Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
METAMORFOSIS NU DAN
POLITISASI ISLAM DI INDONESIA
A. Gaffar Karim
Dterbitkan oleh:
LKiS
Bekerjasama dengan
Penerbit Pustaka Pelajar
Daftar Isi
www.muslims.net/KMNU - Copyright KMNU Cairo Egypt
DAFTAR ISI
METAMORFOSIS
NU DAN POLITISASI ISLAM
DI INDONESIA
A. Gaffar Karim
PENGANTAR
Dr. Afan Gaffar, MA
Pengantar
Iftitah
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Wajah NU: 1926 - 1984
Bab III
Abdurrahman Wahid:
Pemikiran dan Determinasi
Bab IV
Bab V
Implementasi Khittah: Dinamika Eksternal
Bab VI
Prospek NU
Bab VII
Poskripsi
Pustaka
Biodata
Catatan Penerbit
PENERBIT
Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan
LKiS Yogyakarta
CETAKAN
September 1995
RANCANGAN SAMPUL
Haitamy el-Jaid
SAMPUL BELAKANG
Dikutip dari
Sapardi Joko Damono
Hujan Bulan Juni
Grasindo, 1994
SETTING/LAYOUT
Arief
KETIKA mendengar kata "NU", barangkali yang segera tergambar di benak orang
pada umumnya adalah sosok bersarung dan berpeci, yang berjalan menunduk sambil satu
tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan lainnya menggenggam untaian
tasbih. Atau jika tidak, NU bagi sementara orang tak lebih dari salat dengan usalli, doa qunut,
tarawih 23 rakaat, tawassul kepada para wali, dan seterusnya. Mungkin tak banyak yang
memperhatikan bahwa di luar semua gambaran stereotip di atas, NU sebenarnya adalah salah
satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan negeri ini. Dengan keteguhannya (yang
diimbangi dengan fleksibilitas) dalam memegang apa yang dengan nada sedikit minor disebut
sebagai "tradisionalisme", dan dengan segala kekhasan dalam gaya berpolitiknya, NU telah
banyak mewarnai bukan saja wacana keagamaan, tapi juga setting sosial kemasyarakatan,
bahkan politik dan ideologi bangsa.
Tapi rasanya telah menjadi keluhan yang klasik bahwa NU dalam kurun waktu yang
cukup lama telah begitu saja terabaikan dalam kajian ilmiah yang serius, terutama karena
kebanyakan pengamat telah sejak dini tersilaukan oleh "modernisme" dan "kaum modernis",
sementara NU pada umumnya dianggap tidak dapat digolongkan ke situ. Martin van
Bruinessen, baru-baru ini menulis kajian paling komprehensif dan tak memihak mengenai
NU untuk saat ini. Ia menguraikan dengan cukup terinci keterabaian itu. Ia menyesalkan
betapa NU kerap hanya disebut secara sambil lalu, ketika sebuah kajian mestinya
memberikan proporsi perhatian yang lebih pada NU (Martin van Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994).
Namun untunglah, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir perhatian ilmiah
terhadap NU telah berangsur-angsur dipulihkan. Di perpustakaan Lakpesdam NU di Jakarta,
saya mendapati rak-rak besar yang dipenuhi dengan karya-karya skripsi, tesis, bahkan
disertasi tentang NU, terutama yang ditulis setelah 1985. Sangat menggembirakan, meski
tetap dapat disayangkan bahwa semua tulisan itu (kecuali beberapa yang juga dipublikasikan)
6
12
15
A.Gaffar Karim. Lahir di Sumenep, Madura: 19 Juni 1970, dalam sebuah lingkungan yang
sangat NU oriented. Menempuh pendidikan dasar serta menengah di kota kelahirannya: dan
selepas SMA tahun 1988 melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Unair, Surabaya.
selama setahun. Tahun 1989 memasuki Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM dan
menyelesaikan S-l pada tahun 1994. Saat ini adalah staf pengajar di jurusan tersebut.
16
17
Lihat misalnya, Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 167-170.
18
Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1992).
3 Ibid., h. 36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multipartai pada
masa Demokrasi Liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun
tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode Demokrasi Terpimpin, yang muncul adalah apa
yang disebutnya 'No-party System". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah. Mereka hanya menjadi pemeran
pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga
adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam Pemilu 1971. Ibid, h. 35-36.
4 Ibid, h. 51-61.
5 Ibid., h. 37-38.
19
Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional," dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek
Pembangunan Orde Baru (Solo: CV Ramadhani), h. 21.
7 Ibid., h. 22.
8 Nahdhah al-Ulama. Nahdhah berarti bangkit atau bergerak; ulama adalah bentuk plural dari kata 'alim yang secara
khusus berarti orang yang menguasai ilmu agama (Islam) secara mendalam. Jadi harfiah, Nahdhatul Ulama berarti
kebangkitan ulama. Selanjutnya disebut NU saja.
9 Ken Ward, The 1971 Election in Indonesia (CSAS, Monash University Press, 1974), sebagaimana dikutip dalam Heri Wasito,
NU dalam Pemilu 1971 (Skripsi FISIPOL-UGM, 1989), h. 3.
10 Benedict R.O'G. Anderson, Religion and Social Ethos in Indonesia (Clayton, Victory: Monash University, 1977),
sebagaimana dikutip dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES), h. 4.
20
Dari hasil PEMILU tahun 1955 pemilih NU sebesar 18,4% dan pada PEMILU 1971
persentase naik menjadi 18,7%. Persentase sebesar itu terhadap jumlah penduduk Indonesia
sekarang yang diperkirakan sebesar 180 juta maka jumlah pendukung NU dapat diperkirakan
sebesar 33 juta orang.11
Perkiraan di atas memang didasarkan pada logika yang sangat sederhana, namun
angka yang disebutkan tentulah tidak jauh bergeser dari angka riilnya. Dengan demikian, NU
tidak sepatutnya mengalami nasib terabaikan, dan hanya memperoleh perhatian yang minim,
dalam kajian-kajian ilmiah politik dengan 30 juta lebih massa dalam naungannya itu.
Latar Belakang
NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar perjuangan yang
dikenal dengan "Khittah 1926". Pada awal berdirinya NU bukan merupakan partai atau
organisasi politik, melainkan sebuah jam'iyah diniyah atau organisasi sosial-keagamaan.
Namun, walaupun bukan organisasi politik, dimensi politik dalam aktivitas NU tidak kecil,
terutama karena dalam tujuan pendiriannya sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu
penggalangan nasionalisme di tengah iklim kolonial saat itu.12 Setelah beberapa tahun
bergerak semata-mata dalam kegiatan sosial-keagamaan, bergabungnya NU ke dalam MIAI
(Majlisul Islam A'la Indonesia) menandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini.
Di dalam MIAI, NU bersama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) turut aktif menyuarakan
tuntutan Indonesia berparlemen.13 MIAI, setelah melalui tahap-tahap metamorfosis, menjadi
cikal bakal Partai Masyumi di mana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di
masa awal kemerdekaan.
11
Zamakhsyari Dhofier, "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU," dalam S. Sinansari Ecip (ed.)
NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1989), h. 47.
12 Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h. 24-33. Lihat juga
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65.
13 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 289-290.
21
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 80-86.
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1966), Tabel 2, h.
434.
16 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170.
Sebuah penelitian tentang NU dalam Pemilu 1971 pernah dilakukan oleh Heri Wasito. Lihat Wasito, op. cit.
17 Karim, ibid., h. 172.
18 Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 9.
15
22
19
Wawancara TPI dengan Kwik Kian Gie, disiarkan di TPI dalam acara Selamat Pagi Indonesia, 23 Juli 1993.
Tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU, lihat Einar M Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1989), h. 160-187.
21 Mengenai kronologis lahirnya keputusan kembali ke Khittah 1926, lihat antara lain, Kacung Marijan, Quo Vadis NU
Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 110-156.
22 Lihat Haris, op. cit, tabel 4, h. 121.
20
23
23
Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru," dalam Jurnal Ilmu Politik No. 9, h. 53.
Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar 1984 (Tesis S-2, Fakultas Pasca
Sarjana UGM, 1990), h. 40.
25 Nilai ini tersirat, misalnya, dalam ungkapan seorang tokoh NU, KH Wahid Zaini: "kalau organisasi NU bubar, NU --secara
kultural-- masih ada." Lihat Marijan, Vadis, op cit., h. 190.
24
24
Dalam kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari Nahdhatul Ulama telah
menjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya yang
menyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah keterlibatan yang
berlebihan dalam kegiatan politik praktis ... 26
Pemakaian kata "berlebihan" dalam konsideran di atas tentu bukannya tanpa makna.
Agaknya, yang dimaksud oleh para perumus keputusan tersebut dengan "pemulihan Khittah
1926" bukanlah sama sekali turun dari pentas politik, melainkan meminimalkan keterlibatan
"yang berlebihan" dalam politik itu, yang menyebabkan tokoh-tokoh NU akhirnya hanya
memikirkan kepentingan dan ambisi politik pribadinya saja, sementara kepentingan
umat/warga NU terabaikan. Keterlibatan dalam politik dengan demikian tetap ditolerir,
sejauh tidak berlebihan, dan didedikasikan kepada "kepentingan umat dan bangsanya.
Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, kalangan ulama/kiai NU yang berpandangan
demikian. Tidak kalah cerobohnya adalah kebanyakan pengamat yang serta-merta
menafsirkan bahwa dengan kembali ke Khittah 1926 NU akan meninggalkan gelanggang
politik sama sekali. Sementara kelompok politisi NU ternyata masih menginginkan
kepolitikan praktis bagi NU. Salah satu tokoh yang cukup vokal adalah Mahbub Djunaedi,
salah seorang Ketua PB Tanfidziyah NU (1984-1989) dan anggota Mustasyar (1989-1994).
Menjelang Munas Alim Ulama NU 1987, Mahbub melontarkan gagasan agar NU kembali
berpolitik praktis, walaupun telah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926. Gagasan ini
kemudian dikenal sebagai "Khittah Plus."27 Menurutnya, dengan jumlah massa yang begitu
26
27
Lihat Sitompul, op, cit, Lampiran 2, h. 209. Cetak miring dari Penulis.
Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," Tempo, 7 Nopember 1987.
25
28
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Arief Afandi di Jawa Timur sedikit banyak mendukung keyakinan Mahbub
ini. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa hampir separo dari pemimpin NU di wilayah penelitian tersebut masih
cenderung memiliki orientasi yang berbobot politik daripada "non-politik." Lihat Arief Affandi, "NU: Transformasi yang
Belum Usai," Jawa Pos, Juni 1993.
29 Lihat Nuddin Lubis, "Jangan Berlarut-larut warga NU Mengambang," dalam S. Sinansari Ecip (ed.), op. cit,h. 37-46.
26
NU telah memilih untuk melaksanakan hijrah dengan caranya sendiri, dalam suatu
bentuk yang lunak. Yaitu: meninggalkan pertarungan kekuatan dalam PPP, dan memusatkan
diri dalam upaya membangun kembali (konsolidasi) kekuatannya telah sangat melemah
setelah bertahun-tahun bertarung dengan pemerintah, namun tetap memasuki sistem yang ada
sekarang. Ketimbang meminta PPP untuk bertarung untuk kepentingannya, NU mencoba
mempertahankan kepentingannya lewat siapa saja yang menawarkan diri: bisa jadi itu
Golkar, tapi sering pula melalui Presiden sendiri. NU tahu bahwa DPR, yang meniru model
parlementer ala Barat, telah kehilangan pengaruhnya dalam lobi politik, sebagaimana
kebanyakan kasus di negara-negara Dunia Ketiga. NU setengahnya menolak sistem ini, tetapi
juga mengeksploitasinya dengan lebih cerdik lagi. Ambiguitas ini tampak dalam semua
langkah yang diambil NU: bahkan sejak Situbondo (kembali ke khittah), dan akan selalu
mewarnai pertanyaan yang berkisar seputar khittah.33
30
27
Jika asumsi Feillard ini dapat disetujui, dan tampaknya memang demikian, maka
agenda NU adalah mencari model kepolitikan yang tepat dalam kapasitasnya saat ini. Pada
era sebelum 1984, ketika NU masih berupa partai politik maupun ketika bergabung dalam
PPP, model kepolitikan itu cukup jelas dan tidak terlalu menjadi persoalan. Lepas dari
masalah efektivitas, kepentingan dan aspirasi politik warganya dapat secara langsung
tersalurkan melalui badan legislatif di mana NU turut memiliki kursi. Namun setelah 1984,
model kepolitikan NU jelas memerlukan formulasi baru. Dan ini bukan merupakan persoalan
yang dapat dikatakan mudah, mengingat masih ada perbedan pendapat di kalangan elit NU
sendiri akan makna kembali ke khittah itu dalam implikasi politiknya. Berdasarkan semua
uraian-uraian di atas, maka buku ini akan mencoba menjawab beberapa permasalahan tentang
dinamika NU dalam implementasi keputusan untuk kembali ke Khittah 1926, arah dinamika
itu, dan model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi Khittah.
Kerangka Konseptual
34
35
Ibid.
Wawancara penulis dengan Drs. Kacung Marijan di FISIP Unair, Surabaya, 22 Juni 1993.
28
Harry J. Benda, "Democracy in Indonesia: A Review Article," dalam Journal of Asian Studies, 23, 3 (May 1964), seperti
dikutip dalam Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1989), h.2.
37 Benedict R.OG. Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture," dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in
Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972).
38 Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986).
39 Anderson, op.cit. h.7-8.
29
40
Ibid. h.13
30
Peter Britton, Military Professionalism in Indonesia: Javanese and Western Military Tradition in The Anny Ideology (MA
Thesis, Monash University,1983), sebagaimana dikutip dalam Fachry Ali, op. cit., h. 170.
