepajakan, yang
selanjutnya disebut sebagai laporan keuangan fiskal, adalah untuk menghitung jumlah
pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Ini menjadi penting dan menjadi
perhatian khusus karena pajak sebagai sumber penerimaan utama negara. Pada
prakteknya sistem dalam akuntansi dan perpajakan tidak selalu sejalan. Beberapa
perbedaan permanen ataupun temporer yang akibat penerapan kedua sistem ini
menimbulkan Book-Tax Differences (BTD). Penelitian terkait BTD dan manajemen
laba pernah dilakukan oleh Tang dan Firth (2011). Dalam penelitian tersebut Tang dan
Firth mendekomposisi BTD menjadi normal BTD dan abnormal BTD. Komponen
Normal BTD (NBTD) bersifat regulatory, sementara komponen Abnormal BTD
(ABTD) bersifat opportunistic. Komponen ABTD ini yang nantinya dapat
menggambarkan adanya manajemen laba karena sifatnya oportunistik.

Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari manipulasi laporan keuangan adalah
melaporkan pendapatan yang besar sehingga publik dapat menilai bahwa perusahaan
dalam keadaan yang sehat dan menguntungkan sebagai objek investasi. Perusahaan
yang sudah terbiasa melakukan pengelolaan laba kemungkinan memiliki pendapatan
yang besar dengan tindakan fraud. Maka dari itu diperlukan analisis dan identifikasi
hubungan yang tidak lazim terkait dengan akun pendapatan, salah satunya hubungan
antara pendapatan dan produktivitas karyawan. Sales to asset, yang biasa digunakan
sebagai ukuran produktivitas, lebih dominan menggambarkan perubahan aset daripada
pendapatan sehingga dikembangkanlah ukuran lain oleh Perrols dan Barbara (2011)
berdasarkan produktivitas tenaga kerja yaitu unexpected revenue per employee untuk
mendeteksi fraud yang berdampak langsung terhadap pendapatan, terutama pendapatan
yang menggelembung.

II. Fraud
Fraud atau kecurangan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dapat
dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal organisasi dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan pribadi atau suatu kelompok dengan merugikan pihak lainnya
(ACFE, 2012). ACFE mengelompokkan kecurangan dalam tiga jenis, yaitu
penyalahangunaan aset, korupsi dan kecurangan dalam laporan keuangan. Secara
6
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

spesifik Rezaee (2005) mendefinisikan fraud dalam laporan keuangan sebagai upaya
yang disengaja oleh perusahaan untuk menipu atau menyesatkan pengguna laporan
keuangan, terutama investor dan kreditor, dengan menyusun dan mempublikasikan
laporan keuangan yang memililki salah saji material. Di Indonesia, kecurangan dalam
laporan keuangan dibahas pada SPAP SA Seksi 316 dan Pernyataan Standard Auditing
(PSA) No.70. Dalam standar audit tersebut dikatakan bahwa salah saji yang timbul dari
kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara
sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai
laporan keuangan.

Dalam penelitian Cressey (1953) dijelaskan bahwa faktor tekanan, peluang dan
rasionalisasi selalu hadir dalam tindakan fraud. Konsep ini kita kenal dengan Fraud
Triangle. Konsep Fraud Triangle telah digunakan dalam beberapa penelitian terdahulu
seperti Lou and Wang (2009) dan Skousen et al. (2009) untuk mendeteksi adanya fraud
dalam laporan keuangan dengan mengacu pada beberapa faktor yang tercantum dalam
Standard Auditing Statement No.99. Faktor peluang identik dengan tindakan
oportunistik manajemen untuk melakukan manajemen laba dalam rangka memanipulasi
laporan keuangan agar sesuai dengan kepentingan manajer atau perusahaan.

III. Pengembangan Hipotesis


Beberapa penelitian terdahulu mengenai hubungan manajemen laba dan fraud pernah
dilakukan oleh Dechow et al. (1996), Beneish (1997), Lee et al. (1999) dan Jones et al.
(2008). Menurut beberapa peneliti di atas, perusahaan yang menggunakan akrual untuk
menaikkan pendapatan harus bersiap dengan konsekuensi dari tindakannya ketika
menemui hambatan fleksibilitas dalam manajemen laba. Salah satu konsekuensinya
ialah harus melakukan fraud untuk menutupi atau meringankan akun akrual yang telah
dimanipulasi dalam rangka mencapai tujuannya.

Beneish (1997) menemukan adanya hubungan positif antara fraud dan akrual pada satu
tahun sebelum terjadinya fraud. Lee et al. (1999) juga menemukan hal serupa, yaitu
adanya hubungan positif antara fraud dan akrual pada satu tahun sebelum fraud sampai
satu tahun sesudah fraud terjadi. Sementara Jones et al. (2008) mengungkapakan
penemuan senada dengan Beneish. Ini artinya fraud dapat dideteksi melalui manajemen
laba pada tahun sebelum terjadinya fraud. Hal ini didukung dengan pembuktian
7
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Dechow (1996) yang berpendapat bahwa perusahaan yang melakukan fraud memiliki
discretionary accruals, yaitu komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai
dengan kebijakan manajerial, yang lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak
melakukan fraud pada periode tiga tahun sebelum terjadinya fraud.
H1

Perusahaan yang melakukan pengelolaan laba pada tahun sebelum

terindikasi fraud memiliki kemungkinan lebih besar untuk melakukan fraud pada
laporan keuangan.

