Você está na página 1de 52

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di zaman modern seperti saat ini, dimana teknologi
berkembang pesat, banyak berkembang makanan cepat saji dengan
warna warna yang menarik. Keberadaan zat warna pada makanan
digunakan bukan hanya sebagai daya pikat agar konsumen tertarik
namun juga digunakan sebagai bahan untuk menutupi kekurangan atau
kecacatan pada makanan. Produsen pangan saat ini banyak yang
beralih menggunakan pewarna sintetik dengan alasan untuk menekan
biaya produksi dan agar warna makanan yang dijual bisa menarik
minat konsumen. Zat pewarna sintetik yang paling banyak beredar
dalam masyarakat kita adalah pewarna sintetik dylon karena harganya
yang murah dan mudah didapatkan dipasaran. Padahal jika kita telaah
lebih jauh lagi makanan yang mengandung zat aditif ini sangat
berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Pengaruh adanya pewarna sintetik pada makanan sebenarnya
tidak langsung menimbulkan dampak yang cepat karena pada tubuh
organisme masih ada mekanisme ekskresi sehingga zat-zat yang
karsinogenik masih bisa ditolerir oleh tubuh dalam jangka waktu
tertentu. Namun tetap saja zat-zat karsinogenik tersebut dapat
menimbulkan masalah bila dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama.
Karena hal tersebut maka timbul keinginan untuk melakukan penelitian
terkait dampak paparan dari zat pewarna pada tubuh suatu organisme.
Penelitian ini dilakukan kepada Drosophila melanogaster atau dalam
masyarakat umum lebih dikenal dengan nama lalat buah yang
merupakan salah satu hewan yang sering digunakan sebagai objek
penelitian dalam bidang Biologi khususnya bidang Genetika.
Kelebihan lalat buah (D. melanogaster) sehingga sering dijadikan
objek penelitian dikarenakan D. melanogaster merupakan organisme
model bagi organisme multiseluler karena hanya memiliki empat
pasang

kromosom

sehingga

mudah

dipelajari.

Drosophila
1

melanogaster (lalat buah) merupakan serangga (Insecta) yang cocok


digunakan sebagai obyek penelitian genetika, karena siklus hidupnya
relatif cepat, mudah untuk diamati, dan dapat dipelihara dalam jumlah
yang banyak (Ariyanto, 2008).
Pada peristiwa persilangan pada lalat buah ini, terdapat suatu
fenomena yang sering terjadi yakni pindah silang. Ayala dkk (1984,
dalam Corebima 2013) menyatakan bahwa pindah silang umumnya
terjadi selama meiosis pada semua makhluk hidup berkelamin betina
maupun jantan dan antara semua pasangan kromosom homolog,
namun pada Drosophila jantan tidak pernah mengalami pindah silang.
Banyak peneliti yang menyatakan bahwa pewarna sintetik ternyata
juga dapat mempengaruhi peristiwa pindah silang pada lalat buah.
Pada proyek ini, peneliti menggunakan lalat D. melanogaster strain N,
bcl dan ym karena pada ketiga strain yang digunakan memiliki sifat
yang berbeda dan dilakukan persilangan antara D. melanogaster (N
>< bcl) dan (N >< ym) beserta resiproknya untuk mengetahui
pengaruh pemberian pewarna sintetik dylon terhadap persilangan
tersebut. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk
membuktikan teori crossing over. Untuk itu dilakukan penelitian
dengan judul Pengaruh Pemberian Pewarna Sintetik Dylon terhadap
Frekuensi Pindah Silang Crossing Over pada Persilangan Drosophila
melanogaster Strain N >< bcl, N ><ym beserta resiproknya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Apakah ada pengaruh pemberian pewarna sintetis Dylon dengan warna
merah (0%, 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%, 0,05%) terhadap frekuensi
pindah silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl dan N ><
ym beserta resiprok?
2. Apakah ada pengaruh macam strain terhadap frekuensi pindah silang
(crossing over) pada persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta
resiprok?
2

3. Apakah ada hubungan antara pengaruh pemberian pewarna sintetis Dylon


yang berwarna merah (0%, 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%, 0,05%) dan
macam strain terhadap frekuensi pindah silang (crossing over) pada
persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta resiprok?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pewarna sintetis Dylon dengan
warna merah (0%, 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%, 0,05%) terhadap
frekuensi pindah silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl
dan N >< ym beserta resiprok.
2. Untuk mengetahui pengaruh macam strain terhadap frekuensi pindah
silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl dan N >< ym
beserta resiprok.
3. Untuk mengetahui hubungan pengaruh pemberian pewarna sintetis
Dylon yang berwarna merah (0%, 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%,
0,05%) dan macam strain terhadap frekuensi pindah silang (crossing
over) pada persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta resiprok.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. menambah pengetahuan tentang fenomena pindah silang (crossing
over) pada Drosophila melanogaster persilangan N >< bcl dan N
>< ym beserta resiproknya.
2. meningkatkan pemahaman, ketrampilan, kecermatan, serta ketelitian
peneliti dalam melakukan kegiatan praktikum atau penelitian tentang
fenomena pindah silang (crossing over) pada Drosophila melanogaster
persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta resiproknya.

1.5 Asumsi Penelitian


Asumsi pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. semua aspek biologi Drosophila melanogaster yang digunakan pada
penelitian ini dianggap sama kecuali warna mata, warna tubuh dan
bentuk sayap pada Drosophila melanogaster .
2. faktor internal Drosophila melanogaster seperti umur dianggap sama.
3. faktor eksternal Drosophila melanogaster seperti suhu, cahaya,
kelembapan, kondisi medium sebagai tempat pembiakan, pewarna
sintetik dylon dengan warna merah dan nutrisi yang dimakan
Drosophila melanogaster dianggap sama
1.6 Batasan Masalah
Batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1.

persilangan dilakukan pada Drosophila melanogaster strain N ><


bcl dan N >< ym beserta resiproknya.

2.

pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan jumlah anakan pada


keturunan F1 sampai dengan F2.

3.

penelitian ini hanya membahas tentang pindah silang (crossing over)


pada Drosophila melanogaster strain N, bcl dan ym dari generasi F1
hingga F2.

4.

Drosophila melanogaster yang disilangkan maksimal berumur 3 hari,


terhitung mulai menetasnya pupa (sebagai hari 1).

5.

pengambilan data dimulai dari hari menetasnya pupa (sebagai hari ke1) sampai dengan hari ke-7.

6.

penelitian ini dilakukan sampai F2.

7.

masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

1.7 Definisi Istilah


1. strain adalah sekelompok intraspesifik yang memiliki hanya satu atau
sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya dalam keadaan homozigot
untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni (Corebima, 2013)
2. genotip adalah keseluruhan jumlah informasi genetic yang terkandung
pada suatu makhluk hidup (Ayala, 1984 dalam Corebima, 2013).

3. fenotip adalah suatu ekspresi gen yang Nampak dari luar. Hal ini
diperkuat oleh pernyataan Ayala, 1984 dalam Corebima, 2013 bahwa
karakter-karakter yang dapat diamati pada suatu individu (yang
merupakan interaksi antara genotip dan lingkungan tempat hidup dan
berkembang.
4. homozigot adalah karakter yang dikontrol oleh 2 gen (sepasang)
identik.
5. heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh 2 gen (sepasang) tidak
identik.
6. Chiasma adalah suatu pemutusan dan penyambungan kembali yang di
ikuti oleh suatu pertukaran resiproknya antara kedua kromatid di dalam
bentukan kovalen (suatu kromatid bersifat paternal sedangkan yang
lain bersifat maternal) (Corebima, 2003).
7. Pindah silang (Crossing Over) adalah peristiwa bertukarnya segmen
dari kromatid kromatid bukan saudara (non-sister) dari sepasang
kromosom homolog (Campbell et al, 2008)
8. Tipe parental adalah keturunan yang memiliki fenotip sama dengan
induknya.
9. Rekombinan adalah turunan yang bukan parental (tidak mirip parental)
(Corebima, 2003).