42 Mengenai konsep pulung ini, Iihat ibid., h. 66-68; lihat juga Anderson, op. cit., h. 25-28.
43 Donald K. Emmerson, Indonesia's Elite: Political Culture and Cultural Politics (lthaca Cornell University Press, 1976),
sebagaimana dikutip dalam Haris, op. cit., h. 26
44 Pembagian ini mengacu pada pendapat Geertz, yang telah memperkenalkan terminologi tradisional Jawa tersebut ke
dalam ilmu sosial Barat. Kata santri mengacu pada komunitas kaum muslim yang berpegang teguh pada hukum dan tatakebiasaan Islam. Kelompok ini terkadang berselisih paham dengan orang-orang yang secara nominal Islam namun
menekankan pada sinkretisme dari kepercayaan animisme dan mistik dengan polesan Islam dan Hinduisme yang disebut
31
...usaha-usaha untuk menyusun doktrin militer yang koheren berlangsung pada saat
sedang bertumbuhnya kerenggangan antara tentara dan kekuatan Islam politik, sebuah
kerenggangan yang kurang-lebih merupakan latar belakang kepolitikan Indonesia selama
tahun 1975-82. Perbedaan-perbedaan antara tentara dan Islam politik memiliki akar dalam
basis perpecahan yang terdapat antara dua orientasi budaya Jawa yaitu antara santri, ... dan
abangan, ... Perbedaan-perbedaan ini, yang dipertajam selama revolusi oleh bentrokan antara
unit-unit tentara reguler dengan laskar-laskar gerilya yang berorientasi pada kelompokkelompok politik muslim, tanpa terkecuali telah mengarahkan kedudukan agama dalam
negara.46
Kerenggangan antara pemerintah dengan kekuatan politik Islam selama kurun waktu
tertentu pernah sedemikian parah, sehingga terkesan bahwa penyakit "Islamo-phobia" telah
menjangkiti para penguasa. Tentang ini, Jenkins mendeskripsikannya dengan agak dramatis:
Dua dari empat anggota kelompok inti ini --Ali Murtopo dan Yoga Sugama-- adalah
orang Jawa abangan dari propinsi asal Suharto di Jawa Tengah. Sementara yang lainnya
Sudomo dan Murdani-- adalah Kristen Jawa. Hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi
apa yang dikenal dengan "Islam-phobia" dari kelompok yang berkuasa. (Di masa Pemilu
1977, Suharto menerima I.J. Kasimo, Frans Seda, dan beberapa pimpinan Partai Katolik dulu.
Sebelum kelompok ini dipersilahkan duduk, dikisahkan bahwa Presiden menyatakan: "Lawan
kita bersama adalah Islam").47
Salah satu warisan sejarah bagi negara Indonesia modern adalah teralienasinya lslam
dan kekuasaan, siapa pun yang berkuasa. Kuntowijoyo48 menyebutkan bahwa alienasi dan
oposisi Islam terhadap pemerintah dan birokrasi memiliki akar sejarah yang panjang hingga
ke jaman Kerajaan Mataram di abad XVlll. Perkembangan sejarah mematangkan kondisi ini
sehingga akhirnya memunculkan mitos tentang pembangkangan Islam terhadap penguasa.
kaum abangan. Varian lain, priyayi, yang pada mulanya menunjuk pada kalangan aristokrasi, adalah kelompok yang
menekankan nilai-nilai Hinduisme yang berakar pada Kraton Hindu Jawa terdahulu. Lihat Cliffort Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 6-9.
45 David Jenkins, Suharto, and His General lndonesian Military Politics 1975-1983 (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project,
1984)
46 Ibid., h. 6
47 Ibid., h. 9
48 Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Jakarta: Penerbit Mizan, 1991) khususnya Bab IV (Serat Cebolek dan Mitos
Pembangkangan Islam) dan Bab V (Agama, Negara dan Formasi Sosial), h. 123-156.
32
49
Lihat antara lain, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, alih bahasa Hassan Basari Jakarta (LP3ES, 1988),
h. 77-78.
50 Tentang keterlibatan ini, lihat Suswanto, Masyumi dan PRRI, Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi dalam
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Skripsi Fisipol- UGM, 1977)
51 Tidak semua kalangan, tentu, setuju begitu saja dengan anggapan minus tersebut. Nurcholish Madjid, misalnya. Ia
menilai bahwa beberapa poin yang seolah menandai kesenjangan antara Islam dan pemerintah adalah sekadar peristiwa
kesejarahan insidental, dan bukan refleksi pandangan keagamaan yang esensial. Tentang gerakan-gerakan separatisme
yang berlabelkan Islam, ia mempertanyakan: "Sampai di mana gerakan mereka merupakan hasil renungan ideologis
berdasarkan Islam, dan sampai di mana pula merupakan bentuk reaksi mereka dalam situasi revolusioner karena
perkembangan atau perubahan politik praktis tertentu yang, kebetulan mereka tidak setuju atau merasa dirugikan
olehnya?" Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xclx
52 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, alih bahasa TH Sumartana (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 292.
53 Tentang munculnya penambahan ini, lihat A. Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta : Sipress, 1991).
33
Orde Baru lahir sebagai sebuah grand coalition yang meliputi hampir semua
kelompok-kelompok sosial yang tersingkir di masa Demokrasi Terpimpin. Koalisi ini
sebenarnya sangat heterogen, yang disatukan semata-mata oleh kesamaan tujuan tertentu, itu
pun sangat bersifat insidental. Tak heran, ketika tujuan yang mempersatukan itu tercapai,
angin sejarah selama beberapa waktu telah merontokkan sebagian eksponen koalisi itu satu
per satu pada setiap aliran masing-masing. Yang tersisa kemudian hanyalah beberapa
eksponen kuat tertentu, terutama militer yang merupakan satu-satunya aktor politik yang
tetap survive di antara tiga aktor dalam segitiga kekuasan Demokrasi Terpimpin, setelah dua
yang lain, Sukarno dan PKI, tersingkir dalam masa transisi 1966-1967. Eksponen lain adalah
para teknokrat yang merupakan mitra utama militer dalam koalisi tersebut.
Permasalahan yang segera dihadapi oleh Orde Baru adalah warisan krisis dari regim
sebelumnya meliputi ambruknya perekonomian nasional dan, tak kalah peliknya, instabilitas
politik yang parah sebagai epilog dari percobaan kudeta yang gagal oleh G-30-S, yang oleh
sementara kalangan disebut-sebut sebagai didalangi oleh PKI.55 Regim baru itu tak pelak lagi
telah berhadapan dengan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang sulit dalam upaya
pembenahan itu, sementara sumber penghasilan negara masih sangat terbatas. Pilihan yang
paling masuk akal bagi para pimpinan
Mohtar Mas'oed telah menginventarisir beberapa kelemahan mendasar argumen kultural. Lihat Mohtar Mas'oed, op.
cit., h. 3-6.
55 Tidak pernah benar-benar terungkap secara ilmiah siapa sebenarnya dalang utama pengkhianatan G-30 S itu. Para
pengamat dan ilmuwan mempunyai dugaan yang beraneka ragam dan seringkali satu sama lain saling bertentangan.
Terlalu banyaknya fakta yang masih tertutup kabut hingga saat ini membuat semua perkiraan itu tampak sama-sama
mungkin dan sama-sama mustahilnya. Tentang dugaan dan penafsiran para pengamat itu, lihat Crouch, op. cit. h. 112-134.
34
60
pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama di antara berbagai
kelompok kepentingan. 4. Massa didemobilisasikan. 5. Untuk mengendalikan oposisi,
pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif.
Sendi terpenting munculnya kepolitikan otoriterisme-birokratik dengan demikian
adalah dukungan dan keterlihatan penuh militer dalam aktivitas pengelolaan regim baru ini.
Militer tak diragukan lagi adalah kelompok yang paling memenuhi persyaratan dan memiliki
kapabilitas untuk memikul beban berat yangmesti diemban oleh Orde Baru. Sebagai salah
satu kekuatan politik yang tangguh sejak Demokrasi Terpimpin militer pastilah telah bersiapsiap untuk melibatkan diri secara langsung dalam politik. Bahkan Dwi Fungsi ABRI yang
menjadi raison d'etre keterlibatan langsung itu telah dimatangkan dalam proses yang tidak
56
35
Apakah tindakan pemerintah ditujukan untuk menyingkirkan sektor populer kota yang
telah aktif sebelumnya dari area politik nasional. Penyingkiran ini berarti pemerintah
secara konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang dibuat oleh para
pimpinan sektor ini. Ia juga berarti penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannya
terhadap posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka mempengaruhi secara
langsung keputusan bagi kebijaksanaan nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakan
dengan kekerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran akses politik melalui
pemilu.... menyingkirkan para aktor politik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untuk
mengurangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam menentukan apa yang
terjadi pada level kepolitikan nasional.64
Tentang perkembangan rumusan dwi fungsi ini, lihat misalnya, Sundhaussen, op. cit., h. 219, passim.
Dr. Yahya A. Muhaimin, dalam kuliahnya (Militer di Negara Berkembang) di Fisipol UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993.
63 R.S. Milne, "Teknokrat dalam Politik di Negara-negara Asia Tenggara", dalam Prisma No. 3, 1984, h. 40.
64 Guillermo O'Donnel, Modernization and Bureaucratic-Authoritarianism (Berkeley: Institute of International Studies,
University of California, 1979), h. 51-52.
62
36
65
Mohtar Mas'oed, op. cit., h. 132. Ideologi di sini harus dipandang dalam makna luasnya, yang dapat dipandang sebagai
"belief system". Hagopian menyebutkan bahwa ideologi dalam makna longgarnya adalah "set of political beliefs that
characterized any individual, group, political party, government, social class, or entire nations." Lihat Mark N. Hagopian,
Regimes, Movements, and Ideologies (NY-London: Longman Inc., 1978), h. 390.
66 Guillermo O'Donnel, "Corporation and The Question of The State", dalam James Malloy (ed.), Authoritarianism and
Corporatism in Latin America (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 19T7), h. 69.
37
Dari
definisi
ini,
korporatisme
dapat
dipandang
sebagai
sebuah
model
67
68
38
Militer profesional modern dengan identitas kelembagaan dan pandangan yang relatif
koheren tentang masyarakat dan peranan militer di dalamnya; kader teknokrat yang
teralienasi dari masyarakat dan mau bersekutu dengan militer untuk memperkuat
restrukturisasi masyarakat untuk memenuhi keinginan para teknokrat itu; dan kelompokkelompok yang mau menerima inisiatif-inisiatif yang disediakan oleh negara yang dikontrol
oleh militer-teknokrat.70
69
James M. Malloy, 'Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Case of Bolivia", dalam Malloy (ed), op. cit., h.
481.
70 Ibid., h. 482.
71 James M. Malloy, "Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Model Pattern", dalam Malloy (ed.), ibid.
72 Ibid.
73 Amos Parlmutter, Modern Authoritarianism (New Heavens and London: Yale University Press, 1981) h. 38-39.
39
74
Philippe C. Schmitter, "Still the Century of Corporatism?", dalam F.B. Pike dan T. Strilch (eds.), the New Corporatism
(Notre Dome: University of Notre Dome Press, 1974), seperti dikutip dalam Nur Iman Subono, Sebuah Studi Teori Bentuk
Pemerintahan Korporatisme (Skripsi FISIP UI, 1988) h. 41.
75 Ibid., h. 41-42.
76 Ibid., h. 44-45.
40
Gabriel A. Almond, "Interest Groups and Interest Articulatian" dalam Gabriel Almond (ed.), Comparative Politic Today A
World View (Boston: Little Crown and Company, 1974), h. 74.
78 Hagopian, Regimes, Op. cit., h. 351
41
79
80
Ibid.
Almond, op. cit., h. 82
42
81
Ibid., h.74-78. Banyak politik lain yang menggunakan klasifikasi Almond ini. Hagopian, misalnya. Lihat Hagopian, op. cit.,
h. 351-356. Begitu pula Salisbury. Lihat Robert H.Salisbury, "Interest Group", dalam Fred. I. Greenstein dan Nelson W.
Polsby (eds)., Nongovermental Politic, Handbook of Political Science vol. 4 (Massachussets: Addison Wesley Publishing Co,
1975), h. 178. Diskusi dalam beberapa paragraf selanjutnya mengacu pada ketiga sumber ini secara saling melengkapi.
43
82
44
sebuah
kelompok
kepentingan,
NU
mengemban
tugas
untuk
83
45
87
Almond, op.cit., h. 86
46
Pada umumnya para pengamat menilai NU sebagai organisasi ulama dengan stereotip
pengikutnya di pedesaan yang secara agama tradisional, secara intelektual sederhana, secara
politik oportunis dan secara kultural sinkretis. Dikotomi Islam tradisional-modern masih
menjadi landasan pandangan ini. Dalam pola dikotomis itu jika Muhammadiyah diletakkan di
sisi modern maka NU berada di ujung yang lain.
Pola dikotomis ini ternyata tidak begitu tepat untuk digunakan mengamati NU dewasa
ini. Tak jarang terjadi, NU yang "tradisional" tampak lebih luwes dan responsif terhadap
gerak modernitas dibandingkan dengan Muhammadiyah yang modernis.89
Adanya pola dikotomis ini berpangkal pada cara setiap kalangan itu sendiri dalam
menyikapi pembaruan, dalam hal ini pembaruan Islam. Mereka yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah, misalnya, menerima penuh gerakan pembaharuan yang berupaya
memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah semata, tidak bermazhab,
memberantas segala bentuk bid'ah. Sementara mereka yang memelopori NU menerima
pembaharuan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan
budaya yang ada. Dengan secara total hanya mengacu pada Al-Quran dan Sunnah, dengan
mengabaikan warisan para intelektual Islam sepanjang sejarah yang terkristalisasikan dalam
mazhab-mazhab, maka berarti telah tejadi penyia-nyiaan khazanah intelektual yang sangat
berharga. Adalah mustahil suatu generasi memulai upaya pembaharuannya benar-benar dari
88
Ibid, h. 87
89
Misalnya NU pernah membuat gebrakan dengan mendirikan BPR-BPR mendahului Muhammadiyah bahkan ia
bekerjasama dengan Bank Summa, ketika perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank belum usai. Barangkali yang
tersisa dari tradisionalitas Nu adalah dalam bidang pendidikan yang dilakukan. Di segi ini Muhammadiyah jelas lebih
modern.
47
Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jamaah, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam
Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63
91 Dhofier, Tradisi Pesantren, Op. cit., h. 14
92 Seperti dikutip dalam Anam, Op. cit., h. 135.
93 Ibid. h. 136.
94 Murtadha az-Zabidi, Ittihad Sadatul Muttaqin, sebagaimana dikutip dalam ibid, h. 139f.
48
95
49
Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi (konsensus para sahabat) dan ijma' sukuti (persetujuan para ulama akan
sesuatu hal, yang ditandai dengan sikap diamnya).
