Você está na página 1de 40

ADENOMIOSIS

Pembimbing :
dr. Semuel, SPOG

Penyaji :
Aria Pratama Hayanto
(07120110062)

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


1

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kandungan dan Kebidanan


Rumah Sakit Bhayangkara Tk. I, R.S Sukanto
Periode : 20 September 2015 21 November 2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Adenomiosis,

dikenal

pula

dengan

nama

endometriosis

interna,

merupakan kelainan jinak uterus yang ditandai oleh adanya komponen


epitel dan stroma jaringan endometrium fungsional di miometrium.1,2
Istilah adenomiosis diperkenalkan pertama kali oleh Frankl (1925) dua
tahun sebelum istilah endometriosis diperkenalkan oleh Sampson
(1927).2,3

Gambaran cystosarcoma adenoids uterinum (istilah awal adenomiosis)


pertama kali dilaporkan oleh patolog Carl von Rokitansky (1860).2,3,4
Pada tahun 1896, von Recklinghausen melaporkan fenomena yang sama
dengan istilah adenomyomata dan cystadenomata.2 Pada masa itu,
patomekanisme
berbeda.3

adenomiosis

Thomas

Stephen

dan

endometriosis

Cullen

(1908)

masih

dianggap

menemukan

tumor

intramiometrial dengan epitel dan stroma endometrial terdistribusi di


dalamnya. Tahun 1921 barulah disadari bahwa adenomiosis dan
endometriosiskeduanya berasal dari jaringan endometriotik serupa.2,3

Tahun 1972, Bird et al. mengemukakan definisi adenomiosis sebagai


invasi jinak jaringan endometrium ke dalam lapisan miometrium yang
menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis
kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh
jaringan

miometrium

hipertrofik

dan

hiperplastik.2,3,4

Belakangan

diketahui ada adenomiosis yang bermanifestasi sebagai lesi fokal


terisolasi dalam miometrium.1

Pada awal tahun 1988, Honor

et al. mempublikasikan kasus

adenomiosis pada tiga wanita muda infertil yang menjalani pembedahan


dengan diagnosis awal leiomioma uteri.4 Memang, telah lama dicurigai
adenomiosis berperan sebagai salah satu penyebab subfertilitas bahkan
infertilitas pada populasi wanita. Hanya saja diagnosis adenomiosis saat
itu masih berdasarkan spesimen histerektomi sehingga sangat sulit
mengevaluasi pengaruhnya terhadap fertilitas.4

Kini, pada wanita muda tanpa gejala sekalipun magnetic resonance


imaging (MRI) memungkinkan identifikasi penebalan junctional zone (JZ),
tautan antara endometrium dengan sisi dalam miometrium. JZ mengalami
penebalan signifikan pada adenomiosis.4Transvaginal sonography(TVS)
memungkinkan identifikasi adenomiosis itu sendiri.4,5,6 Kedua teknik
noninvasif tersebut cukup akurat dalam mendiagnosis adenomiosis
preoperatif.4

1.2 Tujuan Penulisan


Mengetahui lebih lanjut mengenai Adenomiosis

1.3 Masalah
1.3.1 Definisi dan fisiologi dari Adenomiosis
1.3.2

Etiologi,

patogenesis,

serta

manifestasi

klinis

dari

Adenomiosis
1.3.3 Diagnosis, diagnosis banding, pengobatan, serta pencegahan
dari Adenomiosis

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Membuat penjelasan mengenai Adenomiosis sehingga dapat
menjadi acuan manajemen penyakit
1.4.2 Sebagai bahan pembelajaran mengenai Adenomiosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bird et al. (1972) mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi
jinak jaringan

endometrium

ke

dalam

lapisan

miometrium yang

menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran mikroskopis


kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh
jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik. 2,3,4 Definisi tersebut
masih berlaku hingga sekarang dengan modifikasi. Adenomiosis adalah
keberadaan kelenjar dan stroma endometrium pada sembarang lokasi di
kedalaman miometrium. Isu kedalaman menjadi penting sebab batas JZ
seringkali ireguler, dan adenomiosis harus dibedakan dengan invaginasi
miometrium basalis minimal. Ada dua cara membedakannya, pertama
apakah ada hipertrofi miometrial di sekitar fokus adenomiotik bila JZ tidak
tampak. Kedua, jarak JZ dengan fokus adenomiotik tidak lebih dari 25%
total ketebalan miometrium.2

Sathyanarayana (1991) membagi adenomiosis kedalam 3 kategori


berdasarkan kedalaman lokasi lesi yaitu lesi terbatas pada lapisan basal,
lapisan dalam dan lapisan permukaan.7

Gordts et al. (2008) mengusulkan sistem klasifikasi adenomiosis


sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus. Pertama,
hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada
wanita berusia 35 tahun. Kedua, adenomiosis parsial atau difus,
ketebalan JZ 12 mm, fokus miometrial berintensitas sinyal tinggi, dan
melibatkan komponen di luar miometrium <, < atau >. Dan ketiga,
adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas
sinyal rendah pada semua sekuens MRI. 4

2.2 Epidemiologi
Karena diagnosis adeniomiosis ditegakkann secara histologis, angka
insidensi yang pasti tidaklah dapaty ditentukan. Dalam berbagai penelitian,
prevalensinya berkisar antara 5 hingga 70%. Besarnya rentang ini
mungkin dikarenakan oleh banyak faktor termasuk klasifikasi diagnostik
yang beragam, perbedaan jumlah jaringan yang diambil sebagai sampel
biopsi dan bias yang mungkin ntimbul dari hali patologinya sendiri karena
mempertimbangkan perjalanan penyakity pasien. Secara umum, rata rata
frekluensi kejadian adenomiosis pada histerektomi adalah sekitar 20
hingga 30%.

Penelitian klinis berkala telah menunjukkan peningkatan frekuensi


kejadian adenomiosis pada pasien multipara. Kehamilan mungkin akan
meningkatkan resiko kejadian adenomiosis karena terjadi anvasi alamiah
trofoblas ke mniometrioum saat implabntasi. Sebagai tambahan, jika
dibandingkan dengan jaringan eutpik, jaringan adenomiosis memiliki rasio
jumlah reseptor estrogen yang lebih banyak, yang mana penoingatan
hormon selama kehamilan mungkinn akan mengiduksi adenomiosis.
Vercellini dkk mengamati bahwa kejadian adenomiosis memang secara
langsuing sangat berkaitan dengan kehamilan. Selain

itu Levgur dkk

melaporkan pasien yang telah menjalani terminasi kehamilan melalui


diatasi dan kuretase mengalami angka kejadian yang tinggi dalam hal
adenomiosis jika dibanmdingkan dengan wanita yang tidak pernah
menjalani terminasi kehamilan. Penelitian ini membuka kemungkinan

bahwa efek dari kehamilan terdahulu dalam hal patogenesis penyakit ini
tidak adapat diabaikan, namun angka pastinya masih belum dapat
ditentukan.