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Drosophila melanogaster
D. melanogaster atau lalat buah merupakan salah satu contoh dari serangga.
Hewan yang sering digunakan sebagai objek penelitian dalam bidang Biologi
khususnya bidang Genetika. Menurut Yatim (1995) Klasifikasi Drosophila
melanogaster :
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Anak Kelas

: Pterygota

Bangsa

: Diptera

Anak Bangsa

: Cyclorrhapha

Suku

: Drosophilidae

Anak Suku

: Drosophilinae

Marga

: Drosophila

Jenis

: Drosophila melanogaster

Gambar 1. Drosophila melanogaster (Yatim, 1995)

Drosophila melanogaster jantan dan betina memiliki perbedaan dalam hal


morfologi. Lalat betina mempunyai panjang sekitar 2,5 milimeter, sedangkan
lalat jantan berukuran lebih kecil dari lalat betina. Dan mempunyai bintik hitam
di bagian abdomennya. Kimball (1983) menyebutkan

D. melanogaster

digunakan dalam penelitian genetika karena beberapa alasan misalnya karena


6

ukuran tubuhnya yang relatif kecil, sehingga populasi yang besar mudah
dipelihara dalam laboratorium, mudah diamati, mempunyai daur hidup yang
sangat cepat, dalam dua minggu dapat dihasilkan satu generasi dewasa yang
baru, dan lalat betina menghasilkan ratusan telur yang dibuahi dalam siklus
hidupnya sangat pendek. Setiap makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk
mempertahankan diri dan berkembang biak baik secara aseksual maupun
seksual.
2.2 Ekspresi Fenotip Kelamin
Sekalipun dikenal beragam pola ekspresi kelamin pada makhluk hidup, dan
salah satunya diantaranya adalah pola ekspresi kelaminkromosomal, yang
menentukan ekspresi kelamin adalah gen. Beberapa tipe penentuan jenis kelamin
yang dikenal yaitu tipe XY, ZO, XO dan ZW (Suryo, 1998). Inti tubuh D.
melanogaster hanya memiliki 8 buah kromosom yang dibedakan atas:
a) 6 buah kromosom (atau 3 pasang) yang pada lalat betina maupun jantan
bentuknya sama. Karena itu kromosom-kromosom ini disebut autosom
(kromosom tubuh), disingkat dengan huruf A.
b) 2 buah kromosom (atau 1 pasang) disebut kromosom kelamin (seks
kromosom), sebab bentuknya ada yang berbeda pada lalat betina dan
jantan. (Suryo, 1998)
Pada Drosophila melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan
Y.Individu jantan memproduksi dua macam gamet (X dan Y) sehingga
dikatakan bersifat heterogametik.Sedangkan individu betina memproduksi satu
macam gamet (X), sehingga dikatakan bersifat homogametik. Dalam keadaan
normal ditemukan pasangan kromosom kelamin XX dan XY atau pasangan
kromosom secara lengkap sebagai AAXX dan AAXY (jumlah autosom
sebanyak tiga pasang). Mekanisme ekspresi kelamin pada Drosophila
melanogaster , dikenal suatu mekanisme perimbangan antara X dan A (X/A).
Pai (1985) dalam Corebima (2013) juga menyebutkan bahwa mekanisme itu
sebagai suatu mekanisme keseimbangan determinasi kelamin.
Bridges dalam Gardner (1991) juga memperkuat hal tersebut yaitu
menyatakan bahwa mekanisme penentuan jenis kelamin pada D. melanogaster
7

lebih tepat didasarkan atas teori perimbangan genetik.Teori tersebut menyatakan


bahwa untuk menentukan jenis kelamin digunakan indeks kelamin yaitu
banyaknya kromosom X dibagi banyaknya autosom (X/A). Perimbangan dari
dua kromosom X dengan dua pasang autosom akan berkembang menjadi betina.
Sedangkan perimbangan satu kromosom X dengan dua pasang autosom
menentukan jantan. Anonim (2002) menyebutkan bahwa jenis kelamin
tergantung pada perbandingan kromosom X dan autosom.
Singleton, (1962) dalam Anonim (2002) yang menyatakan bahwa kehadiran
kromosom kelamin Y bukan merupakan faktor penentu jenis kelamin akan tetapi
jenis kelamin ditentukan oleh perimbangan jumlah kromosom X dan jumlah
pasang autosom. Ayala dkk (1984) dalam Corebima (2013), menyatakan
mekanisme itu sebagai perimbangan antara jumlah X pada kromosom kelamin
dan jumlah A (autosom) pada tiap pasangan A. Anonim (2002) menyatakan
bahwa kehadiran kromosom Y bukan merupakan faktor penentu jenis kelamin,
melainkan ditentukan oleh perimbangan jumlah kromosom X dan jumlah
pasangan autosom. Selanjutnya Riley (1948) dalam Corebima (2013)
menyatakan bahwa adanya kromosom Y pada Drosophila melanogaster untuk
fertilitas jantan, yang diperlukan untuk membentuk jantan fertil.
Dalam penentuan jenis kelamin, yang menentukan jenis kelamin adalah gen
Dinyatakan lebih lanjut oleh bahwa gen yang bertanggung jawab atas penentuan
jenis kelamin makhluk hidup tidak hanya satu pasang, tetapi banyak pasangan
gen. Gen-gen itu terletak pada kromosom kelamin maupun autosom. Pada
kromosom kelamin X terdapat perangkat gen untuk kelamin betina, sedangkan
perangkat gen untuk kelamin jantan terdapat pada pasangan autosom.(Corebima,
2013).
2.3 Pindah Silang
Ayala dkk 1984, dalam Corebima 2013 menyatakan bahwa pindah silang
umumnya terjadi selama meiosis pada semua makhluk hidup berkelamin betina
maupun jantan dan antara semua pasangan kromosom homolog, namun pada
Drosophila jantan tidak pernah mengalami pindah silang. Peristiwa pindah
8

silang ini terjadi selama sinapsis dari kromosom-kromosom homolog pada


zygoten dan

pachyten dari profase I meiosis (Gardner dkk, 1984 dalam

Corebima, 2013). Gadner dkk (1984) dalam Corebima (2013) menyatakan


bahwa peristiwa pindah silang dapat terjadi pada kromatid yang sesaudara dan
nonsesaudara. Pindah silang pada kromatid yang sesaudara sulit dideteksi karena
kromatid sesaudara identik. Pindah silang secara genetik mudah dideteksi
masalah pindah silang kromatid non sesaudara. Berikut ini adalah bagan
alternatif pindah silang :

Gambar 2. Bagan umum satu alternatif peristiwa pindah silang antara dua
kromatid bukan sesaudara dari satu pasang kromosom homolog (Gardner
dkk, 1984 dalam Corebima, 2013)
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa terjadi pertukaran
segmen-segmen

kromosom

homolog,

memang

menyebabkan

perubahan posisi faktor (gen) tertentu dari suatu kromosom ke


pasangan homolognya. Keadaan semacam ini berakibat munculnya
tipe turunan yang bukan tipe parental disamping tipe parental. Tipe
turunan yang bukan tipe parental ini disebut dengan tipe rekombinan;
dan data turunan tipe rekombinan ini dapat direkam (Corebima, 2013).

Gambar 3. Hasil pindah silang selama meiosis (Campbell et al,


2008)
Menurut Campbell et al, 2008 ada tiga peristiwa yang terjadi
selama Meiosis I yaitu sinapsis dan pindah silang, homolog di lepeng
metafase dan pemisahan homolog. Pada sinapsis dan pindah silang
selama profase I, homolog tereplikasi berpasangan dan terhubung
secara fisik di sepanjang lengan oleh struktur protein serupa ritsleting,
komplek sinaptonemal (synatonemal complex). Proses ini disebut
sinapsis (synapsis). Penataan ulang genetik antara kromatid- kromatid
non saudara dikenal sebagai pindah silang diselesaikan pada tahap ini.
Setelah penguraian kompleks sinaptonemal pada profase akhir, kedua
homolog sedikit memisah namun tetap terhubung, setidaknya pada satu
daerah yang berbentuk X yang disebut kiasmata (chiasmata; tunggal
kiasma). Kiasmata merupakan perwujudan fisik dari pindah silang.
10

Kiasma tampak seperti palang karena kohesi kromatid saudara masih


tetap menyambungkan kedua kromatid saudara awal, bahkan didaerahdaerah yang salah satu kromatidnya kini menjadi bagian dari homolog
lain.
Dalam proses persiapan bagi meiosis, DNA masing-masing
kromosom bereplikasi dan menghasilkan dua kromatid saudari yang
identik secara genetik (kecuali jika ada mutasi). Saat profase I,
kromosom homolog membentuk pasangan yang disebut sinapsis
dengan bantuan protein pada kompleks sinaptonema. Kompleks
protein yang amat besar, disebut modul rekombinasi (diameternya
kira-kira 90 nm) terjadi pada setiap jarak tertentu di sepanjang
kompleks sinaptonemal. Masing-masing modul rekombinasi itu diduga
berfungsi

sebagai

mesin

rekombinasi

multienzim

yang

mempengaruhi sinapsis dan rekombinasi. Sebuah retas (nick) adalah


pembuangan ikatan fosfodiester antara nukleotida-nukelotida yang
bersebelahan dalam seuntai DNA.
Endonuklease dalam modul rekombinasi membuat retas pada
untai tunggal dari masing-masing kromatid, sehingga memungkinkan
untai nonsaudari untuk melakukan pertukaran, dan dengan demikian
mempengaruhi rekombinasi gen yang yang bertautan. Sebuah DNA
polymerase bisa memperpanjang untai yang dipertukarkan, dan sebuah
enzim yang disebut enzim ligase memperbaiki retas yang terjadi . Jika
bagian atas untai kromatid diputar 1800, dengan mikroskop dapat
terlihat sebuah struktur berbentuk silang yang disebut bentuk chi ()
struktur itu disebut juga sebgai model Holliday, sesuai dengan nama
R.Holliday yang mengajukannya tahun 1964. Endonuklease membuat
retas pada dua untai yang sebelumnya tidak terpotong di sekuens
tetranukleotida 5-(A/T)TT(G/C)-3. Celah (gap) dan retas lalu
diperbaiki, sehingga terbentuklah empat kromatid rekombinan yang
akan bersegregasi saat pembelahan meiosis kedua. Kromatid