99 Ali Abdul Wahid Wafi, Perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23.
100 Anam, Op. cit., h. 161.
101 Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini," dalam Prisma No. 4, 1984, h. 36.
102 Marijan, Quo Vadis, Op. cit., h.36.
103 Wahid., Op. cit., h. 33-34.
50
Pola pikir semacam inilah yang membuat NU menolak kehadiran Negara Islam
Indonesia yang didirikan Kartosuwiryo, lepas dari persoalan bahwa unit tertentu dalam milisi
NU terlibat di dalamnya. Kartosuwiryo bahkan dicap sebagai bughat (pemberontak) yang
harus dibasmi. Sementara Soekarno dikukuhkan sebagai waliyul amri dharuri bi al-syaukah
(pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh).
Konsepsi di atas, yang mendudukkan pemerintah pada posisi sentral adalah inti dari
pandangan mazhab Syafi`i tentang tiga jenis negara: dar al-Islam (negeri Islam), dar al-harb
(negara perang), dan dar al-sulh (negara damai). Dalam pandangan ini, negara Islam harus
dipertahankan dari serangan lawan, sebab ia adalah perwujudan normatif dan fungsional citacita kenegaraan Islam sebagai konstitusi negara. Negara perang yang anti-Islam harus
diperangi, karena akan berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, seperti
dihilangkannya pemberlakukan syariah Islam dari konstitusi negara. Negara damai harus
dipertahankan pula, sebab syariah masih dilaksanakan oleh umat Islam di dalamnya,
walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.105
Pendekatan serba fikih inilah yang menjadikan NU relatif lebih mudah menerima
penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dalam kacamata fikih, Pancasila adalah salah
satu persyaratan bagi keabsahan negara RI, dan sama sekali bukan persyaratan keagamaan.
Itu berarti "tidak ada alasan apa pun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi
menggantikan kedudukan agama". 106
104
Ibid., h. 34
Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam Sitompul, Op. cit., h. 10
106 Wahid, Nahdlatul Ulama, Op. cit., h.34-35
105
51
Sistematika
Secara keseluruhan, buku ini dibagi dalam tujuh bab. Setelah mengemukakan
pertanggungjawaban metodologis pada Bab I, maka Bab II akan memberikan gambaran
tentang profil kesejarahan dan organisasi NU. Dalam tinjauan sejarah NU sebelum tahun
1984 dapat ditemukan beberapa karakteristik mendasar organisasi ini yang turut memberi
warna pada perjalanannya kemudian.
Bab III akan membuat ikhtisar pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai salah satu
faktor yang juga memiliki determinasi terhadap dinamika NU. Sementara Bab IV mulai
melihat implementasi keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam dinamika internalnya. Di
sini akan dilihat perjalanan dan ujian terhadap Khittah selama kurun waktu sepuluh tahunan,
kesulitan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan konsekuensi organisatoris internal
Khittah, berupa pengembalian otoritas ulama, serta persepsi warga dan elit NU sendiri
terhadap Khittah.
107
Ibid., h.35
52
53
108
Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 1.
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h.1 Cf. H Anas Thohir, et. al
(eds.), Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia (Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980), h. 90.
109
54
110
Tentang masuknya paham pembaharuan ke Indonesia, serta reaksi kalangan tradisionalis dari sudut pandang "orang
NU", lihat Marijan, op. cit., h. 1-17; Anam, op. cit., h. 33-56. Dari sudut pandang "kaum modernis", lihat Deliar Noer,
Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta LP3ES, 1980). Dalam visi seorang pengamat asing, lihat Manfred Ziemek,
Pesantren Dalam Perubahan Sosial, alih bahasa RB Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986), h. 59-66. Jelas, bukan paham
pembaharuan an sich yang dipersoalkan oleh para ulama pesantren. Mereka dapat menerima paham itu. Ulama-ulama NU
seperti KH Hasyim Asy'ari, KH A. Wahab Hasbullah, sebagaimana KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), pernah
selama bertahun-tahun menimba ilmu di Mekkah, pengaruh gerakan Wahabiyah dan lain-lainnya. Perbedaan antara ulama
tradisional dengan kalangan yang kemudian disebut sebagai kelompok Islam modernis di Indonesia bukanlah pada
persoalan menolak atau menerima paham pembaharuan itu, tapi lebih pada bagaimana paham itu diterima dan
diaplikasikan. Para ulama tradisional menerima paham pembaharuan, tapi menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka
anut. Lihat Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 58-62.
111 Dalam Kongres Dunia Islam itu delegasi Indonesia hanya diwakili oleh kalangan Islam pembaharu, dan sama sekali tidak
menyertakan kalangan Islam tradisional. Kalangan tradisional lalu membentuk delegasi sendiri ke Mekkah untuk meminta
Raja Saud menjamin kelestarian mazhab-mazhab ortodoks serta kegiatan tarekat di Hijaz (Arab Saudi kini). Delegasi ini
semula diberi nama Komite Hijaz, tetapi kemudian mengubah nama itu menjadi Nahdlatul Oelama. Lihat Anam (1985) dan
Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 32-34.
55
112
Lihat Anam, op. cit., h. 24-33. Cf. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NUPasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan
Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 4-5.
113 Ziemek, op. cit., h. 64-65.
114 Saifuddin Zuhri, "Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air," dalam Thohir, op. cit., h. 93.
115 Cf. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 9 (Jakarta: PT
Gramedia, 1991), h. 41-42.
56
116
57
118
Anam menyebutkan bahwa kemunculan tokoh-tokoh muda itu merupakan satu dari tiga fenomena yang menandai awal
perkembangan NU sejak Muktamar IX (1934). Dua fenomena lainnya adalah pemisahan sidang Syuriyah dan Tanfidziyah
dalam muktamar itu, setelah sebelumnya sidang-sidang selalu dipimpin oleh Syuriyah; serta dibenahinya tata-cara sidang.
Lihat Anam, op. cit., h. X9-91.
119 MIAI didirikan oleh KH Wahab Hasbullah (NU), KH A Dahlan (NU, bedakan dengan KH Ahmad Dahlan yang pendiri
Muhammadiyah dan telah meninggal pada tahun 1923), KH Mas Mansur (Muhammadiyah), dan W. Wondoamiseno (SI).
Pada awalnya organisasi-organisasi yang menjadi anggota federasi MIAI adalah: SI, Al Islam (Solo), Persyarikatan Ulama
(Majalengka), Muhammadiyah, Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Al-Khairiyah (Surabaya), dan Al-Irsyad (Surabaya).
Tentang pembentukan MIAI, lihat Noer, op. cit., h. 260-267.
120 A Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 96. Agaknya, yang dimaksudkan adalah
terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Kebangsaan Indonesia kemudian Permufakatan Politik Pengejar
Kemerdekaan Indonesia) di awal 30-an. Organisasi yang kelahirannya turut dibidani oleh SI ini ternyata kemudian tak lebih
dari sekadar wadah legalisasi konflik antara golongan Islam dan golongan nasionalis sekuler. Lihat Noer, ibid., h. 261-315.
121 Noer, ibid., h. 265-267.
58
Ibid., h. 289.
Anam, op. cit., h. 112.
124 Tentang umat Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang, lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit,
alih bahasa Daniel Dakhidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
125 Ibid., h. 142.
126 Ibid., h. 184-204.
123
59
60
Struktur pimpinan pusat Masyumi terdiri dari pimpinan partai (yang melaksanakan
tugas eksekutif sehari-hari) dan Majelis Syuro (semacam dewan pertimbangan dan pemberi
fatwa Pimpinan Partai dalam garis besar tindakan partai. Secara tradisional posisi penting
dalam Majelis Syuro dipegang oleh tokoh ulama NU. Sementara pimpinan partai, yang
sangat dominan, diisi oleh kalangan pembaharu yang biasanya para intelektual. Sebenarnya
struktur kepemimpinan semacam ini lebih banyak menimbulkan persoalan daripada
menguntungkan, mengingat kesan yang yang timbul adalah adanya kompartementalisasi
antar unsur dalam federasi ini. Terlebih lagi tidak pernah begitu jelas perincian tugas antara
kedua struktur pimpinan itu.
132
Tujuan itu adalah untuk menciptakan suatu wadah dan kepemimpinan tunggal bagi umat Islam Indonesia. Dari segi ini,
maka Partai Masyumi adalah "kelanjutan dari usaha MIAI sejak 1937 dan usaha Masyumi 'made in Japan' 1943." Lihat
Syafii Maarif, Dinamika Islam, Potret Perkembangan
Islam di Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983), h. 7.
Usaha menyusun kepemimpinan tunggal semacam itu yang kemudian dikritik oleh Abdurrahman Wahid, dan dinilainya
membawa implikasi negatif terhadap umat. Bagi umat Islam Indonesia, "yang diperlukan adalah upaya untuk terusmenerus mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam.
133 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 47.
134 Ibid., h. 76-77
61
modernis
di
Masyumi, dan
kepemimpinan politik kyai (ulama) tradisional di NU. Lebih jauh lagi, hal itu juga membawa
perubahan dalam perimbangan kekuatan politik Indonesia saat itu. Hasil-hasil Pemilu 1955
menggambarkan dengan jelas tentang perimbangan kekuatan baru itu. Di sini, NU dengan
perolehan suara sebesar 6.955.141 (18,4 % dari keseluruhan suara yang masuk) dan 45 kursi
di parlemen, menempatkan diri pada posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, dan setingkat di
135
Perubahan struktur organisasi Masyumi dari periode ke periode cukup menggambarkan melemahnya peran Majelis
Syuro di dalamnya. Lihat ibid., h.69-71.
136 Ibid.
137 Ibid.
138 Zamakhsyari Dhofier, "KH. A. Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia
Modern", dalam Prisma, Agustus 1984. Keinginan Wahid Hasyim untuk mencari ruang gerak yang lebih leluasa bagi NU
tidak memudarkan obsesinya akan persatuan umat Islam dalam satu wadah. Sehingga tidak lama setelah NU keluar dari
Masyumi, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia, yang sekali lagi diharapkan dapat menjadi wadah federasi bagi umat
Islam Indonesia. Lihat ibid. Dalam hal ini, Wahid Hasyim mempunyai jalan pikiran yang berbeda, kalau bukan berlawanan,
dengan putranya yang kontroversial Abdurrahman Wahid.
62
139
Untuk hasil-hasil Pemilu 1955 ini selengkapnya, lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1966), Tabel 21 h. 434
140 Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), sebagaimana dikutip dalam Sitompul,
op. cit, h. 120.
141 Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, op. cit., h. 116.
142 Perhatikan bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas dalam Pemilu 1995. Sehingga kabinet yang
terbentuk kemudian adalah hasil koalisasi antara PNI, Masyumi, dan NU. Sukarno sebenarnya menginginkan PKI diikutkan
dalam koalisasi itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya dengan keras. Lihat ibid., h. 123.
63
sebagai
kabinet
ekstra-parlementer
yang
non-partai,
sekalipun
mengikutsertakan beberapa tokoh partai yang diwakili di parlemen. Selama beberapa waktu
dalam masa transisi ke Demokrasi Terpimpin partai-partai politik termasuk NU
"memindahkan medan tempurnya" dari politik praktis kepada perjuangan ideologis tentang
dasar negara dalam Majelis Konstituante."145
Dalam perjuangan ideologis itu pada mulanya ada tiga usul yang diajukan sebagai
dasar negara: Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi. Karena terbatasnya dukungan terhadap
usulan yang disebut terakhir, maka perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante
akhirnya hanya meliputi dua usulan yang pertama. Cukup untuk dikatakan bahwa suara NU
(meskipun NU mendukung usulan Islam sebagai dasar negara) dalam perdebatan itu tidak
seberapa vokal jika dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, khususnya dalam
Masyumi, seperti Natsir. Persisnya: NU tidak segigih kalangan modernis dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ideologis dalam Konstituante
sebenarnya masih berlangsung, sampai Dekrit Presiden membubarkan Konstituante dan
memberlakukan kembali UUD 1945, yang menjadikan persoalan itu tidak relevan lagi.146
Dalam Demokrasi Terpimpin, panggung politik Indonesia praktis dikuasai oleh kekuatan tiga
aktor politik: Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat, dengan menyisakan sedikit porsi peran
yang tidak berarti untuk partai-partai politik yang ada. Beberapa partai bahkan tidak memiliki
cukup daya survival berhadapan dengan upaya penyederhanaan kepartaian yang dilakukan
oleh Sukarno, sehingga akhirnya hanya tersisa sepuluh partai. Masyumi termasuk yang
143
Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat antara lain Mashuri Maschab, Kekuasaan Eksekutif di
Indonesia (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983)h. 28-110.
144 Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang era Demokrasi Liberal dan kegagalannya di Indonesia
pernah dilakukan oleh Herbert Feith. Lihat Feith, The Decline, op. cit. Sementara untuk kajian ulang atas Demokrasi Liberal
lihat David Bourchier dan Southeast Asia No. 3 (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994.)
145 Maarif, op. cit.
146 Untuk pembahasan tentang perdebatan ideologis antara kelompok Islam dan golongan nasionalis "sekuler" dalam
Konstituante, lihat ibid., h. 142-176. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: CV
Rajawali, 1986), h. 71-101.
64
65
relevansinya,
dan
terbentuklah
KAP-Gestapu,
sebuah
kekuatan
aksi
150
66
adalah
penting Angkatan Darat yang dilakukan bersamaan dengan upaya serupa terhadap ketiga angkatan lainnya, bahkan juga
lembaga-lembaga tinggi negara. Lihat Crouch, op. cit., h. 220-272. Cf. Sundhaussen, op. cit., h. 411
154 Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971
155 Ibid., h. 56-60.
156 Dengan mengutip KH Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri, Anam menyebutkan bahwa lunturnya dukungan NU
terhadap Sukarno adalah, karena ia tidak mau segera membubarkan PKI, sekalipun NU telah berusaha untuk
mengartikulasikan tuntutan pembubaran PKI itu secara konstitusional dan tidak dalam cara-cara anarkis. Lihat Anam,
op.cit., h. 249. Tapi perlu dicatat bahwa cara-cara konstitusional itu cuma merupakan sebuah episode setelah pada episode
sebelumnya NU menggunakan cara-cara kekerasan terhadap PKI.