Beberapa studi menyatakan bahwa trauma akibat operasi di pelvis dapat


memicu invaginasi jaringan adenomiosis. Parazzini dkk juga mengamati
tingginya angka kejadian adenomiosis pada mereka yang telah menkalani
dilatasi dan kuretase. Meski demikian, maish terdapat bias dalam
penelitian tersbeuit, apakah memang peningkatan resiko adenomiosis itu
diosebabkan oleh prosedur dilatasi kuretasenya ataukah adenomiosisnya
disebabkan oleh fakta bahwa wanita yang menjalani dilatasi kuretase
biasanya mengalami hiperplasia jaringan nakiobat keadaan hipoestrogen,
yang pada akhirnya menyebabkan adenoimiosis. Studi lain mentebuitkan
tidak ada hubungan antara adenomiosis dengan riwayat operasi
transpelvic sebelumnya, ataupun Seksio Sesarea. Oleh karena itu, masih
belum jelas apakah riwayat operasi terdahulu merupakan faktor resiko
signifikan untuk adenoimiosis.

Tujuh puluh persen hingga 80% adenomiosis dilaporkan pada wanita umur
40 tahuna atau 50 tahunan. Karena diagnosis adenomiosis ditegakkan
secara histologis, pervalensi akan meningkat pada wanitya yang lebih tua,
mungkin karena tingginya riwayat prosedur histerektomiu pada kelompok
wanita tersebut. Mungkin juga ghal ini idkarenakan paparan estrogen yang
semakin meningkat seiring dengan pertmabhan usia. Lima hingga 25
persen kasus adenomiosis dijumpai pada pasien berumur kurangt dari 39

tahun dan hanya 5 persen hiungga 10% saja yang dijumpai pada wanita
usia lebih dari 60 tahun.

Meskipun insidensi adenomiosis pada wanita postmenopause cukup


rendah, mungkin insidensinya akan lebih tinggi padea kelompok wanita
tua yang mengosumsi tamoxifen. Tamoxifen adalah suatu senyawa
estrogen sitetik lemah yang berikatan dengan reseptor estrogen secara
selektif dan dapat berperan sebagai agonis estrogen pada reseptornya
yang berada di sel endometrium. Karena jaringan endometrium ektopik
extrauterine merupakan tujuan dari stimulasi hormonal, maka jaringan
adenomiosis dan endometriosis dapat muncul atau reaktivasi kembali.
Cohen dkk melaporkan 8 wanita postmenopause dengan kanker payudara
yang menjalani terapi dengan tamoxifen dean kemudian menjalani
histerektomi
menunjukkan

dengan

diagnosis

postoperativ

adalah

angka

insidensi

yang

tinggi

lebih

adenomiosis,
pada

wanita

postmenopause yang menjalani terapi pada populasi kecil ini.

2.3 Etiologi
Pada adenomiosis, kelenjar endometrium dan stroma muncul di jaringan
otot (miometrium) uterus. Meskipun etiologi yang pasti masih belum
diketahui, setidak-tidaknya 4 teori sudah pernah diajukan. Teori yang
pertama dan yang paling populer adalah bahwa adenomiosis dapat
berkembang dari invaginasi jaringan endometrium di miometrium. Teori
kedua menyebutkan bahwa adenomiosis dapat berkembang secara de

novo akibat sisa sisa dari jaringan mullerian pluripotent. Teori ketiga
menyebutkan bahwa adenomyosis terjadi karena invaginasi dari lapisan
basalis pada sistem limfatik intreamiometrium. Dalam tulisan ini, penulis
lebih condong pada teori yang lebih banyak diketahui umum seperti akan
dijelaskan berikut ini.

Pendapat yang paling lazim diterima adalah adenomiosis terjadi sebagai


akibat invaginasi dari endometrioum basal ke miometrium. Invaginasi
dapat terjadi karena lapisan miometrium mengalami perlunakan akibat
riwayat trauma misalnya pada riwayat operasi pelvis sebelumnya yang
memungkinkan jaringan endometrium aktif untuk tumbuh subur di tempat
sel-sel yang sudah mengalami cedera. Invaginasi sendiri juga dapat terjadi
akibat adanya fenomena immun menyimpang pada jaringan yang terlibat.
Prosedur imunohistokimia menunjukkan bahwa peningkatan jumlah
makrofag akan mengaktivasi sel T dan sel B yang kemudian akan
meghasilkan antibodi dan menstimulasi keluarnya sitokin, yang pada
akhjirnya sitokin ini akan merubah struktur endomiometrial junction.
Pencetus yang pasti dari proses invaginasi itu sendiri tidaklah diketahui,
meski demikian, diperkirakan pengaruh dari hormon hona invrmon
mungkin terlibat dalam menstimulasi terjadinya migrasi dari lapisan basal
endometrium tersebut. Studi mengenai reseptor steroid berkaitan dengan
hal ini ternyata menunjukkan hasil yang beragam, namun begitu, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa jaringan adenomyosis memiliki ekspresi
reseptor estradiol yang lebih tinggi dibandingkan endometrium yang
memang berada di endometrium sebenarnya. Peningkatan respons

10

terhadap estrogen ini mempermudah terjaidnya proses invaginasi dan


perluasan adenomiosis. Sebagai tambahan, jaringan adenomiosis juga
mengandung

enzim

aromatase

dan

enzim

estrogen

sulfat

yang

menghasilkan estrogen untuk menstimulasi pertumbuhan dan ekspansi


jaringan endometrium abnormal dan stromanya ke miometrium.

Teori kedua menyatakan bahwa adenomiosis terbentuk dari jalur


perubahan de novo sisa sisa jaringan mullerian. Titik titik adenomiosis
ekstrauterine

sebagaimana

yang

dijumpai

di

septum

rektovaginal

mendukung teori tersebut. Terlebih lagi penelitian mengenai properti


biologik dan proliveratif dari endometrium ektopik dan eutopik, masing
m,asing memeiliki karakteristik tersendiri. Matsumoto dkk mengamati
bhwa endometrium ektopik yang dijumpai pada kasus adenomiosis tidak
memberikan

respon

terhadap

perubahan

hormonal

sebagaimana

endomnterium eutopik. Perubahan sekretorik sangat jarang dijumpai,


bahkan sekalipun lapisan basalis dari endometrium yang sebenarnya
tengah berada di fase sekretorik. Jika dibandingkan dengan endometrium
eutopik, jaringan ektopik tidak menunjukkan adanya properti perubahan
siklik yang menginduksi regulasi apopotosis protein seperti ekspresi bel-2.
Temuan ini menunjukkan adanya proliferasi konstan dari jaringan ektopik
di dalam miometrium, dan juga menunjukkan karakteristik biologik yang
berbeda

dibandingkan

endometrium

eutopik.Penelitian

lain

juga

membandingkan beragam faktor pertrumbuhan dan sitokin seperti


misalnya angiogenik growth factor, basic fibroblast growth factor, yang
mana mungkin memiliki kontribusi dalam patogenesis perdaraha uteris

11

abnormal pada kasus adenomiosis. Hasil penelitian menunjukkan ekspresi


yang berbeda beda pada jaringan adenomiosis dibandingkan dengan
jaringan endometrium eutopik, dan hal ini berarti sejalan dengan teori
bahwa adenomiosis bukanlah berasal dari endopmetrium lapisan basala,
melainkan dari jalur de novo sendiri.