Ettredge et al. (2008) meneliti tentang hubungan antara fraud dengan DTE (Deferred
Tax Expense) atau BTD (Book Tax Differences). Hasilnya menunjukkan adanya
hubungan DTE dengan fraud pada tahun saat terjadinya kecurangan sementara BTD
tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Ratnaningdyah (2012)
melakukan penelitian serupa dengan Ettredge et al. (2008) namun hanya menguji
perbedaan DTE dan BTD antara fraud firm dengan non-fraud firm. Hasil yang
didapatkan tidak signifikan dikarenakan keterbatasan sampel perusahaan dan pendeknya
periode pengamatan.

Phillips et al. (2003) menemukan bahwa DTE dan akrual secara signifikan dapat
mendeteksi manajemen laba yang dilakukan perusahaan untuk mencapai dua tujuan
pelaporan yaitu menghindari penurunan laba dan menghindari pelaporan kerugian laba.
Yulianti (2005) meneliti hal serupa di Indonesia dan mendapat hasil yang konsisten
dengan Phillips et al. (2003) yaitu DTE dan akrual memiliki pengaruh positif dan
signifikan namun hanya mampu mendeteksi manajemen laba untuk menghindari
kerugian. Selain itu Yulianti (2005) juga menemukan bahwa beberapa faktor penyebab
manajemen laba dapat menjelaskan variasi dalam ketiga model akrual (total akrual,
modified Jones dan forward looking) secara signifikan, tetapi tidak dapat menjelaskan
variabel DTE. Akibatnya DTE masih diragukan kehandalannya untuk dijadikan sebagai
proksi dari manajemen laba.

Sementara penelitian lain terkait BTD dilakukan oleh Tang dan Firth (2011) dengan
membagi BTD menjadi dua komponen yaitu normal dan abnormal. Komponen
abnormal BTD terbukti dapat mendeteksi adanya manajemen laba karena mengandung
unsur oportunistik manajemen. Maka dari itu pada penelitian ini akan digunakan

8
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

variabel ABTD sebagai proksi manajemen laba dalam mendeteksi fraud dalam laporan
keuangan. Maka hipotesis yang diajukan adalah:
H 2 Perusahaan yang melakukan penghindaran pajak memiliki kemungkinan
lebih besar untuk melakukan fraud pada laporan keuangan.

Tingkat perubahan pendapatan yang tidak biasa dapat menjadi indikasi adanya fraud
dalam akun pendapatan. Namun unadjusted revenue atau pendapatan murni perusahaan
yang terbawa dari tahun ke tahun menjadi ukuran yang kurang valid dalam mendeteksi
fraud sehingga perlu dimodifikasi. Modifikasi dapat dilakukan dengan penggunaan
sumber daya seperti aset (produktivitas modal) dan karyawan (produktivitas tenaga
kerja) yang dapat memberi sinyal kemungkinan terjadinya fraud (Perols dan Barbara,
2011).

Dengan modifikasi menggunakan aset, Fanning and Coger (1998) dalam Perol dan
Barbara (2011) menemukan bahwa adanya relasi negatif antara sales to asset dan fraud.
Hasil ini berbanding terbalik dengan penelitian Kaminski et al. (1994) yang
menemukan adanya hubungan positif antara keduanya. Sales to asset lebih dominan
menggambarkan perubahan aset daripada pendapatan sehingga dikembangkanlah
ukuran lain berdasarkan produktivitas tenaga kerja yaitu unexpected revenue per
employee untuk mendeteksi fraud yang berdampak langsung terhadap pendapatan,
terutama pendapatan yang menggelembung. Dalam penelitian Perrols dan Barbara
(2011) ditemukan adanya relasi positif antara penggelembungan pendapatan dan
kemungkinan terjadinya fraud.

Perusahaan memiliki keterbatasan dalam melakukan pengelolaan laba sehingga akan


menghadapi suatu titik dimana pengelolaan laba tidak dapat dijalankan sehingga
perusahaan akan melakukan fraud demi mencapai tujuan yang diinginkan, termasuk
tujuan untuk melaporkan pendapatan yang besar. Sebagai contoh, jika pendapatan
sebenarnya secara signifikan kurang dari tingkat pendapatan yang diharapkan maka sulit
untuk melakukan pengelolaan laba dalam rangka mencapai tingkat pendapatan yang
diinginkan dan perusahaan justru sangat mungkin untuk melakukan fraud tanpa
pengelolaan laba. Dengan demikian hipotesis yang diajukan:
H 3 Perusahaan

yang

melakukan

penggelembungan

pendapatan

memiliki

kemungkinan lebih besar untuk melakukan fraud pada laporan keuangan.


