Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
I. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit
TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis
yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)
dan kelenjar pada hilus.1,2
II. Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO ) memperkirakan bahwa setiap tahun anak
yang menderita TB ada 6 % sampai 10 % dari semua kasus TB di seluruh dunia.
Di negara-negara dengan kasus penyakit TB yang tinggi, anak yang menderita TB
mencapai 40 % dari semua kasus TB baru, setengah juta anak-anak di seluruh
dunia menderita TB setiap tahun, dan lebih dari 74.000 anak meninggal akibat
penyakit TB setiap tahunnya. TB pada anak telah menjadi "epidemi tersembunyi"
selama bertahun-tahun. Anak dengan TB sangat sulit untuk didiagnosa karena
sedikitnya sumber daya dan sering tidak dilaporkannya kepada petugas kesehatan.
Banyak anak tidak bisa mengeluarkan dahak saat batuk, sehingga sulit untuk
dilakukan pengujian TB. Bahkan ketika dahak dari anak tersedia sulit untuk
didiagnosa, bahkan dengan menggunakan tes paling mahalpun hanya sekitar 30 %
dari kasus yang dapat terdiagnosa.6
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara
semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada
tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan
kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB
Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan
jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok
umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari
semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012
menjadi 6%.1
III. Patogenesis
Seseorang akan terinfeksi kuman TB kalau dia menghirup droplet yang
mengandung kuman TB yang masih hidup dan kuman tersebut mencapai alveoli
paru (catatan: Seseorang yang terinfeksi biasanya asymptomatic/tanpa gejala).
Sekali kuman tersebut mencapai paru maka kuman ini akan ditangkap oleh
makrofag dan selanjutnya dapat tersebar ke seluruh tubuh. Jika seorang anak
terinfeksi TB, dia pasti sudah mengalami kontak cukup lama dengan orang yang
menderita TB. Orang yang terinfeksi kuman TB dapat menjadi sakit TB bila
kondisi daya tahan tubuhnya menurun. Sebagian dari kuman TB akan tetap
tinggal dormant dan tetap hidup sampai bertahun-tahun dalam tubuh manusia.
Hal ini dikenal sebagai infeksi TB laten. Paru merupakan port dentre dari 98%
kasus infeksi TB. Seseorang dengan infeksi TB laten tidak mempunyai gejala TB
aktif dan tidak menular.Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
ukurannya sangat kecil (<5 m), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus..
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada
individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang
biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya,
kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
Ghon.1,2,3, 8
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex). 1,3
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu, biasanya berlangsung selama 48
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas selular 1,3
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI). 1,3
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.1,3
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi. 3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. 1
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.1
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun. 1
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread1
IV.
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
sistemik/umum lain.
Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit,
adalah sebagai berikut:
a
b
Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
Tuberkulosis mata:
1). Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
2). Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
2. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah
dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal,
cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Masing-masing pendekatan diagnostik
yang dijelaskan memiliki keterbatasan . Namun, ketika kombinasi klinis ,
radiologis , laboratorium , dan temuan histopatologis konsisten dengan
diagnosis TB dan ada bukti epidemiologi paparan tuberkulosis atau bukti
imunologi infeksi M. tuberculosis, mungkin merupakan diagnosis yang
akuratdalam banyak kasus. 1,10
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan
kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada
bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk
penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum,
induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat
memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan
gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.1
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma
3. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
1
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
Penegakan Diagnosis
1
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebutFoto
7
8
skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari
total skor 13.
9
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain
misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR
maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan
klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada
saat diagnosis.1
sebagai TB paru.
Berat dan ringannya penyakit
1
setiap
resistansi
terhadap
rifampisin
dalam
bentuk
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi
Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid
ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
1
2
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.
empat macam obat (RHZ + etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan diberikan
RH selama 10 bulan.