Teori ketiga, teori stem cell, didukung oleh fakta bahwa regenerasi
endometrium dapat diinduksi oleh stem cell yang berasal dari sumsum
tulang. Temuan ini memiliki implikasi yang potensial dalam hal
menentukan etiologi endmetriosis dan adenomiosis. Studi imunohistokimia
terkini mengungkapkan adanya jarinagn endometrium tambahan di 4
wanita yang menjalani prosedur transplantasi sumusm tulang dengan
ketidaksesuaian antigen HLA tunggal. Data ini menunjukkan stem sel yang
berasal dari sumsum tulang memiliki peranan daklam pertumbuhan
jaringan endometrium yang baru. Maka dari itu, mungkin saja stem cell
tadi juga dapat menginduksi pertumbuhan oendometrium di jarinagn otot
miometrium, dan menyebabkan adenomiosis dengan proliferasi lokal
kelenjar endmetrium dan stroma nya di miometrium

2.4 Histologi
Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga

12

archimetra memiliki karakter khas yang membedakannya dengan tautan


lain, berperan sebagai membran protektif lemah dan memungkinkan
kelenjar endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2weighted

menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia

produktif : (1) lapisan dalam, mukosa endometrium, intensitas tinggi (2)


lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa.

Penelitian terkini berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut
bersifat hormone-dependent sehingga mengalami perubahan ketebalan
secara siklis menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu
timbulnya peristaltik uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca
menopause tampak kabur pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau
pemberian analog GnRH.4

2.5 Patofisiologi
Mekanisme yang memicu invasi jaringan endometrium ke dalam
miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium secara
fisiologis berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal
ini

memungkinkan

lapisan

fungsional

menjadi

tempat

implantasi

blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam proses regenerasi


setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode
regenerasi kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung
dengan sel-sel berbentuk gelondong pada stroma endometrium. 4

13

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari


stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat
adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan
adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada
plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari
sisa duktus Muller.4

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada


masih harus dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas
mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA &
siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis.
Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan
lapisan basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium
akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat
proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan
langsung dengan sel-sel stroma endometrium yang membentuk sistem
mikrofilamentosa/trabekula

intraselular

dan

gambaran

sitoplasma

pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar


endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi
invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasif dimana
potensial invasif ini

bisa

memfasilitasi

perluasan

lapisan basalis

endometrium ke dalam miometrium.4,9

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu


menunjukkan kelenjar-kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

14

mengekspresikan
endometrium

reseptor

yang

mRNA

normal,

hCG/LH

secara

kelenjar-kelenjar

ini

selektif.

Pada

tidak

dapat

mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum


terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium
berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan
membentuk fokal adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan
ekspresi

reseptor hCG/LH ditemukan

pada

karsinoma

endometrii

dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang


ditemukan pada trofoblas invasif dibandingkan yang non-invasif pada
koriokarsinoma.4

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil


yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor
progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan

ekspresi

dibandingkan

estrogen.

reseptor
Dengan

progesterone

yang

menggunakan

lebih

tehnik

tinggi
pelacak

imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen


dan

progesteron

pada

lapisan

basalis

endometrium

maupun

adenomiosis.4

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium


yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas
evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi
semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita
dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam

15

perkembangan adenomiosis sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini


didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan
pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang
dikaitkan dengan gejala menoragia & dismenorea. 4

Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma


endometri, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat
reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi
konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen,
Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber
estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim
Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17-estradiol
yang meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen
dalam

sirkulasi,

akan

menstimulasi

pertumbuhan

jaringan

yang

menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase


(P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada
jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir secara imunologis
dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.4

2.6 Diagnosis
Gejala klinis seperti menorhagia dan dismenorhea serat pembesaran
uterus cukup mengarahkan ke dugaan adenomiosis, diagnosis akan lebih
pasti ditegakkan dengan analisis jaringan histologi. Karena adanya

16

jaringan endometrium yang proliferatif di dalam miometrium, amak akan


dijumpai gambaran hiperplasia sel otot polos, dan jjga hipertrofi, yang
menyebabkan pembesaran uterus secara global yang dapat diamati
secara makroskopis. Adenomiosis juga dapat muncul dalam bentuk fokal
sbagai sel otot polos yang mengalami penumpukan nodular, yang lazim
dikenal sebagai adenomioma, dan dapat juga muncul dalam bentuk
massa polpoid dalam kavum endometrium.

Secara

mikroskopis,

adenomiosis

menunjukkan

adanya

jarinagn

endometrium di miometrium. Adenomiosis cenderung merupakan suatu


proses yang difus yang lebih sering terjadi terutama di sebelah posterior.,
dan sekali kali di bagian abterior, dan jarang dijumpai di di daerah sekitar
cervix. Suatu reaksi hiperplasia otot polos sering dijumpai di sekitar
jarinagn endometrium ektopik. Diagnosis yang seragam yang didasari
kriteria histologis belum dapat dibuat. Misalnya, adenomiosis dapat saja
didefinisikan sebagai keadaann ditemuinya kelenjar endomnetrium di
dalam miometrium dengan ukuran lebih besar dari 1 lapangan pandang
kecil dari lapisan basalis endometrium. Definisi lain menyebutkan bahwa
adenomiosis ukurannya harus lebih dari 25% dari ketebalan miometrium
(yang mana kriteria ini sering dipakai untuk wanit a postmenopause) atau
adanya perluasan kelenjar lebih dari 1 sampai 3 nm dibawah lapisan
endometrium. Belum ada suatu kriteria yang universal yang menyepakati
ketebalan minimal dari perluasan jaringan tersebut, namun kebanyakan
studi menyebutkan batasan 2,5 mm dibawah lapisan basalis. Karena

17

perbedaan dalam standar diagnosis, prevalensi adenomiosis jadi sangat


berbeda beda di tiap tiap penelitian.