157 Sundhaussen, op. cit., h. 433. Pel-Nawaksara adalah laporan pelengkap pidato utama Sukarno di depan sidang MPRS
pada pertengahan 1966, Nawaksara. Pidato Pel-Nawaksara mencerminkan penentangan Sukarno terhadap MPRS dan
keengganannya untuk mengutuk PKI.
158 Crouch, op. cit., h. 296.
67
Masyumi
untuk
merehabilitasi
partainya, sambil
Sukarno menginginkan pemilu karena itu adalah cara yang efektif untuk mengurangi kekuasaan Suharto yang belum
memiliki kesempatan untuk mengembangkan popularitasnya di kalangan rakyat. Lihat Sundhaussen, op.cit., h. 420. Cf.
Crouch, op. cit., h. 230. Sementara tuntutan partai-partai terhadap pemilu didasari oleh keinginan untuk kembali menggali
peran politik mereka. Dengan pemilu, dukungan terhadap parpol dari akar massa mereka masing-masing akan termobilisir
riil. Lihat Crouch, ibid., h. 278
160 Tentang upaya penguluran waktu pelaksanaan pemilu ini, lihat antara lain Crouch, ibid., h. 278-285.
161 Ibid., h. 285-296.
162 Penolakan pemerintah terhadap rehabilitasi Masyumi tampaknya didasari oleh keengganannya untuk melihat
munculnya sebuah kekuatan politik Islam yang besar sebagaimana Masyumi dahulu. Alasan Suharto tentang keterlibatan
sejumlah tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI terasa hipokrit ketika ia kemudian ternyata menyertakan Sumitro
Djojohadikusumo, seorang ekonom tokoh PSI yang juga terlibat PRRI, dalam kabinetnya.
163 Crouch, op. cit., h, 292
68
164
Tentang taktik buldozer Golkar ini, lihat ibid., h 299- 301. Dalam Pemilu 1971 tercatat 2.123.747 warga negara yang
tidak berhak memilih. Ibid., h. 300. Jika diingat bahwa pada tahun 1965 PKI pernah menyatakan memiliki anggota sebanyak
20 juta orang, dan jika angka ini dikurangi dengan kira-kira 500.000 orang komunis yang dibunuh di akhir tahun 1965 dan
awal 1966, serta jika diasumsikan bahwa orang-orang yang tidak berhak memilih itu adalah orang-orang komunis
semuanya, maka setelah dikurangi dengan jumlah mereka yang ditahan, secara kasar dapat diperkirakan bahwa kira-kira
sejumlah 17 juta eks anggota PKI tidak dihalangi untuk memberikan suaranya. Pernyataan ini boleh jadi kurang
argumentatif, namun boleh jadi, mereka inilah yang diraup Golkar.
165 Untuk hasil-hasil Pemilu 1971, lihat antara lain M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret
Pasang Surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170.
166 Lihat Marijan, op. cit., h. 101; Crouch, op. cit, h. 302; Fathoni dan Zen, op.cit., h. 46.
69
stabilitas
itu,
serta
mengeliminasi,
setidaknya
meminimalkan
semua
kemungkinan ke arah sebaliknya. Salah satu bentuk upaya ini adalah tindakan restrukturisasi
partai politik --kiat manajemen konfllik yang sebenarnya diwarisi dari regim sebelumnya
dengan berbeda pola pelaksanaannya. Proses ke arah penyederhanaan partai ini pada
dasarnya sudah dimulai sejak awal 1970, sebelum pemilu pertama dilaksanakan.
Pada Februari 1970, di depan para pimpinan ke-9 parpol dan Golkar, Presiden Suharto
menyampaikan saran tentang pengelompokan partai-partai. Tujuannya adalah untuk
mempermudah kampanye pemilu, dan selanjutnya mempermudah sistem administrasi seperti
penyusunan fraksi di DPR kelak, bukan untuk melenyapkan partai-partai itu sendiri.167
Setelah melalui tahap dialog antara pemerintah dan partai-partai, seruan Suharto itu
memperoleh tanggapan positif. Maka pada bulan berikutnya terbentuklah pengelompokan
dimaksud. PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik bergabung dengan kelompok
nasionalis. Sedang NU, Parmusi, PSII dan Perti membentuk kelompok spiritual. Kelompok
pertama disebut Kelompok Demokrasi Pembangunan, dan yang kedua disebut Kelompok
Persatuan Pembangunan.168 Sebenarnya Parkindo dan Partai Katolik dapat bergabung dalam
kelompok spiritual. Tapi karena alasan perbedaan agama, sementara untuk membentuk
kelompok tersendiri kurang dimungkinkan, mereka lebih memilih kelompok nasionalis.
Pengelompokan ini selanjutnya menjadi dasar penyusunan fraksi di DPR, sehingga badan ini
memiliki lima fraksi: Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Pembangunan atau
Demokrasi Indonesia, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi ABRI.
Kemenangan gemilang Golkar dalam Pemilu 1971 di sisi lain juga semakin
memudahkan 'penguasaan' pemerintah terhadap DPR. Pemerintah kemudian mengusulkan
RUU Kepartaian. Dalam rancangan itu disebutkan bahwa hanya tiga partai politik yang akan
diakui di Indonesia. Dengan demikian, pemilu berikutnya hanya akan diikuti oleh dua parpol
dan Golkar.169 Semakin jelas bahwa penyederhanaan partai sulit ditolak oleh kalangan partai.
Maka Kelompok Persatuan Pembangunan yang berbentuk konfederasi terus-menerus
mengadakan pendekatan intensif dalam rangka mendahului realisasi fusi, sebelum hal itu
167
Lihat Bambang Purwoko, Perkembangan Partai Persatuan Pembangunan (1973-1986), (Skripsi FISIPOL-UGM, 1988), h.
110. Cf. Fathoni dan Zen, op. cit, h. 47.
168 Bambang Purwoko, ibid., h. 111
169 Fathoni dan Zen, op. cit., h. 47-48. RUU ini tanpa hambatan yang berarti kemudian disahkan sebagai UU No. 3 Tahun
1975 tentang Parpol dan Golkar.
70
170
Bambang Purwoko, op. cit., h. 117-119. Lihat juga Marijan, op. cit., h. 104
Deklarasi ini ditandatangani oleh KH Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja (MI), H Anwar Tjokroaminoto (SI), H Rusli Halil
(Perti), dan KH Masykur (NU). Isi lengkap deklarasi ini lihat antara lain Bambang Purwoko, op. cit., h. 120; atau Syamsudin
Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 158
172 Jabatan-jabatan penting yang dipegang NU adalah Presiden Partai, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat, Sekjen, Ketua
Umum Majelis Pertimbangan Partai, dan Rais Aam Majelis Syuro. Lihat Haris, ibid., h. 162
173 Lihat Haris, ibid., h. 10-11.
174 Marijan, op. cit., h. 112
171
71
175
Ibid., h. 113. Rasa tidak puas terhadap FPP dan DPP PPP, yang telah menginstruksikan agar FPP menerima saja RUU itu,
segera bermunculan di kalangan aktivis PPP sendiri. Mereka yang tidak puas lalu membentuk sebuah "Komite Perubahan
Pusat" yang menentang FPP dan DPP PPP. Ibid., h. 114
176 Untuk komposisi kabinet-kabinet RI, lihat Mashuri Maschab, op. cit.
72
177
178
73
74
Berkaitan dengan pemilu, Syuriah NU bersikap arif dengan menegaskan agar warga
NU turut berpartisipasi di sana. Betapapun hasil Pemilu 1982 jelas tidak akan mendatangkan
keuntungan politis bagi NU namun warga NU dihimbau untuk tidak terjebak dalam
183
Ibid., h. 66-67.
Lihat Anam, op. cit., h. 280.
185 Seperti dikutip dalam ibid., h. 287. Di sini, secara implisit NU tampaknya menegaskan bahwa ia telah sedang
mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP, sebab prinsip-prinsip yang disebutkan itu jelas telah banyak dilanggar di
dalamnya.
184
75
186
187
76
Fathoni dan Zen, ibid., h. 78. Asas tunggal Pancasila dituangkan daiamTAP MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN.
Sitompul, op. cit., h. 166
190 Keputusan Muktamar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittah Nahdhatul Ulama.
189
77
Bahwa keterlibatan NU yang berlebihan dalam dunia politik akan membawa efek
terlalu menonjolnya kepentingan pribadi elit NU dibandingkan kepentingan jama'ah, dan
bahwa itu juga menyebabkan NU setahap demi setahap mulai kehilangan bidang-bidang
kegiatan lainnya: dakwah, pendidikan, sosial dan budaya, sudah sejak lama muncul dalam
benak kesadaran NU. Keinginan untuk mengoreksi keadaan ini sudah sejak dini terlontarkan,
dan, oleh karena itu, pemikiran untuk kembali ke Khittah 1926 bukanlah sesuatu yang baru.
Pertama kali itu terlontar dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1985. Seorang juru
bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa, peranan politik
oleh Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga partai sebagai
alat sudah hilang. Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali pada Khittah tahun 1926.191
Hanya satu Pengurus Cabang yang mendukung gagasan ini, selebihnya, pemikiran tersebut
memperoleh tanggapan yang menentangnya. Dan gemanya pun berhenti di sini.
Lalu, pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di
Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH Wahab Hasbullah, dan barangkali
karena itulah memperoleh sambutan yang lebih baik. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa
salah satu persoalan yang cukup serius diperdebatkan adalah kehendak agar NU kembali
kepada garis perjuangannya di tahun 1926 ketika pertama kali didirikan: mengurusi persoalan
agama, pendidikan, dan sosial-kemasyarakatan saja.192 Namun begitu, gagasan ini akhirnya
kalah oleh arus besar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis.
Kandasnya gagasan kembali ke khitah sampai kurun waktu itu, jika diperhatikan,
disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, gagasan itu semata-mata dilandasi oleh alasan
politis (NU akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitnya), dan karena
itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer: agar NU meninggalkan gelanggang
politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam
pergulatan politiknya, wajar jika keinginan untuk menanggalkan peran politik itu lalu hanya
dipandang dengan sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran
kelompok politisi (Idham Chalid cs, yang biasanya dipolarisasikan dengan kelompok ulama)
masih dominan dalam tubuh NU. Kedua, secara aktual konsep kembali ke khitah tidak
terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian minimal "kembali pada tahun 1926". Dan
itu bisa dinilai sebagai langkah mundur serta penihilan terhadap nilai-nilai yang diperoleh NU
191
192
78
193
PB NU, Keputusan Muktamar NU ke-25 di Surabaya, seperti dikutip dalam ibid., h. 135.
Arief Mudatsir, "Dari Situbondo menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 133.
195 Fathoni dan Zen, op. cit., h. 95.
194
79
196
Ibid., h. 96.
Arif Mudatsir, loc. Cit., h. 139.
198 PB NU, Program Dasar Pengembangan Lima Tahun Nahdhatul Ulama: Keputusan Muktamar NU ke-26, seperti dikutip
dalam Marijan, op. cit., h. 136
197
80
Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan
tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama.
2.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut
Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid
menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3.
Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
199
Ibid., h. 138.
Arif Mudatsir, loc. cit.
201 Ibid., h. 140. Ke-24 orang tokoh itu adalah: KH Sahal Mahfudz, Mustafa Bisri, Asip Hadipranata, Mahbub Junaedi,
Abdurrahman Wahid, M Tolhah Hasan, HM Zamroni, HM Munasir, dr Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Abdullah Syarwani,
Muhammad Tohir, KH Muchit Muzadi, Saiful Mujab, Umar Basalim, Cholil Musadad, Ghaffar Rahman, Slamet Effendi Yusuf,
Ichwan Syam, Musa Abdillah, Mustofa Zuhad, Danial Tanjung, A Bagja, dan Masdar Farid Mas'udi.
202 Ibid.
200
81
5.
b.
c.
Mengiringi tema kembali ke khitah, dalam Muktamar juga dibahas sub-sub tema
reorientasi program, regenerasi, dan rekonsiliasi terhadap pemerintah.205 Reorientasi
program: setelah sekian lama dalam kiprah politik praktis, NU kini kembali ke orientasi
semula, yaitu memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan secara lebih luas. Itu berarti
meliputi segala aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
Regenerasi NU akan melakukan pergantian pimpinan dari generasi tua kepada
generasi muda yang dilakukan dengan tetap memelihara keserasian dan keselarasan
hubungan antar generasi. Tampaknya, kombinasi generasi tua dan generasi muda dalam
kepengurusan NU yang dilantik oleh Muktamar 1984 (generasi tua di sekitar KH As'ad
Syamsul Arifin dalam Majelis Isytisar, generasi yang lebih muda di sekitar KH Ahmad
Siddiq di PB Syuriah, dan generasi paling muda di sekitar Abdurrahman Wahid dalam
203
Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan Khittah NU 1926.
Keputusan Muktamar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittah Nahdhatul Ulama.
205 Arief Mudatsir, loc. cit., h. 133.
204
82
Struktur Kewenangan NU
I. Diferensiasi Struktural
Ibid., h. 140.
83
Muktamar.
Muktamar
adalah
lembaga
permusyawaratan
tertinggi
yang
diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali. Di sini, Pengurus Besar
melakukan evaluasi program selama lima tahun, dan dilakukan pemilihan pengurus
periode berikutnya. Selain itu, Muktamar juga membahas masalah hukum fikih,
program dasar NU untuk periode berikutnya, serta berbagai masalah yang berkaitan
dengan agama dan kemaslahatan umat.
85
Musyawarah Nasional Alim Ulama. Munas Alim Ulama adalah forum yang diadakan
oleh PB Syuriyah sekali dalam suatu periode kepengurusan. Anggaran Rumah Tangga
NU tidak memerinci fungsi forum ini, kecuali bahwa ia "tidak dapat mengubah
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak
mengadakan pemilihan Pengurus baru.
Rapat Anggota. Rapat Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat
Ranting. Rapat ini dihadiri oleh anggota-anggota NU di Ranting setempat,
dilaksanakan setiap tiga tahun dengan membicarakan laporan pertanggungjawaban
Pengurus Ranting, menyusun rencana kerja untuk tiga tahun berikutnya, dan
membahas masalah kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di Ranting.