9
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Metode Penelitian
I. Model Penelitian
Dalam menguji hipotesis, penelitian ini menggunakan model yang juga digunakan oleh
Perols dan Barbara (2011) untuk mengetahui bagaimana hubungan antara manajemen
laba dan fraud dalam laporan keuangan. Model ini dimodifikasi dengan menghilangkan
variabel analyst forecast dan menggantinya dengan abnormal book-tax differences.
Perubahan variabel dikarenakan keterbatasan data analyst forecast di beberapa
perusahaan di Indonesia sehingga bila tidak diganti akan membuat model menjadi tidak
signifikan. Model tersebut adalah sebagai berikut.
P_FRAUD = 0 + 1 PRIOR_DAC+ 2 ABTD + 3 REV_EMP + 4 SALES_ASSET +
5 GRW_SALES + 6 ROA +
Keterangan:
0

= konstanta

1, 2 ,. n

= koefisien persamaan regresi

P_FRAUD

= Variabel dummy terjadinya fraud bernilai 1 jika perusahaan


melakukan fraud dan bernilai 0 jika sebaliknya

PRIOR_DAC = Aggregated prior discretionary accruals merupakan pengukuran


akrual
ABTD

pada periode tahun sebelum terjadinya fraud

= Abnormal

book-tax

penghindaran
REV_EMP

= Unexpected

differences

merupakan

pengukuran

pajak pada tahun terjadinya fraud


revenue

per

employee

merupakan

pengukuran

penggelembungan pendapatan dengan melihat perubahan pendapatan


dari t -1

ke t 0

SALES_ASET= Menggambarkan capital productivity dengan menghitung jumlah


penjualan bersih dibagi dengan total aset
GRW_SALES = Merupakan persentase perubahan pendapatan dari t-2 ke t-1
ROA

= Mengukur tingkat pengembalian laba bersih setelah pajak terhadap


total aset

= Error

10
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

10

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

II. Operasionalisasi Variabel

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fraud dalam laporan keuangan. Di dalam
penelitian ini menggunakan variabel dummy yang dikategorikan menjadi dua, yaitu
kode 1 untuk perusahaan-perusahaan yang terbukti telah melakukan fraud dalam
laporan keuangan dan kode 0 untuk perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan
fraud. Perusahaan yang dikategorikan melakukan fraud dalam laporan keuangan dilihat
berdasarkan laporan keuangan tahunan yang mendapat sanksi dari Bapepam-LK dalam
periode tahun 2002-2012.

Variabel independen diukur dengan Aggregated Prior Discretionary Accruals,


Abnormal Book-tax differences dan Unexpected Revenue Per Employee. Aggregated
Prior Discretionary Accruals merupakan total discretionary accruals selama tiga tahun
sebelum terjadinya fraud dibagi dengan aset setiap awal tahun, yaitu sama dengan akhir
periode t -1 . Berikut model pengukuran yang digunakan dalam perhitungan aggregated
prior discretionary accruals.
(1)

Aggregated Prior Discretionary Accruals j,t = 1


3 , / ,1

DA j,t merupakan perbedaan antara total accruals TA j,t dan estimated accruals yang
biasanya mengacu pada nondiscretionary accruals.
(2)

, / ,1
, / ,1 = , / ,1

Total accruals TA j,t didefinisikan sebagai pendapatan sebelum extraordinary items


dikurangi arus kas operasi. Sementara nondiscretionary accruals NDA j,t dimana
perusahaan j dalam tahun t 0 diestimasikan menggunakan extended version dari modified
Jones model (1991) yang diajukan oleh Kaznik (1999).

(3) , / ,1 = 0 / ,1 + 1 ( , , )/ ,1
+ 3 , / ,1

+ 2 , / ,1

, / ,1 = 0, / ,1 + 1, ( , , )/ ,1 + 2, , / ,1

(4)
+ 3, , / ,1

11
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

11

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Untuk menderivasikan NDA j,t , parameter regresi dalam model (3) untuk perusahaan j
diestimasikan dengan menggunakan semua perusahaan J, dimana J merupakan
perusahaan j dalam dua digit industri kode SIC.
Keterangan:
DA j,t

= discretionary accruals pada tahun t 0

A j,t-1

= total aset pada tahun t -1

TA j,t

= total accruals pada tahun t 0

= nondiscretionary accruals yang diestimasikan pada tahun t 0

REV j,t

= perubahan pendapatan dari tahun t -1 ke t 0

REC j,t

= perubahan piutang dari tahun t -1 ke t 0

CFO j,t

= perubahan arus kas operasi perusahaan j dari tahun t -1 ke t 0

PPE j,t

= nilai kotor property, plant and equipment perusahaan tahun t 0

Abnormal book-tax differences merupakan nilai residual dari hasil regresi book-tax
differences dan normal book-tax differences. Untuk mendapatkan hasil ABTD perlu
dilakukan regresi terlebih dahulu pada model BTD dan NBTD. BTD merupakan selisih
antara laba akuntansi dan laba fiskal. Sementara pengukuran NBTD menurut Manzon
dan Plesko (2002) dalam Tang dan Firth (2011) dapat dijelaskan dengan beberapa item
yaitu, perubahan pendapatan, gross property, PPE dan intangible asset, kerugian
operasi dan kerugian pajak. Berikut model pengukuran BTD dan NBTD.
Book-Tax Difference j,t = 0 + 1 INVj ,t + 2 REVj ,t + 3 NOL j,t + 4 TLU j,t + j,t
Keterangan:
INV j,t

