Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
Trauma maksilofasial merupakan salah satu trauma yang umum ditemukan. Trauma
maksilofasial memerlukan perhatian khusus karena kedekatan lokasi fraktur dan sering
terlibatnya struktur-struktur vital pada leher dan kepala. Oleh karena itu, evaluasi kedua regio ini
harus selalu dilakukan. Selain itu, trauma maksilofasial juga dapat memberikan dampak
psikologis kepada pasien karena dapat mengganggu estetika bentuk wajah bila tidak dikoreksi.
Insiden dan penyebab epidemiologis trauma maksilofasial bervariasi secara luas pada
daerah yang berbeda di dunia karena perbedaan kehidupan sosial, ekonomi dan kultural,
kesadaran masyarakat mengenai peraturan lalu lintas dan konsumsi alkohol. 1 Berdasarkan studi
dari negara berkembang, penyerangan atau kekerasan merupakan penyebab utama fraktur fasial,
sisanya sebagian besar disebabkan oleh peristiwa kecelakaan lalu lintas, olahraga, dan
kecelakaan industri, tetapi penyebab utama bergeser ke kecelakaan lalu lintas di negara-negara
berkembang.1
Fraktur yang paling sering ditemukan pada trauma maksilofasial adalah fraktur pada os.
maksila (28%), diikuti dengan os. nasalis (25,3%), os. zygoma (20,2%), os. mandibula (8,4%),
os. frontalis (8,1%), dan os. nasoethmoidoorbitalis (3,1%). 1 Di bawah ini merupakan data
epidemiologis yang menggambarkan trauma maksilofasial berdasarkan lokasi anatomis dan
mekanisme trauma.1
BAB II
PEMBAHASAN
blow-out. Mekanisme umumnya adalah terjadi pukulan (blow) terhadap mata dengan kekuatan
yang ditransmisikan oleh soft tissue orbita kearah bawah melalui lantai orbita yang tipis. Ketika
fraktur ini terjadi, isi dari orbita (meliputi lemak, soft tissue, otot oblikus inferior, atau otot rektus
inferior) dapat mengalami protrusi melalui fraktur dan menjadi terperangkap. Terperangkapnya
otot oblikus inferior atau rektus inferior dapat menyebabkan restriksi pergerakan bola mata dan
menyebabkan diplopia. Terperangkapnya kedua otot tersebut bersama dengan soft tissue dapat
menyebabkan pergeseran bola mata kearah posterior dan inferior, menyebabkan timbulnya
diplopia dan enolftalmos. Diplopia lebih jelas apabila pasien melihat kearah atas.2
insiden trapdoor (terperangkapnya otot atau lemak) yang tinggi. Jaringan orbita yang
terperangkap ini dapat mengalami iskemia dan nekrosis. Tulang yang lebih lunak dan fleksibel
pada anak-anak menyebabkan lantai orbita cenderung bengkok atau retak dan membentuk
trapdoor. Pergeseran jaringan dapat menyebabkan kenampakan putih pada mata. Pada anakanak, mual dan muntah dapat menjadi faktor prediktif adanya fraktur trapdoor dengan jaringan
yang terperangkap.2
Fraktur dari rima superior, lateral, dan inferior dari orbita dapat terjadi tunggal atau
bersama-sama dengan trauma kraniofasial lainnya. Palpasi dengan teliti dapat menentukan
adanya step off pada lokasi fraktur. Parestesia pada pipi umum ditemukan pada fraktur rima
orbita inferior yang mencederai nervus infraorbita.2
Fraktur atap orbita pada orang dewasa jarang terjadi dan biasanya berhubungan dengan
trauma dengan kekuatan besar pada kepala dan wajah. Komplikasi fasial dan neurologis multipel
umum pada trauma ini. Pada anak-anak, fraktur atap orbita ditemukan pada trauma dengan
kekuatan yang lebih kecil.2
Fraktur Os. Zigoma
Zigoma membentuk malar eminence (tonjolan pipi), menentukan jumlah proyeksi anterior dan
lateral pipi, dan mendukung dinding lateral serta lantai orbita. Merupakan tulang yang prominen
pada wajah, sehingga membuatnya rentan terhadap trauma dan fraktur. Terdapat 4 bagian atau
prosesus dari zigoma, yaitu prosesus maksilaris, prosesus temporalis, prosesus frontalis, dan