Sering dikatakan, NU adalah sebuah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil.
Kalimat sederhana ini menggambarkan banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan
pesantren yang diadopsi dalam sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah
pesantren memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemen manusia yang secara
86
207
Mekanisme pengelolaan pesantren seperti ini pernah dikupas dengan sangat ilustratif oleh Zamakhsyari Dhofier. Lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), khususnya Bab II (Elemen-elemen Sebuah Pesantren), h. 4461.
208 Ali Haidar, "NU dan Tantangan Keulamaan," dalam Aula Juli 1993, h. 24.
209 Ibid.
210 Choirul Anam, "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU," dalam Jawa Pos, 28 Januari 1992.
211 Anam, Pertumbuhan, op. cit., h. 89-91.
87
Basis Massa NU
212
88
213
Lihat ikhtisar kitab ini dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, op. cit., h 82-85.
Lihat Abdurrahman Wahid, "Pesantren Sebagai Subkultur," dalam M Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan
Pembaharuan (Jakarta: P3M, 1988), h. 51.
214
89
215
Ibid., h. 47.
Abdurrahman Wahid, 'Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 34.
217 Abdurrahman Wahid, Pesantren, op. cit., h. 42.
216
90
Kesimpulan
Mengamati sejarah NU tak ubahnya menyaksikan sebuah kekuatan --politik atau pun
sosial, pada gilirannya masing-masing-- dengan daya survival yang tinggi. Kemampuan
untuk selalu bertahan itu adalah berkaitan dengan pola perilaku NU yang reaktif. Bahkan
tujuan upaya kelompok Islam tradisional untuk mengimbangi kelompok modernis. Sebuah
perilaku reaktif, tentu saja. Namun bukan hanya itu. Banyak titik-titik penting dalam lini
sejarah NU yang turut merefleksikan pola perilaku reaktif itu. Sebut saja keluarnya NU dari
Masyumi di tahun 1952, atau begitu mudahnya NU mengalihkan dukungan dari regim
Sukarno yang mulai runtuh kepada regim baru yang sedang mencari pengukuhan, maupun
contoh-contoh lain. Namun jika diamati lebih dalam, maka pola perilaku reaktif NU itu bisa
memberikan penjelasan lain: kemampuan antisipatif NU yang sangat tinggi terhadap
perubahan keadaan. Dengan kemampuan ini, NU selalu dapat mengikuti arus besar
kepolitikan makro dalam setiap perubahannya, tanpa harus kehilangan jati dirinya yang
paling esensial.
Itulah yang terjadi. Ketika NU didirikan tahun 1926, inti identitasnya adalah sebagai
kaum muslimin penganut paham Ahlussunnah Wal Jamaah tanpa identifikasi diri lebih lanjut
sebagai organisasi sosial semata-mata atau tidak, berkehendak atau tidak untuk turut terjun
dalam kegiatan politik, maupun hal-hal detail organisasi lainnya. Sebab bentuk organisasi
bagi para pendiri NU tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan. Perubahan apa pun
yang harus dilakukan oleh perwajahan organisasi, sejauh itu memang diharuskan oleh upaya
pencapaian tujuan terawal dalam garis Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, tidak ada alasan
untuk menolaknya. Itulah sebabnya ketika tujuan dasar itu mengharuskan NU menjadi partai
politik, Muktamar 1952 dengan mudah mengetukkan palunya bagi perubahan orientasi NU.
218
Ibid.
91
92
BAB III
ABDURRAHMAN WAHID: PEMIKIRAN DAN DETERMINASI
93
219
94
220
95
Liberalitas cara berpikir itulah yang agaknya telah mengundang banyak penentang
bahkan pencaci terhadap Gus Dur, di samping para pengagum dalam kalangan elit NU, meski
kelompok yang disebut belakangan prosentasenya jelas lebih besar. Mereka yang
mencintainya menyebut tokoh ini seorang auliya (wali) sehingga menilai gagasan-gagasan
223
Sebagian biografi intelektual Gus Dur dapat dilihat pada Mona Abaza, Changing Images of Three Generation in
Indonesia, ISEAS Occasional Paper No. 88, 1993.
224 Keluasan wawasan itu dibangun oleh begitu banyak dan beragamnya bacaan Abdurrahman Wahid, yang dipilari oleh
penguasaannya secara baik terhadap minimal lima bahasa: Arab (dalam semua dialeknya), Belanda, Inggris, Jerman, dan
Prancis.
225 Greg Barton, "Neo-Modernism -- a vital synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia", paper
disampaikan pada diskusi di sela-sela Muktamar NU ke 29 di Cipasung, 1-5 Desember 1984.
226 Fachry Ali, "Seorang Asing di Tengah NU", dalam Tempo, 25 November 1989, h. 35.
96
227
Contoh yang paling jelas adalah bagaimana NU terlibat dalam isu menerima dana SDSB, antara lain karena Gus Dur
kurang teliti membaca surat rekomendasi permohonan bantuan yang ditandatanganinya, dan menilai aspek redaksional
surat itu sepenuhnya urusan sekjen. Ketidaktertarikannya terhadap detail administratif organisasi ini menjadikan
gagasannya menjelang Muktamar Cipasung tentang perubahan Tanfidziyah menjadi semacam kesekretariatan semata
sangat menarik.
228 Oposisi Gus Dur di tengah NU yang selalu berada "in the line of fire" dan para penentangnya akan dilihat dalam Bab-bab
IV dan V, passim.
229 Dalam lingkungan NU, dukungan dari para ulama dengan serta-merta dapat dipastikan sebagai jaminan dukungan dari
umat.
97
1. Tentang Ideologi
230
Lihat abstraksi cara pandang ini dalam tulisan-tulisannya, "Individu, Negara dan Ideologi", makalah yang disampaikan
dalam acara Sudjatmoko Memorial Lecture, Jakarta, 2 Februari 1994; "Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan
Agama", makalah, tempat dan tahun tidak terlacak.
231 Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1989), h. 9.
98
Ibid., h.10.
Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cit.
99
..Pancasila juga bersumber dari Islam, dari Nasionalisme, dari Komunisme dalam
Pancasila itu. Memang PKI-nya dilarang, faham Marxisme dilarang tapi semangat egalitarian
(persamaan)-nya ada dalam Pancasila. Semangat keadilan sosial itu miliknya komunis
(Marxisme). Sebab tidak ada istilah "Keadilan Sosial" sebelum lahirnya faham komunis.
Istilah "Social Justice" itu tidak ada sebelum itu. Jadi Pancasila itu hasil rangkuman dari
macam-macam ideologi dunia.
Dari ideologi yang Theokratik (Islam) diambil sila yang pertama, ini sudah
merupakan kearifan dari Bapak-bapak kita, kearifan beliaulah yang akhirnya membentuk
nation yang merdeka, dan bebas dari komunisme (pertentangan kelompok yang berlebihan)
seperti di India.236
Kalaupun setelah kemerdekaan masih saja ada perdebatan ideologis, Gus Dur menilai
bahwa hal itu disebabkan karena para pengikut ideologi universal itu masih tetap berada pada
kerangka acuannya semula dan masih terkotak-kotak dalam pemahaman ideologisnya masing
masing.237 Dengan pemahaman ini, maka indoktrinasi massif berupa penataran P-4 yang
dilaksanakan dengan sangat dramatis serta penetapan asas tunggal Pancasila bagi semua
fraksi dan ormas mestinya bisa dipandang sebagai upaya untuk sama sekali mengakhiri
pemahaman ideologis yang terkotak-kotak itu. Akan tetapi Gus Dur justru mengkritiknya
sebagai proses ideologisasi di Indonesia kini, yang dinilainya menampilkan dua sisi berbeda
dan bahkan saling bertolak belakang.238 Terjadinya kecenderungan ini dinilainya telah
membuat artikulasi proses ideologisasi itu kehilangan makna, sehingga yang tersisa tinggal
proses ideologisasi sebagai pemberi legitimitas kepada sistem pemerintahan yang ada.
Artinya, ideologi akhirnya hanya berfungsi sebagai justifikasi kebijakan para pemegang
234
Ibid.
Ibid.
236 Ibid.
237 Ibid.
238 Abdurrahman Wahid, Individu, op. cit. Ia menulis: Di satu sisi, dilakukan penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang
kemudian direkatkan pada ideologi nasional sebagai 'bukti' dari relevansi ideologi nasional itu sendiri bagi kehidupan
bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk melakukan teorisasi yang baku dan konseptualisasi yang menyeluruh atas
cakupan-cakupan nasional itu dalam kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai luhur yang sudah dianggap baku ternyata
masih harus dikembangkan dalam sebuah proses pembakuan,.."
235
100
Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan
terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik
yang berlandaskan faham integralistik. Liberalisme dan demokrasi liberal, sebagai tandingan
bagi sistem integralistik, lalu diangkat sebagai momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan
bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita. Lebih jauh lagi tuntutan akan kebebasan dan
desakan untuk menerapkan hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan
liberalisme sebagai paham dan demokrasi liberal sebagai cara penerapan faham tersebut.240
Ibid.
Ibid.
101
... berangkat dari kenyataan sejarah akan keragaman yang tinggi dalam kehidupan
bangsa kita, yang untungnya dapat ditampung dan diproses menjadi ketentuan konstitusional
dalam UUD 1945. Baik itu secara kesukuan, kebahasaan, keagamaan, budaya dan ideologis
bangsa kita sangat beragam. Dan tingginya derajat keragaman itu telah menumbuhkan pola
hidup yang dapat disebut (dengan meminjam istilah Nikita Kruschev) 'hidup berdampingan
secara damai'.241
Adalah karakteristik Gus Dur untuk selalu menghindarkan visinya dari titik ekstrem
di antara dua kutub yang tarik-menarik. Demikian pula pemikirannya tentang negara. Ia
mengkritik penempatan negara sebagai sentrum, sama seperti ia menolak pemberian bobot
yang berlebihan terhadap rakyat, dan lebih suka memilih titik moderat di antara keduanya.
Itulah sebabnya jika di satu sisi ia menilai negara akan kehilangan maknanya jika terjadi
pengabaian terhadap hak-hak individual rakyat, maka di sisi lain dari keping uang yang sama
ia meyakini bahwa negara memegang kunci penataan masyarakat.242
Yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi negara sebagai penyerapan heterogenitas
masyarakat dan kepentingannya. Oleh karenanya Gus Dur secara konsisten menolak
formalisasi agama sebagai ideologi negara, sekalipun agama itu adalah anutan mayoritas
rakyat seperti Islam di Indonesia, sebab hal itu akan dapat berarti tidak terserapnya bagianbagian tertentu dari heterogenitas masyarakat masyarakat itu. Di sini ia menyatakan
persetujuannya terhadap Ibnu Khaldun, ketika pemikir Islam terkemuka ini mengatakan
bahwa
....agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara di
samping paham keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah (perasaan keterikatan).
Tujuannya membentuk ikatan sosial-kemasyarakatan. Ini, adalah paham kebangsaan oleh
241
Abdurrahman Wahid, "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah, makalah yang disampaikan
dalam Seminar Sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli 1989.
242 Lihat antara lain Abdurrahman Wahid, "Mencari Paham Keagamaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
Penyimpulan atas pandangan Abdurrahman ini dapat diekstraksikan dari bagaimana ia mencontohkan bahwa "Hubungan
antara sesama umat beragam juga merupakan akibat saja dari penataan hubungan agama dan ideologi negara.
Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op.cit.
102
Terlebih lagi, Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memiliki konsep
pemerintahan yang definitif,243 sehingga pemaksaan diterapkannya Islam sebagai tatanan
tunggal penyelenggaraan negara secara konseptual tidak beralasan. Ia membuktikan bahwa
dalam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan,
Islam ternyata tidak menunjukkan konstanta tertentu. Akibatnya, hanya 13 tahun setelah
meninggalnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang
berbeda: Istikhlaf, Bai'at, dan Ahlul Halli Wal Aqdi bagi mekanisme suksesi kekhalifahan.
Kalau memang Islam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat itu
adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur
konsep kenegaraan, yang ada hanya 'komunitas agama' (kuntum khoiro ummatin ukhrijat
linnas). Jadi khaira ummatin, bukan khaira daulatin atau khaira jumhuriyyatin apalagi khaira
mamlakatin.244
Bagi Gus Dur, yang terpenting suatu negara ditegakkan di atas banyak pilar yang
mengindahkan keragaman masyarakat di mana negara itu dibangun bersama-sama dengan ide
penyeimbangan antara pemberian kekuasaan terhadap negara dan pemenuhan secara baik
akan kebebasan dan hak-hak individual rakyat, hal itu adalah butir terpenting dalam
pemikiran Gus Dur tentang negara. Dan jika diperhatikan dengan cermat, akan jelaslah
bahwa sentra pemikiran Abdurrahman Wahid adalah rakyat. Kekuasaan negara dipahaminya
sebagai operasionalisasi kekuasaan rakyat, yang disimpulkannya dari ketentuan Al-Qur'an
yang secara eksplisit menyatakan bahwa prinsip utama pemerintahan adalah adanya
permusyawaratan antara pemimpin dan yang terpimpin. Dengan ini Gus Dur mengkritik
karya-karya para pemikir Islam tentang negara yang kebanyakan terlalu ditekankan pada
aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya justru bukan dari sudut keabsahan
negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat.
243
Ibid. Cf. Abdurrahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang
disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Islam Tribakti (UIT), Kediri.
244 Merumuskan, ibid.
103
245
246
104
Lihat Abdurrahman Wahid, "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA, et. al. (eds.), Agama dan
Kekerasan (Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985), h. 54-56.
248 lbid., h. 55-56.
105
249
Lihat Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (eds.), Islam Indonesia
Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 19H9), h. 93.
250 Ibid., passim.
106
251
Cf. Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, loc. cit., h. 90-91. Abdurrahman Wahid, "Massa Islam dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 8
252 Abdurrahman Wahid,"Massa islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," dalam Prisma nomor ekstra, 1984, h.8
253 Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar," dalam Sitompul op. cit., h. 17.