= perubahan investasi dalam gross property, plant and equipment


serta gross intangible asset dari tahun t -1 ke t 0

REV j,t

= perubahan pendapatan tahun t -1 ke t 0

NOLj,t

= net operating loss merupakan kerugian fiskal pada tahun t 0 , diambil


dari catatan laporan keuangan pada bagian pajak penghasilan

TLU j,t

= tax loss utilitize merupakan kerugian fiskal yang dikompensasi pada


tahun t 0 , diambil dari catatan laporan keuangan pada bagian pajak
penghasilan

12
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

12

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Revenue per employee, RE, didefinisikan sebagai total pendapatan terhadap total
karyawan, yang diukur untuk perusahaan j dan perusahaan j dalam industri J pada tahun
t 0 dan t -1 .
Unexpected Revenue per Employee j,t = %RE j,t - % RE J,t
Terdapat tiga variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sales to asset,
growth sales, return on asset. Sales terhadap aset menggambarkan capital productivity
dengan menghitung jumlah penjualan bersih dibagi dengan total aset pada t 0 . Fanning
dan Coger (1998) menemukan bahwa sales to asset yang rendah lebih tepat
menggambarkan financial distress. Financial distress ini nantinya akan mengarah dan
mengindikasikan adanya revenue fraud. Namun hubungan antara sales to asset
merupakan hubungan yang tidak langsung terhadap fraud karena pengaruh aset bisa jadi
lebih dominan daripada penjualan sehingga lebih tepat menggambarkan financial
distress. Selain itu adanya double-entry basis dari sistem informasi akuntansi dapat
mengurangi manfaat dari ukuran ini untuk mengukur fraud.

Variabel ini dijadikan pembanding dengan unexpected revenue per employee untuk
memastikan bahwa unexpected revenue per employee merupakan prediktor revenue
fraud yang lebih baik daripada sales to asset. Maka dari itu sales to asset diprediksi
memiliki hubungan yang negatif dengan fraud. Dalam Perols dan Barbara (2011)
prediksi hubungan tersebut sejalan namun hasilnya tidak signifikan.

Pertumbuhan penjualan diperoleh melalui persentase perubahan dalam pendapatan dari


t -2 ke t -1 . Perusahaan yang memiliki pertumbuhan penjualan yang cepat kemungkinan
besar akan diinvestigasi oleh SEC daripada perusahaan yang memiliki pertumbuhan
penjualan secara lambat (Beneish, 1999). Dengan demikian pertumbuhan penjualan
diprediksi memiliki hubungan yang positif dengan fraud. Dalam Perols dan Barbara
(2011) prediksi hubungan tersebut sejalan dan hasilnya signifikan.

Return on asset mengukur tingkat pengembalian laba bersih setelah pajak terhadap total
aset. Dalam Perols dan Barbara (2011) diprediksi ROA memiliki hubungan negatif
dengan fraud. Perusahaan yang melakukan fraud memiliki kinerja yang buruk dan

13
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

13

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

kinerja yang buruk cenderung menurunkan rasio ROA. Dalam Perols dan Barbara
(2011) prediksi hubungan tersebut sejalan dan hasilnya signifikan pada tingkat marjinal.

III. Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel yang terbatas pada perusahaan-perusahaan yang


terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2002-2012. Pengambilan
sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan purposive sampling
method, yaitu penentuan sampel atas dasar kesesuaian karakteristik dan kriteria tertentu.
Kriteria pengambilan data dan sampel diantaranya, perusahaan yang tidak termasuk
kategori perusahaan yang bergerak dalam industri keuangan, berumur minimal 5 tahun.,
dan memiliki laporan keuangan tahunan yang telah diaudit untuk periode 2002-2012.
Dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI ini dipilih sampel dengan kriteria
perusahaan yang diberitakan terkait fraud di media nasional. Berita terkait fraud berasal
dari pemberitaan berbagai media nasional seperti tempo.co, kompas.com, detik.com,
kontan.co.id. Berdasarkan kriteria ini diperoleh 16 perusahaan sampel yang tergolong
fraud. Perusahaan yang dikategorikan tidak melakukan fraud (matching sample) harus
memiliki kesamaan pada industri, jumlah aset atau pendapatan serta tanggal tutup buku.
Deviasi jumlah aset yang digunakan sebesar 30% dari jumlah aset perusahaan fraudnya.

Pembahasan
I. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif digunakan untuk melihat persebaran data variabel yang digunakan
dalam penelitian. Data dianggap outlier bila memiliki rata-rata diatas 3 atau dibawah -3
standar deviasi (tiga kali standar deviasi) masing-masing variabel. Namun data outlier
dalam penelitian ini tetap digunakan dengan melakukan winsorization. Winsorization
merupakan perlakuan terhadap data outlier dengan menurunkan atau menaikkan nilai
data outlier ke nilai terdekat di masing-masing variabel. Winsorization ini dilakukan
karena keterbatasan jumlah sampel yang diperoleh. Tabel 1 yang tersaji di lampiran
merupakan statistik deskriptif yang telah diberikan perlakuan winsorization.