11

rekombinan itu akan diinkorporasikan ke dalam gamet-gamet yang


berbeda (Corebima, 2013)
Sepasang kromosom yang bersinapsis terdiri atas empat
kromatid yang disebut tetrad. Setiap tetrad biasanya mengalami
setidaknya satu kiasma sepanjang untaiannya. Secara garis besar,
makin panjang kromosomnya, makin banyak jumlah kiasmanya.
Masing-masing tipe kromosom pada suatu spesies memiliki jumlah
kiasmata yang khas (atau rata-rata). Frekuensi terjadinya kiasma antara
dua lokus genetic mana pun juga memiliki probabilitas khas atau rata
rata. Semakin jauh letak dua gen pada sebuah kromosom, makin besar
kemungkinan terbentuknya kiasma di antara keduanya. Semakin dekat
pertautan kedua gen, makin kecil kemungkinan terbentuknya kiasma
diantara keduanya. Probabilitas kiasma tersebut berguna dalam
menentukan proporsi gamet parental dan rekombinan yang diharapkan
terbentuk dari suatu genotip tertentu. Persentase gamet pindah silang
(rekombinan) yang dibentuk oleh sutau genotype tertentu merupakan
cerminan langsung dari frekuensi terbentuknya kiasma diantara gengen yang diteliti. Rekombinasi akan terdeteksi hanya jika terbentuk
pindah silang antara lokus-lokus gen yang sedang diteliti (Corebima,
2013 ).
Berdasarkan Corebima, 2013 terdapat gen yang mengkode
recQ pada D. melanogaster yang terlibat dalam perbaikan kerusakan
unting ganda atau double strand break atau DSB. Dewasa ini pada
crossing over diketahui bahwa terjadinya pindah silang diinisiasi oleh
DNA formation double strand break dimana DSB ini adalah kondisi
yang dibutuhkan untuk terjadinya crossing over, katalisis hampir mirip
pada eukarisotik pada umumnya, yaitu dilakukan oleh protein spo11
yang mirip topoisomerase. Terjadinya DSB ini diikuti oleh formasi
heteroduplex DNA dan pengembalian single dan invasion intermediet.
Pada Drosophila melanogaster protein spo11 ini dikode oleh gen w68
yang bekerja sama dengan enzim lain.
12

Pada study lain dikatakan bahwa gen mus 309 ini mengontrol
pergantian tempat DNA, penguatan unting, dan penukaran unting. hasil
study yang utama adalah bahwa gen mus309 ini mereparasi atau
memperbaiki unting DNA yang rusak, mempengaruhi pada distribusi
pindah silang dan pengaruh pada pindah silang yang dipengaruhi oleh
usia betina. Kenyataanya bahwa pada organisme wild type gen mus309
ini tidak secara acak mereparasi bagian dari DSB artinya bahwa gen
mus309 ini bekerja secara perintah dan frekuensi pindah silang pada D.
melanogaster ini terikat oleh jarak gen (Suryo, 1991). Menurut Suryo,
1991, pindah silang dibedakan atas:
1. Pindah silang tunggal, ialah pindah silang yang terjadi pada satu tempat.
Dengan terjadinya pindah silang itu akan terbentuk 4 macam gamet. Dua
macam gamet memiliki gen-gen yang sama dengan gen-gen yang
dimiliki induk (parental), maka dinamakan gamet-gamet tipe parental.
Dua gamet lainnya merupakan gamet-gamet baru yang terjadi akibat
adanya pindah silang. Gamet ini dinamakan gamet tipe rekombinasi.
Gamet-gamet tipe parental jauh lebih banyak dibandingkan dengan
gamet tipe rekombinasi
2. Pindah silang ganda, ialah pindah silang yang terjadi pada dua tempat.
Jika pindah silang ganda (dalam bahasa Inggris: double crssing over)
berlangsung diantara dua gen yang terangkai, maka terjadinya pindah
silang ganda itutidak akan nampak dalam fenotip, sebab gamet-gamet
yang dibentuk hanya dari tipe parental saja atau dari tipe rekombinasi
saja atau dari tipe parental dan tipe rekombinasi akibat pindah silang
tunggal.
Dari keseluruhan penjelasan diatas jika dihubungkan dengan
penelitian yang dilakukan pada D. Melanogaster strain N, ym dan bcl
dapat disimpulakan agar lebih mudah dipahami seperti kerangka
konseptual berikut ini :
Pindah silang adalah pemotongan kromosom dan penyambungan
kembali yang terjadi pada Drosopila melanogaster selama profase13
meiosis I, dimana dalam proses tersebut terjadi pertukaran gen

Peristiwa pindah silang (crossing over) dipengaruhi oleh


beberapa hal baik dari faktor luar maupun faktor dalam

Faktor Eksternal :

Faktor Internal:

Zat kimia : Pewarna sintetis

Macam Strain (N, bcl dan ym)

(Dylon) warna merah dengan


konsentrasi 0%, 0,01%, 0,02%,
0,03%, 0,04%, 0,05%

Persilangan D.melanogaster N >< bcl dan N >< ym beserta


resiproknya dengan masing-masing konsentrasi Dylon warna merah

Muncul fenotip tipe rekombinan dan parental pada F2 dari


persilangan D.melanogaster N >< bcl dan N >< ym beserta
resiproknya

Frekuensi pindah silang (crossing over) pada persilangan


D.melanogaster N >< bcl dan N >< ym beserta
resiproknya

14

2.3 Macam Strain Drosophila melanogaster

Gambar 4. Peta parsial kromosom Drosophila melanogaster.


Kromosom IV tidak digambarkan sesuai dengan skala karena
ukurannya yang selatif kecil (Sumber: Klug, 2012)
Berdasarkan peta kromosom di atas, dapat diketahui strain yang
digunakan pada penelitian yaitu bcl terletak pada kromosom II, ym
terletak pada kromosom I. Pemetaan kromosom D.melanogaster
tersebut merupakan hasil kajian lebih lanjut mengenai pindah silang
15

yang dilakukan oleh A.H. Sturtevant, yang membuktikan bahwa


faktor-faktor (gen), tersusun secara linier sepanjang kromosom
(Corebima, 2013).
2.4

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pindah Silang

Menurut Suryo, 1991 ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pindah
silang antara lain:
1. Temperatur atau suhu, temperatur yang melebihi atau kurang dari
temperatur yang dianjurkan dapat memperbesar kemungkinan tejadinya
pindah silang.
2. Umur, semakin tua suatu individu, semakin kurang mengalami pindah
silang
3. Zat kimia tertentu dapat memperbesar kemungkinan pindah silang.
4. Penyinaran dengan sinar X dapat memperbesar kemungkinan pindah
silang
5. Jarak antara gen-gen yang terangkai. Semakin jauh letak suatu gen dengan
gen yang lainnya, semakin besar kemungkinan pindah silang
6. Jenis kelamin. Pada umumnya pindah silang dijumpai pada makhluk
hidup betina maupun jantan. Namun demikian ada perkecualian, yaitu
pada ulat sutera
2.5

Pewarna tekstil Dylon


Pewarna tekstil Dylon hampir sama dengan wantex atau
pewarna lainnya. Pewarna ini berbentuk serbuk dengan aneka jenis
warna, perbedaannya dengan pewarna tekstil lainnya adalah Dylon
menghasilkan warna secerah warna bubuknya (Arini, 2012).
Proses pembuatan zat pewarna sintetik biasanya melalui
perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali
terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun.
Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir,
harus melalui suatu senyawa antara yang kadang-kadang berbahaya
dan sering kali tertinggal dalam hasil akhir, atau terbentuk senyawa16

senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap


aman, ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari
0,00014 persen dan timbal tidak boleh lebih dari 0,001 persen,
sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada (Arini, 2012).
Kelarutan pewarna sintetik ada dua macam yaitu dyes dan
lakes. Dyes adalah zat warna yang larut air dan diperjual belikan dalam
bentuk serbuk, cairan, campuran warna dan pasta. Digunakan untuk
mewarnai minuman berkarbonat, minuman ringan, roti, kue-kue
produk susu, pembungkus sosis, dan lain-lain. Lakes adalah pigmen
yang dibuat melalui pengendapan dari penyerapan dyes pada bahan
dasar, biasa digunakan pada pelapisan tablet, campuran adonan kue,
cake dan donat. Dylon termasuk pewarna dyes (Anonim, 2011).
Pada tahun 1876 Witt dalam penelitiannya mengungkapkan
bahwa molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak
jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom
sebagai pengikat warna dengan serat. Zat organik tak jenuh umumnya
berasal dari senyawa aromatik dan derivatifnya (benzene, toluene,
xilena, naftalena, antrasena, dsb.), Fenol dan derivatifnya (fenol,
orto/meta/para kresol, dsb.), senyawa mengandung nitrogen (piridina,
kinolina, korbazolum, dsb). Gugus kromofor adalah gugus yang
menyebabkan molekul menjadi berwarna. Pada tabel dapat dilihat
beberapa nama gugus kromofor dan memberi daya ikat terhadap serat
yang diwarnainya.
Tabel Nama dan Struktur Kimia Kromofor

Nama Gugus

Struktur Kimia

17

Nitroso

NO atau (-N-OH)

Nitro

NO2 ata (NN-OOH)