prosesus orbitalis. Ke arah inferior, prosesus maksilaris berartikulasi dengan maksila pada sutura
zigomatikomaksilaris. Ke arah lateral, prosesus temporalis dari zigoma bergabung dengan tulang
temporal dan membentuk arkus zigomatik, anterior dari kanalis auditori. Ke arah, prosesus
orbitalis berartikulasi dengan greater wing dari os. sphenoid. Ke arah superior, prosesus frontalis
berartikulasi dengan os. frontalis pada sutura zigomatikofrontalis.2
Gambar 8. Gambaran X-ray (submentovertex view) yang menunjukkan fraktur arkus zigoma.2
Suatu fraktur zigomatikomaksilaris (fraktur tripod atau malar) merupakan fraktur akibat
kekerasan langsung pada pipi. Fraktur terjadi pada artikulasi zigoma dengan os. frontalis dan
arkus zigomatik. Fraktur ini merupakan fraktur orbita karena struktur internal orbita dapat
terganggu oleh pergeseran dari badan zigoma. Komponen maksilaris dari fraktur ini meliputi
dinding anterolateral dari antrum maksilaris. Fraktur zigomatikomaksilaris sering berhubungan
dengan edema fasial berat, jadi batas trauma yang sebenarnya menjadi tidak jelas. Diplopia dapat
dilaporkan oleh pasien akibat kerusakan pada orbita. Depresi pada rima orbita inferior atau
parestesia pada distribusi dari nervus infraorbitalis menunjukkan daerah kerusakan meluas ke
orbita atau maksila.2
Fraktur Os. Mandibula
7
Mandibula mengelilingi lidah dan merupakan satu-satunya tulang kranial yang memiliki
mobilitas, mengandung gigi-gigi rahang bawah dan pembuluh darah yang signifikan, otot, dan
saraf. Mandibula sebenarnya adalah dua tulang yang mengalami fusi menjadi satu di midline
symphysis (simfisis mandibula). Masing-masing tulang memiliki korteks buccal dan lingual yang
tebal dan kavitas medula yang tipis. Nervus alveolar inferior memasuki mandibula pada
foramina mandibularis dengan arteri alveolar inferior dan melintasi kavitas medula, lalu keluar
melalui foramina mentalis. Nervus ini melintasi kavitas medulla dibawah akar gigi. Nervus ini
memberikan sensasi pada gigi rahang bawah dan juga kulit serta mukosa dari bibir bawah.2
Mandibula
dihubungkan
dengan
kranium
pada
sendi
temporomandibular
(temporomandibular joint, TMJ). Mandibula yang berfungsi dengan baik menentukan kontak
oklusi dari gigi. Fraktur mandibula dapat menyebabkan berbagai gangguan jangka pendek dan
jangka panjang, meliputi nyeri TMJ, maloklusi, ketidakmampuan untuk mengunyah, gangguan
salvias, obstructive sleep apnea, dan nyeri kronik. fraktur mandibula dapat terjadi pada simfisis,
body, angle, ramus, dan kondilus atau subkondilus.2
Gambar 9. Anatomi mandibula dan frekuensi fraktur pada tiap-tiap lokasi anatomis.1,2
Ketika area maksilaris atau mandibula mengalami kerusakan, pemeriksa harus
mencurigai kemungkinan trauma terhadap kelenjar parotis dan duktusnya. Kelenjar parotis
berada dibawah sepertiga tengah dari garis antara komisura bibir dan tragus dari telinga. Laserasi
pada area ini kemungkinan menyebabkan trauma pada duktus parotis dan eksplorasi luka harus
dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan ini. Jika trauma duktus telah terjadi, identifikasi
segmen proksimal dan distal dengan reanastomosis primer adalah terapi yang ideal.2
Mandibula seringkali mengalami fraktur pada lebih dari satu lokasi karena strukturnya
yang seperti cincin yang dibentuk melalui artikulasinya pada TMJ. Selain klasifikasi fraktur
8
tradisional (open, closed, simple, complex, atau comminuted), fraktur mandibula juga
dideskripsikan sebagai favorable atau unfavorable, tergantung dari apakah otot-otot pengunyah
cenderung mengalami reduksi atau mengacaukan fraktur.2
Fraktur alveolar terjadi diatas gigi pada bagian alveolar dari maksila atau mandibula.