Diagnosis adenomiosis terutama ditegakkan berdasarkan hasil temuan


dari sediaan histopatologis yang diambil melalui histerektomi. Meski
begitu, beberapa studi menyatakan bahwa biopsi miometrium sewaktu
prosedur histeroskopi ataupun laparoskopi dapat juga digunakan sebagai
dasar menegakkan diagnosis. Diagnosis secara histeroskopi tidaklah
memberikan suatu temuan yang patognomonik untuk adenomiosis,
meskipun sebagian bukti menyebutkan bahwa endometrium yang
bentuknya berlekuk lekuk disertai dengan gangguan vaskularisasi dan lesi
kistik yang berdarah berkaitan dengan keadaan ini. Histeroskopi memang
memungkinkan untuk melakukan proses biospi dengan menggunakan
visualisasi langsung untuk memperoleh diagnosis secara histologis.
McCauland melakukan prosedur histeroskopi pada 50 orang pasien yang
kavum uterinya normal. Dilakukan biopsi dinding posterior miometrium
denghan menggunakan suatu elektroda loop berukuran 5 mm untik
mengambil spesimen 1,5 hingga 3 cm panjangnya dengan kedalaman
penetrasi 6 mm. Analissi patologi terhadalop sampel jaringan tersebut
mendapati bahwa 66% dari spesimen yang diteliti ternyata mengalami
adenomiosis meskuiopun kavum uterinya normal dan juga mengeluhkan
menorhagia. Biopsi miometrium yang rutin selagi proses histeroskopi
operatif dapat berguna untuk merencanakan tatalaksana selanjutnya jika
diagnosis telah ditegakkan. Meski begitu diagosis mungkin saja
terlewatkan jia ternyata adenomiosisinya terlalu superfisial atau jarinagn

18

adenomiosis bukan berada di tempat dilakukannya biopsi. Popp dkk


melakukan biopsi miometriuim dengan menggunakan jaruma yang dapat
memotong secara otomartis pada laproskopi 34 pasien, Perdarahan
seringkali dijumpai pada tempat dilakukannya biospi dan serngkali
membutuhkan injesi larutan vasopresso untuk mengontrol perdarahan.
Sensitivitas secara keseluruhan masih rendah, berkisar antara 8 hingga
18,7%. Biopsi acak yang dilakuakn pada utersu dengan karingan
adenomiosis in vitro juga mengkonfiormasi bahwa sensitivitas teknik ini
m,asih rendah. Brosen dan Barker melakukan 8 percobaan pada 8 kasus
biopsi jarum pada 27 kasus sediaan histerektomi., dimana angka
sensitivitasnya adalah berkisar dari 2,3% hingga 56%. Sensitivitas secara
ukum bergantgung pada jumlah biopsi dan kedalaman penetrasi jaringan
adenomoisis. Masih dibutihkan lebih banyak poenelitian dengan jumlah
sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi peranan biopsi miometrium
dala mendiagnosis adenomiosis.

Walaupun diagnosis adenomiosis ditegakkan secara histologis, beberapa


teknik pencitraan telah terbukti berguna untuk membanmtu menegakkan
differensial diagnosis yaitu dengan menggunakan USG dan MRI. Baik
USG transvaginal dan transabdominal akan menunjukkan jaringan
adenomiosis sebagai suatu kantung kantung berukuran 1 hingga 7 mm
berbentuk bulat dan anekoik, distirsi dan memiliki tektur miometrium yang
abnormal. nHAsl temuan USG yang paling mengarahkan ke diagnosis
adenomiosis adalah jika ditemukan miometrium heterogen dengan batas
yang tidak tegas. Temuan di MRI menunjukkan suatu uterus yang

19

membe3sar secara asimetris tanpa adanya leiomioma, penebalan zona


junctional ke lapisan otot hingga 40%. Zona junctyional adalah lapisan
terdalam dari lapisan miometrium tang tampak jelas pada mikroskop
cahaya namu tidakmemiliki karakteristik hoistologis tersendiri. Penebalan
zona junctional pada MRI adalah sebagai akibat proliferasi miosit lapisan
bawah yang tidak terkoordinasi yang dikenal sebagai keadaan hiperplasia
zona junctional. Hal ini tidaklah merefleksikan deteksi adanya kelenjar
endometrioum dan stromanya di otot, namun hal ini menekankan bahwa
teori yang menyatakan bahwa disrupsi zona junctional meningkatkan
resiko miometrium terhadap kejadian adenomiosis. Perubahan siklis akan
meningkatkan ketebalan zona junctional akibat perubahan hormon, dan
oleh sebab inilah MRI dapat digunakan untuk mendiagnosis pada wanita
yang sudah menopause, dimana kriteria yang digunakan adalah adanya
40% reasio zona junctional di ketebalan dinding mimetrium, dan bhkan
hanya iddasarkan pada ketebalam zona junctional nya saja.

Bazot

dkk

membandingkan

akurasi

metode

pencitraan

untuk

mendiagnosis adenomiosis dan mengkorelasikannya dengan hasil temuan


histologisnya

setelah

dilakukan

histerektomoi.

Penelitian

mereka

menyebutkan bahwa akurasi USG transabdominal masih rendah jika


dibandingkan dengan UISG transvaginal. Tingkat akurasi yang setara juga
ditemui oada perbandinagn akurasi USG transvaginal dengan MRI dimana
hasilnya serupa jika tidak dijumpai leiomioma.

Jika dijumpai pula

leiomioma maka baik USG maupun MRI sama sama memiliki tingkat
akurasi yang rendah, meski demikian, MRI masih sedikit lebih unggul

20

dibandingkan USG dalam hal sensitrivitas dan spesivisitas. Secara umum


literatur menyebutkan bahwa USG transvaginal memiliki sensitivitas 53%
hingga 89% dan spesivisitasnya 50% hingga 99% dalam hal diagnosis
adenomiosis

jika

tidak

disertai

dengan

leiomioma.

Tapi

angka

sensititasnya akan menurun sebesar 22% jika ternyata dijumpai pula


leiomioma, terlebih lagi jika ukuran miomanya lebih dari 300ml. Pada
kasus kasus dimana leiomioma dijumpai bersamaan dengan adenomiosis,
MRI ternyata memiliki senistivitas 67% dan spesivisitas 82% jika ada
leiomioma, dan angkanya meningkat menjadi sensitivitas 87% dan
spesivisitas 10-0% jika tidak disertai dengan leiomioma. Sebagai
ringkasan, USG transvaginal merupakan pilihan lini pertama yang cukup
baik jika dilakukan oleh ahli yang berpengalaman, sedangkan MRI
memiliki keunggulan dalam hal jika adenomiosisnya disertai debngan
leiomima. Kombinasi dari kedua teknik tersebut akan meningkatkan
sensitivitas sebelum diagnosis operatif dibuat,

2.7 Gejala Klinis


Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam
sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis
yang dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki
gejala yang khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia,
dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi
pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu
21

dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.