254 Abdurrahman Wahid, Mencari, Op. cit.
107
Untuk umat Islam sendiri, penekanan berlebihan pada sisi legal-formalistik yang
membawa Islam kepada sikap sangat ideologis dalam pengaturan masyarakat telah
menyebabkan menyempitnya ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan
arti manusia sebagai subyek kehidupan. "Setiap pengaturan masyarakat secara terlembagakan
senantiasa cenderung untuk memperlakukan masyarakat sebagai obyek kehidupan."256 Pada
sikap yang memperlakukan masyarakat sebagai obyek inilah berakar kemiskinan di
lingkungan kaum muslim yang sangat meluas. Keadaan ini lebih diperburuk oleh adanya
kecenderungan spiritualitas mistik (sufisme) yang dimanifestasikan dalam pola ritualistis,
yang justru cenderung mengajak manusia untuk melupakan kesulitan dan bukan
memecahkannya. Ironinya, kuatnya kecenderungan sufisme ini sesungguhnya adalah upaya
imbangan terhadap kecenderungan legal-formalistik itu.257
Selanjutnya, kecenderungan di atas juga telah menimbulkan kerancuan dalam cara
pikir sebagian besar umat Islam, yang lebih jauh membentuk logika zero sum game.
Abdurrahman Wahid tidak secara persis menggunakan terminologi ini, tapi ia menulis:
Kita memiliki kekuatan politik, posisi bargaining yang kuat, sasaran yang cukup jelas
yaitu baladatun thayyibatun wa rabbun ghafur
(Tapi ada kerancuan yang)
mencampuradukkan antara sasaran dan masalah kelembagaan. Kita merasa harus menguasai
lembaga politik, sistem pemerintahan, jalur-jalur pendapat umum dan mekanisme mobilisasi
massa. Padahal penguasaan beberapa hal tersebut di satu tangan adalah sesuatu yang tidak
mungkin, karena kehidupan politik berdasarkan asas saling mengimbangi.258
255
Abdurrahman Wahid, "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan
Aspirasi Rakyat (Yogyakarta: Penerbit Interfidei, 1994), h. 274.
256 Abdurrahman Wahid, "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan,'' naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI,
Oktober 1989 di Surabaya. Pidato ini belakangan dijadikan salah satu alasan oleh KH As'ad Syamsul Arifin untuk menggugat
kepemimpinan Abdurrahman di NU. Lihat Bab IV di belakang.
257 Ibid.
258 Abdurrahman Wahid, "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Sosial-Politik," dalam Yunahar Ilyas, et al. (eds.),
Muhammadiyah dan NU, Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 93.
108
Sebuah sikap yang dewasa dari kehidupan beragama dalam kaitannya dengan kedua
alternatif itu adalah kebijaksanaan untuk paling jauh meletakkan diri pada sikap berhati-hati
untuk menekankan diri pada alternatif moral. Terhadap alternatif politik, kehidupan beragama
sebaiknya menahan diri untuk tidak langsung menceburkan diri sepenuhnya. Kalaupun nanti
terjadi perubahan dalam struktur politik dari masyarakat ...hendaknya itu terjadi dalam
kewajarannya sendiri, tanpa terlalu didorong oleh kehidupan beragama.264
259
Sikap ini adalah rasa frustasi tersembunyi yang keluarnya dalam bentuk 'tidak usah macam-macam pun kita berperan
baik, kok.' Tetapi mereka lupa bahwa orang Islam tidak ikut mendefinisikan masalah yang ditangani. Agenda datang dari
luar, bukan dari orang Islam. Kita tinggal 'amin' lalu kerjakan." Ibid., h. 94.
260 ". . . kita merasa gagal total, tidak pernah berhasil dan musuh begitu kuat. Maka kemudian dicari sasaran lain sebagai
kambing hitam yaitu kalau tidak ABRI, ya orang Kristen. Dalam hati kecil kita merasa bahwa semua pihak menghalangi
orang Islam." Ibid.
261 Persoalan yang "mengubah kualitas hubungan antar agama di negeri kita secara mendasar" ini oleh Abdurrahman
dinilai memiliki akar yang sederhana saja: "kesembronoan dan kepekaan berlebih". Lihat Abdurrahman Wahid, "Ada Kasus
Gila dan Ada yang Gila Kasus", dalam Aula, November 1990, h. 43. Kepekaan berlebihan tentu dari umat Islam sebagai
refleksi rasa frustrasi mereka, sesuatu yang dikhawatirkan oleh Abdurrahman akan merusak citra Islam sebagai agama
damai menjadi agama kekerasan yang menampilkan wajah kebencian yang mengerikan. Ia mengisyaratkan keraguan
apakah Arswendo pemred Monitor, punya motivasi lain kecuali kesembronoannya di balik kasus tersebut, sehingga "anak
muda gombal yang lebih patut dikasihani" itu mesti menanggung resiko sedemikian rupa. Orang Islam yang memilih Nabi
Muhammad dalam polling itu juga dinilainya tak kalah sembrononya. Simak notasinya "Dari 33.693 responden, mayoritas
tentu beragama Islam. Kalau diletakkan pada angka 85% penduduk negeri ini memeluk agama Islam, kira-kira 29.000
berpotensi menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Ternyata hanya 616 suara diberikan kepada Beliau, berarti hanya 2,1%
saja yang tidak tahu bahwa nama Beliau tidak boleh dipergunakan sembarangan. Selebihnya, yaitu hampir 98 % tetap
waras dan mengerti bagaimana cara yang tepat untuk menghormati ketokohan Beliau." Ibid., 43-44.
262 Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 35.
263 Lihat Abdurrahman Wahid, "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan Kehidupan Beragama," makalah,
tempat dan tahun tak terlacak. "Jika ia menawarkan alternatif dalam arti pola kehidupan baru dalam wadah
kemasyarakatan yang sudah ada ... maka kehidupan beragama menawarkan altenatif moral ... Apabila kehidupan
beragama menawarkan altenatif struktural yang sama sekali lain dari wadah yang telah ada, maka yang ditawarkan adalah
altenatif politik."
264 Ibid.
109
Dan untuk menjamin tempat Islam dalam konstelasi politik nasional, lepas dari
persoalan seperti apa corak pemerintahan itu, Gus Dur memandang perlu ditempuh strategi
ganda. Di satu ujung ada kalangan yang mengupayakan formalisasi agama dalam kehidupan
bernegara (bukan dalam proses kenegaraan) melalui cara-cara dan produk-produk yang
nantinya menampilkan syiar Islam, seperti yang saat ini dilakukan oleh Depag, MUI, dan
ICMI. Dan pada ujung yang lain harus ada yang menggarap pengelolaan isu-isu umum yang
tidak khas Islam. Strategi ini tidak harus dikomunikasikan secara formal, melainkan cukup
dalam pemahaman yang utuh saja.265
Selanjutnya, pemikiran Gus Dur tentang NU sebagian besar sudah ter-cover dalam
pemikiran tentang Islam dan umat Islam di atas, sebab baginya NU adalah bagian yang sama
sekali integral dari umat Islam Indonesia bahkan bangsa Indonesia secara holistik. Akan
tetapi tentu ada beberapa potong pemikirannya yang secara spesifik menunjuk NU dan perlu
ditinjau di sini. Pertama adalah bagaimana ia menjawab berbagai pertanyaan yang muncul di
seputar kepolitikan NU: mengapa NU seringkali menunjukkan watak politik yang
oportunistik, lalu pada kali lainnya terkesan sebagai oposan pemerintah? Ia mengembalikan
semua jawaban bagi pertanyaan itu kepada pendekatan NU yang serba fikih. Oportunisme,
suatu kesan yang timbul karena NU seringkali mengeluarkan keputusan yang sepintas tampak
dibuat sembarangan, dan yang memenuhi selera dan sangat bersifat akomodatif terhadap
kepentingan penguasa pada suatu saat, didasari oleh cara bersikap NU yang tidak
berpedoman pada "'strategi pejuangan politik' atau 'ideologi Islam' dalam artiannya yang
abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fikih.266 Orientasi inilah yang mewarnai banyak
perilaku NU, termasuk penerimaan Pancasila serta penentuan "absahnya Presiden RI sebagai
pemegang pemerintahan, karena itu ia harus ditunduki dan dipatuhi di hadapan sebuah
Negara Islam Indonesia sekalipun."267
Tapi pada sudut yang lain, tidak berarti jalannya pemerintahan lepas sama sekali dari
kendali keagamaan. Justru NU selalu menuntut agar kebijaksanaan pemerintah disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan fikih, dan sikap ini kerap diterima oleh kalangan pemerintah
265
110
268
Ibid.
Tentang reorientasi politik NU selengkapnya akan dibahas dalam Bab V-A.
270 Lihat Abdurrahman Wahid, NU Pluralisme, loc. cit., h. 215; Muhammadiyah dan NU, loc. cit., h. 91-2.
271 Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah dan NU, ibid., h. 92.
272 Abdurrahman Wahid,"Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam M Masyhur Amin dan Ismail S Ahmad (eds.), Dialog
Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), h. 151.
269
111
BAB IV
IMPLEMENTASI KHITAH: DINAMIKA INTERNAL
273
Ibid., h. 152.
112
Pada dasarnya, perjalanan khitah dapat diperiodisasikan dalam dua tahap. Tahap
pertama, meliputi masa 1984-1989, adalah periode sosialisasi dan konsolidasi khitah. Dan
tahap kedua dari 1989-1999 adalah periode pemantapan khitah. Tahap lima tahun pertama
dapat dikatakan mewarisi warna-warna reorientasi program, regenerasi, dan rekonsolidasi
dari Muktamar Situbondo. Ketiga hal itu adalah sub-sub tema yang mengikuti tema besar
"kembali ke Khittah 1926,"274 yang bukan saja telah membawa NU kepada perwajahan baru,
namun juga mengantarkannya pada era yang sarat dengan permasalahan dan persilangan
kepentingan. Kondisi ini menyebabkan PB NU yang merupakan produk regenerasi 1984
belum bisa berbuat banyak untuk menunjukkan hasil riil dari pelaksanaan program yang telah
disusun. Mereka masih berkutat dengan persoalan sosialisasi khitah untuk menyamakan
persepsi semua pihak dalam NU, yang ternyata menjadi pekerjaan yang sangat rumit dan
kompleks.
Regenerasi dalam NU sendiri tidak dapat dipahami sekadar sebagai regenerasi antarwaktu ketika pengurus sebelumnya yang telah senior dan cukup lama memegang kendali
mesti diganti dengan yang lebih muda. Regenerasi yang melahirkan nama-nama seperti
Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaedi, dan Fahmi Saifuddin, dan seterusnya ini
dilatarbelakangi oleh permasalahan yang jauh lebih besar daripada sekadar kemestian untuk
melaksanakan mekanisme suksesi kepengurusan. Backdrop proses ini adalah berkaitan
dengan maraknya konflik internal NU di masa sebelumnya, yang kurang-lebih terpola
sebagai konflik antara kelompok politisi dan ulama non-politisi yang secara populer disebut
sebagai konflik Cipete-Situbondo.
Konflik yang nyaris akut ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para ulama dan
warga NU akan perlunya pemunculan figur baru dalam teras kepemimpinan NU. Figur baru
itu haruslah berada pada posisi netral dalam peta konflik NU, di samping harus mampu
menjadi representasi semangat khitah. Berdasarkan kriteria ini maka tujuh orang kiai senior
NU yang dikomandani KH As'ad Syamsul Arifin dalam forum ahlul halli wal 'aqdi
menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidziyah. Tokoh ini bukan saja netral, tapi
ia juga secara serius telah turut mengupayakan rekonsiliasi kedua kubu yang bersengketa di
era sebelumnya. Selanjutnya, ia adalah salah seorang figur sentral dalam perumusan konsep
274
Lihat Bab II di muka, khususnya sub bab "Selangkah ke Era NU Baru: Situbondo 1981."
113
275
Ia adalah salah seorang anggota Majelis 24 yang pada Mei 1984 telah membentuk sebuah "Tim Tujuh Untuk Pemulihan
Khittah." Tim ini diketuai oleh Abdurrahman Wahid. Lihat ibid.
276 Lihat Tempo, 21 November 1987, h. 25-26.
114
277
Ibid.
Lihat Khairul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW
Mandala, 1992), h. 140-144.
279 Lihat Suara Karya, 14 November 1989. Penjelasan "ekonomi politik" tentang kejengkelan Kiai As'ad terhadap Gus Dur,
lihat Martin van Bruinessen, NU, Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994).
278
115
sejumlah
kesalahan
pun
diinventarisir.
Mulai
dari
gagasan
penggantian
116
283
117
289
Ibid., h. 24
Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 184.
291 Tempo, 2 Desember 1989, h. 24.
290
118
119
296
297
120
298
121
301
122
305
123
kecenderungan NU sebagai elitisme populis. Arief Affandi312 menilai senada dengan Kacung.
Hanya saja elitisme NU juga dilihatnya muncul dalam perilaku politiknya. Bagi Arief,
persoalannya adalah karena pada saat ini NU masih berada pada masa transisi dalam sebuah
transformasi yang belum usai dari orientasi dan peran politik ke non-politik.
Terlepas dari penilaian para pengamat ini, maka otokritik tokoh-tokoh muda NU itu
mestinya dapat dipandang sebagai pertanda semakin matangnya komitmen terhadap Khittah.
Sebab salah satu pertimbangan NU kembali ke Khittah adalah bahwa orientasi politik yang
berlebihan ternyata telah membuat NU mengabaikan kepentingan warganya. Dan selama
sepuluh tahun ini hal tersebut coba dikoreksi.
309
124
313
Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
Lihat Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU Terhadap Keputusan Politik (Thesis S-2 Fakultas Pasca Sajana
UGM, 1990).
314
125
Ibid., h. 107.
126
Karena sebagai organisasi yang terjun dalam kegiatan politik praktis, di mana tokohtokoh NU terlalu lama bergaul dengan politik dan berpola hidup serba politik, tugastugas NU di bidang kemasyarakatan dan keagamaan banyak terkesampingkan.
2.
Seringnya tejadi kemelut dalam tubuh NU yang disebabkan oleh persaingan untuk
menjadi pimpinan dengan tujuan mendapatkan fasilitas dari pemerintah atau untuk
mengarahkan jalan ke kursi DPR/MPR maupun, dahulu, eksekutif.
3.
NU sebenarnya
kekurangan kader-kader
profesional
sehingga
tidak dapat
316
Ibid., h. 113.