Seringkali sekelompok gigi longga dan darah mungkin ditemukan pada ginggiva. Fraktur
dentoalveolar dan fraktur dengan perluasan kearah dentoalveolar melibatkan hanya tonjolan
alveolar dan gigi yang berhubungan dengannya, dan termasuk fraktur terbuka.2
Gambar 10. Fraktur dentoalveolar yang termasuk dalam fraktur terbuka mandibula.2
Fraktur Os. Maksila
Tulang maksila adalah tulang terbesar dari wajah dan membentuk rahang atas. Maksila
terdiri dari body dan empat prosesus, yaitu prosesus zigomatik, prosesus frontalis, prosesus
alveolaris, dan prosesus palatine. Maksila membentuk palatum durum (hard palate), lantai
(floor) dari hidung, bagian dari orbita, dan tooth socket dari gigi-gigi rahang atas.2
Fraktur maksila lebih jarang daripada fraktur mandibula dan seringkali berhubungan
dengan fraktur fasial lainnya. Keluhan seperti mulut tidak tertutup dengan baik sering dikeluhkan
karena pada sebagian besar fraktur maksila melibatkan oklusi dental. Anak-anak kurang
memiliki kecenderungan untuk mengalami fraktur maksila hingga berusia 10 tahun karena
tingginya kelenturan tulang mereka dan gigi-gigi yang belum tumbuh.2
Secara klasik, fraktur maksila diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Le Fort. Klasifikasi
ini dibuat pada tahun 1900 oleh Rene Le Fort yang menggunakan kadaver trauma untuk
mendapatkan deskripsi yang mendetail dari ketiga klasifikasi dasar dari fraktur midfasial.2
Trauma sinus frontalis baik pada orang dewasa maupun anak-anak seringkali disebabkan
oleh trauma tumpul. Bila dibandingkan dengan fraktur fasial, fraktur dari sinus frontalis jarang
terjadi, kemungkinan karena ketebalan tulang yang terlibat. Sinus frontal mengalami fraktur pada
5-30% pasien yang mengalami trauma maksilofasial. Sinus frontalis relatif resisten terhadap
fraktur dan kekuatan yang signifikan diperlukan untuk terjadi fraktur.2
Umumnya, perbaikan untuk tabula posterior penting untuk mencegah komplikasi sistem
saraf pusat seperti pneumosefalus atau kebocoran likuor serebrospinalis. Perbaikan tabula
anterior penting untuk alasan kosmetik.2
Laserasi sering terjadi pada fraktur sinus frontalis dan dapat menutupi kerusakan yang
lebih dalam. Pemeriksa harus waspada ketika menghadapi pasien yang telah mengalami benturan
pada dahi. Trauma ini harus dieksplorasi secara teliti untuk memastikan ada atau tidaknya
fraktur. CT scan kepala diindikasikan untuk evaluasi yang komplit, karena pasien dapat
mengalami fraktur displace tabula posterior tanpa fraktur anterior yang teraba. Krepitus dapat
ditemukan bila pasien memiliki fragmen tulang multipel yang mobile.2
B. Diagnosis Trauma Maksilofasial
Diagnosis trauma maksilofasial dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta
didukung oleh pemeriksaan tambahan, terutama pencitraan pada kraniofasial.
Anamnesis
Tanyakan pasien yang responsif pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagian mana dari wajah anda yang terasa sakit?
Walaupun ini adalah pertanyaan mendasar, adanya nyeri pada lokasi spesifik dapat
mengarahkan pemeriksa pada lokasi fraktur. Pertanyaan ini dapat menjadi tidak reliabel pada
pasien yang terintoksikasi atau pasien dengan trauma multipel.2
2. Adakah bagian dari wajah anda yang mati rasa?
Adanya defisit sensoris dapat menunjukkan dimana fraktur fasialis telah terjadi dan apakah
fragmen telah mengenai atau merusak kanalis/alur/foramina tempat cabang nervus
trigeminalis melintas.2
a. Apakah bibir atau dagu anda mati rasa?
11
Nervus alveolaris inferior berjalan melalui bagian tengah mandibula dari bagian tengah
ramus menuju foramina mentalis dan memberikan sensasi pada bibir bawah serta dagu.
Jika pasien merasa kebas pada bibir bawah dan dagu, kemungkinan terdapat fraktur pada
sisi kebas tersebut.2
b. Apakah pipi, bibir atas, sisi hidung atau gusi pada rahang atas mati rasa?