Presentasi klinis adenomiosis


Gejala Klinis Adenomiosis
1. Asimtomatis
Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis;
USG transvaginal atau MRI; bersama dengan patologi yg lain)
2. Perdarahan uterus abnormal
Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan
beratnya proses adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan
penyakit ringan berat)
Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10%
wanita dengan adenomiosis
3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis
4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky
(jarang)
5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari


kelenjar adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran
histologis dari kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman
adenomiosis dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan
pilihan strategi penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa
dari biopsi reseksi endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke
dalam miometrium berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang

22

dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau


ablasi endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih
dalam atau dengan perdarahan banyak yang berlanjut, perlu dilakukan
penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi. 2,11,12

2.8 Penatalaksanaan Adenomiosis


Standar penatalaksanaan adenomiosis adalah histerektomi. Sungguhpun
begitu, tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana meredakan
gejala pada wanita dengan menggunakan terapi obat obatan konservatif,
ataukah memilih terapi pembedahan untuk mempertahankan fungsi
fertilitas, dan menjadi masalah juga bagaimana melakukan operasi pada
wanita yang memiliki penyulit yang menyebabkan dirinya jadi tidak bisa
menjalani operasi. Tidak ada terapi obat obatan yang dapat meredakan
gejala adenomiosis, dan pasien tetap diedukasi untuk bisa hamil. Terapi
pengobatan dengan menggunakan terapi hormonal supresif seperti
penggunaan pil kontrasepsi jangka panjang, progestin dosis tinggi, dan
AKDR yang mensejkresikan levonogestrel (LNG IUD), danazol dan agonis
GnRH ternyata mampu menginduksi pengecilan jaringan adenomiosisnya.
Pilihan pilihan terapi ini, termasuk juga terapi pembedahan akan
didiskusikan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Penggunaan Pil Kontrasepsi Oral dan Progestin


Meskipun belum ada studi acak ganda tersamar yang mencoba
mengevaluasi penggunaan pil kontrasepsi oral pada pasien dengan

23

adenomiosis dengan dismenorhea dan menorhagia, namun obat obatan


tersaebuit dapat sedikit mengurangi keluhan. Peggunaan progestin dosis
tinggi seperti misalnya pil oral norethindrone asetat jangka panjang atau
medroxyprogesteron

depo

belum

pernah

diteliti

sebagai

terapi

adenomiosis, namun begitu, peranan mereka sebagai terapi supresi


hormon dapat sedikit banyak memicu regresi jaringan adenomiosis.

Levonergestrel AKDR
Sedian LNG AKDR (mirena) mensekresikan 20 ug levonorgesterel per
harinya dan merupkan

terapi yang efektif dalam penatalaksanaan

adenomiosis.

Penggunaan

desidualisasi

endometrium

LNG

AKDR

untuk

berkaitan

mengurangi

dengan

proses

perdarahan

dan

diperkirakan juga bekerja langsung pada deposit jaringan adenomiosis


dengan mendown regulasikan reseptor estrogen. Hal ini pada kahirnya
akan mengurangu ukuran fokusjaringan adenomiosis, memperbaiki
kontraktilitas uterus sehingga dapat mengurangi jumlah kehilangan darah,
mengurangi

gejala

dismenorhea

dengan

menurunkan

produksi

prostaglandin dalam endometrium dan juga menginduksi amenorhea.


Penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan LNG AKDR berakibat
pada perbaikan gejala menorhagia dan dismenorhea dan perubahan
radiologis pada uterus yang mengalami adenomiosis. Namun begitu, tak
satupun dari studi tersebut yang merupakan studi acak tersamar ganda,
dan pasien dalam studi tersebut tidak di follow up sampai waktu
dilepaskannya AKDR. Terapi dengan LNG AKDFR mungkin cukup

24

bermanfaat pada wanita yang menginginkan memiliki keturunan pasca


terapi.

Sheng dkk melakukan penelitian tentang manfaat LNG AKDR setelah m


enggunaan selama 36 bulan pada 94 wabnita dengan dismenorhea
sedang hingga berat yang diakibatkan oleh adenomiosis dengan
menggunakan

trans

vaginal

USG.

Keluhan

nyeri

diukur

dengan

menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dan ternyata hasilnya berkurang


dari awalnya skornya adalah 77,9 menjadi 11,8 dimana 25% pasien
melaporkan

terjaid

amenorhea.

Volume

uterus

berkurang

secara

signifikan, dari 115,8 ml menjadi 94,5 ml, dan begitu juga dengan kadar
Ca 125. Secara umum, tingkat kepuasan dan keberhasilan terapi ini
adalah 72,5%.

Bragheto dkk melakukan penelitian pada 29 wanita dengan menorhagia


yang diakibatkan adxenomiosis dan didiagnosis dengan MRI yang
kemudian menjalani terapi dengan AKDR Minera selama 3 hingga 6
bulan. Setelah 6 bulan terapi, terjadi pengurangan yang signifikan sebesar
24,2% pada ketevbalan zona junctional, namun tidak dijumpai pengecilan
ukuran uterus. 23 orang wanita tersebut menyatakan penurunan derajat
nyeri yang mereka rasakan dan kesemua sampel menyatakan perdarahan
yang mereka alami berkurang, 27% diantaranya menyatakan mengalami
amenorhea.
Fedele dkk melakukan pemeriksaan pada 25 orang wanita dengang
keluhan menorhagia akibat adenomiosis yang didiagnosis dengan trans

25

vaginal USG dan menjalani terapi dengan mengguankan AKDR Minera


selama 1 tahun. Dilakukan follow up pada 23 wanita, dan hasilnya
menunjukkan penurunan ukuran uterus dari 948 ml menjadi 914 ml,
penurunan kejadian kehilangan darah, dan peningkatan yang bermakna
pada kadar Hemoglobin, yaitu dari 10,1 menjadi 12,5, begitu juga pada
serum ferritin, dari 27 menjadi 82. Pada follow up selama 1 tahun pertama
semua sampe penelitian memperlihatkan penurunan kejadian perdarahan,
dimana hanya 2 orang waniya yang mengalami amenorhea. Satu hal yang
harus diperhatikan dari AKDR adalah ada 1 oprang sampel yang meminta
agar AKDR nya dilepas karena justru mengalami perdarahan tak teratur
yang terus menerus. Efek samping dari teknik ini meliputi perdarahan
lucutan, nyeri kepala, nyeri payudara, jerawat dan penambahan berat
badan.

Danazol
Danazol, yang merupakan derivat androgen 19-nortestosterone yang
memiliki efek seperti progestin, akan menginduksi inhibisi langsung enzim
enzim di ovarium yang bertanggung jawab dalam hal produksi estrogen
dan

sekresi

kelenjkar

pituitari

gonadotrofin.

Pengalaman

dengan

penggunaan terapi sistemik pada pasien dengan adenomiosis masih


sangat terbatas. Hal ini mungkin dikarenakan profil efek samping obat,
yang meliputi penambahan berat badan, keram otot, pengecuilan ukuran
payudara, akne, hisutisme, kulit berminyak penurunan kadar HDL,
peningkatan enzim hati, hot flash, perubahan mood, depresi, dan
perubahan suara. Setelah terapi sistemik dengan danazol, reseptoir

26

estrigen akan berkurang, dan menyebabkan pengecilan ukuran uterus dan


perbaikan gejala.
Teknik baru dalam mengantarkan hormon tersebut telah memungkinkan
danazol untuk digunakan dengan lebih luas dan lebih disukai dengan efek
samping yang lebih minimal, yaitu dengan mmeberikan sedaan suntikan
i.v dan AKDR. Igarashi meneliti 14 wanita yang menggunakan AKDR yang
mengandung Danazol 300-400 mg. Pada wanita weanita tersebut,
diagnosis

adenomiosis

ditegakkan

secara

radiologis

dengan

mengguinakan trans vaginal USG dan MRI, yang mana mereka


semuamengaluhkan gejala dismenoirhea, menorhagia maupun infertilitas.
13

orang

wanita

tersebut

menyatakan

perbaikan

dalam

gejala

dismenorhea sedangkan 12 di antaranya menyatakan penurunan kejadian


prdarahan.