14
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

14

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Dalam penelitian ini digunakan 32 sampel perusahaan yang terdiri dari 16 sampel
perusahaan fraud dalam laporan keuangan dan 16 sampel perusahaan non-fraud dalam
laporan keuangan sebagai matching sample. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 4.2 pada variabel P_FRAUD yang memiliki mean 0.50, yang artinya terdapat
perbandingan 1:1 antara perusahaan fraud dan matching sample. Sebagai salah satu alat
untuk mendeteksi fraud dalam laporan keuangan,

Aggregated prior discretionary accruals membantu mengukur pengelolaan laba yang


dilakukan dengan melakukan sum up pengelolaan laba sejak tiga tahun hingga satu
tahun sebelum terjadinya fraud. Dilihat dari nilai rata-ratanya, tingkat diskresi pada
akun akrual sebesar -0.7528. Ini artinya tingkat diskresi pada akun akrual selama tiga
tahun sebelum terjadinya fraud tergolong rendah. Perusahaan yang memiliki nilai
minimum diskresi akrual, yaitu PT Palm Asia Corpora. Sementara nilai maksimum
dimiliki oleh PT Asia Grain Internasional. Perusahaan yang memiliki tingkat diskresi
akrual tertinggi dan terendah dalam akumulasi tiga tahun berasal dari sampel
perusahaan fraud. Seharusnya yang memiliki tingkat diskresi terendah bersalah dari
perusahaan matching sample.

Abnormal book tax differences merupakan bagian residual dari book-tax differences
sebagai salah satu variabel untuk mengukur tingkat pengelolaan pajak memiliki nilai
tertinggi 9.35 sementara nilai terendahnya ialah -11.385. Perusahaan yang memiliki
nilai terendah ABTD yaitu PT Fortune Mate Indonesia dan nilai tertingggi adalah PT
Intraco Penta. Keduanya termasuk dalam matching sample. Secara praktik perbedaan
antara laba akuntansi dan laba fiskal pada perusahaan yang melakukan fraud dalam
laporan keuangan tidak selalu melambung tinggi. Dengan rentang yang cukup jauh
antara nilai tertinggi dan nilai terendah maka dapat dijelaskan bahwa persebaran data
dalam variabel ini cukup luas.

Unexpeceted revenue per employee digunakan untuk melihat tingkat penggelembungan


pendapatan per karyawan di masing-masing perusahaan dibandingkan dengan tingkat
pendapatan per karyawan pada tingkat industri. Variabel ini memiliki mean sebesar
0.1457. Bila ditelusuri lebih jauh, persebaran data pendapatan per karyawan lebih
banyak yang berada dibawah nilai rata-rata. Hanya 4 dari 32 perusahaan yang memiliki
pendapatan di atas rata-rata, namun bukan berarti pendapatan yang rendah tidak dapat
15
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

15

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

diindikasikan fraud. Pendapatan popular digunakan sebagai indikasi fraud karena paling
rentan dimanipulasi. Salah satu perusahaan dengan unexpected revenue per employee
terbesar ialah PT Bakrie & Brothers. Di variabel ini data PT Bakrie & Brothers
termasuk data outlier sehingga di-winsorization.

Sales to asset merupakan variabel kontrol yang menggambarkan produktivitas aset.


Nilai tertinggi dari variabel dimiliki oleh PT Hero Supermarket, namun data termasuk
outlier sehingga dilakukan winsorization menjadi 1.54. Nilai sales to asset yang tinggi
bukan berarti dapat memberikan gambaran yang lebih baik dalam memprediksi fraud.
Pertumbuhan penjualan memiliki rata-rata 0.1111 dari sampel keseluruhan. Nilai
tertinggi dimiliki oleh PT Suryamas Dutamakmur sebesar 0.4642 dan terendah sebesar 0.86 dimiliki oleh PT Fortune Mate Indonesia. Dari 32 sampel, 16 diantaranya
mengalami pertumbuhan yang positif dan hampir semuanya berada diatas rata-rata
sementara 16 lainnya mengalami pertumbuhan negatif. Pertumbuhan penjualan
diindikasikan positif pada perusahaan fraud. Namun bukan berarti pertumbuhan
penjualan yang positif dan diatas rata-rata mengindikasikan kalau perusahaan tersebut
tergolong dalam perusahaan fraud. Return on asset merupakan rasio yang
menggambarkan tingkat pengembalian laba bersih terhadap aset. Rentang antara nilai
maksimum dan nilai minimumnya cukup besar dari 33.1496 hingga -56.3065 sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa persebaran data cukup luas. Perusahaan yang memiliki
ROA terbesar adalah PT Sepatu Bata sementara yang terkecil hingga menyentuh minus
ialah PT Fortune Mate Indonesia. Semakin kecil nilai ROA maka semakin
menunjukkan kalau aset yang dimiliki perusahaan tidak dapat meningkatkan laba
perusahaan.