Nervus infraorbitalis dan alveolaris superior memberikan sensasi pada gusi dan gigi
maksilaris, bibir atas, sisi hidung, dan kelopak mata bawah. Jika pasien merasa kebas
pada area ini, kemungkinan terdapat fraktur pada maksila atau lantai orbita.2
c. Apakah kelopak mata bawah, pipi, atau bibir atas anda mati rasa?
Nervus infraorbitalis berjalan sepanjang lantai orbita dan sering terganggu pada fraktur
kompleks zigomatikomaksilaris.2
3. Apakah rahang anda dapat menutup dengan normal/sempurna?
Fraktur mandibula dan/atau maksila umumnya berhubungan dengan perasaan rahang yang
tidak mengatup dengan normal/sempurna. Lokasi kontak gigi sering dapat membantu untuk
menentukan lokasi fraktur.2
4. Apakah anda merasa sakit saat membuka mulut? Dimana yang terasa sakit?
Nyeri
ketika
pasien
mengusahakan
gerakan
fungsional
dari
mandibula
dapat
mengindikasikan adanya fraktur mandibula atau maksila. Kontusio mandibula atau TMJ juga
dapat menghasilkan nyeri yang sama. Contohnya, nyeri pada daerah preaurikular dengan
pergerakan mandibula dapat mengindikasikan fraktur prosesus kondilus. Nyeri pada daerah
pipi ketika pasien berusaha untuk membuka mulut dapat mengindikasikan fraktur kompleks
zigomatikomaksilaris. Nyeri pada angulus mandibula dapat mengindikasikan fraktur pada
area tersebut. Otot masseter melekat pada badan zigoma dan berinsersio pada ramus
mandibula. Ketika fraktur kompleks zigomatikomaksilaris terjadi, otot masseter mengalami
kontraksi akibat fraktur ini, sehingga terjadi trismus. Pada kasus yang jarang, zigoma dapat
mengalami displace dan menutupi prosesus koronoid dari mandibula sehingga membatasi
pembukaan rahang.2
5. Apakah ada gangguan pada penglihatan anda?
Jika memungkinkan, visus sebelum trauma harus diperoleh dari pasien. Visus segera setelah
trauma juga harus ditentukan. Hilangnya persepsi cahaya yang kembali normal
12
mengindikasikan suatu oklusi vaskular atau kontusio nervus optikus. Kehilangan persepsi
cahaya segera dan persisten mengimplikasikan cedera yang berat terhadap retina atau nervus
optikus. Visus awal baik yang memburuk seiring berjalannya waktu mengindikasikan
neuropati okular kompresif dan merupakan suatu keadaan emergensi. Jika pasien melaporkan
adanya kilatan cahaya atau floater, robekan retina atau lepasnya retina atau perdarahan
vitreus harus dicurigai. Kondisi oftalmologi lain yang menjadi diagnosis banding antara lain
abrasi kornea, iritis traumatic, ruptur bola mata, dan dislokasi lensa.2
6. Apakah penglihatan anda ganda?
Adanya diplopia dapat mengindikasikan fraktur periorbita dengan atau tanpa terkenanya otototot ekstraokuler. Diplopia merupakan gejala yang relatif tidak spesifik dan bias disebabkan
oleh edema periorbita saja. Jika pasien mengeluh diplopia, CT scan orbita/tulang fasial harus
dilakukan. Gejala okular dari fraktur fasial orbita meliputi nyeri orbita, enoftalmos, dan
diplopia vertikal.2
7. Apakah leher anda terasa sakit?
Ini merupakan pertanyaan yang penting karena adanya asosiasi antara trauma fasial dengan
fraktur servikal.
Bila memungkinkan, mekanisme trauma (mechanism of injury) perlu diketahui. Riwayat
kejadian dapat menyediakan petunjuk terhadap tipe trauma yang dialami pasien. Misalnya,
trauma tumpul terhadap wajah cenderung menyebabkan fraktur, sedangkan trauma tajam/tembus
dapat mencederai saraf dan pembuluh darah mayor. Pertengkaran interpersonal cenderung
menyebabkan fraktur nasal, blow-out, dan fraktur mandibula, sedangkan kecelakaan kendaraan
bermotor menyebabkan trauma yang serius. Kecurigaan yang tinggi terhadap cedera yang serius
harus muncul ketika mengevaluasi pasien yang mengalami benturan kecepatan tinggi pada
wajah, seperti terkena bola atau tongkat pemukul.2
Riwayat medis sebelumnya harus selalu diperoleh bila memungkinkan. Cari tahu
mengenai ada atau tidaknya riwayat kejang, konsumsi alkohol, riwayat trauma atau operasi
kepala atau leher, masalah pada TMJ, gangguan nutrisi atau metabolic. Penggunaan aspirin,
warfarin, clopidogrel atau enoxaparin harus dipastikan karena agen ini dapat meningkatkan
perdarahan pada luka atau kepala.2
13
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang teliti penting dalam mendiagnosis cedera kraniofasial. Selama
pemeriksaan awal ini, cedera yang mengancam jiwa dan masalah medis sistemik harus
diidentifikasi.