Hanyha

pasien

yang

duikeluarkan

dari

penelitian.

Konsentrasi danazol dalam serum masih tetap ada maskipun kadarenya


sudah tidak terdeteksi lagi, dan tidak dijumpai efek samping sistemik.
Pengukuran uterus tidak dilakukan pada penelitian ini. Setelah terapi
AKDR danazol dihentika, 3 dari 4 wanita yang infertil tersebut jadi memiliki
keturunan. Injeksi danazol via cervix juga berhasil dicoba. Takebayashi
dkk menginjeksikan danazol 10 mg ke cervix 22 orang pasien per 2
minggu sekali selama 12 minggu. Pada studi tersebut dijumpai 60%
angtka perbaikan dalam gejala sepeerti perdarahan, nyeri, dispareunia,
dengan rata rata pengecilan ukuran uterus dari 334,6 cm2 menjadi 243,1
cm2. Tidak dijumpai efek samping dari penyuntikan hormon secara lokal
ini.

27

Agonis GnRH
Agonis GnRH akan berikatan dengan reseptornya yang berada di kelenjar
pituitari, dan berakibat pada terjadinya down reguklasi aktivitas GnRH.
Akibatnya adalah terjadinya keadaan meniopause secara medis yang
masih reversibel. Terapi ini tidak efektif dalam bentuk sediaan opral, dan
diberikan dalam bertuk sediaan injeksi intramuskular maupun subkutan,
dapat juga diberikan sebagai nasal spray 2 kali sehari. Sediaan
inibiasanya digunakan hanya untuk periode singkat 3-6 bulan karena efek
samping yang mungkin timbul meliputi hot flashes dan penurunan densitas
mineral tulang. Kasus yang pertama kali dilaporkan menggunakan
sediaan ini pada pasien yang memang didiagnosis adenomiosis secara
biopsi terjaid pada tahuun 1991. Hasilnya menunjukkan pengecilan ukuran
uterus daro 440 cm2 menjadi 150 cm2, dan terjadi amenorhea, serta
gejala dismenorhea yang mereda. Meski demikian, saat nantinya terapi
dihentikan, gejala akan kembali muncuk dan ukuran uterus kembali
menjadi 420 cm2. Senada dengan hakl tersebit, banyak penelkitian yang
nenyatakan pengecilan ukuran uterus, amenorrhea serta berkurangnya
rasa dismenorhea dengan menggunakan sediaan ini selama 3-6 bulan.
Dalam penelitian lain malah dikatakan bahwa wanita yang telah
mengalami infertiltas akibat adenomiosis, setelah diterapi dengan sediaan
ini, dapat menjadi hamil 6 bulan kemudian.

Aromatase Inhibitor
Ekspresi enzim aromatase inhibitor P450 telah banyak dijumpai pada
implan jaringan endometriosis. Enzim ini mengkonversi androgen menjadi

28

estrogen. Dalam berbagai laporan kasus dan studi penelitian, disebutkan


bahwa pemberian aromatase inhibitor telah digunakan sebagai terapi pada
endometriosis berat. Dan efeknya adalah rasa nyeri yang nmereda. Meski
begitu, belum ada penelitian yang menguji peranannya untuk kasus
adenomiosis

Histerektomi
Histerektomi merupakan pilihan pengobnatan adeniomiosis yang juga
bernilai diagnostik. Histerektomi dari vagina lebih disukai ketimbang
histerektomi dari dinding abdomen, berkaitan dengan angka kematian
yang lebih rendah serta kemungkinan pulih yang lebih cepat. Meski begitu,
dalam suatu studi retrospektif yang melibatkan 1246 histerektomi vaginal,
14 diangtaranya ternyata mengalami cidera kandung kemih. Penleiti
kemudian menyimpulkan bahwa alasan melaksanakan operasi masihlah
belum jelas., namumn kemungkinan hal ini berkaitan dengan fakta bahwa
sulit untuk mengidentifikasi septum supravagina dan bidang vesicovagina
serta vesicocervix. Prosedur histerektomi laparoskopi memungkinkan
untuk mendiseksi area operasi tanpa menimbulkan cedera. Jika
dibandingakn dengan prosedur histerektomni dari vagina, maka angka
kejadian cedera kandung kemih justru banyak berkurang, namun resiko
terhadap kejadian perlukaan uterus justru meningkat. Prosedur ini juga
lebih disukai ketimbang histerektomi vagianl karena rasa nyeri post op
yang ditimbulkan sangat lebih minimal.

Ablasi Endometrium dan Reseksi

29

Ablasi endometrium telah lama digunakan sebagau terapi menorrhagia,


termasuk juga pada wanita dengan endometriosis yang telah memiliki
anak dan tidak ingin punya anak lagi. Tindakan ini idlakukan dengan
menggunakan laser garnet yttrium, reseksi rollerball, ataupun teknik ablasi
global.

Salah satu penelitian terbesar yang mencoba mengevaluasi keberhasilan


teknik

reseksi

rollerball

pada

adenomioisis

menunjukkan

bahwa

kedalaman fokus jaringan sangat berkaitan dengan keberhasilan reseksi.


Mc Causland melakukan teknik reseksi roleerball dengan kedalaman
jaringan mencapai 2-3 mm ke miometrium. Teknik ablasi yang lebih dalam
lagi biasanya tidak pernah dilakukan karena bahaya perdarahan yang
lebih besar akibat robeknya arteri yang berada di kedalaman 5 mm
miometrium.

Pada

studi

tersebut,

untuk

wanita

yag

kedalaman

adeniomiosisnya kurang dari 2 mm, tindakan ini berhasil dan mereka


meyatakan siklus haid yang kembali normal. Sementara untuk pasien
yang kedalama adenomiosisnya lebih dari 2 mm, hasilnyatidak terlaliu baik
dan masih membutuhkan histerektomi juga. Pada adenomiosis yang lebih
dalam, kelenjar endometrium ektopik yang berada di dalam, dapat tetap
bertahan meskipun sekitarnya terluka, dan bahkan dapat berproliferasi
pada

area

dimana

dilakukannya

ablasi,

sehingga

mencetuskan

perdarahan yang masif.

Ablasi endometrium global juga ternyata telah terbukti efektif pada wanita
untuk megobati perdarahan haid yang terlalu banyak akibat adenomiosis.

30

Namun pada suatu studi retrospectif yang melibatkan wanita yang


didiagnosis adenomosis secara USG dan menjalani thermal ballon serta
ablasi radiofrekuensi, ternyata terjadi peningkatan resiko kegagalan
sebesar 15 kali lipat dan tetap membutuhkan histerektomi atau ablasi
ulangan.