Grup Azo

-NN-

Grup Etilen

-C=C-

Grup Karbonil

-C O-

Grup

Karbon

-C=NH ; CH=N-

Nitrogen

Grup Karbon Sulfur

-C=S ; -C-S-SC-

Auksokrom merupakan gugus yang dapat meningkatkan daya


kerja khromofor sehingga optimal dalam pengikatan. Auksokrom
terdiri dari golongan kation yaitu NH2, -NH Me, N Me2 seperti +

NMe2Cl-, golongan anion yaitu SO3H-, -OH, -COOH. Auksokrom

juga merupakan radikal yang memudahkan terjadinya pelarutan: COOH atau SO3H, dapat juga berupa kelompok pembentuk garam:
NH2 atau OH (Arifin, 2009).
Di dalam struktur Dylon terdapat ikatan dengan senyawa klorin
(Cl) dimana atom klorin tergolong sebagai senyawa halogen dan sifat
halogen yang berada di dalam senyawa organik sangat berbahaya dan
memiliki reaktivitas yang tinggi untuk mencapai kestabilan dalam
tubuh dengan cara berikatan terhadap senyawa-senyawa di dalam
tubuh yang menimbulkan efek toksik dan memicu kanker pada
manusia (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Juga senyawa Alkilating
(CH3-CH3 ) dan bentuk struktur kimia yang poli aromatik hidrokarbon
(PAH) dimana bentuk senyawa tersebut bersifat sangat radikal,
18

menjadi bentuk metabolit yang reaktif setelah mengalami aktivasi


dengan enzim sitokrom P-450. Bentuk radikal ini akan berikatan
dengan protein, lemak dan DNA. Pemberian pewarna azo dapat
menunjukkan beberapa efek toksik, terutama menyebabkan kerusakan
DNA. Hal ini ditunjukkan dengan efek mutagenik dan beracun dari
berbagai

pewarna

pada

konsentrasi

yang

berbeda

pada

D.

melanogaster. Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem


azo dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Gugus-gugus
penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat wama
terhadap asam atau basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagianbagian dari zat warna yang mudah lepas. Dengan lepasnya gugus
reaktif ini, zat warna menjadi mudah bereaksi. Pada umumnya agar
reaksi dapat berjalan dengan baik maka diperlukan penambahan alkali
atau asam sehingga mencapai pH tertentu. Disamping terjadinya reaksi
antara zat warna dengan serat membentuk ikatan primer kovalen yang
merupakan ikatan pseudo ester atau eter, molekul air pun dapat juga
mengadakan reaksi hidrolisa dengan molekul zat warna. Reaksi
hidrolisa tersebut akan bertambah cepat dengan kenaikan temperatur
(Levi,1987 ; Zakaria et al., 1996) dalam Universitas Sumatra Utara,
tanpa tahun.

Gambar 4: proses reaksi biodegradasi zat warna Azo dengan Proses


Anaerobik Aerobik (sumber : Universitas Sumatra Utara)

19

2.6 Hipotesis Penelitian


1. Ada pengaruh pemberian pewarna sintetis Dylon (0%, 0,01%, 0,02%,
0,03%, 0,04%, 0,05%) terhadap frekuensi pindah silang (crossing over)
pada persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta resiproknya.
2. Ada pengaruh macam strain terhadap frekuensi pindah silang (crossing
over) pada persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta resiproknya.
3. Ada hubungan antara pemberian pewarna sintetis Dylon (0%, 0,01%,
0,02%, 0,03%, 0,04%, 0,05%) dan macam strain terhadap frekuensi pindah
silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl dan N >< ym
beserta resiproknya.

20

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan dan Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian kuantitatif
eksperimental karena dilakukan beberapa perlakuan yaitu pemberian
bermacam-macam konsentrasi pewarna sintesis Dylon dengan warna
merah pada medium yang digunakan untuk mengembangbiakkan D.
Melanogaster dan melihat ada atau tidaknya pengaruh pemberian zat
warna sintetis dylon dan perbedaan macam strain yang dikawinkan
pada persilangan yang dilakukan lapangan dengan menggunakan data
kuantitatif. Penelitian ini menggunakan obyek berupa D. melanogaster
persilangan N >< bcl dan N >< ym beserta resiprok masingmasing sebanyak 3 kali ulangan, dan dilanjutkan dengan penghitungan
anakan F1 dan pengamatan fenotipnya dan dilanjutkan lagi pada
turunan F2.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dalam Laboratorium Genetika,
gedung 05 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan

Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang yang dimulai pada


bulan September 2015 hingga bulan November 2015.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh
strain atau spesies lalat buah (Drosophila melanogaster) yang berada
di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas

Negeri

Malang.

Sampelnya

adalah

Drosophila

melanogaster strain N, bcl, dan ym.

21

3.4 Variabel Penelitian


Variabel bebas

: Konsentrasi Dylon warna merah dan


macam Strain Drosophila melanogaster

Variabel terikat

: Frekuensi pindah silang

Variabel kontrol

: jumlah ulangan

3.5 Alat dan Bahan


3.5.1 Alat
a. Botol Selai
b. Mikroskop Stereo
c. Kuas
d. Selang
e. Kain Kasa
f. Gunting
g. Spidol / Bolpoin
h. Busa
i. Pisau
j. Panci
k. Kompor Gas
l. Blender
m. Timbangan
n.

Baskom

o.

Sendok sayur

3.5.2 Bahan
a. Drosophila melanogaster strain N, bcl dan ym
b. Plastik
c. Kertas Label
d. Kertas Pupasi
e. Fermipan atau yeast
22

f. Pisang Raja Mala


g. Tape
h. Gula Jawa
i. Pewarna sintesis Dylon warna merah
3.6 Prosedur Kerja
3.6.1 Pembuatan Medium
a. Menimbang pisang, tape singkong dan gula jawa dengan perbandingan 7:2:1
untuk satu resep.
b. Memotong pisang, tape singkong, dan mengiris gula merah menjadi potongan
yang kecil.
c. Menambahkan air secukupnya pada potongan pisang dan tape singkong,
kemudian memblendernya sampai halus.
d. Memasukkan pisang dan tape singkong yang telah di blender ke dalam panci
besar kemudian memanaskannya diatas kompor dengan api sedang selama 45
menit.
e. Memanaskan gula jawa yang telah diiris kecil hingga mencair seluruhnya
dalam panci kecil sebelum medium matang.
f. Setelah panasan medium sudah 20 menit, kemudian mencampurnya dengan
gula jawa cair.
g. Setelah 45 menit, mengangkat medium dari kompor kemudian mengisi botol
selai yang telah dicuci dan di keringkan dengan medium dan segera
menutupnya dengan gabus penutup.
h. Kemudian mendinginkannya dengan cara memasukkan botol pada baskom
yang berisi air secukupnya.

3.6.2 Menyiapkan Stok


a. Medium yang telah didinginkan dalam botol selai ditambahkan 2 sampai 3
butir fermipan dan memasukkan kertas pupasi dalam botol tersebut.
b. Memasukkan beberapa pasangan Drosophila melanogaster (minimal 3
pasang) sesuai dengan strain pada setiap botol selai berisi medium yang telah
disiapkan.
23

c. Memberi identitas atau label yaitu dengan memberi tanda berupa tanggal
pemasukan Drosophila melanogaster dan nama strain pada botol.
d. Menunggu hingga ada pupa yang menghitam, kemudian mengampul pupa
tersebut ke dalam selang ampul yang telah diberi sedikit irisan pisang (tiap
selang ampul berisi dua pupa).
e. Menunggu hingga pupa menetas maksimal berumur 2 hari setelah menetas
sehingga siap untuk dikawinkan atau siap untuk melakukan persilangan.

3.6.3 Persilangan F1
3.6.3.1 Perlakuan Normal
a. Memasukkan satu ekor D. melanogaster strain N dan bcl, N dan ym
beserta resiproknya kemudian memberi nama persilangan pada botol yang
sudah berisi medium, fermipan, dan kertas pupasi.
b. Masing-masing persilangan diulang sebanyak 3 kali.
c. Setelah dua hari, Drosophila melanogaster jantan dari persilangan dilepas.
d. Setelah terdapat larva pada botol persilangan, betina dipindahkan ke medium
baru dengan diberi label botol B hingga D.
e. Setelah terdapat pupa yang menghitam, pupa tersebut di ampul dan
menuliskan kode pada botol ampul untuk persilangan F2nya.
f. Menghitung fenotip dan mengamati ciri-ciri fenotip yang muncul ketika pupa
;menetas pada persilangan selama 7 hari berturut-turut.
3.6.3.2 Perlakuan Dylon
a. Menyiapkan medium
b. Membuat perbandingan dan menimbang antara medium dan Dylon yang
berwarna merah (konsentrasi: 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04% dan 0,05%),
yaitu dengan medium 50 gram maka Dylon yang dibutuhkan dengan
konsentrasi (0,01%) adalah 0,005 gram dan seterusnya.
c. Cara perhitungan :