Jalan napas merupakan cedera penting pertama yang mungkin berhubungan dengan
trauma fasial. Jalan napas pada trauma maksilofasial dapat terganggu akibat hilangnya
pendukung lidah karena fraktur fasial atau obstruksi jalan napas karena darah atau debris. Pasien
tidak sadar dengan trauma fasial yang signifikan memerlukan intubasi segera atau
krikotiroidotomi/torakostomi sesuai kondisi pasiendan kemudahan intubasi. Intubasi ini harus
dilakukan dengan cervical spine control.2
Pasien dengan trauma fasial yang signifikan harus selalu diasumsikan juga memiliki
cedera servikal. Kecurigaan ini rendah bervariasi mulai dari rendah pada fraktur nasal tunggal
hingga sangat tinggi pada fraktur kompleks fasial akibat kecelakaan kendaraan bermotor.2
Apabila airway with C-spine control, breathing, circulation with hemorrhage control
telah dilakukan, lakukan secondary survey secara sistematik. Hilangkan darah dan benda asing
dari luka secara hati-hati untuk mengevaluasi kedalaman dan luas cedera.2
Selain itu, selalu evaluasi cedera lain yang berhubungan. Misalnya, pasien dengan trauma
fasial seringkali juga mengalami cedera kepala, atau cedera pada struktur-struktur lain pada
wajah sepeti kelenjar parotis, mata, dan lain-lain.2
Periksa gigi pasien dan ada atau tidaknya maloklusi. Periksa rongga mulut, perhatikan
adanya laserasi, trauma tajam, dan perdarahan aktif. Lidah seringkali mengalami laserasi pada
trauma fasial dan menyebabkan gangguan pada jalan napas melalui pembengkakkan atau
perdarahan yang signifikan. Eksplorasi trauma soft tissue pada rongga mulut, fragmen gigi, dan
benda asing. Perhatikan area dengan ekimosis dan pembengkakkan fasial.2
Evaluasi jumlah gigi dan hitung untuk setiap socket yang kosong. Gigi dapat mengalami
displace kedalam soft tissue, terdorong kedalam socket, atau mengalami avulsi dan teraspirasi,
tertelan, atau tertinggal pada tempat kejadian trauma. Setiap gigi yang hilang memerlukan X-ray
dada untuk memastikan gigi tersebut tidak teraspirasi. Evaluasi mobilitas gigi yang dapat
mengindikasikan fraktur alveolar. Adanya step off atau iregularitas susunan gigi dapat
mengindikasikan adanya fraktur. Adanya darah pada gusi harus dicurigai adanya fraktur.