II. Hasil Regresi

Hubungan Aggregate Prior Discretionary Accruals Terhadap Fraud


Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada PRIOR_DAC menunjukkan hasil
positif 0.138, sementara nilai signifikannya sebesar 0.081. Nilai positif pada B sesuai
dengan prediksi pada hipotesis. Ini artinya terdapat hubungan positif secara signifikan
pada tingkat keyakinan 90% antara pengelolaan laba pada periode tiga tahun sebelum
fraud terhadap kemungkinan terjadinya fraud. Hasil pengujian ini konsisten dengan
penelitian Perols dan Barbara (2011) namun pada penelitian Perols dan Barbara (2011)
16
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

16

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

PRIOR_DAC signifikan pada tingkat keyakinan 95%. Dengan demikian variabel


PRIOR_DAC dapat dikatakan marginally significance. Dari hasil regresi tersebut
terbukti bahwa fraud dapat dideteksi dengan menggunakan manajemen laba hingga tiga
tahun sebelum terjadinya fraud. Ini serupa dengan hasil penelitian Dechow, et al.
(1996).

Hubungan Abnormal Book-Tax Differences Terhadap Fraud


Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada ABTD menunjukkan hasil negatif,
yaitu -0.067, sementara nilai signifikannya sebesar 0.719. Nilai negatif pada B tidak
sesuai dengan prediksi pada hipotesis. Ini artinya tidak adanya hubungan antara
penghindaran pajak dan fraud Hasil penelitian ini sejalan dengan Ettredge et al. (2008)
yang menyatakan bahwa book-tax differences tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan fraud. Ini membuktikan bahwa walaupun variabel BTD
didekomposisi dan digunakan secara spesifik, abnormal BTD yang menggambarkan
tingkat oportunistik manajemen, tetap saja tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap fraud. Hal ini terkait dengan peraturan pajak di Indonesia. Perusahaan yang
tergolong dalam industri agriculture, mining, construction dan financial dikenakan
pajak khusus, final dan memiliki regulasi pajak yang ketat. Sampel yang termasuk
dalam golongan industri tersebut kecuali industri keuangan, tidak dikeluarkan dalam
penelitian ini karena keterbatasan sampel.

Hubungan Unexpected Revenue Per Employee Terhadap Fraud


Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada REV_EMP menunjukkan hasil positif
5.855, sementara nilai signifikannya sebesar 0.036. Nilai positif pada B sesuai dengan
prediksi pada hipotesis. Ini artinya terdapat hubungan positif secara signifikan pada
tingkat keyakinan 95% antara penggelembungan pendapatan terhadap kemungkinan
terjadinya fraud. Ini artinya semakin besar tingkat penggelembungan pendapatan maka
semakin tinggi kemungkinan terjadinya fraud. Hasil pengujian ini sesuai penelitian
Perols dan Barbara (2011) yang menyebutkan bahwa unexpected revenue per employee
dapat memprediksi terjadinya fraud pada pendapatan.
Hubungan Sales to Asset Terhadap Fraud
Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada SALES_ASSET menunjukkan hasil
negatif, yaitu -0.2138, sementara nilai signifikannya sebesar 0.079. Nilai negatif pada B
17
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

17

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

sesuai dengan prediksi. Ini artinya sales to asset memang memiliki hubungan yang
negatif signifikan terhadap kemungkinan terjadinya fraud dalam laporan keuangan. Ini
membuktikan bahwa Sales to asset bukan prediktor yang baik untuk mengindikasikan
fraud dalam laporan keuangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Fanning dan Coger
(1998) yang menyebutkan bahwa adanya hubungan negatif antara sales to asset yang
rendah dengan fraud. Pengaruh aset bisa jadi lebih dominan daripada penjualan
sehingga sales to asset lebih tepat menggambarkan financial distress maka dari itu
hubungan yang terjadi antara sales to asset dan fraud dalam laporan keuangan terjadi
tidak secara langsung atau dapat dikatakan tidak terdapat hubungan secara langsung
antara keduanya. Selain itu sales to asset memiliki double-entry effect sehingga dapat
mengurangi keakuratanya dalam memprediksi fraud.
Hubungan Growth Sales Terhadap Fraud
Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada GRW_SALES menunjukkan hasil
negatif, yaitu -3.201, sementara nilai signifikannya sebesar 0.144. Nilai negatif pada B
tidak sesuai dengan prediksi. Ini artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
pertumbuhan penjualan terhadap kemungkinan terjadinya fraud. Hal ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian Erickson et al. (2006) serta Perols dan Barbara (2011) yang
menyebutkan bahwa pertumbuhan penjualan memiliki hubungan positif dengan fraud.
Namun Brazel, Jones and Zimbelman (2009) menemukan adanya hubungan positif dan
negatif antara growth sales dan fraud. Perusahaan yang meningkatkan pendapatan
secara curang akan memiliki tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi namun tidak
normal. Di lain sisi perusahaan tersebut sebenarnya memiliki tingkat pertumbuhan
penjualan yang rendah.
Hubungan Return on Asset Terhadap Fraud
Berdasarkan Tabel 2 pada lampiran nilai B pada ROA menunjukkan hasil positif yaitu 0.0612, sementara nilai signifikannya sebesar 0.667. Nilai negatif pada B sesuai dengan
prediksi. Ini artinya terdapat hubungan negatif antara return on asset terhadap
kemungkinan terjadinya fraud. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Perols dan
Barbara (2011) yang menyebutkan bahwa ROA yang rendah dapat mengindikasikan
terjadinya fraud dalam laporan keuangan.