24

Misal untuk konsentrasi 0,01 % = 0,01 / 100 x 50 = 0,005 gram dylon


warna merah
d. Mencampurkan antara medium dan Dylon warna merah yang sudah
ditimbang
sesuai dengan konsentrasi 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04% dan 0,05%,
kemudian memasukkan ke dalam botol.
e. Menambahkan fermipan 2-3 butir beserta kertas pupasi
f. Melakukan persilangan strain N dan bcl, N dan ym beserta
resiproknya

3.6.4 Persilangan F2
3.6.4.1 Perlakuan Normal (0%)
a. Memasukkan satu ekor D.melanogaster strain N betina hasil ampulan
persilangan P1 dengan bcl, ym jantan resesif dari stok kemudian memberi
label pada botol.
b. Masing-masing persilangan dilakukan sesuai ulangannya.
c. Setelah dua hari Drosophila melanogaster jantan dari persilangan dilepas.
d. Setelah terdapat larva pada botol persilangan, betina dipindahkan ke medium
baru yaitu botol B hingga D.
e. Menghitung fenotip dan mengamati cirri-ciri fenotip yang muncul ketika
pupa menetas pada persilangan selama 7 hari berturut-turut.
3.6.4.2 Perlakuan Dylon
a. Menyiapkan medium
b. Membuat perbandingan dan menimbang antara medium dan Dylon warna
merah (konsentrasi: 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04% dan 0,05%), yaitu dengan
medium 50 gram maka Dylon yang dibutuhkan dengan konsentrasi (0,01%)
adalah 0,005 gram dan seterusnya.
c. Cara perhitungan :

25

d. Mencampurkan antara medium dan Dylon warna merah yang sudah


ditimbang sesuai dengan konsentrasi, 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04% dan
0,05%, kemudian memasukkan ke dalam botol.
e. Menambahkan fermipan 2-3 butir serta kertas pupasi
f. Melakukan persilangan dengan memasukkan satu ekor D.melanogaster strain
N betina hasil ampulan persilangan P1 dengan bcl, ym jantan resesif dari stok
kemudian memberi label pada botol.
g. Masing-masing persilangan dilakukan sesuai ulangannya.
h. Setelah dua hari Drosophila melanogaster jantan dari persilangan dilepas.
i. Setelah terdapat larva pada botol persilangan, betina dipindahkan ke medium
baru yaitu botol B hingga D.
j. Menghitung fenotip dan mengamati cirri-ciri fenotip yang muncul ketika
pupa menetas pada persilangan selama 7 hari berturut-turut.

3.7 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara
pengamatan fenotip yang muncul pada hasil persilangan F1 dan F2 secara
langsung. Data yang diambil dimulai dari hari pertama sampai hari ke tujuh
untuk setiap ulangan dan data disajikan dalam bentuk tabel data pengamatan
seperti berikut ini :
Konsentrasi Fenotip Kelamin

Ulangan
1

0%

Jumlah Jumlah
3

Total

0,01%

0,02%

0,03%

26

0,04%

0,05%

3.8 Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
rekonstruksi persilangan P1 dan P2. Presentase frekuensi pindah silang dan
jika data lengkap maka dilakukan uji statistik Analisis Varian Ganda karena
ada dua variabel bebas yaitu perbedaan konsentrasi pewarna sintetis Dylon
warna merah dan macam strain.
Presentase frekuensi pindah silang dapat dihitung menggunakan rumus
seperti berikut :

nilai pindah silang =

rekombinan
X100 %
parental

rekombinan

27

BAB IV
DATA DAN ANALISIS DATA
4.1 Data Pengamatan
4.1.1 Ciri-ciri
Strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah N,
bcl, dan ym dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Strain N (normal):
a) Warna mata merah
b) Faset mata halus
c) Warna tubuh kuning kecokelatan
d) Bentuk sayap menutupi tubuh dengan sempurna

Gambar D. melanogaster strain N (sumber: dokumen pribadi)


Strain bcl (black body clote eyes):
a) Warna mata coklat gelap
b) Faset mata halus
c) Warna tubuh hitam
d) Bentuk sayap menutupi tubuh dengan sempurna

Gambar D. melanogaster strain bcl (sumber: dokumen pribadi)


28

Hasil persilangan P1
1) N heterozigot
a) Warna mata merah
b) Faset mata halus
c) Warna tubuh kuning kecokelatan
d) Bentuk sayap menutupi tubuh dengan sempurna.
Hasil persilangan P2
1) Strain N
a) Warna mata merah
b) Faset mata halus
c) Warna tubuh kuning kecokelatan
d) Bentuk sayap menutupi tubuh dengan sempurna.

2) Strain bcl (black body clote eyes):


a) Warna mata coklat gelap
b) Faset mata halus
c) Warna tubuh hitam
d) Bentuk sayap menutupi tubuh dengan sempurna.

3) b (black)
a)

Warna mata merah

b)

Faset mata halus

c)

Warna tubuh hitam

d)

Sayap menutupi tubuh dengan sempurna

29

Gambar D. melanogaster strain b (sumber: dokumen pribadi)

4) cl (clote eyes)
a) Warna mata coklat gelap
b) Faset mata halus
c) Warna tubuh kuning kecoklatan
d) Bentuk sayap menutupi tubuh dengan sempurna.

4.1.2 Data Perhitungan F2


Perhitungan F2
1. Persilangan N ( N >< bcl) >< bcl (resesif)

Konsentrasi

F2
N
b

0%
cl
bcl
N
b
0,01%
cl
bcl
N
0,02%

b
cl

Kelamin

1
82
61
1
0
0
0
0
0
85
42
0
0
0
0
0
0
45
7
0
0
0
0

Ulangan
2
86
56
0
0
0
0
0
0
95
62
0
0
0
0
0
0
15
7
0
0
0
0

3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Jumlah
168
117
1
0
0
0
0
0
180
104
0
0
0
0
0
0
60
14
0
0
0
0

Jumlah total
285
1
0
0
284
0
0
0
74
0
0
30

bcl

0,03%

N
b
cl
bcl
N
b

0,04%
cl
bcl
N
b
0,05%
cl
bcl

3
0
48
28
0
0
0
0
0
0
23
22
0
1
0
0
0
0
16
14
0
0
0
0
0
0

0
6
33
26
0
0
0
0
0
0
21
27
0

0
0

0
0
0
0
22
14
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

3
6
81
54
0
0
0
0
0
0
44
49
0
1
0
0
0
0
38
28
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0

9
135
0
0
0
93
1
0
0
66
0
0
0

2. Persilangan N ( bcl >< N) >< bcl (resesif)


Ulangan
Konsentrasi

F2
N

0%

b
cl

Kelamin

100
97
1
0
0
0

100
121
0
0
0
0

3
0
0
0
0
0
0

Juml
ah
200
218
1
0
0
0

Juml
ah
total
418
1
0
31

bcl
N
b
0,01%
cl
bcl
N
b
0,02%
cl
bcl

0,03%

N
b
cl
bcl
N
b

0,04%
cl
bcl
N
0,05%
b

0
0
83
78
0
0
0
0
0
0
58
64
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
30
25
0
0

0
0
90
89
0
0
0
0
0
0
98
59
0
0
0
0
0
6
69
61
0
0
0
0
0
0
40
42
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
55
57
0
0
0
0
0
0
43
31
0

0
0
0
0
21
21
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
173
167
0
0
0
0
0
0
156
123
0
0
0
0
3
6
124
118
0
0
0
0
0
0
83
73
0
1
0
0
0
0
51
46
0
0

0
340
0
0
0
279
0
0
9
242
0
0
0
156
1
0
0
97
0
32

cl
bcl

0
0
0
0

0
0
0
0

0
0
0
0

0
0
0
0

0
0

3. Persilangan N ( N >< ym) >< ym (resesif)

konsentrasi

F2
N
y

0%
m
ym
N
y
0,01%
m
ym
N
y
0,02%
m
ym

0,03%

N
y

Kelamin

Ulangan
1
2
3
79
80
0
76
81
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
64
62
0
64
51
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
66
58
0
62
55
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
6
0
67
49
0
56
46
0
0
0
0
0
0
0

Jumlah
159
157
0
0
0
0
4
0
126
115
0
0
0
0
0
0
124
117
0
0
0
0
0
0
116
102
0
0

Jumlah total
316
0
0
4
241
0
0
0
241
0
0
2
218
0
33

m
ym
N
y
0,04%
m
ym
N
y
0,05%
m
ym

0
0
1
0
35
41
0
1
0
0
0
0
20
25
0
0
0
0
1
0

0
0
0
0
26
25
0

0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
2
19
14
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
1
0
61
66
0
1
0
0
0
2
39
39
0
0
0
0
1
0

0
1
127
1
0
2
78
0
0
1

4. Persilangan N ( ym >< N) >< ym (resesif)

konsentrasi

F2
N
y

0%
m
ym
N
0,01%
y

Kelamin

1
104
99
0
0
0
0
1
1
99
95
0
0

Ulangan
2
102
0
88
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
101
0
77
0
0
0
0
0

Jumlah
206
187
0
0
0
0
3
1
200
172
0
0

Jumlah
total
393
0
0
4
372
0
34

m
ym
N
y
0,02%
m
ym

0,03%

N
y
m
ym
N
y

0,04%
m
ym
N
y
0,05%
m
ym

0
0
0
0
76
87
0
0
0
0
0
0
60
82
0
0
0
0
0
1
52
48
0
0
0
0
1
0
45
44
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
94
79
0
0
0
0
1
1
65
44
0
0
0
0
2
0
60
48
0
0
0
0
0
2
56
45
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