Streptomisin dipilih sebagai terapi keempat setelah RHZ dibanding etambutol
pada kasus ini dikarenakan toksisitas etambutol pada mata. Sedangkan streptomisin
sangat baik berdifusi pada jaringan dan cairan pleura, dan dieskresi melalui ginjal.
Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB,
pericarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, maksimal 60 mg/hr.
lama pemberian kortikosteroid adalah 2 4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan
tapering off selama 1 -2 minggu.
Efek samping OAT antara lain adalah gangguan gastrointestinal, ruam dan
gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang harus diperhatikan adalah
hepatotoksisitas. Oleh sebab itu pada pasien kasus ini kadar SGOT dan SGPT harus
dipantau berkala tiap 2 minggu selama 2 bulan pertama dan selanjutnya dapat lebih
jarang.
dianjurkan
dapat
dilihat
pada
tabel
berikut.
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
a
digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan paduan terapi
dewasa pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk anak MDR TB juga
sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan pada anak.
Prinsip Paduan pengobatan TB MDR pada anak:
Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip
pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:
Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu masih
sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih baik kalau
b
c
d
e
generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus dilanjutkan
Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT.
Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung.
diberikan sampai pola kerentanan ditentukan dan regimen lebih spesifik dapat
dirancang.11
VIII. PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK
Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium
bovis. Pemberian
vaksinasi BCG
berdasarkan
Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB
milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.
Vaksinasi dengan Bacille Calmette-Guerin ( BCG ) mengurangi risiko
penyebaran penyakit TB dan meningitis pada anak-anak tetapi tidak menjamin
perlindungan yang konsisten terhadap orang dewasa.6
Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut
akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB
berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Cara pemberian Isoniazid
untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB (7-
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan
BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.1
DAFTAR PUSTAKA
1
http://jid.oxfordjournals.org/content/196/Supplement_1/S52.full
CDC.Tuberculosis(TB).http://www.cdc.gov/tb/topic/populations/tbinchildren/glob
al.htm
Illu D, Picauly I, Ramang R. 2012. Faktor-Faktor Penentu Kejadian Tuberkulosis
Paru pada Penderita Anak Yang Pernah Berobat Di Rsud W.Z Yohanes Kupang
. Kupang. Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana, Universitas
8
9
Nusa Cendana.
Gupte S. 2004. Panduan Perawatan Anak.Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Espositto S, dkk. 2013. Tuberculosis in Children.Mediterannean Journal of
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.
Pendahuluan
Efusi pleura (adanya cairan di ruang pleura) yang muncul lebih sedikit pada
anak-anak dibandingkan orang dewasa dapat disebabkan oleh beragam infeksi dan
penyakit bukan infeksi. Kebanyakan informasi yang ada tentang efusi pleura berasal
dari penelitian orang dewasa. Penyebab dari efusi pleura pada anak-anak berbeda
secara nyata dibandingkan orang dewasa tersebut. Pada orang dewasa, kebanyakan
penyebab efusi pleura adalah gagal jantung kongestif (transudat), dan bakteri
pneumonia serta keganasan adalah penyebab utama dan sering untuk eksudat. Efusi
pleura pada anak-anak umumnya kebanyakan adalah infeksi (50-70% efusi
parapneumonik), gagal jantung kongestif adalah penyebab yang lebih sedikit (515%) dan keganasan adalah kasus yang jarang.1,2
Efusi parapneumonik didefinisikan sebagai cairan di rongga pleura sehubungan
dengan adanya pneumonia, abses paru, atau bronkiektasis. Bakteri non - TB
Definisi
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan
dalamrongga pleura. Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural,
proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat
penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudat,
eksudat, atau dapat berupa darah atau pus.1,4
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi.
III.
Patofisiologi
Di dalam rongga pleura terdapat + 5ml cairan yang cukup untuk membasahi
seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Cairan ini dihasilkan oleh
kapiler pleura parietalis karena adanya tekanan hodrostatik, tekanan koloid dan daya
tarik elastis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura
yang
pada
perkusi
redup
timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karenacairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit
terdengar krepitasi pleura
V.