18
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

18

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan memberikan bukti empiris mengenai hubungan manajemen laba
terhadap kemungkinan terjadinya fraud pada laporan keuangan. Faktor-faktor yang diuji
diantaranya pengelolaan laba sebelum terjadinya fraud, penghindaran pajak dan
penggelembungan pendapatan. Pengelolaan laba tiga tahun sebelum terjadinya fraud (t 3)

terbukti memiliki hubungan positif dengan fraud dalam laporan keuangan secara

marginally significance. Hal yang sama juga terjadi pada penggelembungan pendapatan
yang juga terbukti memiliki hubungan positif signifikan dengan fraud dalam laporan
keuangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengelolaan laba
terdahulu dan penggelembungan pendapatan, maka semakin besar kemungkinan adanya
fraud dalam laporan keuangan. Sebaliknya, abnormal book tax differences justru
memiliki hubungan negatif dengan fraud dalam laporan keuangan. Hal ini kemungkinan
karena ada beberapa sampel perusahaan yang tergolong pada industry yang dikenakan
pajak khusus, pajak final dan memiliki regulasi perpajakan yang ketat.
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Pertama, terbatasnya sampel
penelitian karena tidak mendapat data dari Bapepam sehingga menggunakan pencarian
di koran dan berita nasional. Untuk penelitian berikutnya diharapkan dapat memperluas
sampel dan juga dapat mengikutsertakan perusahaan yang melakukan restatement
karena kesalahan penyajian dalam laporan keuangan. Selain itu dapat juga memasukkan
perusahaan non Tbk. Kedua, sampel hanya terbatas pada perusahaan yang melakukan
fraud atas laporan keuangan, penelitian selanjutnya dapat memasukkan juga perusahaan
yang melakukan fraud karena penyalahgunaan aset atau korupsi. Ketiga, Pengukuran
manajemen laba dengan menggunakan discretionary accruals juga memiliki beberapa
kelemahan sehingga penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode pengukuran
manajemen laba lainnya seperti aktivitas riil dari Roychowdhury (2006) karena dinilai
lebih mampu mendeteksi manajemen laba dibanding model akrual. Keempat, penelitian
selanjutnya dapat memasukkan variabel analyst forecast karena dari beberapa penelitian
terdahulu, variabel tersebut memiliki hubungan positif dengan fraud dalam laporan
keuangan. Kelima, mengeluarkan sampel penelitian yang termasuk dalam industri
agriculture, mining, construction dan financial karena industri tersebut dikenakan pajak
khusus, pajak final dan memiliki regulasi pajak yang ketat.

19
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

19

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Kepustakaan

Association of Certified Fraud Examiners. 2012. Report to The Nations on


Occupational Fraud and Abuse.
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2002. Siaran Pers Badan
Pengawas Pasar Modal.
Beneish, M. 1997. Detecting GAAP violation: Implications for assessing earnings
management among firms with extreme financial performance. Journal of
Accounting and Public Policy, 16, 271309.
Beneish, M. 1999. Incentives and penalties related to earnings overstatements that
violate GAAP. The Accounting Review, 74(4), 425457.
Brazel and Zimbelman. 2009. Using Non-financial Measure to Asses Fraud Risk.
Journal of Accounting Research, 47(5), 1135-1166.
Cressey, Donald. 1953. The Internal Auditor as Fraud Buster. Managerial Auditing
Journal. MCB University Press.
Dechow, P., Sloan, R., & Sweeney, A. 1996. Causes and consequences of earnings
manipulations: An analysis of firms subject to enforcement actions by the SEC.
Contemporary Accounting Research, 13(1), 136.
Erickson, M., Hanlon, M., & Maydew, E. L. 2006. Is there a link between executive
equity incentives and accounting fraud? Journal of Accounting Research, 44(1),
113143.
Ettredge et al. 2008. Is Earnings Fraud Associated With High deferred Tax and/or Book
Minus Tax Level? A Journal Practice and Theory, Vol.27, No.1
Fanning, K., & Cogger, K. 1998. Neural network detection of management fraud using
published financial data. International Journal of Intelligent Systems in
Accounting, Finance and Management, 7(1), 2141.
Healy, P. M., & Wahlen, J. M. 1999. A review of the earnings management literature
and its implications for standard setting. Accounting Horizons, 13(4), 365383.
Hill.
Institute of Internal Auditor. 2003. Tone at The Top.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik.
Kaminski, K., Wetzel, S., & Guan, L. 2004. Can financial ratios detect fraudulent
financial reporting. Managerial Auditing Journal, 1(19), 1528.
Kasznik, R. 1999. On The Association Between Voluntary Disclosure And Earnings
Management. Journal of Accounting Research, 37(1), 5781.
Levvit, Arthur. 1998. The Number Game. NYU Center For Law And Business, New
York, N.Y.
Lou and Wang. 2009. Fraud Risk Factor Of The Fraud Triangle Assessing The
Likelihood Of Fraudulent Financial Reporting. Journal of Business & Economics
Research, Volume 7, Number 2
Martin, Dale. 2002. When Earnings Management Becomes Fraud. Internal Auditing;
Jul/Aug 2002; 17, 4; pg 14.
McNichols, M.F. 2000. Research Design Issues In Earnings Management Studies.
Journal of Accounting and Public Policy, 19.
Permatasari, Gayatri Rininta. 2011. Pengaruh Manajemen Laba Dan Perencanaan
Pajak Terhadap Kandugan Informasi Laba Perusahaan Manufaktur Di Indonesia.
Skripsi Program Studi Sarjana Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.