Embolisasi Arteri Uterina


Efektivitas dari tejknik embolisasi arteri uterina (EAU) dalam hala tata
laksana adenomiosis simptomatik masihlah kontroversil. Studi jangka
panjang meniunjukkan angkan keberhasilan yang beragam, yang mungkin
dikarenakan olegh beragamnya agen pengemboli yang digunakan serta
dipengaruhi pula mioma uteri yang hadir bersamaan. Mioma cenderung
memiliki pembuluh darah yang besar besar yang tentunya memerlukan
embolisasi yang lkebih besar dengan agen pengemboli yang lebih besar
pula, jika dibandinagkna dengan kasus adenomiosis saja. Oleh sebab itu,
studi menunjukkan angka kegagalan teknik ini yang cukup tinggi pada
pasien

dengan

penyerta

mioma

uteri.

Namun

untuk

diagnbosis

adenomiosis saja tanpa ada penyertt, tingkat keberhasilannya cukup


tinggi. Kim, dkk mengadakan suatu penelitian retrospektif yang terbesar
jumlah

sampelnya

melipuiti

54

wanita

yang

didiagnosis

dengan

adenoimiosis secara MRI tanpa ada mioma uteri dan semuanaya


menjalani terapai EAU. 57 persen sampel menyebutkan berkurangnya
jumlah darahj yang keluar serta rasa nyeri yang berkurang setelah 4,90
tahun kemusdian. Pada 4 orang pasien, angka kegagalan cukup tinggi dan
19 pasien mengalami relaps dalam 5 tahun berikutnya sehingga tetap

31

memerlukan histerektomi juga. Angka rata rata relaps adalah 17,3 tahun.
Secara umum tingkat kepuasan pasien dengan teknik ini adalah 70
persen.

Eksisi Jaringan Miometrium atau Adenomioma


Eksisi dari fokus jaringan adenomiosis dapat dilakukan jika lokasi fokus
jaringan dapat ditentukan dengan pasti. Tidak seperti miomectomy,
tindakan ini agak lebih sulit dalam hal menentukan luasnya lesi,
mengekspos lesi, mennetukan batas serta kedalama invasi jaringan.
Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, mungkin saja dalam
prosedur tersebut jaringan adenomiosisnya masih tertinggal dan dengan
begitu, sebagian jaringan mungkin tidak akan tuntas dan dapat kambuh
kembali. Oleh sebab iotu tingkat keberhasilan teknik ini masih dibawah
50%. Tambahan terapi dengan menggunakan agonis GnRH pada teknik
ini selama 6 bulan setelah eksisi akan dapat menurunkan angka
kekambuhan sebanyak 20% pada 2 tahun berikutnya.

Pada wanita yang ingin bisa hmail, eksisi dapat dilakukan jika miometrium
tetap dipertahankan dan pembentukan jaringan parut yang ada tidak
mempengaruhi permukaan tempat implantasi. Angka kejadian abortus
spontan jadi lebih tinggi pada kelompok ini juka dibandingkan dengan
masyafrakat umum. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan oleh
pembentukan jaringan parut yang akan mempengaruhi kemampuan
uterus

untuk

mempertahankan

isinya,

Meski

begitu,

suatu

studi

memperlihatkan bahwa terapi konservatiof dengan eksisi adenomioma

32

dengan ukuran 55 mm masih dapat menginduksi kehamilan pada 70%


kasus dengan disertai berkurangnya gejala menorhagia dan dismenorhea.

Elektrokoagulasi Miometrium
Teknik

elektrokoagulasi

miometrium

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan jarum unipolar atau bipolar dengan memasukkan jarum ke


ke miometrium yang terkena pada jaringan adenomiosis. Prosedur
inisedikit kurang akurat dibandingkan dengan eksisi bedah karena
konduksi elektrik pada jaringan abnormal tidak utuh, sehingga jaringan itu
sendiri

nantinya

sedikit

lebih

sulit

diablasi.

Prosedur

ini

tidak

direkomendasikan pada wanita yang masih ingin hamil karena dapat


menurunkan kekuatan otot miometrium karena digantikan dengan fokus
adenomiosis

dengan

jaringanparut,

dan

oleh

karena

itu

dapat

meningkatkan resiko ruptur uteri. Prosedur ini dapat dilakukan bersamaan


dengan ablasi endometrium atau reseksi atau bersamaan dengan terapi
hormonal. Review dari literatur mengungkapkan bahwa angka perbaikan
gejala dari suatu penelitian mencapai 55% hingga 70% dan hasil yang
lebih baik lagi dijumpai pada pasien yang menjalani reseksi endomterial
secara bersamaan dengan prosedur ini.

Reduksi Miometrium
Reduksi miometrium untuk menatalaksana adenomiosis yang difus telah
dilakukan pada berbagai jumlah kasus. Jaringan yang cukup luas dari
miometrium dibuang dengan teknik laparoskopi atau dengan laparotomi.
Insisi klasik dapat dilakukan dengan diseksi dari uterus secara longitudinal

33

dengan potongan midline, denga reseksi di bagian anterior dan posteruior


dari miometrium. Sauatu pendekatan baru adalah dengan menggunakan
potongan

transversal

berbentuk

huruf

yang

memungkinakna

pembuangan jarinagnd alam jumlah yang cukuop besar dengan area


operasi yang luas. Dalam suatu studi, dibandingkan bentuk potongan
insisi H dengan insisi klasik midline, dimana perbaikan gejala ternyata
lebih jelas terutama pada insisi H, dan 2 wnaita dengan insisi tersebut
dapat hamil secara spontan. Sementara untuk insisi klasik beklum
ditemukan keberhasilan kehamilan. Secara umum, reduksi miometrium
berakibat pada
berkurangnya

kemungkinan

kapasitas

hamil

uterus dan

yang

lebih

mengganggu

rendah

karena

fertilitas.

Tanpa

memperhitungkan jenis tipe insisinya, demarensi jaringana denomiosis


memang tetap sulit untuk dilakukan sehingga sebagian jaringan dapat
tertinggal dan menyebabkan kekambuhan.

Pembedahan Ultrasound dengan Guide MRI


Teknik pembedahan ultrasound dengan guide MRI adalah suatu teknik
noninvasif dengan balsai jarinagn lunak ternyata berhasil mengurangi
gejala dan meringankan penyakit adenomiosis ini. Pada tahun 2004,
prosedur ini telah disetujui oleh US Food and Drugs Administration dalam
hal pengobatan mioma. Ultrasound yang berurutan sengaa difokuskan
pada jaringan untuk melokalisasi jaringan yg lebih hangat, menyebabkan
terjadinya koagulasi thermal dan nekrosis pada area yang difokuskan
tersebut. Pembedahan ultraosund dengan menggunakan fokus tinggi
dapat