Penatalaksanaan Umum
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila
empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat dibantu
dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik. Pengobatan secara
sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi
pengeluaran cairan yang adequate.
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat dilakukan
pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura parietalis. Zat-zat yang
dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin, Corynecbaterium parvum dll.
1.
Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
2.
Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
3.
Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
4.
Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen (analisis),
menghilangkan dispnea.
5. Water seal drainage (WSD)
Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala subyektif
seperti nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1 1,2 liter perlu dikeluarkan segera
untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika jumlah cairan efusi lebih banyak
maka pengeluaran cairan berikutya baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.
6. Antibiotika jika terdapat empiema.
7.
Operatif.
VII.
Komplikasi
Komplikasi dari efusi pleura termasuk runtuhnya paru-paru; pneumotoraks,
atau udara dalam rongga dada, yang merupakan efek samping umum dari prosedur
Thoracentesis, dan empyemas (abses) disebabkan oleh infeksi dari cairan pleura,
yang memerlukan drainase cairan.
Efusi pleura dapat menempatkan pasien dengan asbestosis atau mesothelioma
risiko bahkan lebih dibandingkan pasien lain - jika itu mengarah pada kesulitan
bernapas. Hal ini karena pasien dengan kondisi ini sehingga sering menderita jaringan
parut pleura, yang dengan sendirinya membuatnya sangat sulit untuk bernapas. Efusi
pleura dapat memperburuk masalah ini, dan akhirnya ketidakmampuan untuk
bernapas dengan benar dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap spiral
pasien.
4.
ADENOSINE DEAMINASE
Sulitnya menentukan penyebab pasti efusi pleura pada 20% kasus meski telah
melalui anamnesa, pemeriksaan klinis, radiologik, laboratorium serta biopsi cairan
pleura, maka diperlukan adanya pemeriksaan yang cepat dan dapat diandalkan untuk
mengetahui penyab pasti efusi pleura yang terjadi. ADA (Adenosine deaminase)
adalah enzim yang beperan pada metabolism purin. ADA diperlukan untuk proliferasi
dan differensiasi dari sel limfoid, terutama T cells, dan membantu pematangan dari
monosit sampai dengan makrofag. Menurut beberapa studi kadar ADA pada penderita
TB.2
Alasan utama peningkatan kadar ADA pada efusi pleura adalah karena
pergerakan limfosit T ke area ini. Reaksi inflamasi yang disebabkan aktivitas monosit
dan makrofag menyebabkan peningkatan kadar ADA. Seiring dengan penurunan
limfosit pada pengobatan TB paru, kadar ADA juga turut menurun sehingga kadar
serum ADA juga dapat digunakan sebagai indeks respon terapi.1,2
Menurut studi yang dilakukan oleh Verma dkk tahun 2008 menunjukkan
kadar ADA pada efusi pleura karena TB >100 IU/L, sedangkan pada efusi pleura nonTB menunjukkan kadar ADA tidak melebihi 100 IU/L.1
DAFTAR PUSTAKA:
1. Verma
SK,
et
al.
July
2008.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2822331/
Available
.
from:
Accessed
september 2015.
2. Afrasiabian S, et al. diagnostic value of serum adenosine deaminase level in
pulmonary
tuberculosis.
Mar
2013.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3732909/
september 2015.
Available
.
from:
Accessed
HUBUNGAN
PUNKSI
PLEURA DAN
WSD
PNEUMOTHORAX
Empiema
adalah
akumulasi
pus
diantara
yang
menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi.
Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada
paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya
perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi
kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian
paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen.
Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau
abses dalam paru. Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan
dada, trauma tembus dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau
karena pemasangan chest tube.
(Peter HM et all. Empyema :Epidemiology and Pathophysiology. Associate Professor of Pediatrics,
Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar 18 2009)