0
0
0
0
170
166
0
0
0
0
0
0
125
126
0
0
0
0
2
1
112
96
0
0
0
0
1
0
101
89
0
0
0
0
0
0

0
0
336
0
0
2
251
0
0
3
208
0
0
1
190
0
0
0

35

4.2 ANALISIS DATA


4.2.1 Rekonstruksi kromosom
1. Rekonstruksi kromosom pada persilangan N x bcl
Strain bcl memiliki 2 gen yaitu gen b dan gen cl dimana kedua gen terletak
pada kromosom yang sama yaitu kromosom II sehingga dapat terjadi pindah
silang antara kedua macam gen tersebut.
P1 : N (homozigot)><bcl (homozigot)
b+ cl+ ><

bcl

b+cl+

bcl

G1: b+cl+, bcl


b+cl+

F1 :

(N heterozigot)

b cl
P2 : N (dari F1 N >< bcl) >< bcl (jantan resesif dari stok)
G2 : b+cl+ ; bcl
b cl
F2 :

bcl

b+cl+ (N)
+

b cl

bcl
bcl (bcl)
bcl
bcl
Rasio fenotip F2 adalah N : bcl = 1:1
Seharusnya anakan yang diperoleh pada persilangan F2 adalah N, N,
bcl, dan bcl, namun pada penelitian yang kami lakukan anakan yang
muncul terdiri dari empat macam strain yaitu strain N, b, cl, dan bcl, hal ini
terjadi kemungkinan karena terjadi pindah silang. Hal ini sesuai dengan
rekonstruksi kromosom dibawah ini :

36

P2 : N (dari F1 N >< bcl) >< bcl (jantan resesif dari stok)


G2 : b+cl+ ; bcl
bcl

b+cl+

b+

b+

b+

cl+

cl +

bcl

p
cl+

cl

cl

cl

i
+

b+

b+

a
s
cl+

cl

cl+

cl

cl+ cl

cl+

cl

G2 : bcl, b+ cl+, b+cl, bcl+ ; bcl

bcl

bcl

b+cl+

b+cl

bcl+

bcl
bcl (bcl)

b+cl+
bcl (N)

b+cl
bcl (B)

bcl+
bcl (cl)

rasio N: bcl: b: cl adalah 1:1:1:1


2. Rekonstruksi kromosom pada persilangan N x ym:
Strain ym memiliki 2 gen yaitu gen y dan gen m dimana kedua gen terletak
pada kromosom yang sama yaitu kromosom I sehingga dapat terjadi pindah
silang.

Rekontruksi kromosom kelamin yang terletak pada kromosom yang


sama, tidak terjadi pindah silang (normal)

P1

:N

>< ym
><

G1 : y+m+ ; ; ym
F1

(N) ;

( ym)
37

: N (F1) >< ym

P2

><

G2 : y+m+, ym ; ym,
F2 :

ym

y+m+

ym

ym

ym

Rekontruksi kromosom kelamin yang terletak pada kromosom yang


sama, terjadi pindah silang
:N

P1

>< ym

><
G1

: y+m+ , ; ym

F1

P2

: N (F1) >< ym

(N) ;

( ym)

><

y+

y+

m+

m+

38

3.

y+

y+

y+

y+

m +

m+

m+

m+

G2

: y+m+, y+m, ym+, ym, ym,

F2

ym

y+m+

y+m

y m+

ym

ym

ym

Rekontruksi kromosom pada persilangan ym>< N

Rekontruksi kromosom kelamin yang terletak pada kromosom yang


sama, tidak terjadi pindah silang (normal)
P1

: N

>< ym
><

G1 : y+m+ ; ym,
(N) ;

F1

P2

: N (F1) >< ym

(N)

><

G2 : y+m+, ym ; ym,
F2

39

ym

y+m+

ym

ym

ym

Rekontruksi kromosom kelamin yang terletak pada kromosom yang sama,


terjadi pindah silang
:N

P1

>< ym

><
G1

: y+m+ ; ym,

F1

P2

: N (F1) >< ym

(N) ;

( N)

><

y+

y+

m+

m+

y+

y+

y+

y+

m +

m+

m+

m+

G2

: y+m+, y+m, ym+, ym, ym,

F2

ym

y+m+

N
40

4.2.2

y+m

y m+

Ym

ym

ym

Frekuensi Pindah Silang


Presentase

frekuensi

pindah

silang

dapat

dihitung

menggunakan rumus berikut

nilai pindah silang =

rekombinan
X100 %
parental

rekombinan

Dari data yang diperoleh maka hanya sebagian yang dapat dihitung nilai pindah silang,
yaitu:

1. Pada persilangan N (N >< ym) >< ym (resesif)


Konsentrasi 0,03 % U1
nilai pindah silang = 5 X100 %
254
= 1,97%

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Pengaruh Pemberian Pewarna Sintetis (Dylon) Terhadap Frekuensi


Pindah Silang pada Persilangan N >< bcl, N >< ym Beserta
Resiproknya
41

Berdasarkan data yang diperoleh pada seluruh persilangan, tidak dapat


dilakukan analisis anava ganda disebabkan data yang didapatkan belum cukup
memenuhi untuk dilakukannya analisis anava ganda sehingga tidak dapat
diketahui apakah pemberian pewarna sintetik dylon berpengaruh atau tidak.
Namun bisa dilakukan pendugaan yaitu dapat diduga berpengaruh dan tidak
berpengaruh. Pengaruh pemberian pewarna sintetis dylon terhadap frekuensi
crossing over atau pindah dapat berpengaruh. Hal ini dapat diketahui ketika ada
penurunan jumlah anakan dikarenakan akibat pemberian dylon. Menurut
Harwati (2000) pengaruh pemberian pewarna sintetik ini akan menyerang pada
tingkat sel dan juga DNA. Di mana pewarna sintetik termasuk sebagai bahan
kimia yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Bahan tersebut dapat
menyebabkan kerusakan pada tingkat seluler dengan mengubah permeabilitas
membran, homeostasis osmotik, keutuhan enzim atau kofaktor dan dapat
berakhir dengan kematian seluruh organ. Zat kimia menginduksi cedera sel
melalui cara langsung bergabung dengan komponen molekuler atau organel
seluler. Bahan kimia seperti pewarna tekstil menerima atau mendonor elektron
bebas selama reaksi intrasel sehingga mengkatalisis pembentukan senyawa
racun. Terdapat 3 reaksi kerusakan sel yang diperantarai radikal bebas yaitu
peroksidase membran lipid, fragmentasi DNA, dan ikatan silang protein.
Interaksi radikal lemak menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif
dan terjadi reaksi autokatalitik. Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA
mitokondria dan nuklear menimbulkan rusaknya untai tunggal.
Komposisi dylon salah satunya adalah senyawa azo, sifatnya karsinogen
dan mutagenic (Duta,2015). Pewarna azo merupakan yang penting kelas
mutagen lingkungan karena mereka banyak digunakan oleh industri yang
berbeda dan digunakan untuk tujuan pewarnaan yang dibuang ke lingkungan.
Hal ini ditunjukkan dengan efek mutagenik dan beracun dari berbagai pewarna
pada konsentrasi yang berbeda pada D. melanogaster. Efek mutagenik pewarna
yang mengakibatkan fenotipe mutan adalah bentuk mutasi diinduksi. Jenis
mutasi hasil dari pengaruh faktor-faktor luar. Ini mungkin hasil dari baik agen
alami atau buatan seperti berbagai bentuk radiasi, banyak agen hemical alami
dan sintetis. Selanjutnya, mutasi induksi timbul dari kerusakan DNA yang
42

disebabkan oleh bahan kimia dan radiasi. mutasi mungkin atau mungkin tidak
membawa perubahan terdeteksi dalam fenotipe. Sejauh mana mutasi mengubah
karakteristik suatu organisme tergantung pada di mana mutasi terjadi dan
sejauh mana mutasi mengubah fungsi dari produk gen. Satu studi menganalisis
mutagenik, sitotoksik dan efek genotoksik dari azo dye CI, dan hasilnya jelas
menunjukkan bahwa zat warna azo ini disebabkan efek tergantung dosis,
menginduksi pembentukan mikronukleus (MN), fragmentasi DNA (Duta,
2015).
Zat warna azo mempunyai sistem kromofor dari gugus azo (-N=N-) yang
berikatan dengan gugus aromatik dan juga bersifat sangat radikal dan mutagen.
Sehingga gugus azo akan menjadi sangat reaktiv apabila berikatan dengan
unsur organik seperti gen. Senyawa Radikal yang mengandung (-N=N-) akan
menyerangan atom H (H-). sehingga secara garis besar gugus azo yang
merupakan radikal bebas akan berikatan dengan atom H yang ada di DNA
yang secara langsung akan merubah komposisi dari DNA tersebut sehingga
DNA mengalami kerusakan. Senyawa radikal dan Mutagen ini bila menyerang
DNA akan menyebabkan fungsi dari DNA tersebut terganggu, Seperti di
ketahui sususan gen terdiri atas pasangan basa nitrogen yang memiliki ikatan
gugus kimia yang terdiri atas N - 0 H, seperti yang di jelaskan bahwa gugus
azo sangatlah bersifat radikal dimana akan dengan mudah berikatan dengan
unsur H. Dalam masing masing basa memiliki gugus H, bila gugus H dari basa
tersebut berikatan dengan gugus (-N=N-) dari gugus azo maka hal tersebut
akan merubah susan kimia dari basa tersebut sehingga otomatis susunan kimia
dari basa tersebut berubah. Karena gugus H dari basa tersebut telah berikatan
dengan gugus N dari azo maka basa tersebut tidak dapat di kenali lagi oleh
pasangan basanya seningga tidak terbentuk ikatan antar basa yang
menyebabkan terjadinya kegagalan saat terjadi proses pindah silang karena
pasangan basa tidak dapat saling mengenali dan berikatan satu sama lain
dengan basa pasangannya (Duta, 2015).
Pada Universitas Sumatra Utara, tanpa tahun juga dijelaskan bahwa
pemberian pewarna azo dapat menunjukkan beberapa efek toksik, terutama
menyebabkan kerusakan DNA. Hal ini ditunjukkan dengan efek mutagenik
43