20
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

20

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Perols and Barbara. 2011. The Relation Between Earnings Management and Financial
Statement Fraud. Advances in Accounting in International Accounting 27 (2011)
30-53.
Phillips, J., Pincus, M., & Rego, S. O. 2003. Earnings management: New evidence
based on deferred tax expense. The Accounting Review, 78(2), 491521.
Ratnaningdyah, Renny. 2012. Perbandingan defered tax expense (DTE) dan book
income minus taxable income (BMT) antara fraud firms dengan non fraud firms.
Skripsi Program Studi Sarjana Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
2012
Rezaee, Zabihollah. 2005. Causes, consequences, and deterence of financial statement
fraud. Critical Perspectives on Accounting 16 (2005) 277298
Ronen dan Varda Yaari. 2008. Earnings management: Emerging insights in theory,
practice, and research. Springer, New York.
Roychowdhury, S. 2006. Earnings Management Through Real Activities Manipulation.
Journal of Accounting and Economics, 42(3), 335370. Salemba Empat.
Skousen, Christopher J. 2009. Detecting And Predicting Financial Statement Fraud:
The Effectiveness Of The Fraud Traingle And SAS No. 99. SSRN
Sulistyato, Sri. 2008. Manajemen Laba, Teori dan dan Model Empiris. Jakarta:
Grasindo.
Tang and Firth. 2011. Can booktax differences capture earnings management and tax
Management? Empirical evidence from China. The International Journal of
Accounting 46 (2011) 175204.
Waluyo. 2008. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Watts, R. L., & Zimmerman, J. L. 1986. Positive accounting theory. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall.
Yulianti. 2005. Kemampuan Beban Pajak Tanguhan Dalam Mendeteksi Manajemen
Laba. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, 107-129.

21
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

21

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Lampiran
Tabel 1 Statitik Deskriptif
Variabel
P_FRAUD
PRIOR_DAC
ABTD
REV_EMP
SALES_ASSET
GRW_SALES
ROA

Minimum

Maximum

Mean

Std. Dev

32
32
32
32
32
32
32

0.0000
-19.0509
-11.0385
-1.0153
0.0238
-0.8625
-56.3065

1.0000
28.3676
9.3471
10.4092
2.8387
0.4642
33.1496

0.5000
-0.7528
-1.3500
0.1457
0.6744
-0.1111
-1.0328

0.5080
7.0397
3.4376
1.9298
0.6305
0.3732
17.1652

P_FRAUD = dummy variable, bernilai 1 (0) bila perusahaan melakukan fraud,


PRIOR_DAC = pengelolaan laba dengan pengukuran discretionary accruals selama
tiga tahun sebelum perusahaan terindikasi fraud, ABTD = pengelolaan pajak dengan
pengukuran abnormal book-tax differences, REV_EMP = pendapatan per karyawan
untuk melihat penggelembungan pendapatan, SALES_ASSET = penjualan bersih per
total aset untuk menggambarkan capital productivity, GRW_SALES = pertumbuhan
penjualan, ROA = mengukur tingkat pengembalian laba bersih setelah pajak terhadap
total aset.

Tabel 2 Hasil Pengujian


Variabel

Prediksi

Sig.

Exp(B)
10.895
1.148
0.935
349.02
0,118
0.041
0.984
0.267
0.038

2.388
Constant
0.138
PRIOR_DAC
+
-0.067
ABTD
+
5.855
REV_EMP
+
-2.138
SALES_ASSET
-3.201
GRW_SALES
+
-.0162
ROA
Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit
Omnibus Test of Model Coefficients

0.040
0.081**
0.719
0.036*
0.079**
0.144
0.667
Sig.
Sig.

Nagelkerke R Square
Keakurasian Model

R2
Overall %

0.454
78.1

*, ** signifikan pada alpha 10%, 5%

P_FRAUD = dummy variable, bernilai 1 (0) bila perusahaan melakukan fraud,


PRIOR_DAC = pengelolaan laba dengan pengukuran discretionary accruals selama
tiga tahun sebelum perusahaan terindikasi fraud, ABTD = pengelolaan pajak dengan
pengukuran abnormal book-tax differences, REV_EMP = pendapatan per karyawan
untuk melihat penggelembungan pendapatan, SALES_ASSET = penjualan bersih per
total aset untuk menggambarkan capital productivity, GRW_SALES = pertumbuhan
penjualan, ROA = mengukur tingkat pengembalian laba bersih setelah pajak terhadap
total aset.
22
SNA 17 Mataram, Lombok
Universitas Mataram
24-27 Sept 2014

22

File ini diunduh dari:


www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id

Você também pode gostar