Evaluasi stabilitas gigi pada rahang atas dan rahang bawah.2
14
Pemeriksaan klinis pada wajah dimulai dengan pemeriksaan detail pada area dengan
nyeri lokal, mati rasa/kebas, perdarahan, deformitas, ekimosis, edema periorbital, otorrhea,
rhinorrhea, dan asimetri fasial. Asimetri fasial paling mudah diperiksa dari arah kepala dari
tempat tidur pasien. Rima superior dan inferior orbita, arkus zigomatik, hidung, maksila,
mandibula, dan alveola harus dipalpasi dan dievaluasi.2
Fraktur zigoma umumnya dicurigai dengan adanya ekimosis periorbita, perdarahan
subkonjungtiva lateral, hipoestesi infraorbita, step off tulang rima orbita, dan depresi dari malar
eminence. Pergeseran tulang kearah medial dapat menutupi prosesus koronoid dari mandibula
dan menyebabkan trismus. Sebagian besar fraktur zigomatikomaksilaris terjadi pada sutura
frontozigomatik, dan step off dapat ditemukan pada pertemuan antara dua per tiga superior dan
satu per tiga inferior dari rima orbita lateral.2
Depresi malar eminence dengan nyeri mengindikasikan fraktur zigoma, arkus zigomatik,
atau fraktur tripod. Fraktur arkus zigomatik sulit ditemukan secara klinis karena tanda satusatunya hanyalah depresi dari arkus atau keterbatasan membuka mulut. Pasien mungkin memiliki
edema yang berat karena trauma pada soft tissue yang terjadi jadi depresi mungkin sulit untuk
dideteksi. Pasien mungkin merasakan nyeri pada pipi, nyeri pada pipi dengan pergerakan rahang,
atau trismus. Trismus mungkin jelas bila fraktur zigomatik menutupi otot temporalis. Arkus
malar yang datar dapat dinilai dengan jelas melalui palpasi dari belakang kepala pasien atau
melihat pasien dengan posisi supinasi dari arah kepala pasien. Bandingkan simetri pada sisi yang
berlawanan.2
Curigai fraktur tripod setelah benturan pada pipi menyebabkan edema periorbita dan
ekimosis. Mungkin terdapat pendataran malar eminence, tetapi trauma yang juga terjadi pada
soft tissue dapat menutupi hal ini.2
Jika zigoma mengalami displace ke inferior, dapat menyebabkan depresi kantus lateral.
Ketika fraktur terjadi hingga melalui orbita, nervus infraorbita dapat mengalami kerusakan atau
edema dan menyebabkan hipestesia dari distribusi nervus tersebut.2
Jika pemeriksa mempalpasi arkus zigomatikomaksilaris dari dalam mulut, step off
mungkin ditemukan. Titik step off lainnya adalah pada sutura zigomatikofrontal atau pada
zigoma.2
15
epistaksis atau rhinorrhea likuor. Jika hidung bergerak bersama dengan maksila, fraktur Le Fort
II harus dicurigai.2
Fraktur Le Fort III meliputi pendataran dan pemanjangan fasial. Maksila mungkin
mengalami displace kearah posterior, menyebabkan mulut terbuka. Pegang gigi anterior dan
menggerakkannya akan menyebabkan pergerakan dari seluruh wajah (dislokasi kraniofasial).
Rhinorrhea likuor dan epistaksis cenderung terjadi. Jika hidung, rima infraorbita, dan zigoma
bergerak bersama dengan maksila maka terdapat kemungkinan adanya fraktur Le Fort III.2
Pemeriksaan fisik harus meliputi evaluasi internal dan eksternal hidung, tidak tergantung dari
bagaimanapun mekanisme trauma yang terjadi. Palpasi hidung untuk mengetahui adanya nyeri
tekan atau krepitus. Bukti klinis dari fraktur nasal meliputi pembengkakkan (swelling), nyeri
tekan, deformitas, epistaksis, krepitus, obstruksi nasal, ekimosis periorbita. Pada pemeriksaan
hidung, perhatikan derajat deformitas tulang (lateral atau depressed) dan juga adanya deformitas
kartilagenus dan soft tissue yang ikut mengalami cedera (seperti, laserasi mukosa, soft tissue
swelling, epistaksis, hematom septum atau periorbita, emfisema subkutan).2
Lakukan inspeksi pada septum nasi untuk mencari ada atau tidaknya hematom septum. Suatu
massa yang terlihat berwarna biru, pembengkakkan septum yang nyeri mengindikasikan
hematom septum dan memerlukan evakuasi hematom tersebut.2
Periksa hidung untuk mencari ada tidaknya likuor serebrospinalis. Adanya rhinorrhea likuor
mengindikasikan disrupsi dari basis kranii, yang umumnya terjadi pada cribiform plate dari os.
etmoidalis (berhubungan dengan fraktur NOE atau disrupsi dinding posterior dari sinus anterior).
Lokasi alternatif lain adalah fraktur basis kranii atau fraktur os. temporalis yang kemudian
membocorkan likuor ke telinga tengah dan mengalami drainase ke tuba eustasius lalu menuju ke
hidung.2
Perhatikan adanya telekantus dan pelebaran dari nasal bridge. Pelebaran jarak interkantus (>
40 mm) mengindikasikan kemungkinan fraktur NOE.2
Laserasi frontal harus membuat pemeriksa curiga adanya fraktur pada pasien yang terlibat
kecelakaan berkendara. Laserasi harus secara teliti diperiksa untuk mencari ada tidaknya step off.