Ibid., h. 113
318 Wawancara Penulis dengan Ichwan Sam, op. cit.
317
127
Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah yang membawakan
faham keagamaan, maka Ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama
jalannya organisasi.319
Lihat Keputusan Muktamar XVII NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khitthah Nahdlatul Ulama, Butir 7.
128
Lihat Arief Mudatsir, "Dari Situbondo Menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h.
140.
321 Waktu itu, KH As'ad menunjuk KH Ali Maksum, KH Masykur, KH Sjansuri, KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi
Mahfudz sebagai anggota.
322 Ibid.
323 Bandingkan dengan Ghaffar Rahman dan Ichwan Sam, dua orang yang berturut-turut memegang jabatan Sekjen setelah
Anwar Nurris, yang pada tahun 1984 turut ambil bagian dalam Majelis 24.
324 Lihat Tempo, 2 Desember 1989.
129
325
130
326
131
327
Wawancara Penulis dengan Wakil Sekjen PB NU Ir. H Musthafa Zuhad di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
Ibid.
329 Lihat Aula, Juli 1993.
328
132
Kesimpulan
Dilihat dalam dinamika internalnya, perjalanan NU selama satu dasawarsa ini adalah
sebuah pencaharian kapasitas diri yang paling tepat menurut semangat khitahnya. Bahwa
pencarian itu hingga saat ini belum juga menemukan hasil yang diharapkan, adalah
banyaknya permasalahan yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan yang menjadi
penyebabnya. Salah satu permasalahan itu adalah masih belum adanya kesamaan persepsi
yang utuh dalam tubuh NU sendiri tentang konsep khitah, sekalipun rumusan tekstualnya
sudah sangat jelas. Ketidakseragaman persepsi ini disebabkan sekaligus oleh heterogenitas
yang cukup tinggi dalam tubuh NU di satu bagian, serta banyaknya pergulatan kepentingan
antara elit NU sendiri pada bagian lain.
Pergulatan kepentingan di kalangan elit itu seringkali membawa NU pada kondisi
tarik-menarik antara dua kelompok yang berseberangan: sayap politisi dan sayap ulama.
Sementara kelompok pembaharu NU yang moderat selalu berusaha agar NU tetap berada
pada posisi tengah antara tarik-menarik itu, maka polarisasi itu sendiri akhirnya membawa
imbas lain pada warga NU. Mereka hingga saat ini ternyata masih belum memiliki persepsi
yang tepat terhadap Khittah sebagaimana mestinya. Sosialisasi Khittah yang secara serius
dilakukan oleh inti kekuatan NU saat ini dipahami dengan tidak pas oleh warga, karena
sementara kalangan politisi NU, dalam kepentingannya masing-masing, kerap melakukan
distorsi informasi yang membelokkan persepsi mereka.
Namun tidak diragukan lagi, yang paling sulit adalah pencarian bentuk yang paling
tepat bagi pengembalian otoritas ulama dalam kepemimpinan NU. Persoalannya tentu ialah:
bagaimana bentuk supremasi ulama itu? Sebab pemberian otoritas penuh yang menyebabkan
kekuasaan tersentralisir pada elit ulama, sementara pada saat yang sama NU berkomitmen
pada demokratisasi, sudah pasti akan terasa sebagai ambivalensi. Selanjutnya, supremasi
ulama tentulah berindikasikan pengurangan yang cukup signifikan terhadap otonomi yang
133
BAB V
IMPLEMENTASI KHITTAH: DINAMIKA EKSTERNAL
134
umat
Islam
maupun
dengan
sesama
warga
negara
yang
mempunyai
135
Keputusan Muktamar XXVII Nahdlatul Ulama No. O2/MNU-27/ 1981 tentang Khittah Nahdlatul Ulama, Butir 8.
Sementara pengamat dengan terburu-buru menafsirkan bahwa reorientasi yang dilakukan NU adalah reorientasi dari
peran politik menuju peran non-politik. Meskipun sampai batas tertentu ada benarnya, namun penafsiran seperti itu akan
menyulitkan untuk menemukan eksplanasi paling tepat manakala mereka menemukan masih adanya bobot politik dalam
gerakan NU kini.
332 Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
333 Lihat Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926," dalam Masyhur Amin dan Ismail Ahmad (eds.),
Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM, 1993), h. 152.
331
136
137
338
Lihat Afan Gaffar, "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia, dalam M Imam Aziz, et.al (eds.), Agama,
Demokrasi, dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 105.
339 Kesesuaian langkah politik NU dengan rekayasa politik pemerintah kian terasa dengan ditetapkannya UU No. 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal 17 Juni, yang dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa "Organisasi
Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satusatunya asas," walaupun tetap dibebaskan untuk merumuskan
tujuan khas masing-masing. Lihat antara lain, 5 Undang-undang Baru di Bidang Politik (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).
340 Kompas, 29 April 1985.
341 Tentang campur tangan sejumlah tokoh NU ini lihat antara lain Tempo 30 Maret 1985 dan 22 Juni 1985.
138
342
Pelita, 31 Oktober 1985, sebagaimana dikutip dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992),
h. 160.
343 Kompas, 4 November 1985.
344 Lihat Mahbub Djunaedi, 'Mubalig Dadap Tentang Netralitas NU," dalam Kompas, 20 Desember 1985.
345 Mahbub Djunaedi, "Khittah," dalam Tempo 25 Januari 1986, h. 76. Mahbub mengingatkan generasi baru NU agar tidak
lagi seperti generasi pendahulunya yang "... turun dari laut dengan biduk kecil seraya menenteng seikat ikan, cukup untuk
makan sehari semalam tapi tidak cukup untuk menambal bilik rumah yang rombeng. Anak-anak ini tidak bisa dibiarkan
sama seperti orang tuanya. Mereka mesti memandang laut dengan sinar mata yang baru, membawa pulang berton-ton
ikan yang sehat, mencegah binatang itu mati tua karena tidak ada tangan yang kuasa menangkapnya." Ibid.
346 Lihat Tempo, 31 Mei 1986.
139
347
Ibid.
Lihat Tempo, 15 Februari 1986, h. 12.
349 Tempo, 19 Juli 1986.
350 Buku itu dikenal dengan 'buku kuning', diterbitkan di Yogyakarta. Lihat Tempo, 1 November 1986.
348
140
Di dua daerah itu penggembosan berjalan dalam intensitas yang sangat tinggi. Boleh jadi karena keduanya dalah
daerah-daerah basis utama NU. Ini tercermin dalam ucapan Mahbub bahwa NU yang dalam dua pemilu telah memompa
PPP pasti tahu persis di mana katup untuk menggemboskannya. Lihat Suara Pembaharuan, 1 April 1987.
352 Tempo, 7 Maret 1987.
141
353
142
357
Ibid.
Lihat Tempo, 5 Mei 1987.
359 Untuk angka-angka ini lihat Haris, op. cit., h. 120
358
143
Tabel 2. Perubahan Perolehan Suara di Jawa Timur Naik/Turun 1987 dari 1982
================================================
Kabupaten/Kodya
PPP
Golkar PDI
================================================
Kodya Surabaya
8,75
2,39
Kodya Mojokerto
12,57 9,38
3,19
Kodya Malang
-13,39 8,00
5,39
Kodya Pasuruan
Kodya Probolinggo
-6,81
8,04
-1,24
Kodya Madiun
-4,60
9,43
-4,83
Kodya Kediri
Kodya Blitar
-4,41
Kab Gresik
Kab Sidoarjo
Kab Mojokerto
Kab Jombang
Kab Lamongan
Kab Tuban
-8,30 4,28
4,02
Kab Bojonegoro
-11,94 11,05
0,89
6,29
-1,88
144
Kab Ngawi
-5,43
6,80
-1,38
Kab Magetan
-6,33
8,11
1,78
Kab Ponorogo
-10,60 9,73
0,86
Kab Pacitan
-4,85
-1,49
Kab Kediri
Kab Nganjuk
Kab Blitar
Kab Tulungagung
Kab Trenggalek
-18,51 16,64
1,88
Kab Malang
-11,78 10,46
1,32
Kab Pasuruan
-18,96 15,81
3,15
Kab Probolinggo
-19,40 20,01
-0,61
Kab Lumajang
-14,45 13,89
0,56
Kab Jember
-22,79 19,06
3,15
Kab Bondowoso
-24,33 23,67
0,67
Kab Situbondo
-17,82 17,00
0,83
Kab Banyuwangi
-15,23 12,57
2,66
Kab Pamekasan
-29,83 29,16
0,67
Kab Bangkalan
-21,26 20,58
0,68
Kab Sampang
-16,82 16,50
0,32
Kab Sumenep
-31,70 30,03
0,07
6,34
===============================================
Sumber : Kompas 6 Juni 1987
360
Polling pendapat yang dilakukan terhadap warga NU oleh mingguan Editor di tahun 1988 dan 1992 sedikit banyak
mendukung sinyalemen itu. Polling tentang pilihan warga NU ini pada tahun 1988 menunjukkan bahwa dalam Pemilu 1982,
80% warga NU memilih PPP, 13% Golkar, dan 0% PDI. Lalu pada Pemilu 1987, yang memilih PPP turun menjadi 56%, Golkar
naik menjadi 71%, dan PDI menjadi 3%. Lihat Editor, 2 Desember 1988. Sedang polling 1992 menunjukkan angka yang
hampir sama. 84,10 % warga NU dalam Pemilu 1982 memilih PPP, 12,13% memilih Golkar, dan 0% PDI. Dan pada Pemilu
1987 bergeser, PPP menjadi 42,34%, Golkar menjadi 51,35%. dan PDI 11,8%. Lihat Editor, 7 Maret 1992. Selanjutnya faktor
pemilih muda agaknya juga menentukan. Polling Tempo menunjukkan bahwa warga NU yang baru memilih dalam Pemilu
1987 sebanyak 54,22% memilih Golkar, 32,53% PPP, dan 4,82% PDI. Lihat Tempo,2 Mei 1987.
146
147
364
149
Arbi Sanit, "Politik NU Sebagai Organisasi Massa'. dalam S Sinansari Ecip (eds.), NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit
Al Kautsar, 1989).
367 Lihat Editor, 9 September 1989.
368 Syamsuddin Haris, "NU dan Godaan Politik Menjelang Muktamar ke-28, dalam Kompas, 2 Oktober 1989.
150
369
Menjelang Pemilu 1987, Abdurrahman di depan massa PDI mengatakan bahwa jika ada warga NU yang aktif di PDI, ia
akan mendukung. Sebab PDI 'kan kecil, kayak anak yatim. Wajar kalau mengharap warga NUmendukung PDI." Lihat
Tempo, 21 Maret 1987.
370 Lihat Surabaya Post, 24 November 1989.
151
Tempo menyebutkan jumlah bantuan itu adalah sama seperti yang diberikan oleh PPP, yakni sebesar 5 juta rupiah. Lihat
Tempo, 2 Desember 1989. Namun Surabaya Post menyebutkan jumlah 25 juta, op. cit. Sulit dilakukan konfirmasi. Akan
tetapi mengingat kemampuan finansial Golkar yang jauh di atas PPP dan membandingkan dengan bantuan-bantuan Golkar
ke berbagai pesantren yang biasanya selalu dalam jumlah besar, maka angka yang disebutkan oleh Surabaya Post rasanya
lebih dapat diterima.
372 Mahbub Djunaedi, Khittah Plus, op. cit.
373 Tempo, 25 Mei 1991.
152
Tentang penilaian Abdurrahman Wahid yang cukup seimbang terhadap ICMI ini, lihat tulisannya, "NU, Pluralisme dan
Demokratisasi Langkah Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al., op. cit., h. 221.
375 Lihat Tempo, 26 Mei 1990.
376 Lihat Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 1992.
153
154
380
381
Ibid.
Tempo, 7 Maret 1992.
155
...jelas akan merupakan bunuh diri bagi NU untuk berpaling ..Satu-satunya langkah
yang bisa dilakukan adalah mengakomodasi, berkompromi, dan bersikap sebagai pemain
yang baik. Kalau dilihat dari "kesehatan" NU yang kian membaik, sang Pemain, sejauh ini
terbukti telah berlaku sangat cerdik.383
382
Diberitahukan bahwa pemerintah-pemerintah daerah telah secara ketat melakukan pembatasan terhadap warga NU di
daerahnya yang hendak mengikuti rapat akbar. Lihat antara lain ibid., h. 23-24.
383 Andree Feillard, "Isyarat Politik Setelah Situbondo," dalam Editor, 7 Maret 1992, h. 31. Cetak miring dari Penulis, kalau
"sang Pemain" di situ dapat ditafsirkan sebagai Abdurrahman Wahid.
156
384
Memo ini untuk sebagian dapat ditafsirkan sebagai keluhan kepada Suharto tentang pembantu-pembantu dan aparataparatnya, yang tidak bisa mengikuti secara persis irama politik akomodatif Suharto.
385 Lihat Tempo, 4 April 1992.
157
Kalau ada kekeliruan terbesar yang telah dilakukan NU selama periode aktualisasi
peran politiknya, itu pastilah terabaikannya begitu banyak bidang garapan akibat aktivitas
yang terkonsentrasi pada politik semata-mata. Sehingga meskipun NU telah membukukan
catatan-catatan gemilang tentang prestasi politiknya, dalam banyak hal lain NU
386
387
Belakangan masalah memo ini diramaikan kembali karena tulisan Adam Swadrz. dalam buku A Nation in Waiting (1994).
Lihat Editor, 17 Oktober 1992.
158
159
PERTANYAAN yang kiranya paling relevan saat orang berbicara tentang prospek
NU adalah, mungkinkah NU kembali menjadi partai politik? Atau setidaknya mungkinkah
NU kembali mempunyai afiliasi formal terhadap salah satu partai politik? Jawaban yang
paling mendekati kemungkinan sebenarnya bagi pertanyaan-pertanyaan itu, maupun
pertanyaan-pertanyaan lain berkaitan dengan prospek NU, hanya dapat ditemukan melalui
pengamatan yang sekaligus menggunakan lensa kultural dan lensa struktural.