dan beracun dari berbagai pewarna pada konsentrasi yang berbeda pada D.
melanogaster. Kromofor zat warna reaktif biasanya merupakan sistem azo
dan antrakuinon dengan berat molekul relatif kecil. Gugus-gugus
penghubung dapat mempengaruhi daya serap dan ketahanan zat wama
terhadap asam atau basa. Gugus-gugus reaktif merupakan bagian-bagian dari
zat warna yang mudah lepas. Dengan lepasnya gugus reaktif ini, zat warna
menjadi mudah bereaksi. Pada umumnya agar reaksi dapat berjalan dengan
baik maka diperlukan penambahan alkali atau asam sehingga mencapai pH
tertentu. Disamping terjadinya reaksi antara zat warna dengan serat
membentuk ikatan primer kovalen yang merupakan ikatan pseudo ester atau
eter, molekul air pun dapat juga mengadakan reaksi hidrolisa dengan
molekul zat warna. Reaksi hidrolisa tersebut akan bertambah cepat dengan
kenaikan temperatur.
Adrian (1973) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa senyawa dalam
pewarna sintetik (Dylon) ini bekerja dengan cara menghambat proses
fosforilasi oksidatif yang berlangsung di mitokondria, pada konsentrasi tinggi,
pewarna sintetik ini menyebabkan hilangnya matrix protein. Zat ini dapat
berikatan dengan protein-protein yang akan menangkap ion H+, akibatnya
proses transfer electron yang akan menghasilkan ATP akan terhambat. Pada
dasarnya ATP digunakan individu dewasa untuk perbaikan kerusakan DNA
yang akan mengkode pembentukan enzim-enzim yang berperan dalam saat
terjadi pembelahan.
Pada dylon ditemukan adanya senyawa Alkilating (CH3-CH3 ) dan
bentuk struktur kimia yang poli aromatik hidrokarbon (PAH) dimana bentuk
senyawa tersebut bersifat sangat radikal, menjadi bentuk metabolit yang reaktif
setelah mengalami aktivasi dengan enzim sitokrom P-450. Bentuk radikal ini
akan berikatan dengan protein, lemak dan DNA (Levi,1987 ; Zakaria et al.,
1996) dalam Universitas Sumatera Utara, tanpa tahun. Adanya ikatan dengan
DNA dan protein ini. dimungkinkan akan mempengaruhi adanya kejadian
pindah silang, dimana DNA menjadi tidak stabil dan terganggu pada saat
mengalami pembelahan meiosis.

44

Pada saat pindah silang terjadi maka ada beberapa gen, dan protein yang
terlibat yaitu protein synaptonemal complex , dan gen mus 309. Jika
konsentrasi berpengaruh terhadap frekuensi pindah silang maka senyawa yang
terkandung dalam dylon apabila termakan oleh D. melanogaster dan
menyerang gen-gen pengkode protein synaptonemal complex maka dapat
terjadi gangguan yang dapat menurunkan frekuensi pindah silang. Bila gugus
H pada gen gen pengkode protein synaptonemal complex berikatan dengan
gugs N maka gen gen tersebut tidak akan terekspresikan menjadi protein
synaptonemal complex yang secara otomatis akan mempengaruhi terjadinya
proses pindah silang (Duta, 2015)
. Sedangkan berdasarkan teori menurut Portin, 2009 mus309 adalah gen
yang mengkode recQ pada D. melanogaster yang terlibat dalam perbaikan
kerusakan unting ganda atau double strand break atau DSB. Menurut Portin
(2009) diketahui bahwa terjadinya pindah silang diinisiasi oleh DNA formation
double strand break dimana DSB ini adalah kondisi yang dibutuhkan untuk
terjadinya crossing over, katalisis hampir mirip pada eukaryotik pada
umumnya, yaitu dilakukan oleh protein spo11 yang mirip topoisomerase.
Terjadinya DSB ini diikuti oleh formasi heteroduplex DNA dan pengembalian
single dan invasion intermediet.
Pemberian pewarna dylon tidak menimbulkan efek pada peristiwa pindah
silang artinya pemberian pewarna dylon tidak mempengaruhi proses pindah
silang apabila gen mus 309 yang bertugas dalam perbaikan kerusakan unting
ganda atau double strand break (DSB) memperbaiki kerusakan unting ganda
akibat senyawa aktif yang berada didalam dylon maka dapat memicu terjadinya
peningkatan frekuensi pindah silang. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari
Portin (2009) yang menyatakan bahwa gen mus 309 yang bertugas dalam
perbaikan kerusakan unting ganda atau double strand break (DSB)
memperbaiki kerusakan unting ganda akibat senyawa aktif yang berada
didalam zat kimia maka dapat memicu terjadinya peningkatan frekuensi pindah
silang. Semakin banyak senyawa reaktif yang terkandung dalam dylon yang
mengakibatkan kerusakan unting ganda maka semakin banyak pula perbaikan

45

yang dilakukan oleh gen mus 309 ini maka frekuensi pindah silang akan
semakin meningkat.
Hasil lain yang diperoleh diduga pemberian pewarna dylon tidak
berpengaruh pada kejadian pindah silang, hal ini dimungkinkan karena proses
pindah silang merupakan proses rekombinasi. Pernyataan ini juga diperkuat
oleh pernyataan dari Tsuboy et al., (2007) dylon bersifat mutagenik.
Mutagenik yang dapat menyebabkan mutasi, sedangkan peristiwa pindah
silang tersebut bukan merupakan peristiwa mutasi melainkan peristiwa
rekombinasi, karena telah diatur oleh gen-gen yang mengkode pembentukan
Synaptonemal complex (Gardner dkk, 1984).
Jika senyawa reaktif yang terkandung dalam dylon tidak berikatan
dengan gen atau DNA pengkode peristiwa pindah silang maka senyawa reaktif
yang terdapat pada dylon tersebut tidak berpengaruh pada frekuensi pindah
silang, atau dapat dikatakan konsentrasi dylon yang diberikan tersebut tidak
berpengaruh terhadap frekuensi pindah silang. Dapat juga ketika senyawa
tersebut berikatan dengan gen atau DNA pengkode peristiwa pindah silang
sempat diperbaiki melalui proses rekombinasi. Hal ini sesuai dengan teori yaitu
pindah silang tidak hanya berfungsi dalam menimbulkan keanekaragaman
genetik namun fungsi vitalnya justru memperbaiki kerusakan DNA ((Watson,
dkk, 1987) dalam Corebima, 2012). Tidak berpengaruhnya konsentrasi dylon
kemungkinan dapat juga disebabkan karena jumlah dylon yang diberikan
terlalu sedikit sehingga tidak berpengaruh pada gen atu protein yang berperan
dalam proses pindah silang.