Orbita harus juga dievaluasi. Deformitas dari fraktur seringkali tidak terlihat akibat edema, jadi
pemeriksaan fisik saja mungkin tidak cukup pada pasien dengan laserasi dahi yang substansial.2
Fraktur mandibula dapat jelas bila memiliki derajat pergeseran (displacement) yang jelas
dan telah menyebabkan laserasi pada mukosa atau kulit. Selam pemeriksaan, perhatikan adanya
17
tanda asimetri dan pembengkakkan. Gejala yang paling umum pada pasien dengan fraktur
mandibula adalah nyeri dan maloklusi. Tanda tambahan lainnya adalah perdarahan intraoral,
hipestesia atau anesthesia bibir bawah dan dagu, trismus, deviasi dengan pergerakan rahang,
pembengkakkan atau hematom dasar mulut, dan ekimosis dari ginggiva. Walaupun hematom
sublingual bukan temuan yang konsisten, jika ditemukan pada pemeriksaan harus meningkatkan
kecurigaan kita terhadap adanya fraktur mandibula. Adanya salah satu dari temuan klinis ini
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang pencitraan radiografi.2
Gambar 13. Step pada occlusal plane (panah) dan ruptur ginggiva serta adanya hematom
sublingual yang berhubungan dengan fraktur mandibula.1
Terkadang wajah pasien akan terlihat melebar. Ini dapat terjadi ketika kedua kondilus fraktur dan
juga terdapat fraktur simfisis, sehingga mandibula terbuka seperti buku.2
Dapat juga dilakukan tongue blade test (TBT). Pasien yang sadar diinstruksikan untuk
menggigit tongue spatel dengan giginya, kemudian merusaknya dengan merotasikan tongue
spatel tersebut. Jika pasien dapat melakukannya pada kedua sisi rahang maka kemungkinan
adanya fraktur mandibula kecil. Tes ini memiliki sensitivitas 95,7% jika pasien dapat
merusaknya tanpa nyeri.2
Kanalis auditori eksterna terkadang dapat dirusak oleh fraktur mandibula, jadi harus
diperhatikan keduanya pada pasien dengan trauma pada rahang. TMJ dapat dirasakan dengan
menaruh jari ke dalam liang telinga dan menekan ke arah depan atau anterior. Teknik ini dapat
lebih sensitif daripada palpasi TMJ pada area preaurikuler. Jika pasien tidak merasakan nyeri
pada pemeriksaan ini, kemungkinan adanya fraktur kecil.2
Pada pasien yang sadar dan kooperatif, pemeriksaan nervus kranialis yang detail harus
dilakukan. Nervus optikus dapat dievaluasi dengan pemeriksaan visus dan persepsi cahaya.
Periksa juga pergerakan bola mata untuk memeriksa nervus kranialis III, IV, dan VI.2
18
Evaluasi distribusi sensoris nervus supraorbita, infraorbita, alveolar inferior, dan nervus
mentalis terhadap ada tidaknya hipestesia atau anesthesia. Cedera pada nervus fasialis dapat
menyebabkan paresis atau paralisis otot-otot ekspresi wajah.2
Pemeriksaan nervus kranialis pada pasien tidak sadar lebih sulit dan bergantung pada
pemeriksaan refleks batang otak. Penilaian terhadap penglihatan dapat menjadi sulit. Refleks
pupil dapat tetap intak selama jalur eferen dari nervus III tetap intak, bahkan ketika terdapat
kehilangan penglihatan unilateral. Evaluasi jalur nervus II dan jalur parasimpatik eferen nervus
III pada pasien tidak sadar dapat dilakukan dengan swinging test. Bila refleks Marcus-Gunn
positif maka terdapat kerusakan nervus II.2
Pada pasien tidak sadar, pergerakan otot-otot ekstraokuler dapat dinilai melalui refleks
dolls eye (refleks okulosefalik). Refleks muntah untuk menilai nervus IX dan X. Tes kalori untuk
menilai nervus VIII. Refleks kornea untuk menilai nervus V (aferen) dan nervus VII (eferen).2
pergeseran fragmen fraktur dan rotasi serta identifikasi pola fraktur) dan memudahkan dalam
perencanaan operasi.3 Namun, CT scan tidak tersedia di semua rumah sakit, terutama rumah sakit
daerah.