Dalam perspektif kultural, satu hal yang mesti memperoleh aksentuasi ialah bahwa
NU adalah organisasi yang tidak dapat diharapkan konsisten dalam sikap-sikap, keputusankeputusan, dan pilihan politiknya, selama hal itu tidak berimpit dengan sejumlah ajaran
agama yang dianutnya.388 Ajaran agama itu adalah Islam menurut paham Ahlussunnah
Waljamaah. Dengan pemahaman ini maka setiap keputusan yang tidak memiliki kaitan
langsung dengan ajaran keagamaan itu baik tentang bentuk organisasi, afiliasi dengan parpol
tertentu, dan sebagainya, atau bahkan tentatif. Terutama sekali haruslah dipandang sebagai
keputusan yang temporer. Artinya, keputusan-keputusan itu diambil karena dipandang paling
menguntungkan menurut konteks makro yang ada. Jadi pertimbangannya sangatlah
pragmatis, dan sejauh tidak bertentangan dengan kaidah keagamaan yang diyakini dan yang
penegakannya dijadikan tujuan terawal NU. Itulah sebabnya, melihat ke masa lalu, NU dapat
menerima konsep Nasakom sambil pada saat yang sama tetap meneriakkan penentangannya
terhadap komunisme. Sikap NU terhadap komunisme adalah sikap politik yang berimpit
dengan pandangan keagamaan, dan karenanya NU tetap konsisten menolak ideologi atheistik
itu. Akan tetapi mengenai sikap terhadap konsep yang mengharuskannya berada dalam proses
politik yang di dalamnya dilibatkan pula orang-orang komunis, persoalannya bukan lagi
tentang sikap keagamaan namun semata-mata pertimbangan
persoalan survival. Sebab jika NU menolak konsep Nasakom, pastilah sebagai parpol ia akan
merasakan implikasi negatif penyederhanaan kepartaian yang dilakukan Sukarno. Namun
yang lebih penting, NU tentu tidak ingin melihat pentas politik nasional didominasi oleh
388
Lihat uraian selengkapnya tentang hal ini dalam Abdurrahman Wahid, Pendekatan NU Selalu Kultural," dalam Pelita, 10
November 1984.
160
Atomized party system: terdapat banyak parpol tapi tak satu pun yang punya pengaruh
terhadap atau hubungan dengan parpol lain. Masing-masing hanya terikat pada satu
atau sekelompok orang pemimpin, sehingga hidup-matinya partai tergantung kepada
pemimpinnya.
Polarized-pluralism party system: terdapat lima atau enam parpol yang secara efektif
pada tingkat nasional membentuk struktur yang bipolar, yaitu sebagian parpol itu
membentuk koalisi pemerintahan, sementara sisanya membentuk koalisi oposisi.
389
Teori Sartori ini adalah sebagaimana yang diikhtisarkan oleh Dr Riswanda Imawan, MA dalam kuliah "Sistem Kepartaian
dan Pemilu di Indonesia" di FISIPOL UGM, tanggal 24 Februari 1992. Pembahasan selanjutnya mengacu ke sini.
162
Two-party system: sebenarnya bisa saja ada lebih dari dua parpol, tapi partai ketiga
dan seterusnya tidak cukup kuat untuk menantang salah satu atau kedua parpol besar
yang ada.
Hegemonic party system: terdapat kompetisi antar parpol secara formal, tapi hanya
ada satu parpol yang menguasai tidak hanya pemilu tapi juga areal pembuatan
keputusan. Partai-partai lain berkedudukan sebagai partai kelas dua.
Single party system: di sini dikenal close-market system di mana satu partai
memonopoli sistem politik yang ada, dengan fungsi utama melaksanakan
kebijaksanaan yang dibuat pemerintah.
Perkembangan jumlah parpol, yang antara lain menentukan gerak dari satu bentuk
kepartaian ke bentuk kepartaian lain itu, adalah berbanding lurus dengan heterogenitas
masyarakat serta berbanding terbalik dengan faktor ideologi nasional. Artinya, semakin
heterogen masyarakat dan semakin lemah ideologi nasional maka parpol cenderung banyak.
Demikian sebaliknya. Heterogenitas masyarakat yang dimaksud adalah dari segi kultur dan
etnik. Akan tetapi ketika kepentingan kian beragam sehingga diperlukan semakin banyak
asosiasi kepentingan dan muncul kondisi cross cutting interest dan cross-cutting affiliation,
maka heterogenitas kultur dan etnik itu terabaikan, dan dalam hal ini masyarakat menjadi
homogen.
Secara alamiah, gerak pendulum akhirnya akan berhenti pada posisi menggantung
(vertikal), dan menunjuk pada two-party system. Sebab setelah pendulum sampai pada tahap
perkembangan single party system, arus balik modernisasi akan mendorongnya kembali ke
tengah. Dalam masyarakat yang kian modern single-party system sangat tidak ideal, oleh
karena kesadaran untuk memilih telah semakin besar.
Namun bagi Riswanda Imawan, gerak alamiah semacam itu sulit terjadi di Indonesia.
Sebab selain kedua faktor ideologi nasional dan heterogenitas masyarakat di atas, di
163
390
Governmental intervention terhadap partai politik muncul di Indonesia menurut Riswandha adalah karena sekaligus dua
hal: pembangunan ekonomi yang bertitik berat pada model-model teknokratik dan peminjaman modal dari luar negeri
yang menuntut jaminan stabilitas politik dalam negeri serta kondisi partai-partai politik yang sedemikian rupa tergantung
kepada pemerintah.
164
165
tentang
pengembangan
pemikiran
mengenai
"Islam
pasca
NU
dan
Muhammadiyah". Yakni suatu cara pandang kosmopolit yang tidak berangkat dari sekatsekat kelompok ketika melihat bangunan Islam secara utuh.
Lalu sebuah gagasan penting, yang meskipun tidak pernah terealisir tapi setidaknya
dapat menjadi shock therapy yang efektif, datang dari Yusuf Hasyim. Dalam seminar
"Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya" di Surabaya pada bulan Juli 1989, Yusuf
berbicara tentang gagasan keanggotaan ganda bagi warga NU dan Muhammadiyah, jika
persatuan kedua kelompok ini ingin direalisir secara lebih konkret.392 Sambil mengatakan
bahwa jika gagasan itu bisa diterima ia akan menjadi orang pertama yang menjadi anggota
NU sekaligus anggota Muhammadiyah, Yusuf berpendapat bahwa apabila persatuan NU dan
Muhammadiyah dapat terwujud, maka separuh dari persoalan umat Islam Indonesia telah
terselesaikan. Selama ini antara NU dan Muhanunadiyah tampaknya hanya dipisahkan oleh
masalah administratif dan organisasi semata-mata, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan
persoalan akidah. Untuk bisa menyatukan umat Islam, memang tidak perlu membubarkan
NU dan Muhammadiyah, sebab yang diperlukan adalah suatu forum bersama yang dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai problema yang mengganjal laju perjalanan umat
Islam. Amien Rais dalam seminar itu menyatakan persetujuannya terhadap usulan Yusuf
tersebut. Hanya saja sebelum sampai pada langkah keanggotaan ganda, perlu dipecahkan
terlebih dahulu berbagai hambatan yang selama ini menjadi halangan bagi ukhuwah NU dan
Muhammadiyah, misalnya perbedaan pandangan keagamaan dalam
hal
furu'iyah
(permasalahan cabang yang bukan permasalahan pokok). Secara teoretis kata Amien,
392
Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW
Mandala, 1992), h. 187.
166
Ibid., h. 188.
Wawancara Penulis dengan Ir. H Musthafa Zuhad, Wakil Sekjen PB NU, di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
395 Lihat Bab II
396 Makalah-makalah dan diskusi-diskusi dalam seminar yang menjadi momentum tersendiri bagi hubungan
Muhammadiyah dan NU ini, yang menampilkan 17 orang tokoh dan pakar dari kalangan NU dan Muhammadiyah serta dari
kalangan yang dianggap sebagai pengamat netral (sayangnya tidak menyertakan pula pengamat dari kalangan nonmuslim), telah didokumentasikan dalam sebuah buku. Lihat Yunahar Ilyas, et al., (eds.), Muhammadiyah dan NU:
Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993).
394
167
397
168
169
Ibid., h. 31.
170
171
Menjelang Pemilu 1987 Abdurrahman Wahid menegaskan tujuannya ini, bahwa ia ingin NU meninggalkan masa lalu
yang sektarian dan bersisi untuk Islam saja, sementara sisi nasionalnya kurang dikembangkan. "Warga NU harus
memandang lebih luas, harus menjadi warga negara yang dinamis." Lihat Suara Pembaruan, 1 April 1987.
401 Cf: Seorang pengamat dari FISIP Unair, Dr Ramlan Surbakti, memberikan penilaiannya bahwa "Gus Dur inilah yang
membawa NU kembali ke arus bangsa." Lihat wawancara dengannya dalam Surabaya Post, 30 Januari 1994.
402 Lihat Tempo, 15 Desember 1994.
172
403
Mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid tentang ambivalensi ini, lihat lagi bab III di muka.
173
404
174
"Kembali ke Khittah 1926" adalah sebuah titik kulminasi dalam sejarah NU, yang
nilainya barangkali hanya bisa ditandingi oleh peristiwa kelahirannya dahulu. Sementara
kontroversinya jelas tidak tertandingi oleh titik sejarah NU mana pun. Sedemikian rupa,
sehingga kontradiksi dalam tubuh organisasi ini selalu dibangun atas dasar semangat Khittah
1926. Itulah sebabnya ketika semua tokoh NU merujuk pada khittah, mereka bisa saja
mempunyai sikap yang berbeda, bahkan terkadang saling bertentangan, terhadap suatu hal
tertentu. Ini bisa sekaligus bermakna positif maupun negatif. Positif, sejauh perbedaan itu
menjamin kontinuitas dinamika NU. Dan negatif karena bisa saja orang luar menilai NU
tidak pernah benar-benar memiliki persamaan visi dan persepsi. Kendati demikian, Khittah
tidak diragukan lagi telah mendorong NU untuk melakukan serangkaian transformasi, yang
sebagian telah menunjukkan hasil yang signifikan, sementara sebagian lainnya masih berjalan
tersendat-sendat.
Pada lingkup internal, transformasi diarahkan pada tujuan untuk menemukan pola
distribusi kewenangan yang tepat untuk menjamin kembalinya supremasi ulama dalam NU
sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Proses ini hingga sekarang belum juga mencapai
hasil yang berarti, kecuali gambaran yang samar-samar tentang Syuriyah yang lebih
berotoritas serta Tanfidziyah dengan otonomi yang terkendali. Akan tetapi bagaimana
otoritas Syuriyah itu diwujudkan dan bagaimana otonomi Tanfidziyah dikendalikan, masih
belum ditemukan rumusan yang tepat, meskipun berbagai solusi alternatif telah ditawarkan
dan diujicobakan. Kegagalan menemukan rumusan yang tepat itu setidaknya disebabkan oleh
tiga hal. Pertama, upaya pengembalian supremasi dan otoritas ulama tidak pernah benarbenar dapat diakselerasi penuh, oleh karena adanya kekhawatiran bahwa ekses upaya itu akan
berbenturan dengan kehendak akan demokratisasi dalam tubuh NU.
Kedua, berkaitan dengan adanya kelemahan-kelemahan di kalangan ulama NU
sendiri. Sedikit sekali di antara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas untuk
175
180
405
Currently, in Indonesia," kata Dr Afan Gaffar, there is a common perception regarding the growing influence of "the
3H", that is Habibie, Hartono and Harmoko." Lihat Afan Gaffar, "Indonesia set for 1988," dalam Business Times, Week End,
March 25-26, 1995. March 25-26, 1995.
406 Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd. 1994), khususnya bab
"Islam: Coming in From The Cold?", h. 162. Uraian dalam beberapa paragraf berikut akan mengacu ke sini.
182
407
Lihat pengantar buku ini dari Afan Gaffar di muka, atau lihat "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia" dalam
M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia, 1993).
408 Schwarz, op. cit., h. 176
409 Ibid.
183
But dispite cracks in his NU support base, Wahid remains a very influental figure. He is widely respected not only within
the broad santri community but also by many non-santris and non-Muslims ... Wahid's view art worth spelling out".
Schwarz, op. cit., h. 185.
411 Lihat Syafii Anwar, "ICMI dan Politik: Optimisme dan Kekhawatiran", dalam Ulumul Quran, No.1, Vol. VI, tahun 1995, h.
7.
412 Douglas E. Ramage, "Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Paska Asas
Tunggal", dalam Ellyasa KH Darwis (ed.) Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 105
184
413
Siapa saja yang potensial sebagai pesaing ICMI? inilah notasi Schwarz, "Non-Santri Muslim, still a sizeable faction do not
support the effort to raise Islam's political profile. The military, distrustful right from the beginning of ICMI aims, will surely
attempt to thwart any effort by modernists to transform the organization into the political entity. Non-Muslim, of course,
and especially the powerful ethnic-Chinese business community, also can be expected to oppose the broadening of ICMI
powers. But to date, all these groups have adopted a quiet, wait-and-see approach to ICMI." Lihat Schwarz, op. cit., h. 185
185
186
Afandi, Arief. "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam Jawa Pos, 9 Juni 1993.
Ali, Fachry. "Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Editor, 7 Maret 1992.
---------. Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern. Jakarta: PT Gramedia,
1986.
---------. "Seorang Asing di Tengah NU," dalam Tempo, 25 November 1989.
Almond, Gabriel A. "Interest Group and Interest Articulation," dalam Gabriel A. Almond
(ed.), Comparative Politics Today: A World View. Boston: Little, Brown and Company,
1974.
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama. Sala: Jatayu, 1985.
---------. "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU", dalam Jawa Pos, 28 Januari 1992.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: CV Rajawali, 1986.
Anderson, Benedict R.O'G. "The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt (ed.),
Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1972.
Anwar, M Syafi'i. "ICMI dan Politik: Optimisme dan Kekhawatiran," dalam Ulumul Qur'an,
No. 1 Vol. VI, Tahun 1995.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Bineka Cipta, 1991.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dakhidae. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1983.
Collier, David. "Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model," dalam David Collier
(ed.), The New Authoritarianism in Latin America. Princeton: Princeton University
Press 1979.
187
188
189
191
8. Pelita.
9. Suara Karya.
3. Editor.
4. Forum Keadilan.
5. Jawa Pos.
6. Kedaulatan Rakyat.
13. Tempo
7. Kompas.
193
194