dilakukan

sendirian,

meskipun

begitu,

ketidakakuratan

34

mengidentifiksi daerah lesi berakibat pada hasil yang sanagt beragam dan
tentunya agak sedikit membahayakan kedaan umum pasien karena
gelombang ultrasound akan menyebar secara difus. Pembedahan
ultrasound dengan guide MRI cukup membantuk untuk mengatasi
permasalahan ini karena posisi anatomis yang benar benar detail dapat
tergambar dengan MRI resolusi tinggi. Prosedur ini telah berhasuil
dilakukan pada kasus mioma uteri dengan angka perbaikan gejala klinis
mencapai 75% pada 108 pasien. Review dari berbagai literatur
mengungkapkan angka komplikasi yang kecil pada populasi dengan
angka sebesar 5%

resiko luka bakar, 0,9%

resiko mengalami mual

muntah pasca operasi sehingga membutuhkan rawat inap, dan dilaporkan


kasus kelumpuhan nervus sciaticus akibat absorpsi energi oleh tulang dan
berimbas pada saraf. Hanya ada 1 laporan kasus terjadi luka bakar berat
yang membutuihkan rawat inap. Prosedur non invasif ini mulai banyak
digunakan sebgaia alternatif terapi bagi pasien dengan adenomiosis.
Terapi jaringan adenomiosis yang luas mungkin sedikit lebih sulit
dibandingkan dengan jaringan yang lebih kecil, dengan pengurangan
resiko perdarahan, diikuti dengan kehamilan tanpa komplikasi dan
persalinan.

35

BAB III
PENUTUP

36

3.1 Kesimpulan
Dari literatur diketahui bahwa prevalensi adenomiosis berkisar antara 5%
hingga 70% wanita yang simptomatik, dengan rata rata angkanya adalah
20-30 pada temuan histerektomi. Angka prevalensi yang tinggi ini mungkin
dikarenakan oleh klasifikasi diagnostik yang sangat beragam, dan juga
oleh karena junmlah sampel jaringan yang diperiksa untuk diagnosis.
Diagnosis konfirmasi dapast dilakukan hanya dengan menggunakan
pemeriksaan hitologik dari jaringan uterus. Meski demikian, baik MRI dan
USG telah terbukti akurat dalam menentukan keberadaan adenomiosisl;
Telaah literatur mengungkapkan bahwa USG transvaginal memiliki
sensitivitas 53% hingga 890% dengan spesivisitas mencapai 50% hingga
99%. Sedangkan MRI memiliki sensitivitas 88% hingga 93% dan
spesifisitasnya 67% hingga 99%. Teknik imaging manapun memiliki tingkat
akurasi yang rendah dalam mendiagnosis adenomiosis jika memang
mioma uteri dijumpai, akan tetapi MRI telah terbukti lebih efektif dalam
metode diagnosis jika berbarengan dengan mioma uteri. Meskipun
pemeriksaan USG dan MRI telah lahir sebagai teknologi yang cukup baik
dalam memberikan pencitraan, akan tgetapi masih dibutuhkan penelitian
yang

lebih

lanjut

untuk

menguji

efektivitas

klinisnya

dan

perlu

pertimbangan ekonomni juga.

Beberapa teori telah muncul untuk mencoba menjelaskan etiologi


adenomiosis dan saat ini teori yang paling terkenal mengenai keadaan
adenomiosis adalah bahwa keadaan ini diakibatkan oleh invaginasi dari

37

endometrium

basalis

ke

miometrium.

Beberapa

penelitian

klinis

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan frekuensi adenomiosis pada


wanita multipara yang mungkinndikarenakan oleh invasi alamiah dari sel
trofoblas ke miometrium dan menyebabkan invaginasi dan migrasi dari
komponen lamina basalis. Resiko lain yang meningkatkan kemungkinan
ini adalah riwayat operasi pada uterus sebelumnya, dan hal ini mendukung
teori invaginasi karena jaringan yang telah mengalami trauma akan
melemahkan batas lamina tersebut.

Gejala

paling

utama

dari

adenomiosis

adalah

menorhagia

dan

dismenorhhea. Hal ini mungkin dikarenakan oleh disrupsi dari jalinan otot
uterus karena adanya fokus jaringan adenomiosis yang menyebabkan
dinergia dan ketidakmampuan dari uterus untuk berkontraksi secara
norma. Penatalaksanaan keadaan ini biasanya sangat bergantung pada
keinginan pasien apakah masih ingin hamil lagi atau tidak. Ada beragai
terapi medikamentosa yang tersedia. Meski begitu, kebanyakan obat
tersebut baru diteliti hanya untuk penggunaan jangka pendek saja. Efikasi
dari penggunaan jangka panjang masihlah belum terbukti. Terapi
medikamnetosa yang paling menjanjikan berdasarkan literatur adalah
AKDR LNG karena kemampuan sediaan ini dalam menekan hormon
sehingga meringankan gejala, dengan profil yang lebih rendah dalam hal
efek samping dan tetap memungkinkan wanita untuk mempertahankan
fertilitasnya, Sediaan AKDR LNG terlah terbukti menurunkan dan
menghilangkan gejala dismenorhea dan menurunkan gejala menorhagia,
meningkatkan hematokrit setelah hanya 3 bulan terapi. Pada wanita yang

38

tidak lagi ingin memiliki anak, prosedur bedah yang tidak terlalu invasif
seperti

ablasi

endometrium

dan

reseksi

telah

dibuktikan

dapat

meringankan gejala menorhhagia dengan rata rata angka kegagalan


sebesar 20%. Angka kegagalan yang lebih tinggi dijumpai pada kasus
dimana adenomiosis telah menginvasi lebih dari 2,5 mm lamina basalis.
Terapi bedah konservatif lainnya seperti eksisi otot adenomiosis, reduksi
dan

elektrokoagulasi

dapat

dilakukan

namun

tidaklah

seefektif

histerektomi karena kesulitan dalam mengeksisi dan mengkoagulasi fokus


jaringan secara utuh. Hasil akhir dari segala prosedur ini telah
menunjukkan angka keberhasilan menjadi hamil yang cukup rendah akibat
reduksi volume uterus dan jaringan parut, Teknik terbaru seperti operasi
sonografi dengan guidance MRI dan ambolisasi arteri uterina masih
membutuhkan studi lebih lanjut. Saat ini, histerektomi tetap menjadi
standard terapi dalam tatalaksana adenomiosis.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania :
Lippincott Williams & Wilkins.
2. Benagiano G and Brosens I. History of adenomyosis (Abstract). Best Pract
Res Clin Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.
3. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomyosis and
Infertility. Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID
786132.
4. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomyosis:Common and
Uncommon Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging,
J Ultrasound Med 2006; 25:617627.
5. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
6. Edmonds DK. Dewhursts Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7 th Ed.
2007. London : Blackwell Science, Ltd.
7. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomyosis. Human Reproduction Update
1998; 4: 312-322.
8. Parazzini F et al. Risk factors for adenomyosis. Human Reproduction vol.12
no.6 pp.12751279, 1997.
9. Pernol ML. Benson and Pernols Handbook of Obstetrics and Gynecology 10 th
Ed. 2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
10. Reuter, K. Adenomyosis Imaging, Online (cited on December 21st 2012).
www.medscape.com.
11. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London :
Blackwell Science, Ltd.
12. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomyosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.

40

Você também pode gostar