a. Fraktur Nasal
Pada fraktur nasal, pemeriksaan klinis biasanya sudah cukup dan pemeriksaan radiografi
dengan X-ray hanya memberikan sedikit manfaat. Apabila fraktur nasal merupakan bagian dari
pola fraktur yang lebih luas, misalnya, fraktur os. frontal atau maksila, pada pemeriksaan klinis
terdapat epistaksis dan/atau rhinorrhea likuor yang persisten maka pemeriksaan CT scan terhadap
tulang-tulang fasial perlu dilakukan.1,2,3
Gambar 14. Fraktur nasal pada penampang aksial dan koronal CT scan.3
b. Fraktur Orbita
Pada fraktur orbita, derajat pergeseran dasar orbita (orbital floor) dan adanya soft tissue
yang mengalami protrusi melalui fraktur dapat didiagnosis secara akurat dengan CT scan
penampang koronal pada orbit dan tulang-tulang fasial. 3 Penampang aksial dapat berguna, tetapi
tidak seakurat penampang koronal. Operasi diperlukan bila terdapat disrupsi dasar orbita yang
signifikan, soft tissue yang terjebak, enoftalmos, atau diplopia yang persisten.2
20
Gambar 15. Gambaran fraktur orbita pada CT scan penampang aksial dan koronal.3
c. Fraktur Zigoma
Fraktur arkus zigoma dapat dilihat dengan submental view (bucket-handle view), Waters
view, Townes view, atau fasial series.2
Jika dicurigai adanya fraktur tripod (fraktur zigomatikomaksilaris, ZMC), lakukan
pencitraan X-ray dengan Caldwell view dan submental view. Caldwell view untuk mengevaluasi
sutura zigomatikofrontal dan prosesus frontalis dari zigoma.2
Jika terdapat kemungkinan fraktur orbitozigomatik, lakukan CT scan. Walaupun Waters
view dapat menunjukkan beberapa tanda fraktur, foto polos dianggap inadekuat untuk evaluasi
fraktur zigoma.2
Satu pencitraan X-ray yang dapat memberikan informasi yang banyak dalam
mendiagnosis fraktur mandibula adalah orthopantomogram (OPG)/panoramic radiograph
(Panorex). Ini lebih superior dibandingkan dengan radiografi X-ray sederhana. Bila
dibandingkan dengan CT scan, CT scan memiliki sensitivitas 100% untuk mendiagnosis fraktur
mandibula dibandingkan dengan Panorex dengan sensitivitas 86%.2,3
Gambar 17. Gambaran CT scan penampang koronal dan aksial serta panoramic radiograph
untuk mendeteksi fraktur mandibula.3
e. Fraktur Maksila dan Midfasial
Tulang-tulang midfasial lebih sulit dievaluasi dengan menggunakan foto polos
dibandingkan dengan mandibula. Adanya tulang yang sangat tipis, sinus yang berisi cairan
(congestion atau darah), dan soft tissue membuat penilaian yang akurat menjadi problematik.
Diagnosis semua fraktur midfasial dapat ditingkatkan dengan penggunaan CT scan penampang
aksial dan koronal atau dengan tambahan rekonstruksi 3-D.2,3 Penggunaan CT scan
direkomendasikan untuk menunjang semua jenis fraktur ini.2
22
Gambar 18. Fraktur Le Fort II pada CT scan penampang koronal dan rekonstruksi 3-D.3
f. Fraktur Frontal
CT scan kepala diindikasikan untuk evaluasi secara menyeluruh dari suatu trauma os.
frontalis, sebab pasien dapat mengalami fraktur displace tabula posterior tanpa fraktur anterior
yang terpalpasi. Krepitus mungkin ditemukan apabila pasien memiliki fragmen tulang multipel
yang mobile. CT scan juga memberikan gambaran dan dapat digunakan untuk mengevaluasi
cairan dalam sinus, adanya trauma atau udara intraserebral dan fraktur fasial.2,3
Gambar 19. Fraktur sinus frontal pada gambaran CT scan penampang aksial dan sagital.3
23
Saat ini trauma maksilofasial merupakan kasus dengan presentasi yang umum dan
terutama terjadi akibat kecelakaan berkendara. Guideline ATLS harus diterapkan pada
penanganan awal pasien dengan trauma maksilofasial, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi
komprehensif trauma maksilofasial, terutama fungsi penglihatan dan mobilitas tulang-tulang
fasial. Diagnosis dapat dilakukan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan diperkuat dengan
pemeriksaan tambahan berupa pencitraan X-ray atau CT scan.
24