Pengaruh Macam Strain Terhadap Frekuensi Crossing Over


Macam strain yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain ym, bcl
dan N. Strain ym terpaut pada kromosom kelamin (kromosom I) (Sciencekit,
2008) yang merupakan tipe mutan yang telah mengalami mutasi pada materi
genetiknya. Pemilihan strain ini dikarenakan gen yang terpaut pada
kromosom kelamin memiliki pola persilangan yang khas. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Corebima (1997) yang menyebutkan bahwa pewarisan
46

sifat (fenotip) yang terpaut kromosom kelamin X mengikuti suatu pola yang
khas, yaitu crisscross pattern inheritance yang berarti pola pewarisan
menyilang. Sifat yang terpaut kromosom kelamin X yang memiliki pola
demikian lebih mudah dipahami pada sifat-sifat yang oleh gen-gen resesif.
Karmana (2010) menyatakan bahwa akan ada jumlah turunan berbeda untuk
strain yang berbeda pula namun belum ada informasi yang mengungkap
pengaruh macam strain terhadap jumlah turunan.
Pada penelitian ini kami menggunakan strain N, bcl, dan ym. Strain N
merupakan strain yang normal (tidak mengalami mutasi) dengan memiliki
ciri-ciri mata merah, faset mata halus, tubuh berwarna kuning kecoklatan,
dan sayap menutupi tubuh dengan sempurna, strain bcl memiliki dua gen
mutan yang terletak pada lokus b (black body) dan lokus cl (clot eye) yang
sama-sama terletak pada kromosom II. Pada strain bcl terdiri dari gen b
yang terletak pada titik 48,5 dan gen cl pada titik 16,5. Dengan demikian
jarak kedua lokus tersebut adalah adalah 48,5 16,5 = 32 map unit.
Sedangkan pada strain ym yang mengandung dua gen mutan yang terletak
pada lokus y (yellow) dan m (miniature) yang sama-sama terletak pada satu
kromosom yaitu kromosom dua. Gen y adalah 0.0 map unit dan gen m 36.1
map unit dengan demikian jarak antara gen y dengan m 36.1-0.0= 36.1 map
unit.
Menurut Suryo (2008) jarak antar gen-gen terangkai, makin jauh letak
satu gen dengan gen yang lainnya, makin besar kemungkinan terjadinya
pindah silang. Corebima (2003) juga menyatakan bahwa, ciasma adalah
bentukan yang dihasilkan setelah terjadi pemutusan dan penyambungan
kembali yang diikuti pertukaran resiprok antar kedua kromatid dalam bentuk
bentukan bivalven. Apabila dua gen terpisah jauh tetapi terletak pada satu
kromosom, maka kesempatan untuk terbentuknya suatu ciasma semakin
besar di antara mereka. Semakin dekat dua gen tersebut, semakin kecil
kesempatan untuk terbentuknya suatu ciasma di antara mereka. Dengan
demikian, semakin jauh jarak dua gen terpisah, maka kemungkinan terjadi
pindah silang di antara kedua gen tersebut semakin banyak karena
47

kemungkinan terbentuknya ciasma juga semakin banyak. Sesuai dengan


pernyataan tersebut, maka frekuensi terjadinya pindah silang yang terjadi
pada strain ym kemungkinan akan lebih besar daripada frekuensi terjadinya
pindah silang pada strain bcl. Dari kajian literatur tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa macam strain berpengaruh terhadap frekuensi pindah silang
pada D. melanogaster. Akan tetapi, pada penelitian dengan menggunakan
strain bcl dan ym ini, belum cukup menunjukkan bukti pengaruh macam
strain terhadap frekuensi pindah silang, karena ketidak lengakapan data.
Kemungkinan macam strain juga dapat berpengaruh karena adanya
pindah silang ganda. Pindah silang ganda, ialah pindah silang yang terjadi
pada dua tempat. Jika pindah silang ganda (dalam bahasa Inggris: double
crssing over) berlangsung diantara dua gen yang terangkai, maka terjadinya
pindah silang ganda itu tidak akan nampak dalam fenotip, sebab gametgamet yang dibentuk hanya dari tipe parental saja atau dari tipe rekombinasi
saja atau dari tipe parental dan tipe rekombinasi akibat pindah silang tunggal.
Pernyataan ini juga didukung oleh Snustad (2012) yang menyatakan bahwa
pindah silang akan menghasilkan kromatid yang rekombinan, namun apabila
terjadi peristiwa pindah silang sekali lagi akan menyebabkan kromatid
tersebut kembali kepada konfigurasi awalnya dan menyebakan kromatid
menjadi non rekombinan hal ini disebut dengan pindah silang ganda.
Macam strain juga dapat menurunkan frekuensi crossing over karena
rendahnya jumlah keturunan yang dihasilkan dari persilangan. Apabila
jumlah keturunannya rendah maka frekuensi terjadinya crossing over juga
rendah bahkan tidak sama sekali. Jumlah keturunan ini dapat dipengaruhi
oleh kemampuan strain yang bersangkutan untuk bertahan hidup dan
melakukan perkawinan. Dobzhansky dalam Indayati (1999), menyatakan
bahwa mutasi dapat mengubah tingkah laku spesies manapun yang
mempengaruhi kesuksesan kawin individu yang bersangkutan.
Macam strain dapat juga tidak berpengaruh pada kejadian pindah silang.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Corebima (2013) yang menyatakan
bahwa strain adalah sekelompok individu intraspesifik yang memiliki hanya
satu atau sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya dalam keadaan
48

homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni. Berdasarkan pernyataan


tersebut dapat disimpulkan bahwa macam strain tidak berpengaruh terhadap
frekuensi pindah silang, karena pindah silang pada D. Melanogaster
dikodekan oleh gen yang sama. Hal ini juga dibuktikan dengan pernyataan
dari Scott et all (2001) menyebutkan bahwa terdapat Gen yang berperan
dalam meregulasi pindah silang diantaranya c(3)G, mei-W68, mei-P22. Gengen tersebut merupakan gen-gen yang mengkodekan protein esensial dalam
peristiwa pindah silang pada Drosophila. Selain itu ada juga PCH2 yang
turut dalam meregulasi pindah silang serta adanya mekanisme double strand
break (DSB) sebagai salah satu penyebab terjadinya pindah silang pada
Drosophila betina. Gen c(3)G mengkode terbentuknya transverse filaments
(TFs). TF adalah filamen yang menyusun synaptonemal complex berupa
kumparan yang berada di tengah bentukan synaptonemal complex. Dengan
tersintesisnya TF akan memicu terbentuknya synaptonemal complex diantara
dua kromosom yang homolog. Seperti yang telah diketahui bahwa
keberadaan synaptonemal complex sangat dibutuhkan dalam peristiwa
pindah silang.

Pengaruh Interaksi antara Perbedaan Konsentrasi Pemberian Pewarna


Sintetis (Dylon) dan Macam Strain Terhadap Frekuensi Pindah Silang
Terdapat dua kemungkinan pada penelitian proyek ini yaitu ada pengaruh
pemberian pewarna sintesis dan macam strain serta tidak ada pengaruh
diantara keduanya. Namun karena data yang diperoleh tidak mencukupi
untuk dilakukannya pengujian, maka peneliti menggunakan literatur sebagai
landasan membahas kedua kemungkinan tersebut.
Jika interaksi antara konsentrasi dylon dengan macam strain berpengaruh
terhadap

frekuensi

pindah

silang

maka

pengaruh

tersebut

dapat

meningkatkan atau menurunkan frekuensi pindah silang. Pemberian pewarna


dylon dapat meningkatkan pindah silang seperti pada pernyataan portin
(2009) bahwa meningkatkan frekuensi pindah silang jika konsentrasi
semakin tinggi maka semakin banyak gen mus 309 yang memperbaiki
kerusakan unting ganda maka frekuensi pindah silang juga akan semakin
49

meningkat, dan apabila terjadi pada strain yang jarak lokusnya lebih besar
maka kemungkinan terbentuknya juga semakin besar. Menurunkan frekuensi
pindah silang jika konsentrasi semakin tinggi maka akan semakin banyak
protein synaptonemal complex yang terserang dan semakin rendah
kemungkinan kiasma yang terbentuk sehingga frekunsi pindah silang akan
semakin menurun, dan jika terjadi pada strain dengan jarak lokus yang
pendek maka juga akan semakin menurunkan frekuensi pindah silang.
Indikasi tidak berpengaruh dapat ditinjau dari adanya macam strain juga
dapat menurunkan pindah silang karena rendahnya jumlah keturunan yang
dihasilkan dari persilangan. Jumlah keturunan ini dapat dipengaruhi oleh
kemampuan strain yang bersangkutan untuk bertahan hidup dan melakukan
perkawinan kemampuan ini alami terjadi pada diri D. Melanogaster dan
tidak dipengaruhi oleh zat kimia apapun. Dobzhansky dalam Indayati (1999),
menyatakan bahwa mutasi dapat mengubah tingkah laku spesies manapun
yang mempengaruhi kesuksesan kawin individu yang bersangkutan. Selain
itu, proses perbaikan diri pada individu Droshophilla melanogaster juga
dapat mengurangi kejadian pindah silang yang dihasilkan.

50

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Karena proyek penelitian kami belum mendapatkan data yang
lengkap maka kesimpulan sementara pada proyek kami adalah :
1) Pemberian pewarna sintetis Dylon (0%, 0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%,
0,05%) dapat berpengaruh dan dapat tidak berpengaruh terhadap
frekuensi pindah silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl
dan N >< ym beserta resiprok.
2) Macam strain dapat berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap
frekuensi pindah silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl
dan N >< ym beserta resiprok.
3) Interaksi antara pemberian konsentrasi pewarna sintetis Dylon (0%,
0,01%, 0,02%, 0,03%, 0,04%, 0,05%) dan macam strain terhadap
frekuensi pindah silang (crossing over) pada persilangan N >< bcl
dan N >< bdp beserta resiprok dapat berpengaruh dan tidak
berpengaruh.

6.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
a. Sebaiknya dalam melakukan penelitian hendaklah dilakukan
dengan sabar, teliti, hati-hati dan tekun sehingga didapatkan hasil
yang benar dan data yang akurat.
b. Sebaiknya lebih teliti dalam proses pemindahan botol, sehingga
tidak terjadi kesalahan dalam menghitung fenotip dari masingmasing persilangan yang telah dilakukan.
c. Sebaiknya lebih berhati-hati dalam proses pembuatan medium,
pengampulan strain dan persilangan sehingga tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan.

51

52

Você também pode gostar